Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

“Pendidikan dan Ideologi Negara”

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata kuliah : Filsafat Pendidikan

Dosen Pengampu :

1. Dr. P. Rahabav, M.Si


2. Dr. A. Sahalessy, M.Pd

Disusun Oleh :

Kelompok 7

1. Coni Kristiani Taihuttu


2. Welem A.H. Lesnussa
3. Lenny Tehupellasuri

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN

PASCASARJANA

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Makalah
yang berjudul “Pendidikan dan Ideologi Negara”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Filsafat Pendidikan. Makalah ini kami
susun berdasarkan data-data yang telah kami ambil dari Buku, e-book maupun jurnal.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik
yang dapat membangun, kritik dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.

Ambon, 25 Oktober 2021


Penulis

Kelompok 7

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................i

DAFTAR ISI ..................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................1

A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Rumusan Masalah .............................................................................1
C. Tujuan Penulisan ...............................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................3

A. Apakah Ideologi itu............................................................................3


B. Pancasila Sebagai Ideologi Negara ...................................................7
C. Nilai-nilai luhur pancasila .................................................................10
D. Problematika Implementasi Pancasila ............................................11
E. Pendidikan dan Kritik Ideologi ........................................................14

BAB III PENUTUP ........................................................................................22

A. Kesimpulan .........................................................................................22
B. Saran ...................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................23

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ideologi merupakan kumpulan gagasan-gagasan, ide-ide, keyakinan-
keyakinan yang menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut berbagai
bidang kehidupan manusia.  Dimana dalam Ideologi cerminan cara berfikir
masyarakat yang sekaligus membentuk masyarakat itu menuju cita-citanya.
Tanpa ideologi, tentunya masyarakat akan sulit untuk disatukan, namun
dengan kehadiran Ideologi Pancasila, masyarakat akan bersatu sebagai bangsa
Indonesia.
Ideologi Pancasila menjadi satu hal yang sangat penting bagi bangsa
Indonesia oleh karena itu Pancasila memiliki beberapa kedudukan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.Kedudukan itu seperti
Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia,Pancasila sebagai kepribadian bangsa
Indonesia, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa.
Dengan demikian tidak dapat dipungkiri bahwa pancasila yang
digunakan sebagai ideologi negara memiliki peranan atau fungsi yaitu: Sarana
pemersatu bangsa Indonesia. Membimbing dan mengarahkan bangsa
Indonesia untuk mencapai tujuan. Memberikan motivasi untuk menjaga dan
memajukan jati diri bangsa Indonesia.
A. Rumusan Masalah
1. Apa itu ideologi?
2. Mengapa pancasila sebagai ideologi Negara?
3. Apa Nilai-Nilai Luhur Pancasila?
4. Apa problematika implementasi pancasila?
5. Bagaimana pendidikan dan kritik ideologi?
B. Tujuan Penulisan
1. Mampu untuk memahami dan mengetahui apa itu ideologi.

1
2. Mampu untuk memahami dan mengetahui pancasila sebagai ideologi
Negara.
3. Mampu untuk memahami dan menjelaskan nilai-nilai luhur pancasila.
4. Mampu untuk memahami dan menjelaskan problematika implementasi
pancasila.
5. Mampu untuk memahami dan mengetahui pendidikan dan kritik ideologi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Apakah Ideologi itu?


1. Pengertian Ideologi
Pengertian Ideologi Secara etimologi ideologi berasal dari kata idea,
yang berarti pemikiran, gagasan, atau konsep, dan logos berarti
pengetahuan. Dengan demikian ideologi berarti ilmu pengetahuan
mempelajari tentang ide, keyakinan atau gagasan. Ideologi adalah sesuatu
yang netral, idea atau gagasan yang merupakan pemikiran seseorang yang
dianggap baik, yang akhirnya mendapatkan dukungan luas dari kelompok
masyarakat dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh kelompok
manusia, termasuk masyarakat negara akan memberikan arah dalam
kehidupannya, baik secara individu maupun kelompok. Ideologi juga
merupakan sesuatu keyakinan diri, inspirasi dan guidance pejuangan
politik manusia. (Mclellan, 2014: 4). Ideologi menurut Geovanie adalah
rangkaian (kumpulan) nilai yang disepakati bersama untuk menjadi
landasan atau pedoman dalam mencapai tujuan atau kesejahteraan
bersama. Pemikiran-pemikiran tentang ideologi akhirnya sempat
mewarnai kehidupan bernegara, atau yang sekarang masih dipertahankan
keberadaannya, seperti ideologi individualliberal yang lahir abad
pertengahan sebagai reaksi kekuasaan absolut yang mendapatkan
dukungan gereja, dan ideologi sosialis, komunis. 1
Demikian ideologi Pancasila sebagai reaksi terhadap pemikiran
individualis, yang menumbuh kembangkan liberalis dan kapitalis, fasisme,
dan nazisme. (Geovanie, 2013: 2).
1
Sarbaini &, Reja Fahlevi. Pendidikan Pancasila Pendekatan Berbasis Nilai-Nilai,
(Yogyakarta, Aswaja Pressindo, 2018) hlm 127-128.

3
Kunto Wibisono (Darmawan, 2013) menyebut tiga unsur yang sangat
dominan dalam ideologi, yaitu:
1) Adanya keyakinan, yakni gagasan vital yang diyakini kebenarannya
2) Mitos, ada yang dimitoskan secara optimis dan deterministik pasti
akan menjamin tercapainya tujuan.
3) Loyalitas, yakni menuntut adanya keterlibatan secara optimal dari para
pendukungnya.2

Dengan kata lain, ideologi negara akan berperan sebagai jiwa, semangat,
serta mengarahkan program, strategi dan perjuangan mencapai tujuan
negara sesuai dengan citacitanya. Peranan ideologi dalam kehidupan
bermasyarakat dapat dilihat melalui tiga dimensi, yaitu dimensi ideal,
realitas, dan fleksibilitas. 3

1) Dimensi ideal, bahwa kualitas yang terkandung dalam ideologi


mampu mendorong motivasi, menggugah harapan, optimisme akan
terwujudnya cita-cita yang diharapkan. Dimensi ideal ini biasanya
bersifat umum, sehingga kelompok atau negara lain dapat meniru
pada kelompok atau negara tertentu telah berhasil
mewujudkannya.
2) Dimensi realitas, dimensi ini memberikan citra ideal bahwa nilai-
nilai yang berkembang dalam masyarakat adalah nilai yang sama
yang diperjuangkan dalam ideologi tersebut, yakni apa yang
diinginkan masyarakat adalah apa yang sebenarnya akan
diwujudkan dalam perjuangan ideologinya.
3) Dimensi fleksibilitas, dimensi ini menunjukkan pada kemampuan
ideologi dalam mempengaruhi dan menyesuaikan diri dengan
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Sebagaimana disebut

2
Ibid, hlm 129
3
Ibid

4
pada dimensi ideal bahwa terdapat kecenderungan suatu kelompok
atau negara ingin memperluas pengaruhnya dengan melalui
ideologi yang dianutnya. Pada sisi lain ideologi yang diyakini akan
mampu menyesuaikan dengan perubahan masyarakat dengan
senatiasa terus berkembang. (Kaelan, 2013: 567). Terhadap
dimensi fleksibilitas terdapat dua tipologi ideologi, yaitu ideologi
terbuka dan ideologi tertutup.4
a) Ideologi terbuka adalah ideologi yang dalam eksistensinya
memiliki unsur fleksibilitas, yang terbuka menyesuaikan diri
terhadap pengaruh dari perkembangan dan pertumbuhan
masyarakat pendukungnya.
b) Ideologi tertutup adalah ideologi yang eksistensinya
disakralkan oleh masyarakat pendukungnya, sehingga ideologi
tersebut praktis menutup diri terhadap perkembangan dari luar.
Kecenderungan ideologi tertutup adalah melebih-lebihkan
kebenaran dari sudut pandangannya atau kelompok sendiri.
Ideologi tertutup biasanya dikembangkan kelompok
masyarakat atau bangsa yang menganggap budaya dan
keadaaan kelompok masyarakat paling unggul dibanding
dengan kelompok 131 atau bangsa lain. Dalam kehidupan
global, ideologi tertutup akan kehilangan fungsinya sebagai
pembimbing tindakan masyarakat pendukungnya, sehingga
akan menimbulkan reaksi negatif seperti terjadinya distorsi.
(McLellan, 2014: 66-67).
2. Ideologi Dunia Bersumber Atas Tiga pendekatan Filsafat
Beberapa Ideologi Dunia Ideologi sebagai sistem pemikiran dan
perenungan untuk diaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat dalam
bentuk perilaku, kelembagaan, politik, ekonomi, dan bidang-bidang
4
Ibid, hlm 130-131

5
lainnya dalam menghadapi pergaulan hidup bermasyarakat dan bernegara.
Berdasarkan analisis John Thompson (2014) ideologi besar di dunia
sesungguhnya bersumber dari tiga pendekatan filsafat, yakni filsafat
idealisme, filsafat materialisme dan filsafat teologisme. 5
1) Filsafat Idealisme, mengedepankan paham rasionalisme dan
individualisme, yang dalam kehidupan berpolitik melahirkan ideologi
Liberalisme dan Kapitalisme. Ide yang menjadi kekuatan dasar
menempatkan manusia sebagai pusat alam semesta, yakni manusia
sebagai titik pangkal terjadinya perubahan sejarah. Ide ini berhasil
membangun kehidupan kenegaraan sekuler yang memisahkan
kehidupan kenegaraan dengan agama.
2) Filsafat Materialisme, pemikiran ini mengedepankan paham
emosionalisme, berupa perjuangan kelas dengan kekerasan dan
kolektivisme, yang dalam berpolitik telah melahirkan ideologi sosialis-
komunis. Materi (faktor ekonomi) yang menjadi kekuatan dasar
menempatkan kondisi ekonomi sebagai faktor penentu perubahan
sejarah. Pada aliran radikal ideologi ini menjadikan agama
dipertentangkan dengan negara, karena agama dianggap menghambat
kemajuan, dan candu dalam masyarakat. 6
3) Filsafat Teologisme, yang berkembang dalam bentuk filsafat teologi
statis dan dinamis. Filsafat teologis statis, agama yang menempatkan
ajaran Tuhan memegang peran sentral dalam politik kenegaraan, yang
dalam konstruk politik kenegaraan menjadikan pemuka agama sebagai
tokoh yang dikultuskan. Pemuka agama sebagai wakil yang suci.
Agama sebagai sesuatu yang sakral, sekaligus sebuah doktrin yang
tidak perlu didialogkan, dan bersifat mistis. Sebagai contoh peran
agama Kristen abad pertengahan di Eropa, yakni Paus sebagai

5
Ibid, hlm 131
6
Ibid.

6
pemimpin agama (Gereja) mengendalikan kehidupan politik
kenegaraan di Eropa yang akhirnya dikenal sebagai zaman kegelapan
(the dark ages). Pada abad ini gereja statis dan tidak dapat menghargai
peran intelektual, bahkan dapat menentangnya, terhadap kemampuan
berpikir dan berinovasi merupakan bagian anugerah Tuhan yang
dibenarkan dalam ajaran agama7
Filsafat teologis dinamis, adalah agama yang menempatkan
ajaran Tuhan sebagai sumber aspirasi, motivasi, inovasi dan ekspresi,
yang menempatkan ajaran Tuhan sebagai faktor integratif dan
pencerahan. Dalam kehidupan politik kenegaraan, agama dijadikan
sebagai acuan dan pembimbing. Agama dapat didialogkan untuk
terlibat dalam wacana, sekaligus sebagai sumber etika atau sumber
hukum. Dalam ajaran ini kemampuan berpikir dan berinovasi
merupakan bagian anugerah Tuhan harus menjadi pembimbing
sebagai ajaran sentral untuk membangun ideologi itu sendiri. 8
B. Pancasila Sebagai Ideologi Negara
Pancasila sebagai ideologi mengandung pengertian bahwa Pancasila
merupakan ajaran, gagasan, doktrin, teori atau ilmu yang diyakini
kebenarannya dan dijadikan pandangan hidup bangsa Indonesia serta menjadi
pentunjuk dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat, bangsa
dan negara Indonesia. Dengan demikian ideologi Pancasila merupakan ajaran,
doktrin, teori dan/atau ilmu tentang cita-cita (ide) bangsa Indonesia yang
diyakini kebenarannya dan disusun secara sistematis serta diberi petunjuk
dengan pelaksanaan yang jelas. Sebagaimana termaktub dalam Pembukaan
UUD 1945, pancasila memenuhi syarat untuk disebut sebagai sebuah
ideology. Ini karena di dalam Pancasila terdapat ajaran, gagasan dan doktrin
bangsa Indonesia yang dipercayai kebenarannya, tersusun sistematis dan

7
Ibid, hlm 132
8
Ibid.

7
memberikan petunjuk pelaksanaannya. Selain itu pula, Pancasila memiliki
peran sebagai ideology terbuka. Dalam pengertian ini, ideology Pancasil
bersifat flexible dalam menghadapi perkembangan jaman. Ia dapat
berinteraksi dengan berbagai kondisi tanpa harus merubah makna hakiki atau
nilai yang terkandungnya. Sifat keterbukaan inilah yang cukup unik dalam
menghadapi setiap perubahan masyarakat yang dinamis dan juga perubahan
modernitas yang tidak bisa dipungkiri kehadirannya.9
Terhadap realitas ideologi Pancasila tersebut, maka Pancasila sebagai
ideologi negara berfungsi sebagai berikut:
1. Pancasila dapat memberikan legitimasi dan rasionalisasi terhadap perilaku
dan hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat Indonesia,
2. Pancasila merupakan dasar acuan pokok bagi solidaritas sosial dalam
kehidupan individu kelompok atau masyarakat sebagai warga Indonesia,
3. Pancasila sebagai salah satu unsur penting dalam mengikat atau
mempersatukan bangsa Indonesia dan menjaga integritas nasional bangsa
Indonesia. (Latif, 1999 : 34).10
Untuk mewujudkan fungsi maksimal sebagai ideologi negara
Pancasila harus pula mencerminkan tiga dimensi ideal, realitas dan
fleksibilitas (Kaelan, 2013).11

1. Dimensi ideal
Dimensi Ideal adalah Pancasila sebagai suatu ideologi perlu
mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu
sebagai ideologi, maka Pancasila memberikan jaminan dalam mencapai
9
Muhammad Chairul Huda. Meneguhkan Pancasila Sebagai Ideologi Bernegara:
Implemetasi Nilai-Nilai Keseimbangan dalam Upaya Pembangunan Hukum di Indonesia.
Media Neliti. Vol. 1 No. 1 Juni 2018. Hlm 91.
10
Sarbaini & Reja Fahlevi,. Pendidikan Pancasila Pendekatan Berbasis Nilai-Nilai,
(Yogyakarta, Aswaja Pressindo, 2018) hlm 149
11
Ibid

8
tujuan ideal bagi kehidupan manusia pada umumnya dan bangsa Indonesia
khususnya. Pancasila mampu menggugah harapan, memberikan
optimisme dan motivasi kepada bangsa Indonesia.

2. Dimensi realitas
Dimensi realitas adalah Pancasila sebagai ideologi mengandung
makna bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam dirinya
bersumber dari nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakatnya, terutama
pada waktu ideologi tersebut lahir, dan dirasakan sebagai milik bersama,
sehingga benar-benar berakar di dalam masyarakatnya. Pancasila dengan
demikian menunjukan realitas yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat Indonesia sebagai insan individu yang otonom, insan sosial
serta insan ciptaan Tuhan yang menjamin aktivitas kehidupan sosial,
politik, budaya sebagai pencerminan kebebasan pilihan hidup, dan
kebebasan beragama sebagai wujud pengakuan Tuhan Yang Maha Esa.
3. Dimensi fleksibilitas atau dimensi pengembangan.
Pancasila sebagai ideologi memungkinkan bagi berkembangnya
pemikiran-pemikiran baru, namun tanpa menghilangkan hakekat yang
terkandung di dalam dirinya. Pancasila harus memiliki fleksibilitas dan
terbuka bagi interpretasi baru, sehingga tetap aktual mengantisipasi
perkembangan zaman, tanpa harus tenggelam dalam arus perubahan yang
tidak terarah. Penafsiran tunggal dapat mengurangi nilai ideologis
Pancasila. (Kaelan, 2013: 55).12

C. Nilai-Nilai Luhur Pancasila


Bangsa lndonesia adalah bangsa yang lahir dan berkembang dalam
kemajemukan dan perbedaan yang dipersatukan oleh keinginan untuk hidup
bersama dalam suatu negara dan bangsa yang merdeka dan berdaulat. Melalui
12
Ibid, hlm 150.

9
suatu perjuangan yang sangat panjang dan sangat sulit, akan tetapi dengan
menngedepankan nilai-nilai luhur bangsa, dan ditetapkan menjadi Pancasila
sebagai dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum negara lndonesia
ini. Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan ideologi, pandangan dan
falsafah hidup yang harus dijadikan pedoman hidup dari bangsa lndonesia
dalam proses penyelenggaran kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan lndonesia.
Nilai-nilai luhur ini digali dari budaya bangsa dan memiliki nilai dasar
yang diakui secara universal sehingga tidak lekang oleh perjalanan waktu,
yang berarti tidak akan pernah berubah selama negara lndonesia masih berdiri.
Sila pertama mencerminkan kemajemukan bangsa lndonesia, melalui
kehidupan keagamaan yang kuat dengan berlandaskan moral dalam kehidupan
ketatanegaraannya, dan hal ini membuktikan bahwa bangsa Indonesia sejak
dulu adalah bangsa yang religius, sehingga dalam bernegara , bangsa
lndonesia mempunyai pedoman hidup yang berke-Tuhan-an.
Sila kedua merupakan bentuk kesadaran dari bangsa Indonesia yang
senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sesuai
budaya bangsa Indonesia yang majemuk dan beragam.
Sila ketiga mencerminkan adanya kesadaran akan kemajemukan dan
keberagaman bangsa Indonesia, yang tetap dipelihara dan dijaga
keberadaannya dalam satu wadah yang satu, sehingga persatuan dalam
perbedaan adalah hal yang sangat mendukung.
Sila keempat merupakan perwujuddan kesadaran bangsa Indonesaia
untuk selalu mengutamakan kegotongroyongan dan musyawar di dalam
mengambil sutau keputusan, sehingga keragaman tetap dapat dipertahankan
dalam satu kesatuan.

10
Sila kelima merupakan suatu cita-cita bangsa Indonesia untuk selalu
mengutamakan prinsip-prinsip keadilan dalam mewujudkan suatu masyarakat
yang adil dan makmur.13

D. Problematika Implementasi Pancasila


Pancasila merupakan dasar negara dan ideologi negara Indonesia. Pancasila
merupakan pedoman warga Indonesia dalam menjalankan hidup
kemasyarakatannya. Sebagai warga negara Indonesia, sudah seharusnya kita
mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Namun, ternyata
pengamalan atau penerapan nilai Pancasila sudah dilakukan sejak awal
kemerdekaan dan dari masa ke masa. Penerapan Pancasila mengalami
dinamika dari masa ke masa.
Salah satu faktor penyebab dinamika penerapan pancasila pada tiap-tiap
periode adalah adanya perubahan kebijakan pemerintahan. 

1. Masa Awal Kemerdekaan


Mengutip situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud),
penerapan Pancasila pada masa awal kemerdekaan berlangsung dari 1945
hingga 1959. Sejak saat itu, Pancasila sudah dijadikan falsafah hidup
bangsa dan dasar negara Indonesia. Maka pada saat itu pula, warga
Indonesia sudah bertekad untuk melepaskan diri dari segala bentuk
penjajahan dan menjadi bangsa yang mandiri. Artinya warga Indonesia
ingin menentukan nasib bangsanya sendiri tanpa adanya campur tangan
dari penjajah dan terlepas dari bentuk ancaman apapun, baik dari dalam
maupun luar negeri. Dalam penerapan Pancasila di masa awal
kemerdekaan ditemui banyak permasalahan, diantaranya: Pemberontakan
PKI (Partai Komunis Indonesia) di Madiun, pada 18 September 1948.

Nani Suryawati & Hufron,dkk. Prosiding Lokakarya Empat Pilar Kehidupan Berbangsa &
13

Bernegara: GRAHA WIDYA (Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya), 2013. Hlm 200-201

11
Tujuan utamanya untuk mendirikan negara Soviet dengan ideologi
komunis. Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia.
Pemberontakan ini bertujuan untuk menggantikan Pancasila dengan
syariat Islam sebagai dasar negaranya. Pemberontakan Republik Maluku
Selatan (RMS). Pemberontakan ini bertujuan untuk mendirikan negara
sendiri.
Permerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) atau Perjuangan
Rakyat Semesta (Permesta) sebagai bentuk gerakan protes ke pemerintah
pusat.
2. Masa Orde Lama
Penerapan Pancasila pada masa orde lama, terjadi pada 1959 hingga 1966.
Periode ini dikenal dengan demokrasi terpimpin. Selain itu, pada masa ini,
bangsa Indonesia masih mengalami peralihan dari bangsa yang terjajah
menjadi bangsa yang sepenuhnya merdeka. Maka dari itu, dalam
penerapannya masih diperlukan proses adaptasi. Sebagian masyarakat ada
yang merasa setuju dan sebagian lagi merasa keberatan. Namun, dalam
penerapannya ditemui beberapa tindakan penyimpangan terhadap
Pancasila. Salah satunya ialah pemberontakan PKI yang dilakukan oleh
D.N. Aidit pada 30 September 1965.
Pemberontakan ini bertujuan untuk mengubah ideologi menjadi komunis.
3. Masa Orde Baru
Masa orde baru dimulai saat Soeharto resmi ditetapkan menjadi presiden.
Dalam masa pemerintahannya, Soeharto berusaha untuk memulihkan
kembali beberapa kekacauan yang sebelumnya pernah terjadi di Indonesia.
Upaya pemulihan kembali ini ditandai dengan dibuatnya Repelita atau
Rencana Pembangunan Lima Tahun, diadakannya PEMILU, pendidikan
pelaksanaan pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila, serta
pemerataan pembangunan.

12
4. Masa Reformasi
Masa reformasi dimulai saat Soeharto mundur dari jabatannya dan
digantikan oleh B.J. Habibie. Dalam pemerintahannya, B.J. Habibie
berusaha untuk memperbaiki sistem ekonomi, mereformasi bidang politik
dan hukum, mengeluarkan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum, dan lain-lain.
Mulai pada masa reformasi, Penerapan Pancasila sebagai ideologi negara
terus digaungkan hingga saat ini. Tidak hanya itu, upaya penggantian
ideologi Pancasila dengan ideologi lainnya juga berkurang.14

Permasalahan kebangsaan yang terjadi saat ini, terutama ketidak


pedulian terhadap nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, antara lain : tidak adanya saling menghormati dalam
keanekaragam-an pada bangsa Indonesia, padahal sesungguhnya secara
normative, Pancasila dengan nilai-nilai luhurnya tetap kokoh sebagai
pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai cita bangsa
dalam semangat persatuan dan kesatuan bangsa dalam kebhinnekaan. Seluruh
unsur dalam bangsa harus proaktif untuk menciptakan, membina,
mengembangkan dan memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa yang
senantiasa terancam oleh bibit-bibit perpecahan. Primoridalisme, SARA,
ketidakadilan, korupsi dan kesenjangan sosial ekonomi secara bertahap harus
segera diatasi dan dihilangkan karena mengandung unsur perpecahan terhadap
cita bnagsa dalam persatuan dan kesatuan bangsa, oleh karena itu solidaritas
dan kohesivitas sistem politik Indonesia akan sangat membantu keberhasilan
pemantapan nilai-nilai luhur Pancasila melalui pemantapan nilai-nilai empat
pilar Kehidupan Berbangsa dengan menghidupkan kembali sikap dan budaya
14
Vanya Karunia Mulia Putri “Penerpan Pancasila dari Masa ke Masa”
https://www.kompas.com/skola/read/2021/04/14/152113969/penerapan-pancasila-dari-masa-
ke-masa, (2021) Diakses pada 25 Oktober. 2021. Pukul 23.30.

13
gotong royong, musyawarah untuk mencapai permufakatan sebagai ciri khas
bangsa lndonesia.15

E. Pendidikan dan Kritik Ideologi


Asumsi secara umum mengenai makna dari pendidikan sebagai sarana
untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan tidaklah dapat dipersalahkan
sepenuhnya. Konsepsi mengenai semua itu sudah merupakan ketentuan umum
yang telah kita sepakati bersama. Lain halnya dengan sebagian orang tertentu
yang mempunyai asumsi sendiri tentang makna terdalam dari sebuah
pendidikan, dimana pendidikan lebih diartikan sebagai ‘instrument’ untuk
mendapatkan ilmu dan pengetahuan yang sesungguhnya. Kalaupun ada
pendapat bahwa pendidikan hanya didapat dari lingkungan formalis misalnya,
sekolah, perguruan tinggi, pesantren, dan sebagainya dengan asumsi bahwa
hanya dari situlah tempat ilmu dan pengetahuan diperoleh (paedagogis), dan
menutup kemungkinan lain tanpa melihat aspek diluar itu semua, dimana
pendidikan yang diajarkan dengan model pendidikan non formal (andragogis).
Terlepas dari pembedaan cara memperoleh ilmu dan pengetahuan
yang didapat, ada baiknya kita sendiri secara sadar melakukan kritik atas
‘muatan’ pendidikan itu sendiri dari konsepsi selama ini. Pendidikan dianggap
sakral, penuh kebajikan tersebut ternyata tidak terlepas dari berbagai
kepentingan yang pada dasarnya menindas (Freire, 1973: 30). Kritik tersebut
justru semakin memperkaya pemaknaan pendidikan itu sendiri, sehingga
diharapkan nantinya menghasilkan pemahaman-pemahaman baru yang lebih
tepat mengenai pendidikan dan permasalahannya.16

15
Nani Suryawati & Hufron,dkk. Prosiding Lokakarya Empat Pilar Kehidupan Berbangsa &
Bernegara: GRAHA WIDYA (Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya), 2013. Hlm 202.
16
I Ketut Wisarja & I Ketut Sudarsana “Refleksi Kritis Ideologi Pendidikan Konservatisme
dan Libralisme Menuju Paradigma Baru Pendidikan” Journal of Education Research and
Evaluation. Vol. 1 (4) pp. 283-291. 2017. Hlm, 284.

14
Selama ini ‘konsumen’ pendidikan tanpa sadar terjebak dan mengikuti
alur yang tidak jauh dari persoalan kapitalisme, kalaupun ada yang
menerjemahkan bahwa pendidikan itu bersifat netral dari unsur-unsur
kapitalisme gaya baru, tentu saja pendapat demikian sesungguhnya tidak
memahami ‘muatan’ serta ‘ideologi pendidikan’ apa yang sudah terdistribusi
ke dalam ilmu dan pengetahuan yang telah terkonsumsi.
Dalam terminilogi O’neil (2002: XXXI) paradigma pendidikan
dewasa ini terbagi dalam tiga bagian. Pertama; Paradigma Konservatif,
dimana stratifikasi sosial dalam masyarakat merupakan suatu hukum yang
alami, sebagai sebuah takdir ilahi. Dasar keyakinan yang dibentuk adalah
bahwa masyarakat pada dasarnya tidak merencanakan perubahan atau
mempengaruhi perubahan sosial. Kedua; Paradigma Liberal, dimana golongan
ini beranggapan tidak ada keterkaitan antara persoalan politik dengan
ekonomi masyarakat. Kedua hal tersebut merupakan salah satu dari sekian
petunjuk yang dapat dikaji keberadaannya dalam memahami dan menentukan
arah pencarian eksistensi pendidikan di Indonesia. 17
Indonesia benar-benar di persimpangan dua ideologi pendidikan besar.
Konservatisme di satu sisi, menghasilkan watak dan etos yang lebih terfokus
pada pengaplikasian nilai-nilai kelompoknya. Serta liberalisme di sisi lain
yang mengembangkan peranan individu yang mampu berderet ukur dengan
perkembangan mutlak dari keberadaan sistem besar dunia yang terus bergerak
fluktuatif. Pilihan yang menuntut kita berpikir dalam kerangka relatif dan
menjauhi konsep spekulatif asal jadi yang justru memudarkan proses
pencarian eksistensi pendidikan. Lebih penting perbendaharaan kosakata
ideologi pendidikan Indonesia memainkan kontinuitas secara historis sehingga
membentuk karakter pendidikan yang aktif serta dinamis. Memperkaya

17
Ibid, hlm 285

15
pemahaman terhadap kemajuan yang telah ada dalam dimensi lain dari
rangkaian struktur pendidikan.
Jadi unsur penting yang patut diduga akan menyebabkan dan
anggaplah sebuah praduga samar bahwa akan ada pluralisme yang lebih
bernuansa obyektif-logis yang terinspirasi dari sinkretisme ideologi
pendidikan yang telah ada ditambah muatan baru, kritisisme.
1. Memaknai Paradigma Konservatif
1) Fundamentalisme Pendidikan
Unsur utama dari penerapan model pendidikan seperti ini lebih
melihat ke aspek konservatisme politik yang pada dasarnya anti-
intelektualisme, dalam arti; mereka ingin meminimalkan
pertimbangan-pertimbangan filosofis (intelektual) serta cenderung
untuk mendasarkan diri mereka pada penerimaan yang relatif tanpa
kritik terhadap kebenaran yang diwahyukan atau ketaatan atas
konsensus sosial yang sudah mapan. Dalam paradigma fundamentalis
sendiri terdapat dua sudut pandang yang berbeda penerapan atas
pendidikannya.
Pertama, fundamentalis pendidikan religius, dimana keteguhan
hati (komitmen) sebagai ukuran ketaatan didasarkan pada Al-kitab
(baca kitab Suci). Kedua, fundamentalis pendidikan sekuler, berciri
pengembangan komitmen secara ‘akal sehat’ dengan hasil generalisasi
melalui kesepakatan umum dan diterima. Paradigma fundamentalis
sendiri pada dasarnya lebih kearah pencapaian bentuk pendidikan yang
bersifat quo-vadis dan lebih kearah harmonisasi dengan apa yang
sudah ada, tanpa ada tahapan pengkritisan dari segenap pra-kondisi
maupun pasca-kondisi pengetahuan dan kesadaran yang sudah ada.
2) Intelektualisme Pendidikan
Ciri utama dari tipe pendidikan seperti ini lebih kearah sebuah bentuk
konservatif politik yang didasarkan pada sistem pemikiran filosofis

16
yang lebih menempatkan intelektual individu dalam ‘posisinya’
mengalami cita-cita intelektual. Permasalahan pokok yang dijadikan
acuan dalam konsep ini pada dasarnya tidaklah terlalu jauh dari
pandangan ‘pemapanan’ akan praktik-praktik pendidikan, pendek kata
intelektualisme pendidikanpun tak terlepas dari subjek
kepentingannya. Dua variasi dasar yang mewarnai intelektualisme
pendidikan, yakni intelektualisme pendidikan teologis, yang lebih
berorientasi pada karya teolog-teolog ternama. Sedangkan bentuk
kedua yang bersifat sekuler lebih pada penekanan sekularitas dari hasil
pemikirannya, utamanya persoalan tentang pendidikan itu sendiri. Satu
hal yang perlu ditambahkan disini adalah penekanan paradigma
intelektual ini masih terbelenggu seputar muatan yang tanpa sadar
terpola dalam arus pemikiran seorang intelektualis itu sendiri.
3) Konservatisme Pendidikan
Konservatisme pada dasarnya adalah posisi mendukung ketaatan
terhadap institusi atau lembaga-lembaga yang telah teruji oleh zaman,
dan yang terpenting telah disepakati bersama dengan segala ketentuan
mendasar yang terus ditaati. Dalam dunia pendidikan agenda utama
seorang konservatif adalah melestarikan pola sosial dan tradisi yang
sudah ada. Pembagian ke dalam dua definitif, baik secara teologis
maupun sekuler lebih pada penjelasan yang menitikberatkan pada
aspek bagaimana cara seorang konservatif mempertahankan sebuah
tatanan yang sudah ada, terlepas tatanan tersebut bernilai rancu atau
bahkan tidak tepat sama sekali. Konservatisme lebih
berkecenderungan menempatkan pada posisi yang aman, yang
meskipun nantinya secara sadar atau tidak sadar justru kondisi yang
sedang dijalaninya mengandung berbagai macam kejanggalan dan
kerusakan kesadaran yang tidak dapat berkembang sama sekali.
Bagaimana bisa kita mengasumsikan bahwa ritualisme kehidupan

17
dengan berbagai macam atribut realitas yang dihasilkan dengan hanya
dihadapi melalui konsep yang semata-mata lebih menitik beratkan
pada aspek kemapanan yang sudah ada.

2. Memaknai Paradigma Liberal


1) Liberalisme Pendidikan
Seorang liberal berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan adalah
untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan
cara mendidik secara efektif berdasarkan realitas sosial yang ada.
Intensitas liberalisme pendidikan ini terdiri dari dua bagian pokok
yang terbagi dalam liberalisme metodis (mempolakan) dan liberalisme
yang berupa direktif (mengarahkan). Seorang liberalis sendiri pada
dasarnya lebih menempatkan dirinya pada posisi ‘menjaga’ apa yang
sudah ada, tanpa ada tahapan pemikiran dan kritisisasi secara bebas
untuk keluar dalam lintasan tersebut. Kalaupun ‘kebebasan’ yang
dimaksud hanya sebatas ‘perbaikan’ dari tatanan yang ada, bukannya
secara berani menampilkan tatanan baru yang lebih didasari pada
pikiran dan pemikiran bebas yang sesungguhnya. Seorang liberalis
tidak mampu menjadikan dirinya penentu tatanan, sebab tingkat
kesadaran yang dicapai baru sampai pada tahap kebebasan berekspresi
bukannya kebebasan untuk bereksperimen. Terlepas dari pernyataan
bahwa liberalisme pendidikan pada hakikatnya masih bagian dari
‘polarisasi’ muatan tatanan (pengetahuan) gaya baru tanpa
menghilangkan esensi tujuan utamanya, yakni kooptasi kesadaran
lewat ilmu dan pengetahuan sebagai hasil pembelajaran dari apa yang
dinamakan pendidikan.
2) Liberasionisme Pendidikan
Liberasionisme bersudut pandang pada pelurusan terhadap sistem dan
tatanan politik yang ada dengan segala konsekuensinya, jenis

18
paradigma ini tentu saja sebagai bagian dari ekspresi kebebasan
individu semaksimal mungkin. Bagi seorang liberasionisme, sekolah
haruslah bersifat objektif (rasional ilmiah), namun tidak sentral.
Dimana fungsi sekolah bukan hanya sebagai tempat cara berpikir
efektif (rasional-ilmiah) melainkan juga mengenal kebijakan tertinggi
atas sebuah program sosial konstruktif, dengan kata lain
liberasionisme dilandasi oleh kebenaran secara terbuka. Variasi dalam
paradigma liberasionisme itu sendiri terbagi dalam dua bagian, yaitu
liberasionisme pembaharuan yang lebih konservatif sifatnya.
Sedangkan pada kondisi yang kedua, yakni liberasionisme
revolusioner yang lebih condong ke arah radikalisme secara kritis atas
sistem tatanan politik yang ada. Pada konteks liberasionisme yang
terakhir lebih pada kemerdekaan individu menentukan kebijakan atas
tatanan yang sudah tersistem yang semata-mata dianggap tidak
memenuhi hakikat kebaikan yang disetujui bersama. Paradigma yang
terakhir ini sudah mulai menghampiri nilai kesadaran yang dulunya
terbelenggu oleh labirin-labirin ‘struktur’ dan’ sistem’ pendidikan
yang ada, yang menarik adalah ketika tahapan ini mampu menembus
batas kesadaran yang selama ini membelenggu nilai kesadaran
‘pelaku’ pengkonsumsi tatanan yang berbentuk ilmu dan pengetahuan
melalui pendidikan. Dengan demikian tahapan selanjutnya lebih
radikal tanpa mengenal pemakaian tatanan ilmu dan pengetahuan yang
dianggap tidak mempunyai daya tawar (bargaining) dalam
menghadapi bentuk realitas yang semakin kompleks, yang kemudian
terinspirasi guna membentuk sebuah komunitas yang tercerahkan.
Kondisi terakhir ini nantinya apa yang dinamakan anarkisme
pendidikan.
3) Anarkisme Pendidikan

19
Hal yang paling mendasar yang ingin dicapai oleh seorang anarkisme
pendidikan adalah menekankan minimalisasi dan atau menghapuskan
pembatasan kelembagaan-kelembagaan terhadap perilaku personal,
sejauh mana kita mampu mendeinstitusionalkan masyarakat—
membuat masyarakat bebas lembaga dengan berbagai pertimbangan
yang telah dilembagakan sendiri. Dimana keyakinan akan perombakan
humanistik berskala besar sangat dimungkinkan disana dengan cara
penghapusan institusi atau lembaga resmi yang dinilai tidak relevan,
bahkan cenderung merugikan. Variasi dari anarkisme pendidikan ini
terbagi dalam dua pembedaan pokok, yaitu ; Pertama anarkisme taktis,
dimana penekanan akan kepentingan sosial masyarakat lebih
didahulukan, dalam artian ‘sentuhan’ secara langsung atas realitas
sosial lebih dinilai bernilai guna dari pada penggunaan administratif
oleh institusi atau lembaga yang selama ini justru dinilai tidak
menyentuh dan bernilai guna. Kedua anarkisme utopis, yang
memimpikan masyarakat ‘permanen’ terbebaskan dari institusi
kelembagaan yang menyesatkan. Apa yang menjadi dasar dari
paradigma pendidikan yang terakhir ini pada hakikatnya memberikan
serta memperkenalkan ruang baru bagi pembentukan kesadaran
individu dalam menghadapi permasalahan kehidupan. Selama ini
institusi atau lembaga lewat pendidikan dengan menelorkan apa yang
kemudian dinamakan ilmu dan pengetahuan tidak mampu
mengkondisikan dirinya pada posisi sebagai subjek realitas, justru
pendidikan menjadikan individu tersebut terikat menjadi tawanan
(objek) dari sebuah bentuk kesadaran. Individu tidak diberi ruang
untuk memilih dan cenderung secara tidak sadar masuk dalam
lingkaran polarisasi kesadaran tingkat tinggi. Anarkisme pendidikan
lebih pada sebuah bentuk konsepsi pemikiran bagaimana cara
merasionalisasikan pendidikan, meskipun paradigma ini cenderung

20
menolak secara tegas dari tatanan yang sudah ada. Dialektisasi dari
paradigma-paradigma sebelumnya yang dinilai belum mampu
mewakili seluruh kepentingan dan bahkan merepresentasikan sebuah
‘hegemony ideology’ diluar batas kewenangan yang ada, dengan
mempolakan setiap bentuk kesadaran yang ada.18

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

18
Ibid 285-286

21
Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup sekaligus juga
merupakan ideologi Negara. Pancasila bukan hanya suatu yang bersifat statis
melandasi berdirinya negara Indonesia akan tetapi pancasila membawakan
gambaran mengenai wujud masyarakat tertentu yang diinginkan serta prinsip-
prinsip dasar yang harus diperjuangkan untuk mewujudkannya. Pancasila
membawakan nilai-nilai tertentu yang digali dari realitas ssosial dan budaya
bangsa Indonesia. Ideologi membawakan keistimewahan tertentu yang
membedakannya dengan ideologi lainnya. Keistimewahan itu adalah
keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, yang membawa konsekuensi
keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Keberadaan ideologi Pancasila dilihat dari dimensi realitas
membawakan nilai-nilai yang mencerminkan realitas sosiobudaya bangsa
Indonesia, dari segi idealitas dimana dapat memberikan keyakian akan
terwujudnya masyarakat yang dicitacitakan, dan dari dimensi Fleksibilitas,
nilai-nilai yang ada didalamnya dapat dijabarkan secara konstektual agar
senantiasa dapat menyesuaikan dengan dinamika dan perkembangan
masyarakat.

B. Saran
Sebagai rakyat Indonesia kita sebaiknya selalu menjaga ideologi
negara kita yaitu Pancasila karena pancasila merupakan gagasan dasar yang
berkenaan dengan kehidupan negara.

DAFTAR PUSTAKA

Huda Muhammad Chairul. 2018. “Meneguhkan Pancasila Sebagai Ideologi


Bernegara: Implemetasi Nilai-Nilai Keseimbangan dalam Upaya
Pembangunan Hukum di Indonesia”. Media Neliti. Vol. 1 No. 1. Hlm 91.

22
Putri Vanya Karunia Mulia. 2021. “Penerpan Pancasila dari Masa ke Masa”
https://www.kompas.com/skola/read/2021/04/14/152113969/penerapan-
pancasila-dari-masa-ke-masa, Diakses pada 25 Oktober. 2021. Pukul 23.30.

Sarbaini & Fahlevi Reja, 2018. “Pendidikan Pancasila Pendekatan Berbasis Nilai-
Nilai”. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.

Suryawati Nani & Hufron,dkk. 2013 “Prosiding Lokakarya Empat Pilar Kehidupan
Berbangsa & Bernegara”: GRAHA WIDYA (Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya). Hlm 200-201.
Wisarja I Ketut & Sudarsana I Ketut. 2017. “Refleksi Kritis Ideologi Pendidikan
Konservatisme dan Libralisme Menuju Paradigma Baru Pendidikan” Journal
of Education Research and Evaluation. Vol. 1 (4) pp. 283-291. Hlm, 284-286.

23

Anda mungkin juga menyukai