Anda di halaman 1dari 10

GENERASI ALPHA

Hari ini saya akan berfokus tentang memahami


perilaku anak jadi kita akan lebih detail
memahami terutama perilaku-perilaku yang
sering memicu emosi dan hari-hari ini. Ketika
semua kegiatan anak masih berada di rumah
apalagi kita sudah mendengar kemungkinan
besar selama daerah kita adalah redzone maka
persekolahan atau pendidikan belajar masih akan
dilakukan di rumah. Jadi kita masih akan
berinteraksi dengan anak-anak kita mungkin satu
semester kedepan nah semakin sering
berinteraksi kemungkinan besar untuk miss
behaviornya anak dan memancing emosi kita nih
juga berpeluang terjadi. Oleh sebab itu, saya akan
mengantarkan sebelum kita berdiskusi dan
bertanya jawab saya menawarkan sebuah
perspektif ya bapak ibu, perspektif tentang
bagaimana kita bisa melihat prilaku anak kita dari
cara yang berbeda supaya tidak hanya salah terus
gagal jadi anak tuh enggak hanya kita anggap
salah terus enggak hanya kita anggap berulah
trus kitanya juga emosi melulu gitu ya.
Oke saya akan sedikit dua slide ini menyambung
dari yang pertemuan pertama. Jadi bapak ibu
saudara jelaskan bahwa kita itu perlu
mempersiapkan anak-anak kita menjadi orang
kreatif menjadi pencipta dan menjadi navigator
dunia maya. Navigator dunia maya itu
membutuhkan kemampuan berpikir kritis, jadi
dia masih bisa membedakan yang sekarang lagi
populer nih apakah akan related dengan tujuan
yang diinginkan capai karena dunia maya akan
menyediakan jutaan milyaran informasi jadi
sudah menjadi banjir informasi. Nah, kalau
anak-anak kita tidak punya tujuan mau ngapain
maka mereka akan mudah sekali terbawa
kemana-mana itu namanya bukan navigator itu
akhirnya dia hanya tenggelam dan tersesat di
dunia maya. Oleh sebab itu bisa mulai terbayang
ya Ibu bagaimana kita mendampingi anak-anak
kita supaya menjadi pribadi yang mandiri, tahu
apa yang dimau lalu bisa mengelola. Kalau saya
mau menuju ke arah A saya perlu apa. Nah, dia
bisa gunakan internet untuk mencapai tujuan itu
dia bisa menggunakan dunia maya untuk itu.
Oke, ini sekilas saya ingatkan ini beda dengan
zaman dimana kita dibesarkan bapak ibu. Kita
itu dulu masih bisa menjadi orang dewasa yang
mengikuti jejak orang sebelumnya jadi kita
mengikuti misalnya kita bekerja di satu posisi
tertentu, Kita tinggal pelajari aja tuh posisi itu
minta kita melakukan apa, kita ikuti saja kita
kayak copi aja copas aja. Nah, anak-anak kita
nanti nggak bisa begitu bapak ibu karena
mereka akan menghadapi situasi masalah yang
berbeda mereka harus menjadi problem solver
mereka harus kritis.
Oleh sebab itu seperti yang kemarin saya
sempat singgung pola asuh pendampingan
kita tidak lagi bisa satu arah otoriter, tidak juga
bisa memanjakan saja semua maunya anak diikuti
waduh hilang sudah anak kita nanti atau
mengabaikan sudah pasti tidak. Nah yang saya
sarankan adalah kita memberlakukan atau kita
memfasilitasi anak kita balanced antara respon
emosi. Jadi kita berusaha memahami berusaha
berempati pada situasi anak tapi kita tetap
menetapkan batasan. Materi hari ini akan lebih
banyak memberi sudut pandang Bagaimana
supaya bapak ibu bisa berempati, bisa memberi
respon emosi yang pas dengan perilaku anak
yang seakan-akan melanggar tapi sebetulnya
kalau kita mencoba pahami dibalik perilaku
melanggar itu ada sebuah pesan emosi yang dia
berusaha sampaikan. Hal ini yang saya cermati
sering terjadi miskomunikasi antara orangtua
dan anak itu di poin ini. Oke kita lihat.
Mulai dulu paparan saya dengan mengajak
bapak ibu untuk memahami bahwa anak yang
kita besarkan anak yang kita asuh itu tidak hanya
fisik saja. Kita mungkin tidak perlu diajari kalau
soal memberikan makanan sehat, rumah yang
baik, pakaian yang baik kita sudah mampu
melakukan itu. Tetapi Ketika kita go deeper ketika
kita bersyukur ya hari-hari ini neuro science
membantu kita sekali. Kita jadi mengerti otak
manusia yang merupakan pusat kendali dari
perilaku-perilaku manusia itu sebetulnya
beroperasinya seperti apa. Kita belum mengerti
100% tapi kita sudah mulai dapat clue gitu ya
petunjuk-petunjuk bagaimana otak seorang anak
itu berkembang. Nah, saya masuk dulu dari situ
sebelum kita memahami perilaku. Kenapa
karena pusat kendali perilaku ada diotak. Nah,
bapak-ibu anak-anak kita itu punya tiga seakan-
akan ada tiga bagian otak yang pertama kalau
ijinkan saya untuk ini saya keluarkan dulu oke.
Reptilian Brain, otak reptil jadi memang ini sama
dengan otaknya pada reptil gitu ya. Nah,
Reptilian brain itu mengatur bagian hal yang
terkait dengan perilaku bertahan hidup bertahan
hidup Survival rasa lapar, mencerna makanan,
bagaimana bernafas, bagaimana sirkulasi di
dalam tubuh oksigen, bagaimana suhu tubuh,
bagaimana bergerak postur keseimbangan dan
juga reaksi kalau menghadapi bahaya. Nah itu
ada di bagian otak reptil disini di bagian bawah.
bapak ibu jadi kalau kalau di aslinya tuh
ditengkuk sini. Itu sebabnya kalau bapak ibu
pernah misalnya kalau naik kendaraan bermotor
kenapa sih harus pakai helm gitu ya, kenapa ini
bahaya kalau sampai terapat terhantam sesuatu
karena bagian bernafas disitu bagian apa fisik
bersirkulasi jdi itu bahaya sekali makanya harus
dilindungi. Yang kedua adalah otak emosi ,nah
otak emosi letaknya ada di tengah sini bapak
ibu di bagian limbik ini bagian otak emosi diatur
lah atau dikendalikan lah reaksi-reaksi emosi
manusia. Sejak masih kanak-kanak masih bayi itu
sudah mulai aktif jadi sejak dia lahir kan kalau
bapak ibu lihat bayi misalnya lahir tidak nyaman
menangis jadi rasa emosi itu sudah born ada ya
.Jadi reaksi-reaksi emosi dikendalikan oleh otak
emosi di sini ada emosi takut, murka cemas
karena berpisah, pernah lihat kalau anak dibawa
sekolah ke TK lalu waduh nangis nggak mau
nggak mau pisah dari mamanya karena baru
pertama kali gitu ya , ingin berteman
kemampuan bermain lalu juga keinginan untuk
kalau ada lingkungan baru dia ingin mengeksplor
itu ya .Hasrat kalau nangis gak besar hawa nafsu
ada disitu ketika sudah puber .Ini semua di
bagian otak emosi. Nah ini yang seru bapak ibu
otak rasional, otak bagian depan disini ya otak
bagian depan ini sel-sel syarafnya akan connect
satu sama lain dan menjadi matang berproses itu
tidak sebentar tapi sepanjang masa kanak-kanak
sampai dia usia sekitar 20 ada referensi yang
mengatakan sampai 25 bahkan. Itu baru terjadi
pematangan otak rasional yang komplit, apa sih
gunanya otak rasional otak rasional bicara soal
berpikir logis memecahkan masalah imajinasi. Dia
bisa mengetahui self awareness jadinya bisa tahu
apa sih yang saya rasakan sekarang ini kenapa
kalau saya bad mood kok saya misalnya mukanya
jadi nyebelin gitu ya. Juga bicara tentang
kebaikan, bicara empati, care for others. Intinya
kalau kalau bapak ibu lihat kualitas-kualitas
yang membuat manusia layak disebut manusia
ya jadi karakter, akal budi, itu semua di bagian
otak rasional. Memang nanti kalau sudah dewasa
bapak ibu diharapkan manusia tuh begini, bukan
dikendalikan semata-mata oleh emosi tapi
emosinya bisa diregulasi dikendalikan oleh
rasionya. Jadi pada akhirnya antara otak rasional
dan otak emosional ini akan bekerja bersama-
sama yang akan mengendalikan perilaku-perilaku
yang tampil.
Nah kalau tadi saya beritahu kepada anda fakta
bahwa Otak rasional ini ya gambarnya di
semakin warna biru ini artinya koneksi antar sel
sarafnya semakin padat, semakin banyak. Nah
Bapak Ibu coba lihat ini usia 5 tahun masih
banyak yang kuning ya yang matang duluan otak
bagian belakang gitu ya, yang otak bagian
rasional ngasih sedikit bawana birunya. Nanti
makin lama yang tengah dulu yang lebih banyak
ya nanti makin lama otak rasional baru akan
makin membiru makin banyak connection
connectionnya kalau di brain image keliatan
membiru. Baru di usia 20-an jadi area eksekutif
namanya saja area eksekutif kalau bapak itu
diperusahaan tuh ya eksekutif itu kan orang-
orang yang memimpin yang mengeksekusi. Nah
sama ,kira-kira kalau di dalam otak anak
pematangan otak eksekutif itu nanti baru sampai
usia 20-25. Ready poin ini Bapak Ibu bisakah kita
mulai mengerti pelan-pelan mulai mengerti ya
kalau anak berulah terus kadang-kadang kita itu
sebagai orangtua bilang gini kok kamu nggak
pakai mikir gitu misalnya. Misalnya anak
melakukan sesuatu jalan enggak lihat misalnya
gitu nabrak, atau memilih misalnya misalnya
sekarang situasi lagi pandemi ya kita udah
ingatkan nak di luar sana tuh ada virus covid
yang bisa nempel dimana-mana, makanya kamu
kalau main tuh jangan pegang ini pegang itu
pegang ini gitu ya. Tapi kalau pernah lihat anak-
anak, apalagi kalau masuk usia dini atau SD kecil
begitu kelas 1 kelas 2. Begitu keluar lihat sesuatu
yang menarik apa misalnya ada ada tanaman
atau ada binatang atau ada benda yang menarik
tangan ini akan langsung bergerak untuk
memegang ingin merasakan. Artinya, keinginan
hasrat tadikan di otak emosi muncul itu enggak
diproses dulu di otak rasional yang tadi sudah
dimasukin memori oleh orangtua nak ada virus
nak gitu ya langsung aja megang. Ketemu temen
nih langsung aja meluk misalnya karena udah
kangen lama dari emosi cross langsung ke
perilaku makanya kita seorang dewasa suka
bilang kok gak pake dipikir sih, kok enggak pakai
logika sih gitu ya. Padahal kita sekarang
diberitahu, memang usia anak otak logika otak
rasionalnya baru akan matang di usia 20-an. Nah,
semoga sampai di point ini Bapak Ibu bisa mulai
memahami mulai bisa lebih toleran bahwa
memang usia anak masih dalam usia
pematangan, jadi kalau kita orang tua
mengharap mereka berperilaku seperti orang
dewasa yang sudah bisa menimbang, sudah bisa
memutuskan, tidak membuat kesalahan yang
bodoh, rasa-rasanya kitalah yang ekspektasinya
enggak pas itu ya makanya sering saya bilang
kalau anak kita suruh memahami orang tua itu
seakan-akan kita meminta mereka melakukan
sesuatu yang mereka belum pernah nyampe ke
sana. Kita Bapak Ibu orang tua kita pernah jadi
kanak-kanak. Mestinya kita yang bisa turun gitu
mencoba untuk memahami mereka ya Oke. Ini
pengertian dasarnya dulu Bapak Ibu jadi secara
neuro science kita sudah diberitahu bahwa anak-
anak kita memang sedang dalam masa
pematangan otak rasional jadi hendaknya kita
cukup realistis di dalam memberikan harapan
atau ekspektasi terutama terkait dengan
kematangan berpikir mengambil keputusan
bernalar. Jadi boleh dikata ya Bapak Ibu kalau
anak-anak kita bertindak melakuka sesuatu
berbasis pada emosi digerakkan lebih banyak
oleh emosi maka itu memang masih masanya.
Justru kehadiran kita sebagai guru sebagai orang
tua kitalah yang sedang punya tanggung jawab
untuk memberikan masukan-masukan,
pertimbangan-pertimbangan, cara menalar cara
berpikir kepada mereka. Sehingga mereka punya
bahan yang diolah di otak rasionalnya
Nah, dengan situasi kenormalan baru ini boleh
saya katakan bahwa rumah dan keluarga,
sekarang perannya menjadi besar sekali lebih
besar dibandingkan dengan sebelum pandemi.
Karena kalau sebelum pandemi ketika anak
dititipkan ke sekolah orangtua pergi bekerja ada
sedikit break ya anda bisa break sebentar
sekolah yang kemudian banyak mengambil
tanggungjawab . Tapi dengan sekarang semua
aktivitas anak kebanyakan di rumah maka rumah
dan keluarga menjadi pusat kehidupan. Saya
membayangkan dengan situasi seperti itu maka
kemungkinan kemungkinan akan terjadi anak
berperilaku salah, orang tua terpancing emosi ini
menjadi lebih banyak. Ketika ini menjadi lebih
banyak otomatis kita sebagai orangtua butuh
cara pikir, perspektif, pola pandang pola pikir
yang positif terhadap anak kita supaya kita nggak
isinya nanti terus marah-marah, kita omel omelin
anak terus , anak semakin tidak betah di rumah
tapi nggak bisa keluar biasanya salah satu
pelarian anak adalah online entah di sosmed
entah di game. Karena dia merasa rumah tidak
memberikan kenyamanan tidak memberikan
happiness akhirnya dia mencari kenyamanan dan
mencari happiness online. Nah, problemnya
dengan dunia online adalah bapak ibu seperti
yang saya katakan kemarin dunia online ada
yang baik tapi juga kita tidak bisa menutup mata
ada jebakan-jebakan yang bisa mengarah kepada
perilaku-perilaku kecanduan, ada orang-orang
jahat di dunia maya juga. Jadi makanya saya
memberikan konteks ini supaya kita bisa
mengerti betapa penting untuk kita sebagai
orangtua, sebagai pendidik berusaha
menciptakan suasana rumah, suasana
lingkungan sosial anak yang sekarang terbatas
banget di rumah ini suasana yang positif
sehingga anak kita enggak merasa tidak bahagia,
depresi cemas, lalu mencari di dunia maya yang
kita belum bisa menjamin keamanannya. Oke,
sekarang kita fokus pada miss behavior atau
perilaku yang keliru.
Saya masuk ke pertanyaan. Kenapa sih anak itu
kok berperilaku salah? kenapa sih saya sudah
ajarin kalau habis makan piring kotor diletakkan
di di tempat cuci piring, tapi kok habis makan
dia ngeloyor aja bu jengkel saya. Kenapa anak
berperilaku salah? nah, saya tawarkan perspektif
ini bapak ibu anak itu punya kebutuhan psikis
bapak ibu. Kalau kebutuhan fisik kita semua tahu
deh sandang pangan papan. Tapi ternyata aspek
psikis, aspek jiwa, aspek mental ,anak itu juga
punya kebutuhan. Jika kebutuhan psikis anak
tidak dipenuhi maka sama halnya seperti kalau
orang lapar mencari makanan di akan lakukan
apapun tuk cari makanan, kebutuhan psikis ini
kalau sampai tidak terpenuhinya juga akan
bergerak mencari cara untuk memenuhi
meskipun caranya itu jadi salah, salah tuh
gimana caranya itu bisa jadi cara yang bikin kita
naik darah, naik pitam kita jengkel sebagai orang
tua. Tapi maksud saya mari kita pahami kalau
anak berperilaku sesuatu sebetulnya itu
menyampaikan ada sebuah kebutuhan psikis
yang dia merasa kurang dan dia perlu untuk
dipenuhi.
Apa sih kebutuhan psikis anak? sebelum masuk
kebutuhan psikisa anak apa tanggung jawab
orang tua? memenuhi kebutuhan psikis anak
pasti ya ini tadi yang makanya saya katakan kita
itu kalau kalau soal kebutuhan fisik saya yakin
kita semua tuh sudah bisa gitu sediakan
makanan, sediakan rumah yang layak, sediakan
pakaian bersih we do that. Tapi bagaimana
dengan kebutuhan psikis ini yang sering
terbengkalai ya bapak ibu. Tapi tanggungjawab
kita sebagai orang tua atau orang dewasa kita
penuhi kebutuhan psikis anak kita pahami jika
anak merasa kebutuhan psikisnya tidak
terpenuhi. Apa saja kebutuhan psikis anak?
Mari kita lihat ,belong itu seperti punya akar.
Keluarga adalah akar buat anak bapak ibu.Coba
kita renung ya .Keluarga adalah akar buat anak,
ketika anak tahu siapa papa saya, siapa ibu
saya ,siapa kakek saya, saya ini asalnya dari
mana. Makanya kalau budaya kita itu kan ada
momen-momen dimana pertemuan-pertemuan
keluarga masih diminta untuk dilakukan gituya
itu baik juga bapak ibu. Baik kenapa? karena
membuat anak kita tahu akarnya dia dimana,
saya beberapa kali menemukan di klien-klien
yang adalah anak adopsi dan kemudian dia tidak
diberitahu tidak atau dia tahu by accident. Jadi
ada anak itu kan ketika sudah sampai level logika
tertentu terjadi bertanya-tanya misalnya dia
tahu gini papa mama menikahnya kapan? saya
lahirnya kapan? mereka do the calculation kan
mereka hitung kok nggak match yah? kok nggak
pas ya? atau atau misalnya kalau casenya satu
anak diadopsi satu anak kandung. Tapi jarak
diantara keduanya ini nggak masuk akal untuk
untuk menjadi saudara kandung atau secara
tampilan fisik tuh dia beda sama orang tuanya.
Nah seringkali yang saya temukan anak-anak
seperti ini kemudian merasa Did not belong. Jadi
di keluarga itu dia tuh kalau mereka ngomong
rasanya kayak ngak pas saja bu kayak bukan
bagian dari keluarga itu. Some how to merasa
kayak I'm not belong there, kebutuhan psikis
anak yang pertama dia butuh akar dia butuh ada
di keluarga yang dia tahu asal-usulnya siapa, dia
merasa dia dibutuhkan dan dikasihi dan
diinginkan ada ditempat itu. Kebutuhan kedua
dia dikasih ini wajar sekali bapak ibu, tidak ada
satu manusiapun yang tidak tidak butuh dicintai,
tidak butuh dikasihi. Lalu yang ketiga ini, anak
apalagi anak sekarang. Mereka butuh ruang
untuk mereka merasa mampu melakukan
sesuatu. Bapak Ibu kalau ingat anak bahkan
diumur dua setengah tahun hingga dua tahun aja
kalau anaknya cerdas itu ya, mulai ketika anda
suapin makan lalu dia bilang ini. Aku Aku tau
saya saya itu sudah merupakan pertanda bahwa
sebagai manusia dan nanti ketika kita menjadi
manusia dewasa kan kalau anda tidak merasa
berdaya dan mampu melakukan sesuatu kita jadi
orang dewasa enggak produktif. Apa-apa takut,
apa-apa minder, belum mencoba udah takut
salah, belum mencoba udah takut malu. Jadi
feel not powefull tidak mampu inferior. Nah,
bapak-ibu anak-anak punya kebutuhan untuk dia
merasa I can do something, I'm able, I Have
Power. Seringkali yang terjadi dengan orang tua
adalah orang tua lupa anaknya udah mulai besar,
orang tua lupa anaknya sudah mulai bisa
melakukan sesuatu, orang tua masih tetap yang
mau melakukan. Paling gampang anak umur
lima tahun bukan berpakaian sendiri sebenarnya
udah bisa tapi kita kadang-kadang orang tua gini,
aduh biar cepet sini mami pakein aja. Sepatunya
mana sepatunya biar cepet .Kita tidak memberi
ruang untuk anak itu melatih waktu dia pakai
pakaian sendiri, dia pakai sepatu sendiri
waktunya lebih lama sih iya tapi kemudian ketika
dia bisa dia tuh muncul di dalam psikisnya itu
Hei I can do this , saya bisa .Nah itu penting
bahwa ibu, yang saya beberapa kali temukan
adalah ketika orangtua tidak pernah memberi
kesempatan anak untuk melakukan mencoba
melakukan sesuatu atau kalau dia mencoba
melawan satu terus salah anaknya dikasih
punishment dengan tuh kan salah, atau dikritik
aduh enggak rapi nih sini mama rapikan lagi. Kita
tidak respecting the proses tapi always
mengevaluasi hasil. Maka anak kemudian
menjadi takut mencoba, anak kemudian menjadi
merasa tidak berdaya,apalagi self esteem anak
perlu merasa bahwa dia berharga. Biasanya
kesalahan kita sebagai orang tua atau orang
dewasa kita tuh membandingkan bandingka dia
sama kakak adiknya, bandingkan dia dengan
sepupunya dengan orang lain ya. Sampai
akhirnya dia merasa bahwa tidak cukup berharga
kalau bahasanya anak remaja sekarang itu
insecure, jadi anak merasa aman dengan siapa
dirinya. Lalu kebutuhan lainnya adalah anak
butuh untuk punya posisi, punya tempat, di
dalam kehidupan seseorang didalam kehidupan
keluarganya. Lalu anak juga butuh untuk
bereksperimen, butuh untuk mengeksplorasi.
Nah di point eksperimen eksplorasi bapak ibu
saya tuh beberapa kali menemukan kita ini tidak
memberi ruang kegagalan buat anak, kita tidak
memberi ruang kesalahan kita, seringkali begitu
anak salah dalam proses kita langsung berikan
punishment dan setelah itu anak tidak lagi
berani mencoba . Sehingga kalau kemudian dia
mengalihkan pemenuhan kebutuhan ini dengan
mencari hal-hal lain contoh paling gampang di
eksperimen dan ekspor di game online yang
kemudian setelah dia merasa mampu level 1
level, naik level 1 level lagi, naik 1 level lagi dan
dia merasa menemukan eksplorasi menemukan
rasa berharga ketika main game online di setelah
dia terjebak. Kemudian dia nggak bisa keluar dari
game online itu karena di dunia nyata dia merasa
powerless, dia merasa apa tidak bisa exploring,
dia merasa tidak bisa mencoba karna tiap kali
mencoba di kita disalahin. Nah kalau di game
online ya salah diulang lagi levelnya. Cari cara
cari crack gitu they have power overage
sementara di nyata kita sebagai orang dewasa
terlalu sering mengatakan salah habis salah
dimarahin, dikomentarin gitu ya atau bahkan di
punish dan itu membuat mereka akhirnya
udahlah saya enggak mau mencoba kalau di
dunia nyata mah karena pengalamannya jadi
tidak menyenangkan. Nah ini kira-kira gambaran
kebutuhan anak ya Bapak Ibu.

Anda mungkin juga menyukai