Anda di halaman 1dari 19

Accelerat ing t he world's research.

modul paper perkin


Gaby Menci

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Kebijakan Ekonomi
Muhamad Ikbal

MAKALAH KELOMPOK 1 PEREKONOMIAN INDONESIA


Xiaomi Not e3 Pro

MAKALAH PEREKONOMIAN INDONESIA MASA REFORMASI SAMPAI SEKARANG Diajukan unt uk memen…
elva lest ari
MODUL PERKULIAHAN

Perekonomian
Indonesia
Sejarah Perekonomian Indonesia
Pasca Krisis Ekonomi

Fakultas Program Studi Pertemuan Kode MK Disusun Oleh


Fakultas Ekonomi dan Program 84041 Edi Tamtomo
Bisnis Studi
05

Abstraksi Kompetensi
Modul ini membahas Sejarah  mampu menjelaskan gambaran
Perekonomian Indonesia pada masa umum perekonomian Indonesia
pasca krisis. Pembahasan dimulai pasca krisis
dengan gambaran perekonomian  mampu menjelaskan kebijakan


pasca krisis, kemudian dilanjutkan restrukturisasi perbankan
dengan pembahasa lebih detail mampu menjelaskan kebijakan


tentang restrukturisasi perbankan dan privatisasi BUMN
privatisasi BUMN. mampu menjelaskan tantangan
perekonomian era sekarang
Gambaran Perekonomian Pasca Krisis
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa terjadinya krisis ekonomi tahun 1998
memaksa pemerintah Indonesia untuk menerima bantuan dari IMF dan tentu dengan
persyaratan-persyaratan tertentu. Beberapa persyaratan yang harus dan telah dilakukan
adalah restrukturisasi perbankan untuk menyehatkan perbankan nasional dan melakukan
reformasi struktural perekonomian diantaranya adalah dengan melakukan privatisasi
BUMN. Sebelumnya akan dibahas sekilas tentang kebijakan para presiden setelah
lengsernya Presiden Soeharto sebagai tanda berakhirnya era kepemimpinan Orde Baru.

Pemerintahan Habibie

Program-program IMF mulai diterapkan pada masa pemerintahan Presiden Habibie.


Pemerintahan Habibie, selain berfokus pada pemulihan ekonomi, juga berfokus pada
perbaikan kehidupan politik dan kehidupan demokrasi, karena dengan stabilitas politik yang
bagus, kepercayaan investor asing akan kembali dan akan sangat membantu pemulihan
ekonomi Indonesia. Dilihat dari pertumbuhan ekonomi, mulai ada perbaikan dimana
sebelumnya angka negatif, pada tahun 1999 mulai positif meskipun masih rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa perekonomian mulai bangkit. Nilai kurs rupiah terhadap dollar mulai
menguat dan inflasi mulai turun. Pada masa itu sempat terjadi gejolak dengan lepasnya
Timor Timur dari Indonesia. Namun pada masa itu pula terselenggara pemilu multi partai
pertama sejak orde baru secara demokratis dan terpilihlah Presiden Gus Dur untuk
menjabat sebagai Presiden selanjutnya.

Pemerintahan Gus Dur

Pada awal pemerintahan reformasi yang dipimpin oleh Presiden Gus Dur, masyarakat
umum dan kalangan pengusaha serta investor, berharap akan ada perbaikan ekonomi
Indonesia. Hal ini mulai terjadi tanda-tanda perbaikan yaitu, dibandingkan tahun sebelumnya
kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan
PDB pada tahun 2000 hampir mencapai 5 persen. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan
tingkat suku bunga (SBI) juga rendah, mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam
negeri sudah mulai stabil.

Namun, dalam pemerintahannya, Presiden Gus Dur terkadang menunjukkan sikap dan
mengeluarkan ucapan-ucapan yang kontroversial dan membingungkan pelaku-pelaku
bisnis. Sikap ini juga yang membuat Presiden berseteru dengan DPR. Dari sisi politik, terjadi
ketidakstabilan terutama dengan terjadinya beberapa kerusuhan di daerah. Selain itu,
hubungan pemerintah Indonesia di bawah Gus Dur dengan IMF juga tidak baik, terutama
karena masalah-masalah seperti amandemen UU No. 23 Tahun 1999 mengenai Bank
Indonesia, penerapan otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah untuk
meminjam uang dari luar negeri, dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda
pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan
bantuannya kepada pemerintah Indonesia, padahal roda perekonomian nasional saat ini
sangat tergantung pada bantuan IMF.

Hal tersebut tentu saja membuat investor berpikir ulang untuk menanamkan modalnya lagi
ke Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan dua indikator yaitu pergerakan Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) dan nilai kurs dollar terhadap rupiah. Pergerakan IHSG antara 30
Maret 2000 sampai 8 Maret 2001 menunjukkan penurunan yang disebabkan oleh lebih
besarnya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di
dalam negeri. Hal ini mencerminkan tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat pada
umumnya terhadap prospek perekonomian Indonesia, paling tidak untuk periode jangka
pendek. Indikator kedua pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pada awal tahun
2000 kurs rupiah sekitar 7.000/dollar US, dan pada April 2001 menembus Rp 12.000/dollar
US. Perseteruan dengan DPR yang awalnya sempat diawali dengan kasus Buloggate dan
bantuan dari Brunei,membuat Gus Dur dilengserkan melalui Sidang Istimewa MPR pada Juli
2001.

Pemerintahan Megawati

Megawati yang semula sebagai wakil Presiden menggantikan Gus Dur sebagai Presiden.
Megawati mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang kurang baik, dimana nilai kurs
dollar terhadap rupiah kembali menembus Rp 12.000,- dan trend IHSG yang menurun. Hal
ini menunjukkan kepercayaan investor kepada Indonesia yang belum pulih. Keterpurukan
kondisi ekonomi tersebut kian terasa jika dilihat dari perkembangan indikator ekonomi
lainnya, seperti tingkat suku bunga, inflasi, saldo neraca pembayaran, dan defisit APBN dan
pertumbuhan ekonomi.

Kondisi ini yang membuat pemerintahan Megawati berusaha melakukan kembali program-
program yang dicanangkan sebelumnya yaitu reformasi struktural dan restrukturisasi
perbankan. Pada masa pemerintahan Megawati, banyak dilakukan kebijakan privatiasai
BUMN dimana sempat menuai pro dan kontra. Privatisasi ini dianggap menjual aset negara
kepada pihak asing, tetapi dilain sisi untuk alasan efisiensi dan untuk menutup defisit
anggaran,negara perlu melakukan privatiasasi.

Pemerintahan SBY

Susilo Bambang Yudoyono terpilih menjadi Presiden RI menggantikan Megawati setelah


memenangkan Pemilu presiden yang dipilih langsung oleh rakyat pada tahun 2004. Pada
masa ini perekonomian sudah mulai stabil, perekonomian mulai membaik dan kepercayaan
investor mulai membaik. Hal ini terlihat dari indokator-indikator ekonomi misalnya
pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi dan kurs dollar.

Pada tahun 2008 tahun 2009. Perekonomian dunia sempat mengalamai krisis terutama di
Amerika Serikat. Namun dampak krisis tersebut tidak berdampak parah ke Indonesia. Ada 2
alasan mengapa krisis tersebut tidak berdampak parah seperti tahun 1998 yaitu:

1. Pemerintah sudah tanggap berbekal pengalaman sebelumnya, sehingga mengambil


beberapa tindakan agar nilai rupiah terhadap dollar cukup stabil
2. Perekonomian Indonesia cukup terbantu dengan permintaan domestik yang cukup
besar,sehingga ketika krisis terjadi di luar negeri, Indonesia masih bisa survive.

Pada masa resesi tersebut juga muncul kasus Bank Century yang masih menjadi polemik
bahkan sampai sekarang. Dari sisi pengambilan kebijakan ekonomi pada waktu itu, memang
dibutuhkan dana talangan segera agar krisis tidak berdampak besar sebagaimana tahun
1998. Namun mekanisme dana stimulus fiskal ini yang dinilai melanggar prosedur
pengelolaan keuangan negara sehingga disinyalir merugikan keuangan negara. Terlepas
dari kasus itu, pemerintah telah belajar dari pengalaman tahun 1998 agar krisis ekonomi
global tidak berdampak parah bagi perekonomian Indonesia.

Pemerintahan Jokowi

Setelah pemerinatahan SBY selama 2 periode dapat dikatakan perekonomian Indonesia


sudah stabil, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Namun demikian
tetap ada beberapa tantangan yang perlu dihadapi, dan ini ihadapi oleh Presiden terpilih
periode 2014 yaitu Joko Widodo. Isu yang menarik tentu adalah besarnya dana subsidi
dalam APBN yang mempersempit ruang fiskal, pasar bebas ASEAN yang segera dimulai
dan pada tahun 2014 sampai 2015, ekonomi global mengalami perlambatan. Tantangan
perekonomian Indonesia ke depan akan dibahas di subab terakhir dari modul ini.
Data-Data Ekonomi Pasca Krisis Moneter.

Pertumbuhan Ekonomi

Tabel dan gambar 5.1 berikut ini menyajikan data-data perkembangan indikator
perekonomian Indonesia pasca krisis moneter berupa pertumbuhan ekonomi.

Tahun Pertumbuhan Ekonomi Tahun Pertumbuhan Ekonomi


1997 4,7% 2007 6,3%
1998 -13,1% 2008 6,0%
1999 0,8% 2009 4,6%
2000 4,9% 2010 6,4%
2001 3,8% 2011 6,2%
2002 4,3% 2012 6,0%
2003 5,9% 2013 5.6%
2004 5,1% 2014 5.0%
2005 5,7% 2015 4.8%
2006 5.5%

sumber: bps.go.id Tabel 5.1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia tahun 1997 s.d 2015

Pertumbuhan ekonomi
10

-5

-10

-15

Gambar 5.1 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 1997- 2015

Dari tabel dan gambar 5.1 terlihat bahwa setelah menembus minus pada tahun 1998,
pertumbuhan ekonomi mulai bangkit tahun 1999 dan 2000. Pada tahun 2001 pertumbuhan
ekonomi menurun sebagai akibat ketidakpastian dalam pemerintahan Gus Dur, kemudian
saat Megawati menjadi Presiden, pertumbuhan ekonomi kembali naik. Semenjak
pemerintahan SBY, pertumbuhan ekonomi cenderung stabil di atas 5 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa perekonomian sudah kembali stabil. Ada sedikit penurunan pada tahun
2009 akibat krisis yang melanda Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, namun tidak
berpengaruh besar pada Indonesia. Pada tahun 2010 sampai 2013, pertumbuhan ekonomi
kembali menembus angka 6%. Namun pada tahun 2014 dan 2015, kembali mengalami
penurunan akibat resesi ekonomi global. Ini yang menjadi tantangan Presiden Jokowi
sebagai presiden terpilih.

Data Inflasi

Indikator lain adalah berupa inflasi. Perkembangan inflasi selama masa krisis sampai
dengan pasca krisis dapat dilihat pada gambar 5.2.

90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

Gambar 5.2. Perkembangan inflasi tahun tahunan 1997 s.d 2014

Grafik 5.2 menunjukkan bahwa pada tahun 1998 saat terjadinya krisis moneter inflasi
mencapai titik tertinggi semenjak zaman Orde baru yang hampir mencapai angka 80.
Seiring dengan usaha pemerintah dalam memulihkan perekonomian yang salah satunya
dengan menjaga kestabilan kurs dan inflasi, pada tahun 1999 langsung turun di bawah 20.
Pada tahun 2001, inflasi sempat naik di atas 10, hal ini karena ketidakstabilan politik pada
saat pemerintahan Gus Dur. Secara umum setelah pemerintahan Megawati, inflasi relat if
terkendali di bawah 10. Inflasi sempat mencapai di atas 10 pada tahun 2005 dan 2008.
Kenaikan BBM diduga menjadi penyebab utama inflasi pada periode tersebut. Tapi secara
umum, inflasi bisa dikendalikan semenjak pemerintahan Megawati dan SBY, dalam artian
inflasi akibat krisis moneter tahun 1998 sudah bisa dikendalikan.

Dilihat dari perkembangan kurs, nilai rupiah sempat menembus sampai Rp 15.000/per US$
pada saat turunnya Soeharto. Pada era Habibie, nilai rupiah bisa ditekan sampai sempat
menguat ke Rp 6800/US$. Pada era Gus Dur, nilai rupiah kembali melemah sampai ke level
Rp 12.000/US $. Pada era Megawati, rupiah mengalami apresiasi hingga berkisar di angka
Rp 9.000/US$. Kestabilan nilai kurs ini berhasil dijaga oleh pemerintahan SBY. Hal ini tidak
lepas dari pemerintah dan tim ekonominya untuk menjaga kestabilan nilai kurs, agar
kepercayaan investor asing kembali pulih sehingga perekonomian kembali bisa bangkit.

Kuncoro (2013) mencoba meneliti apakah telah terjadi perubahan struktural dalam perilaku
kurs untuk masa kepemimpinan ketiga presiden tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa
pada pemerintahan Megawati terjadi perubahan struktural dalam perilaku kurs secara
signifikan. Pada masa pemerintahan Megawati, rupiah cenderung menguat dan mulai stabil
dengan membentuk harga keseimbangan baru yang berkisar di antara Rp 9.000 s.d Rp
10.000/US$.

Dari data-data perekonomian tersebut dan dikaitkan dengan era pemerintahan, maka dapat
disimpulkan bahwa perekonomian mulai stabil pada era Megawati dan diteruskan oleh SBY.
Hal ini tidak mengherankan karena pada era Habibie, masih pada masa transisi, dimana
tuntutan kehidupan politik yang lebih demokratis serta semangat kebebasan serta otonomi
daerah dikedepankan. Dengan masa kempempinan hanya kurang lebih 1 tahun, akan berat
membawa perubahan yang signifikan terhadap perekonomian. Yang terlihat adalah nilai
rupiah yang mulai menguat terhadap dollar dan pertumbuhan ekonomi yang tidak minus
lagi. Pada era Gus Dur, secara politik sebenarnya Gus Dur tidak mendapatkan dukungan
penuh dari partai pemenang Pemilu, jadi ketika terjadi perseteruan antara Presiden dengan
DPR, kondisi ini yang membuat iklim perekonomian menjadi tidak baik, sehingga para
investor mulai ragu-ragu. Pada era Megawati, mulai dilakukan lagi langkah-langkah agar
investor kembali percaya pada Indonesia. Salah satu langkahnya adalah melanjutkan
restrukturisasi perbankan nasional melakukan privatisasi BUMN. Dua langkah ini yang akan
kita bahas pada subbab selanjutnya. Kebijakan tersebut yang meskipun menuai pro dan
kontra ternyata bisa memulihkan perekonomian Indonesia setidaknya terlihat dari
pertumbuhan ekonomi, inflasi dan nilai kurs.

Restrukturisasi Perbankan
Latar Belakang

Sebagaimana telah dibahas pada modul sebelumnya bahwa faktor-faktor penyebab krisis
diantaranya adalah hutang swasta yang besar terutama hutang jangka pendek dan
kelemahan dalam sistem perbankan. Kondisi tersebut tak bisa dipungkiri adalah sebagai
efek samping dari kebijakan deregulasi (liberalisasi) perbankan pada tahun 1980-an.
Deregulasi tersebut sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan modal masuk (capital inflow)
dan meningkatkan efisiensi penyelaluran kredit untuk meningkatkan perekonomian. Namun
kebijakan ini tidak diimbangi dengan pengawasan yang memadai dan sistem perbankan
yang baik sehingga menimbulkan efek samping sebagaimana tersebut di atas.

Restrukturisasi perbankan adalah salah satu langkah yang harus dilaksanakan segera,
karena dunia usaha sudah stagnan akibat kekurangan modal. Memang restrukturisasi
tersebut tidak bisa langsung memulihkan perekonomian seperti sebelum krisis moneter,
tetapi setidaknya bisa membangkitkan lagi perekonomian, karena salah satu faktor hidupnya
perekononomian adalah faktor modal, dan fungsi utama perbankan adalah menghimpun
modal dan menyalurkannya berupa kredit ke dunia usaha. IMF pun memberikan bantuan
kepada Indonesia tetapi dengan salah satu syaratnya Indonesia harus melakukan
restrukturisasi perbankan.

Pelaksanaan Restrukturisasi Perbankan

Upaya penyehatan perbankan nasional telah ditempuh sejak Soeharto masih menjadi
Presiden, antara lain melikuidasi 16 bank swasta. Langkah ini yang justru membuat
kepercayaan masyarakat kepada bank semakin merosot. Pada era Habibie, dibentuklah
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang salah satu tugasnya adalah
melakukan restrukturisasi perbankan nasional dalam rangka mengatasi krisis ekonomi.

Ada beberapa langkah/tindakan dalam rangka melakukan restrukturisasi perbankan yang


dijelaskan sebagai berikut.1

1. Rekapitalisasi bank-bank.

Mengingat kondisi permodalan bank-bank sudah demikian parah sebagai akibat dari
krisis ekonomi, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, langkah strategis pertama
yang harus dilakukan adalah memperbaiki permodalan tersebut. Kebijakan rekapitalisasi
ini disusun dalam suatu paket, yang terdiri dari:

a. Rekapitalisasi bagi bank-bank yang viable untuk dapat menjadi sehat dan mencapai
rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio –CAR) minimum sebesar 8% pada
tahun 2001. Bank-bank ini dinyatakan lulus dari tiga buah test yang sangat ketat
meliputi kondisi keuangan, integritas pemilik dan manajemen, serta renca kerja untuk
tiga tahun.

b. Pembersihan bank-bank dari pemilik dan pengurus yang tidak memenuhi persyaratan
sebagai pemilik dan pengurus yang baik (tidak fit and proper);

c. Penutupan bagi bank-bank yang diperkirakan tidak akan mampu bertahan;

1
Abdullah (2003).Peran Kebijakan Moneter dan Perbankan dalam Mengatasi Krisis Ekonomi di Indonesia
d. Penyelesaian aset-aset bank-bank yang ditutup;

e. Penyelesaian bagi kredit macet perbankan, dengan mengalihkan ke Aset


Management Unit dan menghapusbukukan dari bank-bank yang direkapitalisasi.

Dalam melaksanakan rekapitalisasi perbankan dibutuhkan biaya dalam jumlah besar.


Dana tersebut dapat datang dari sektor swasta dan dari pemerintah. Rachbini (2001)
menyebutkan bahwa kewajiban BPPN untuk rekapitalisasi perbankan mencapai Rp 637
triliun.

Penambahan modal dari sektor swasta dapat datang dari pemodal domestik maupun
pemodal asing. Yang paling baik adalah dari pemodal domestik karena kepemilikan bank-
bank oleh pihak domestik akan lebih memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Namun,
akibat krisis ekonomi hal yang ideal ini sulit dicapai karena sektor swasta nasional
sedang mengalami kesulitan likuiditas. Untuk ini maka peranan investor asing menjadi
penting. Dengan masuknya investor asing dalam perbankan nasional maka kepercayaan
luar negeri terhadap perekonomian Indonesia akan meningkat.

2. Restrukturisasi Kredit.

Aspek ini sangat menentukan keberhasilan program rekapitalisasi perbankan dan


program penyehatan ekonomi secara keseluruhan. Restrukturisasi kredit, yang pada
hakekatnya merupakan bagian utama dari retrukturisasi dunia usaha ini, diharapkan
dapat memperbaiki pembukuan bank, dan sekaligus menggairahkan para debiturnya
untuk kembali berproduksi, yang berarti menggerakkan sektor riil.

3. Pengembangan Infrastruktur Perbankan,

Langkah ini untuk meningkatkan daya tahan bank-bank dalam menghadapi berbagai
gejolak. Salah satu sarana yang disiapkan adalah pendirian Lembaga Penjamin
Simpanan, yang akan menggantikan program penjaminan pemerintah. Sarana lain
adalah pengembangan bank syariah, yang pada dirinya dapat diharapkan mempunyai
daya tahan yang lebih baik menghadapi masa-masa krisis, dan dengan demikian dapat
memperkuat sistem perbankan secara keseluruhan.

Khusus mengenai bank syariah perlu dikemukakan bahwa pengalaman selama krisis
ekonomi ini memberikan suatu pelajaran berharga bagi kita bahwa prinsip risk sharing
(berbagi risiko) atau profit and loss sharing (bagi hasil), sebagaimana yang terdapat
pada sistem bank berdasarkan prinsip syariah, merupakan suatu prinsip yang dapat
berperan meningkatkan ketahanan satuan-satuan ekonomi. Dalam hal ini, prinsip bagi
hasil atau berbagi risiko antara pemilik dana dan pengguna dana sudah diperjanjikan
secara jelas dari awal, sehingga jika terjadi kesulitan usaha karena krisis ekonomi,
misalnya, maka risiko kesulitan usaha tersebut otomatis ditanggung bersama oleh
pemilik dana dan pengguna dana. Dengan demikian kesulitan ekonomi akan relatif lebih
ringan terasa oleh perorangan dan badan usaha secara individual sehingga kebangkitan
kembali ekonomi dapat diharapkan berlangsung lebih cepat.

4. Penyempurnaan Pelaksanaan fungsi Pengawasan Bank,


Kebijakan ini berupaya mengutamakan penegakan aturan (law enforcement) dan
dengan meningkatkan frekuensi pemeriksaan bank yang difokuskan pada risiko yang
dihadapi oleh setiap bank.

Keempat aspek dalam rangka restrukturisasi perbankan tersebut berjalan simultan. Melalui
berbagai upaya ini diharapkan kelemahan sistem perbankan yang selama ini menjadi
sumber dari beratnya kerusakan ekonomi akibat krisis akan berangsur-angsur hilang
sehingga kita akan memiliki sistem perbankan yang mempunyai ketahanan yang tinggi

Privatisasi BUMN
Apa itu Privatisasi?

Privatisasi menurut UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN adalah penjualan saham Persero,
baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja
dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta
memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Privatisasi bertujuan untuk meningkatkan
kinerja dan nilai tambah perusahaan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam
pemilikan saham Persero.

Mengapa Harus Privatisasi?

Sebelum membahas latar belakang perlunya privatisasi, kita akan sedikit membahas
tentang latar belakang keberadaan BUMN. Menurut Basri (2002) ada lima faktor yang
melatarbelakangi keberadaan BUMN yaitu:

1. Sebagai perintis karena swasta tidak tertarik menggelutinya


2. Pengelola bidang-bidang usaha yang strategis dan pelaksana pelayanan publik
3. Penyeimbang kekuatan swasta yang besar
4. Sumber pendapatan negara
5. Hasil nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda

Alasan kelima sudah tidak relevan lagi dan alasan keempat tidak berjalan secara optimal
setidaknya pada masa Orde Baru. Sehingga tiga alasan pertama yang masih bisa
dipertahankan. Namun alasan tersebut juga bisa dikurangi porsinya jika mekanisme pasar
berfungsi optimal dan dilengkapi dengan perangkat pengaman seperti: pengaturan praktik
monopoli dan oligopoli, peraturan praktik kolusi, penegakan kaidah praktik binsis yang
sehat, perlindungan terhadap usaha kecil serta perlindungan kepada konsumen.

Namun di Indonesia, perangkat tersebut masih langka sehingga perlu BUMN masih
diperlukan. Yang lebih penting adalah bukan ada tidaknya BUMN tetapi bagaimana
menciptakan struktur pasar dengan persaingan yang sehat. Selama ini sudah terbukti
bahwa praktik monopoli hampir selalu merugikan masyarakat khususnya dan perekonomian
umumnya (Basri: 2002). Hal ini diperkuat dengan data menurut Tambunan (2012) bahwa
nilai Return on Asset (ROA)/tahun rata-rata BUMN dari tahun 1997 sampai tahun 2002
hanya sekitar 1 s.d 3 persen. Berdasarkan laporan perkembangan kinerja BUMN dari
Dirjen Pembinaan BUMN Departemen Keuangan RI, seperti yang dikutip oleh Purwoko
(2002), pada tahun 2000 hanya 78,10% (107 perusahaan) BUMN yang beroperasi dalam
keadaan sehat, sedangkan sisanya, 16,6% (22 perusahaan) dalam kondisi kurang sehat
dan 5,84% (8 perusahaan) dalam keadaan tidak sehat.

Dari uraian di atas,maka perlu dilakukan privatisasi BUMN dengan tujuan jangka panjang
memperbaiki struktur perekonomian agar lebih efisien dan dalam jangka pendek dapat
menutup defisit keuangan negara. IMF juga mempersyaratkan reformasi strukutural
termasuk dalam hal ini adalah melakukan privatisasi BUMN.

Pelaksanaan Privatisasi BUMN

Privatisasi BUMN telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia.
Pihak yang setuju beragumen bahwa privatisasi perlu dilakukan untuk meningkatkan kinerja
BUMN serta menutup defisit APBN. Dengan privatisasi diharapkan BUMN mampu
beroperasi secara profesional lagi. Logikanya, dengan privatisasi di atas 50%, kendali dan
pelaksanaan kebijakan BUMN akan bergeser dari pemerintah ke investor baru. Sebagai
pemegang saham terbesar, investor baru tentu akan berupaya untuk bekerja secara efisien,
sehingga mampu menciptakan laba yang optimal dan mampu menyerap tenaga kerja yang
lebih banyak, serta mampu memberikan kontribusi yang lebih baik kepada pemerintah
melalui pembayaran pajak dan pembagian dividen.

Sedangkan pihak yang tidak setuju berargumen bahwa apabila privatisasi tidak
dilaksanakan, kepemilikan BUMN tetap di tangan pemerintah. Dengan begitu keuntungan
maupun kerugian sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. Mereka berargumen bahwa
deficit anggaran harus ditutup dengan sumber lain, bukan dari hasil penjualan BUMN.
Mereka memprediksai bahwa defisit APBN juga akan terjadi pada tahun-tahun mendatang.
Apabila BUMN dijual setiap tahun untuk menutup defisit APBN, suatu saat BUMN akan
habis terjual dan defisit APBN akan tetap terjadi.
Pelaksanaan privatisasi BUMN yang direncanakan ternyata tidak dapat berjalan seperti
yang diharapkan. Misalnya realisasi privatisasi BUMN tahun 2001 hanya mampu mencapai
50% dari target. Sisanya terpaksa dilakukan tahun 2002. Sementara untuk tahun 2002,
pemerintah menargetkan privatisasi 15 BUMN. Privatisasi di Indonesia sempat lancar pada
tahun 2003 dan 2004 dengan hasil yang meningkat drastis dalam juta dolar AS, namun
setelah itu menurun drastis sebagaimana tabel 5.2.

Negara/wilayah 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Asia Timur&Pasifik 10,780 1,659 1,830 8,136 8,037 14,708 51,230

China 10,279 958 1,598 6,066 4,122 14,086 50.356

Fiji tad tad 28 tad tad tad tad

Indonesia 115 Tad 188 691 841 448 270

Malaysia tad Tad 16 347 1,871 tad tad

Filipina 147 70 tad 7 4 tad 486

Thailand 239 631 tad 1,025 1,066 tad tad

Vietnam tad tad tad tad 134 174 119

Tabel 5.2 Hasil privatisasi BUMN di berbagai negara (dalam juta US $)

Pelaksanaan privatisasi yang terjadi sampai saat ini masih terkesan rumit, berlarut-larut,
dan tidak transparan. Dikatakan demikian karena tidak adanya aturan yang jelas
tentang tata cara dan prosedur privatisasi. Proses privatisasi dari setiap BUMN
dilakukan dengan prosedur dan perlakuan yang berbeda. Keputusan yang sudah
diambil pemerintah tidak bisa dengan segera dilaksanakan karena berbagai alasan
hingga terkesan berlarut-larut. Dan keputusan untuk menentukan pemenang tender
privatisasi juga tidak ada aturan dan formula yang jelas sehingga terkesan pemerintah
kurang transparan dalam proses privatisasi (Tambunan:2012).

Purwoko dalamTambunan (2012) menjelaskan bahwa ada beberapa metode dalam


melakukan privatisasi yaitu:

1. Penjualan Saham di Pasar Modal

2. Private placement (penempatan swasta) oleh investor dalam negeri dengan


penyertaan di bawah 50%

3. Private placement (penempatan swasta) oleh investor dalam negeri dengan


penyertaan di atas 50%
4. Private placement (penempatan swasta) oleh investor luar negeri dengan
penyertaan di bawah 50%

5. Private placement (penempatan swasta) oleh investor luar negeri dengan


penyertaan di atas 50%

Tabel 5.3 berikut ini menggambarkan kaitan metode privatisasi dengan tujuan dari
privatisasi sehingga dapat disimpukan metode mana yang paling tepat.

Privat Investor DN Privat investor LN


Pasar
Kriteria privatisasi yang Ideal
Modal < 50% > 50% < 50% > 50%

Mampu meningkatkan kinerja BUMN X X V X V

Mampu menerapkan prinsip-prinsip good X X V X V


governance dalam pengelolaan BUMN
Mampu meningkatkan akses ke pasar X X V V V
internasional
Terjadinya transfer iptek X X V X V

Terjadinya perubahan budaya kerja X X V X V

Mampu memberikan kontribusi menutup V V V V V


defisit APBN
Tabel 5.3.Kaitan Strategi Privatisasi terhadap tujuan Privatisasi
Catatan: DN = dalam negeri; LN = luar negeri
Sumber: Purwoko (2002) dalam Tambunan (2012).

Tabel 5.3 di atas menunjukkan bahwa diantara ke-5 alternatif model privatisasi BUMN
tersebut, yang paling mendekati ideal adalah model privatisasi dengan penempatan
swasta oleh investor asing dengan penyertaan di atas 50%. Menurut Purwoko,
beberapa manfaat akan diperoleh dengan privatisasi dengan model ini, antara laun
peningkatan kemampuan untuk mengakses peluang di pasar internasional, adanya
transfer teknologi, terjadinya perubahan budaya kerja yang positif, serta penerapan
prinsip-prinsip good corporate governance dalam pengelolaam BUMN, disarankan agar
pemerintah membuat system dan prosedur privatisasi BUMN yang jelas, melakukan
sosialisasi yang memadai kepada pihak-pihak terkait, serta melaksanakan proses
privatisasi secara transparan.

Namun, tidak semua investor asing dapat memenuhi kriteria investor ideal. Kriteria di
atas dapat terpenuhi apabila investor baru, (1) merupakan perusahaan yang bergerak di
bidang usaha yang sama dengan BUMN yang akan diprivatisasi, (2) memiliki reputasi
internasional, (3) memiliki jaringan pemasaran yang baik di tingkat internasional, (4)
telah menerapkan prinsip good corporate governance dalam perusahaannya, (5) telah
memiliki budaya kerja yang baik dalam perusahaannya, serta (6) memiliki keunggulan di
bidang iptek.

Apakah Privatisasi adalah satu-satunya Jalan?

Pihak yang menentang berpendapat bahwa BUMN adalah asset Negara yang harus
tetap dipertahankan kepemilikannya oleh pemerintah, walaupun tidak mendatangkan
manfaat karena terus merugi. Misalnya kasus penjualan saham PT Semen Gresik
Group kepada Cemex. Kebijakan ini juga ditolak oleh Serikat Pemerja Semen Gresik
(SPSG) dengan melakukan mogok kerja. Argumentasi lainnya adalah untuk membuat
BUMN kembali sehat tidak selalu harus dengan cara menjual ke pihak swasta apalagi
ke asing. Yustika (2009) dalam Tambunan (2012) menjelaskan bahwa privatisasi bukan
merupakan satu-satunya jalan keluar untuk menyehatkan BUMN. Hal ini didasarkan
pada hasil analisis dari tesis Feri Irwanto tahun 2006 (dikutip dari Kompas, 1 Februasri
2006) terhadap sejumlah indicator kunci mengenai kinerja (keuangan) dari sejumlah
BUMN yang disurveinya setelah privatisasi.

Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.4, memang untuk beberapa indikator, yakni ROE
(retun on equity), penjualan riil dan rasio utang perusahaan terhadap asset
menunjukkan perbaikan. Tetapi beberapa variabel lainnya, yakni ROA (return on
assets) dan ROS (return on sales) tidak menunjukkan perbaikan yang berarti setelah
dilakukan prvatisasi. Selain itu privatisasi juga harus mempertimbangkan faktor non-
ekonomi seperti bidang usaha apa yang akan diprivatisasi, menyangkut hajat hidup
orang banyak atau tidak atua bernilai strategis atau tidak bagi negara Indonesia.

Rata-rata median Proporsi BUMN yang


Jumlah
Indikator Pra- Pasca- Selisih mengalami perubahan
sampel
privatisasi privatisasi kinerja sesuai harapan

Profitabilitas
- ROS 12 0,1716 0,0408 -0,1308 0,3333
- ROA 12 0,1016 0,0508 -0,0507 0,3333
- ROE 12 0,2417 0,2366 -0,0051 0,50
Penjualan riil 12 0,6985 1,3725 0,6741 0,9167
Rasio utang 12 0,5992 0,5801 -0,0192 0,50
terhadap asset
Tabel 5.4. Perubahan Sejumlah Indikator Kinerja BUMN di Indonesia Pasca Privatisasi

Basri (2002) menjelaskan bahwa ada 2 hal yang diperhatikan dalam upaya penyehatan
BUMN. Faktor eksternalitas dan efisiensi. Faktor eksternalitas adalah manfaat ekonomi dari
keberadaan BUMN yang dinikmati oleh pihak-pihak tekait di luar BUMN meliputi
perusahaan-perusahaan lain dan masyarakat pada umumnya. Faktor efisiensi terkait pada
efisiensi teknis dalam lingkup internal perusahaan. Keputusan menjual saham BUMN
sampai 100 persen akan lebih efektif ketika suatu BUMN memiliki manfaat ekonomi yang
sangat rendah dan tidak efisien. Demikian pulan jika suatu BUMN yang memiliki
eksternalitas tinggi dan efisien tidak seharusnya BUMN tersebut dijual sahamnya. Gambar
5.3 menunjukkan beberapa alternatif pennyehatan BUMN sesuai dengan kondisinya.

EKSTERNALITAS

Rendah Tinggi


 Korporatisasi
Likuidasi/jual
Rendah  Rekayasa ulang
 Meger/akuisisi


EFISIENSI
 Pertahankan
Go public/Go
Tinggi internasional  Go public
 Go internasional

Gambar 5.3 Alternatif Perlakuan terhadap BUMN

Dengan demikian, privatisasi BUMN hanyalah sebagai salah satu cara untuk
merestrukturisasi perekonomian Indonesia dan dalam melakukan privatisasi harus
mempertimbangkan banyak hal termasuk faktor non-ekonomi.

Tantangan Perekonomian Era Presiden Jokowi


Pemilu Presiden tahun 2014, telah menghasilkan pemimpin baru bagi Indonesia yaitu Joko
Widodo. Terlepas dari pro-kontra masalah pencitraan atau tidak, beliau-lah yang secara
konstitusional telah terpilih. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa terpilih menjadio
Presiden bukanlah suatu kemenangan ataupun kesuksesan. Kemenangan atau kesuksesan
adalah ketika berhasil memimpin dnegan amanah dan mampu membawa Indonesia ke arah
yang lebih baik. Lebih baik tentu saja dari berbagai aspek, termasuk aspek ekonomi.
Terdapat beberapa tantangan perekonomian Indonesia era sekarang ini. Tambunan (2015)
menjelaskan paling tidak ada empat hal pokok yang menjadi tantangan pemerintahan
Jokowi, yaitu:

1. Pengurangan Subsidi Energi


2. Tuntutan Kenaikan Upah Buruh (Kesejahteraan Buruh)
3. Pertumbuhan Kesempatan Kerja
4. Pembangunan Sektor Pertanian
5. Pengurangan Hutang Luar Negeri

Pengurangan Subsidi Energi

Sejak dari dulu bahwa BBM kita termasuk yang paling murah di antara negara-negara di
dunia karena selalu disubsidi dari APBN. Alokasi subsidi yang terus-menerus cukup
membebani APBN sehingga mau tidak mau harus dikurangi agar alokasi dana tersebut bisa
dialihkan ke pos yang lebih bermanfaat. Namun demikian, kenyataannya tidak semudah itu.
Kenaikan BBM berpotensi besar menimbulkan inflasi dan menurunnya daya beli
masyarakat. Ini yang perlu diperhatikan.

Tuntutan Kenaikan Upah Buruh

Ini adalah tantangan selanjutnya. Mencari titik temu antara pengusaha dan buruh. Di satu
sisi, buruh ingin kesejahteraan ditingkatkan, dan ini mulai terlihat dengan kenaikan UMP
dalam 2 tahun terakhir. Namun demikian, kenaikan UMP juga berpotensi menambah cost
bagi pengusaha yang mempengaruhi pricing. Harga yang tinggi bisa berpotensi kalah
bersaing atau mungkin kenaikan harga secara umum.

Pertumbuhan Kesempatan Kerja

Dari data BPS, disebutkan bahwa angkatan kerja Indonesia terus mengalami peningkatan.
Jika hal ini tidak segera diimbangi dengan lapangan kerja baru, maka akan menjadi
permasalahan tersendiri bagi perekonomian bahkan bisa menjadi masalah sosial.
Setidkanya ada beberapa isu terkait pertumbuhan kesempatan kerja ini antara lain:

 Pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu menciptakan lapangan pekerjaan


baru
 Penyebaran kesempatan kerja menurut sektor ekonomi.
 Penyebaran kesempatan kerja menurut wilayah/propinsi
 Peran sektor informal dalam penyediaan lapangan kerja
 Tingkat pengangguran.
Pembangunan Sektor Pertanian

Dulu negara Indonesia dalah negara agraris. Namun, dalam perkembagan terakhir, sektor
pertanian seakan-akan dianaktirikan, karena memanga menyumbang PBD yang sedikit. Ada
paling tidak 3 tantangan dalam pembangunan sektor pertanian, yaitu:

 Bagaimana Indonesia bisa mandiri dalam pemenuhan komoditas sektor pertanian,


khususnya untuk pemenuhan kebutuhan pokok seperti beras, gandum, sayuran,
jagung,dll
 Bagaimana Indonesia tidak hanya mengekspor hasil komoditas pertanian berupa
bahan mentah, tapi juga produk turunan dari bahan mentah tersebut
 Bagaimana agar petani Indonesia bisa sejahtera. Ini adalah tujuan utama dari sektor
pertanian. Mau hasil melimpah tapi jika petaninya tidak sejahtera, berarti tidak ada
gunanya.

Pengurangan Hutang Luar Negeri

Sejak awal Orde Baru bahkan sampai saat ini, Indonesia belum benar-benar terbebas dari
hutang luar negeri. Memang khususnya negara-negara berkembang memerlukan modal
lebih untuk membangun negara. Namun, bagaimanapun juga, hutang itu lambat laun harus
dikurangi untuk mengurangi dampak beban bunga dan yang paling penting adalah
menempatkan hutang tersebut ke pos-pos yang lebih produktif.

Sebenanrya masih ada beberapa tantangan ke depan bagi perekonomian Indonesia. Yang
tampak di depan mata adalah krisis global dan tentunya pasar bebas ASEAN (MEA) yang
telah dimulai tahun 2016.
Daftar Pustaka
Abdullah, Burhanudin. Peran Kebijakan Moneter dan Pebankan dalam Mengatasi Krisis Ekonomi di
Indonesia. 2003.

Basri, Faisal. Perekonomian Indonesia.Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan Indonesia Jakarta:
Erlangga. 2002.

Kuncoro, Mudrajad. Mudah Memahami&Menganalisis Indikator Ekonomi.Yogyakarta: UPPSTIM


YKPN. 2003.

Rachbini, Didik J. Ekonomi di Era Transisi Demokrasi. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2001

Tambunan, Tulus. Perekonomian Indonesia. Beberapa Masalah Penting. Jakarta: Ghalia Indonesia.
2012

Tambunan, Tulus. Perekonomian Indonesia. Era Orde Lama Hingga Jokowi. Jakarta: Ghalia
Indonesia. 2015

Tambunan, Tulus. Perekonomian Indonesia. Kajian Teoritis dan Analisis Empiris. Jakarta:
Ghalia Indonesia. 2012.

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

www.bps.go.id

Anda mungkin juga menyukai