Anda di halaman 1dari 4

HANDOUT

PERTEMUAN KESEPULUH

A. IDENTITAS MATA KULIAH


1. Nama Mata kuliah : AL-QAWAID AL-FIQHIYYAH
2. Kode Mata kuliah : SYA.MKB.07.
3. Semester/SKS : V/2 SKS
4. Jurusan/Fakultas : Hukum Keluarga (Ahwal Al-Syakhshiyyah)
5. Jenis Mata kuliah :
6. Prasyarat :
7. Dosen : Dr. H. Edy Setyawan, Lc., MA

B. BAGIAN ISI
Pertemuan Kesepuluh :
Lima Kaidah Pokok dalam al-Qawaid al-Fiqhiyyah dan contohnya (Kaidah ke-3 dan
ke-4)

Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Lima Kaidah Pokok dalam al-Qawaid
al-Fiqhiyyah

Uraian Singkat Materi


A. Kaidah Ketiga
َ‫ﺿﺮَ ار‬
ِ ‫َﻻﺿَﺮَ رَ وَ َﻻ‬
“Tidak boleh ada dharar dan juga dhirar”
a. Makna kaidah
Kaidah tersebut merupakan salah satu kaidah kunci dalam hukum islam.
Hal ini dengan melihat tujuan dari semua hukum islam, yang dikenal
dengan “Maqashidu al Syari`ah al Ammah”, yaitu : Menarik
kemaslahatan dan menolak kerusakan. Tujuan menggapai kemaslahatan
dan menolak kerusakan merupakan muara hukum islam. Kaidah ini adalah
aplikatif atau bentuk konkrit dari salah satu tujuan syari’at, yanbg dalam
hal ini adalah menolak kerusakan. Sebab dengan tidak adanya dharar
berarti tidak ada kerusakan.
b. Dalil kaidah
Dalam Al Qur’an juga banyak sekali ayat yang menjelaskan ketidak
bolehan menimbulkan dharar, diantaranya :


       
      
 
   
     
    
    
    
    
   
  
 
 

            

          

 
Artinya : “..... Dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk mempersempit
(hati) mereka ..... ” (QS. Al Thalaq : 6).
c. Contoh aplikatif
Kaidah ini sangat vital sekali dalam hukum islam, sehingga banyak
ditemukan contoh aplikatifnya, dan kesemuanya merupakan bukti bahwa
islam tidak ingin ada dharar yang menimpa pada pemeluknya. Contoh
aplikatifnya ialah :
 Adanya khiyar majlis dan khiyar syarat. Khiyar majlis ialah hak antara
menggagalkan akad atau melanjutkan akad saat pihak penjual ataupun
pembeli masih belum berpisah dalam satu tempat akad.
 Kebolehan hajr. Mencegah seseorang untuk melakukan tasharruf pada
hartanya.
 Adanya hak syuf’ah, yaitu hak untuk membeli secara paksa. Ini
disyari’atkan karna khawatir timbulnya dharar. (Hal 80)
d. Kaidah-kaidah turunan
1) Al Dhararu Yuzalu [Setiap bentuk dharar harus dihilangkan].
2) Al Dhararu Yudfa`u bi Qadri al Imkan “Dharar itu dihilngkan sebisa
mungkin”.
3) Al Dhararu la Yuzalu bi al Dharar [Dharar tidak boleh dihilangkan
menggunakan dharar yang lain].
4) Al Dhararu al Asyaddu Yuzalu bi al Dharari al Akhafi [jika ada dua
keburukan) maka harus dipilih yang lebih ringan dampaknya].
5) Idza Ta`aradha Mafsadatani Ru`iya A`zhamuhuma bi Irtikabi
Akhaffihima [Apabila ada dua pertentangan antara dua mafsadat, maka
diperhatikan yang lebih besar mafsadatnya dengan memilih sesuatu
yang mafsadatnya lebih kecil].
6) Yutahammalu al Dhararu al Khass li Dafi`i al Dharari al `Amm
[Dharar yang bersifat khusus (individual), wajib dipikul untuk
menghentikan dharar yang umum].
7) Dar`u al Mafasidi Awla min Jalbi al Mashalihi [Menghilangkan
mafsadat lebih utama dari pada menarik kemaslahatan].
8) Al Dhararu la Yakunu Qadiman [Tidak boleh ada dharar yang
dibiarkan berlalu].
9) Ma Ubiha li a-Dharurati Yuqaddaru bi Qadriha [Sesuatu yang
diperbolehkan karena dharurat maka harus ditakar daruratnya].

B. Kaidah Keempat
‫ﺸﻘﱠﺔُ ﺗ َﺠْ ﻠِﺐُ اﻟﺘ ﱠﯿﺴﯿﺮ‬
َ ‫أﻟ َﻤ‬
“suatu kesusahan mengharuskan adanya kemudahan”
1. Makna kaidah
Kesulitan (masyaqqah) yang dapat memudahkan adalah kesulitan yang
menyebabkan pembebanan syari’ah tidak terjadi secara terus menerus. Jika
sebuah masyaqqah menyebabkan pembebanan syari’ah terjasi secara
kontinue maka tidak dapat dikategorikan sebagai masyaqqah yang dapat
memudahkan.
Masyaqah yang dapat memberikan keringanan adalah masyaqqah yang
besar dan berat, msyaqqah yang benar-benar sukar, masyaqqah yang dapat
berdampak pada kerusakan jiwa dan harta, dan lain sebagainya.
2. Dalil kaidah

               

            

               

          

Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuatu dengan


kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (mereka berdo’a): Ya tuhan kami, janganlah engkau
hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya tuhan kami, janganlah
engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana engkau
bebankan kepada orang-orang sebelum kami....” (QS. Al Baqarah : 286).
3. Sebab-sebab adanya rukhsah (keringanan)
Dalam istilah syara’, rukhshah adalah suatu keadaan yang menyebabkan
menyalahi hukum asal lantaran ada dalil syar’iy yang unggul. Rukhshah
adalah bandingan dari `azimah.
4. Macam-macam rukhshah
Dari aspek mengerjakan dan tidak adanya alasan untuk mengerjakan, maka
rukhshah ada lima macam :
a. Rukhsah yang wajib dikerjakan. Misalnya : memakan bangkai bagi
orang yang telah dalam keadaan darurat dan tidak memperoleh
makanan lain.
b. Rukhshah yang sunah dikerjakan. Misalnya : meringkas shalat dalam
perjalanan.
c. Rukhshah yang lebih utama ditinggalkan. Misalnya : orang yang sakita
dan sakitnya tidak menyebabkan bahaya yang signifikan ketika ia
berpuasa. Dalam hal ini lebih baik berpuasa.
d. Rukhshah yang dimakruhkan. Misalnya : mengqashar shalat, sedangkan
berpergian hanya berjarak dibawah 80 KM. (Hal 100)
5. Contoh-contoh aplikatif
Suami yang tidak mampu membiayai nafkah isterinya, maka tidak lantas
keduanya dipisahkan. Si isteri cukup memperhitungkan nafkah yang tidak
dibayar sebagai hutang yang wajib dibayar ketika uami telah mampu.
6. Kaidah-kaidah turunan
a. Idza Dhaqa al Amru Ittasa`a wa Idza Ittasa`a Dhaqa “Apabila sebuah
perkara telah sempit maka menjadi lapang dan apabila telah lapang
maka sempit lagi”.
b. Al Dharuratu Tubihu al Mahdhurat “Keadaan-keadaan darurat dapat
memperoleh pada hal-hal yang dilarang”.
c. Al Dharuratu Tuqaddaru Biqadriha “Keadaan-kaeadaan darurat ditakar
sesuai dengan kadarnya”.
d. Al Idhtirar la Yubthilu Haqqa al Ghair “Keterdesakan tidak dapat
membatalkan hak orang lain”
e. Al Hajah Tanzilu Manzilata al Dharurati Ammatan Kanat aw
Khasshatan “Kebutuhan terkadang diposisikan seperti keadaan darurat,
baik secara umum maupun secara khusus”.
f. Yanzilu al Majhul Manzilata al Ma`dum “Sesuatu yang tidak diketahui
(keberadaannya) diposisikan dalam posisi sesuatu yang tidak ada”.

C. REFERENSI
1. Jalaluddin Abd al-Rahman Al-Suyuthi, al­-Asybah wa al-Nazhair fi Qawa’id wa
Furu’ Fiqh al-Syafi’i, Cet. Ke-1, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1399 H/1979
2. Asymuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, Jakarta : Bulan Bintang, 1976, Cet.
Ke-1
3. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, t.t.: Dâr Al-Fikri Al-Arabi, t.th.
4. Al-Imam Tajjuddin Abd al-Wahab bin Ali bin Abd al-Kafi al-Subki, Al-
Asybah wa al-Nazhâir, Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyah, t.th., Juz I
5. Ibnu Nuzaim, Al-Asybah wa al-Nazhair, Damaskus: Dar al-Fikr, 1403 H/1983
M
6. Ali Ahmad Al-Nadwi, Al-Qawâ’id Al-Fiqhiyah, Beirut : Dâr al-Qâlam, 1420
H/2000 M, Cet. Ke-5.
7. Muhammad al-Ruki, Qawâ’id Al-Fiqhi al-Islami, Beirut : Dâr al-Qâlam, 1419
H/1998 M, Cet. Ke-1.
8. Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, t.t..: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1403 H/1983 M

Cirebon, 16 Nopember 2016


Dosen Pengampu,

Dr. H. Edy Setyawan, Lc., MA


NIP. 19770405 200501 1 003

Anda mungkin juga menyukai