Penyimpangan atau korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah menunjukkan
kepada kita ongkos korupsi masa lalu yang harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia. Rakyat
jadi korban karena efek berkepanjangannya dalam bentuk pengembalian utang. Sementara para
penjahat diampuni dan tetap dapat ‘bertengger’ dengan leluasa di atas pundi-pundi uang yang
dicuri. Harus diakui penyimpangan dana BLBI merupakan kasus korupsi terbesar yang pernah
terjadi di negeri ini. Fakta ini bisa dilihat dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp 138,4
triliun dinyatakan berpotensi merugikan negara.
Dana-dana tersebut kurang jelas penggunaannya. Juga terdapat penyimpangan dalam penyaluran
maupun penggunaan dana BLBI yang dilakukan pemegang saham, baik secara langsung atau
tidak langsung melalui grup bank tersebut. Sedangkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI menemukan penyimpangan sebesar
Rp 54,5 triliun. Sebanyak Rp 53,4 triliun merupakan penyimpangan berindikasi korupsi dan
tindak pidana perbankan. Upaya menyeret para pelaku korupsi dana BLBI sampai saat ini masih
terbentur kendala penegakan hukum. Seolah hukum bungkam dan tidak bertaring menghadapi
para ‘konglomerat hitam’. Untuk penanganan kasus ini, Kejaksaan Agung tidak menunjukkan
kemajuan signifikan dari tahun ke tahun.
Penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dapat dianggap sebagai sebuah
lembaran hitam dalam kehidupan perbankan nasional. Sementara penanganan terhadap kasus-
kasus penyimpangan BLBI tersebut dapat pula dicatat sebagai sebuah lembaran hitam dalam
sejarah kehidupan hukum Indonesia. Catatan tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan bila
dikaitkan dengan adanya berbagai implikasi yuridis yang kemudian muncul sebagai akibat
berbelit-belitnya proses penanganan kasus penyalahgunaan dana BLBI. Ketidaksamaan persepsi
di kalangan hukum sendiri tentang penanganan kasus-kasus BLBI adalah gambaran tentang
betapa kehidupan hukum kita semakin menjauh dari kepastian hukum.