Anda di halaman 1dari 4

KASUS KORUPSI ERA MEGAWATI

1. KASUS KORUPSI BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA (BLBI)

Penyimpangan atau korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah menunjukkan
kepada kita ongkos korupsi masa lalu yang harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia. Rakyat
jadi korban karena efek berkepanjangannya dalam bentuk pengembalian utang. Sementara para
penjahat diampuni dan tetap dapat ‘bertengger’ dengan leluasa di atas pundi-pundi uang yang
dicuri. Harus diakui penyimpangan dana BLBI merupakan kasus korupsi terbesar yang pernah
terjadi di negeri ini. Fakta ini bisa dilihat dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp 138,4
triliun dinyatakan berpotensi merugikan negara.

Dana-dana tersebut kurang jelas penggunaannya. Juga terdapat penyimpangan dalam penyaluran
maupun penggunaan dana BLBI yang dilakukan pemegang saham, baik secara langsung atau
tidak langsung melalui grup bank tersebut. Sedangkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI menemukan penyimpangan sebesar
Rp 54,5 triliun. Sebanyak Rp 53,4 triliun merupakan penyimpangan berindikasi korupsi dan
tindak pidana perbankan. Upaya menyeret para pelaku korupsi dana BLBI sampai saat ini masih
terbentur kendala penegakan hukum. Seolah hukum bungkam dan tidak bertaring menghadapi
para ‘konglomerat hitam’. Untuk penanganan kasus ini, Kejaksaan Agung tidak menunjukkan
kemajuan signifikan dari tahun ke tahun.

Penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dapat dianggap sebagai sebuah
lembaran hitam dalam kehidupan perbankan nasional. Sementara penanganan terhadap kasus-
kasus penyimpangan BLBI tersebut dapat pula dicatat sebagai sebuah lembaran hitam dalam
sejarah kehidupan hukum Indonesia. Catatan tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan bila
dikaitkan dengan adanya berbagai implikasi yuridis yang kemudian muncul sebagai akibat
berbelit-belitnya proses penanganan kasus penyalahgunaan dana BLBI. Ketidaksamaan persepsi
di kalangan hukum sendiri tentang penanganan kasus-kasus BLBI adalah gambaran tentang
betapa kehidupan hukum kita semakin menjauh dari kepastian hukum.

2. PENANGANAN KORUPSI ERA MEGAWATI


Di masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri, berbagai kasus korupsi menguap dan
berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan masyarakat. Masyarakat mulai meragukan
komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan saat itu karena banyaknya BUMN yang
ditenggarai banyak korupsi namun tak bisa dituntaskan. Ditengah kepercayaan masyarakat yang
sangat rendah terhadap lembaga negara yang seharusnya mengurusi korupsi, pemerintahan
Megawati kemudian membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didirikan pada tahun 2003, pada masa
pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri. Pada tanggal 29 Desember 2003 pimpinan
pemberantasan korupsi dilantik di Istana Negara, Jakarta. Presiden Megawati berusaha
memberantas korupsi dengan mendirikan KPK, karena menurut beliau dibutuhkan badan khusus
yang menyelidiki kasus-kasus korupsi selain dari Kepolisian dan Kejaksaan. Beberapa fungsi
dari KPK antara lain adalah melakukan pencegahan-pencegahan agar tidak terjadi tindakan
korupsi. Selain itu KPK juga bertugas untuk menyelidiki dan melakukan penuntutan terhadap
suatu tindakan korupsi.

3. KASUS KORUPSO ERA SBY


Kasus-kasus korupsi besar yang menjadi PR penting pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono antara lain adalah:
1. Dugaan korupsi yang dilakukan Suharto di 17 Yayasan (kerugian negara 1,4
triliun).
2. Dugaan korupsi pertamina, baik dalam Technical Assitance Contract tahun 1993
dengan PT. Untaindo Petro Gas (kerugian 24,8 juta dollar AS). Kasus Proyek
Kilang Minyak Export Oriented (kerugian negara mencapai 1,8 triliun lebih),
maupun proyek pipaisasi pengangkutan BBM di Jawa (kerugian mencapai 31,4
juta dollar AS).
3. HPH dan Dana Reboisasi (ada 51 kasus dan menimbulkan kerugian negara
mencapai Rp. 15,025 triliun)
4. Korupsi BLBI (kucuran dana segar untuk program ini mencapai Rp. 650 triliun).

4. PENANGANAN KORUPSI PADA MASA SBY


A. Menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004.

B. Penyiapan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN).

Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, visi pemberantasan korupsi


tercermin dari langkah awal yang dilakukannya dengan menerbitkan Instruksi
Presiden Nomor 5 Tahun 2004 dan kemudian dilanjutkan dengan penyiapan
Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN) yang disusun oleh
Bappenas. RAN Pemberantasan Korupsi itu berlaku pada tahun 2004-2009.
Dengan menggunakan paradigma sistem hukum, pemerintah Susilo Bambang
Yudhoyono diuntungkan sistem hukum yang mapan, keberadaan KPK melalui
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) yang terpisahkan dari pengadilan umum, dukungan internasional
(structure), dan instrument hukum yang saling mendukung antara hukum nasional
dan hukum internasional.

5. HUKUMAN PARA KORUPTOR PADA ERA MEGAWATI DAN SBY


a. Rokhmin Dahuri
Rokhmin Dahuri adalah Menteri Kelautan dan Perikanan di Kabinet Gotong Royong
periode 2001-2004 pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Dia divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi terkait pengumpulan dana
dekonsentrasi yang dilakukan melalui pejabat Departemen Kelautan dan Perikanan
(DKP) sebesar lebih dari Rp 15 miliar.
b. Achmad Sujudi
Achmad Sujudi adalah Menteri Kesehatan di Kabinet Gotong Royong periode 2001-
2004 pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Dia ditetapkan sebagai tersangka kasus korpsi pengadaaan alat kesehatan di
Departemen Kesehatan tahun 2003 pada Mei 2009 ketika sudah tidak menjabat.
Setelah melalui proses persidangan,
Dia dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 4 bulan
kurungan pada tingkat banding.
c. Hari Sabarno
Hari Sabarno merupakan Menteri Dalam Negeri di Kabinet Gotong Royong periode
2001-2004 pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Dia ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan mobil pemadam
kebakaran pada 2003-2005 yang menyebabkan kerugian negara Rp 97,2 miliar.
Hari divonis hukuman 5 tahun dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan
penjara oleh Mahkamah Agung pada tingkat kasasi.
d. Bachtiar Chamsyah
Bachtiar Chamsyah adalah Menteri Sosial di Kabinet Gotong Royong periode 2001-
2004 dan Kabinet Indonesia Bersatu periode 2004-2009.
Saat itu Bachtiar ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan mesin jahit
dan impor sapi di Departemen Sosial.
Bachtiar dijatuhi hukuman satu tahun dan delapan bulan penjara serta denda Rp 50
juta pada 2011.
Dia terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menyetujui penunjukan
langsung pengadaan mesin jahit, sapi impor, dan kain sarung yang merugikan negara
hingga Rp 33,7 miliar.
e. Siti Fadillah Supari
Siti Fadillah Supari merupakan Menteri Kesehatan di Kabinet Indonesia Bersatu
periode 2004-2009
KPK menetapkan Siti sebagai tersangka korupsi pengadaan alat kesehatan buffer
stock untuk kejadian luar biasa 2005.
Dia dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan
kurungan karena terbukti menyalahgunaan wewenang dalam kegiatan pengadaan alat
kesehatan (alkes)
f. Andi Mallarangeng
Andi Mallarangeng adalah Menteri Pemuda dan Olahraga di Kabinet Indonesia
Bersatu Jilid II periode 2014-2019.
Andi ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan sarana dan prasarana
olahraga di Hambalang, Bogor pada Desember 2012.
Andi dinyatakan bersalah telah memperkaya diri sendiri sebesar Rp 2 miliar dan
550.000 dollar AS dan memperkaya korporasi.
Dia dijatuhi 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan atas
perbuatannya itu.
g. Jero Wacik
Jero Wacik merupakan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata pada Kabinet Indonesia
Kerja jilid I dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada Kabinet Indonesia
jilid II.
Jero ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada September 2014 dalam kasus
pemerasan terkait jabatannya sebagai Menteri ESDM.
Pada 2016, Jero dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 3
bulan kurungan, serta uang pengganti sebesar Rp 5,073 miliar.

Anda mungkin juga menyukai