Anda di halaman 1dari 52

Nama : CINDY NOVITA SARI

NIM : 20180210101

Judul Skripsi : PENGARUH APLIKASI FORMULASI NANO


Carrier INOKULASI
Rhizobium sp. INDIGENOUS DAN FUNGI
MIKORIZA ARBUSKULA (FMA)
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL
TANAMAN KEDELAI EDAMAME (Glycine
max (L.) Merr.) DALAM CEKAMAN
KEKERINGAN

Dosen Pembimbing I : Ir. Agung Astuti, M.Si

Dosen Pembimbing II :

……………………………………………………………………

Rekaman Proses :

Kegiatan Tanggal Tanda Tangan

Workshop 16 Januari 2021

Seminar Proposal

Seminar Hasil

Ujian Skripsi

No. Tanggal Materi Komentar & Saran Paraf

Selasa Teknik Penulisan


1.
16/02/2021 Proposal
2 11 Maret
21

PENGARUH APLIKASI FORMULASI NANO Carrier


INOKULASI Rhizobium sp. INDIGENOUS DAN FUNGI
MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN KEDELAI
EDAMAME (Glycine max (L.) Merr.) DALAM CEKAMAN
KEKERINGAN

Usulan Penelitian

Diajukan oleh :
Cindy Novita Sari
20180210101
Program Studi Agroteknologi

Kepada
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Usulan Penelitian

PENGARUH APLIKASI FORMULASI NANO Carrier INOKULASI


Rhizobium sp. INDIGENOUS TAHAN KERING DAN FUNGI MIKORIZA
ARBUSKULA (FMA) TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL
TANAMAN KEDELAI EDAMAME (Glycine max (L.) Merr.) DALAM
CEKAMAN KEKERINGAN

Yang diajukan oleh :

Cindy Novita Sari

20180210101

Program Studi Agroteknologi

telah disetujui/disahkan oleh :


Pembimbing Utama

Ir. Agung Astuti, M.Si Tanggal .........................

NIP: 19620923199303133017

Pembimbing Pendamping

ii
................................... Tanggal .........................

Mengetahui :

Ketua Program Studi Agroteknologi

Dr. Innaka Ageng Rinneksane, SP. M.P. PhD Tanggal .........................

NIK. 19721012200004133050

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………………ii


DAFTAR ISI ……………………………………………………………………..iii
II. PENDAHULUAN...........................................................................................2
A. Latar Belakang..........................................................................................2
B. Perumusan Masalah...................................................................................4
C. Tujuan Penelitian.......................................................................................4
III. TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................6
A. Budidaya Kedelai Edamame.....................................................................6
B. Asosiasi dan Kompatibilitas Rhizobium sp. dengan Tanaman Kedelai
Edamame....................................................................................................18
C. Asosiasi dan Kompatibilitas Fungi Mikoriza Arbuskular dengan Tanaman
Kedelai Edamame......................................................................................20
D. Bahan Pembawa Inokulum (Carrier)......................................................21
E. Hipotesis..................................................................................................24
IV. TATA CARA PENELITIAN......................................................................15

iii
A. Tempat dan Waktu Penelitian.................................................................15
B. Bahan dan Alat Penelitian.......................................................................15
C. Metode Penelitian....................................................................................15
D. Tata Cara Penelitian................................................................................16
E. Parameter yang diamati...........................................................................27
F. Analisis data............................................................................................29
G. Jadwal Penelitian.....................................................................................29

Daftar Pustaka ...…………………………………………………………………30


Lampiran ……………………………………………………………………….. 35

iv
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kedelai Edamame (Glycine max (L.) Merr.) merupakan tanaman potensial


yang perlu dikembangkan karena memiliki rata-rata produksi 3,5 ton ha-1 lebih
tinggi daripada produksi tanaman kedelai biasa yang memiliki rata-rata produksi
1,7–3,2 ton ha. Selain itu, pengembangan kedelai Edamame memiliki prospek
pasar yang luas mengingat kebutuhan pangan kedelai Indonesia terus meningkat.
Permintaan eksport dari negara Jepang sebesar 100.000 ton per tahun dan
Amerika sebesar 7.000 ton per tahun. Sementara itu Indonesia baru dapat
memenuhi 3% dari kebutuhan pasar Jepang, sedangkan 97% lainnya dipenuhi
oleh Cina dan Taiwan (Nurman, 2013).
Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 843.153 t dan pada
tahun 2013 sebesar 779.992 t mengalami penurunan sebesar 63.161 t (BPS, 2014).
Badan Pusat Statistik (2011) melaporakan produksi kedelai lokal hanya 851.286 t
dan hanya memenuhi 29% dari total kebutuhan nasional. Indonesia harus
mengimpor kedelai sebanyak 2.087.986 untuk memenuhi kebutuhan nasional
sebanyak 2,2 juta t.. Penurunan produksi kedelai pada tahun 2013 disebabkan
karena luas areal panen yang belum memadai, waktu tanam tidak tepat dan
produktivitas yang masih rendah, tekhnik budidaya yang masih rendah, dan
tingginya serangan hama dan penyakit, serta tingginya harga pupuk (Sumarno,
1999). Untuk mencapai produktifitas kedelai Edamame yang tinggi tersebut maka
perlu adanya inovasi teknologi budidaya yang sesuai dengan kondisi lahan yang
ada. Salah satu usaha untuk meningkatkan produktivitas kedelai Edamame adalah
dengan menggunakan inokulan bakteri Rhizobium sp. dan FMA (Fungi Mikoriza
Arbuskular) sebagai pupuk hayati. Simarmata (1995) mengemukakan bahwa
penggunaan berbagai pupuk hayati pada lahan kering di Indonesia ternyata
mampu meningkatkan ketersediaan hara dan hasil berbagai tanaman antara 20-
100%

1
Rhizobium sp. merupakan bakteri yang hidup bebas dalam tanah dan daerah
perakaran tumbuh – tumbuhan legume maupun bukan legume. Bakteri Rhizobium
sp. hanya mampu bersimbiosis dengan legume seperti kedelai Edamame, dengan

1
2

menginfeksi akarnya dan membentuk bintil akar di dalamnya. Bakteri Rhizobium


sp. adalah salah satu contoh kelompok bakteri yang berkemampuan sebagai
penyedia hara bagi tanaman. Peranan Rhizobium sp. terhadap pertumbuhan
tanaman khususnya berkaitan dengan masalah ketersediaan nitrogen bagi tanaman
inangnya (Campbell et al., 1999). inokulasi Rhizobium sp. mampu meningkatkan
fikasi nitrogen dan meningkatkan hasil biji, serta dapat menekan pemakaian
pupuk buatan dan meningkatkan efisiensi pemupukan (Nurhayati, 2011).
Penambatan nitrogen secara biologis diperkirakan menyumbang lebih dari
170 juta ton nitrogen ke biosfer per tahun, 80% diantaranya merupakan hasil
simbiosis antara Rhizobium sp. dengan tanaman leguminosa (Prayitno et al.,
2000). Pada kondisi optimum, 80% kebutuhan N untuk kedelai Edamame dapat
dipenuhi dari mekanisme fiksasi N udara oleh Rhizobium sp. dalam bintil akar
(Sutanto, 2002). Hubungan yang serasi antara Rhizobium sp. dan tanaman
inangnya akan menghasilkan bintil akar yang sangat efektif dalam menambat N
udara (Yutono, 1985). Selain itu faktor lingkungan dan fisiologi juga sangat
berpengaruh. Seperti yang dikatakan oleh Gibson (1981) bahwa pembentukan
bintil akar yang baik dari hasil penambatan N pada akar tanaman legum
merupakan suatu rangkaian yang kompleks dari proses fisiologi yang meliputi
interaksi antara tanaman dengan biak yang diinokulasikan.
Efektivitas Rhizobium sp. dalam menambat Nitrogen juga dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah bahan pembawa atau
carrier. Formula carrier pupuk hayati merupakan salah satu faktor penentu
keberhasilan penggunaan pupuk hayati karena berperan penting dalam menjaga
viabilitas dan efektivitas mikroba yang terkandung di dalamnya. Bahan pembawa
yang digunakan harus berukuran kecil sehingga mampu melekat dengan kuat dan
menutupi keseluruhan permukaan benih. Ukuran bahan pembawa (carrier) diubah
menjadi partikel kecil yang disebut nanopartikel. Kelebihan nano partikel adalah
kemampuan menembus ruang-ruang antar sel yang dapat ditembus oleh partikel
kolodial, serta nanopartikel fleksibel untuk dikombinasikan dengan berbagai
teknologi (Buzea et al., 2007). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh
Arief (2011), penggunaan carrier 100% gambut mampu memberikan pengaruh
yang nyata terhadap hasil panen isi polong kedelai sebesar 31,4 polong
3

isi/tanaman. Berdasarkan penelitian penggunaan bahan pembawa biochar dapat


mempengaruhi pertumbuhan kedelai. Suryantini (2016) bahan pembawa
gambut+dolomit+arang mampu konsisten memberikan media tumbuh yang baik
bagi bakteri pelarut Phospat.
Berdasarkan penelitian Rizky & Nurul (2015) menunjukkan bahwa
pemberian inokulum Rhizobium sp. 5 g/kg benih kedelai mampu menunjukkan
hasil terbaik pada parameter bobot kering nodul akar, jumlah nodul akar, tinggi
tanaman, jumlah daun dan luas daun. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sri
(2015) juga menyatakan bahwa inokulasi Rhizobium sp. pada kedelai Wilis dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan hasil. Penelitian Raymond (2014) menyatakan
bahwa pemberian inokulum Rhizobium sp. dengan konsentrasi 7 g/kg benih pada
tanaman kedelai memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah
daun dan jumlah akar. Selain Rhizobium sp., perakaran kedelai Edamame dapat
bersimbiosis dengan Fungi Mikoriza Arbuskula. Rhizobium sp. dan FMA sering
berinteraksi secara sinergistik menghasilkan bintil akar, pengambilan nutrisi, dan
hasil panen yang lebih baik.
Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) merupakan fungi yang bersimbiosis
dengan akar tanaman. Fungi ini dikenal dapat meningkatkan serapan beberapa
unsur hara tanaman, khususnya P, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap
kekeringan, memproduksi hormon pertumbuhan dan dapat memberi perlindungan
tanaman dari patogen akar dan unsur toksik, meningkatkan luas permukaan untuk
pengambilan air dan penyerapan fosfat secara selektif, serta mineral lain dari
tanah dan menyediakan seluruhnya bagi tumbuhan (Campbell et al., 1999).
Sebaliknya fungi akan mendapatkan pasokan karbon hasil fotosintesis tanaman
inang dan lingkungan untuk tempat berkembang kehidupannya (Subiksa, 2002).
Aktifitas FMA pada kondisi cekaman kekeringan tidak hanya pada unsur P
yang lebih baik namun juga dari dinaikkanya pengambilan CO2 pada hantaran
daun yang lebih baik (Bethlenfalvay et al., 1987). Menurut Mayerni et al. (2008)
Fungi Mikoriza arbuskula dapat meningkatkan nutrisi tanaman dan menghasilkan
hormon-hormon pertumbuhan seprti auksin dan giberelin serta tanaman yang
bermikoriza mampu tumbuh lebih baik karena dapat mengambil unsur hara seperti
N, P dan K lebih banyak dari dalam tanah. Berdasarkan penelitian Kurnia (2011)
4

menunjukkan FMA berupa propagul dengan dosis 1 gram per lubang tanam benih
kedelai yang diberikan merupakan FMA yang efektif menginfeksi perakaran
kedelai dan mampu membantu pertahanan tanaman kedelai dalam mengatasi efek
dari cekaman kekeringan.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh aplikasi formulasi nano carrier isolat Rhizobium dan


Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman
kedelai Edamame (Glycin max (L) Merrill).
2. Bagaimana pengaruh frekuensi penyiraman terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman kedelai Edamame (Glycin max (L) Merrill) yang diinokulasi
Rhizobium nano dan Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA).

C. Tujuan Penelitian

1. Mengkaji pengaruh aplikasi formulasi nano carrier isolat Rhizobium nano


dan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman kedelai Edamame (Glycin max (L) Merrill).
2. Mengkaji pengaruh frekuensi penyiraman terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman kedelai Edamame (Glycin max (L) Merrill) yang diinokulasi
Rhizobium nano dan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA).
6

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Budidaya Kedelai Edamame

Edamame merupakan tanaman semusim, tumbuh tegak, daun lebat. Di


Indonesia Edamame mulai ditanam pada tahun 1990 di Gadog, Bogor Jawa Barat
dan hasilnya dipasarkan dalam bentuk segar di pasar dalam negeri. Pada tahun
1992 Edamame dicoba pula pengembangannya di Jember dan sejak tahun 1995
hasilnya mulai dipasarkan dalam bentuk segar beku dan diekspor ke Jepang
(Soewanto et al., 2007).
Tinggi tanaman Edamame berkisar antara 30-50 cm, bercabang sedikit
atau banyak, bergantung pada varietas dan lingkungan hidupnya. Tanaman kedelai
memiliki daun majemuk yang terdiri atas tiga helai anak daun (trifoliolat) dan
umumnya berwarna hijau muda atau hijau kekuning-kuningan (Irwan, 2006).
Bentuk daun kedelai ada yang bulat (oval) dan lancip (lanceolate). Tanaman
kedelai memiliki sistem perakaran tunggang, yang bercabang membentuk akar
sekunder. Akar tunggang pada kedelai umumnya tumbuh mencapai kedalaman
30-50 cm, bahkan dapat mencapai 2 meter pada kondisi tanah yang optimal. Akar
sekunder tumbuh mencapai 20-30 cm ke dalam tanah. Akar cabang terdapat bintil
akar yang merupakan simbiosis bakteri Rhizobium sp. dengan tanaman kedelai,
bintil akar berfungsi untuk menambat N2 dari udara bebas (Andrianto dan Indarto,
2004).
Pertumbuhan batang kedelai memiliki dua tipe yaitu determinate dan
indeterminate. Perbedaan sistem pertumbuhan batang ini didasarkan atas
keberadaan bunga pada pucuk batang. Pertumbuhan batang tipe determinate
dicirikan dengan tidak tumbuhnya lagi batang setelah tanaman mulai berbunga,
sedangkan tipe indeterminate dicirikan dengan masih tumbuhnya batang dan daun
setelah tanaman berbunga (Adisarwanto, 2005). Kedelai berbunga sempurna,
yaitu memiliki benang sari dan putik dalam satu bunga. Mahkota bunga akan
rontok sebelum membentuk polong (Rukmana dan Yuniarsih, 1996). Bunga
kedelai menyerupai kupu-kupu, berwarna putih atau ungu. Tangkai bunga
7

umumnya tumbuh dari ketiak daun. Mentreddy (2002) menyatakan bahwa waktu
optimum untuk pemanenan adalah ketika polong masih berwarna hijau, belum
matang dan padat dengan biji hijau yang telah berkembang secara penuh yang
biasanya terjadi pada fase pengembangan.
Syarat tumbuh Edamame menghendaki ketinggian lahan minimal
200 m diatas permukaan laut (dpl), suhu berkisar 26 – 30°C, dengan penyinaran
matahari penuh. Edamame menghendaki tanah yang subur dengan pengairan yang
baik dan kemasaman tanah netral. Kedelai termasuk tanaman hari pendek
sehingga tidak akan berbunga bila panjang hari melebihi batas kritis yaitu 15 jam
perhari. Jika varietas kedelai yang berproduksi tinggi dari daerah subtropik
dengan panjang hari 14-16 jam, ditanam di daerah tropik dengan rata-rata panjang
hari 12 jam maka varietas tersebut akan mengalami penurunan produksi, karena
masa 8 bunganya menjadi pendek yaitu dari umur 50-60 hari menjadi 35-40 hari
setelah tanam (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Di Indonesia, tanaman kedelai
dapat tumbuh dengan baik di daerah dataran rendah sampai daerah dengan
ketinggian 1200 m dari atas permukaan laut (Fachruddin, 2000). Akan tetapi,
umumnya pertumbuhan tanaman kedelai akan baik pada pada ketinggian tidak
lebih dari 500 meter di atas permukaan laut. Kedelai dapat tumbuh baik pada
tanah-tanah alluvial, regosol, grumosol, latosol, dan andosol. Selain itu kedelai
menghendaki tanah yang subur, gembur dan kaya bahan organik, dengan
keasamaan tanah (pH) yang cocok berkisar antara 5,8-7,0 (Juniadi, 2015).
Menurut Singgih (2013) teknik budidaya kedelai Edamame dapat
dilakukan dengan cara berikut :
1. Persiapan media tanam
Media yang perlu disiapkan adalah tanah. Tanah yang biasa
digunakan dalam budidaya kedelai Edamame ialah tanah Regosol. Tanah
yang akan gunakan perlu di kering angikan dengan bantuan sinar mtahari,
ketika tanah sudah kering maka tanah diayak menggunakan alat ayakan
kemudian dimasukkan ke dalam polybag dan diberi label menurut
perlakuan masing-masing.
8

2. Persiapan Benih
Benih yang digunakan harus memiliki kualitas baik, yakni benih
yang sudah cukup tua, utuh, dan warnanya mengkilat. Selain itu benih juga
harus bersih dari kotoran, hama, dan penyakit. Sebelum dilakukan
penanaman benih Edamame, terlebih dahulu dilakukan pengujian daya
kecambah yang bertujuan untuk mengetahui presentase daya kecambah
Edamame yang akan ditanam.
3. Penanaman
Polybag yang digunakan berukuran 30x40 cm, dan diisi tanah
dengan kapasitas 10 kg. Tanah dilubangi 2-3 cm (dilubangi menggunakan
ibu jari) dari permukaan tanah kemudian benih kedelai Edamame
dimasukan ke dalam lubang tanam, satu polybag berisi dua benih kedelai.
Kemudian benih ditutup mengunakan tanah.
4. Pemeliharaan
Pemeliharaan yang dilakukan meliputi :
a. Penyulaman
Proses penyulaman kedelai Edamame dilakukan 1 minggu setelah
tanam (MST) dengan mengganti benih yang tidak tumbuh dengan
memindah tanaman dari tanaman kedelai Edamame yang tumbuh dua
tanaman perlubang. Penyulaman yang dilakukan sesuai pernyataan Mashar
(2010) yaitu pindah tanam dari tanaman yang seumur merupakan cara
penyulaman terbaik, dilakukan pada saat tanaman berumur 8-12 hari
setelah tanam (HST).
b. Penyiangan
Rerumputan atau gulma lainya perlu dibersihkan agar tidak
bersaing dengan Edamame, penyiangan dilakukan pada saat tanaman
berumur 9 HST. Penyiangan selanjutnya dilakukan sesuai kondisi
pertanaman. Gulma yang sering ditemukan pada lahan budidaya adalah
krokot/krayap, bayam berduri, rumput teki dan rumput grinting.
Pengendalian gulma dapat dilakukan secara mekanis maupun
menggunakan herbisida
9

c. Penyiraman
Kedelai menghendaki kondisi tanah lembab namun tidak becek
pada saat penanaman dan pengisian polong. Menjelang panen sebaiknya
dalam keadaan kering. Proses penyiraman dapat dilakukan dengan
menyiramkan air pada polybag pada pagi dan sore hari diawal penanaman.
Kemudian pada sore hari pada saat kedelai mulai tumbuh
d. Pemupukan
Umumnya untuk kedelai dosis yang dianjurkan adalah N 100 kg
Urea/ha, P150 kg TSP/ha, 100 kg KCl/ha, dan ditambah dengan pupuk
kandang 5 ton/ha. Pupuk diberikan tiga kali, yaitu :
1) Pupuk dasar
Diberikan pada awal penananman, dengan cara dicampurkan, dengan
dosis sepertiga dari total dosis.
2) Pupuk susulan I
Umur 20 hari setelah tanam, dosis sepertiganya dengan cara dienclo
disamping tanaman.
3) Pupuk susulan II
Umur 40 hari setelah tanam, dosis sepertiganya dengan cara dienclo
disamping tanaman.
e. Pengendalian OPT
Serangan OPT pada tanaman dapat menyebabkan penurunan
produktivitas hasil apabila tidak dilakukan usaha pengendalian.
Pengendalian dilakukan secara terpadu sesuai dengan jenis hama maupun
penyakitnya. Hama yang sering dijumpai menyerang tanaman kedelai
adalah sebagai berikut (Marwoto et al., 2017) :
1) Lalat Bibit Kedelai (Ophiomyia phaseoli)
Sejak tanaman kedelai masih muda, lalat bibit kedelai sudah
menyerang hingga tanaman berumur 10 hari dengan meletakan
telurnya di daun tanaman muda. Setelah 2 hari, telur akan menetas dan
mengeluarkan larva yang akan masuk ke dalam keping biji atau
pangkal helai daun. Kemudian larva membuat lubang gerekan pada
10

batang melalui kulit batang hingga pakal dan berubah menjadi


kepompong.
Serangan lalat bibit kedelai ditandai dengan adanya bintik-bintik
putih di keping biji, daun pertama, dan kedua. Bintik tersebut
merupakan bekas tusukan alat peletak telur. Serangan tersebut dapat
dikendalikan dengan menggunakan mulsa jerami saat budidaya,
perlakuan benih, dan menyemprotkan insektisida pada saat umur
tanaman menginjak 7 hari jika serangan sudah mencapai ambang
batas kendali. Insektisida yang dapat digunakan seperti Arrivo 30 EC,
Neptune 20 EC, dan Tetris 30 EC.
2) Ulat Grayak (Spodoptera litura Fabricius)
Ngengat meletakkan telur secara berkelompok pada daun. Telur-
telur tersebut akan menetas 4 hari setelah peletakan. Kemudian
keluarlah ulat dari telur di permukaan daun dan memakan epidermis
daun. Beberapa hari setelahnya, ulat grayak mulai hidup berpencar
dan aktif makan pada malam hari.
Daun yang terserang akan terlihat berwarna putih dari kejauhan.
Panjang tubuh ulat grayak yang sudah tumbuh sepenuhnya yaitu
sekitar 50 mm. Selain menyerang daun, ulat dewasa juga memakan
polong muda dan tulang daun muda. Pengendalian yang dapat
dilakukan untuk mengatasi serangan hama ulat grayak yaitu dengan
menyemprotkan insektisida seperti Matador 25 EC, Tamuldok 25 EC,
dan Arfo 30 EC jika serangan sudah mencapai ambang batas kendali
yaitu kerusakan daun sudah mencapai 12,5%.
3) Penggerek Polong Kedelai (Etiella spp.)
Serangga dewasa penggerek meletakkan telur secara berkelompok
di bagian bawah daun, kelopak bunga, ataupun polong. Telur menetas
setelah 3-4 hari dan mengeluarkan ulat berwarna putih kekuningan
yang akan berubah menjadi hijau dengan garis merah memanjang.
Ulat yang baru keluar tersebut akan menggerek kulit polong dan biji,
kemudian hidup di dalamnya. Setelah masa tersebut terlalui, ulat akan
11

hidup di luar biji dan berubah menjadi kepompong hingga menjadi


ngengat.
Tanaman yang terserang penggerek polong dapat terlihat dari
adanya lubang gerek berbentuk bundar pada kulit polong. Jika lubang
gerek berjumlah dua, itu tandanya ulat penggerek sudah meninggalkan
polong. Serangan ini dapat dikendalikan secara alami pelepasan
parasitoid Trichogramma bactrae-bactrae. Sedangkan jika serangan
sudah melebihi ambang batas kendali dapat dilakukan penyemprotan
insektisida seperti Fastac 15 EC, Ripcord 5 EC, dan Rudal 25 EC.
4) Ulat Penggulung Daun (Lamprosema Indicata)
Ngengat meletakkan telur secara berkelompok pada daun-daun
muda. Ulat yang keluar dari telur akan menyerang dengan merekatkan
daun satu dengan yang lainnya dengan zat perekat yang dihasilkannya.
Kemudian daun akan tergulung dan ulat akan memakan daun dari
dalam gulungan, sehingga yang tersisa hanya tulang daun saja.
Jika daun-daun kedelai terlihat tergulung menjadi satu, maka akan
dijumpai ulat dan kotorannya yang berwarna coklat hitam. Cara
mengendalikan serangan hama ini sama seperti pengendalian hama
ulat grayak yaitu dengan menggunakan sistem tanam serempak dan
menyemprotkan insektisida jika serangan sudah mencapai ambang
batas kendali. Jenis insektisida yang dapat digunakan seperti Ambush
2 EC, Tetrin 30 EC, Radar 15 EC, dan Rudal 25 EC.
5) Kepik Polong (Riptortus linearis)
Kepik polong dewasa berwujud mirip seperti walang sangit,
berwarna kuning coklat dan terdapat garis putih kekuningan. Kepik
menyerang dengan cara menusukkan stiletnya pada kulit polong
hingga ke biji. Kemudian kepik akan mengisap cairan biji. Serangan
tersebut terjadi pada saat fase pertumbuhan polong dan perkembangan
biji. Setelah cairan biji terhisap, polong dan biji akan menipis,
mongering, dan kemudian gugur.
Pengendalian hama ini dapat dilakukan dengan melakukan sistem
tanam serempak, lalu menanam tanaman perangkap yaitu Sesbania
12

rostrata, dan memberikan biopestisida (Bio-Lec) untuk menggagalkan


penetasan telur. Insektisida yang dapat digunakan jika terjadi serangan
melebihi ambang batas kendali yaitu seperti Ambush 2 EC, Decis 2,5
EC, dan Tetrin 30 EC.
Menurut Alfi dan Eriyanto (2017) penyakit pada tanaman kedelai
dapat ditemukan sejak fase perkecambahan hingga panen. Identifikasi
penyebab penyakit sangat penting dilakukan untuk menentukan tindakan
pengendalian yang tepat. penyakit yang sering dijumpai menyerang
tanaman kedelai adalah sebagai berikut :
1) Busuk Akar (Rhizoctonia solani)
Jamur dapat menginfeksi kecambah pada bagian yang berada di
bawah permukaan tanah dan menyebabkan kecambah mati. Gejala
pada kecambah berupa bercak coklat hingga kemerahan pada pangkal
batang dan akar. Jamur juga menginfeksi tanaman dewasa pada bagian
akar, daun, batang, dan polong. Patogen berkembang hingga
menyebabkan batang keriput sehingga tanaman mati. Pada tanaman
dewasa, cuaca sangat lembab mengakibatkan jamur membentuk
benang-benang seperti sarang laba-laba sehingga terbentuk ikatan antar
daun (web blight).
Perkembangan patogen umumnya terjadi pada tanah yang hangat,
dan tanah pasir yang lembab. Suhu optimum bagi perkembangan
patogen adalah 28-32oC. Pada suhu tersebut, penyakit lebih cepat
berkembang. Infeksi patogen dan tingkat keparahan penyakit
meningkat pada tanah yang lembab dan kaya nitrogen (N). Patogen
dapat bertahan hidup pada bahan organik dengan cara membentuk
sklerotia.
Pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan kultur teknis
dengan membuat guludan dan mengatur drainase, menghindari
penanaman kedelai saat curah hujan tinggi, rotasi dengan tanaman
bukan inang dan mengurangi sumber inokulum di dalam tanah dengan
menjaga kebersihan lahan. Pengendalian kimiawi dengan perlakuan
benih menggunakan fungisida berbahan aktif karboksin, triadimefon,
13

iprodionakan, kloranil, kloroneb, mankozeb, thiram, dan kaptan.


Pengendalian hayati menggunakan jamur antagonis dari genus
Trichoderma dan Gliocladium spp.
2) Hawar Semai Fusarium (Fusarium oxysporum f.sp. glycine)
Serangan penyakit pada fase perkecambahan menyebabkan
kecambah rebah dan bahkan mati. Serangan pada tanaman dewasa
menyebabkan tanaman layu, busuk akar samping, tudung akar, dan
pangkal batang tanaman. Penularan penyakit dapat melalui air, alat
pertanian, dan tanah. Patogen dapat bertahan hidup meskipun tidak ada
tanaman dengan membentuk klamidospora (struktur tahan) dan
miselium di dalam tanah. Jamur menghasilkan mikrokonidia,
makrokonidia, dan klamidospora. Tanah yang jenuh air, suhu
lingkungan 27-31°C, kandungan bahan organik dan nitrogen yang
tinggi sangat sesuai bagi perkembangan jamur. Pengendalian penyakit
ini dapat dilakukan dengan kultur teknis dengan cara memperbaiki
drainase dan aerasi tanah, menghindari penanaman kedelai saat curah
hujan tinggi, mengusahakan agar lingkungan tanaman terpapar sinar
matahari yang cukup (solarisasi), penggunaan mulsa plastik untuk
meningkatkan suhu tanah, perlakuan benih menggunakan fungisida
berbahan aktif thiram (3 g/kg biji) atau dengan karbendazim (2 g/kg
benih). Pengendalian hayati mengunakan jamur antagonis dari genus
Trichoderma dan Gliocladium spp. Aplikasi fungisida kimia berbahan
aktif etridiazol dan thiofanat
3) Karat Daun (Phakopsora pachyrhizi)
Patogen menginfeksi daun kedelai terutama pada musim kemarau
mulai tanaman berumur 14-21 hari hingga menjelang panen. Gejala
serangan pada daun berupa bercak kecil berwarna coklat kemerahan
mirip karat yang berisi kumpulan uredia. Bercak mulai terlihat pada
daun bagian bawah. Penyakit berkembang cepat pada saat tanaman
mulai berbunga. Serangan yang parah menyebabkan daun gugur, dan
biji mengalami pemasakan lebih awal. Serangan penyakit bermula dari
bawah, kemudian berkembang ke daun bagian atas dengan bantuan
14

percikan air atau terbawa angin. Kelembaban udara yang sangat tinggi
(>90%) selama lebih dari 12 jam, dan suhu malam hari 20-25°C sangat
sesuai bagi perkembangan penyakit. Pengendalian penyakit dapat
dilakukan dengan cara menanam varietas toleran, rotasi tanaman
dengan tanaman bukan inang, dan aplikasi fungisida berbahan aktif
triadimefon dan mankozeb.
4) Bercak Daun Mata Katak (Frogeye leaf spot) (Cercospora sojina)
Jamur ini menginfeksi pada semua stadia umur tanaman, tetapi
sangat membahayakan jika terjadi pada waktu pembungaan (Westphal
et al,. 2009). Patogen terutama menyerang daun muda. Gejala awal
pada daun berupa bercak kecil menyerupai mata katak berwarna
kuning. Pusat bercak berkembang menjadi berwarna cokelat terang
dan kemudian berubah warna menjadi abu-abu terang. Serangan yang
parah menyebabkan daun berlubang atau sobek dan gugur sebelum
waktunya. Patogen juga dapat menginfeksi batang, polong, dan biji,
dengan gejala awal berupa noda berwarna gelap dan tampak
kebasahan. Infeksi pada batang muda mengakibatkan batang berwarna
coklat kemerahan dengan tepi sempit berwarna gelap. Biji yang
terinfeksi dicirikan oleh noda berwarna abu-abu terang hingga gelap
pada kulit biji. Suhu yang hangat (20-30 °C) dan kelembaban tinggi
(90-100%) sangat sesuai bagi jamur menghasilkan spora dan proses
infeksi patogen. Spora tersebut akan menyebar dengan bantuan
percikan air hujan, dan angin. Jamur dapat bertahan hidup pada sisa
tanaman dan benih yang terinfeksi.
Pengendalian yang dapat dilakukan adalah membersihkan lahan
dari sisa tanaman, menggunakan benih sehat/bebas patogen, dan
perlakuan benih dengan fungisida berbahan aktif mankozeb.
5) Bercak target (Target spot) (Corynespora cassiicola)
Gejala serangan khas, yaitu bercak melingkar dengan garis pusat
lingkaran (konsentris) yang jelas. Kumpulan bercak yang menyatu
menyebabkan daun mengalami nekrotik (mengering) dalam waktu
yang sangat cepat kemudian robek. Infeksi C. cassiicola dengan
15

kategori berat mengakibatkan daun tanaman kedelai menguning dan


rontok. Patogen berkembang baik pada kelembaban udara 80% atau
lebih, dan suhu tanah 15-18 °C. Patogen dapat bertahan pada sisa
tanaman kedelai yang terinfeksi, pada biji, dan mampu bertahan hidup
dalam tanah selama lebih dari 2 tahun.
Pengendalian yang dapat dilakukan dengan menanam benih yang
sehat, tidak terinfeksi penyakit, membersihkan lahan dari sisa tanaman
yang terinfeksi dan aplikasi fungisida yang berbahan aktif mankozeb,
klorotalonil, dan azosxystrobin.
6) Antraknosa (Colletotrichum dematium var. truncatum)
Patogen menginfeksi daun, tangkai daun, batang, dan polong pada
biji menyebabkan kotiledon terlihat cekung, bercak coklat tua dan
berkembang ke batang tanaman. Gejala pada batang, polong, dan
tangkai kedelai berupa bercak tak beraturan. Jaringan tanaman yang
terinfeksi tertutup oleh badan buah (acervuli) yang berduri kecil
(setae), berwarna hitam. Infeksi pada fase pembentukan hingga
pemasakan polong menyebabkan biji mengkerut dan berwarna cokelat
gelap. Cuaca hangat dan lembab dengan suhu 26-32oC sangat sesuai
bagi perkembangan penyakit. Daun yang selalu basah karena embun
atau air hujan mendukung perkecambahan spora. Jamur dapat bertahan
hidup lebih dari tiga bulan pada batang tanaman di lapang. Patogen
mempunyai tanaman inang sangat banyak, antara lain kedelai gude,
kedelai tanah, putri malu, dan terong.
Pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan cara
mengusahakan tanaman tumbuh sehat agar terhindar dari infeksi
karena penyakit antraknosa umumnya merupakan penyakit sekunder,
menjaga kebersihan lahan, perlakuan benih dengan fungisida berbahan
aktif benomi.
7) Hawar Bakteri (Bacterial Blight) (Pseudomonas syringae)
Tanaman yang terinfeksi pada awal tanam/fase perkecambahan
hingga berpolong dicirikan dengan noda cokelat di bagian tepi. Pada
tanaman dewasa gejala pada daun berupa bercak bersudut, dimulai dari
16

bintik kuning dan menjadi coklat. Perubahan warna menjadi cokelat


tua hingga kehitaman dan mengering terjadi pada pusat noda. Bercak
dikelilingi lingkaran hijau kekuningan di sekitar tepi jaringan yang
terlihat kebasahan. Bercak yang menyatu menjadi nekrotik
(mengering) dan mengakibatkan bagian tengah bercak sobek dan daun
berlubang. Daun muda pada umumnya lebih rentan terhadap infeksi
hawar bakteri. Infeksi pada polong berupa bercak kecil, kebasahan,
kemudian bercak menyatu sehingga menjadi besar. Infeksi lanjut
menyebabkan bercak menyelubungi seluruh permukaan polong, dan
kulit polong menjadi cokelat gelap atau hitam. Biji terinfeksi menjadi
berkerut dan berubah warna.
Pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan cara rotasi
tanaman, menanam benih bebas patogen, eradikasi (memusnahkan)
tanaman sakit dengan cara membakar atau menimbun sisa tanaman
terinfeksi, perlakuan benih dengan bakterisida (streptomisin).
8) Mosaik kedelai (Soybean mosaic virus)
Gejala yang muncul tergantung pada strain virus, varietas kedelai,
umur tanaman, dan lingkungan tumbuh. Ciri khas infeksi SMV berupa
daun agak kaku, tulang daun berwarna hijau tua dan kekuningan di
sekitar tulang daun, kerdil, daun keriting, dan daun melengkung ke
bawah (malformasi). Beberapa strain SMV mengakibatkan gejala
nekrosis pada daun. Pada beberapa varietas kedelai, infeksi SMV
menyebabkan gejala belang coklat pada kulit biji. Sumber SMV dapat
berasal dari biji terinfeksi (seed borne). Penularan ke tanaman sehat
melalui perantara vektor virus yang berupa serangga dari kelompok
aphid secara non persisten (virus bertahan hidup di dalam tubuh
serangga hanya dalam waktu singkat dan segera ditularkan ke tanaman
lain setelah vektor mengisap cairan tanaman). Vektor SMV antara lain
Aphis cracivora, A. fabae, A. glycine, A. gossypii, A. nasturtii, dan A.
nerii.
Pengendalian dapat dilakukan dengan menanam benih kedelai
bebas virus, menghindari menanam kedelai di daerah endemik vektor
17

SMV, memusnahkan tanaman terinfeksi dengan cara mencabut dan


membakar dan aplikasi insektisida berbahan aktif imidakloprid untuk
mengendalikan vektor.
9) Katai kedelai (Soybean dwarf virus)
Gejala penyakit muncul pada daun yang berubah warna menjadi
mosaik dan berkeriput, helai daun mengecil, menggulung, menguning
dan agak kaku. Pertumbuhan tanaman terhambat, kerdil (dwarf)
dengan ruas batang memendek. Bentuk polong yang terinfeksi virus
katai tidak normal, pendek, dan agak melengkung. Virus katai
disebarkan oleh serangga dari kelompok aphid, seperti A. crassivora,
A. glycines, dan M. Persicae. Virus dapat bertahan pada tanaman inang
selain kedelai, misalnya semanggi (Trifolium pratense).
Pengendalian dapat dilakukan dengan cara menanam benih kedelai
bebas virus, sanitasi yaitu memusnahkan atau membakar gulma inang,
menghindari menanam kedelai di daerah endemik vektor SDV,
perlakuan benih dengan insektisida berbahan aktif tiametoxam,
aplikasi insektisida berbahan aktif imidacloprid untuk mengendalikan
serangga vektor, dan aplikasi cendawan hiperparasit L. lecanii dan P.
fumosoroseus untuk membunuh serangga vektor dan telur aphid (Chun
dan Mingguang 2004).
10) Kerdil kedelai (Soybean stunt virus)
Gejala penyakit ini mirip Katai Kedelai (SDV) yaitu tanaman kerdil,
daun mengecil, dan mosaik pada daun. Tanaman yang terinfeksi
menghasilkan polong dengan biji yang kecil disertai belang. Virus
kerdil disebarkan oleh serangga dari kelompok aphid, seperti A.
crassivora, A. glycines, Aulacarthum solani, dan M. persicae. Virus
juga ditularkan melalui biji yang terinfeksi. Pengendalian penyakit ini
dapat dilakukan dengan menanam benih kedelai bebas virus,
menghindari menanam kedelai di daerah endemik vektor, perlakuan
benih dengan insektisida berbahan aktif teametoxam, dan aplikasi
insektisida berbahan aktif imidacloprid untuk mengendalikan serangga
vektor.
18

f. Panen dan Pasca Panen


Kedelai Edamame biasanya dipanen pada umur 63 hari setelah
tanam (HST) sampai 68 HST untuk polong segar. Panen polong muda saat
polong berwarna masih hijau bisa mencapai 7,5 ton per hektar jika terlalu
tua kurang disukai konsumen. Mentreddy (2002) menyatakan bahwa
waktu optimum untuk pemanenan adalah ketika polong masih berwarna
hijau, belum matang dan padat dengan biji hijau yang telah berkembang
secara penuh yang biasanya terjadi pada fase pengembangan. Karakteristik
fisik yang nampak pada saat pemanenan adalah warna polong hijau terang
dan agak sedikit abu-abu, ukuran panjang sekitar 5 cm dan lebar sekitar
1,4 cm dengan jumlah biji dua atau lebih. Umumnya jumlah polong berbiji
dua dan tiga sekitar 50% (7 sampai 15 polong per tanaman) dari seluruh
polong yang dihasilkan. Menurut Gardner (1991) varietas Edamame
mampu menghasilkan polong rata-rata 40-50 polong/pohon dan jumlah
polong tidak lebih dari 175 polong untuk setiap 500 gram.

D. Asosiasi dan Kompatibilitas Rhizobium sp. dengan Tanaman Kedelai


Edamame

Rhizobium sp. merupakan bakteri yang mampu bersimbiosis dengan


tanaman leguminosa. Akar tanaman akan mengeluarkan suatu zat yang
merangsang aktifitas bakteri Rhizobium. Apabila bakteri sudah bersinggungan
dengan akar rambut, akar rambut akan mengeriting. Setelah memasuki akar,
bakteri 5 berkembang biak ditandai dengan pembengkakan akar. Pembengkakan
akar akan semakin besar dan akhirnya terbentuklah bintil akar (Argal et al,. 2015).
Surtiningsih et al., (2009) karakteristik bakteri Rhizobium secara makroskopis
adalah warna koloni putih susu, tidak transparan, bentuk koloni sirkuler, konveks,
semitranslusen, diameter 2-4 mm dalam waktu 3-5 hari pada agar khamir-manitol-
garam mineral. Secara mikroskopis sel bakteri Rhizobium berbentuk batang,
aerobik, gram negativ dengan ukuran 0,5-0,9 x 1,2-3 µm, bersifat motil pada
media cair, umumnya memiliki satu flagella polar atau subpolar. Untuk
pertumbuhan optimum dibutuhkan temperature 25-300C, pH 6-7 (kecuali galur-
galur dari tanah masam).
19

Tanaman kedelai dapat mengikat Nitrogen di atmosfer melalui aktivitas


bakteri Rhizobium sp. japonicum. Bakteri ini terbentuk di dalam akar tanaman
yang diberi nama nodul atau nodul akar. Nodul akar tanaman kedelai umumnya
dapat mengikat Nitrogen dari udara pada umur 10-12 hari setelah tanam,
tergantung kondisi lingkungan tanah dan temperatur Kelembaban tanah yang
cukup dan temperatur sekitar 25°C sangat mendukung pertumbuhan nodul akar
tersebut. Proses pembentukan nodul akar sebenarnya sudah terjadi mulai 4-5 hst,
yaitu sejak terbentuknya akar tanaman. Pada saat itulah terjadi infeksi akar rambut
yang merupakan titik awal dari proses pembentukan nodul akar. Kemampuan
memfiksasi Nitrogen ini akan bertambah seiring dengan bertambahnya umur
tanaman, namun maksimalnya hanya sampai akhir masa berbunga atau mulai
pembentukan biji. Setelah masa pembentukan biji, kemampuan nodul akar dalam
memfiksasi Nitrogen akan menurun bersamaan dengan semakin banyaknya nodul
akar yang tua dan luruh (Aep, 2006). Di samping itu, juga diduga karena
kompetisi fotosintesis antara proses pembentukan biji dengan aktivitas bintil akar.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas inokulasi. Oleh
karena inokulan berisi organisme hidup maka harus terlindung dari pengaruh sinar
matahari langsung, suhu tinggi, dan kondisi kering karena dapat menurunkan
populasi bakteri dalam media inokulan sebelum diaplikasikan. Bila perlu,
inokulan dapat disimpan dalam lemari es pada suhu 4°C sebelum digunakan.
Inokulan yang baik akan berisi sebanyak 105 – 107 sel/gr bahan pembawa. Pada
waktu aplikasi bakteri Rhizobium japonicum ini, tidak diberikan bersamaan
dengan fungisida karena fungisida banyak mengandung logam berat yang dapat
mematikan bakteri. Sementara penggunaan herbisida tidak banyak pengaruhnya
terhadap jumlah dan aktivitas bakteri ini. Ada beberapa metode aplikasi bakteri,
yaitu pelapisan biji (slurry method), metode sprinkle, metode tepung (powder
method), dan metode inokulasi tanah. Inokulasi biji dengan bakteri Rhizobium sp.
umumnya paling sering dilakukan di Indonesia, yaitu dengan takaran 5 – 8 g/kg
benih kedelai. Mula-mula biji kedelai dibasahi dengan air secukupnya, kemudian
diberi bubukan bakteri Rhizobium sp. sehingga bakteri tersebut dapat menempel
di biji. Bakteri tersebut kemudian dapat melakukan infeksi pada akar sehingga
terbentuk nodul atau bintil akar. Bahan pembawa bakteri pada inokulasi biji ini
20

umumnya berupa humus (peat). Tanaman kedelai dikenal sebagai sumber protein
nabati yang murah karena kadar protein dalam biji kedelai lebih dari 40%.
Semakin besar kadar protein dalam biji, akan semakin banyak pula kebutuhan
nitrogen sebagai bahan utama protein. Dilaporkan bahwa untuk memperoleh hasil
biji 2,50 ton/ha, diperlukan nitrogen sekitar 200 kg/ha. Dari jumlah tersebut,
sekitar 120 – 130 kg nitrogen dipenuhi dari kegiatan fiksasi nitrogen

E. Asosiasi dan Kompatibilitas Fungi Mikoriza Arbuskular dengan


Tanaman Kedelai Edamame

FMA (Fungi Mikoriza Arbuskular) adalah salah satu jasad renik tanah dari
kelompok jamur yang bersimbiosis dengan akar tanaman. Jamur ini mempunyai
sejumlah pengaruh yang menguntungkan bagi tanaman yang bersimbiosis
dengannya (Hapsoh. H, 2008). Asosiasi FMA terjadi karena pembentukan struktur
fungi intraseluler yang sangat bercabang atau “arbuscules” yang diyakini sebagai
tempat pertukaran fosfat antara fungi dan tanaman. Vesikula yang mengandung
lipid dan dianggap sebagai struktur penyimpanan karbon juga dapat terbentuk
dalam beberapa kasus, meskipun ini akan tergantung pada simbion jamur serta
kondisi lingkungan (Smith, 1997). Sebagian besar penelitian tentang FMA tetap
menggunakan akar tanaman sebagai media pertumbuhan FMA. Vesikular
merupakan struktur fungi yang berasal dari pembengkakan hifa internal,
berbentuk bulat telur dengan ukuran 30-50 μm – sampai 80 μm100 μm, yang
berisi banyak senyawa lemak sehingga merupakan organ penyimpanan cadangan
makanan dan pada kondisi tertentu dapat berperan sebagai spora atau alat untuk
mempertahankan kehidupan fungi. Jika suplai metabolik dari tanaman inang
berkurang, maka cadangan makanan itu akan digunakan oleh fungi sehingga
vesikular mengalami degenerasi (Brundrett, 2004). Jika dalam keadaan tidak
menguntungkan maka akan terbnetuk spora sebagai sel vegetatig. Secara umum
spora yang berkecambah mengandung cadangan makanan dalam bentuk lemak
netral (TAG) yang berperan mendukung pertumbuhan. Lemak ini merupakan
bentuk utama karbon pada spora, hifa dan vesikel FMA, meliputi 45-95 % pol
karbon spora tergantung pada spesies.
21

Asosiasi fungi dan tanaman dapat menguntungkan tanaman terutama


dengan meningkatkan serapan ion fosfat, karena kemampuan miselia fungi untuk
tumbuh di luar zona penipisan fosfat yang dengan cepat berkembang di sekitar
akar. Sebagai imbalannya, fungi menerima karbon (C) dari tanaman inang.
Manfaat lain untuk tanaman yang telah diidentifikasi meliputi: peningkatan
resistensi terhadap serangga pemakan daun, meningkatkan ketahanan terhadap
cekaman kekeringan, peningkatakn resistensi dari infeksi patogen tanah,
peningkatan kemampuan toleransi terhadap kadar salinitas dan logam berat.
Peningkatan penyerapan macronutrients selain P, termasuk nitrogen (N)
potassium (K) dan magnesium (Mg) (Wu, 2013).

F. Bahan Pembawa Inokulum (Carrier)

Bahan pembawa inokulum atau carrier merupakan suatu bahan yang dapat
digunakan sebagai tempat hidup inokulum pupuk hayati sebelum diaplikasikan
dengan tujuan agar tetap hidup selama jangka waktu tertentu sehingga harus dapat
mengaktifkan kegiatan mikrobia agar mampu tumbuh dan berkembang pada saat
digunakan. Keberhasilan dari inokulan mikrobia tergantung dari beberapa faktor,
dimana bahan pembawa (carrier) menjadi faktor terpenting (Tyas, 2008). Salah
satu sifat terpenting yang diperlukan dari bahan pembawa (carrier) adalah
kemampuannya dalam mempertahankan populasi dari inokulan mikrobia agar
tetap tinggi selama jangka waktu penyimpanan (Karnataka, 2007).
Menurut Aji (1994) bahan pembawa yang baik untuk inokulan adalah
tidak beracun untuk mikroba yang dikandungnya, mudah untuk memproses dan
bebas dari bahan yang menggumpal, mudah untuk disterilkan dengan autoklaf
atau gamma-iradiasi, mudah didapatkan dan terjangkau, daya rekat yang baik
untuk bibit, kisaran pH netral, tidak beracun bagi tanaman serta steril dari mikrob
indigenus sehingga inokulan mampu bertahan hidup tanpa adanya persaingan
dengan mikrob indigenus dalam bahan pembawa. Albareda et al,. (2008)
menyatakan bahwa jika ada mikrob indigenous yang tumbuh secepat angka dari
jumlah mikrob inokulan yang dimasukkan maka dapat memungkinkan lebih
banyak mikrob yang tidak diinginkan pada hasil akhir pupuk hayati. Oleh karena
22

itu bahan pembawa perlu disterilisasi untuk menghindari adanya pertumbuhan


mikrob indigenus
Bahan pembawa inokulum biasanya berbentuk padat, semi padat atau
substansi cair yang dapat mendukung kehidupan bakteri dalam jangka waktu
tertentu. Namun, kekurangan dari formulasi cair tersebut adalah rendahnya
viabilitas inokulan selama masa penyimpanan, sulitnya dalam hal pendistribusian,
penyimpanan dan pengaplikasian di lapangan (Van Dyke dan Prosser, 2000).
Bahan dalam bentuk granul atau butiran dengan diameter 2-3 mm serta bahan
alami berupa mineral liat (zeolit), bahan organik (gambut, kompos, arang, dan
lain- 11 lain) merupakan bahan yang dapat digunakan sebagai bahan pembawa
(Putri et al., 2010). Khusus untuk bakteri Rhizobium sp, bahan pembawa yang
umum digunakan ialah gambut.
Tanah gambut merupakan salah satu deposit Karbon yang dimulai dari
proses pembentukan gambut kemudian mengalami deposisi bahan baru diatas
gambut dan gambut selanjutnya mengalami kompresi membentuk batubara muda,
sehingga pada tanah gambut mengandung banyak bahan organik (sumber energi
bagi mikrobia) (Mulyanto & Basuki, 2002). Gambut terbentuk dari serasah bahan
organik yang terdekomposisi secara anaerob dimana laju penambahan bahan
organik lebih tinggi dibandingkan laju dekomposisinya. Gambut pada daerah
tropis umumnya berwarna cokelat kemerahan hingga cokelat hitam dan memiliki
pH masam sebesar 6,3. Tanah gambut mengandung mineral, nitrogen, karbon dan
unsur-unsur mikro seperti Cu, B dan Zn (Lailia & Budi, 2009). Kebebihan gambut
sebagai bahan pembawa mikrob ialah gambut merupakan bahan organik yang
telah melapuk sehingga mengandung asam humat yang mengandung C dan N-
organik berupa asam-asam amino yang dapat meningkatkan pertumbuhan mikrob
maupun tanaman (Mulyanto & Basuki, 2002).
Berdasarkan penelitian Sindy et al., (2010), bahan pembawa gambut yang
disterilisasi dengan sinar gamma Co-60, mampu mempertahankan bakteri
Azospirillum selama 70 hari dengan jumlah populasi sebanyak 7,67 x 10 6 CFU/gr.
Pada hasil penelitian Prihastuti (2013) diketahui bahwa tanah gambut yang berasal
dari Rawa Pening mengandung C-organik rata-rata 11,65%, N-organik rata-rata
1,03%, Nisbah C/N rata-rata 10,73%, P2O5 rata-rata 26,50 ppm, K rata-rata 0,97
23

me/100 g, dan KTK rata-rata 160,97 me/100 g serta kandungan kadar air rata-rata
mencapai 8,43% dan pH 6,04%. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa tanah
gambut memiliki kandungan unsur hara yang tinggi sehingga dapat digunakan
sebagai bahan pembawa bagi inokulan Rhizobium sp. Penelitian Suryantini (2016)
menjelaskan bahwa penggunaan carrier pupuk hayati bakteri pelarut fosfat
berbahan dasar gambut+dolomit+arang (2:1:1) mampu menyediakan tempat
tumbuh bagi mikrobia sehingga dapat tumbuh selama penyimpanan sebelum
diaplikasikan. Selain itu, pada penelitian yang dilakukan oleh Arief (2011)
menyimpulkan bahwa penggunaan carrier gambut 100% pada pH 4,5 isolat
Rhizobium sp. mampu menghasilkan jumlah nodul akar terbaik dan mampu
meningkatkan pembentukan bintil akar sebanyak 39 nodul/tanaman. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Mieke Rochimi et al., (2017) penggunaan bahan
pembawa gambut dengan lama penyimpanan 2 bulan dapat meningkatkan
populasi Azotobacter sp. dari 2,43x109cfu/g menjadi 2,97x109 cfu/g.

Inokulasi ganda Rhizobium sp. dan FMA dilaporkan dapat mempengaruhi


bobot kering tanaman, serapan hara P oleh tanaman jumlah polong dan jumlah
bintil akar (Bertham, 2007). Pada umumnya, beberapa tanaman bersimbiosis
dengan mikroorganisme tanaman seperti Rhizobium sp. dan FMA. Kedua
simbiosis diketahui memperbaiki pertumbuhan tanaman pada beberapa kondisi
lingkungan. Pada kenyataannya, Rhizobium sp. dan FMA pada dua simbiosis
mampu mempertinggi pertumbuhan dan hasil beberapa legum (Franzini et al.,
2009). Pemanfaatan mikroba dalam tanah dapat membantu pertumbuhan tanaman
pada lahan kering karena Rhizobium sp. dapat membantu ketersediaan hara
nitrogen dan FMA dapat membantu penyediaan hara fosfat pada tanaman inang.
Berdasarkan penelitian Ayu et al., (2013) bahwa pembentukan nodul dan aktivitas
nodul akar tanaman oleh Rhizobium sp. dipengaruhi oleh unsur P yang didapat
dari aktivitas FMA. Sedangkan tanaman akan menyediakan hasil fotosintesis
kepada Rhizobium sp. dan FMA, sehingga terjadi hubungan tripatrit diantara
ketiganya dengan demikian penggunaannya secara bersamaan pada tanaman
kedelai Edamame dimungkinkan dapat meningkatkan produktivitas kedelai
(Bertham, 2007).
24

Penggunaan bahan pembawa yang baik merupakan bahan yang mampu


menyediakan unsur hara bagi kehidupan bakteri Rhizobium sp. dan FMA sebelum
diaplikasikan, sehingga dapat mempertahankan kualitas Rhizobium sp. dan FMA,
bahan pembawa dalam bentuk formulasi nano dapat mempercepat serapan
inokulum Rhizobium sp. dan FMA dalam benih. Sehingga ada keterkaitan antara
formulasi bahan pembawa dan inokulum yang digunakan. Pemanfaataa gambut
sebagai bahan pembawa mikrob, khususnya Rhizobium sp., telah dilaporkan
hasilnya cukup baik dalam arti populasi bakteri yang viabel tetap tinggi dengan
masa penyimpanan beberapa bulan (Saraswati et al., 1995; Suharyanto, 1995).

G. Hipotesis

Diduga tanaman kedelai Edamame (Glycine max L) yang berasosiasi


dengan Rhizobium sp. indigenous dan fungi mikoriza arbuskula dapat
meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai Edamame pada kondisi
lahan cekaman kekeringan. Oleh sebab itu perlu pengkajian kombinasi inokulum
Rhizobium sp. indigenous dan fungi mikoriza arbuskula untuk meningkatkan
produktivitas kedelai Edamame di lahan cekaman kekeringan.
15

III. TATA CARA PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan didua tempat yaitu di Laboratorium


Bioteknologi dan Lahan Percobaan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Waktu pelaksanaan akan dimulai pada bulan Mei hingga November 2021.

H. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah benih


tanaman kedelai Edamame, inokulum Rhizobium sp. indigenous, biakan murni
Rhizobium sp, biakan murni Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA), nano gambut,
aquadest, air steril, alkohol 96%, media YMA (Yeast Manitol Agar) + Congo Red
1%, media miring YMA + Congo Red 1%, media cair YMC (Yeast Manitol Cair),
Urea, KCl, SP-36.
Alat-alat yang akan digunakan adalah timbangan, polybag, cangkul, sekop,
penggaris, ember, label, alat tulis, gunting, colony counter, shaker, autoklaf,
bunsen, tabung reaksi, petridish, jarum ose, pipet ukur, timbangan analitik,
drigalsky, mikroskop, mortar, kaca preparat.

I. Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan menggunakan metode eksperimen yang disusun


dalam RAL (Rancangan Acak Lengkap) dengan rancangan percobaan faktor
tunggal yaitu Frekuensi Penyiraman tanaman hingga fase pembungaan sebagai
berikut :
A = Penyiraman 1 Hari sekali
B = Penyiraman 2 Hari sekali
C = Penyiraman 4 Hari sekali
D = Penyiraman 6 Hari sekali
Masing – masing perlakuan dilakukan 3 kali ulangan. Sehingga ada 12 unit
percobaan(Lay Out pada lampiran 1). Setiap unit terdiri dari 3 sampel dan 2
16

cadangan. Setiap unit percobaan terdiri dari 3 sampel, 2 korban dan 1 cadangan
(Lay Out pada lampiran 2). Sehingga total terdapat 72 tanaman

J. Tata Cara Penelitian

1. Pembuatan Nano Gambut


Gambut yang digunakan berasal dari gambut Rawa Pening. Gambut yang
akan digunakan dikeringanginkan terlebih dahulu. Setelah itu, gambut diolah
menjadi nano gambut dengan cara dimasukkan ke dalam botol yang diisi bola
baja dengan perbandingan 100 g gambut, 500 g bola baja, dan 60 ml air. Proses
penggilingan dilakukan selama 6 jam. Setelah 6 jam hasilnya dipisahkan
dengan suspensi gotri kemudian dijemur di bawah sinar matahari hingga
kering. Kebutuhan nano gambut sebanyak 100 gram.

2. Sterilisasi Alat dan Pembuatan Media Perbanyakan


a. Sterilisasi Alat
Sterilisasi alat bertujuan untuk membunuh mikroba yang tidak diinginkan
pada alat sehingga tidak terjadi kontaminasi. Peralatan glassware yang
akan digunakan direndam menggunakan air yang dicampur dengan
detergen kemudian direbus selama 10 menit, kemudian dibilas sampai
bersih dan dibungkus dengan kertas lalu disterilkan dalam autoklaf 121˚C
tekanan 1 atm selama 30 menit.
b. Pembuatan Media Perbanyakan Rhizobium sp.
Media yang akan digunakan yaitu media YMA (Yeast Manitol
Agar) dan YMC (Yeast Manitol Cair). Pembuatan media dilakukan
dengan menakar bahan-bahan yang akan digunakan dan dicampur menjadi
satu lalu dilarutkan dalam aquadest, kemudian dipanaskan dalam penangas
air hingga homogen kemudian dilakukan pengaturan pH dengan
menggunakan pH stik. Setelah itu, media dimasukkan dalam tabung reaksi
lalu ditutup menggunakan kapas dan dibungkus kertas. Pada media YMA
(Yeast Manitol Agar) ditambahkan agar. Sterilisasi media dilakukan
menggunakan autoklaf 121˚C tekanan 1 atm selama 15 menit.
17

3. Peremajaan Kultur Stok Isolat Rhizobium sp.


Pemurnian dilakukan dengan mengambil isolat Rhizobium sp. yang sudah
tersedia yang berasal dari koleksi ibu Ir. Agung Astuti, M.Si. Setelah
didapatkan koloni yang terpisah kemudian dilakukan pemurnian ke media
YMA miring + congo red untuk diperbanyak selama 2 x 24 jam. Selanjutnya
dilakukan re-platting kembali ke petridis menggunakan metode goresan untuk
karakterisasi koloni bakteri tersebut dan memastikan bahwa koloni yang
diperoleh adalah benar bentuk, warna, dan ukurannya. Setelah yakin bahwa
koloni tersebut benar kemudian dipindahkan dalam media YMA + congo red
miring menggunakan metode goresan, sampai diperoleh kultur yang murni

4. Karakterisasi Isolat Rhizobium sp.


a. Karakterisasi Koloni Bakteri Rhizobium sp.
Karakterisasi Rhizobium sp. dilakukan pada media YMA + congo
red dilakukan dengan mengamati: bentuk koloni, elevasi, bentuk tepi,
struktur dalam, ukuran, dan warnanya.
b. Karakterisasi Bentuk Sel dan Sifat Gram
Karakterisasi bentuk sel dan sifat gram dilakukan dengan
mengambil 1 ose suspensi lalu diletakkan di atas kaca preparat. Setelah itu
dilakukan pemanasan di atas api bunsen sampai preparat kering dan
ditunggu sampai dingin. Setelah dingin ditetesi dengan cat gram A
sebanyak 1-2 tetes dan diamkan selama 1 menit, dicuci dengan air
mengalir lalu kering anginkan. Selanjutnya ditetesi lagi menggunakan cat
gram B dan biarkan selama 1 menit, dicuci dengan air mengalir lalu kering
anginkan. Kemudian ditetesi lagi dengan larutan gram C selama 30 detik,
selanjutnya dicuci dengan air mengalir dan kering anginkan. Terakhir
ditetesi dengan cat gram D selama 2 menit, dicuci dengan air mengalir lalu
dikeringkan. Setelah kering lalu dilakukan pengamatan dengan mikroskop,
apabila terbukti bakteri gram positif maka akan berwarna violet sedangkan
bakteri gram negatif berwarna merah. Bentuk sel bakteri Rhizobium sp.
adalah basil atau batang.
18

c. Uji Aerobisitas
Pengamatan uji aerobisitas Rhizobium sp. dilakukan pada media
YMC (Yeast Manitol Cair) sebanyak 1 ml suspensi bakteri dan kemudian
diinkubasi selama 48 jam pada suhu kamar. Dari hasil tersebut dilihat
pertumbuhan sel yang dihasilkan. Jika koloni tumbuh pada permukaan
tabung reaksi maka tergolong bakteri aerob, jika bakteri tersebar didalam
tabung reaksi termasuk fakultatif anaerob dan apabila bakteri berada
didasar tabung reaksi termasuk bakteri anaerob.
d. Uji Katalase
Pengujian katalase dilakukan dengan meneteskan enzim katalase
(H2O2) pada cawan porselen. Kemudian melakukan pengambilan 1 ose
suspensi Rhizobium sp. lalu dicampurkan dengan enzim katalase (H2O2)
kemudian dihomogenkan. Hasil menunjukkan positif apabila
menimbulkan gelembung-gelembung.

5. Perbanyakan Rhizobium sp. untuk Inokulum


Pada tahap ini, dilakukan pengambilan biakan murni Rhizobium sp.
sebanyak 1-3 ose kemudian diinokulasikan pada 10 ml media YMC pada
tabung reaksi. Kemudian pada pembuatan media YMC sebanyak 100 ml pada
erlenmeyer dan diinokulasikan 10 ml dari tabung reaksi kemudian dilakukan
penggojogan menggunakan shaker, masing-masing perlakuan 100 ml. Setiap 2
x 24 jam dilakukan pengamatan jumlah koloni menggunakan metode plate
count hingga mencapai jumlah koloni 108 – 109 cfu/ml, sehingga inokulum
sudah siap untuk dilakukan pembuatan formula.

6. Sterilisasi Bahan Pembawa Nano (carrier)


Sterilisasi bahan pembawa gambut menggunakan metode sterilisasi
autoklaf selama 2 x 15 menit (Taufik Bachtiar at al., 2019). Sebelumnya
bahan pembawa dimasukkan dalam kantong plastik yang ditutup
menggunakan sealer dengan ukuran tiap bungkus 50 g.
7. Pembuatan Nano Formula Inokulum Rhizobium sp.
Pembuatan formula dilakukan dengan mencampurkan nano carrier
Gambut 100% dengan inokulum Rhizobium sp. yang telah diperbanyak pada
19

media YMC dengan perbandingan 50 g formula nano dicampurkan dengan 10


ml Rhizobium sp. kemudian diinkubasi selama 7 hari untuk perbanyakan
(Suryantini, 2016). Pembuatan dimulai untuk umur simpan 4 bulan, kemudian
2 bulan dan terakhir untuk umur simpan 0 bulan (kontrol).
8. Persiapan Media Tanam dalam Polybag
Tanah diolah agar tidak menggumpal dan kemudian dimasukkan ke dalam
polybag dengan ukuran 10 kg/polybag. Seminggu sebelum penanaman
dilakukan pemupukan dasar dengan mencampurkan pupuk dasar pada
kedalaman 20 cm dari permukaan tanah. Pada penelitian ini dibutuhkan 72
polybag dengan isi tanah sebanyak 10 kg dan kandang 150 gram, Urea 0,29
gram, Sp-36 0,55 gram dan KCL 0,22 gram untuk setiap polybag dibiarkan
selama 1 minggu.

9. Aplikasi Inokulum Rhizobium sp. pada Benih


Aplikasi inokulum Rhizobium sp. dilakukan dengan memberikan 5 g
inokulum Rhizobium sp. dalam bentuk nano partikel untuk setiap gram benih
kedelai (Rizky Ratna et al., 2015). Benih kedelai Edamame diberi sedikit air
hingga agak basah, kemudian ditiriskan, lalu diberi larutan perekat berupa
fungisida TIFLO untuk menghindari tumbuhnya jamur dan dicampur dengan
inokulum Rhizobium sp. dalam bentuk nano partikel. Kemudian benih kedelai
dikering anginkan agar Rhizobium sp. menempel dengan sempurna.
Kebutuhan inokulum sebanyak 24 ml yang dimasukkan kedalam 24 gram
nano partikel (Lampiran 3)

10. Penanaman dan Aplikasi Inokulum Mikoriza pada Benih


a. Penanaman
Penanaman dilakukan dengan membuat lubang sedalam 3 cm pada
polybag, dengan jumlah benih adalah 1 untuk setiap polybag. Setelah
benih dimasukkan kedalam lubang tutup menggunakan tanah, namun
hindari penekanan pada saat menutup tanah pada lubang. Kebutuhan benih
sebanyak 72.
20

b. Aplikasi Inokulum Mikoriza pada Benih


Perlakuan benih yang diinokulasi mikoriza dilakukan dengan cara
diberikan propagul mikoriza sebanyak 100 gram tiap lubang tanam benih
kedelai saat penanaman. Tjokronegoro dan Gunawan (2000) inokulum
FMA yang diaplikasikan dalam bentuk crude inokulum sebanyak 10 %
dari berat tanah (80 gram untuk 8 kg tanah). Seingga kebutuhan inokulum
dalam 10 kg tanah adalah 100 gram.

11. Pemeliharaan
a. Penyiraman
Penyiraman dilakukan dengan menyiramkan air pada polybag pada
sore hari diawal penanaman. Kemudian dilakukan penyiraman sesuai
dengan perlakuan dengan frekuensi penyiraman A (setiap hari), B (2 hari
sekali), C (4 hari sekali) dan D (6 hari sekali ) pada waktu sore hari saat
kedelai mulai tumbuh
b. Penyulaman
Proses penyulaman kedelai Edamame dilakukan saat terdapat
kedelai Edamame yang mati 1 dengan memindah tanaman dari tanaman
kedelai Edamame cadangan.
c. Penyiangan
Rerumputan atau gulma yang tumbuh disekitar pertanaman kedelai
langsung dicabut dan ditumpukkan disekitar tanaman.
d. Pemupukan
Pemupukan dasar dilakukan 7 hari sebelum tanam dengan
menggunakan pupuk kandang 150 gram, Urea 0,29 gram, Sp-36 0,55 gram
dan KCL 0,22 gram untuk setiap polybag dengan metode pemupukan
placement atau ditempatkan pada bagian bawah tanah. Pupuk susulan I
dilakukan pada 20 (HST), pupuk yang digunakan meliputi pupuk kandang
150 gram, Urea 0,29 gram, Sp-36 0,55 gram dan KCL 0,22 gram untuk
setiap polybag dengan metode pemupukan di enclo disekitar tanaman.
Pupuk susulan II dilakukan pada 40 (HST), dengan dosis dan metode yang
sama pada pemupukan susulan I.
21

12. Pengendalian OPT


Dilakukan secara manual dengan cara mengambil hama yang ada pada
tanaman kedelai dan menghilangkan bagian tanaman yang terserang penyakit.
Berikut ini adalah beberapa hama yang menyerang tanaman kedelai Edamame
meliputi gejala dan pengendalian yang dapat dilakukan dan dosis pestisida
yang digunakan (Marwoto et al., 2017) :
a. Lalat Bibit Kedelai (Ophiomyia phaseoli)
Serangan lalat bibit kedelai ditandai dengan adanya bintik-bintik
putih di keping biji, daun pertama, dan kedua. Bintik tersebut merupakan
bekas tusukan alat peletak telur. Serangan tersebut dapat dikendalikan
dengan menggunakan mulsa jerami saat budidaya, perlakuan benih, dan
menyemprotkan insektisida pada saat umur tanaman menginjak 7 hari jika
serangan sudah mencapai ambang batas kendali. Insektisida yang dapat
digunakan seperti Arrivo 30 EC, Neptune 20 EC, dan Tetris 30 EC.
b. Ulat Grayak (Spodoptera litura Fabricius)
Daun yang terserang akan terlihat berwarna putih dari kejauhan.
Panjang tubuh ulat grayak yang sudah tumbuh sepenuhnya yaitu sekitar 50
mm. Selain menyerang daun, ulat dewasa juga memakan polong muda dan
tulang daun muda. Pengendalian yang dapat dilakukan untuk mengatasi
serangan hama ulat grayak yaitu dengan menyemprotkan insektisida
seperti Matador 25 EC, Tamuldok 25 EC, dan Arfo 30 EC jika serangan
sudah mencapai ambang batas kendali yaitu kerusakan daun sudah
mencapai 12,5%.
c. Penggerek Polong Kedelai (Etiella spp.)
Tanaman yang terserang penggerek polong dapat terlihat dari
adanya lubang gerek berbentuk bundar pada kulit polong. Jika lubang
gerek berjumlah dua, itu tandanya ulat penggerek sudah meninggalkan
polong. Serangan ini dapat dikendalikan secara alami pelepasan parasitoid
Trichogramma bactrae-bactrae. Sedangkan jika serangan sudah melebihi
ambang batas kendali dapat dilakukan penyemprotan insektisida seperti
Fastac 15 EC, Ripcord 5 EC, dan Rudal 25 EC.
22

d. Ulat Penggulung Daun (Lamprosema Indicata)


Jika daun-daun kedelai terlihat tergulung menjadi satu, maka akan
dijumpai ulat dan kotorannya yang berwarna coklat hitam. Cara
mengendalikan serangan hama ini sama seperti pengendalian hama ulat
grayak yaitu dengan menggunakan sistem tanam serempak dan
menyemprotkan insektisida jika serangan sudah mencapai ambang batas
kendali. Jenis insektisida yang dapat digunakan seperti Ambush 2 EC,
Tetrin 30 EC, Radar 15 EC, dan Rudal 25 EC.
e. Kepik Polong (Riptortus linearis)
Kepik polong dewasa berwujud mirip seperti walang sangit,
berwarna kuning coklat dan terdapat garis putih kekuningan. Kepik
menyerang dengan cara menusukkan stiletnya pada kulit polong hingga ke
biji. Kemudian kepik akan mengisap cairan biji. Serangan tersebut terjadi
pada saat fase pertumbuhan polong dan perkembangan biji. Setelah cairan
biji terhisap, polong dan biji akan menipis, mongering, dan kemudian
gugur.
Pengendalian hama ini dapat dilakukan dengan melakukan sistem
tanam serempak, lalu menanam tanaman perangkap yaitu Sesbania
rostrata, dan memberikan biopestisida (Bio-Lec) untuk menggagalkan
penetasan telur. Insektisida yang dapat digunakan jika terjadi serangan
melebihi ambang batas kendali yaitu seperti Ambush 2 EC, Decis 2,5 EC,
dan Tetrin 30 EC.
Menurut Benhamou dan Chet (1993) penyakit pada tanaman
kedelai dapat ditemukan sejak fase perkecambahan hingga panen. Identifikasi
penyebab penyakit sangat penting dilakukan untuk menentukan tindakan
pengendalian yang tepat. penyakit yang sering dijumpai menyerang tanaman
kedelai adalah sebagai berikut :
a. Busuk Akar (Rhizoctonia solani)
Jamur dapat menginfeksi kecambah pada bagian yang berada di
bawah permukaan tanah dan menyebabkan kecambah mati. Gejala pada
kecambah berupa bercak coklat hingga kemerahan pada pangkal batang
23

dan akar. Jamur juga menginfeksi tanaman dewasa pada bagian akar, daun,
batang, dan polong.
Pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan kultur teknis
dengan membuat guludan dan mengatur drainase, menghindari penanaman
kedelai saat curah hujan tinggi, rotasi dengan tanaman bukan inang dan
mengurangi sumber inokulum di dalam tanah dengan menjaga kebersihan
lahan. Pengendalian kimiawi dengan perlakuan benih menggunakan
fungisida berbahan aktif karboksin, triadimefon, iprodionakan, kloranil,
kloroneb, mankozeb, thiram, dan kaptan. Pengendalian hayati
menggunakan jamur antagonis dari genus Trichoderma dan Gliocladium
spp.
b. Hawar Semai Fusarium (Fusarium oxysporum f.sp. glycine)
Serangan penyakit pada fase perkecambahan menyebabkan
kecambah rebah dan bahkan mati. Serangan pada tanaman dewasa
menyebabkan tanaman layu, busuk akar samping, tudung akar, dan
pangkal batang tanaman. Penularan penyakit dapat melalui air, alat
pertanian, dan tanah. Pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan
kultur teknis dengan cara memperbaiki drainase dan aerasi tanah,
menghindari penanaman kedelai saat curah hujan tinggi, mengusahakan
agar lingkungan tanaman terpapar sinar matahari yang cukup (solarisasi),
penggunaan mulsa plastik untuk meningkatkan suhu tanah, perlakuan
benih menggunakan fungisida berbahan aktif thiram (3 g/kg biji) atau
dengan karbendazim (2 g/kg benih). Pengendalian hayati mengunakan
jamur antagonis dari genus Trichoderma dan Gliocladium spp. Aplikasi
fungisida kimia berbahan aktif etridiazol dan thiofanat
c. Karat Daun (Phakopsora pachyrhizi)
Patogen menginfeksi daun kedelai terutama pada musim kemarau
mulai tanaman berumur 14-21 hari hingga menjelang panen. Gejala
serangan pada daun berupa bercak kecil berwarna coklat kemerahan mirip
karat yang berisi kumpulan uredia. Bercak mulai terlihat pada daun bagian
bawah. Pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan cara menanam
24

varietas toleran, rotasi tanaman dengan tanaman bukan inang, dan aplikasi
fungisida berbahan aktif triadimefon dan mankozeb.

d. Bercak Daun Mata Katak (Frogeye leaf spot) (Cercospora sojina)


Patogen ini menyerang daun muda. Gejala awal pada daun berupa
bercak kecil menyerupai mata katak berwarna kuning. Pusat bercak
berkembang menjadi berwarna cokelat terang dan kemudian berubah
warna menjadi abu-abu terang. Serangan yang parah menyebabkan daun
berlubang atau sobek dan gugur sebelum waktunya. Patogen juga dapat
menginfeksi batang, polong, dan biji, dengan gejala awal berupa noda
berwarna gelap dan tampak kebasahan. Infeksi pada batang muda
mengakibatkan batang berwarna coklat kemerahan dengan tepi sempit
berwarna gelap. Biji yang terinfeksi dicirikan oleh noda berwarna abu-abu
terang hingga gelap pada kulit biji. Pengendalian yang dapat dilakukan
adalah membersihkan lahan dari sisa tanaman, menggunakan benih
sehat/bebas patogen, dan perlakuan benih dengan fungisida berbahan aktif
mankozeb.
e. Bercak target (Target spot) (Corynespora cassiicola)
Gejala serangan khas, yaitu bercak melingkar dengan garis pusat
lingkaran (konsentris) yang jelas. Kumpulan bercak yang menyatu
menyebabkan daun mengalami nekrotik (mengering) dalam waktu yang
sangat cepat kemudian robek. Infeksi C. cassiicola dengan kategori berat
mengakibatkan daun tanaman kedelai menguning dan rontok.
Pengendalian yang dapat dilakukan dengan menanam benih yang sehat,
tidak terinfeksi penyakit, membersihkan lahan dari sisa tanaman yang
terinfeksi dan aplikasi fungisida yang berbahan aktif mankozeb,
klorotalonil, dan azosxystrobin.
f. Antraknosa (Colletotrichum dematium var. truncatum)
Patogen ini menginfeksi daun, tangkai daun, batang, dan polong
pada biji menyebabkan kotiledon terlihat cekung, bercak coklat tua dan
berkembang ke batang tanaman. Gejala pada batang, polong, dan tangkai
kedelai berupa bercak tak beraturan. Jaringan tanaman yang terinfeksi
25

tertutup oleh badan buah (acervuli) yang berduri kecil (setae), berwarna
hitam. Infeksi pada fase pembentukan hingga pemasakan polong
menyebabkan biji mengkerut dan berwarna cokelat gelap. Pengendalian
yang dapat dilakukan adalah dengan cara mengusahakan tanaman tumbuh
sehat agar terhindar dari infeksi karena penyakit antraknosa umumnya
merupakan penyakit sekunder, menjaga kebersihan lahan, perlakuan benih
dengan fungisida berbahan aktif benomi.
g. Hawar Bakteri (Bacterial Blight) (Pseudomonas syringae)
Tanaman yang terinfeksi pada awal tanam/fase perkecambahan
hingga berpolong dicirikan dengan noda cokelat di bagian tepi. Pada
tanaman dewasa gejala pada daun berupa bercak bersudut, dimulai dari
bintik kuning dan menjadi coklat. Perubahan warna menjadi cokelat tua
hingga kehitaman dan mengering terjadi pada pusat noda. Bercak
dikelilingi lingkaran hijau kekuningan di sekitar tepi jaringan yang terlihat
kebasahan. Bercak yang menyatu menjadi nekrotik (mengering) dan
mengakibatkan bagian tengah bercak sobek dan daun berlubang. Daun
muda pada umumnya lebih rentan terhadap infeksi hawar bakteri. Infeksi
pada polong berupa bercak kecil, kebasahan, kemudian bercak menyatu
sehingga menjadi besar. Infeksi lanjut menyebabkan bercak menyelubungi
seluruh permukaan polong, dan kulit polong menjadi cokelat gelap atau
hitam. Biji terinfeksi menjadi berkerut dan berubah warna.
Pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan cara rotasi
tanaman, menanam benih bebas patogen, eradikasi (memusnahkan)
tanaman sakit dengan cara membakar atau menimbun sisa tanaman
terinfeksi, perlakuan benih dengan bakterisida (streptomisin).
h. Mosaik kedelai (Soybean mosaic virus)
iri khas infeksi SMV berupa daun agak kaku, tulang daun berwarna hijau
tua dan kekuningan di sekitar tulang daun, kerdil, daun keriting, dan daun
melengkung ke bawah (malformasi). Beberapa strain SMV mengakibatkan
gejala nekrosis pada daun. Pada beberapa varietas kedelai, infeksi SMV
menyebabkan gejala belang coklat pada kulit biji. Sumber SMV dapat
berasal dari biji terinfeksi (seed borne). Penularan ke tanaman sehat
26

melalui perantara vektor virus yang berupa serangga dari kelompok aphid
secara non persisten (virus bertahan hidup di dalam tubuh serangga hanya
dalam waktu singkat dan segera ditularkan ke tanaman lain setelah vektor
mengisap cairan tanaman). Vektor SMV antara lain Aphis cracivora, A.
fabae, A. glycine, A. gossypii, A. nasturtii, dan A. nerii.
Pengendalian dapat dilakukan dengan menanam benih kedelai
bebas virus, menghindari menanam kedelai di daerah endemik vektor
SMV, memusnahkan tanaman terinfeksi dengan cara mencabut dan
membakar dan aplikasi insektisida berbahan aktif imidakloprid untuk
mengendalikan vektor.
i. Katai kedelai (Soybean dwarf virus)
Gejala penyakit muncul pada daun yang berubah warna menjadi
mosaik dan berkeriput, helai daun mengecil, menggulung, menguning dan
agak kaku. Pertumbuhan tanaman terhambat, kerdil (dwarf) dengan ruas
batang memendek. Bentuk polong yang terinfeksi virus katai tidak normal,
pendek, dan agak melengkung. Virus katai disebarkan oleh serangga dari
kelompok aphid, seperti A. crassivora, A. glycines, dan M. Persicae. Virus
dapat bertahan pada tanaman inang selain kedelai, misalnya semanggi
(Trifolium pratense).
Pengendalian dapat dilakukan dengan cara menanam benih kedelai
bebas virus, sanitasi yaitu memusnahkan atau membakar gulma inang,
menghindari menanam kedelai di daerah endemik vektor SDV, perlakuan
benih dengan insektisida berbahan aktif tiametoxam, aplikasi insektisida
berbahan aktif imidacloprid untuk mengendalikan serangga vektor, dan
aplikasi cendawan hiperparasit L. lecanii dan P. fumosoroseus untuk
membunuh serangga vektor dan telur aphid (Chun dan Mingguang 2004).
j. Kerdil kedelai (Soybean stunt virus)
Gejala penyakit ini mirip Katai Kedelai (SDV) yaitu tanaman
kerdil, daun mengecil, dan mosaik pada daun. Tanaman yang terinfeksi
menghasilkan polong dengan biji yang kecil disertai belang. Virus kerdil
disebarkan oleh serangga dari kelompok aphid, seperti A. crassivora, A.
glycines, Aulacarthum solani, dan M. persicae. Virus juga ditularkan
27

melalui biji yang terinfeksi. Pengendalian penyakit ini dapat dilakukan


dengan menanam benih kedelai bebas virus, menghindari menanam
kedelai di daerah endemik vektor, perlakuan benih dengan insektisida
berbahan aktif teametoxam, dan aplikasi insektisida berbahan aktif
imidacloprid untuk mengendalikan serangga vektor.
13. Panen dan Pasca Panen Kedelai Edamame
Kedelai Edamame dipanen pada umur 63-68 hari setelah tanam (HST). Panen
dilakukan ketika warna polong hijau terang dan agak sedikit abu-abu, ukuran
panjang sekitar 5 cm dan lebar sekitar 1,4 cm dengan jumlah biji dua atau
lebih.

K. Parameter yang diamati

1. Nodulasi
a. Jumlah Nodul Akar
Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah seluruh nodul akar
yang terbentuk. Dilakukan pada minggu ke-2, 4, 6, dan pada saat panen.
b. Efektivitas Nodul (%)
Pengamatan efektivitas nodul dilakukan dengan mengambil sampel nodul
secara acak dari setiap tanaman, kemudian nodul dibelah menggunakan
cutter/pisau. Pengamatan dilakukan dengan melihat ada tidaknya warna
merah pada nodul. Kemudian hitung efektivitas nodul dengan rumus
berikut:
Jumlah nodul efektif
x 100%
Jumlah nodul yang diamati
c. Bobot Segar Nodul (gram)
Menimbang seluruh nodul akar segar yang ada dalam satu tanaman.
d. Diameter Nodul (cm)
Nodul akar kedelai Edamame diukur menggunakan jangka sorong.
Kegiatan ini dilakukan pada saat pencabutan tanaman korban dan pada
saat panen.
e. Sebaran Nodul
Mengamati sebaran nodul akar setelah dilakukan pemanenan.
28

2. Pertumbuhan Tanaman Edamame


a. Tinggi Tanaman (cm)
Parameter tinggi tanaman dilakukan dari pangkal tanaman yaitu batas
akar hingga titik tumbuh. Pengukuran dilakukan sebanyak 1 minggu
sekali hingga masa vegetatif maksimal dengan tujuan untuk mengetahui
proses pertumbuhan tanaman.
b. Jumlah Daun (helai)
Pengamatan dilakukan pada hari ke-6 dengan menghitung daun majemuk
yang muncul. Penghitungan dilakukan 1 minggu sekali.
c. Bobot Segar Tajuk (gram)
Pengamatan bobot segar tajuk dilakukan dengan mencabut tanaman
korban pada minggu ke 3, 6 dan 9, kemudian potong bagian pangkal
batang dan menimbang tajuk menggunakan timbangan analitik dan
dinyatakan dalam satuan gram.
d. Bobot Kering Tajuk (gram)
Pengamatan bobot kering tajuk dilakukan dengan mencabut tanaman
korban pada minggu ke 3, 6 dan 9, kemudian potong bagian pangkal
batang. Kemudian tajuk dikeringanginkan selama 24 jam dan setelah itu
dimasukkan kedalam oven dengan suhu 600C hingga beratnya konstan.
Pengamatan bobot kering tajuk dilakukan dengan menimbang tajuk yang
telah dikeringkan yang memiliki berat konstan menggunakan timbangan
analitik. Hasil penimbangan dinyatakan dalam satuan gram.
3. Hasil Tanaman Edamame
a. Jumlah Polong setiap Tanaman (polong)
Pengamatan jumlah polong dilakukan dengan menghitung jumlah polong
setiap tanaman dan setiap perlakuan. Pengamatan jumlah polong
dilakukan setelah panen.
b. Presentase Polong Isi (%)
Pengamatan presentase polong isi dilakukan dengan menghitung jumlah
polong isi dalam satu tanaman kemudian dibagi dengan jumlah polong
yang terbentuk. Prosentase polong yang dihitung adalah polong isi 1,
polong isi 2 dan polong hampa.
29

Jumlah polong isi


x 100 %
Jumlah polong total

c. Bobot Segar Isi per Tanaman (gram)


Bobot segar isi per tanaman dilakukan dengan menimbang total polong
isi pada tanaman.
d. Hasil Polong per Satuan Luas (ton/h)
Hasil polong persatuan luas diperoleh dari bobot segar polong kemudian
dikonversikan ke dalam ton/ha. Rumus yang digunakan adalah :
10.000 m 2
Hasil kedelai/ha: x bobot segar polong/tan
jarak tanam ( m 2 )

L. Analisis data

Hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan sidik ragam


atau Analysis Of Variance pada taraf α 5%. Apabila ada perbedaan nyata
antar perlakuan yang diujikan maka dilakukan uji lanjut dengan
menggunakan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT)
29

M. Jadwal Penelitian

Mei Juni Juli Agustus September    


No Kegiatan
3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3
Persiapan alat,
sterilisasi alat
1
dan pembuatan
media                                  
Peremajaan
2 isolat
Rhizobium sp.                                  
Karakterisasi
3 isolat
Rhizobium sp.                                     
Perbanyakan
4
inokulum                                  

5 Pembuatan
formula nano                                  
Sterilisasi
6
formula nano                                  
Pembuatan
7 formula nano
inokulum                                  
Aplikasi
8 inokulum pada
benih                                  
Aplikasi
9
Mikoriza                                  
10 Penanaman                                  
11 Pengamatan                                  
Analisis data
12
dan pembahasan                                  
DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, T. (2005). Kedelai Budi Daya dengan Pemupukan yang Efektif dan
Pengoptimalan Peran Bintil Akar. Jakarta: Penebar Swadaya.

Aep, W.I. (2006). Budidaya Tanaman Kedelai (Glycine max (L). Merill). Tesis.
Fakultas Pertanian. Universitas Padjajaran. Bandung.

Aji, A. S. (1994). Ketahanan Hidup Rizopseudomonas dalam Media Kompos dan


Gambut serta Efektivitasnya sebagai Pemicu Pertumbuhan Tanaman dan
Pengendali Penyakit Layu Bakteri pada Tanaman Tomat (Lycopersicum
esculatum). Skripsi. Bogor: Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor.

Albareda, M., D.C. Rodriguez-Navarro, M. Camacho, And F.J. Temprano,


Alternatives to Peat as a Carrier for Rhizobia Inoculants : Solid and Liquid
Formulation, Soil Biology and Biochemistry Volume 40, Issue 11, Pages
2771-2779 (2008).

Alfi Inayati dan Eriyanto Yusnawar. (2017). Identifikasi Penyakit Utama Kedelai
dan Cara Pengendaliannya. Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan
Umbi.

Andrianto, T.T., dan N. Indarto. 2004. Budidaya dan Analisis Usaha Tani;
Kedelai, Kacang Hijau, Kacang Panjang. Cetakan Pertama. Penerbit Absolut.
Yogyakarta. 92 hal.

Anggarini, Avy. 2012. Artikel pengaruh mikoriza terhadap pertumbuhan dan hasil
sorgum manis (sorghum bicolor l. Moench) pada tunggul pertama dan kedua.
Fakultas Pertanian Gadjah Mada, Yogyakarta.

Argal, A. K. Rawat, S. B Aher & P. S Rajput. (2015). Bioefficacy And Shelf Life
Of Rhizobium leguminosarum Loaded On Different Carriers. Applied
Biologycal Research, 17(2),125-131

Arief Harsono. (2011). Pengaruh Macam dan pH Carrier Terhadap Kefektifan


Rhizobium Iletrisoy-2 Pada Kedelai di Lahan Masam. Prosiding Seminar
Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2011. 197-204.
Indonesia.

Ayu M., Rosmayanti dan Luthfi A. M. 2013. Pertumbuhan dan Produksi Beberapa
Varietas Kedelai terhadap Inokulasi Bradyrhizobium. Jurnal Online
Agroteknologi. 1(2):15-23.

Badan Pusat Statistik. (2011). Produksi Tanaman Kedelai di Indonesia. Badan


Pusat Statistik. Jakarta.

30
31

Badan Pusat Statistik. (2014). Perkembangan Ekspor Impor Komoditas Pertanian


Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Bertham, Y. Harini Rr. (2007). Dampak Inokulasi Ganda Fungi Mikoriza


Arbuskula dan Rhizobium Indigenous pada Tiga Genotipe Kedelai di Tanah
Ultisol. Jurnal Akta Agrosia Edisi Khusus No.2 hlm 189-198.

Bethlenfalvay, G. J., M. S. Brown, K. L. Mihara, and A. E. Stafford. (1987).


Effects of Mycorrhiza on Nodule Activity and Transpiration in Soybeans
Under Drought Stress. Plant Physiol. Vol. 85, 1987

Brundrett, M. (2004). Diversity and Classification of Mycorrhizal Associations.


Biol. Rev. 79:473–495 dalam Octavitani, N. 2009. Pemanfaatan Cendawan
Mikoriza Arbuskular (CMA) Sebagai Pupuk Hayati untuk Meningkatkan
Produksi Pertanian. Jurnal lingkungan

Buzea, C., Blandino, I. I. P, & Robbie, K. (2007). Nanomaterial and


Nanoparticles: Sources and Toxicity. Biointerphases, 2: MR170-MR172

Campbell, N.A., J.B. Reece, and L.G. Mitchell. (1999). Biology. Fifth Edition.
Benjamin-Cummings Publishing Company. University of Virginia. 1280p.

Fachruddin, Lisdiana, Ir. (2000). Budidaya Kacang-kacangan. Penerbit Kanisius.


Yogyakarta.

Franzini, V. I., R. Azco´n, F. L. Mendes, R. Aroca. (2009). Interactions between


Glomus species and Rhizobium strains affect the nutritional physiology of
drought-stressed legume hosts. Journal of Plant Physiology 167 (2010) 614–
619.

Gardner (1991). Fisiologi Tanaman Budidaya. Herawati Susilo, penerjemah.


Jakarta : Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari Physiology of Crop
Plant.

Gibson AH. (1981). Current Perpectives in nitrogen fixstion. Proceedings of the


Fourth International symposium on Nitrogen Fixation. Aust. Academy of
Science. Camberra. Australia. 1 – 5 December 1980. FA Skinner, Robert. M,
Boddey, Fendrik (Eds) 534

Hapsoh, S. Yahya, T. M. H. Oelim. (2006). Respons Fisiologi Beberapa Genotipe


Kedelai yang Bersimbiosis dengan MVA terhadap Berbagai Tingkat
Cekaman Kekeringan. Jurnal Hayati. hlm. 43-48 Vol. 13, No. 2 ISSN 0854-
8587

Irwan, A.W. (2006). Budidaya Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merill).
Skripai . Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas
Padjadjaran, Jatinangor. Bandung
32

Juniadi. (2015). Teknis Budidaya Kacang Edamame. http://www.bbpp-


lembang.info/index.php/teknis-budidaya-iut/895-budidaya-kacang-Edamame

Karnataka. (2017). “Enhanced survival and performance of phosphate solubilizing


bacterium in maize throught carrier enrichment”. Journal Agricultural
Science. 20(1) :170-172.

Kurnia Rozika Sari. 2011. Pengaruh Mikoriza Arbuskula dan Rhizobium pada
tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea) di Media Tanah Madura pada
Kondisi Cekaman Kekeringan. Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Surabaya.

Lailia Noviana & Budi Raharjo. (2009). Viabilitas Rhizobacteri Bacillus sp.
DUCC-BR-K1.3 pada Media Pembawa Gambut Disubtitusi dengan Padatan
Limbah Cair Industri Rokok. BIOMA, 11(1), 30-39.

Marwoto, Sri Hardaningsih & Abdulla Taufiq. (2007). Hama dan Penyakit
Tanaman Kedelai. Bogor

Mayerni, R., D. Hervani. (2008). Pengaruh Jamur Mikoriza Arbuskular terhadap


Pertumbuhan Tanaman Selasih (Ocimum sanctum L.). Jurnal Akta Agrosia
Vol. 11 No. 1 hlm 7 – 12 jan – jun 2008 ISSN 1410 – 335

Mentreddy, S.R., A.L. Mohammed, N. Joshee, dan A.K. Yadav. (2002).


Edamame: A Nutrition Vegetable Crop. In: J, Janick and A, Whipkey. (eds).
Trends in New Crops and NewUses. ASHS Press. Alexandria. 230 p

Mieke Rochimi Setiawati, Pujawati Suryatmana & Amalia Chusnul. (2017).


Karakteristik Azolla pinnata sebagai Pengganti Bahan Pembawa Pupuk
Hayati Padat Bakteri Penambat N2 dan Bakteri Pelarut. Soilrens, 15(1), 1-7.

Mulyanto B. & Basuki S. (2002). Pengelolaan Lahan Gambut secara Ekologis


Untuk Kesejahteraan Masyarakat. Center for Wetlands Studies Department of
Soil Sciences – Faculty of Agriculture Bogor Agricultural University, Bogor.
Nurhayati. 2011. Pengaruh Jenis Amelioran Terhadap Efektivitas dan
Inefektivitas Mikroba Pada Tanah Gambut Dengan Kedelai Sebagai Tanaman
Indikator. Agronobis 3(5), 35-42

Prayitno J, JJ Weinman, MA Djordjevic dan BG Rolfe. 2000. Pemanfaatan


Protein Pendar Hijau (Green Fluorescent Protein) Untuk Mempelajari
Kolonisasi Bakteri Rhizobium. Prosiding Seminar Nasional Biologi XVI.
Kampus ITB, 26-27 Juli 2000. Darmadi Gunarso, Devi Nandita, Tjandra
Anggraeni, Undang A. Dasuki, Poniah A.H.B, Nuryani
33

Prihastuti. (2013). Karakteristik Gambut Rawa Pening dan Potensinya Sebagai


Bahan Pembawa Mikroba. Berita Biologi, 12(3), 315-323

Putri, S.M., Anas I., Hazra F., Citraresmin A. (2010). Viabilitas inoculum dalam
bahan pembawa gambut, arang, batok, zeolit yang disteril dengan iradiasi
sinar gamma co-60 dan mesin berkas electron. Jurnal Tanah dan Lingkungan
12 (1) : 9-16.

Raymond A. B. Sopacua. (2014). Pengaruh Inokulasi Bakteri Rhizobium


japanicum Terhadap Pertumbuhan Kacang Kedelai (Glycine max L).
Biopendix, 1(1), 48-53

Rizky Ratna, Nurul Aini & Lilik Setyobudi. (2015). The effect of Rhizobium and
Organic Mulches of Straw in Black Soybean (Glycine max L). Varietas
Detam 1. Jurnal Produksi Tanaman, 3(8), 689-696.

Rukmana, R. dan Y. Yuniarsih. 1996. Kedelai Budidaya dan Pascapanen. Penerbit


Kanisius, Yogyakarta

Rustaman, Ramadhani Eka Putra, Sofiyan Hadi, Ruliyana Susanti, Tika Dewi
Atikah, Krisna Septiningrum (Penyunting), 272-377. Perhimpunan Biologi
Indonesia.

Saraswati, R., R.D. Hastuti, N. Sunarlim, dan S. Hutami. 1996. Penggunaan


Rhizoplus generasi I untuk meningkatkan produktivitas tanaman kacang-
kacangan. Disampaikan pada Lokakarya Pemantapan Teknologi Usahatani
palawija Mendukung Usaha tani Berbasis Padi (SUTPA) di Balitkabi Malang
8–9 Mei 1996.

Simarmata T. 1995. Strategi Pemanfaatan Mikroba Tanah (Pupuk biologi) dssm


Era Biotehnologi untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Marginal di
Indonesia Menuju Pertanian Berwawasan Lingkungan. Fakultas Pertanian
UNPAD, Bandung.

Sindy Marieta Putri, Iswandi Anas, Fahizal Hazra & Ania Citraresmini. (2010).
Viabilitas Inokulan dalam Bahan Pembawa Gambut, Kompos, Arang Batok
dan Zeolit yang Disterilkan dengan Iradiasi Sinar Gamma Co-60 dan Mesin
Berkas Elektron. Jurnal tanah dan Lingkungan, 12(1), 23-30

Singgih Pambudi. (2013). Budidaya dan Khasiat Kedelai Edamame. Penerbit


Pustaka Baru Press. Yogyakarta.

Soewanto, H., Prasongko, A dan Sumarno 2007. Agribisnis Edamame untuk


Ekspor. p.416-443. Dalam Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto dan H.
Kasim (Eds.): Kedelai. Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Universitas Gajah Mada.
Jurnal Litbang Pertanian. 26(3): 116-123.
34

Subiksa, I. 2002. Pem anfaatan m ikoriza untuk penanggulangan lahan kritis.


http:// rudyet.triped.com/sem2-012/igmsubiksa.htm. 20 Juli 2005.

Sumarno. 1999. Strategi pengembangan produksi kedelai nasional mendukung


Gema Paagung. 2001. Dalam: Strategi Pengembangan Kedelai Nasional. N.
Sunarlim, D. Pasaribu dan Sunihardi (Eds), 62. Puslitbangtan

Surtiningsih, T., Farida, dan T. Nurhariyati. 2009. Biofertilisasi Bakteri


Rhizobium pada Tanaman Kedelai (Glycine max(L) Merr.). Berk. Penel.
Hayati, 15 : 31–35.

Suryantini dan H. Kuntyastuti. 1998. Penggunaan Rhizoplus dan Urea pada


kedelai dalam pola tanam padi padi kedelai dan padi kedelai-kedelai.
Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Komisariat Daerah
HITI. Tahun 1998.

Suryantini. (2016). Formulasi Bahan Pembawa Pupuk Hayati Pelarut Phospat


untuk Kedelai di Tanah Masam. Buletin Palawija, 14(1), 28-35

Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius : Yogyakarta.

Tyas, I.N. 2008. Pemanfaatan kulit pisang sebagai bahan pembawa inokulum
bakteri pelarut fosfat. Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas maret.

Van Dyke, M. I. and J. I. Prosser. 2000. Enhanced survival of Pseudomonas


fluorescens in soil following estabilishment of inoculum in a sterile soil
carrier. Soil Biol. Biochem., 32: 1377-1382

Wu, Z., Guo, L., Qin, S., Li, C. 2012. Encapsulation of R. planticola Rs-2 from
alginate-starch-bentonite and its controlled release and swelling behavior
under simulated soil conditions. J. Ind. Microbiol. Biotechnol. 39, 317–27.

Yanto Surdianto, Nana Sutrisna, Basuno & Solihin. (2015). Panduan Teknis Cara
Membuat Arang Sekam Padi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP).
Bandung.
LAMPIRAN

1. Lay Out Tanaman Penelitian persampel

A B C D

B C D A

C D A B

Keterangan :
A = Tanaman dengan panyiraman 1 Hari sekali
B = Tanaman dengan panyiraman 2 Hari sekali
C = Tanaman dengan panyiraman 4 Hari sekali
D = Tanaman dengan panyiraman 6 Hari sekali

2. Lay out Tanaman Penelitian Perunit

Tanaman Tanaman Tanaman


Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3

Tanaman Tanaman Tanaman


Korban 1 Korban 1 Cadangan

35

Anda mungkin juga menyukai