Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

ASMA BRONKIAL

Disusun Oleh:
WIDA SUKMAWATI
113121007

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH CILACAP
TAHUN 2021
LAPORAN PENDAHULUAN

Nama Mahasiswa: Wida Sukmawati Tanggal Praktik: 19 Des 2021


NIM : 113121007 Ruang Praktik :Aster

1. Pengertian
Asma bronkial adalah penyakit jalan napas obstruktif intermitten reversibel
dimana trakeobronkial berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu. Asma
bronkial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus
terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan napas
yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari
pengobatan (Musliha, 2016).
Asma bronkial adalah penyakit inflamasi kronis di saluran pernapasan,
dimana terdapat banyak sel-sel induk, eosinofil, T-limfosit, neutrofil, dan sel-sel
epitel. Pada individu yang rentan, inflamasi ini menyebabkan episode wheezing, sulit
bernafas, dada sesak, dan batuk secara berulang, khususnya pada malam hari dan di
pagi hari. Episode ini biasanya berkaitan dengan gangguan aliran udara secara
menyebar namun berubah-ubah (Syamsudin & Keban, 2013).
Asma bronkial adalah suatu keadaan dimana saluran napas mengalami
penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan dari luar seperti debu rumah,
bulu binatang, asap, dan bahan lain penyebab alergi. Gejala kemunculan sangat
mendadak, sehingga jika tidak segera mendapat pertolongan bisa menyebabkan
kematian. (Nurarif & Kusuma 2016).
Asma bronkial adalah penyakit obstruksi saluran pernapasan akibat
penyempitan saluran napas yang sifatnya reversibel yang ditandai oleh episode
obstruksi pernapasan di antara dua interval asimtomatik (Djojodibroto, 2016).
Jadi dapat disimpulkan bahwa asma bronkial adalah penyakit paru yang
menyerang pada saluran pernapasan dengan klinik penyempitan pada saluran
pernapasan yang disebabkan oleh stimulan yang ditandai dengan spasme otot
bronkiolus, yang di akibatkan oleh faktor biokimia, infeksi, otonomik dan
psikologi.

2. Etiologi
Etiologi Asma Bronkhial menurut Nurarif & Kusuma (2016) adalah sebagai
pemicu timbulnya serangan dapat berupa infeksi (infeksi virus, RSV), iklim
(perubahan mendadak suhu, tekanan udara), inhalan (debu, kapuk, sisa-sisa seranga
mati, bulu binatang, serbuk sari, bau asap, uap cat), makanan, obat (aspirin), kegiatan
fisik (olahraga berat, kecapaian, tertawa terbahak-bahak), dan emosi.
Etiologi Asma Bronkial menurut Muttaqin (2018) adalah sebagai berikut :
a. Alergen
Alergen adalah zat-zat yang bila dihisap atau dimakan dapat
menimbulkan serangan asma misalnya debu rumah, spora jamur, bulu kucing,
beberapa makanan laut, dan sebagainya.
b. Infeksi saluran pernapasan
Infeksi saluran pernapasan terutama disebabkan oleh virus. Virus
influenza merupakan salah satu aktor pencetus yang paling sering menimbulkan
asma bronkial. Diperkirakan dua pertiga penderita asma dewasa serangan
asmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran pernapasan.
c. Tekanan jiwa
Tekanan jiwa bukan penyebab asma tetapi pencetus asma, karena banyak
orang yang mendapat tekanan jiwa tetapi tidak menjadi penderita asma bronkial,
beberapa faktor ini mencetuskan serangan asma terutama pada orang yang agak
labil kepribadiannya. Hal ini lebih menonjol pada wanita dan anak.
d. Olahraga / kegiatan jasmani yang berat
Sebagai penderita asma bronkial akan mendapatkan serangan asma yang
bila melakukan olahraga atau aktivitas fisik yang berlebihan. Lari cepat dan
bersepeda adalah dua jenis kegiatan paling mudah menimbulkan serangan asma.
Serangan asma karena kegiatan jasmani tejadi setelah olahraga atau aktivitas
fisik yang cukup berat dan jarang serangan timbul beberapa jam setelah
olahraga.

e. Obat-obatan
Beberapa klien dengan asma bronkial sensitif terhadap obat tertentu
seperti penisilin, salsilat, beta bloker, kodein, dan sebagainya.

f. Polusi udara
Klien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik, kendaraan,
asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran dan oksida fotokemikal,
serta bau yang tajam.
g. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja diperkirakan merupakan faktor pencetus yang
menyumbang 2-5 % klien dengan asma bronkial.

3. Patofisiologi dengan Pathways


Patofisiologi asma tampaknya melibatkan hiper-responsivitas pada jalan napas
setelah terpajan satu atau lebih rangsangan iritan. Stimulan yang diketahui memicu
reaksi asmatik antara lain infeksi virus, respon alergik terhadap debu, serbuk sari,
tungau, atau bulu binatang, latihan fisik, pajanan dingin, dan refluks saluran cerna.
Karena jalan napas yang rentan dan hiper-responsif, reaksi dan bronkokonstriksi,
keduanya dapat terjadi bersamaan. Meskipun bronkokonstriksi dan perasaan saluran
nafas menyempit merupakan gejala pertama dari serangan asmatik, reaksi inflamasi
yang lambat dapat memburuk asma menjadi penyakit yang serius (Corwin, 2019).
Mediator inflamasi utama pada reaksi asmatik adalah eosinofil, salah satu
jenis sel darah putih. Eosinofil terkonsentrasi di satu area dan melepaskan zat kimia
yang menstimulasi degranulasi sel mast. Eosinofil juga menarik jenis sel darah putih
lainnya, termasuk basofil dan neutrofil, menstimulasi produksi mukus, dan
meningkatkan pembengkakan serta edema jaringan. Respon inflamasi diawali oleh
stimulus, tetapi mungkin memerlukan waktu paling lama 12 jam untuk
memperlihatkan gejala (Corwin, 2019).
Asma yang lebih akut adalah efek dari histamin kimiawi pada otot polos
bronkus. Histamin dilepaskan bersamaan dengan IgE yang memediasi degranulasi
sel-mast dan dengan cepat menyebabkan konstriksi dan spasme otot polos
bronkiolus. Histamin juga menstimulasi produksi mukus dan meningkatkan
permeabilitas kapiler, selanjutnya menyebabkan kongesti dan pembengkakan ruang
intertisial paru (Corwin, 2019).
Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran
napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat
terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan
volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien akan bernapas pada
volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini
bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk
mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu nafas. Penyempitan
saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang, maupun
kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran napas yang besar,
sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan
dibanding mengi. (Sudoyo, 2015).
Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada
daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melalui
daerah tersebut mengalami hipoksia. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh
melakukan hiperventilasi agar kebutuhan oksigen terpenuhi (Sudoyo, 2015).
Dengan demikian adanya penyempitan jalan napas pada asma dapat
memunculkan masalah keperawatan bersihan jalan napas tidak efektif, pola napas
tidak efektif, gangguan pertukaran gas, dan intoleransi aktivitas.
Pathways
Faktor pencetus:
allergen, cuaca, stress

Antigen yang terikat IgE


pada permukaan sel mast /
basofil
Mengeluarkan mediator, histamine,
platelet bradikinin, dll

Permeabilitas kapiler
meningkat

Edema mukosa, sekresi


produktif, kontriksi otot polos
meningkat
Spasme otot polos, Konsentrasi O2
sekresi kelenjar bronkus dalam darah turun
meningkat
Hipoksemia
Penyempitan /
obstruksi proksimal Gangguan Suplai darah dan
bronkus pertukaran gas O2 ke jantung
Mucus berlebih,
batuk, wheezing, Peningkatan kerja Penurunan
sesak napas otot pernapasan, Cardiak Output
penggunaan otot
bantu pernapasan
Bersihan jalan Tekanan darah
napas tidak turun
efektif

Kelemahan dan
keletihan
Pola napas tidak
efektif
Intoleransi aktivitas

Sumber: Corwin (2019)


Sudoyo (2015)
DPP PPNI (2016)
Masalah Keperawatan

Bersihan jalan napas tidak efektif

Gangguan pola tidur

Risiko Defisit Nutrisi

Intoleransi Aktivitas

Pemeriksaan Diagnostik

Jenis Hasil

Spirometri Pemeriksaan spirometri selain penting


untuk menegakkan diagnosis, juga
penting untuk menilai beratnya obstruksi
dan efek pengobatan. Banyak pasien
asma tanpa keluhan, tetapi pemeriksaan
spirometrinya menunjukkan obstruksi

Uji provokasi bronkus Uji provokasi dilakukan beberapa cara


seperti uji provokasi dengan histamin,
metakolin, kegiatan jasmani, udara
dingin, larutan garam hipertonik, dan
bahkan dengan aqua destilata. VEP 1
sebesar 20 % atau lebih dianggap
bermakna. Dianggap bermakna bila APE
paling sedikit 10 %. Akan halnya uji
provokasi pada pasien alergi terhadap
alergen yang di uji.

Sputum Sputum eosinofil sangat karakteristik


untuk asma, sedangkan neutrofil sangat
dominan pada bronkitis kronik.

Eosinofil total Jumlah eosinofil total dalam darah sering


meningkat pada pasien asma dan hal ini
dapat membantu dalam membedakan
antar asma dan bronchitis kronik.
Pemeriksaan ini dapat juga dipakai
sebagai patokan untuk menentukan
cukup tidaknya dosis kortikosteroid yang
dibutuhkan pasien asma

Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE Kegunaan pemeriksaan IgE total hanya
spesifik dalam sputum untuk menyokong adanya atopi.
Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna
dilakukan bila uji kulit tidak dapat
dilakukan atau hasilnya kurang dapat
dipercaya
Foto dada Pemeriksaan ini dilakukan untuk
menyingkirkan penyebab lain obstruksi
saluran nafas dan adanya kecurigaan
terhadap proses patologi di paru atau
komplikasi asma seperti pneumotoraks,
pneumodiastinum, atelektasis, dan lain-
lain

Analisa gas darah Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada


asma yang berat. Pada fase awal
serangan, terjadi hipoksemia dan
hipokapnia (PaCO2, 35 mmHg)
kemudian pada stasium yang lebih berat
PaCO2 justru mendekati normal sampai
normo-kapnia. Selanjutnya pada asma
yang sangat berat terjadi hiperkapnia
(PaCO2 > 45 mmHg), hipoksemia, dan
asidosis respiratorik

Kebutuhan Cairan Kebutuhan Kalori


Menurut Holiday Score: a. BBLR = 150 Kkal / kg BB
BB 1-10 kg = BB x 100 cc b. BBLC = 120 Kkal / kg BB / bulan
BB > 10-20 kg = (BB-10) x + 1000 c. BB 0-10 kg = 100 Kkal / kg BB
BB ≥ 20 kg = (BB-20) x 20 + 2000 d. BB 11-20 kg = 1000 Kkal + 50 Kkal x
(BB - 10)
e. BB > 20 kg = 1500 Kkal + 20 Kkal x
(BB -20)

4. Terapi
Pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan menurut Nurarif & Kusuma
(2016) :
1) Serangan ringan
Pengobatan: Inhalasi agonis beta-2, kombinasi oral agonis beta-2 dan teofilin.
2) Serangan sedang
Pengobatan : nebulisasi agonis beta-2 tiap 4 jam, agonis beta-2 subkutan,
aminofilin IV, adrenalin 1/1000 0,3 ml SK, oksigen bila mungkin,
kortikosteroid sistemik.
3) Serangan berat
Pengobatan : nebulisasi agonis beta-2 tiap 4 jam, aminofilin bolus dilanjutkan
drip, oksigen, kortikosteroid.
4) Mengancam jiwa
Pengobatan : pertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanik.
Menurut Djojodibroto (2016) terapi pada asma bronkial adalah sebagai berikut :
a. Agonis β-2
Agonis β-2 yang menyebabkan relaksasi otot polos saluran pernapasan dan
menghambat kerja mediator yang dilepaskan sel mast. Pemberian agonis β-2
dilakukan secara inhalasi karena pemberian secara parenteral tidak terlalu
memberikan hasil berbeda. Pemberian secara parenteral baru dilakukan jika
pemberian secara inhalasi tidak memberikan hasil yang diharapkan. Pemberian
agonis β-2 memberikan efek samping, seperti takikardia, hipokalemia, aritmia,
tremor, iskemia miokardial, dan asidosis asam laktat. Itu sebabnya pemberian
inhalasi menjadi pilihan utama dibandingkan dengan pemberian secara
parenteral. Pemberian agonis β-2 dapat berupa adrenalin atau sabutamol.
b. Antikolinergik
Antikolinergik bukan pengobatan pertama, tetapi dapat digunakan untuk
menolong serangan asma ringan maupun sedang. Pada serangan asma berat,
pengobatan pertama sebaiknya disertai dengan pemberian obat antikolinergik.
Antikolinergik yang diberikan secara inhalasi adalah ipratropium bromida
dengan MDI atau wet nebulizer (WN). Jika diberikan secara parenteral,
antikolinergik yang digunakan adalah atropin sulfat.
c. Kortikosteroid
Kortikosteroid sangat bermanfaat dalam pengobatan asma bronkial, tetapi
efeknya lambat, baru tampak setelah beberapa jam. Oleh sebab itu,
kortikosteroid sebaiknya diberikan pada saat mulai tampak adanya serangan
asma. Kortikosteroid yang diberikan berupa metilprednisolon. Pada saat
serangan asma, pemberian kortikosteroid melalui inhalasi tidak banyak
memberikan manfaat.
d. Aminofilin
Aminofilin digunakan sebagai pengobatan kedua asma bronkial.
Aminofilin mempunyai sifat bronkodilator meski lemah, tetapi aminofilin dapat
menambah kontraktilitas diafragma, diuresis, dan sebagai anti inflamasi.
Biasanya jika pengobatan pertama tidak memberikan hasil yang diharapkan,
aminofilin dapat ditambahkan pada pengobatan ini.

5. Tanda dan Gejala/Manifestasi Klinis


Menurut Djojodibroto (2016) tanda dan gejala asma terdiri atas : batuk,
mengi, sesak napas, penggunaan otot napas tambahan, timbul pulsus paradoksus,
serta timbulnya pernapasan cepat dan dangkal (kussmaul).
Menurut Corwin (2019) gambaran klinis asma meliputi :
a. Dispnea yang bermakna
b. Batuk, terutama pada malam hari
c. Pernapasan yang dangkal dan cepat
d. Mengi yang dapat terdengar pada auskultasi paru. Biasanya mengi terdengar
hanya saat ekspirasi, kecuali kondisi pasien parah
e. Peningkatan usaha bernapas, ditandai dengan retraksi dada, disertai perburukan
kondisi, nafas cuping hidung
f. Kecemasan yang berhubungan dengan ketidakmampuan mendapat udara yang
cukup
g. Udara yang terperangkap karena obstruksi aliran udara, terutama terlihat selama
ekspirasi pada pasien asma. Kondisi ini terlihat dengan memanjangnya waktu
ekspirasi
h. Diantara serangan asmatik, individu biasanya asimtomatik. Akan tetapi, dalam
pemeriksaan perubahan fungsi paru mungkin terlihat bahkan diantara serangan
pada pasien memiliki asma persisten.

6. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada asma menurut Sudoyo (2010) antara lain :
a. Pneumotoraks
b. Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
c. Ateletaksis
d. Aspergilosis bronkopulmoner alergik
e. Gagal napas
f. Bronkitis
g. Fraktur iga
Nursing Care Plan (NCP)

No SDKI SLKI SIKI


.
1. Bersihan jalan nafah SLKI: Bersihan jalan napas SIKI: Manajemen jalan napas
tidak efektif Ekspetasi: Meningkat Observasi:
Faktor penyebab: 1. Monitor pola napas
1. Spasme jalan napas (frekuensi, kedalaman, usaha
Kriteria Hasil IR ER
2. Hipersekresi jalan napas)
Produksi sputum 5
napas 2. Monitor bunyi napas (mis.
Mengi 5
3. Disfungsi Gurgling, mengi, wheezing,
neuromuskular Wheezing 5 ronkhi kering)
4. Benda asing dalam Sianosis 5 3. Monitor sputum (jumlah,
jalan napas Gelisah 5 warna, aroma)
5. Adanya jalan napas Terapeutik:
buatan Keterangan: 1. Pertahankan kepatenan jalan
6. Sekresi yang 1. Menurun napas dengan head-tilt dan
tertahan 2. Cukup menurun chin-lift
7. Hiperplasia 3. Sedang 2. Posisikan semi-fowler atau
dinding jalan napas 4. Cukup meningkat fowler
8. Proses infeksi 5. Meningkat 3. Lakukan fisioterapi dada
9. Respon alergi 4. Lakukan penghisapan lendir
10. Efek agen kurang dari 15 detik
farmakologis Edukasi:
1. Anjurkan asupan cairan 2000
Situasional: ml/hari
1. Merokok aktif 2. Ajarkan teknik batuk efektif
2. Merokok pasif Kolaborasi:
3. Terpajan polutan 1. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik
2. Gangguan Pola Tidur SLKI: Pola napas SIKI: Dukungan Tidur
Faktor penyebab: Ekpetasi: Membaik Observasi:
1. Hambatan Kriteria Hasil IR ER 1. Identifikasi pola aktivitas dan
lingkungan Kesulitan sulit tidur 5 tidur
2. Kurang kontrol Keluhan sering 5 2. Identifikasi faktor
tidur terjaga pengganggu tidur
3. Kurang privasi Keluhan tidak puas 5 3. Identifikasi makanan dan
4. Restraint fisik tidur minuman yang mengganggu
5. Ketiadaan teman Keluhan pola tidur 5 tidur
tidur berubah 4. Identifikasi obat tidur yang
6. Tidak familiar Keluhan istirahat 5 dikonsumsi
dengan peralatan tidak cukup Terapeutik:
tidur Keterangan: 1. Modifikasi lingkungan
1. Memburuk 2. Batasi waktu tidur siang
2. Cukup memburuk 3. Tetapkan jadwal tidur rutin
3. Sedang 4. Lakukan prosedur untuk
4. Cukup membaik meningkatkan kenyamanan
5. Membaik Edukasi:
1. Jelaskan pentingnya tidur
cukup selama sakit
2. Anjurkan menghindari
makanan/minuman yang
mengganggu tidur
3. Ajarkan merelaksasi otot
autogenik atau cara
nonfarmakologi lainnya
3. Gangguan tumbuh SLKI: Status Perkembangan SIKI: Promosi perkembangan
kembang Ekspetasi: Membaik anak
Faktor penyebab: Kriteria Hasil IR ER Observasi:
1. Efek Keterampilan/perilaku 5 1. Identifikasi kebutuhan khusus
ketidakmampuan sesuai usia anak dan kemampuan
fisik Kemampuan 5 adaptasi anak
2. Keterbatasan melakukan perawatan Terapeutik:
lingkungan diri 1. Fasilitasi hubungan anak
3. Inkonsistensi Respon sosial 5 dengan teman sebaya
respon Pola tidur 5 2. Dukung anak berinteraksi
4. Pengabaian Keterangan: dengan anak lain
5. Terpisah dari orang 1. Menurun 3. Dukung anak
tua / orang terdekat 2. Cukup menurun mengekspresikan
6. Defisiensi stimulus 3. Sedang perasaannya secara positif
4. Cukup meningkat 4. Berikan mainan yang sesuai
6. Meningkat dengan usia anak
5. Bacakan cerita/dongeng
untuk anak
6. Sediakan kesempatan alat-alat
untuk menggambar, melukis
dan mewarnai
7. Sediakan mainan berupa
puzzle dan maze
Edukasi:
1. Jelaskan nama-nama benda
obyek yang ada di
lingkungan sekitar
2. Ajarkan sikap kooperatif,
bukan kompetisi diantara
anak
3. Ajarkan anak cara meminta
bantuan dari anak lain
Kolaborasi:
1. Rujuk untuk konseling
4. Risiko defisit nutrisi SLKI: Status Nutrisi SIKI: Manajemen Nutrisi
Faktor penyebab: Ekspetasi: Membaik Observasi:
1. Ketidakmampuan Kriteria Hasil IR ER 1. Identifikasi status nutrisi
menelan makanan Porsi makanan yang 2. Identifikasi alergi dan
2. Ketidakmampuan dihabiskan intoleransi makanan
mencerna makanan Frekuensi makanan 3. Identifikasi makanan yang
3. Ketidakmampuan Napsu makan disukai
mengabsorbsi Membran mukosa 4. Identifikasi kebutuhan kalori
nutrien Keterangan: dan jenis nutrien
4. Peningkatan 1. Memburuk 5. Monitor berat badan
kebutuhan 2. Cukup memburuk Terapeutik:
metabolisme 3. Sedang 1. Lakukan oral hygiene
5. Faktor ekonomi 4. Cukup membaik sebelum makan
6. Faktor psikologis 5. Membaik 2. Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang
sesuai
3. Berikan makanan tinggi
protein dan tinggi kalori
Edukasi:
1. Anjurkan posisi duduk, jika
perlu
2. Ajarkan diet yang di
programkan
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
2. Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrien yang
dibutuhkan
DAFTAR PUSTAKA

Almazini, P. 2013. Bronchial Thermoplasty Pilihan Terapi Baru untuk Asma Berat. Jakrta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Carpenito, L.J. 2019. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi 6. Jakarta:
EGC
Corwin, Elizabeth J. 2019. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
GINA (Global Initiative for Asthma) 2016.; Pocket Guide for Asthma Management and
Prevension In Children. www. Dimuat dalam www.Ginaasthma.org
Johnson, M., et all. 2010. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Linda Jual Carpenito, 2015. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6. Jakarta: EGC
Mansjoer, A dkk. 2017. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition.
New Jersey: Upper Saddle River
Purnomo. 2008. Faktor Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Asma Bronkial
Pada Anak. Semarang: Universitas Diponegoro
Ruhyanudin, F. 2017. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Kardio
Vaskuler. Malang: Hak Terbit UMM Press
Saheb, A. 2011. Penyakit Asma. Bandung: CV medika
Santosa, Budi. 2017. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika
Sundaru H. 2016 Apa yang Diketahui Tentang Asma, JakartaDepartemen Ilmu Penyakit
Dalam, FKUI/RSCM
Suriadi. 2013. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi I.  Jakarta: Sagung Seto

Anda mungkin juga menyukai