Anda di halaman 1dari 23

KOMUNIKASI KESEHATAN

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Komunikasi Kesehatan

oleh:

Devi Pratiwi

Safhira Dwidanitri

Sianinda Pasol

Tannia Sembiring

Universitas Indonesia
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Komunikasi adalah aspek yang penting dalam kehidupan. Tanpa komunikasi, tidak akan
ada transfer informasi dan pengetahuan antarmanusia. Namun, penyampaian komunikasi
masih merupakan suatu hambatan bagi banyak kalangan, terutama kalangan medis. Menurut
survey yang dilakukan oleh American Society of Clinical Oncology pada tahun 1998, 6,5%
tenaga medis masih merasa kurang kompeten dalam penyampaian berita buruk. Hal paling
sulit yang tenaga medis hadapi adalah menginformasikan hal yang jujur tanpa
menghilangkan harapan pasien untuk kembali sembuh.

Teori-teori mengenai komunikasi ini mungkin tidak akan begitu lama untuk dipahami,
tetapi untuk pengaplikasiannya dibutuhkan waktu bertahun-tahun dan pengalaman yang
cukup.

B. Tujuan
Untuk mengetahui macam cara berkomunikasi, terutama komunikasi kesehatan,
sehingga terjadi proses penyampaian yang efektif dan tidak menimbulkan kesalahpahaman.
BAB II

PRINSIP DAN TEORI KOMUNIKASI

A. Definisi Komunikasi
Harold Lasswell dalam karyanya, The Structure and Function of Communication in
Society, menyimpulkan bahwa proses komunikasi adalah pihak komunikator membentuk
(endcode) pesan dan menyampaikannya melalui suatu saluran kepada pihak penerima yang
menimbulkan efek tertentu.

B. Tingkatan Komunikasi
Secara umum, hubungan komunikasi dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu:
1. Komunikasi intrapribadi (intrapersonal communiction) atau komunikasi yang terjadi
dalam diri sesorang melalui panca indra dan sistem saraf manusia
2. Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) atau komunikasi yang
dilakukan dalam situasi tatap muka antara dua orang atau lebih
3. Komunikasi kelompok (group communication) atau komunikasi antara beberapa
orang dalam suatu kelompok seperti dalam rapat atau pertemuan
4. Komunikasi organisasi (organization communication) atau pengiriman dan
penerimaan pesan organisasi didalam kelompok formal maupun informal
5. Komunikasi massa (Mass communication) dimana komunikasi ditujukan kepada
sejumlah audiens, heterogen, dan anonim melalui media massa

C. Model Komunikasi
Dalam perkembangannya, komunikasi dikonsepkan menjadi beberapa model,
diantaranya adalah model komunikasi linear (linear communication model), model
interaksional, dan model transaksional.
Linear communication model dikemukakan oleh Claude Shannon dan Warren
Weaver pada tahun 1949 dalam buku The Mathematical of Communication. Model linear
menyatakan bahwa seseorang hanyalah pengerim atau penerima. Pendekatan model ini
terdiri dari beberapa elemen, diantaranya sumber (source), pesan (massage), dan penerima
(receiver). Komunikasi model linear mendeskripsikan proses komunikasi dua orang dengan
satu arah (one way traffic communication). Oleh karena itu, dalam model komunikasi ini
yang aktif hanyalah komunikatornya, sementara komunikan cenderung pasif.
Model interaksional dikembangkan oleh Wilbur Schramm pada tahun 1954, yang
menggambarkan komuniksi dua arah, dimana komunikator dan komunikannya aktif dalam
memberi dan menerima respon. Elemen terpenting dari model komunikasi ini adalah umpan
balik (feedback) terharadap suatu pesan, baik dengan verbal maupun nonverbal, dan sengaja
maupun tidak sengaja. Model transaksional menggarisbawahi pengiriman dan penerimaan
pesan secara terus menerus dalam sebuah episode komunikasi. Komunikasi transaksional
bersifat kooperatif, yang artinya pengirim dan penerima sama-sama bertanggungjawab
terhadap dampak komunikasi yang terjadi.
BAB III

BENTUK DAN HAMBATAN KOMUNIKASI

A. Pentingnya Persepsi dalam Komunikasi Kesehatan


Komunikasi kesehatan adalah usaha sistematis untuk mempengaruhi secara positif
perilaku kesehatan penduduk yang besar jumlahnya dengan menggunakan beberapa metode.
Tujuan dari komunikasi kesehatan adalah tercapainya perubahan perilaku kesehatan pada
sasaran ke arah yang lebih kondusif. (Potter & Perry).
Salah satu faktor yang mempengaruhi komunikasi kesehatan adalah persepsi.
Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan
menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku
kita. (Robert A. Baron & Paul B. Paulus)
Definisi lain dari persepsi adalah sebagai pandangan pribadi seseorang terhadap
suatu kejadian atau peristiwa. Harapan dan pengalaman adalah salah satu faktor
terbentuknya persepsi. Maka dari itu, setiap orang memiliki cara pandang yang berbeda
dalam melihat atau menganalisis suatu masalah. Persepsi dalam komunikasi kesehatan
sangat penting karena perbedaan persepsi dapat menimbulkan hambatan dalam komunikasi.
Dalam komunikasi kesehatan diperlukan pandangan yang sama agar dapat
memahami dan menjalani konsep-konsep kesehatan yang akan dilakukan dengan baik. Ada
dua perspektif utama yang diambil ketika mempertimbangkan komunikasi.
Komunikasi kesehatan juga dapat mencerminkan bagaimana persoalan kesehatan
dapat diterima oleh masyarakat. Diperlukan strategi dan komunikasi untuk menyapaikan
informasi dan mempengaruhi keputusan individu dan masyarakat dalam ikut meningkatkan
kesehatan masyarakat itu sendiri. Perbedaan-perbedaan persepsi dalam komunikasi
kesehatan juga diperbaiki dan dilaksanakan dengan kebersamaan agar tidak terjadi kesalah
pahaman dintara warga rumpun kesehatan.
Jadi, komunikasi kesehatan diperlukan di bidang kesehatan karena komunikasi
dalam kesehatan merupakan kunci pencapaian, peningkatan taraf atau tingkat kesehatan
masyarakat. Dengan adanya komunikasi kesehatan diharapkan masyarakat dapat
mengetahui dan merubah sikap untuk kesejahteraannya dalam konteks kesehatan.

B. Bentuk Komunikasi Kesehatan


Manusia dapat berkomunikasi dengan berbagai cara seperti bicara, bahasa tubuh,
bahasa isyarat, dan lain-lain. Akan tetapi, bahasa verbal terutama bahasa lisan, merupakan
bentuk komunikasi yang dianggap paling utama. Komunikasi verbal dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu bahasa lisan dan bahasa tulis. Bahasa lisan yaitu sebuah proses yang spontan
sementara bahasa tulis merupakan proses yang memerlukan pertimbangan lebih. Maka dari
itu, bahasa lisan sering dianggap kurang formal dan kurang memiliki struktur yang jelas jika
dibandingkan dengan bahasa tertulis. Bahasa lisan juga terjadi secara real time sedangkan
menulis memerlukan waktu yang lebih lama dan bisa ditinjau ulang. Berbicara juga terkait
dengan fonem yaitu satuan unit bunyi sementara menulis berkaitan dengan satuan yang lebih
diskrit yaitu huruf.
Sampai pada abad ke-20, hanya sebagian kecil populasi manusia yang bisa membaca
dan menulis. Sekarang diperkirakan lebih dari setengah populasi manusia dapat membaca
dan menulis paling sedikit satu bahasa. Fakta ini menunjukan orang-orang kurang berkenan
untuk mengganti bentuk dari bahasa tertulis. Jadi, ketika bahasa lisan semakin berkembang
dan berevolusi, banyak dari perubahan ini tidak diimplementasikan dalam pada sistem
bahasa tertulis.
Bentuk komunikasi selanjutnya adalah komunikasi nonverbal. Komunikasi
nonverbal memiliki beberapa fungsi dalam interaksi sosial. Pertama, menggantikan
komunikasi verbal apabila tidak memungkinkan atau tidak pantas untuk berbicara. Kedua,
mendukung bahasa verbal dengan cara gestur dan ekspresi wajah. Ketiga,
mengkomunikasikan atau mengekspresikan emosi dan perasaan seperti marah, sedih,
senang, dll. Keempat, untuk mengontrol jalannya komunikasi. Selanjutnya, menegosiasi
hubungan dalam beberapa factor seperti dominasi dan control. Terakhir, memperbaiki
penampilan diri dan self-presentation.
Komunikasi nonverbal dibagai menjadi enam elemen yaitu kinesics atau body
languages, paralinguistik, proxemics, kontak fisik seperti sentuhan, karakteristik
lingkungan, serta karakteristik pribadi dan penampilan.
Kinesics mencakup postur dan gerakan tubuh seperti tangan, kaki, kepala dan mata
yang berperan dalaam gestur dan ekspresi wajah. Ekman dan Friesen (1969)
mengidentifikasi ada enam tipe gesture yaitu emblem, ilustratror, regulator, affect display,
adaptor, dan head nods.
Paralinguistik mencakup semua pola suara yang mengacu kepada suara vokal yang
dihasilkan dari kata-kata kita. Paralinguistic juga mencakup cara suatu kata diucapkan dalam
hal intensitas dan nada suara. Setiap orang memiliki suara yang unik dan aspek
paralinguistik ini sangat tergantung dari pesan yang sedang disampaikan. Knapp dan Hall
(1997) meninjau bbuktu yang menunjukan bahwa penggunaan paralinguistic mempengaruhi
penilaian si pembicara seperti kepribadian, presentasi dari pesan yang disampaikan dalam
hal kompetensi, da bagaimana pesan seharusnya diterima.
Proxemics mengacu kepada ruang pribadi dan jarak antarorang serta bagaimana cara
kita menggunakannya. Hall (1996) mengidentifikasi empat zona jarak yaitu intim, personal,
sosial, dan publik. Jarak-jarak dari zona ini bervariasi pada setiap budaya. Apabila seseorang
melanggar atau “menginvasi” zona tersebut, masalah bisa saja timbul sepeti harga diri.
Seorang tenaga kerja medis harus berhati-hati dan mempethatikan kebutuhan yang bersifat
pivasi si pasien.
Kontak fisik memiliki cara yang bermacam-macam dan arti yang berbeda tergantung
dari konteks dan hubungan antarmanusia yang terlibat. Jones dan Yarbrough (1985)
mengidentifikasi lima tipe sentuhan yaitu positive affect seperti menunjukan apresiasi,
playful seperti humor, control seperti menarik perhatian, ritualistic seperti mengucapkan
salam, dan task related seperti mengukur tensi pasien.
Kontak fisik sangat penting dalam dunia kesehatan, tetapi tenaga kerja kesehatan
harus tetap berhati-hati ketikan melakukan kontak fisik dengan pasien. Dalam situasi
tertentu, lebih baik meminta izin terlebih dahulu sebelum menyentuh pasien. Perhatikan juga
respons dari pasien tersebut.
Environmental characteristic atau karakteristik lingkungan adalah kondisi
lingkungan saat interaksi sosial sedang berlangsung seperti cuaca dan dekorasi dalam
ruangan. Kondisi lingkungan tertentu cocok dengan interaksi sosial tertentu. Suatu ruanagan
harus dikondisikan dengan baik agar komunikasi berjalan dengan efektif dan tidak
terhambat.
Elemen yang terakhir yaitu karakteristik pribadi dan penampilan. Menurut smith dan
Mackie (2000), penampilan sangat mempengaruhi penilaian terhadap tingkat intelijensi,
keramahan, kebaikan, dan kepercayaan sosial. sudah jelas bahwa ha lini sangat penting bagi
tenaga medis untuk menggunakan pakaian yang pantas sesuai dengan situasinya.

C. Faktor atau Variabel dalam Komunikasi


1. Faktor dalam Komunikasi
Faktor yang berperan dalam komunikasi merupakan faktor yang harus ada
dalam sebuah komunikasi. Faktor-faktor ini juga sering disebut sebagai unsur-unsur
di dalam komunikasi. Terdapat beberapa pendapat dari para ahli mengenai faktor-
faktor yang berperan dalam komunikasi. Salah satunya Wilbur Scramm (1965),
seorang ahli dari Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa komunikasi
membutuhkan sedikitnya tiga unsur, yaitu sumber (source), berita atau pesan
(message), dan sasaran (destination). Pendapat lain berasal dari Harold Lasswell
yang dalam paradigmanya dapat disimpulkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur
yaitu komunikator, pesan, media, komunikan, dan efek. Ada pula pendapat lain yang
menyebutkan bahwa terdapat minimal enam unsur yang harus dipenuhi demi
lancarnya komunikasi, yaitu sumber, pesan, media, sasaran, umpan balik, dan akibat.
Pendapat-pendapat yang ada dapat menjadi pelengkap satu sama lainnya.
Berikut adalah penjelasan dari masing-masing faktor yang berperan dalam
proses komunikasi:
A. Sumber atau pengirim pesan (komunikator)
B. Pesan
C. Media
D. Sasaran atau penerima (komunikan)
E. Umpan balik (feedback)
F. Akibat (Impact)
G. Akibat atau impact ini merupakan hasil akhir komunikasi yang bisa
berupa perubahan pada diri komunikan. Perubahan ini bisa berupa
perubahan pada pengetahuan, sikap, dan perilaku.
2. Variabel dalam Komunikasi
Terdapat beberapa variabel dalam komunikasi, yaitu empati, kontrol, trust,
self disclosure dan confirmation.
Empati adalah suatu proses melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain.
Empati bisa dibilang sebagai variabel terpenting dalam komunikasi karena melalui
empati kita bisa mengetahui apa yang lawan bicara kita rasakan. Dalam
hubungannya dengan komunikasi kesehatan, empati diperlukan agar lawan bicara
atau pasien kita merasa dimengerti dan tidak ragu untuk menjelaskan kondisinya.
Empati juga memperkecil kemungkinan adanya salah pengertian atau miskomunikasi
antara kita dan pasien dan mengefektifkan komunikasi antara kita dan pasien.
Variabel yang kedua adalah kontrol. Ada dua macam kontrol yaitu kontrol
personal dan relasional. Individu yang merasa bisa mempengaruhi keadaan hidup
mereka adalah orang yang memiliki kontrol personal. Pada kasus kesehatan, pasien
merasa tidak memiliki kontrol akan diri mereka dan merasa sangat membutuhkan
kontrol tersebut. Kontrol relasional berbeda dengan kontrol personal. Kontrol
Variabel yang ketiga adalah trust atau rasa percaya. Rasa percaya termasuk
salahs atu variabel yang paling penting selain empati. Rasa percaya muncul jika
seorang individu merasa bisa bergantung kepada individu lainnya.
Yang keempat adalah self-disclosure. Self-disclosure adalah suatu proses
dimana seorang individu mengatakan informasi pribadi, pikiran, dan perasaan
kepada orang lain. Jika ada dalam jumlah yang tepat, self-disclosure memiliki
banyak manfaat bagi kita dan pasien.
Yang terakhir adalah confirmation,yang artinya sebuah komunikasi dimana
kita bisa menghargai orang lain sebagai seorang manusia. Dengan berkomunikasi
dengan cara ini, kita bisa membantu pasien menghadapi perasaan ditolak dan
diasingkan.
3. Hambatan dalam Komunikasi
Komunikasi kesehatan berupaya untuk membuat sasaran dari komunikasi ini
berkeinginan untuk meningkatkan derajat kesehatannya. Berlangsungnya
komunikasi kesehatan tidak selalu berjalan semulus sesuai dengan harapan. Terdapat
hambatan-hambatan yang membuat komunikasi kesehatan ini tidak tercapai
tujuannya. Berikut adalah hambatan-hambatan yang terjadi dalam komunikasi
kesehatan:
 Pengetahuan masyarakat yang kurang tentang kesehatan ataupun bahasa
kesehatan. Hal ini terjadi karena banyak masyarakat yang kurang paham akan
informasi kesehatan yang disampaikan dalam bentuk tulisan
 Akses internet yang terbatas. Internet adalah salah satu tempat yang digunakan
untuk mempromosikan segala informasi tentang kesehatan ke seluruh dunia.
Namun tidak semua orang bisa menjangkaunya karena biaya yang dikeluarkan
untuk internet tidak murah dan belum sampainya sinyal internet ke pelosok-
pelosok desa.
 Aktivitas penelitian yang kurang, khususnya di negara berkembang. Biasanya
penelitian dilakukan di negara maju saja karena fasilitasnya yang lebih memadai.
Hal ini menyebabkan masalah kesehatan di negara berkembang sering
terlupakan.
 Informasi kesehatan yang tidak cukup bagus di internet. Tidak sedikit situs-situs
tentang kesehatan yang tidak jelas kebenarannya di internet. Padahal tidak sedikit
orang yang sering mengakses internet untuk mencari informasi tentang kesehatan
& obat-obatan dan menjaga catatan kesehatan di situs internet. Namun mereka
diresahkan dengan adanya situs-situs yang tidak jelas kebenarannya.
 Pekerja kesehatan yang kemampuan berkomunikasi dengan pasiennya kurang
baik. Sumber daya manusia dari pekerja kesehatan di negara berkembangyang
belum cukup juga menjadi permasalahan. Kemudian terdapat hambatan
komunikasi seperti bahasa dan budaya.
 Perbedaan pandangan atau persepsi tentang fakta ilmiah kesehatan dari
masyarakat itu sendiri. Hal ini bisa terjadi karena adanya missunderstanding
antara komunikator dan sasaran komunikasinya.
 Perbedaan latar belakang budaya. Dari setiap budaya yang ada di dunia memiliki
kepercayaan, cara berperilaku, cara berpikir, norma, dan aturan yang berbeda.
Hal ini dapat membuat penyampaian dalam informasi kesehatan bisa terhambat
karena berbedaan yang menghalangi komunikasi. Kemudian setiap budaya
memiliki bahasanya masing-masing. Perbedaan bahasa membuat terjadinya
komunikasi lewat bahasa internasional atau bahkan bahasa isyarat. Hal ini
menghambat proses komunikasi karena terjadi ketidakpahaman arti bahasa atau
kata itu sendiri.
 Agama juga memberi pengaruh yang besar dalam persepsi setiap umat beragama
tentang apa itu penyakit dan pengobatannya. Hal ini mempengaruhi kepedulian
tentang kesehatan dan kominukasi kesehatan dalam cara yang berbeda.
BAB IV

KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA KONSELING DAN


PENYAMPAIAN BERITA BURUK

A. Komunikasi Interpersonal pada Konseling

Komunikasi Interpersonal adalah komunikasi yang dilakukan oleh pihak lain untuk
mendapatkan feedback baik secara langsung maupun dengan media (Burgon, Huffner,
2002). Dalam Komunikasi Interpersonal terdapat beberapa elemen yang bersangkutan yaitu:

1. Komunikator dan Komunikan


2. Konten
3. Channel
4. Feedback

Saat komunikasi berlangsung secara psikologi dalam diri komunikan akan terjadi proses
penerimaan pesan hingga respon terhadapnya. Tahapan prosesnya adalah sebagai berikut:

1. Sensasi
2. Persepsi
3. Memori
4. Berpikir

Sensasi merupakan proses dimana pembicaraan yang didengar masuk kedalam otak yang
selanjutnya akan menghasilkan persepsi atau pengertian yang didapat dari pembicaraan yang
kemudian akan selalu diingat dan menjadi bagian dari memori otak. Lalu, dari ketiga proses
tersebut akan muncul keputusan mengenai pikiran atau pertanyaan untuk merespon topik
pembicaraanya.

Bentuk komunikasi interpersonal terdiri dari dua yaitu, Komunikasi Diadik yang berarti
komunikasi antarpribadi atau berlangsung antara dua orang secara tatap muka seperti dialog
atau wawancara atau Komunikasi Triadik yang berarti komunikasi antarpribadi namun
pelakunya terdiri dari tiga orang, satu komunikator dan dua komunikan.

Ada beberapa hal yang harus dan tidak dilakukan ketika melakukan komunikasi
interpersonal diantaranya:
Do:

1. Lakukan komunikasi dua arah, agar komunikan menanggapi hal – hal yang
kurang dimengerti.
2. Gunakan pemilihan kata yang tepat, sesuaikan ragam bahasa yang digunakan
dengan situasi.
3. Lakukan gestur yang tepat jika memang diperlukan, hal ini bertujuan untuk
meyakinkan komunikan dengan informasi yang disampaikan
4. Berikan kesan yang nyaman, agar komunikan tidak merasa bosan dan jenuh.
5. Intonasi penyampaian yang tepat dengan topik yang dibicarakan, agar
suasana tetap terjaga dan tidak terjadi misscommunication.

Don’t:

1. Terlalu banyak bicara, supaya komunikan tidak merasa sedang diceramahi.


2. Terlalu cepat saat menyampaikan informasi, akan menyebabkan tidak
tercapainya tujuan komunikasi tersebut
3. Menggunakan bahasa yang tidak umum digunakan, akan menghambat dalam
berkomunikasi
4. Memotong pembicaraan, yang menyebabkan lawan bicara merasa tidak
dihargai

B. Komunikasi Interpersonal pada Penyampaian Berita Buruk

Berita buruk dapat didefiniskan sebagai segala informasi yang bersifat negatif dan
sangat mempengaruhi pandangan seseorang akan masa depannya. Penyampaian berita butuk
berarti pengkomunikasian berita buruk kepada pasien atau keluarganya oleh tenaga
kesehatan. Hal ini penting karena untuk pemenuhan hak otonomo pasian. Namun, dalam
penyampainnya ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar tidak menyinggung atau
bahkan menimbulkan kesalahpahaman pasien. Salah satu cara untuk mempermudah
penyampaian dan tujuannya pun tercapai adalah dengan menerapkan SPIKES, yaitu:

1. S—SETTING UP the interview


Merupakan tahapan persiapan secara mental baik tenaga medis maupun pasien
dalam menghadapi berita buruk. Tenaga medis dapat melakukan:
 Membuat situasi yang nyaman, tenang, dan menjaga privasi pasien
 Buat koneksi dengan pasien
 Mengeliminasi distraksi, sehingga tidak ada interupsi ditengah – tengah
penyampaian
 Memilih tempat yang tepat, disarankan tidak ditempat terbuka dan umum
 Mengatur jarak dengan pasien, jangan terlalu dekat atau terlalu jauh yang
akan menghambat

2. P—Assessing The Patient’s PERCEPTION


Sebelum berdiskusi mengenai kondisi medis pasien, tenaga medis disarankan
untuk bertanya perihal persepsi pasien mengenai kondisinya saat ini. Contoh –
contoh pertanyaan yang biasa diajukan adalah:
 Apa saja yang anda ketahui perihal kondisi medis anda sejauh ini?
 Apakah anda tahu tujuan kami melakukan MRI?
Hal ini dapat membantu tenaga medis memahami seberapa paham pasien
mengenai kondisinya sekaligus meluruskan apabila terdapat salah kaprah, ilness
denial,estimasi tidak realistis mengenai pengobatannya, dan sebagainya.

3. I—Obtaining the Patient’s INVITATION


Terkadang, semakin parah sakitnya, pasien cenderung menolak informasi yang
kita sampaikan. Kondisikan dan buat pasien merasa terajak untuk mengetahui
perihal penyakitnya secara detil. Kalimat yang dapat digunakan:
 Apa yang ingin anda ketahui tentang penyakit anda/tes anda?
 Apakah anda ingin saya memberikan seluruh informasi tentang penyakit ini
atau anda ingin saya lebih banyak menjelaskan perihal rencana

Apabila pasien menunjukkan kecenderungan untuk menolak informasi tersebut,


informasi dapat disampaikan kepada kerabat.

4. K—Giving KNOWLEDGE and Information To The Patient


Memberi tahu pasien bahwa terdapat suatu berita buruk dapat mengurangi syok
pada pasien. Ketika menyampaikan faktas medis, tenaga medis diharapkan:
 Perhatikan tingkat edukasi pasien
 Sesuaikan kosa kata yang digunakan
 Hindari kalimat yang terlalu to the point
 Berikan Informaso sevata bertahap hingga pasien paham seluruhnya
 Apabaila kemungkinan untuk sembuh kecil, hindari kalimat demotivasi
5. E—Addressing the Patient’s EMOTIONS with Empathic Responses
Respon pasien bervariasi antara diam, menangis, menolak fakta dan marah.
Situasi ini mengharuskan tenaga medis menunjukkan dukungan dengan
menunjukkan rasa empati. Menunjukkan empati dibagi menjadi empat tahap:
 Pertama, observasi respon pasien
 Kedua, memposisikan diri sebagai pasien
 Ketiga, identifikasi alasan respon pasien. Apabila tidak yakin, tanyakan.
 Keempat, setelah memberikan pasien waktu untuk meluapkan emosinya,
pastikan pasian merasa tenaga medis berempati kepada mereka dan paham
betul kondisi mereka

6. S—STRATEGY and SUMMARY


Sebelum mendiskusikan tahap penyembuhan, tenaga medis disarankan untuk
bertanya apakah pasien sudah siap mendiskusikan prosedur penyembuhan
Tenaga medis diharapkan mampu meluruskan dan menetralkan cara pandang
pasien mengenai keefektifan penyembuhan penyakitnya.
BAB V

KOMUNIKASI PADA SITUASI KHUSUS

Dalam menjalankan praktik komunikasi kesehatan, tak jarang tenaga kesehatan harus
berhadapan dengan situasi-situasi khusus yang memerlukan kemampuan komunikasi sedikit lebih
rumit dibandingkan komunikasi pada situasi normal. Beberapa situasi yang digolongkan menjadi
situasi khusus dalam komunikasi kesehatan antara lain:

1. Komunikasi dengan pasien geriatri;


2. Komunikasi dengan pasien marah;
3. Komunikasi dengan pasien pasif;
4. Komunikasi dengan pasien tunarungu;
5. Komunikasi dengan pasien depresi.

A. Komunikasi dengan Pasien Geriatri

Geriatri merupakan cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang penyakit beserta
penanganannya yang dialami oleh orang yang sudah lanjut usia. Saat ini di Indonesia untuk orang
yang sudah berusia lebih dari 60 tahun. Geriatri berasal dari bahasa latin, geron yang berarti “orang
tua” dan iatros yang berarti “penyembuh” alias dokter atau dukun

Adapun pasien geriatri memiliki ciri – ciri gangguan geriatri yaitu :

1. Gangguan pendengaran

Pasien geritri yang mengalami gangguan pendengaran biasanya memiliki macam-


macam gangguan yang sering terjadi seperti gangguan konduktif, Sensori neural, dan
Central dan memiliki gangguan pendengaran tipe lain seperti sensitivitas terhadap suara.

Untuk mengatasi gangguan pendengaran tersebut diperlukan cara berkomunikasi


misalkan Hearing Aid yaitu (Alat Bantu Dengar) yang merupakan sebuah perangkat
elektronik yang dipasangkan pada telinga, dengan maksud untuk membantu pendengaran
agar terdengar lebih jelas. Dan dapat juga dengan subyek dengan membaca gerak bibir
dimana posisi pembicara di hadapan subyek, dan dengan cahaya yang cukup.

2. Gangguan proses berpikir


Pasien geriatri dengan gangguan proses berpikir dapat meningkatkan metode
komunikasi dengan beberapa cara seperti :

• Dalam berkomunikasi jarak antara pembicara dengan subyek maksimum 2.8 m

• Jangan bicara langsung ke telinga subyek, biasa dilakukan dengan mendistorsi pesan
yang diterima

• Sentuhlah subyek untuk menarik perhatian

• Perhatikan suara/kebisingan di sekitar (hindari suara bising) karena dapat menggangu


pendengaran

3. Gangguan penglihatan

Pasien geriatri memiliki masalah dengan penglihatan dimana indra penglihat sudah
tidak berfungsi dengan baik, dan memerlukan kontras dan pencahayaan yang baik.

4. Perbedaan persepsi dan nilai

Perbedaan generasi menyebabkan pasien geriatri memiliki perbedaan dalam persepsi


dan nilai dibandingkan dengan pasien yang normal. Jadi metode-metode khusus sangat lah
berperan penting dalam hal ini dan sebagai tim kesehatan perlu menyadari
perbedaan/adanya hal ini, sehingga diperlukan kesiapan untuk menerima pasien.

5. Gangguan psikososial

Pasien geriatri yang memiliki gangguan dalam psikososial. gangguan dalam


psikososial biasanya dipengaruhi oleh beberapa hal, yakni karena kehilangan teman seusia,
dimana usia harapan hidup orang Indonesia antara 60-70 tahun sangatlah jarang yang diatas
70an jika pun ada hanya bebrapa hal ini menyebabkan pasien geriatri tak memiliki teman
sebaya. Lalu Berkurangnya kegiatan karena masalah usia yang semakin terbatas yang
disebabkan karena energi yang dapat disalurkan sudah berkurang karena masalah usia dan
kehilangan pekerjaan dimana di Indonesia sendiri ada beberapa pekerjaan yang membatasi
jumlah maksimal bekerja karena masalah psikis.

Semua macam gangguan yang dialami oleh pasien garietri yang mengalami situasi
tersebut menyebabkan pasien geriatri banyak melakukan komplain atas mahalnya biaya,
yang sebenarnya adalah respon karena ketakutan akan penyakit, kematian.
B. Komunikasi dengan Pasien Marah
Dalam menghadapi pasien marah, strategi yang dapat digunakan adalah sebagai
berikut:
 Ingat bahwa yang meluapkan emosinya adalah pasien, bukan kamu. Mungkin
ini merupakan hal yang sulit, tergantung pada tempramen diri sendiri. Hal ini
juga bisa terjadi karena kesalahpahaman hal sepele yang dibesar-besarkan.
 Jika kamu tahu pasien yang sedang dihadapi adalah pasien yang sangat
pemarah sehingga menyebabkan kontak fisik, lebih baik segera memanggil
petugas keamanan atau perawat. Mereka dapat menjadi saksi atas insiden dan
mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan.
 Jangan membiarkan emosi pasien meluap. Kemarahan yang berlanjut akan
menyebabkan konsultasi tidak efektif dan dapat berdampak buruk pada arteri
koroner.
 Tetap sabar, kemarahan biasanya tidak berlangsung lama apabila
menanganinya dengan sabar.
 Biarkan pasien untuk mencurahkan perasaan marah mereka dengan
mendengarkan apa yang mereka katakan, jika perlu, tinggalkan mereka
sendiri untuk menciptakan kondisi yang tenang pada pasien.
 Berempati dan mengeksplor mengapa pasien dapat marah.
 Coba untuk tidak memberi saran yang berlebihan.

C. Komunikasi dengan Pasien Pasif

Dalam melakukan komunikasi dalam situasi khusus seperti pasien yang tidak
komunikatif atau pasif, tenaga kerja kesehatan dapat melakukan beberapa hal. Yang
pertama, tenaga kerja kesehatan harus siap dalam meluangkan waktu lebih lama dalam
melaukan konsultasi. Jangan menunjukkan tanda-tanda marah atau frustasi. Perhatikan
dengan baik dan penuh perhatian sang pasien terutama perlakuan nonverbalnya. Berikanlah
pernyataan yang jelas akan tujuan dari konsultasi atau interview tersebut dan informasi apa
yang diinginkan dari sang pasien. Gunakanlah bahasa yang mudah dimengerti dan gunakan
pertanyaan tertutup bila dibutuhkan.

Menurut Duxbury (2000) ada beberapa cara untuk melakukan intervensi yang
pantas dalam berhadap dengan pasien yang kurang komunikatif atau pasif yaitu :

1. Prescriptive
Tenaga kerja kesehatan mungkin perlu untuk memberikan preskripsi langsung
tentang tindakan yang akan diberikan, terutama pada tahap awal, dan terkadang
bahkan melakukan tindakan langsung terhadap pasien
2. Cathartic
Mungkin akan perlu untuk membantu pasien dalam mengekspresikan perasaanya
atau mengeluarkan emosi yang mempengaruhi perilakunya sehingga pasien dapat
ditangani lebih langsung
3. Catalytic
Tujuannya adalah untuk mengembalikan kesejahteraan dengan memfasilitasi
perbuahan perilaku dan gaya hidung dengan cara membantu pasien dalam
mengembangkan dan menggunakan keterampilan, dan tumbuh dengan
keyakinan.

D. Komunikasi dengan Pasien Tunarungu

Hal-hal yang harus dihindari dalam berkomunikasi dengan pasien gangguan


pendengaran, yakni:
 Berhadapanlah langsung saat berbicara: saat berkomunikasi dengan pasien
bicaralah langsung (face to face). Usahakanlah berbicara dengan kondisi
tempat yang terang agar pasien dapat melihat gerak bibir kita dengan baik
dan terhindar dari miskomunikasi.
 Berbicaralah dengan jelas, tidak berteriak atau berlebihan, dan secacara
alami.
 Jika ingin memanggil sang pasien lakukan hal-hal ini: Tepuk pundak pasien,
jika dia menoleh baru lanjutkan percakapan. Lakukan lah hal-hal yang
menarik perhatian atau fokus pasien terhadap anda.
 Hindarilah berbicara dengan terlalu cepat, menggunakan kalimat yang sulit di
cerna. Berbicaralah lebih lambat dan beri jeda antar frase.
 Jika seorang tuna rungu hanya bisa mendengar dengan salah satu telinga,
cobalah memposisikan diri dimana anda harus berbicara lebih dekat.
Hal-hal yang perlu dilakukan saat berkomunikasi dengan pasien tuna rungu:

1. Jangan mengabaikan pasien.


2. Jangan membuat sebuah anggapan bahwa pasien telah mengerti pesan yang
disampaikan.
3. Menggunakan media lain dari komunikasi.
4. Pastikan kembali sejauh mana pasien paham pesan dari dokter.
5. Terima lah bantuan dari orang tua atau wali pasien tersebut

E. Komunikasi dengan Pasien Depresi


Berikut merupakan hal-hal penting yang harus diperhatikan ketika melakukan
komunikasi dengan pasien depresi:
1. Jangan terlalu terlihat berusaha untuk „memperbaiki‟ keadaan pasien. Cukup
jadilah pendengar yang baik;
2. Sebisa mungkin lakukan pembicaraan secara face-to-face;
3. Berikan gestur, raut wajah, dan ekspresi yang menenangkan;
4. Utarakan keprihatinan kita pada pasien;
5. Gunakan kata-kata yang mudah dipahami;
6. Pahami penyebab depresi pasien dan usahakan untuk tidak menyinggung topik-
topik yang berkaitan dengan penyebab depresi pasien;
7. Perlihatkan keinginan untuk membantu;
8. Lakukan pembicaraan berulang kali.
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sebagai tenaga medis yang profesional, kita harus memiliki kemampuan untuk
berkomunikasi dengan baik. Kemampuan ini dapat membantu banyak pihak untuk
memahami informasi yang hendak disampaikan, juga memudahkan kita untuk menjalankan
prosedur kesehatan. Oleh sebab itu, tenaga medis diharapkan mempelajari tahapan dan
strategi dalam berkomunikasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. West, Richard and Turner, Lynn. 2009. Understanding Interpersonal Communication.


Boston: Wadsworth Cengage Learning.
2. Putri, Trikaloka and Fanani, Achmad. 2013. Komunikasi Kesehatan. Yogyakarta: Merkid
Press.
3. Nugroho, Wahjudi. 2009. Komunikasi dalam Keperawatan Gerontik. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran BGC.
4. Berry, Dianne. 2007. Health Communication Theory And Practice. New York: Open
University Press.
5. Northouse LL, Northouse PG. Health communication. Strategies for health professionals. 3rd
ed. Stamford (Conn): Appleton andLange; 1998.
6. Rakhmat J. Psikologi komunikasi. Edisi II. Bandung: CV Remaja Karya; 1986. h. 16, 61–86,
100–14
7. Soelarso H, Roesanto HS, Achmad M. Peran komunikasi interpersonal dalam pelayanan
kesehatan gigi. Majalah Kedokteran Gigi (Dent. J). 2005; 124–126
8. Fanani, Achmad dan Trikaloka H. Putri. 2013. Komunikasi Kesehatan. 1st ed. Yogyakarta:
Merkid Press Yogyakarta. P, 2,20,23-24
9. Bérengère de Negri et al. nd. Improving Interpersonal Communication Between Health Care
Preview and Clients: Case Studies in Three Places Honduras, Trinidad & Tobago, Egypt.
(Available: http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pnace294.pdf )
10. Fakultas Kedokteran UNS. 2012. Teknik Komunikasi. Retrivied from
http://fk.uns.ac.id/static/file/Gabungan_Manual_Smt_7-2012-ED.pdf
11. Baile WF, Lenzi R, Kudelka AP et al. SPIKES—A Six-Step Protocol for Delivering Bad News:
Application to the Patient with Cancer. n.a: The Oncologist Alphamed Press; 2000. Available
at: http://theoncologist.alphamedpress.org/content/5/4/302.full.pdf
12. Emanuel LL, von Gunten CF, Ferris FD. EPEC Participant’s Handbook: Communicating Bad
News. Princeton: The Robert Wood Johnson Foundation; 1999. Available at: http://www.ama-
assn.org/ethic/epec/download/module_2.pdf
13. Buckman, R. How to Break Bad News: A Guide for Health Care. Baltimore, MD: The John
Hopkins University Press; 1992:65-97.
14. Beardsley R, Kimberlin C, Tindall W. Communication skills in pharmacy practice.
Philadelphia, PA: Wolters Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins; 2013.
15. Berry D. Health communication. Maidenhead: Open University Press; 2007.
16. Lichstein PR. The Medical Interview. In: Walker HK, Hall WD, Hurst JW, editors. Clinical
Methods: The History, Physical, and Laboratory Examinations. 3rd edition. Boston:
Butterworths; 1990. Chapter 3. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK349/
17. Berry, D. (2007). Health Communication Theory and Practice. New York: Open University
Press.
18. O’Brien Ann, Haswell Joanne,Hill Kate, Kwong Qiang,Kwong Tsong Yun.(2009).Medical
Communication Skills and Law Made Easy: The Patient Centred Approach.Sydney Toronto:
Churchill Livingstone.
19. Perry Anne Griffin , Potter Patricia Ann , Ostendorf Wendy.(2014). Clinical Nursing Skills
and Techniques Ed.8: Clinical Nursing Skills and Techniques. Elsevier Mosby.
20. Tate Pater.(2009). The Doctor's Communication Handbook 6 th edition. Newyork: Radcliffe
Publishing
21. https://www.academia.edu/7527979/KOMUNIKASI_PADA_SITUASI_KHUSUS
22. Geraldine Blache, Robert Bor. Time Limited Therapy. London: Palgrave; 2003
23. Unknown. Geriatri dan gerontology.[internet]. Dari situs para-senior.com. Diakses pada
tanggal 1 oktober 2013.
24. Unknown. Ppt kuliah umum fkui2016. Accept 30 agust 2016.
25. www.kompasiana.com/nitafebri/hearing-aid-adalah visited 6 sept 2016
26. The Depression and Bipolar Support Alliance: www.helpguide.org (Diakses: Selasa, 06
September 2016 22.50)

Anda mungkin juga menyukai