Anda di halaman 1dari 73

INVENTARISASI BENDA CAGAR BUDAYA

SITUS SEPUTIH, KECAMATAN MAYANG,


KABUPATEN JEMBER

LAPORAN

digunakan sebagai tugas Magang Dinas Pariwisata dan Kebudayaan


Kabupaten Jember

Oleh

Zahrotul Islamiyah 190110301004


Lulut Nirwana 190110301027
Lia Santi Yuniar 190110301048
Luthiona Fitri Ramadhani S. 190110301062

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH


FAKULTAS ILMU DAN BUDAYA
UNIVERSITAS JEMBER
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi rahmat,
taufik, dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan
Inventarisasi dan Deskripsi Objek Benda Purbakala di Seputih dengan lancar.
Laporan ini disusun guna memenuhi tugas Magang mahasiswa Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Jember.
Penulis menyadari bahwa terselesainya karya tulis ini tidak akan terlaksana
dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis dengan kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dhebora Krisnowati S, S.Pd, M.Pd. selaku pimpinan Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kabupaten Jember.
2. Drs. Didik Purbandriyo yang telah memberikan pengarahan sampai
terselesaikannya Laporan Inventarisasi dan Deskripsi Objek Benda
Purbakala Di Seputih.
3. Dr. Eko Crys Endrayadi M.Hum selaku ketua jurusan Ilmu Sejarah Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Jember sekaligus Dosen Pembimbing Lapangan
kelompok tiga khususnya kelompok di Situs Seputih.
4. Bapak Sumariyanto selaku Kepala Desa Seputih.
5. Bapak Misyo selaku juru Pelihara yang telah mendampingi di lapangan
selama kegiatan berlangsung.
6. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
menyelesaikan laporan ini.
Dengan menyelesaikan laporan ini penulis mengharapkan banyak manfaat
yang dapat dipetik dan diambil. Semoga dengan adanya laporan ini dapat
menambah wawasan kepada pembaca dan bermanfaat bagi kita semua. Penulis
menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, tidak menuntut
kemungkinan benar masih ada kekurangan dan kesalahan yang disebabkan oleh
keterbatasan penulis. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membantu dan
membangun dari pihak penulis harapkan.

Jember, 10 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. iv

BAB 1. PENDAHULUAN .......................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Maksud dan Tujuan ................................................................... 4
1.3 Metode ....................................................................................... 4

BAB 2. SEJARAH SINGKAT KABUPATEN JEMBER ....................... 8


2.1 Jember: Dari Afdeeling Menuju Kabupaten ............................. 8
2.2 Jember Masa Pra Aksara .......................................................... 15

BAB 3. INVENTARISSASI DAN DESKRIPSI ....................................... 23

BAB 4. KESIMPULAN .............................................................................. 62

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 63


LAMPIRAN .................................................................................................... 66

ii
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 3.1 Wadah Sarkofagus No. Inv 01/BTS/JBR/2021 28


Gambar 3.2 Tutup Sarkofagus No. Inv 01/BTS/JBR/2021 29
Gambar 3.3 Batu Kangkang No. Inv 02/BTA/JBR/2021 35
Gambar 3.4 Dolmen No. Inv 03/BTS/JBR/2021 41
Gambar 3.5 Bongkahan Dolmen Inv. 05/BTS/JBR/2021 41
Gambar 3.6 Wadah Sarkofagus No. Inv 04/BTA/JBR/2021 47
Gambar 3.7 Tutup Sarkofagus No. Inv 04/BTA/JBR/2021 48
Gambar 3.8 Lumpang Batu No. Inv 05/BTA/JBR/2021 dari sisi 55
samping
Gambar 3.9 Lumpang Batu No. Inv 05/BTA/JBR/2021 dari sisi atas 55
Gambar 3.10 Dolmen No. Inv 06/BTS/JBR/2021 61

iii
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Lampiran A Peta Persebaran Peninggalan Megalitik di Situs Seputih 66


Lampiran B Peta Persebaran Peninggalan Megalitik di Desa Seputih 67
Lampiran C Peta Persebaran Peninggalan Megalitik di Desa Tegal 68
Waru

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia sebagai sebuah bangsa yang tidak dapat terlepas dari akar
kebudayaannya, baik yang baru berkembang maupun yang sudah ada sejak masa
lampau. Kebudayaan tersebut dapat menjadi pedoman atau pegangan hidup
masyarakat pada masa kini dan masa yang akan datang, sehingga perlu untuk tetap
mempelajari dan mewariskannya.1
Kebudayan megalitik masuk ke Indonesia melalui dua gelombang besar,
yaitu megalitik tua yang berusia kurang lebih 2500-1500 SM dan megalitik muda
berusia sekitar millennium pertama sebelum Masehi. Menurut Stuba, kuantitas
persebaran dan perkembangan kebudayaan megalitik di Nusantara dipandang
sebagai petunjuk bahwa adanya tingkatan mobilitas penduduk dari suatu tempat ke
tempat lainnya dimasa lampau dengan membawa konsep-konsep yang bercorak
megalitik yang diwujudkan dari hasil berbagai macam morfologi bangunan-
bangunan megalitik dari batu-batu.
Persebaran tradisi megalitik hampir seluruh wilayah mulai dari Sumatra
Utara sampai Papua dengan bentuk yang berbeda-beda dan diantara morfologi itu
juga berkembang bentuk-bentuk lokal. Adapun pendirian bangunan megalitik
tersebut merupakan perwujudan terhadap ide-ide megalitik yang telah meresap
dalam segi kehidupan para pendukungnya. Mereka membangun megalitik sebagai
media aktivitas penguburan, pemujaan, musyawarah, tempat upacara, pengantaran
arwah, dan tempat atau sarana perkawinan.2
Bangunan atau pun tradisi megalitik hampir ada diseluruh kepulauan
Nusantara. Tujuan utama dari pendirian bangunan megalitik tentunya berlatar
belakang pemujaan nenek moyang, pengharapan keselamatan dan kesejahteraan

1
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Jambatan,
1997), hlm. 16.
2
Bagyo Prasetyo, Megalitik, Fenomena Yang Berkembang di Indonesia,
(Yogyakarta: Galangpress, 2015), hlm. 25.

1
2

bagi yang hidup dan kesempurnaan bagi si mati. Ketika tradisi megalitik menyebar
ke Nusantara dengan membawa konsep nenek moyang sebagai sistem religi yang
utama dalam kehidupan masyarakat, maka Nusantara membangun bangunan
megalitik sesuai dengan situasi dan kondisi setempat, baik kaitannya dengan
lingkungan alam maupun kehidupan sosial.
Jawa Timur merupakan wilayah yang memiiki beragam peninggalan masa
lampau yang tersebar di berbagai wilayah kabupaten. Desa Seputih yang terletak di
Kecamatan Mayang, Kabupaten Jember, adalah daerah yang kaya dengan potensi
cagar budaya. Kedudukan desa Seputih dimasa lampau adalah sebagai bekas
peninggalan kehidupan masyarakat megalitikum. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya beberapa bangunan megalitik seperti dolmen, batu kangkang,
sarkofagus dan batu lumpang. Pada masa Megalitikum masyarakat sudah
mempunyai anggapan tertentu mengenai kematian. Bangunan-bangunan batu besar
dalam beberapa bentuk yang disebut “bangunan megalitik” (megalitikum), ada
yang dipergunakan khusus untuk upacara pemujaan dan penghormatan roh-roh
nenek moyang.3 Tradisi pendirian bangunan megalitik seringkali didasarkan pada
kepercayaan masyarakat akan adanya hubungan antara yang hidup dengan yang
mati, terutama kepercayaan akan adanya pengaruh kuat dari yang telah mati
terhadap kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup disekitarnya. 4 Bentuk
bangunan ini bermacam-macam, dan dapat diperkirakan umurnya secara nisbi.
Beberapa bentuk bangunan megalitik mempunyai fungsi yang berbeda-
beda, seperti dolmen yang memiliki variasi bentuk yang tidak berfungsi sebagai
kuburan, namun bentuk-bentuk yang menyerupai dolmen dibuat untuk pemujaan
roh dan atau tempat persajian. Hal ini memperlihatkan adanya suatu kepercayaan
dalam mayarakat bahwa yang masih hidup dapat memperoleh berkah dari
hubungan magis dengan nenek moyangnya melalui bangunan megalitik tersebut
sebagai medium. Bangunan megalitik yang ditemukan di Desa Seputih merupakan

3
Chusnul Hajati, dkk., Sejarah Indonesia, (Jakarta: Karunika, 1986), hlm. 25.
4
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia Jilid I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 205.
3

potesi cagar budaya yang jelas harus mendapatkan perhatian yang serius guna
melestarikan situs kepurbakalaan di Kabupaten Jember.
Inventarasi merupakan langkah awal dalam pelestarian cagar budaya. Upaya
pengembangan potensi cagar budaya dilakukan dengan inventarisasi, dokumentasi,
dan klasifikasi cagar budaya sebagai pelestarian cagar budaya. Setiap daerah perlu
melakukan pendaftaran cagar budaya guna mengetahui jumlah, jenis, dan
persebaran cagar budaya. Dengan demikian, diharapkan nantinya seluruh cagar
budaya akan tercatat dan memiliki kekuatan hukum tetap. Dalam melakukan
inventarisasi potensi cagar budaya diwilayah Jember, bentuk pengelolaan dan
pemanfaatan cagar budaya adalah dengan penerapan sistem zonasi sebagai upaya
mengatur rambu-rambu dalam menenetukan pengelolaan dan pemanfaatan cagar
budaya. Hal ini sejalan dengan amanah Undang-Undang No. 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya, bahwa kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran
dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan
pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan
bermasyarakat sehingga perlu untuk dilestarikan dan dikelola secara tepat. Hal ini
sudah seharusnya dilaksanakan, mengingat masih banyak cagar budaya yang belum
ditangani secara baik dan benar dalam hal perlindungan pengembangan dan
pemanfaatannya.
Upaya pelestarian cagar budaya merupakan kegiatan yang sifatnya terus
menerus dan berkelanjutan. Untuk mencapai maksud tersebut, sangat dibutuhkan
kontribusi berbagai pihak, baik dari akademisi, tenaga pendidik dan terdidik,
lingkuangan masyarakat sekitar, Pemerintah Daerah, dan khususnya Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan dalam mengelola dan merawat potensi cagar budaya
tersebut. Inventarisasi yang dilakukan di Desa Seputih merupakan serangkaian
kegiatan dalam menghimpun data artefak cagar budaya secara obyektif dan visual
sehingga dapat memberikan informasi seluas-luasnya akan kenyataan sejarah
berupa artefak cagar budaya yang sedang diteliti. Hal tersebut dilakukan dalam
upaya melestarikan warisan budaya umat manusia melalui upaya perlindungan,
pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4

1.2 Maksud dan Tujuan


Kegiatan identifikasi dan inventarisasi terhadap sebaran sporadis kubur
batu di desa Seputih Kecamatan Mayang Kabupaten Jember yang telah
dilakukan tentu memiliki tujuan akhir sebagai hasil akhir dari kegiatan tersebut,
yang diantaranya :
1.2.1 Merekonstruksi sejarah kebudayaan masa lampau dengan tujuan
mengetahui sejarah Jember, hasil kebudayaan khususnya pada Masa
Megalitik dan menarasikan latar sejarah dari kebudayaan Megalitik
yang tersebar di Jember.
1.2.2 Merekonstruksi cara-cara hidup manusia masa lampau; dan
1.2.3 Penggambaran proses perubahan budaya manusia masa lampau.
Tujuan utama inventarisasi dan deskripsi adalah menghimpun data
artefak cagar budaya secara obyektif dan visual sehingga dapat memberikan
informasi seluas-luasnya akan kenyataan sejarah berupa artefak cagar budaya
yang sedang diteliti. Hal tersebut dilakukan dalam upaya melestarikan warisan
budaya umat manusia melalui upaya perlindungan, pengembangan, dan
pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.

1.3 Metode
Metode berasal dari bahasa Yunani “Greek”, yakni “Metha” berarti
melalui, dan “Hodos” artinya cara, jalan, alat atau gaya. Dengan kata lain,
metode artinya jalan atau cara yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan
tertentu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, susunan W.J.S.
Poerwadarminta, bahwa metode adalah cara yang teratur dan berpikir baik-
baik untuk mencapai suatu maksud. Sedangkan dalam Kamus Bahasa
Indonesia Kontemporer pengertian metode adalah cara kerja yang sistematis
untuk mempermudah sesuatu kegiatan dalam mencapai maksudnya. Pada
kegiatan identifikasi dan inventarisasi sebaran sporadis kubur batu di Situs
Seputih terdapat beberapa metode yang digunakan diantaranya :
5

1.3.1 Kompalatif
Kompalatif atau kompilasi merupakan suatu kegiatan yang
tersusun secara teratur mengenai daftar informasi, karangan, dsb. Metode
kompalatif adalah metode yang dilakukan sebelum melakukan penerjunan
ke lapangan, mulai dari pengumpulan data dan mempersiapkan kebutuhan
selama di lapanhan dengan proses akhir berupa penyusunan laporan. Pada
metode ini hal-hal yang dilakukan antara lain:
i) Melakukan koordinasi dengan pihak yang terkait dalam hal ini Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jember mengenai petunjuk
selama kegiatan berlangsung.
ii) Menyampaikan surat pemberitahuan sekaligus surat izin dari Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jember kepada Kepala
Camat Kecamatan Mayang dan Kepala Desa Seputih (Bapak
Sumariyanto).
iii) Melakukan koordinasi secara persuasi kepada Kepala Desa dengan
menyampaikan tujuan kedatangan dan menginformasikan beberapa
mengenai kegiatan yang akan dilaksanakan selama 4 bulan di Desa
Seputih.
iv) Melakukan survei dengan mendatangi lokasi yang didampingi oleh
perangkat desa untuk mengetahui situasi dan kondisi lingkungan
situs.
v) Melakukan koordinasi dengan Juru Pelihara atas arahan Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jember mengenai benda-
benda yang terdapat di situs Seputih.
vi) Mencari literatur mengenai latar sejarah benda-benda peninggalan
prasejarah dan terkhusus yang berada di situs Seputih di
Perpustakaan Daerah Kabupaten Jember, Laboratorium Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Taman Baca Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Jember, Perpustakaan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Jember, dan literatur secara online yang kami
lakukan secara terus-menerus untuk memperkaya wawasan kami.
6

vii) Menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan saat melakukan


observasi sesuai dengan arahan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Jember dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur
berupa skala meter, roll meter, GPS, kamera, kuas, tipe-x, papan
inventarisasi, bolpoint, sudip, kamera, dan senjata. Alat-alat ukur ini
digunakan sebagai pendukung dan penunjang selama kegiatan
pengukuran dan inventarisasi berlangsung.

1.3.2 Observasi
Metode observasi merupakan suatu cara untuk pengumpulan data
dengan pengamatan secara langsung dan pencatatan secara sistematis
terhadap objek yang akan diteliti. Menurut nana Sudjana observasi
merupakan kegiatan pengamatan serta pencatatan yang ditulis secara
sistematis terhadap gejala-gejala yang sedang di teliti. Sedangkan menurut
Surtrisno Hadi metode observasi diartikan sebagai pengamatan, pencatatan,
secara sistematis atas fenomena-fenomena yang diselidiki. Observasi
dilaksanakan melalui pengamatan langsung terhadap objek benda artefak
bergerak maupun tidak bergerak. Adapun kegiatan yang dilakukan pada
metode tersebut antara lain:
i) Membersihkan benda yang akan diamati menggunakan sudip dan
kuas, untuk tanaman liar yang tumbuh disekitarnya kami bersihkan
dengan celurit.
ii) Melakukan pengukuran terhadap benda-benda di Situs Seputih
mulai dari panjang, lebar, tinggi, tebal, dan diameter untuk benda
yang memeliki lubang.
iii) Melakukan pengamatan terhadap struktur bahan yang digunakan
dalam pembuatan benda-benda di Situs Seputih.
iv) Melakukan pengamatan terhadap warna dan kondisi benda-benda di
Situs Seputih.
v) Melakukan pengamatan terhadap permukaan benda yang ternyata
pada beberapa benda memiliki simbol-simbol tertentu.
7

vi) Melakukan identifikasi lokasi benda-benda di Situs Seputih.


Peneliti didampingi oleh juru pelihara dari Balai Pelestarian Cagar Budaya
Jawa Timur (Bapak Misyo) guna memberikan pendampingan dan arahan
pada saat kegiatan berlangsung. Setelah observasi dilakukan kami
menyimpulkan bahwa di Seputih terdapat tiga objek benda bergerak berupa
sarkofagus dan lumpang batu dan tiga objek benda tidak bergerak berupa
dolmen dan batu kangkang.

1.3.3 Deskriptif
Metode Deskriptif atau deskripsi menurut Sujana dan Ibrahim
merupakan metode yang dilakukan guna mengetahui atau berusaha
mendesripsikan suatu peristiwa, kejadian yang terjadi secara terususun.
Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk menyusun menghimpun data
artefak cagar budaya dengan cara melakukan perekaman secara verbal dan
visual, hal ini bertujuan untuk mengetahui secara langsung kondisi artefak
yang sedang peneliti teliti. Selain itu guna mendukung laporan ilmiah yang
akan disusun peneliti, peneliti menggunakan beberapa sumber tertulis
seperti buku, jurnal dan tesis mengenai situs bersejarah di Jember mulai dari
zaman prasejarah, colonial belanda hingga sekarang Jember Modern.
i) Melakukan pengambilan gambar dan video sebagai bahan
pembuatan laporan.
ii) Melakukan inventarisasi dan deskripsi secara verbal.
BAB 2
SEJARAH SINGKAT KABUPATEN JEMBER

2.1 Jember: Dari Afdeeling Menuju Kabupaten.


Pada masa Kerajaan Mataram Islam masih berjaya, sistem birokrasi yang
digunakan pada wilayah keraton masih bersifat feodalistik1 dimana Raja dan Bupati
memegang kekuasaan kerajaan. Hal ini berkaitan erat dengan hubungan kawula-
gusti yang tidak hanya menunjukkan hubungan antara yang tinggi dan rendah
namun juga menunjukkan ketergantungan satu sama lain dari dua unsur yang
berbeda dan tidak dapat dipisahkan.2 Ketika VOC datang pada abad ke-18 dan
memperkuat hegemoninya di Jawa, VOC menyamakan posisinya dengan Raja dan
Bupati keraton. Kondisi ini mulai mengalami perubahan ketika Jawa diduduki oleh
Inggris antara tahun 1811-1816 dengan mengangkat Sir Thomas Raffles sebagai
Gubernur Jenderal di Jawa. Kebijakan yang diterapkan Raffles hampir mirip
dengan Daendels, yaitu sistem birokrasi liberalis. Dibawah pimpinan Raffles,
program reformasi liberal digaungkan guna mengurangi otoritas politik Bupati dan
menghapus suksesi jabatan Bupati. Pendudukan kembali Belanda di tanah Jawa
pada tahun 1816 menandai kembalinya kekuasaan Indonesia ditangan Belanda.
Daendels dan Raffles merupakan dua nama menonjol yang merubah
susunan administrasi dan pembangunan di Pulau Jawa. Daendels mereorganisasi
pemerintahan kolonial pusat dan daerah dengan membagi pulau Jawa dalam distrik
(sering dikenal pula dengan residensi) yang dipimpin oleh seorang pegawai negeri
sipil Eropa (disebut dengan residen). Struktur pemerintahan ini merupakan
bawahan dari Gubernur Jenderal di Batavia, sehingga mereka diwajibkan untuk
melapor secara berkala kepada Gubernur Jenderal. Tugas dari residen yaitu
bertanggung jawab atas berbagai hal di residensi mereka, termasuk masalah hukum

1
Feodalistik atau Feodalisme adalah sistem sosial atau politik yang memberikan
kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan.
2
Soemarsaid Moertono, Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI-XIX, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2017), hlm. 31.

8
9

dan organisasi pertanian. Bersamaan dengan hirarki yang dibangun oleh kolonial,
lahir pula hirarki pribumi dengan fungsi sebagai perantara antara Petani dengan
layanan sipil Eropa. Biasanya bagian atas struktur hirarki pribumi diduduki oleh
para aristokrasi Jawa-- yang dulunya merupakan pengelola kerajaan, namun
terpaksa melaksanakan perintah Belanda.
Pada masa pemerintahan Belanda dari tahun 1818 hingg 1883, Afdeeling
Bondowoso menjadi salah satu afdeeling pada tahun 18503 dengan mencakup
beberapa kabupaten seperti Kabupaten Bondowoso, Jember, Wringin,
Penanggungan, Wonosari, Sukokerto dan Puger.4 Kabupaten Jember sebagai salah
satu wilayah Afdeeling Bondowoso merupakan wilayah terpencil sebab terletak di
daerah pedalaman menjadikan wilayah ini kurang mendapatkan perhatian oleh
pemerintah setempat. Kondisi ini semakin diperparah dengan minimnya sarana dan
prasarana seperti jalan dan jembatan yang belum memadai, sehingga sulit
kendaraan dari luar wilayah mengalami kesulitan untuk menjangkau Jember. Selain
itu, dibandingkan dengan kabupaten lainnya, Jember memiliki jumlah penduduk
lebih sedikit.
Perkembangan dalam bidang pertanian nampak telah berkembang sejak
diterapkan Sistem Tanam Paksa. Sementara pertumbuhan sosial-ekonomi pada
wilayah Jember dimulai pada tahun 1870, dimana terjadi reorganisasi dalam
pengolalaan wilayah Indonesia sebagai koloni Belanda dan juga sistem kapitalisme
yang berwujud dalam bentuk perkebunan partikelir. Pada tahun ini Pemerintah
Hindia-Belanda mulai menerapkan kebijakan kolonial liberal atau politik pintu
terbuka bagi investasi swasta. Sejalan dengan kebijakan politik pintu terbuka,
pemerintah Hindia-Belanda kemudian menyusun Undang-undang Agraria
(Agrarische Wet) pada 9 April 1870 dengan rujukan Staatsblad No. 55/1870.
Pemerintah kemudian membentuk Undang-undang Gula (Suiker Wet) pada tanggal

3
Nurhadi Sasmita, Menjadi Kota Definitif: Jember Abad 19-20, Historia, Vol. 1,
No. 2, Januari 2019, hlm. 118.
4
F. Aunurrofiq dkk., Afdeeling Djember: Bureaucreatic History of Jember During
The Dutch Colonial Era 1883-1928, IOP Conference Series: Earth and Environmental
Science, hlm. 2.
10

21 Juli 1870 berdasarkan Staatsblad No. 136/1870.5 Undang-undang Agraria yang


ditetapkan oleh pemerintah berisi beberapa kebijakan penting, yaitu pengakuan
sistem hak milik Bumiputra atas tanah; larangan pengalihan hak Bumiputra atas
tanahnya kepada orang asing, namun memperbolehkan penyewaan selama 5-10
tahun; serta seluruh tanah yang tidak dimiliki oleh Bumiputra menjadi milik
pemerintah dan dapat disewakan sampai 75 tahun. Sementara Undang-undang Gula
dibentuk dengan tujuan untuk mengakhiri produksi gula secara paksa oleh
pemerintah.6
George Birnie menjadi pionir perintis usaha perkebunan swasta di Jember,
bersama dengan Mr. C. Sandenberg Matthiesen dan van Gennep ia mendirikan NV
Landbouw Maatsccappij Oud Djember (NV. LMOD) pada tanggal 21 Oktober
1859 dan menjadi perusahaan perkebunan barat yang menguasai tanah erfpacht
dalam jumlah besar dengan luas lebih dari 11.000 hektar yang tersebar dari
Bondowoso hingga Jember.7 Pada mulanya perusahaan ini bergerak pada bidang
perkebunan tembakau, seiring berjalannya waktu merambah pada perkebunan
aneka tanaman seperti kopi, kakao, dan karet.8 Dari sini nama Jember mulai dikenal
sebagai sentra tembakau Basoekie Na Oogst pada pasar internasional. Keberhasilan
Birnie dalam mengembangkan tanaman tembakau menunjukkan kecocokan daerah
Jember untuk dijadikan usaha perkebunan, hasil dari panen juga menunjukkan
menguntungkan Pemerintah Hindia-Belanda. Keberhasilan dan keuntungan ini
menarik minat para pemilik modal untuk mengembangkan usahanya pada wilayah
Jember. Setelah NV. LMOD, mulai lahir perusahaan swasta di Jember seperti
Maatscappij Tabak Goemelar, Besocki Tabak Maatscappij, Djelboek Maatscappij,

5
Parakitri Tahi Simbolon, Menjadi Indonesia, (Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara, 2006), hlm. 159-160.
6
Ibid., hlm. 148.
7
Nawiyanto, Berakhirnya Frontir Pertanian: Kajian Historis Wilayah Besuki,
1870-1970, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol. 14, No. 1, 2012, hlm. 82.
8
Edy Burhan Arifin, Pertumbuhan Kota Jember dan Munculnya Budaya
Pandhalungan, Literasi, Vol. 2, No. 1, Juni 2012, hlm. 29.
11

Matscappij Soekokerto Adjong, Maatscappij Tabak Soember Djerock, dan


Soekokerto Handel Maatscappij.9
Kesulitan yang dihadapi oleh perkebunan di Jember adalah kurangnya
tenaga kerja. Salah satu faktor yang menyebabkan minimnya tenaga kerja di Jember
pada masa ini adalah masih rendahnya populasi penduduk. Terjadi
ketidakseimbangan antara area dengan jumlah penduduk. Pada tahun 1858 dengan
luas daerah sekitar 3.234 kilometer persegi hanya memiliki penduduk sejumlah
31.215.10 Permasalahan ini kemudian diatasi dengan memanfaatkan beberapa
penduduk Madura yang bermukim di Jember. Terpikat dengan janji dan harapan
yang diberikan, mereka diperintahkan untuk membawa kerabat, tetangga, dan
orang-orang Madura untuk pindah ke Jember. Banyak masyarakat Madura tertarik
dengan imigrasi ini sebab perusahaan menjanjikan apabila mereka bersedia menjadi
buruh perkebunan, mereka akan diberikan upah dan lahan luas yang cukup untuk
dijadikan perkebunan, ditambah dengan pengangkatan mereka sebagai mandor,
suatu posisi yang pada saat itu banyak diminati oleh penduduk asli.11 Terhitung
sejak tahun 1870-an, banyak penduduk Madura yang pindah dan menetap di
Jember. Kebanyakan dari mereka bekerja di perkebunan tembakau, sebab
perkebunan tembakau tidak hanya membutuhkan tenaga kerja laki-laki saja untuk
membersihkan dan memperbaiki tanah untuk tanaman tembakau, namun juga
perempuan dan anak-anak untuk bekerja di gudang fermentasi dan pengemasan.
Banyak juga buruh musiman Madura yang bekerja di perkebunan tembakau sebagai
buruh harian.12 Sebagian besar para penduduk imigran Madura ini tersebar dan

9
F. Aunurrofiq dkk., op.cit., hlm. 3.
10
Retno Winarni dan Ratna Endang Widuatie, Jember’s Development from the
Traditional Authority to Modern Government, TAWARIKH: Journal of Historical Studies,
Vol. 10, No. 1, Oktober 2018, hlm. 21.
11
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940,
(Yogyakarta: Penerbit Mata Bangsa, 2002), hlm. 83.
12
Retno Winarni dan Ratna Endang Widuatie, loc.cit.
12

bertempat tinggal di daerah Jember bagian utara dan tengah, seperti Distrik Kalisat,
Jember, dan Mayang.
Bleeker memaparkan bahwa pada tahun 1845 populasi penduduk Jember
hanya berjumlah 9.237 orang dan pada tahun 1867 populasi penduduk meningkat
pesat hingga 75.780, sementara pada tahun 1880 meningkat menjadi 129.798
orang.13
Bertambahnya populasi penduduk, progres perekonomian yang terus
meningkat dan pertumbuhan kota yang cepat menghasilkan suatu keputusan bahwa
Distrik Jember tidak akan lagi berada dibawah Afdeeling Bondowoso dan menjadi
Zelfstanding serta dipimpin oleh seorang Patih. Perubahan status ini dimulai saat
Staatblad tahun 1883 Nomor 17 tentang Pemisahan Bondowoso menjadi dua
afdeeling yaitu, Bondowoso dan Jember. Staatblad ditandatangani di Batavia pada
tanggal 9 Januari 1883 dan baru diumumkan kepada masyarakat umum pada 16
Januari 1883. Dengan pembagian Afdeeling Bondowoso meliputi Penanggungan,
Wonosari, dan Bondowoso. Sementara Afdeeling Jember meliputi Sukokerto,
Puger, Tanggul, dan Jember.14 Perubahan juga terjadi pada skala desa, apabila pada
tahun 1854 Jember hanya terdiri atas 36 desa, maka pada tahun 1874 terjadi
pemekaran desa sehungga bertambah menjadi 46 desa, dan mencapai 117 desa pada
tahun 1883.
Perubahan status Jember memotivasi pemerintah pusat untuk melakukan
reorganisasi struktur pemerintahan, apabila saat menjadi bagian dari Afdeeling
Bondowoso Jember dipimpin oleh seorang Wedana asli yang bekerjasama dengan
Asisten Controleur Belanda. Maka akan seorang Asisten Residen akan ditempatkan
pada wilayah ini. C.H. Blanken menjadi sosok yang ditunjuk Pemerintah Hindia-
Belanda sebagai Asisten Residen Jember pertama. Dalam hal ini, ia harus bekerja
sama dengan pejabat adat dengan menunjuk pejabat dari penduduk lokal untuk
menjadi seorang Patih yang independent (Zelfstanding Patih) dimana Patih akan
memiliki kedudukan setara dengan Bupati. Zelfstanding Patih pertama adalah R.P

13
Nurhadi Sasmita, op.cit., hlm. 121.
14
F. Aunurrofiq dkk., op.cit., hlm. 4.
13

Astrodikoro, sosok yang telah mengabdi sebagai Wedana selama beberapa tahun di
Jember. Sebelumnya ia telah melayani seorang Patih dari Bondowoso, menemani
R.T. Wondokusumo, Residen Kedua Afdeeling Bondowoso. Kebijakan lain yang
telah dilaksanakan di Afdeeling Jember adalah dengan membentuk beberapa badan
khusus untuk menangani berbagai sektor seperti keuangan, perkebunan, dan
pekerjaan umum. Pada bidang pertanian dibentuk semacam Lembaga Perkreditan
Rakyat yang memiliki tugas memberikan modal bagi petani meliputi pembelian
bibit, hingga perawatan tanaman.
Pesatnya pertumbuhan Jember juga didorong oleh dukungan para
pengusaha dalam membangun infrastruktur, seperti irigasi, transportasi, dan
jembatan. Misalnya pembangunan irigasi modern di Sungai Sampean pada tahun
1902 sehingga mampu mengairi lahan seluas 150.000 bau dan pembangunan irigasi
di Sungai Bedadung pada tahun 1903 yang mampu mengairi sawah seluas 33.000
bau. Pembangunan irigasi ini sejak awal memang bertujuan untuk perkebunan
tembakau dan gula, namun dampak dari modernisasi irigasi ini adalah semakin
banyaknya lahan-lahan baru. Tercatat pada tahun 1860 terdapat 50.000 bau lahan
sawah dan 25.000 bau lahan tegalan.15 Untuk memperlancar kegiatan masyarakat
dan pemerintah, Pemerintah Hindia-Belanda selalu berusaha membuat jalan guna
memperlancar jalur ke lokasi roda perekonomian mereka. Begitupula usaha yang
dilakukan pada daerah Jember, dibangun jalan dengan Lumajang, Probolinggo, dan
Pasuruan untuk mempermudah akses ke Surabaya. Selain ke daerah perkotaan,
pembangunan jalan juga dilakukan pada daerah-daerah perkebunan kopi yang
biasanya terletak di daerah pedalaman. Beberapa jalan sengaja dibangun untuk
mempermudah pengangkutan produk perkebunan, misalnya jalan sepanjang 30-40
km yang dibangun oleh NV LMOD pada tahun 1880-1890 sebagai usaha untuk
memperlancar komunikasi dan pengangkutan kantor pusat NV LMOD di Distrik
Jember dengan kebun-kebunnya yang terletak di Distrik Mayang, Gambirono,
Wuluhan, Puger, dan Tanggul.16

15
Edy Burhan Arifin, op.cit., hlm. 32.
16
Nurhadi Sasmita, op.cit., hlm. 128-129.
14

Selain jalan, pembangunan infrastruktur lainnya adalah dibukanya jalur


kereta api dari Jember ke Panarukan pada tahun 1897 dengan fokus utamanya untuk
mempermudah dan memperlancar pengiriman produk perkebunan ke Panarukan.
Dengan adanya jalur kereta api, pengiriman produksi yang semula menggunakan
gerobak sapi dengan waktu 2 hari dengan daya angkut hanya 8 pak berubah hanya
membutuhkan 3 jam dengan kereta. Sebagai upaya untuk mengubah daerah
pedalaman Jember, pada tahun 1912 Spoorwegdienst membuka beberapa jalur
kereta api kecil seperti jalur Jember-Rambipuji-Balung dan berakhir di Ambulu.
Perkembangan Jember yang pesat telah mengubah dari yang semula
merupakan wilayah Afdeeling Bondowoso menjadi Afdeeling Jember telah
memberikan dampak pembangunan infrastruktur yang signifikan. Beberapa
permasalahan yang terjadi pada tingkat pemerintahan pusat seperti kurangnya
perhatian pemerintah pusat terhadap kepentingan daerah menyebabkan gejolak
politik berupa kebijakan desentralisasi. Sama seperti tuntutan mengenai
liberalisme, tuntutan terkait pelaksanaan juga ramai digaungkan. Puncaknya pada
23 Juli 1903, Gubernur Jendeal Idenburg melakukan beberapa perubahan pada
beberapa kebijakan RR (Regerings Reglement), yaitu pasal 68a, 68b, dan 68c.
Perubahan ini diberi nama Wethoudende Decentralisatie van het Bestuur in
Nederlandsch Indie dan terkandung beberapa artikel berisi keuntungan bagi gewest
ataupun bagian dari gewest dalam mewujudkan desentralisasi pada wilayahnya dan
mewujudkan daerah yang peduli terhadap rumah tangganya sendiri.17
Dalam konteks implementasi desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintah
Hindia-Belanda melakukan perbaikan status wilayah Jember. Pada tahun 1928
Afdeeling Jember berubah menjadi Regentschap (Kabupaten) Jember. Sejalan
dengan perubahan status ini, disahkan dan dinyatakan dalam Staatblad van
Nederlandsch-Indie 322 tahun 1928 dalam Bestuurshervorming, Decentralisatie,
Regenschappen Oost Java (Aanwijzing van hetb Regentschap Djember als

17
Jupriono dkk., Jember dari Waktu ke Waktu: Sekilas Wakil Rakyat dan
Perkembangan Kabupaten Jember (Prasejarah s.d 1970-an), (Jember: Sektretariat DPRD
Kabupaten Jember, 2018), hlm. 412
15

Zelfstandige Gemeenschap) dan terdaftar pada Bensluit van de Gouverneur General


serta ditandatangani oleh Gubernur Jenderal Jember, De Graff pada 9 Agustus
1928, namun aturan baru ini mulai berlaku pada 1 Januari 1929 sebagaimana tertulis
dalam Artikel 9 Staatsblad yang menyatakan, Dize Ordonantie treedt in werking
met ingang van Januari 1929. Wilayah ini mencakup 7 distrik yaitu, Distrik Jember,
Distrik Kalisat, Distrik Mayang, Distrik Rambipuji, Distrik Tanggul, Distrik Puger,
dan Distrik Wuluhan dengan R.A.A Notohadinegoro sebagai Bupati pertama
Kabupaten Jember.18

2.2 Jember Masa Pra Aksara


Prasejarah merupakan istilah yang merujuk pada masa-masa belum adanya
catatan sejarah dalam bentuk tulisan. Istilah ini mirip dengan istilah praaksara yang
merupakan gabungan dari kata pra (sebelum) dan aksara (tulisan). Maka dapat
disimpulkan bahwa praaksara merupakan masa dimana manusia belum mengenal
tulisan. Masa prasejarah dan pra-aksara dikenal juga dengan masa nirleka (“nir”
artinya tidak ada dan “leka” artinya tulisan) merujuk pada masa dimana tidak ada
tulisan.19 Periodesasi masa prasejarah tidak hanya mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia sejak awal hadirnya hominid pada masa plestosen hingga masa
dimana manusia mulai mengenal tulisan pada sekitar abad 4-5 SM. Penyusunan
periodesasi prasejarah dikemukakan pertama kali oleh C.J Thomsen dari Denmark
pada tahun 1836. Buah pikiran Thomsen dikenal dengan sistem tiga zaman (three
age system) dimana membagi zaman prasejarah menjadi zaman batu, zaman
perunggu, dan zaman besi. Tetapi dalam implementasinya, pemikiran ini
dikembangkan menjadi sistem empat zaman dengan membagi zaman batu menjadi
zaman batu tua (palaeolitik) dan zaman batu baru (neolitik). Dari sini lahir sistem
lima zaman yang meliputi paleolitik, mesolitik, neolitik, perunggu, dan besi.20

18
Ibid., hlm. 413.
19
R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I, (Yogyakarta:
Kanisius, 1981), hlm. 1.
20
Slamet Sujud Purnawan Jati, Prasejarah Indonesia: Tinjauan Kronologi dan
Morfologi, Sejarah dan Budaya, Vol. 7, No. 2, Desember 2013, hlm. 20.
16

Sistem periodesasi zaman prasejarah ini kemudian menyebar luas hingga


keluar wilayah Eropa Barat dan dikenal sebagai metode penelitian sejarah yang
khususnya memberikan ketertarikan pada alat-alat yang digunakan oleh manusia
purba, dimana setiap perkembangan tingkatan zaman ditandai dengan terciptanya
alat dengan bentuk dan bahan pembuatan tertentu. Atas inisiatif P.V. van Stein
Callenfels (1934) metode ini mulai diterapkan di Indonesia, dilanjutkan oleh van
der Hoop (1938), R von Heine Geldern (1945), dan akhirnya dimutakhirkan oleh
H.R. ban Heekeren (1955).21 Periodesasi tentang masa prasejarah di Indonesia
diorganisir berdasarkan perkembangan kebudayaan material, yaitu palaeolitik,
mesolitik, neolitik, perunggu-besi (atau digabung menajdi logam
awal/paleometalik) dan periodesasi khusus tingkat megalitik yang sejajar dengan
neolitik dan paleometalik. Dari sini pembahasan mengenai periodesasi zaman
praaksara di Indonesia akan dikerucutkan pada wilayah Kabupaten Jember.
Di Indonesia persebaran peninggalan masa lampau telah tersebar ke dalam
berbagai wilayah, salah satunya pada wilayah Kabupaten Jember. Dari
peninggalam masa lampau tersebut, periodesasi mengenai masa prasejarah dapat
dilacak dan diidentifikasi. Sama seperti daerah-daerah di Indonesia, periodesasi di
Kabupaten Jember juga dibedakan menjadi empat periode, yaitu Zaman
Palaeolitikum, Zaman Mesolitikum, Zaman Neolitikum, dan Zaman Megalitikum.
Di Indonesia persebaran peninggalan masa lampau telah tersebar ke dalam
berbagai wilayah, salah satunya pada wilayah Kabupaten Jember. Dari
peninggalam masa lampau tersebut, periodesasi mengenai masa prasejarah dapat
dilacak dan diidentifikasi. Sama seperti daerah-daerah di Indonesia, periodesasi di
Kabupaten Jember juga dibedakan menjadi empat periode, yaitu Zaman
Palaeolitikum, Zaman Mesolitikum, Zaman Neolitikum, dan Zaman Megalitikum.
2.2.1 Zaman Palaeolitikum (Batu Tua)
Masa ini diperkirakan berlangsung sekitar antara 3.000.000 sampai kira-kira
10.000 tahun yang lalu, ditandai dengan menurunnya suhu glasiasi di bumi dan
gletser yang biasanya hanya ada di kutub serta puncak-puncak gunung berapi

21
Ibid., hlm. 21.
17

meluas sehingga daerah-daerah sekitarnya tertutupioleh dataran-dataran es.


Peristiwa ini terjadi selama beberapa kali dan diselingi oleh masa-masa antar
glasial. Sementara daerah yang tidak terkena perluasan es, kondisinya lembab dan
dinamakan dengan masa pluvial (masa hujan). Meluasnya wilayah yang menjadi es
pada wilayah daratan, perubahan iklim, naik-turunnya permukaan air yang tidak
menentu serta munculnya daratan-daratan baru merupakan tantangan yang harus
dilewati oleh manusia purba pada zaman ini. Kondisi demikian merupakan
pendorong terjadinya evolusi fisik dan akal pada manusia. Penemuan
Pithecanthropus Erectus oleh E. Dubois pada 1890 menjadi langkah awal
penyelidikan-penyelidikan peradaban prasejarah di Indonesia.
Berbagai peristiwa alam yang terjadi mendorong manusia untuk
menciptakan alat-alat sederhan guna memudahkan dalam mencari makanan. Alat-
alat berbentuk sederhana dengan menggunakan bahan-bahan yang mudah
ditemukan seperti batu, kayu, dan tulang untuk memburu hewan ataupun menanam
umbi-umbian. Pada dasarnya peralatan masa ini diklasifikasikan menjadi tiga
macam bentuk pokok, yaitu kapak perimbas-penetak (chopper chopping tool
complex), serpih-bilah (flake-blade), dan alat tulang-tanduk (Ngandong Culture).22
Dengan peralatan berburu dan bertanam tahap sederhana dan masih kasar bentuk
fisiknya. Manusia purba pada masa ini bergantung pada sumber daya alam sebab
belum mampu memproduksi makanannya sendiri. Kondisi ini menyebabkan
mereka memiliki ciri-ciri bertempat tinggal nomaden atau sering berpindah-pindah
apabila makanan pada tempat sebelumnya sudah habis/belum saatnya untuk
dipanen. Dengan demikian mereka biasanya tinggal di alam terbuka seperti hutan,
tepian sungai, gunung, gua, dan lembah-lembah, namun kecenderungan untuk
tinggal di pinggiran sungai atau gua menjadi pilihan utama sebab bertujuan untuk
mempermudah dalam mencari makanan dan tempat untuk berlindung diri dari terik
matahari ataupun hujan.

22
An Fauzia Rozani Syafei, Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Padang: CV. Berkah
Prima, 2021), hlm. 10-11.
18

Pada masa Palaeometalik, salah satu fosil manusia purba ditemukan pada
wilayah Puger. Dari kerangka tengkorak tersebut nampak pembauran antara ras
Australomelanesid dan Monggolid dalam perbandingan yang berbeda.23
Peninggalan pada Zaman Palaeolitikum di Kabupaten Jember ditelusuri dengan
penemuan fosil di Karst Gunung Sadeng Puger. Beberapa fosil yang ditemukan
seperti fosil kera abu-abu, sulur, kerang-kerangan yang diidentifikasi sebagai
kkjokenmodinger (sampah dampur), dan beberapa fosil buah. Penemuan fosil ini
didukung pula oleh potensi alam sekitar karst berupa 1) beberapa ceruk dan gua
yang merupakan kondisi ideal hunian manusia pada Zaman Palaeolitikum; 2) letak
sungai Bedadung, bibir pantai selatan, serta lembah-lembah dimana memudahkan
manusia dalam berburu hewan ataupun mengumpulkan makanan (food
gathering).24 Biasanya manusia pada masa palaeolitik membentuk sebuah kelompk
kecil berisi 10-15 orang dimana besar kecilnya kelompok ditentukan dari luas
wilayah dan hasil perburuan. Sementara untuk pembagian tugas masih berdasarkan
perbedaan gender dan umur, dimana laki-laki memiliki tugas untuk melindungi
wilayah, berburu hewan serta mengumpukan makanan. Bagi perempuan memiliki
tugas untuk tetap berada di rumah sembari mengasuh anak dan meramu makanan.
2.2.2 Zaman Mesolitikum (Batu Tengah)
Zaman Mesolitikum atau Zaman Batu Tengah merupakan masa-masa
peralihan zaman sebelumnya ke zaman berikutnya. Perubahan dalam kehidupan
sosial dan kehidupan sosial masih belum banyak mengalami perubahan.
Kebudayaan Mesolitikum banyak ditemukan pada wilayah Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, dan Flores. Dari daerah-daerah tersebut ditemukan bahwa
manusia pada masa ini masih mencukupi kebutuhan hidupnya dengan berburu dan
mengumpulkan makanan (food gathering), namun sebagian dari mereka telah
memiliki hunian tetap (sedenter) sehingga muncul kemungkinan bahwa manusia
pada masa ini sudah mengenal bercocok tanam. Alat-alat yang dihasilkan pada
masa ini yaitu pebble (bilah/pisau), kapak, serpih, gerabah, dan pipisan. Ciri-ciri

23
Slamet Sujud Purnawan Jati, op.cit., hlm. 22-23.
24
Jupriono dkk., op.cit., hlm. 17-22.
19

kehidupan manusia purba masa ini adalah Kkjokkenmodinger dan Abris Sous
Roche. Kjokkenmodinger (kjokken: dapur, modding: sampah) secara harfiah
merupakan sampah dapur yang ditemukan pada daerah-daerah di pesisir pantai.
Sampah dapur ini menunjukkan telah adanya penduduk yang tinggal di sekitar
pesisir pantai dengan menggantungkan hidupnya pada hewan-hewan laut seperti
kulit kerang dan siput. Sementara Abris Sous Roche merupakan gua yang
digunakan sebagai tempat tinggal. Gua ini berupa ceruk-ceruk pada batu karang
yang cukup untuk melindungi dari panas dan hujan. Biasanya keadaan dalam gua
sering ditemukan alat-alat peninggalan seperti ujung panah dan flakes, dan batu-
batu penggilingan.25
Pada Kabupaten Jember, peninggalan Zaman Mesolitikum ditemukan pada
karst Gunung Watangan Puger, dengan ditemukannya puluhan ceruk/gua dari sisi
barat hingga timur dari Kecamatan Puger, Kecamatan Wuluhan, dan Kecamatan
Ambulu. Dari sekian banyaknya ceruk/gua yang ditemukan, hanya empat ceruk/gua
yang telah terekskavasi dan terinventarisasi, yaitu Ceruk/Gua Sodong, Ceruk/Gua
Marjan, Ceruk/Gua Gelatik, dan Ceruk/Gua Macan. Indikasi ini merujuk pada
kriteria morfologis gua, dimensi dan kondisi ruangan gua, temuan permukaan, dan
lingkungan sekitar yang memberikan kemudahan akses dan hunian yang layak bagi
manusia purba di Jember. Dimana berdasarkan analisis manusia purba yang
menghuni wilayah Watangan merupakan jenis Homo Sapiens dari Ras
Austramelanesoid dan Mongoloid, serta hidup secara berkelompok dengan 10-15
orang.26 Kehidupan sosial dan kebudayaan yang dihasilkan mirip dengan manusia
purba pada wilayah lain, yaitu dipengaruhi oleh cara hidup tetua mereka dengan
memanfaatkan gua-gua alam (caves), gua paying, atau ceruk (rock-shelter).
Gua/ceruk Sodong dan Gelatik telah rusak dikarenakan longsor, sehingga yang
tersisa hanyalah ceruk saja, sementara itu di Gua/Ceruk Marjan, peneliti
menemukan sisa tulang manusia baik dalam keadaan masih utuh ataupun rusak.

25
R. Soekmono, op.cit., hlm. 41.
26
Jupriono dkk., op.cit., hlm. 30.
20

Umumnya lahan gua terbagi atas dua teras, teras pertama terletak di ruang utara dan
teras kedua berada di ruang selatan dengan perbedaan ketinggian sekitar 2 meter.
Dari penggalian dan ekskavasi Heekeren, ditemukan beberapa peninggalan seperti
gerabah, alat-alat batu (kapak perimbas, kapak penetak, batu bilah, batu serut), alat-
alat tulang (flakes), kjokkenmodinger (sisa cangkang siput dan kerang-kerangan),
dan tulang binatang mamalia. Laporan milik van Heekeren memaparkan bahwa
tidak seperti gua lainnya, gua Marhan diidentifikasi sebagai tempat untuk
meletakkan mayat sosok yang penting pada zaman ini, misalnya jenazah Kepala
Suku. Dengan ini ia menyimpulkan bahwa manusia purba pada masa ini telah
memiliki suatu kepercayaan yang nampak dari cara mereka merawat jenazah orang-
orang penting sebagai bentuk penghormatan terakhir.27
2.2.3 Zaman Neolitikum (Batu Muda)
Zaman Neolitikum atau Zaman Batu Muda menjadi titik penting
perkembangan masyarakat dan peradaban, dimana terjadi suatu revolusi dalam
peradaban manusia. Perubahan ini memang telah terjadi pada Zaman Mesolitikum,
namun mencapai puncaknya pada Zaman Batu Muda. Salah satu perubahan yaitu
berkembangnya budaya mengumpulkan makanan (food gathering) menjadi
memproduksi makanan (food producing). Dari sini manusia purba tidak lagi
melakukan pengembaraan dan lebih memanfaatkan secara maksimal sumber alam
di sekitarnya. Bercocok tanam, menjinakkan hewan buas, dan beternak menjadi
kegiatan yang dilakukan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Mulai dibangun
hunian bersifat tetap, sehingga muncul sistem pembagian kerja dan pemerintahan
tingkat sederhana untuk memudahkan kehidupan berkelompok.
Ciri khas lain yang dapat diperhatikan melalui berbagai alat yang digunakan
sudah diasah lebih halus pinggirannya, diberi tangkai, dan bentuknya semakin baik.
Pada wilayah Kabupaten Jember, penyebaran alat-alat Neolitikum tersebar dari
wilayah utara dan timur. Seperti kapak persegi, kapak lonjong, dan peralatan lain
seperti mortar dan pengupam berhasil ditemukan pada wilayah Alas Pekarangan
Lereng Hyang Argopuro dan Mayangan Gumukmas. Hasil analisis dan identifikasi

27
Jupriono dkk., op.cit., hlm. 32-47
21

menunjukkan bahwa Situs Alas Pekarangan bukan tempat hunian manusia pruba
melainkan tempat bagi pemujaan roh atau kekuataan gaib. Analisis ini
dilatarbelakangi oleh kepercayaan yang telah berkembang pada Zaman Neolitikum
serta anggapan nenek moyang bahwa gunung atau tempat-tempat tinggi merupakan
area suci dan istana bagi roh leluhur serta ditemukannya menhir, meja yang
digunakan untuk meletakkan sesaji.28 Selain itu ditemukan juga patung primitif
neolit yang merupakan penggambaran sosok figur yang telah meninggal dimana
diukir secara statis, kaku, dan pahatan yang sederhana. Biasanya patung-patung ini
merupakan tokoh penting seperti Kepala Suku yang telah meninggal sebagai bentuk
suatu penghormatan. Akan tetapi patung primitif neolit tidak hanya berbentuk
manusia juga namun juga berbentuk kera yang ditemukan Ganif W. Mertowidjojo
pada tahun 1983 di Sungai Patemon Tanggul, dimana dapat disimpulkan bahwa
masyarakat disekitar aliran sungai Patemon memiliki kepercayaan totemisme
(kepercayaan yang meyakini bahwa manusia memiliki ikatan keluarga dengan
binatang).29
2.2.4 Zaman Megalitikum (Zaman Batu Besar)
Eksistensi kebudayaan Megalitik telah berlangsung semenjak Zaman
Neolitik dan berkembang pesat pada masa perundagian. Geldren membagi tradisi
megalitik menjadi dua, yaitu: Megalitik Tua dan Megalitik Muda. Pertama,
Megalitik Tua telah ada semenjak Zaman Neolitikum atau masa bercocok tanam.
Beberapa peninggalan yang dihasilkan seperti dolmen, undak batu, limas
(piramida) berundak, pelinggih, tembok batu, dan jalan batu.30 Masyarakat pada
masa ini telah percaya akan kekuatan dari alam kehidupan sesudah mati. Maka
dalam penguburan mayat orang yang meninggal, letak dan arah disesuaikan dengan
kepercayaan yang telah diturunkan secara turun-temurun dengan tujuan supaya roh
orang yang telah meninggal tidak tersesat dalam perjalanan menuju tempat asal

28
Jupriono dkk., op.cit., hlm. 56-57.
29
Jupriono dkk., op.cit., hlm. 73-74.
30
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 211.
22

mereka. Kedua, Megalitik Muda yang mulai berkembang pada masa perundagian
dan menghasilkan benda-benda seperti kubur peti batu, dolmen, sarkofagus, dan
bejana batu. Beberapa bentuk benda megalitik seringkali mempunya fungsi lain,
misalnya dolmen yang memiliki ukuran bervariasi tidak hanya berfungsi sebagai
kuburan saja, namun juga dibentuk untuk tempat persajian serta lumping batu atau
lesung batu dan batu dakon dimana kedua benda ini sering ditemukan di ladang atau
sawah dan pinggiran dusun dengan tujuan untuk mendapatkan kekuatan magis.31
Pada wilayah Kabupaten Jember persebaran peninggalan dalam bentuk bangunan-
bangunan Megalitik banyak ditemukan, meskipun beberapa belum diidentifikasi
secara keseluruhan sehingga jumlah total masih belum diketahui. Dari hasil
pendataan sementara menunjukkan bahwa sebaran peninggalan Megalitik telah
hampir merata di setiap wilayah kecamatan. Beberapa situs yang telah diidentifikasi
yaitu Situs Seputih Mayang, Cagar Budaya Kamal, Situs Sucopangepok, Situs
Sukowono, Situs Mojo Sukosari, serta persebaran Dolmen pada wilayah
Sumberjambe, Pakusari, Silo, Sukojember, Palangan, dan Kalisat. Peninggalan
Megalitik pada wilayah Jember memiliki kaitan dengan tradisi memuja para roh
dan arwah, hal ini nampak pada berbagai peninggalan yang ditemukan, misalnya
dolmen menjadi salah satu bukti fisik kepercayaan animisme dan dinamisme
dimana seringkali berfungsi ssebagai meja sesaji dan penguburan mayat. Pemujaan
dan penghormatan terhadap roh nenek moyang dan kekuatan gaib merupakan
perwujudan dan permohonan agar selalu dilindungi, mendapatkan keberhasilan,
keamanan, dan ketentraman dalam hidup.

31
Ibid.
23

BAB 3
INVENTARISASI DAN DESKRIPSI

I. IDENTITAS OBJEK
Nama objek : Sarkofagus
3411/TR/KMS/2012/PIM3411/
Nomer : 001/BTS/JBR/2021
Inventaris
Kriteria : Benda
Objek
Nama tempat : Situs Seputih
penyimpanan Jalan : Sumber Wadung
Dusun : Sumber Jeding
Desa : Seputih
Kecamatan : Mayang
Kabupaten : Jember
Provinsi : Jawa Timur
:: Ukuran : Panjang : 140 cm
Lebar : 92 cm
Tinggi : 62 cm
Tebal Bibir : 17 cm
Kedalaman Palung : 19 cm
Ukuran Tutup :: Panjang : 126 cm
Lebar : 60 cm
Tinggi : 56 cm
Bahan / Bahan : Batu sedimen
Warna Warna : Hitam keabu-abuan
Kondisi : Secara keseluruhan utuh, tetapi
kondisi tutup secara keseluruhan aus
karena alam.
Periode / Masa : Praaksara
24

Koordinat UTM : 8°12'04.4"S 113°47'55.5"E


Ketinggian : 210°SW
Luas Tempat 70.215 cm2
Batas-Batas Utara : Jalan Lokal
Timur : Sungai
Selatan : Gunung
Barat : Gunung

II. DESKRIPSI
Deskrispsi : Lingkungan Situs Seputih berada di Dusun Sumber Jeding Desa Seputih yang
Lingkungan secara administratif merupakan salah satu bagian dari wilayah Kecamatan
Mayang Kabupaten Jember. Wilayah tersebut terletak di dataran tinggi,
tepatnya berada di lereng pegunungan. Topografi daerah tersebut dikelilingi
oleh kebun, sungai, dan sawah.
Berdasarkan penelitian Haribuana (2014) bahwa antara mata air dengan
tinggalan arkeologi memiliki kaitan yang sangat erat, dalam hal ini mata air
memiliki fungsi ritual terhadap tinggalan arkeologi, sehingga masyarakat
pendukung melakukan upaya untuk melestarikan sumber-sumber mata air
tersebut.
Deskripsi : Sarkofagus dengan nomor inventaris 01/BTS/JBR/2021 merupakan
Objek kubur batu yang terdiri dari dua balok batu besar, dimana masing-masing
berfungsi sebagai wadah dan penutup. Secara keseluruhan masih utuh tetapi
pada bagian tutup aus karena alam. Benda ini memiliki warna hitam keabu-
abuan. Pada bagian wadahnya memiliki palung (lubang) dengan kedalaman
19 cm, apabila dilihat dari teksturnya terlihat bahwa palung dan bentuk secara
keseluruhannya dibuat dengan cara dipahat menggunakan alat tertentu. Pada
bagian lempengan atau tutup kuburnya hampir menyerupai jajar trapesium, di
bagian kiri terlihat ada lubang yang tampaknya terkikis oleh alam sedalam
kurang lebih 10 cm. Benda ini berbahan batuan sedimen.
25

Latar sejarah : Peninggalan zaman batu yang cukup banyak di Nusantara adalah
peninggalan era Megalithikum. Megalithikum merupakan puncak kebudayaan
zaman batu. Istilah megalit berasal dari bahasa Yunani yaitu mega (besar)
dan lithos (batu), jadi arti megalit adalah batu besar.1 Kebudayaan megalit
adalah bagian dari rangkaian kehidupan prasejarah di Indonesia. Setiap bentuk
megalit memiliki bentuk yang bervariasi dan fungsi yang berbeda-beda.
Berdasarkan peninggalannya, kebudayaan megalit berkembang dalam dua
gelombang yaitu pertama Megalit tua yang diperkirakan berusia 2500-1500
sebelum masehi yang diperkirakan era neolitikum. Kedua Megalit muda yang
berkembang bersamaan waktunya dengan budaya awal perunggu yang
berkembang menjelang pada abad pertama masehi dimana salah satu hasil
kebudayaannya adalah sarkofagus.2 Sarkofagus banyak ditemukan di Bali
dengan bermacam-macam bentuk dan variasi.
Sarkofagus berasal dari bahasa Yunani, yaitu sarx yang berarti daging
dan phagein yang berarti memakan. Secara harfiah sarkofagus berarti
memakan daging, tetapi dalam pengertiannya sarkofagus merupakan tempat
dimana daging akan menghilang sedikit demi sedikit. Sarkofagus berupa peti
kubur yang terbuat dari batu. Pada umumnya sarkofagus terbagi menjadi dua
bagian, pertama bagian wadah yang berfungsi sebagai tempat menyimpan
mayat, kedua bagian atas yang berfungsi sebagai penutupnya. Sarkofagus
merupakan peti batu untuk menguburkan tokoh-tokoh masyarakat yang
dianggap mempunyai wibawa atau sebagai leluhur, jadi benda ini secara
khusus untuk golongan tertentu.3 Tujuan dibuat peti kubur tersebut yaitu agar
orang yang meninggal mencapai keselamatan di dunia arwah.

1
Sagimun, Peninggalan Sejarah Tertua Kita (Jakarta: CV Haji Masagung, 1987),
hlm. 33.
2
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 223-
224.
3
Sri Ana Handayani, Sejarah Kebudayaan Indonesia (Jember: UPT Percetakan
dan Penerbitan Universitas Jember, 2018), hlm. 52.
26

Sarkofagus terdiri atas wadah dan tutup yang sama dan sebangun,
yang masing-masing memiliki rongga. Pinggiran rongga yang tebal pada
umumnya garis luar dan garis dalam yang sejajar dengan sudut-sudut yang
tajam atau tumpul. Tetapi kadang ada pula misalnya garis luar rongganya
menyudut, tetapi sudut terbentuk di bagian garis dalamnya. Pada umumnya
tutup sarkofagus benar-benar setangkup jika ditempatkan di atas wadah, tetapi
kadang-kadang ada yang melebihi ukuran wadahnya sehingga pinggiran tutup
menjorok keluar dari pinggiran wadahnya.
Sarkofagus memiliki beberapa bidang yang diantaranya bidang
samping, bidang depan, bidang belakang, bidang atas (pada tutup) dan bidang
bawah (pada wadah). Bidang depan adalah sisi letak kepala mayat, dimana
pada bidang ini memiliki bagian yang lebih lebar dari bidang belakang sebagai
sisi letak ujung kaki.
Penguburan dengan sarkofagus diselenggarakan dengan tatacara dan
upacara tertentu. Bukti-bukti yang ditemukan dari hasil penelitian dan
ekskavasi memberikan deskripsi bagaimana sebagian dari pelaksanaan
penguburan itu dilangsungkan. Seperti yang dijelaskan di awal bahwasannya
hanya golongan tertentu yang menggunakan penguburan semacam ini, sebab
pembuatan sarkofagus dan pengangkutan bahan-bahannya memerlukan
tenaga dan waktu yang tidak sedikit.
Penempatan mayat dalam sarkofagus pada umumnya dalam sikap
terlipat atau menekuk. Penempatan mayat ini dalam sikap lateral lutut ditarik
ke aatas sampai ke pinggang, lengan bawah disejajarkan dengan paha dan
kepala agak merunduk, sedangkan pada sikap punggung dilipat sampai ke
dagu, kedua tangan menyilang di dada dan kepala agak tunduk.
Sikap terlipat menurut para ahli dalam hubungan dengan adat
penguburan sarkofagus ini, mengandung maksud memberi sikap kepada
mayat seolah orang yang mati dalam keadaan siap untuk lahir kembali di suatu
kehidupan baru. Pendapat lain mengenai sikap terlipat ini oleh James dan
27

Kruyt yaitu untuk mencegah kehadiran kembali si mati yang akan


mengganggu orang-orang yang masih hidup.4
Orientasi sarkofagus pada umumnya adalah dengan depan (sisi letak
pada mayat) berada di sebelah puncak pegunungan atau puncak bukit.
Orientasi sarkofagus atau penempatan kepala si mati di arah puncak-puncak
bukit atau pegunungan menunjukkan suatu segi kepercayaan para pendukung
adat sarkofagus, yaitu bahwa daerah puncak gunung merupakan tempat tujuan
arwah atau dianggap sebagai dunia arwah. Arah sarkofagus-sarkofagus telah
menyatakan, bahwa para penduduk adat sarkofagus mengikuti ketentuan
penempatan kepala mayat di sisi gunung atau pegunungan yang dilihat
sebagai tempat tinggal arwah, tetapi tentang arah hadap adat muka (seperti ke
atas atau kesamping) dipentingkan. Maka di lingkungan pendukung adat
sarkofagus, di antara saat ada seseorang yang meninggal, dalam hal ini
dikhususkan bagi golongan terkemuka dalam kelompok masyarakat.
Sarkofagus banyak dijumpai di daerah Bali, berdasarkan penelitian-
penelitian yang dilakukan oleh R.P. Soejono sejak tahun 1960 dalam membuat
klasifikasi dan tipologinya, sarkofagus di Bali berkembang pada masa
manusia telah mengenal logam, dengan dasar temuan benda-benda pada bekal
kuburnya sebagian besar terbuat dari perunggu. Soejono telah membagi
sarkofagus Bali atas 3 tipe, a) Tipe A (tipe Bali) berukuran kecil dengan
variasi antara 80-148 cm serta bertonjolan di bidang depan dan di bidang
belakang wadah dan tutup; b) Tipe B (Tipe Cacang) berukuran sedang dengan
variasi antara 150-170 cm tanpa tonjolan; c) Tipe C (Tipe Manuba) berukuran
besar dengan variasi antara 200-268 cm bertonjolan masing-masing bidang
wadah dan tutup.5
Sarkofagus dengan nomor inventaris 01/BTS/JBR/2021 merupakan
Sarkofagus dengan Tipe B atau tipe Cacang (sedang), memiliki pola dasar

4
Artanegara, “Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali: Sarkofagus” [online],
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbali/sarkofagus/, diunduh pada 10 Oktober 2021.
5
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 235-
236.
28

berukuran sedang tanpa tonjolan. Pada bagian pinggiran sarkofagus


dipahatkan aluran, aluran ini berfungsi sebagai tempat tali yang digunakan
untuk memudahkan penempatan tutup di atas wadahnya. Sarkofagus tipe B
hanya dapat memuat mayat yang diletakkan secara terlipat, walaupun dari luar
tempatnya seolah-olah dapat memuat mayat secara sikap terbujur. Biasanya
panjang sarkofagus tipe B ±150 – 161 cm. Sarkofagus di Seputih
kemungkinan merupakan hasil kebudayaan pada masa megalit muda karena
bentuknya yang masih belum beraturan dan diperkirakan alat-alat yang
digunakan sangat sederhana.
Status : Status hukum : UU RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
hukum, Pemilik : Negara
kepemilikan Pengelola : BPCB Jawa Timur dan DiSPARBUD Kab. Jember
dan
Pengelolaan
Riwayat : Asal Seputih Kecamatan Mayang Kabupaten Jember
kepemilikan
Foto :

Gambar 3.1 Wadah Sarkofagus dengan Nomor Inventaris


01/BTS/JBR/2021.
Sumber: Koleksi Pribadi.
29

Gambar 3.2 Tutup Sarkofagus dengan Nomor Inventaris


01/BTS/JBR/2021.
Sumber: Koleksi Pribadi.
30

I. IDENTITAS OBJEK
Nama objek : Batu Kangkang
Nomer : 002/BTA/JBR/2021
Inventaris
Kriteria : Situs
Objek
Nama tempat : Situs Seputih
penyimpanan
Jalan : Sumber Wadung
Dusun : Sumber Jeding
Desa : Seputih
Kecamatan : Mayang
Kabupaten : Jember
Provinsi : Jawa Timur
Ukuran Lebar : 302 cm
Tinggi : 270 cm
Tebal : 180 cm
Bahan / Bahan : Batu Andesit
Warna Warna : Abu-abu
Kondisi : Secara keseluruhan utuh dan aus
karena alam.
Periode / Masa : Praaksara
Koordinat UTM : 8°12'06.1"S 113°47'54.8"E

Ketinggian : 350°N
Luas 450.000 cm2
Batas-batas Utara : Jalan lokal
Timur : Sungai
Selatan : Gunung
Barat : Gunung
31

II. DESKRIPSI
Deskrispsi : Lingkungan Situs Seputih berada di Dusun Sumber Jeding Desa Seputih yang
Lingkungan secara administratif merupakan salah satu bagian dari wilayah Kecamatan
Mayang Kabupaten Jember. Wilayah tersebut terletak di dataran tinggi,
tepatnya berada di lereng pegunungan. Topografi daerah tersebut dikelilingi
oleh kebun, sungai, dan sawah.
Berdasarkan penelitian Haribuana (2014) bahwa antara mata air dengan
tinggalan arkeologi memiliki kaitan yang sangat erat, dalam hal ini mata air
memiliki fungsi ritual terhadap tinggalan arkeologi, sehingga masyarakat
pendukung melakukan upaya untuk melestarikan sumber-sumber mata air
tersebut.
Deskripsi : Batu Kangkang dengan nomor inventaris 002/BTA/JBR/2021
Objek merupakan batu megalitik besar dimana pada permukaan batunya terdapat
coretan-coretan yang dipahat oleh manusia pada masa lampau yang memiliki
simbol-simbol tertentu. Coretan tersebut berbentuk kaki mengangkang lurus,
beberapa ada yang simbolnya terbalik. Simbol tersebut tentunya memiliki
makna tertentu pada masa lampau. Letaknya berada di tengah lahan
perkebunan dengan kondisi tanah yang lebih tinggi dibandingkan sekitarnya.
Bentuknya tidak beraturan pada bagian bawah lebar dan bagian atas
mengerucut tumpul. Tingginya berkisar sekitar dua meter lebih. Batu ini
ditopang dengan beberapa batu (kaki). Secara keseluruhan kondisinya utuh,
tetapi secara keseluruhan juga aus karena alam. Batu Kangkang ini berbahan
batuan andesit. Batu ini memiliki warna abu-abu.
Latar sejarah : Tradisi pendirian bangunan-bangunan megalitik selalu berdasarkan
pada kepercayaan akan adanya hubungan yang erat anatara yang hidup dengan
yang mati, terutama kepercayaan terhadap adanya pengaruh kuat dari yang
telah mati terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman. Jasa
dari kerabat yang telah mati diabadikan dengan mendirikan bangunan batu
32

besar. Batu ini kemudian menjadi media penghormatan, tempat singgah dan
sekaligus menjadi lambang si mati.
Menurut konsep von Heine Geldern tentang penyebaran kebudayaan
megalitik di Indonesia yang terjadi dalam dua gelombang. Pertama, megalitik
tua yang berusia kurang lebih 2500-1500 SM dan megalitik muda yang
berusia kira-kira milenium pertama sebelum masehi. Pada pembedaan
megalitik tua dan megalitik muda, von Heine Geldern memasukkan megalitik
tua ke masa neolitikum. Sedangkan megalitik muda berkembang dalam masa
perundagian yang memperlihatkan bentuk-bentuk kubur yang diantaranya
peti batu, dolmen, sarkofagus, dan bejana batu.6
Dolmen merupakan salah satu hasil kebudayaan masa megalitik muda.
Dolmen berasal dari bahasa Breton daerah Perancis sekarang, dol yaitu meja
dan men adalah batu, jadi dolmen berarti meja batu.7 Bangunan megalit ini
terdiri dari meja batu besar, susunannya menyerupai sebuah meja batu besar,
daun meja ditopang oleh beberapa batu besar yang berfungsi sebagai kaki
meja. Dolmen dibuat untuk kedatangan roh atau tempat persajian. Dolmen
berfungsi sebagai pelinggih di kalangan masyarakat megalitik yang telah maju
serta digunakan sebagai tempat duduk kepala suku atau raja. Dolmen
dipandang masyarakat sebagai tempat keramat dijadikan sebagai tempat
untuk melakukan pertemuan-pertemuan atau upacara-upacara yang
berhubungan dengan pemujaan arwah leluhur.8
Batu kangkang adalah batu yang memiliki ukiran manusia bergaya
kangkang (hockerstyle) (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:237).9 Figur
manusia kangkang disakralkan dan dianggap sebagai media penyembahan

6
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 205-
206.
7
Sagimun, op.cit., hlm. 38.

8
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 211.
9
Ibid., hlm. 237.
33

kepada yang mereka anggap sebagai dewa atau hubungan manusia dengan
Tuhan, sehingga kadang penempatannya pada suatu wilayah suci seperti mata
air, ladang atau kampung untuk menjaga dan menangkal kekuatan magis dari
luar. Selain itu, penempatan simbol kangkang kemungkinan untuk
penghormatan terhadap roh nenek moyang yang memiliki peran penting
dalam kegiatan upacara ritual.
Pahatan manusia kangkang pada umumnya memiliki maksud religius.
Pada dasarnya posisi kangkang identik dengan penggambaran kemaluan.
Posisi kangkang atau jongkok mengandung maksud sebagai usaha manusia
untuk memperoleh kekuatan gaib. Penemuan demikian banyak dijumpai di
daerah Sumbawa Barat dan di daerah Besuki juga memperlihatkan persamaan
pada bangunan megalitik. Salah satunya di Seputih ditemukan coretan
manusia kangkang di bangunan dolmen.
Pada umumnya bentuk figur manusia dilukiskan pada situs
penguburan digambarkan dalam sikap kangkang. Bentuk semacam ini banyak
ditemukan pada benda-benda yang berhubungan atau berkaitan dengan
penguburan. Selain dijumpai dalam dolmen seperti di Seputih, pada peti kubur
megalitik seperti waruga di Sulawesi dan Sarkofagus di Bali terdapat motif
bentuk manusia kangkang. Hal serupa juga dijumpai pada dolmen di Besuld
untuk upacara kematian di Timor. Menurut Frases, disamping mempunyai
fungsi menolak bala, hiasan tersebut juga memiliki arti kelahiran kembali.10
Sebagai penolak bala, bentuk manusia kangkang dianggap sebagai lambang
nenek moyang yang mempunyai kekuatan supranatural, sehingga dengan
menggambarkan nenek moyangnya diharapkan mendapatkan kekuatan
saktinya.11

10
Daud Tanudirjo Aris, “Lukisan Dinding Goa Sebagai Salah Satu Unsur Upacara
Kematian”, Berkala Arkeologi, Vol. 6, No. 1, 1985, hlm. 4.
11
Jefri Sagala, “Patung dan Relief Di Situs Batu Gajah Simalungun: Tinjauan
Fungsi dan Makna” Skripsi pada Program Studi Arkeologi Universitas Jambi, 2021, hlm.
45.
34

Pada sebagian besar kubur-kubur batu atau tempat-tempat suci masa


prasejarah banyak dijumpai bentuk-bentuk arca yang sedang jongkok, bahkan
pada masa-masa klasik pun motif-motif manusia jongkok pada pahatan-
pahatan candi masih tampak. Manusia dalam posisi ini tidak hanya di jumpai
di Indonesia di luar pun banyak dijumpai bentuk pahatan manusia kangkang.
Bentuk kangkang ini bervariasi, ada manusia kangkang yang lututnya
setengah ditekuk, dengan posisi paha ke kanan dan ke kiri. Ada juga yang
posisinya terlentang kanan-kiri tetapi lutut tidak tertekuk. Bentuk manusia
kangkang yang dipahatkan pada kubur batu di Seputih termasuk bentuk
manusia kangkang yang lututnya tidak tertekuk. Dipercayai bahwa tingkat
kekuatannya lebih tinggi pada posisi lutut yang tertekuk.12 Hal ini dikarenakan
posisi alat vital yang merupakan pusat magis dapat ditampakkan secara
maksimal, terbukti dengan banyaknya bentuk-bentuk manusia kangkang
dengan pola demikian dijumpai pada berbagai benda megelitik. Selain pada
bangunan-bangunan megalit, bentuk seperti ini banyak dijumpai pada kain-
kain adat dari berbagai daerah seperti di Sumba atau pulau-pulau di Indonesia
Timur lainnya.
Penggambaran manusia kangkang pada berbagai kubur batu
merupakan perwujudan kongkrit dari si mati yang telah menduduki tempat
khusus di alam kematian, sehingga menjadi salah satu sarana untuk
menguhubungkan si mati dengan si hidup dalam mendapatkan kedamaian dan
kesuburan bagi segala hewan peliharaan serta tanaman.
Simbol manusia kangkang pada batu dolmen di Seputih memiliki
makna tersendiri. Juga dapat disimpulkan bahwa penduduk seputih memiliki
kepercayaan tersendiri terhadap batu tersebut. Pada saat ditemukan dulu di
bawah batu dolmen tersebut terdapat benda berupa manik-manik dan emas,
selain itu ada tulang yang terkubur di bawah batu tersebut.
Status : Status hukum : UU RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
hukum, Pemilik : Negara

Ayu Kusumawati, “Megalitik Sumbawa dan Peranannya dalam Persebaran


12

Megalit di Indonesia Timur” Jurnal Forum Arkeologi, Vol. 16, No. 3, 2003, hlm 9-10.
35

kepemilikan Pengelolah : Negara BPCB Jawa Timur dan DISPARBUD Kab. Jember
dan
Pengelolaan
Riwayat : Asal Seputih Kecamatan Mayang Kabupaten Jember
kepemilikan
Foto :

Gambar 3.3 Batu Kangkang dengan Nomor Inventaris


02/BTA/JBR/2021 dan pengukuran menggunakan roll meter.
Sumber: Koleksi Pribadi.
36

I. IDENTITAS OBJEK
Nama objek : Dolmen
Nomer : 003/BTS/JBR/2021
Inventaris
Kriteria : Situs
Objek
Nama tempat : Situs Seputih
penyimpanan
Jalan : Sumber Wadung
Dusun : Sumber Jeding
Desa : Seputih
Kecamatan : Mayang
Kabupaten : Jember
Provinsi : Jawa Timur
Ukuran Lebar : 130 cm
Tinggi : 170 cm
Tebal : 305 cm
Bahan / Bahan : Batu Sedimen
Warna Warna : Abu-abu kehitaman
Kondisi : Kondisi batu terbelah dan secara
keseluruhan aus karena alam.
Periode / Masa : Praaksara
Koordinat UTM : 8°12'11.1"S 113°47'58.8"E

Ketinggian : 240°SW
Batas-batas Utara : Sungai
Selatan : Gunung
Timur : Gunung
Barat : Sungai

II. DESKRIPSI
37

Deskrispsi : Lingkungan Situs Seputih berada di Dusun Sumber Jeding Desa Seputih yang
Lingkungan secara administratif merupakan salah satu bagian dari wilayah Kecamatan
Mayang Kabupaten Jember. Wilayah tersebut terletak di dataran tinggi,
tepatnya berada di lereng pegunungan. Topografi daerah tersebut dikelilingi
oleh kebun, sungai, dan sawah.
Berdasarkan penelitian Haribuana (2014) bahwa antara mata air dengan
tinggalan arkeologi memiliki kaitan yang sangat erat, dalam hal ini mata air
memiliki fungsi ritual terhadap tinggalan arkeologi, sehingga masyarakat
pendukung melakukan upaya untuk melestarikan sumber-sumber mata air
tersebut.
Deskripsi : Batu Dolmen dengan nomor inventaris 003/BTS/JBR/2021
Objek merupakan batu megalitik besar dimana pada permukaan batunya terdapat
coretan-coretan yang dipahat oleh manusia pada masa lampau yang memiliki
simbol-simbol tertentu. Coretan tersebut berbentuk garis horizontal sebanyak
empat garis. Simbol tersebut tentunya memiliki makna tertentu pada masa
lampau. Letaknya berada di tengah lahan perkebunan. Dolmen tersebut
berupa balok besar. Batu ini ditopang dengan beberapa batu (kaki).
Kondisinya terbelah menjadi dua, secara keseluruhan juga aus karena alam.
Batu Dolmen ini berbahan batuan sedimen. Batu ini memiliki warna abu-abu
kehitaman.
Latar sejarah : Keberagaman megalit di Indonesia dapat ditinjau dari dua aspek,
menyangkut frekuensi distribusi dari masing-masing wilayah maupun dari
keanekaragaman bentuk megalit. Data yang terkumpul dari hasil penelitian
maupun beberapa literatur menunjukkan bahwa secara administratif situs-
situs megalitik Indonesia mempunyai persebaran sekitar 22 dari 35 provinsi,
artinya lebih dari 60% wilayah Indonesia pernah dihuni oleh kebudayaan
megalitik.13 Berdasarkan identifikasi megalit yang pernah ditemukan di
seluruh daerah Indonesia telah diklasifikasikan secara morfologis jenis-jenis

Bagyo Prasetyo, “Persebaran dan Bentuk-bentuk Megalitik Indonesia: Sebuah


13

Pendekatan Kawasan” dalam Kalpataru Majalah Arkeologi, Vol. 22, No. 22, 2013, hlm.
91.
38

megalit antara satu dengan lainnya. Morfologi umum bentuk megalit


dikategorikan dalam jenis batu tegak (menhir), arca batu, meja batu (dolmen),
monolit, punden berundak, peti batu, tempayan batu, kubur batu (sarkofagus),
kursibilik batu, lupang batu, dll.
Tradisi pendirian bangunan-bangunan megalitik selalu berdasarkan
pada kepercayaan akan adanya hubungan yang erat anatara yang hidup dengan
yang mati, terutama kepercayaan terhadap adanya pengaruh kuat dari yang
telah mati terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman. Jasa
dari kerabat yang telah mati diabadikan dengan mendirikan bangunan batu
besar. Batu ini kemudian menjadi media penghormatan, tempat singgah dan
sekaligus menjadi lambang si mati.
Salah satu wujud dari objek megalit adalah meja batu (dolmen).
Dolmen merupakan salah satu hasil kebudayaan masa megalitik muda.
Dolmen berasal dari bahasa Breton daerah Perancis sekarang, dol yaitu meja
dan men adalah batu, jadi dolmen berarti meja batu.14 Bangunan megalit ini
terdiri dari meja batu besar, susunannya menyerupai sebuah meja batu besar,
daun meja ditopang oleh beberapa batu besar yang berfungsi sebagai kaki
meja. Dolmen dibuat untuk kedatangan roh atau tempat persajian. Dolmen
berfungsi sebagai pelinggih di kalangan masyarakat megalitik yang telah maju
serta digunakan sebagai tempat duduk kepala suku atau raja. Dolmen
dipandang masyarakat sebagai tempat keramat dijadikan sebagai tempat
untuk melakukan pertemuan-pertemuan atau upacara-upacara yang
berhubungan dengan pemujaan arwah leluhur.15
Objek megalit ini banyak ditemukan di wilayah Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Kepulauan Sunda Kecil (Sumba, Sabu, Flores), Maluku, dan
Papua. Pembahasan tentang dolmen dilakukan oleh Von Heine Geldern terkait
dengan klasifikasi awal dolmen, yaitu sebagai tempat pemujaan dan sebagai

14
Sagimun, loc.cit.
15
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, loc.cit.
39

tempat penguburan.16 Selain itu, Ayu Kusumawati mengelompokkan dolmen


berdasarkan ukuran tinggi kaki penopangnya, hal tersebut didasarkan pada
persebaran dolmen-dolmen di Sumba. Selanjutnya ia berpendapat bahwa
dolmen dengan penopang kaki yang pendek atau tanpa penopang
kemungkinan merupakan bentuk dolmen awal, dibandingkan dengan dolmen
yang ditopang oleh tiang-tiang yang lebih tinggi dimana hal tersebut
merupakan bentuk hasil dari perkembangannya.
Haris Sukendar juga membagi dolmen yang didasari atas
penelitiannya terhadap dolmen-dolmen di daerah Sumatera, Jawa, dan Sumba
menjadi dua tipe utama. Pertama tipe Indonesia Barat yang dicirikan dengan
bentuk dolmen yang sederhana dengan bagian atap tidak dikerjakan serta
ditopang oleh sejumlah batu yang tidak dikerjakan. Dolmen seperti ini banyak
dijumpai di Sumatera, Jawa, Korea, dan Jepang. Kedua adalah Indonesia
Timur, dengan bentuk yang lebih maju, yaitu berupa lempengan batu
tebaldengan tingkat pengerjaan yang lebih maksimal dengan ditopang
sejumlah tiang batu. Jenis tersebut banyak ditemukan di wilayah Indonesia
Timur.17 Kadang sulit untuk membedakan dolmen tipe ini dengan bongkahan
batu alami.
Bagyo Prasetyo membagi dolmen menjadi tiga bagian berdasarkan
atas morfologinya (Prasetyo, 2010). Tipe pertama disebut dolmen tanpa
penopang (unsupported cap stone type). Dolmen ini dicirikan oleh sebongkah
batu baik dikerjakan maupun tidak ditopang oleh tiang-tiang penyangga batu.
Tipe kedua disebut hibrid dolmen (dolmen semu) yang diklasifikasikan
menjadi beberapa subtipe. Subtipe 1 dicirikan dengan bongkahan batu seperti
meja (tutup) yang ditopang oleh empat tiang batu yang dikelilingi oleh
dinding yang terbuat dari papan batu. Subtipe 2 ditandai oleh lempengan batu

16
Heine Geldern, Phrehistoric Research in the Netherlands Indies (New York:
Cvience and Scientists in the Netherlands Indies, 1945).
17
Haris Sukendar, “Tinjauan tentang Peninggalan Megalitik Bentuk Dolmen di
Indonesia” Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional, Jakarta, 1983, hlm. 3.
40

sebagai tutup yang ditopang oleh batu bebrbentuk kubus yang beronda di
bagian dalamnya. Subtipe 3 dicirikan dengan adanya lantai dan dinding dari
papan batu yang menopang bongkahan batu besar setengah silinder di bagian
atasnya. Masyarakat seringkali menyebutnya sebagai kubur pandusa yang
banyak ditemukan di wilayah Bondowoso, Jawa Timur. Subtipe 4 berupa
lempengan-lempengan batu yang didukung oleh potongan-potongan batu di
sekat-sekat membentuk sebuah kamar. Bangunan ini sering disebut sebagai
bilik batu. Pada salah satu sisinya difungsikan sebagai pintu masuk yang
diberi penutup dari lempengan batu, bebrapa diantaranya mengandung
lukisan-lukisan geometris atau berwarna merah pada dinding-dinding
biliknya. Tipe ketiga bentuk meja, merupakan dolmen yang paling umum
ditemukan di Indonesia. Ada tiga variasi bentuk yang meliputi, subtipe 1
dicirikan dengan bongkahan batu (monolit) yang tidak dikerjakan dengan
sejumlah batu sebagai penopangnya. Subtipe 2 dicirikan dalam bentuk jamur
(mushroom-shaped dolmen). Subtipe 3 berupa batu persegi panjang di bagian
atasnya yang ditopang oleh tiang-tiang batu, yang dihiasi dengan berbagai
hiasan tiang batu dia atasnya.
Dolmen di Seputih dengan nomor inventaris 03/BTS/JBR/2021
merupakan hasil kebudayaan pada masa praaksara yang memiliki ciri khusus
pada permukaannya terdapat lukisan geometri berupa garis horizontal
sebanyak 2 garis. Mengacu pada klasifikasi yang dilakukan oleh Bagyo
Prasetyo Dolmen ini termasuk ke dalam klasifikasi hibrid dolmen Subtipe 4.
Status : Status hukum : UU RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
hukum, Pemilik : Negara
kepemilikan Pengelolah : BPCB Jawa Timur dan DISPARBUD Kab. Jember
dan
Pengelolaan
Riwayat : Asal Seputih Kecamatan Mayang Kabupaten Jember
kepemilikan
41

Foto :

Gambar 3.4 Dolmen dengan Nomor Inventaris 03/BTS/JBR/2021.


Sumber: Koleksi Pribadi.

Gambar 3.5 Bongkahan Dolmen dengan Nomor Inventaris


03/BTS/JBR/2021.
Sumber: Koleksi Pribadi.
42

I. IDENTITAS OBJEK
Nama objek : Sarkofagus
Nomer : 04/BTA/JBR/2021
Inventaris
Kriteria : Benda
Objek
Nama tempat : Situs Seputih
penyimpanan
Jalan : Sumber Wadung
RT/RW :
Dusun : Sumber Jeding
Desa : Seputih
Kecamatan : Mayang
Kabupaten : Jember
Provinsi : Jawa Timur
Ukuran Lebar : 77 cm
Wadah Tinggi : 57 cm
Tebal bibir : 10 cm
Diameter Palung : 38,5 cm
Dalam Palung : 15 cm
Ukuran Tutup Panjang : 130 cm
Lebar : 73 cm
Tinggi : 61,5 cm
Bahan / Bahan : Batu Andesit
Warna Warna : Abu-abu kecoklatan
Kondisi : Secara keseluruhan utuh dan
aus karena alam.
Periode / Masa : Praaksara
Koordinat UTM : 8°12'07.1"S 113°47'53.4"E
43

Ketinggian : 112 E
Luas 140.400 cm2
Batas-batas Utara : Jalan
Timur : Sungai
Selatan : Gunung
Barat : Gunung

II. DESKRIPSI
Deskrispsi : Lingkungan Situs Seputih berada di Dusun Sumber Jeding Desa Seputih yang
Lingkungan secara administratif merupakan salah satu bagian dari wilayah Kecamatan
Mayang Kabupaten Jember. Wilayah tersebut terletak di dataran tinggi,
tepatnya berada di lereng pegunungan. Topografi daerah tersebut dikelilingi
oleh kebun, sungai, dan sawah.
Berdasarkan penelitian Haribuana (2014) bahwa antara mata air
dengan tinggalan arkeologi memiliki kaitan yang sangat erat, dalam hal ini
mata air memiliki fungsi ritual terhadap tinggalan arkeologi, sehingga
masyarakat pendukung melakukan upaya untuk melestarikan sumber-sumber
mata air tersebut.
Deskripsi : Sarkofagus dengan nomor inventaris 04/BTS/JBR/2021 merupakan
Objek kubur batu yang terdiri dari dua balok batu besar, dimana masing-masing
berfungsi sebagai wadah dan penutup. Secara keseluruhan masih utuh. Benda
ini memiliki warna Abu-abu kecoklatan. Pada bagian wadahnya memiliki
palung (lubang) dengan diameter 38,5 cm, apabila dilihat dari teksturnya
terlihat bahwa palung dan bentuk secara keseluruhannya dibuat dengan cara
dipahat menggunakan alat tertentu. Pada bagian lempengan atau tutup
kuburnya hampir menyerupai trapesium. Benda ini berbahan batuan andesit.
Latar sejarah : Tradisi pendirian bangunan-bangunan megalitik selalu berdasarkan
pada kepercayaan akan adanya hubungan yang erat anatara yang hidup
dengan yang mati, terutama kepercayaan terhadap adanya pengaruh kuat dari
yang telah mati terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman.
44

Jasa dari kerabat yang telah mati diabadikan dengan mendirikan bangunan
batu besar. Batu ini kemudian menjadi media penghormatan, tempat singgah
dan sekaligus menjadi lambang si mati.
Menurut konsep von Heine Geldern tentang penyebaran kebudayaan
megalitik di Indonesia yang terjadi dalam dua gelombang. Pertama, megalitik
tua yang berusia kurang lebih 2500-1500 SM dan megalitik muda yang
berusia kira-kira milenium pertama sebelum masehi. Pada pembedaan
megalitik tua dan megalitik muda, von Heine Geldern memasukkan megalitik
tua ke masa neolitikum. Sedangkan megalitik muda berkembang dalam masa
perundagian yang memperlihatkan bentuk-bentuk kubur yang diantaranya
peti batu, dolmen, sarkofagus, dan bejana batu.
Salah satu objek peninggalan megalitik muda adalah sarkofagus.
Sarkofagus berasal dari bahasa Yunani, yaitu sarx yang berarti daging dan
phagein yang berarti memakan. Secara harfiah sarkofagus berarti memakan
daging, tetapi dalam pengertiannya sarkofagus merupakan tempat dimana
daging akan menghilang sedikit demi sedikit. Sarkofagus berupa peti kubur
yang terbuat dari batu. Pada umumnya sarkofagus terbagi menjadi dua
bagian, pertama bagian wadah yang berfungsi sebagai tempat menyimpan
mayat, kedua bagian atas yang berfungsi sebagai penutupnya. Sarkofagus
merupakan peti batu untuk menguburkan tokoh-tokoh masyarakat yang
dianggap mempunyai wibawa atau sebagai leluhur, jadi benda ini secara
khusus untuk golongan tertentu.18 Tujuan dibuat peti kubur tersebut yaitu
agar orang yang meninggal mencapai keselamatan di dunia arwah.
Sarkofagus terdiri atas wadah dan tutup yang sama dan sebangun,
yang masing-masing memiliki rongga. Pinggiran rongga yang tebal pada
umumnya garis luar dan garis dalam yang sejajar dengan sudut-sudut yang
tajam atau tumpul. Tetapi kadang ada pula misalnya garis luar rongganya
menyudut, tetapi sudut terbentuk di bagian garis dalamnya. Pada umumnya
tutup sarkofagus benar-benar setangkup jika ditempatkan di atas wadah,

18
Sri Ana Handayani, loc.cit.
45

tetapi kadang-kadang ada yang melebihi ukuran wadahnya sehingga


pinggiran tutup menjorok keluar dari pinggiran wadahnya.
Sarkofagus memiliki beberapa bidang yang diantaranya bidang
samping, bidang depan, bidang belakang, bidang atas (pada tutup) dan bidang
bawah (pada wadah). Bidang depan adalah sisi letak kepala mayat, dimana
pada bidang ini memiliki bagian yang lebih lebar dari bidang belakang
sebagai sisi letak ujung kaki.
Penguburan dengan sarkofagus diselenggarakan dengan tatacara dan
upacara tertentu. Bukti-bukti yang diteukan dari hasil penelitian dan
ekskavasi memberikan deskripsi bagaimana sebagian dari pelaksanaan
penguburan itu dilangsungkan. Seperti yang dijelaskan di awal bahwasannya
hanya golongan tertentu yang menggunakan penguburan semacam ini, sebab
pembuatan sarkofagus dan pengangkutan bahan-bahannya memerlukan
tenaga dan waktu yang tidak sedikit.
Penempatan mayat dalam sarkofagus pada umumnya dalam sikap
terlipat atau menekuk. Penempatan mayat ini dalam sikap lateral lutut ditarik
ke aatas sampai ke pinggang, lengan bawah disejajarkan dengan paha dan
kepala agak merunduk, sedangkan pada sikap punggung dilipat sampai ke
dagu, kedua tangan menyilang di dada dan kepala agak tunduk.
Sikap terlipat menurut para ahli dalam hubungan dengan adat
penguburan sarkofagus ini, mengandung maksud memberi sikap kepada
mayat seolah orang yang mati dalam keadaan siap untuk lahir kembali di
suatu kehidupan baru. Pendapat lain mengenai sikap terlipat ini oleh James
dan Kruyt yaitu untuk mencegah kehadiran kembali si mati yang akan
mengganggu orang-orang yang masih hidup.19
Orientasi sarkofagus pada umumnya adalah dengan depan (sisi letak
pada mayat) berada di sebelah puncak pegunungan atau puncak bukit.
Orientasi sarkofagus atau penempatan kepala si mati di arah puncak-puncak
bukit atau pegunungan menunjukkan suatu segi kepercayaan para pendukung

19
Artanegara, loc.cit.
46

adat sarkofagus, yaitu bahwa daerah puncak gunung merupakan tempat


tujuan arwah atau dianggap sebagai dunia arwah. Arah sarkofagus-
sarkofagus telah menyatakan, bahwa para penduduk adat sarkofagus
mengikuti ketentuan penempatan kepala mayat di sisi gunung atau
pegunungan yang dilihat sebagai tempat tinggal arwah, tetapi tentang arah
hadap adat muka (seperti ke atas atau kesamping) dipentingkan. Maka di
lingkungan pendukung adat sarkofagus, di antara saat ada seseorang yang
meninggal, dalam hal ini dikhususkan bagi golongan terkemuka dalam
kelompok masyarakat.
Sarkofagus banyak dijumpai di daerah Bali, berdasarkan penelitian-
penelitian yang dilakukan oleh R.P. Soejono sejak tahun 1960 dalam
membuat klasifikasi dan tipologinya, sarkofagus di Bali berkembang pada
masa manusia telah mengenal logam, dengan dasar temuan benda-benda pada
bekal kuburnya sebagian besar terbuat dari perunggu. Soejono telah membagi
sarkofagus Bali atas 3 tipe, a) Tipe A (tipe Bali) berukuran kecil dengan
variasi antara 80-148 cm serta bertonjolan di bidang depan dan di bidang
belakang wadah dan tutup; b) Tipe B (Tipe Cacang) berukuran sedang
dengan variasi antara 150-170 cm tanpa tonjolan; c) Tipe C (Tipe Manuba)
berukuran besar dengan variasi antara 200-268 cm bertonjolan masing-
masing bidang wadah dan tutup.20
Sarkofagus dengan nomor inventaris 04/BTA/JBR/2021 merupakan
Sarkofagus dengan Tipe B atau tipe Cacang (sedang), memiliki pola dasar
berukuran sedang tanpa tonjolan. Pada bagian pinggiran sarkofagus
dipahatkan aluran, aluran ini berfungsi sebagai tempat tali yang digunakan
untuk memudahkan penempatan tutup di atas wadahnya. Sarkofagus tipe B
hanya dapat memuat mayat yang diletakkan secara terlipat, walaupun dari
luar tempatnya seolah-olah dapat memuat mayat secara sikap terbujur.
Biasanya panjang sarkofagus tipe B ±150 – 161 cm. Sarkofagus di Seputih
kemungkinan merupakan hasil kebudayaan pada masa megalit muda karena

20
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, loc.cit.
47

bentuknya yang masih belum beraturan dan diperkirakan alat-alat yang


digunakan sangat sederhana.
Status : Status hukum : UU RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
hukum, Pemilik : Negara
kepemilikan Pengelolah : BPCB Jawa Timur dan DISPARBUD Kab. Jember
dan
Pengelolaan
Riwayat : Asal Desa Seputih Kecamatan Mayang Kabupaten Jember
kepemilikan
Foto :

Gambar 3.6 Wadah Sarkofagus dengan Nomor Inventaris


04/BTA/JBR/2021.
Sumber: Koleksi Pribadi.
48

Gambar 3.7 Tutup Sarkofagus dengan Nomor Inventaris


04/BTA/JBR/2021.
Sumber: Koleksi Pribadi.
49

I. IDENTITAS OBJEK
Nama objek : Lumpang Batu
Nomer : 05/BTA/JBR/2021
Inventaris
Kriteria : Benda
Objek
Nama tempat : Situs Seputih
penyimpanan
Desa : Tegal Waru
Kecamatan : Mayang
Kabupaten : Jember
Provinsi : Jawa Timur
Tinggi : 31 cm
Tebal bibir : 15 cm
Diameter : 165 cm
Dalam Palung : 16 cm
Bahan / Bahan : Batu Andesit
Warna Warna : Hitam
Kondisi : Secara keseluruhan utuh, tetapi bibir palung aus
karena alam.
Periode / Masa : Praaksara
Koordinat UTM : 8°11'42.3"S 113°48'18.3"E

Ketinggian : 292°W
Luas 140.400 cm2
Batas-batas Utara : Sawah
Timur : Sungai
Selatan : Sungai
Barat : Sawah
50

II. DESKRIPSI
Deskrispsi : Lingkungan Tegal Waru berada di Kecamatan Mayang Kabupaten Jember.
Lingkungan Wilayah tersebut terletak di dataran tinggi, tepatnya berada di lereng
pegunungan. Topografi daerah tersebut dikelilingi oleh sungai, sawah, dan
rumah penduduk.
Berdasarkan penelitian Haribuana (2014) bahwa antara mata air
dengan tinggalan arkeologi memiliki kaitan yang sangat erat, dalam hal ini
mata air memiliki fungsi ritual terhadap tinggalan arkeologi, sehingga
masyarakat pendukung melakukan upaya untuk melestarikan sumber-sumber
mata air tersebut.
Deskripsi : Lumpang Batu dengan nomor inventaris 05/BTA/JBR/2021
Objek merupakan bongkahan batu dengan lubang pada bagian atas permukaannya.
Lubang lumpang tersebut berjumlah satu. Benda ini memiliki warna hitam
dan berbentuk setengah lingkaran. Benda ini berbahan batuan andesit.
Latar sejarah : Penelitian pada bidang arkeologi telah membuktikan bahwa budaya
megalitik mempunyai daerah penyebaran yang luas. Hasil kebudayaan tradisi
megalitik baik berupa monumen ataupun ritusnya, pada hakekatnya
berpangkal pada suatu konsepsi kepercayaan memuja roh nenek moyang.
Antara aktivitas pemujaan dengan monumen megalit merupakan suatu
kesatuan. Tetapi pemujaan roh nenek moyang tidak selalu diabadikan dengan
monumen megalit, tetapi dapat dikatakan sebagai manifestasi dari
kebudayaan megalit.
Berkaitan dengan pertanian, monumen megalit juga berperan penting
dalam ritual meminta hujan. Hal ini merupakan gambaran kehidupan
masyarakat pertanian pada masa prasejarah (bercocok tanam). Pertanian
semakin terorganisir semenjak manusia hidup menetap, meskipun dengan
teknologi pertanian yang masih sederhana. Dalam bercocok tanam masih
menggunakan peralatan sederhana. Beberapa jenis tanaman telah
dibudidayakan sebagai usaha pemenuhan kebutuhan hidup untuk melepaskan
ketergantungan dari alam.
51

Pada masa bercocok tanam, binatang juga telah dijinakkan dan


dipelihara untuk mebantu dalam hal pertanian, kebutuhan hidup, serta
kepentingan sosial dan religius. Untuk itu manusia tidak lagi hidup
berpindah-pindah tempat dan mengumpulkan makanan. Masa bercocok
tanam memperlihatkan bahwa manusia sudah membudidayakan berbagai
kebutuhan hidupnya dari tingkat yang paling sederhana sampai berkembang
ke sistem yang lebih teratur. Pada masa bercocok tanam inilah muncul hasil-
hasil kebudayaan yang bersifat monumen antara lain berbentuk bangunan
megalit yang banyak ditujukan kepada pemujaan terhadap arwah nenek
moyang, yang dianggap dapat memberikan suatu kekuatan supernatural
dalam kehidupan dan mendatangkan kesuburan bagi pertanian.
Menurut Geertz, keadaan geografis dan geologis Indonesia sangat
mendukung perkembangan budaya bercocok tanam. Iklim tropis
memudahkan ketersediaan bahan-bahan pertanian, sehingga pertanian sudah
dikenal Indonesia sejak sebelum Masehi.21 Tanahnya yang subur sangat
sesuai untuk keperluan bercocok tanam. Keberadaan jenis batuan tertentu
juga sangat mendukung kegiatan bercocok tanam yaitu dengan dibuatnya
berbagai artefak batu yang digunakan untuk bercocok tanam. Bukti-bukti
artefak batu yang berkaitan dengan aktivitas bercocok tanam merupakan
petunjuk bahwa lokasi tersebut merupakan situs dari masa bercocok tanam.
Tradisi bercocok tanam masa sekarang yang masih melakukan
pembukaan dan pengolahan lahan secara sederhana, pemakaian jenis
tanaman, serta upacara tradisional yang masih dilaksanakan, mengingatkan
kita pada tradisi bercocok tanam masa Prasejarah. Pembukaan lahan dengan
pembabatan dan pembakaran hutan merupakan cara yang biasa dilakukan
untuk membuka dan mengolah lahan pertanian. Jenis tanaman yang biasa

21
Clifford Geertz, Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi Indonesia
(Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1993), hlm. 38.
52

didomestisasikan pada masa bercocok tanam adalah ubi, kacang-kacangan,


padi-padian, dan sayuran.22
Bukti adanya pertanian di Indonesia dapat dilihat dari hasil
pertanggalan karbon, menunjukkan bahwa budidaya padi telah dilakukan
manusia di gua Ulu Leang I (Sulawesi Selatan) berupa sisa-sisa butiran dan
sekampadi yang berasosiasi dengan gerabah dalam kurun waktu 2160-1700
SM. Selain padi, jenis tanaman lain seperti buah-buahan dan kacang-
kacangan telah dibudidayakan di guas Bui Cerivato, Uai Bobo I dan II, Lie
Siri (Timor Leste), dan Ulu Leang I. Jenis tanaman yang dibudidayakan dari
species Celties dan Ino corpus.23
Pada masa prasejarah hanya ada dua macam sereal yang diketahui di
Asia Tenggara yaitu padi dan jawawut (biji-bijian). Jewawut merupakan
tanaman yang pada awalnya didomestikasi dari benua Afrika dan Asia.
Jewawut jenis Pearl millet berasal dari wilayah tropis Afrika Barat dan jari
millet berasal dari wilayah Uganda atau daerah sekitarnya. Penyebaran
tanaman jewawut dimulai dari dataran tinggi Afrika, dibawa ke India sekitar
3.000 tahun yang lalu dan selanjutnya menyebar ke Benua Eropa, tanman
jewawut selanjutnya menyebar ke benua Asia. Sejak saat didistribusikannya
tanaman jewawut ini telah menjadi bagian dari sistem pangan yang cukup
penting dan diperhitungkan dalam perdagangan. Akar sejarah tertua tanman
jewawut dapat ditemukan di Cina, dimana tanaman ini dianggap sebagai
tanaman suci. Salah satu tulisan paling awal yang tercatat berasal dari
2800SM memberikan informasi tentang penyimpanan tanaman tersebut
secara khusus.

22
Santoso Soegondho, “Awal Pertanian di Indonesia: Sebuah Analisis Ekologi
Budaya”, Analisis Hasil Penelitian Arkeologi III (Kajian Agrikultur Berdasarkan Data
Arkeologi), Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional – Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1989, hlm. 42.
23
Bagyo Prasetyo, “Lingkungan dan Awal Kegiatan Pertanian: Studi Kasus
Beberapa Situs Gua di Indonesia” Analisis Hasil Penelitian Arkeologi III (Kajian
Agrikultur Berdasarkan Data Arkeologi), Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional –
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, hlm. 142.
53

Pada awal zaman prasejarah, orang dari India Utara juga telah
melakukan budidaya tanaman jewawut. Distribusi jewawut saat itu terus
berkembang sampai daerah timur tengah dan Afrika Utara dimana tanaman
ini telah menjadi bahan makanan poko dan lebih lanjut menjadi makanan
khas diet untuk daerah Sumeria sekitar 2500 SM. Selain distribusi jewawut
juga meingkat melalui perdagangan antara Eritrea dan Somalia sekitar tahun
3000 SM. Orang Mesir juga awalnya belajar dari orang Afrika lainnya
tentang teknologi pengolahan jewawut, karena tanaman ini mampu tumbuh
dan berkembang dengan baik di lahan yang sangat kering, dimana gandum
dan barley tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.24
Jewawut telah dikenal oleh sebagian masyarakat Indonesia sejak
1000 SM diantaranya pulau Buru, Jember, Sulawesi Selatan seperti
Enrekang, Sidrap, Maros, dan di Sulawesi Barat, Polewali Mandar, Majene,
dan daerah lainnya.25 Sedangkan kultivasi padi di Asia Tenggara telah ada
pada masa prasejarah. Padi merupajan tanaman domestikasi pertama di
kawasan beriklim Muzon, suatu daerah yang memanjang dari wilayah timur
laut India sampai sebelah utara Indocina hingga mencapai sebelah selatan
Cina.26
Secara umum pertanian atau bercocok tanam ialah proses produksi
yang didasarkan atas pertumbuhan tanaman, yang dibedakan berdasarkan dua
macam ekosistem dinamika yang berlainan, yaitu; a) perladangan pada
dasarnya berlangsung secara berputar, dari tanaman ke tanaman dan
langsung, seperti pada hutan tropis atau meniru alam sekitarnya; dan b)
persawahan adalah usaha menaikkan konsumsi pangan mansuia dengan cara
mengolah kembali alam sekitarnya.27

24
Muhammad Azral, dkk., Teknologi Budidaya Tanaman Jewawut (Yogyakarta:
CV. Cakrawala, 2020), hlm. 5-6.
25
Ibid., hlm. 53.
26
Bagyo Prasetyo, op.cit., hlm. 143.
27
Clifford Geertz, op.cit., hlm. 15-16.
54

Masyarakat Jember yang berlatar pada kebudayaan Jawa kuno pada


sistem pertaniannya tidak terlepas dari upacara ritual, mulai dari mengolah
tanah, mengambil hasil panen, sampai penyimpanan hasil panen. Di Jember
telah ditemukan hasil kebudayaan megalitik berupa lumpang batu yang
diasosiasikan dengan pertanian pada masa praaksara. Penggunaan lumpang
batu untuk pengolahan hasil panen bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
hidup dari hasil pertanian. Lumpang batu yang ditemukan terdiri dari batu
andesit teknik pengerjaannya juga terlihat sangat sederhana.
Bentuk lumpang batu di Tegal Waru Jember adalah bundar.
Penggunaan lumpang batu dapat dilihat dari adanya bekas pemakaian pada
bagian permukaan lubang yang tampak halus dan memperlihatkan keausan
pada bagian tepi dan dasar lubang yang cenderungmelebar dan halus akibat
pemakaian yang intensif. Lumpang batu yang ditemukan di Jember ini
memiliki satu lubang. Lingkungan penemuan lumpang batu yang
diindikasikan sebagai alat pengolah hasil pertanian, pada umumnya berada di
lingkungan yang sesuai dengan kondisi pertanuan. Bentang lahan untuk
pertanian dapat berupa lereng, lembah, atau dataran landai.
Status : Status hukum : UU RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
hukum, Pemilik : Negara
kepemilikan Pengelola : BPCB Jawa Timur dan DISPARBUD Kabupaten Jember
dan
Pengelolaan
Riwayat : Asal Desa Seputih Kecamatan Mayang Kabupaten Jember
kepemilikan
Foto :
55

Gambar 3.8 Lumpang Batu dengan Nomor Inventaris


05/BTA/JBR/2021 dari sisi samping.
Sumber: Koleksi Pribadi.

Gambar 3.9 Lumpang Batu dengan Nomor Inventaris


05/BTA/JBR/2021 dari sisi atas.
Sumber: Koleksi Pribadi.
56

I. IDENTITAS OBJEK
Nama objek : Dolmen
Nomer : 06/BTS/JBR/2021
Inventaris
Kriteria Objek : Situs
Nama tempat : Situs Seputih
penyimpanan
Jalan : Sumber Wadung
Dusun : Sumber Jeding
Desa : Seputih
Kecamatan : Mayang
Kabupaten : Jember
Provinsi : Jawa Timur
Ukuran Panjang : 115 cm
Lebar : 96 cm
Tinggi : 31 cm
Bahan / Bahan : Batu Sedimen
Warna Warna : Abu-abu
Kondisi : Secara keseluruhan utuh, tetapi
sebagian aus karena alam.
Periode / Masa : Praaksara
Koordinat UTM : 8°12'06.8"S 113°47'51.4"E

Ketinggian : 320°NW
Batas-batas Utara : Gunung
Timur : Sungai
Selatan : Gunung
Barat : Gunung
II. DESKRIPSI
57

Deskrispsi : Lingkungan Situs Seputih berada di Dusun Sumber Jeding Desa Seputih
Lingkungan yang secara administratif merupakan salah satu bagian dari wilayah
Kecamatan Mayang Kabupaten Jember. Wilayah tersebut terletak di dataran
tinggi, tepatnya berada di lereng pegunungan. Topografi daerah tersebut
dikelilingi oleh kebun, sungai, dan sawah.
Berdasarkan penelitian Haribuana (2014) bahwa antara mata air
dengan tinggalan arkeologi memiliki kaitan yang sangat erat, dalam hal ini
mata air memiliki fungsi ritual terhadap tinggalan arkeologi, sehingga
masyarakat pendukung melakukan upaya untuk melestarikan sumber-
sumber mata air tersebut.
Deskripsi : Batu Dolmen dengan nomor inventaris 05/BTS/JBR/2021
Objek merupakan batu megalitik besar. Letaknya berada di tengah lahan
perkebunan. Dolmen tersebut berupa balok besar. Batu ini ditopang dengan
beberapa batu (kaki). Batu Dolmen ini berbahan batuan sedimen. Batu ini
memiliki warna abu-abu.
Latar sejarah : Keberagaman megalit di Indonesia dapat ditinjau dari dua aspek,
menyangkut frekuensi distribusi dari masing-masing wilayah maupun dari
keanekaragaman bentuk megalit. Data yang terkumpul dari hasil penelitian
maupun beberapa literatur menunjukkan bahwa secara administratif situs-
situs megalitik Indonesia mempunyai persebaran sekitar 22 dari 35 provinsi,
artinya lebih dari 60% wilayah Indonesia pernah dihuni oleh kebudayaan
megalitik.28 Berdasarkan identifikasi megalit yang pernah ditemukan di
seluruh daerah Indonesia telah diklasifikasikan secara morfologis jenis-
jenis megalit antara satu dengan lainnya. Morfologi umum bentuk megalit
dikategorikan dalam jenis batu tegak (menhir), arca batu, meja batu
(dolmen), monolit, punden berundak, peti batu, tempayan batu, kubur batu
(sarkofagus), kursibilik batu, lupang batu, dll.
Tradisi pendirian bangunan-bangunan megalitik selalu berdasarkan
pada kepercayaan akan adanya hubungan yang erat anatara yang hidup

28
Bagyo Prasetyo, loc.cit.
58

dengan yang mati, terutama kepercayaan terhadap adanya pengaruh kuat


dari yang telah mati terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan
tanaman. Jasa dari kerabat yang telah mati diabadikan dengan mendirikan
bangunan batu besar. Batu ini kemudian menjadi media penghormatan,
tempat singgah dan sekaligus menjadi lambang si mati.
Salah satu wujud dari objek megalit adalah meja batu (dolmen).
Dolmen merupakan salah satu hasil kebudayaan masa megalitik muda.
Dolmen berasal dari bahasa Breton daerah Perancis sekarang, dol yaitu meja
dan men adalah batu, jadi dolmen berarti meja batu.29 Bangunan megalit ini
terdiri dari meja batu besar, susunannya menyerupai sebuah meja batu
besar, daun meja ditopang oleh beberapa batu besar yang berfungsi sebagai
kaki meja. Dolmen dibuat untuk kedatangan roh atau tempat persajian.
Dolmen berfungsi sebagai pelinggih di kalangan masyarakat megalitik yang
telah maju serta digunakan sebagai tempat duduk kepala suku atau raja.
Dolmen dipandang masyarakat sebagai tempat keramat dijadikan sebagai
tempat untuk melakukan pertemuan-pertemuan atau upacara-upacara yang
berhubungan dengan pemujaan arwah leluhur.30
Objek megalit ini banyak ditemukan di wilayah Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Kepulauan Sunda Kecil (Sumba, Sabu, Flores), Maluku, dan
Papua. Pembahasan tentang dolmen dilakukan oleh Von Heine Geldern
terkait dengan klasifikasi awal dolmen, yaitu sebagai tempat pemujaan dan
sebagai tempat penguburan.31 Selain itu, Ayu Kusumawati
mengelompokkan dolmen berdasarkan ukuran tinggi kaki penopangnya, hal
tersebut didasarkan pada persebaran dolmen-dolmen di Sumba.32
Selanjutnya ia berpendapat bahwa dolmen dengan penopang kaki yang

29
Sagimun, loc.cit.

30
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, loc.cit.

31
Heine Geldern, loc.cit.
32
Ayu Kusumawati, loc.cit.
59

pendek atau tanpa penopang kemungkinan merupakan bentuk dolmen awal,


dibandingkan dengan dolmen yang ditopang oleh tiang-tiang yang lebih
tinggi dimana hal tersebut merupakan bentuk hasil dari perkembangannya.
Haris Sukendar juga membagi dolmen yang didasari atas
penelitiannya terhadap dolmen-dolmen di daerah Sumatera, Jawa, dan
Sumba menjadi dua tipe utama. Pertama tipe Indonesia Barat yang dicirikan
dengan bentuk dolmen yang sederhana dengan bagian atap tidak dikerjakan
serta ditopang oleh sejumlah batu yang tidak dikerjakan. Dolmen seperti ini
banyak dijumpai di Sumatera, Jawa, Korea, dan Jepanh. Kedua adalah
Indonesia Timur, dengan bentuk yang lebih maju, yaitu berupa lempengan
batu tebaldengan tingkat pengerjaan yang lebih maksimal dengan ditopang
sejumlah tiang batu. Jenis tersebut banyak ditemukan di wilayah Indonesia
Timur.33 Kadang sulit untuk membedakan dolmen tipe ini dengan
bongkahan batu alami.
Bagyo Prasetyo membagi dolmen menjadi tiga bagian berdasarkan
atas morfologinya. Tipe pertama disebut dolmen tanpa penopang
(unsupported cap stone type). Dolmen ini dicirikan oleh sebongkah batu
baik dikerjakan maupun tidak ditopang oleh tiang-tiang penyangga batu.
Kadang cukup sulit untuk membedakan dolmen tipe ini dengan bongkahan
batu alami. Tipe kedua disebut hibrid dolmen (dolmen semu) yang
diklasifikasikan menjadi beberapa subtipe. Subtipe 1 dicirikan dengan
bongkahan batu seperti meja (tutup) yang ditopang oleh empat tiang batu
yang dikelilingi oleh dinding yang terbuat dari papan batu. Subtipe 2
ditandai oleh lempengan batu sebagai tutup yang ditopang oleh batu
bebrbentuk kubus yang beronda di bagian dalamnya. Subtipe 3 dicirikan
dengan adanya lantai dan dinding dari papan batu yang menopang
bongkahan batu besar setengah silinder di bagian atasnya. Masyarakat
seringkali menyebutnya sebagai kubur pandusa yang banyak ditemukan di
wilayah Bondowoso, Jawa Timur. Subtipe 4 berupa lempengan-lempengan

33
Haris Sukendar, loc.cit.
60

batu yang didukung oleh potongan-potongan batu di sekat-sekat


membentuk sebuah kamar. Bangunan ini sering disebut sebagai bilik batu.
Pada salah satu sisinya difungsikan sebagai pintu masuk yang diberi
penutup dari lempengan batu, bebrapa diantaranya mengandung lukisan-
lukisan geometris atau berwarna merah pada dinding-dinding biliknya. Tipe
ketiga bentuk meja, merupakan dolmen yang paling umum ditemukan di
Indonesia. Ada tiga variasi bentuk yang meliputi, subtipe 1 dicirikan dengan
bongkahan batu (monolit) yang tidak dikerjakan dengan sejumlah batu
sebagai penopangnya. Subtipe 2 dicirikan dalam bentuk jamur (mushroom-
shaped dolmen). Subtipe 3 berupa batu persegi panjang di bagian atasnya
yang ditopang oleh tiang-tiang batu, yang dihiasi dengan berbagai hiasan
tiang batu dia atasnya.
Dolmen di Seputih dengan nomor inventaris 06/BTS/JBR/2021
merupakan hasil kebudayaan pada masa praaksara. Mengacu pada
klasifikasi yang dilakukan oleh Bagyo Prasetyo Dolmen ini termasuk ke
dalam klasifikasi tipe pertama.
Status hukum, : Status hukum : UU RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
kepemilikan Pemilik : Negara
dan Pengelolah : BPCB Jawa Timur dan DISPARBUD Kab. Jember
Pengelolaan
Riwayat : Asal Desa Seputih Kecamatan Mayang Kabupaten Jember
kepemilikan
61

Foto :

Gambar 3.10 Dolmen dengan Nomor Inventaris 06/BTS/JBR/2021


Sumber: Koleksi Pribadi
62

BAB 4
KESIMPULAN

Kebudayaan dalam masyarakat pendukungnya merupakan paduan yang


tidak dapat terpisahkan. Hasil buah pikir dan usaha manusia baik berupa benda
ataupun nonbenda menjadi pedoman dan pegangan hidup masyarakat pada masa
kini dan masa yang akan datang, sehingga perlu untuk di jaga dan dilestarikan.
Kabupaten Jember merupakan sebuah wilayah yang memiliki potensi cagar budaya
berupa peninggalan benda-benda purbakala. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya beberapa bangunan-bangunan megalitik muda di Desa Seputih,
Kecamatan Mayang, Kabupaten Jember. Masyrakat pendukung tradisi megalitik
telah memiliki suatu konsep kepercayaan akan adanya hubungan antara yang hidup
dengan yang mati, terutama kepercayaan akan adanya pengaruh kuat dari yang telah
mati terhadap kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup disekitarnya. Situs
megalitik yang ditemukan di Desa Seputih terdapat 5 jenis. Masing-masing terdiri
dari 2 sarkofagus, 2 dolmen, 1 batu kangkang, dan 1 batu lumpang. Situs-situs yang
ditemukan tersebut jelas perlu mendapatkan perhatian yang serius guna
melestarikan situs kepurbakalaan di Kabupaten Jember.
Dalam upaya peningkatan dan pemanfaatan potensi cagar budaya situs
Seputih adalah dengan melakukan inventarisasi, dokumentasi, serta klasifikasi
beberapa situs yang ditemukan. Hal tersebut dibutuhkan untuk mengetahui jumlah,
jenis, dan persebaran potensi cagar budaya. Dengan demikian, diharapkan nantinya
seluruh cagar budaya akan tercatat dan memiliki kekuatan hukum tetap. Adapun
beberapa hal lain yang penting menjadi perhatian yaitu mengenai peningkatan
kualitas jupel dan pemanfaatan fasilitas situs di lokasi cagar budaya agar dapat
terelola dengan baik dan dapat menjadi potensi pariwisata kepurbakalaan di Desa
Seputih. Pelestarian cagar budaya adalah serangkaian kegiatan yang sifatnya terus
menerus dan berkelanjutan. Untuk mencapai maksud tersebut, sangat dibutuhkan
kontribusi dari berbagai pihak baik dari pemerintah daerah, lingkungan masyarakat,
maupun kalangan akademisi guna menjaga, merawat, mengembangkan, serta
melestarikan warisan kebudayaan di Kabupaten Jember.

62
DAFTAR SUMBER

Buku, Jurnal, Skripsi, dan Thesis


Arifin, Edy Burhan. “Pertumbuhan Kota Jember dan Munculnya Budaya
Pandhalungan” dalam Literasi, Vol. 2, No. 1, 2012.
Aris, Daud Tanudirjo. “Lukisan Dinding Goa Sebagai Salah Satu Unsur Upacara
Kematian” dalam Berkala Arkeologi, Vol. 6, No. 1, 1985.
Aunurrofiq, F. “Afdeeling Djember: Bureaucreatic History of Jember During The
Dutch Colonial Era 1883-1928” dalam IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science, 2020.
Azrul, Muhammad, dkk. Teknologi Budidaya Tanaman Jewawut. Yogyakarta: CV.
Cakrawala, 2020.
Geertz, Clifford. Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi Indonesia. Jakarta:
Bhatara Karya Aksara, 1993.
Geldern, Heine. Phrehistoric Research in the Netherlands Indies. New York:
Cvience and Scientists in the Netherlands Indies, 1945.
Hajati, Chusnul dkk. Sejarah Indonesia. Jakarta: Karunika, 1986.
Handayani, Sri Ana. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jember: UPT. Percetakan dan
Penerbitan Universitas Jember, 2018.
Jati, Slamet Sujud Purnawan. “Prasejarah Indonesia: Tinjauan Kronologi dan
Morfologi” dalam Sejarah dan Budaya, Vol. 7, No. 2, 2013.
Jupriono dkk. Jember dari Waktu ke Waktu: Sekilas Wakil Rakyat dan
Perkembangan Kabupaten Jember (Prasejarah s.d 1970-an). Jember:
Sektretariat DPRD Kabupaten Jember, 2018.
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan, 1991.
Kuntowijoyo. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940.
Yogyakarta: Penerbit Mata Bangsa, 2002.
Kusumawati, Ayu. “Megalitik Sumbawa dan Peranannya dalam Persebaran
Megalit di Indonesia Timur” dalam Forum Arkeologi, Vol. 16, No. 3, 2003.
Moertono, Soemarsid. Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI-XIX. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2017.

63
64

Nawiyanto. “Berakhirnya Frontir Pertanian: Kajian Historis Wilayah Besuki 1870-


1970” dalam Jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol. 14, No. 1, 2012.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional
Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
Prasetyo, Bagyo. “Lingkungan dan Awal Kegiatan Pertanian: Studi Kasus
Beberapa Situs Gua di Indonesia” dalam Analisis Hasil Penelitian
Arkeologi III (Kajian Agrikultur Berdasarkan Data Arkeologi), Jakarta:
Pusat Penelitian Arkeologi – Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1989.
Prasetyo, Bagyo. “Persebaran dan Bentuk-bentuk Megalitik Indonesia: Sebuah
Pendekatan Kawasan” dalam Kalpataru Majalah Arkeologi, Vol. 22, No. 2,
2013.
Prasetyo, Bagyo. Megalitik, Fenomena Yang Berkembang di Indonesia.
Yogyakarta: Galangpress, 2015.
Sagala, Jefri. “Patung dan Relief di Situs Batu Gajah Simalungun: Tinjauan Fungsi
dan Makna” Skripsi pada Program Studi Arkeologi Universitas Jambi, 2021.
Sagimun. Peninggalan Sejarah Tertua Kita. Jakarta: CV. Haji Masagung, 1987.
Sasmita, Nurhadi. “Menjadi Kota Definitif: Jember Abad 19-20” dalam Historia,
Vol. 1, No. 2, 2019.
Simbolon, Parakitri Tahi. Menjadi Indonesia. Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara, 2006.
Soegondho, Santoso. “Awal Pertanian Indonesia: Sebuah Analisis Ekologi
Budaya” dalam Analisis Hasil Penelitian Arkeologi III (Kajian Agrikultur
Berdasarkan Data Arkeologi), Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
– Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989.
Soekmono, R. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I. Yogyakarta: Kanisius,
1981.
Sukendar, Haris. “Tinjauan Tentang Peninggalan Megalitik Bentuk Dolmen di
Indonesia” dalam Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, 1983.
65

Syafei, An Fauzia Rozani. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Padang: CV. Berkah


Prima, 2021.
Winarni, Retno dan Ratna Endang Widuatie. “Jember’s Development From the
Traditional Authority to Modern Government” dalam TAWARIKH, Vol.
10, No. 1, 2018.

Internet
Artanegara, “Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali: Sarkofagus” [online],
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbali/sarkofagus/, diunduh pada 10
Oktober 2021.
66

LAMPIRAN A
PETA PERSEBARAN
PENINGGALAN MEGALITIKUM
SITUS SEPUTIH, MAYANG

66
67

LAMPIRAN B
PETA PERSEBARAN
PENINGGALAN MEGALITIKUM
DESA SEPUTIH, MAYANG
68

LAMPIRAN C
PETA PERSEBARAN
PENINGGALAN MEGALITIK
DESA TEGAL WARU, MAYANG

Anda mungkin juga menyukai