LAPORAN
Oleh
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi rahmat,
taufik, dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan
Inventarisasi dan Deskripsi Objek Benda Purbakala di Seputih dengan lancar.
Laporan ini disusun guna memenuhi tugas Magang mahasiswa Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Jember.
Penulis menyadari bahwa terselesainya karya tulis ini tidak akan terlaksana
dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis dengan kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dhebora Krisnowati S, S.Pd, M.Pd. selaku pimpinan Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kabupaten Jember.
2. Drs. Didik Purbandriyo yang telah memberikan pengarahan sampai
terselesaikannya Laporan Inventarisasi dan Deskripsi Objek Benda
Purbakala Di Seputih.
3. Dr. Eko Crys Endrayadi M.Hum selaku ketua jurusan Ilmu Sejarah Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Jember sekaligus Dosen Pembimbing Lapangan
kelompok tiga khususnya kelompok di Situs Seputih.
4. Bapak Sumariyanto selaku Kepala Desa Seputih.
5. Bapak Misyo selaku juru Pelihara yang telah mendampingi di lapangan
selama kegiatan berlangsung.
6. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
menyelesaikan laporan ini.
Dengan menyelesaikan laporan ini penulis mengharapkan banyak manfaat
yang dapat dipetik dan diambil. Semoga dengan adanya laporan ini dapat
menambah wawasan kepada pembaca dan bermanfaat bagi kita semua. Penulis
menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, tidak menuntut
kemungkinan benar masih ada kekurangan dan kesalahan yang disebabkan oleh
keterbatasan penulis. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membantu dan
membangun dari pihak penulis harapkan.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. iv
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR LAMPIRAN
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Jambatan,
1997), hlm. 16.
2
Bagyo Prasetyo, Megalitik, Fenomena Yang Berkembang di Indonesia,
(Yogyakarta: Galangpress, 2015), hlm. 25.
1
2
bagi yang hidup dan kesempurnaan bagi si mati. Ketika tradisi megalitik menyebar
ke Nusantara dengan membawa konsep nenek moyang sebagai sistem religi yang
utama dalam kehidupan masyarakat, maka Nusantara membangun bangunan
megalitik sesuai dengan situasi dan kondisi setempat, baik kaitannya dengan
lingkungan alam maupun kehidupan sosial.
Jawa Timur merupakan wilayah yang memiiki beragam peninggalan masa
lampau yang tersebar di berbagai wilayah kabupaten. Desa Seputih yang terletak di
Kecamatan Mayang, Kabupaten Jember, adalah daerah yang kaya dengan potensi
cagar budaya. Kedudukan desa Seputih dimasa lampau adalah sebagai bekas
peninggalan kehidupan masyarakat megalitikum. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya beberapa bangunan megalitik seperti dolmen, batu kangkang,
sarkofagus dan batu lumpang. Pada masa Megalitikum masyarakat sudah
mempunyai anggapan tertentu mengenai kematian. Bangunan-bangunan batu besar
dalam beberapa bentuk yang disebut “bangunan megalitik” (megalitikum), ada
yang dipergunakan khusus untuk upacara pemujaan dan penghormatan roh-roh
nenek moyang.3 Tradisi pendirian bangunan megalitik seringkali didasarkan pada
kepercayaan masyarakat akan adanya hubungan antara yang hidup dengan yang
mati, terutama kepercayaan akan adanya pengaruh kuat dari yang telah mati
terhadap kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup disekitarnya. 4 Bentuk
bangunan ini bermacam-macam, dan dapat diperkirakan umurnya secara nisbi.
Beberapa bentuk bangunan megalitik mempunyai fungsi yang berbeda-
beda, seperti dolmen yang memiliki variasi bentuk yang tidak berfungsi sebagai
kuburan, namun bentuk-bentuk yang menyerupai dolmen dibuat untuk pemujaan
roh dan atau tempat persajian. Hal ini memperlihatkan adanya suatu kepercayaan
dalam mayarakat bahwa yang masih hidup dapat memperoleh berkah dari
hubungan magis dengan nenek moyangnya melalui bangunan megalitik tersebut
sebagai medium. Bangunan megalitik yang ditemukan di Desa Seputih merupakan
3
Chusnul Hajati, dkk., Sejarah Indonesia, (Jakarta: Karunika, 1986), hlm. 25.
4
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia Jilid I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 205.
3
potesi cagar budaya yang jelas harus mendapatkan perhatian yang serius guna
melestarikan situs kepurbakalaan di Kabupaten Jember.
Inventarasi merupakan langkah awal dalam pelestarian cagar budaya. Upaya
pengembangan potensi cagar budaya dilakukan dengan inventarisasi, dokumentasi,
dan klasifikasi cagar budaya sebagai pelestarian cagar budaya. Setiap daerah perlu
melakukan pendaftaran cagar budaya guna mengetahui jumlah, jenis, dan
persebaran cagar budaya. Dengan demikian, diharapkan nantinya seluruh cagar
budaya akan tercatat dan memiliki kekuatan hukum tetap. Dalam melakukan
inventarisasi potensi cagar budaya diwilayah Jember, bentuk pengelolaan dan
pemanfaatan cagar budaya adalah dengan penerapan sistem zonasi sebagai upaya
mengatur rambu-rambu dalam menenetukan pengelolaan dan pemanfaatan cagar
budaya. Hal ini sejalan dengan amanah Undang-Undang No. 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya, bahwa kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran
dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan
pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan
bermasyarakat sehingga perlu untuk dilestarikan dan dikelola secara tepat. Hal ini
sudah seharusnya dilaksanakan, mengingat masih banyak cagar budaya yang belum
ditangani secara baik dan benar dalam hal perlindungan pengembangan dan
pemanfaatannya.
Upaya pelestarian cagar budaya merupakan kegiatan yang sifatnya terus
menerus dan berkelanjutan. Untuk mencapai maksud tersebut, sangat dibutuhkan
kontribusi berbagai pihak, baik dari akademisi, tenaga pendidik dan terdidik,
lingkuangan masyarakat sekitar, Pemerintah Daerah, dan khususnya Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan dalam mengelola dan merawat potensi cagar budaya
tersebut. Inventarisasi yang dilakukan di Desa Seputih merupakan serangkaian
kegiatan dalam menghimpun data artefak cagar budaya secara obyektif dan visual
sehingga dapat memberikan informasi seluas-luasnya akan kenyataan sejarah
berupa artefak cagar budaya yang sedang diteliti. Hal tersebut dilakukan dalam
upaya melestarikan warisan budaya umat manusia melalui upaya perlindungan,
pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4
1.3 Metode
Metode berasal dari bahasa Yunani “Greek”, yakni “Metha” berarti
melalui, dan “Hodos” artinya cara, jalan, alat atau gaya. Dengan kata lain,
metode artinya jalan atau cara yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan
tertentu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, susunan W.J.S.
Poerwadarminta, bahwa metode adalah cara yang teratur dan berpikir baik-
baik untuk mencapai suatu maksud. Sedangkan dalam Kamus Bahasa
Indonesia Kontemporer pengertian metode adalah cara kerja yang sistematis
untuk mempermudah sesuatu kegiatan dalam mencapai maksudnya. Pada
kegiatan identifikasi dan inventarisasi sebaran sporadis kubur batu di Situs
Seputih terdapat beberapa metode yang digunakan diantaranya :
5
1.3.1 Kompalatif
Kompalatif atau kompilasi merupakan suatu kegiatan yang
tersusun secara teratur mengenai daftar informasi, karangan, dsb. Metode
kompalatif adalah metode yang dilakukan sebelum melakukan penerjunan
ke lapangan, mulai dari pengumpulan data dan mempersiapkan kebutuhan
selama di lapanhan dengan proses akhir berupa penyusunan laporan. Pada
metode ini hal-hal yang dilakukan antara lain:
i) Melakukan koordinasi dengan pihak yang terkait dalam hal ini Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jember mengenai petunjuk
selama kegiatan berlangsung.
ii) Menyampaikan surat pemberitahuan sekaligus surat izin dari Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jember kepada Kepala
Camat Kecamatan Mayang dan Kepala Desa Seputih (Bapak
Sumariyanto).
iii) Melakukan koordinasi secara persuasi kepada Kepala Desa dengan
menyampaikan tujuan kedatangan dan menginformasikan beberapa
mengenai kegiatan yang akan dilaksanakan selama 4 bulan di Desa
Seputih.
iv) Melakukan survei dengan mendatangi lokasi yang didampingi oleh
perangkat desa untuk mengetahui situasi dan kondisi lingkungan
situs.
v) Melakukan koordinasi dengan Juru Pelihara atas arahan Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jember mengenai benda-
benda yang terdapat di situs Seputih.
vi) Mencari literatur mengenai latar sejarah benda-benda peninggalan
prasejarah dan terkhusus yang berada di situs Seputih di
Perpustakaan Daerah Kabupaten Jember, Laboratorium Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Taman Baca Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Jember, Perpustakaan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Jember, dan literatur secara online yang kami
lakukan secara terus-menerus untuk memperkaya wawasan kami.
6
1.3.2 Observasi
Metode observasi merupakan suatu cara untuk pengumpulan data
dengan pengamatan secara langsung dan pencatatan secara sistematis
terhadap objek yang akan diteliti. Menurut nana Sudjana observasi
merupakan kegiatan pengamatan serta pencatatan yang ditulis secara
sistematis terhadap gejala-gejala yang sedang di teliti. Sedangkan menurut
Surtrisno Hadi metode observasi diartikan sebagai pengamatan, pencatatan,
secara sistematis atas fenomena-fenomena yang diselidiki. Observasi
dilaksanakan melalui pengamatan langsung terhadap objek benda artefak
bergerak maupun tidak bergerak. Adapun kegiatan yang dilakukan pada
metode tersebut antara lain:
i) Membersihkan benda yang akan diamati menggunakan sudip dan
kuas, untuk tanaman liar yang tumbuh disekitarnya kami bersihkan
dengan celurit.
ii) Melakukan pengukuran terhadap benda-benda di Situs Seputih
mulai dari panjang, lebar, tinggi, tebal, dan diameter untuk benda
yang memeliki lubang.
iii) Melakukan pengamatan terhadap struktur bahan yang digunakan
dalam pembuatan benda-benda di Situs Seputih.
iv) Melakukan pengamatan terhadap warna dan kondisi benda-benda di
Situs Seputih.
v) Melakukan pengamatan terhadap permukaan benda yang ternyata
pada beberapa benda memiliki simbol-simbol tertentu.
7
1.3.3 Deskriptif
Metode Deskriptif atau deskripsi menurut Sujana dan Ibrahim
merupakan metode yang dilakukan guna mengetahui atau berusaha
mendesripsikan suatu peristiwa, kejadian yang terjadi secara terususun.
Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk menyusun menghimpun data
artefak cagar budaya dengan cara melakukan perekaman secara verbal dan
visual, hal ini bertujuan untuk mengetahui secara langsung kondisi artefak
yang sedang peneliti teliti. Selain itu guna mendukung laporan ilmiah yang
akan disusun peneliti, peneliti menggunakan beberapa sumber tertulis
seperti buku, jurnal dan tesis mengenai situs bersejarah di Jember mulai dari
zaman prasejarah, colonial belanda hingga sekarang Jember Modern.
i) Melakukan pengambilan gambar dan video sebagai bahan
pembuatan laporan.
ii) Melakukan inventarisasi dan deskripsi secara verbal.
BAB 2
SEJARAH SINGKAT KABUPATEN JEMBER
1
Feodalistik atau Feodalisme adalah sistem sosial atau politik yang memberikan
kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan.
2
Soemarsaid Moertono, Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI-XIX, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2017), hlm. 31.
8
9
dan organisasi pertanian. Bersamaan dengan hirarki yang dibangun oleh kolonial,
lahir pula hirarki pribumi dengan fungsi sebagai perantara antara Petani dengan
layanan sipil Eropa. Biasanya bagian atas struktur hirarki pribumi diduduki oleh
para aristokrasi Jawa-- yang dulunya merupakan pengelola kerajaan, namun
terpaksa melaksanakan perintah Belanda.
Pada masa pemerintahan Belanda dari tahun 1818 hingg 1883, Afdeeling
Bondowoso menjadi salah satu afdeeling pada tahun 18503 dengan mencakup
beberapa kabupaten seperti Kabupaten Bondowoso, Jember, Wringin,
Penanggungan, Wonosari, Sukokerto dan Puger.4 Kabupaten Jember sebagai salah
satu wilayah Afdeeling Bondowoso merupakan wilayah terpencil sebab terletak di
daerah pedalaman menjadikan wilayah ini kurang mendapatkan perhatian oleh
pemerintah setempat. Kondisi ini semakin diperparah dengan minimnya sarana dan
prasarana seperti jalan dan jembatan yang belum memadai, sehingga sulit
kendaraan dari luar wilayah mengalami kesulitan untuk menjangkau Jember. Selain
itu, dibandingkan dengan kabupaten lainnya, Jember memiliki jumlah penduduk
lebih sedikit.
Perkembangan dalam bidang pertanian nampak telah berkembang sejak
diterapkan Sistem Tanam Paksa. Sementara pertumbuhan sosial-ekonomi pada
wilayah Jember dimulai pada tahun 1870, dimana terjadi reorganisasi dalam
pengolalaan wilayah Indonesia sebagai koloni Belanda dan juga sistem kapitalisme
yang berwujud dalam bentuk perkebunan partikelir. Pada tahun ini Pemerintah
Hindia-Belanda mulai menerapkan kebijakan kolonial liberal atau politik pintu
terbuka bagi investasi swasta. Sejalan dengan kebijakan politik pintu terbuka,
pemerintah Hindia-Belanda kemudian menyusun Undang-undang Agraria
(Agrarische Wet) pada 9 April 1870 dengan rujukan Staatsblad No. 55/1870.
Pemerintah kemudian membentuk Undang-undang Gula (Suiker Wet) pada tanggal
3
Nurhadi Sasmita, Menjadi Kota Definitif: Jember Abad 19-20, Historia, Vol. 1,
No. 2, Januari 2019, hlm. 118.
4
F. Aunurrofiq dkk., Afdeeling Djember: Bureaucreatic History of Jember During
The Dutch Colonial Era 1883-1928, IOP Conference Series: Earth and Environmental
Science, hlm. 2.
10
5
Parakitri Tahi Simbolon, Menjadi Indonesia, (Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara, 2006), hlm. 159-160.
6
Ibid., hlm. 148.
7
Nawiyanto, Berakhirnya Frontir Pertanian: Kajian Historis Wilayah Besuki,
1870-1970, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol. 14, No. 1, 2012, hlm. 82.
8
Edy Burhan Arifin, Pertumbuhan Kota Jember dan Munculnya Budaya
Pandhalungan, Literasi, Vol. 2, No. 1, Juni 2012, hlm. 29.
11
9
F. Aunurrofiq dkk., op.cit., hlm. 3.
10
Retno Winarni dan Ratna Endang Widuatie, Jember’s Development from the
Traditional Authority to Modern Government, TAWARIKH: Journal of Historical Studies,
Vol. 10, No. 1, Oktober 2018, hlm. 21.
11
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940,
(Yogyakarta: Penerbit Mata Bangsa, 2002), hlm. 83.
12
Retno Winarni dan Ratna Endang Widuatie, loc.cit.
12
bertempat tinggal di daerah Jember bagian utara dan tengah, seperti Distrik Kalisat,
Jember, dan Mayang.
Bleeker memaparkan bahwa pada tahun 1845 populasi penduduk Jember
hanya berjumlah 9.237 orang dan pada tahun 1867 populasi penduduk meningkat
pesat hingga 75.780, sementara pada tahun 1880 meningkat menjadi 129.798
orang.13
Bertambahnya populasi penduduk, progres perekonomian yang terus
meningkat dan pertumbuhan kota yang cepat menghasilkan suatu keputusan bahwa
Distrik Jember tidak akan lagi berada dibawah Afdeeling Bondowoso dan menjadi
Zelfstanding serta dipimpin oleh seorang Patih. Perubahan status ini dimulai saat
Staatblad tahun 1883 Nomor 17 tentang Pemisahan Bondowoso menjadi dua
afdeeling yaitu, Bondowoso dan Jember. Staatblad ditandatangani di Batavia pada
tanggal 9 Januari 1883 dan baru diumumkan kepada masyarakat umum pada 16
Januari 1883. Dengan pembagian Afdeeling Bondowoso meliputi Penanggungan,
Wonosari, dan Bondowoso. Sementara Afdeeling Jember meliputi Sukokerto,
Puger, Tanggul, dan Jember.14 Perubahan juga terjadi pada skala desa, apabila pada
tahun 1854 Jember hanya terdiri atas 36 desa, maka pada tahun 1874 terjadi
pemekaran desa sehungga bertambah menjadi 46 desa, dan mencapai 117 desa pada
tahun 1883.
Perubahan status Jember memotivasi pemerintah pusat untuk melakukan
reorganisasi struktur pemerintahan, apabila saat menjadi bagian dari Afdeeling
Bondowoso Jember dipimpin oleh seorang Wedana asli yang bekerjasama dengan
Asisten Controleur Belanda. Maka akan seorang Asisten Residen akan ditempatkan
pada wilayah ini. C.H. Blanken menjadi sosok yang ditunjuk Pemerintah Hindia-
Belanda sebagai Asisten Residen Jember pertama. Dalam hal ini, ia harus bekerja
sama dengan pejabat adat dengan menunjuk pejabat dari penduduk lokal untuk
menjadi seorang Patih yang independent (Zelfstanding Patih) dimana Patih akan
memiliki kedudukan setara dengan Bupati. Zelfstanding Patih pertama adalah R.P
13
Nurhadi Sasmita, op.cit., hlm. 121.
14
F. Aunurrofiq dkk., op.cit., hlm. 4.
13
Astrodikoro, sosok yang telah mengabdi sebagai Wedana selama beberapa tahun di
Jember. Sebelumnya ia telah melayani seorang Patih dari Bondowoso, menemani
R.T. Wondokusumo, Residen Kedua Afdeeling Bondowoso. Kebijakan lain yang
telah dilaksanakan di Afdeeling Jember adalah dengan membentuk beberapa badan
khusus untuk menangani berbagai sektor seperti keuangan, perkebunan, dan
pekerjaan umum. Pada bidang pertanian dibentuk semacam Lembaga Perkreditan
Rakyat yang memiliki tugas memberikan modal bagi petani meliputi pembelian
bibit, hingga perawatan tanaman.
Pesatnya pertumbuhan Jember juga didorong oleh dukungan para
pengusaha dalam membangun infrastruktur, seperti irigasi, transportasi, dan
jembatan. Misalnya pembangunan irigasi modern di Sungai Sampean pada tahun
1902 sehingga mampu mengairi lahan seluas 150.000 bau dan pembangunan irigasi
di Sungai Bedadung pada tahun 1903 yang mampu mengairi sawah seluas 33.000
bau. Pembangunan irigasi ini sejak awal memang bertujuan untuk perkebunan
tembakau dan gula, namun dampak dari modernisasi irigasi ini adalah semakin
banyaknya lahan-lahan baru. Tercatat pada tahun 1860 terdapat 50.000 bau lahan
sawah dan 25.000 bau lahan tegalan.15 Untuk memperlancar kegiatan masyarakat
dan pemerintah, Pemerintah Hindia-Belanda selalu berusaha membuat jalan guna
memperlancar jalur ke lokasi roda perekonomian mereka. Begitupula usaha yang
dilakukan pada daerah Jember, dibangun jalan dengan Lumajang, Probolinggo, dan
Pasuruan untuk mempermudah akses ke Surabaya. Selain ke daerah perkotaan,
pembangunan jalan juga dilakukan pada daerah-daerah perkebunan kopi yang
biasanya terletak di daerah pedalaman. Beberapa jalan sengaja dibangun untuk
mempermudah pengangkutan produk perkebunan, misalnya jalan sepanjang 30-40
km yang dibangun oleh NV LMOD pada tahun 1880-1890 sebagai usaha untuk
memperlancar komunikasi dan pengangkutan kantor pusat NV LMOD di Distrik
Jember dengan kebun-kebunnya yang terletak di Distrik Mayang, Gambirono,
Wuluhan, Puger, dan Tanggul.16
15
Edy Burhan Arifin, op.cit., hlm. 32.
16
Nurhadi Sasmita, op.cit., hlm. 128-129.
14
17
Jupriono dkk., Jember dari Waktu ke Waktu: Sekilas Wakil Rakyat dan
Perkembangan Kabupaten Jember (Prasejarah s.d 1970-an), (Jember: Sektretariat DPRD
Kabupaten Jember, 2018), hlm. 412
15
18
Ibid., hlm. 413.
19
R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I, (Yogyakarta:
Kanisius, 1981), hlm. 1.
20
Slamet Sujud Purnawan Jati, Prasejarah Indonesia: Tinjauan Kronologi dan
Morfologi, Sejarah dan Budaya, Vol. 7, No. 2, Desember 2013, hlm. 20.
16
21
Ibid., hlm. 21.
17
22
An Fauzia Rozani Syafei, Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Padang: CV. Berkah
Prima, 2021), hlm. 10-11.
18
Pada masa Palaeometalik, salah satu fosil manusia purba ditemukan pada
wilayah Puger. Dari kerangka tengkorak tersebut nampak pembauran antara ras
Australomelanesid dan Monggolid dalam perbandingan yang berbeda.23
Peninggalan pada Zaman Palaeolitikum di Kabupaten Jember ditelusuri dengan
penemuan fosil di Karst Gunung Sadeng Puger. Beberapa fosil yang ditemukan
seperti fosil kera abu-abu, sulur, kerang-kerangan yang diidentifikasi sebagai
kkjokenmodinger (sampah dampur), dan beberapa fosil buah. Penemuan fosil ini
didukung pula oleh potensi alam sekitar karst berupa 1) beberapa ceruk dan gua
yang merupakan kondisi ideal hunian manusia pada Zaman Palaeolitikum; 2) letak
sungai Bedadung, bibir pantai selatan, serta lembah-lembah dimana memudahkan
manusia dalam berburu hewan ataupun mengumpulkan makanan (food
gathering).24 Biasanya manusia pada masa palaeolitik membentuk sebuah kelompk
kecil berisi 10-15 orang dimana besar kecilnya kelompok ditentukan dari luas
wilayah dan hasil perburuan. Sementara untuk pembagian tugas masih berdasarkan
perbedaan gender dan umur, dimana laki-laki memiliki tugas untuk melindungi
wilayah, berburu hewan serta mengumpukan makanan. Bagi perempuan memiliki
tugas untuk tetap berada di rumah sembari mengasuh anak dan meramu makanan.
2.2.2 Zaman Mesolitikum (Batu Tengah)
Zaman Mesolitikum atau Zaman Batu Tengah merupakan masa-masa
peralihan zaman sebelumnya ke zaman berikutnya. Perubahan dalam kehidupan
sosial dan kehidupan sosial masih belum banyak mengalami perubahan.
Kebudayaan Mesolitikum banyak ditemukan pada wilayah Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, dan Flores. Dari daerah-daerah tersebut ditemukan bahwa
manusia pada masa ini masih mencukupi kebutuhan hidupnya dengan berburu dan
mengumpulkan makanan (food gathering), namun sebagian dari mereka telah
memiliki hunian tetap (sedenter) sehingga muncul kemungkinan bahwa manusia
pada masa ini sudah mengenal bercocok tanam. Alat-alat yang dihasilkan pada
masa ini yaitu pebble (bilah/pisau), kapak, serpih, gerabah, dan pipisan. Ciri-ciri
23
Slamet Sujud Purnawan Jati, op.cit., hlm. 22-23.
24
Jupriono dkk., op.cit., hlm. 17-22.
19
kehidupan manusia purba masa ini adalah Kkjokkenmodinger dan Abris Sous
Roche. Kjokkenmodinger (kjokken: dapur, modding: sampah) secara harfiah
merupakan sampah dapur yang ditemukan pada daerah-daerah di pesisir pantai.
Sampah dapur ini menunjukkan telah adanya penduduk yang tinggal di sekitar
pesisir pantai dengan menggantungkan hidupnya pada hewan-hewan laut seperti
kulit kerang dan siput. Sementara Abris Sous Roche merupakan gua yang
digunakan sebagai tempat tinggal. Gua ini berupa ceruk-ceruk pada batu karang
yang cukup untuk melindungi dari panas dan hujan. Biasanya keadaan dalam gua
sering ditemukan alat-alat peninggalan seperti ujung panah dan flakes, dan batu-
batu penggilingan.25
Pada Kabupaten Jember, peninggalan Zaman Mesolitikum ditemukan pada
karst Gunung Watangan Puger, dengan ditemukannya puluhan ceruk/gua dari sisi
barat hingga timur dari Kecamatan Puger, Kecamatan Wuluhan, dan Kecamatan
Ambulu. Dari sekian banyaknya ceruk/gua yang ditemukan, hanya empat ceruk/gua
yang telah terekskavasi dan terinventarisasi, yaitu Ceruk/Gua Sodong, Ceruk/Gua
Marjan, Ceruk/Gua Gelatik, dan Ceruk/Gua Macan. Indikasi ini merujuk pada
kriteria morfologis gua, dimensi dan kondisi ruangan gua, temuan permukaan, dan
lingkungan sekitar yang memberikan kemudahan akses dan hunian yang layak bagi
manusia purba di Jember. Dimana berdasarkan analisis manusia purba yang
menghuni wilayah Watangan merupakan jenis Homo Sapiens dari Ras
Austramelanesoid dan Mongoloid, serta hidup secara berkelompok dengan 10-15
orang.26 Kehidupan sosial dan kebudayaan yang dihasilkan mirip dengan manusia
purba pada wilayah lain, yaitu dipengaruhi oleh cara hidup tetua mereka dengan
memanfaatkan gua-gua alam (caves), gua paying, atau ceruk (rock-shelter).
Gua/ceruk Sodong dan Gelatik telah rusak dikarenakan longsor, sehingga yang
tersisa hanyalah ceruk saja, sementara itu di Gua/Ceruk Marjan, peneliti
menemukan sisa tulang manusia baik dalam keadaan masih utuh ataupun rusak.
25
R. Soekmono, op.cit., hlm. 41.
26
Jupriono dkk., op.cit., hlm. 30.
20
Umumnya lahan gua terbagi atas dua teras, teras pertama terletak di ruang utara dan
teras kedua berada di ruang selatan dengan perbedaan ketinggian sekitar 2 meter.
Dari penggalian dan ekskavasi Heekeren, ditemukan beberapa peninggalan seperti
gerabah, alat-alat batu (kapak perimbas, kapak penetak, batu bilah, batu serut), alat-
alat tulang (flakes), kjokkenmodinger (sisa cangkang siput dan kerang-kerangan),
dan tulang binatang mamalia. Laporan milik van Heekeren memaparkan bahwa
tidak seperti gua lainnya, gua Marhan diidentifikasi sebagai tempat untuk
meletakkan mayat sosok yang penting pada zaman ini, misalnya jenazah Kepala
Suku. Dengan ini ia menyimpulkan bahwa manusia purba pada masa ini telah
memiliki suatu kepercayaan yang nampak dari cara mereka merawat jenazah orang-
orang penting sebagai bentuk penghormatan terakhir.27
2.2.3 Zaman Neolitikum (Batu Muda)
Zaman Neolitikum atau Zaman Batu Muda menjadi titik penting
perkembangan masyarakat dan peradaban, dimana terjadi suatu revolusi dalam
peradaban manusia. Perubahan ini memang telah terjadi pada Zaman Mesolitikum,
namun mencapai puncaknya pada Zaman Batu Muda. Salah satu perubahan yaitu
berkembangnya budaya mengumpulkan makanan (food gathering) menjadi
memproduksi makanan (food producing). Dari sini manusia purba tidak lagi
melakukan pengembaraan dan lebih memanfaatkan secara maksimal sumber alam
di sekitarnya. Bercocok tanam, menjinakkan hewan buas, dan beternak menjadi
kegiatan yang dilakukan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Mulai dibangun
hunian bersifat tetap, sehingga muncul sistem pembagian kerja dan pemerintahan
tingkat sederhana untuk memudahkan kehidupan berkelompok.
Ciri khas lain yang dapat diperhatikan melalui berbagai alat yang digunakan
sudah diasah lebih halus pinggirannya, diberi tangkai, dan bentuknya semakin baik.
Pada wilayah Kabupaten Jember, penyebaran alat-alat Neolitikum tersebar dari
wilayah utara dan timur. Seperti kapak persegi, kapak lonjong, dan peralatan lain
seperti mortar dan pengupam berhasil ditemukan pada wilayah Alas Pekarangan
Lereng Hyang Argopuro dan Mayangan Gumukmas. Hasil analisis dan identifikasi
27
Jupriono dkk., op.cit., hlm. 32-47
21
menunjukkan bahwa Situs Alas Pekarangan bukan tempat hunian manusia pruba
melainkan tempat bagi pemujaan roh atau kekuataan gaib. Analisis ini
dilatarbelakangi oleh kepercayaan yang telah berkembang pada Zaman Neolitikum
serta anggapan nenek moyang bahwa gunung atau tempat-tempat tinggi merupakan
area suci dan istana bagi roh leluhur serta ditemukannya menhir, meja yang
digunakan untuk meletakkan sesaji.28 Selain itu ditemukan juga patung primitif
neolit yang merupakan penggambaran sosok figur yang telah meninggal dimana
diukir secara statis, kaku, dan pahatan yang sederhana. Biasanya patung-patung ini
merupakan tokoh penting seperti Kepala Suku yang telah meninggal sebagai bentuk
suatu penghormatan. Akan tetapi patung primitif neolit tidak hanya berbentuk
manusia juga namun juga berbentuk kera yang ditemukan Ganif W. Mertowidjojo
pada tahun 1983 di Sungai Patemon Tanggul, dimana dapat disimpulkan bahwa
masyarakat disekitar aliran sungai Patemon memiliki kepercayaan totemisme
(kepercayaan yang meyakini bahwa manusia memiliki ikatan keluarga dengan
binatang).29
2.2.4 Zaman Megalitikum (Zaman Batu Besar)
Eksistensi kebudayaan Megalitik telah berlangsung semenjak Zaman
Neolitik dan berkembang pesat pada masa perundagian. Geldren membagi tradisi
megalitik menjadi dua, yaitu: Megalitik Tua dan Megalitik Muda. Pertama,
Megalitik Tua telah ada semenjak Zaman Neolitikum atau masa bercocok tanam.
Beberapa peninggalan yang dihasilkan seperti dolmen, undak batu, limas
(piramida) berundak, pelinggih, tembok batu, dan jalan batu.30 Masyarakat pada
masa ini telah percaya akan kekuatan dari alam kehidupan sesudah mati. Maka
dalam penguburan mayat orang yang meninggal, letak dan arah disesuaikan dengan
kepercayaan yang telah diturunkan secara turun-temurun dengan tujuan supaya roh
orang yang telah meninggal tidak tersesat dalam perjalanan menuju tempat asal
28
Jupriono dkk., op.cit., hlm. 56-57.
29
Jupriono dkk., op.cit., hlm. 73-74.
30
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 211.
22
mereka. Kedua, Megalitik Muda yang mulai berkembang pada masa perundagian
dan menghasilkan benda-benda seperti kubur peti batu, dolmen, sarkofagus, dan
bejana batu. Beberapa bentuk benda megalitik seringkali mempunya fungsi lain,
misalnya dolmen yang memiliki ukuran bervariasi tidak hanya berfungsi sebagai
kuburan saja, namun juga dibentuk untuk tempat persajian serta lumping batu atau
lesung batu dan batu dakon dimana kedua benda ini sering ditemukan di ladang atau
sawah dan pinggiran dusun dengan tujuan untuk mendapatkan kekuatan magis.31
Pada wilayah Kabupaten Jember persebaran peninggalan dalam bentuk bangunan-
bangunan Megalitik banyak ditemukan, meskipun beberapa belum diidentifikasi
secara keseluruhan sehingga jumlah total masih belum diketahui. Dari hasil
pendataan sementara menunjukkan bahwa sebaran peninggalan Megalitik telah
hampir merata di setiap wilayah kecamatan. Beberapa situs yang telah diidentifikasi
yaitu Situs Seputih Mayang, Cagar Budaya Kamal, Situs Sucopangepok, Situs
Sukowono, Situs Mojo Sukosari, serta persebaran Dolmen pada wilayah
Sumberjambe, Pakusari, Silo, Sukojember, Palangan, dan Kalisat. Peninggalan
Megalitik pada wilayah Jember memiliki kaitan dengan tradisi memuja para roh
dan arwah, hal ini nampak pada berbagai peninggalan yang ditemukan, misalnya
dolmen menjadi salah satu bukti fisik kepercayaan animisme dan dinamisme
dimana seringkali berfungsi ssebagai meja sesaji dan penguburan mayat. Pemujaan
dan penghormatan terhadap roh nenek moyang dan kekuatan gaib merupakan
perwujudan dan permohonan agar selalu dilindungi, mendapatkan keberhasilan,
keamanan, dan ketentraman dalam hidup.
31
Ibid.
23
BAB 3
INVENTARISASI DAN DESKRIPSI
I. IDENTITAS OBJEK
Nama objek : Sarkofagus
3411/TR/KMS/2012/PIM3411/
Nomer : 001/BTS/JBR/2021
Inventaris
Kriteria : Benda
Objek
Nama tempat : Situs Seputih
penyimpanan Jalan : Sumber Wadung
Dusun : Sumber Jeding
Desa : Seputih
Kecamatan : Mayang
Kabupaten : Jember
Provinsi : Jawa Timur
:: Ukuran : Panjang : 140 cm
Lebar : 92 cm
Tinggi : 62 cm
Tebal Bibir : 17 cm
Kedalaman Palung : 19 cm
Ukuran Tutup :: Panjang : 126 cm
Lebar : 60 cm
Tinggi : 56 cm
Bahan / Bahan : Batu sedimen
Warna Warna : Hitam keabu-abuan
Kondisi : Secara keseluruhan utuh, tetapi
kondisi tutup secara keseluruhan aus
karena alam.
Periode / Masa : Praaksara
24
II. DESKRIPSI
Deskrispsi : Lingkungan Situs Seputih berada di Dusun Sumber Jeding Desa Seputih yang
Lingkungan secara administratif merupakan salah satu bagian dari wilayah Kecamatan
Mayang Kabupaten Jember. Wilayah tersebut terletak di dataran tinggi,
tepatnya berada di lereng pegunungan. Topografi daerah tersebut dikelilingi
oleh kebun, sungai, dan sawah.
Berdasarkan penelitian Haribuana (2014) bahwa antara mata air dengan
tinggalan arkeologi memiliki kaitan yang sangat erat, dalam hal ini mata air
memiliki fungsi ritual terhadap tinggalan arkeologi, sehingga masyarakat
pendukung melakukan upaya untuk melestarikan sumber-sumber mata air
tersebut.
Deskripsi : Sarkofagus dengan nomor inventaris 01/BTS/JBR/2021 merupakan
Objek kubur batu yang terdiri dari dua balok batu besar, dimana masing-masing
berfungsi sebagai wadah dan penutup. Secara keseluruhan masih utuh tetapi
pada bagian tutup aus karena alam. Benda ini memiliki warna hitam keabu-
abuan. Pada bagian wadahnya memiliki palung (lubang) dengan kedalaman
19 cm, apabila dilihat dari teksturnya terlihat bahwa palung dan bentuk secara
keseluruhannya dibuat dengan cara dipahat menggunakan alat tertentu. Pada
bagian lempengan atau tutup kuburnya hampir menyerupai jajar trapesium, di
bagian kiri terlihat ada lubang yang tampaknya terkikis oleh alam sedalam
kurang lebih 10 cm. Benda ini berbahan batuan sedimen.
25
Latar sejarah : Peninggalan zaman batu yang cukup banyak di Nusantara adalah
peninggalan era Megalithikum. Megalithikum merupakan puncak kebudayaan
zaman batu. Istilah megalit berasal dari bahasa Yunani yaitu mega (besar)
dan lithos (batu), jadi arti megalit adalah batu besar.1 Kebudayaan megalit
adalah bagian dari rangkaian kehidupan prasejarah di Indonesia. Setiap bentuk
megalit memiliki bentuk yang bervariasi dan fungsi yang berbeda-beda.
Berdasarkan peninggalannya, kebudayaan megalit berkembang dalam dua
gelombang yaitu pertama Megalit tua yang diperkirakan berusia 2500-1500
sebelum masehi yang diperkirakan era neolitikum. Kedua Megalit muda yang
berkembang bersamaan waktunya dengan budaya awal perunggu yang
berkembang menjelang pada abad pertama masehi dimana salah satu hasil
kebudayaannya adalah sarkofagus.2 Sarkofagus banyak ditemukan di Bali
dengan bermacam-macam bentuk dan variasi.
Sarkofagus berasal dari bahasa Yunani, yaitu sarx yang berarti daging
dan phagein yang berarti memakan. Secara harfiah sarkofagus berarti
memakan daging, tetapi dalam pengertiannya sarkofagus merupakan tempat
dimana daging akan menghilang sedikit demi sedikit. Sarkofagus berupa peti
kubur yang terbuat dari batu. Pada umumnya sarkofagus terbagi menjadi dua
bagian, pertama bagian wadah yang berfungsi sebagai tempat menyimpan
mayat, kedua bagian atas yang berfungsi sebagai penutupnya. Sarkofagus
merupakan peti batu untuk menguburkan tokoh-tokoh masyarakat yang
dianggap mempunyai wibawa atau sebagai leluhur, jadi benda ini secara
khusus untuk golongan tertentu.3 Tujuan dibuat peti kubur tersebut yaitu agar
orang yang meninggal mencapai keselamatan di dunia arwah.
1
Sagimun, Peninggalan Sejarah Tertua Kita (Jakarta: CV Haji Masagung, 1987),
hlm. 33.
2
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 223-
224.
3
Sri Ana Handayani, Sejarah Kebudayaan Indonesia (Jember: UPT Percetakan
dan Penerbitan Universitas Jember, 2018), hlm. 52.
26
Sarkofagus terdiri atas wadah dan tutup yang sama dan sebangun,
yang masing-masing memiliki rongga. Pinggiran rongga yang tebal pada
umumnya garis luar dan garis dalam yang sejajar dengan sudut-sudut yang
tajam atau tumpul. Tetapi kadang ada pula misalnya garis luar rongganya
menyudut, tetapi sudut terbentuk di bagian garis dalamnya. Pada umumnya
tutup sarkofagus benar-benar setangkup jika ditempatkan di atas wadah, tetapi
kadang-kadang ada yang melebihi ukuran wadahnya sehingga pinggiran tutup
menjorok keluar dari pinggiran wadahnya.
Sarkofagus memiliki beberapa bidang yang diantaranya bidang
samping, bidang depan, bidang belakang, bidang atas (pada tutup) dan bidang
bawah (pada wadah). Bidang depan adalah sisi letak kepala mayat, dimana
pada bidang ini memiliki bagian yang lebih lebar dari bidang belakang sebagai
sisi letak ujung kaki.
Penguburan dengan sarkofagus diselenggarakan dengan tatacara dan
upacara tertentu. Bukti-bukti yang ditemukan dari hasil penelitian dan
ekskavasi memberikan deskripsi bagaimana sebagian dari pelaksanaan
penguburan itu dilangsungkan. Seperti yang dijelaskan di awal bahwasannya
hanya golongan tertentu yang menggunakan penguburan semacam ini, sebab
pembuatan sarkofagus dan pengangkutan bahan-bahannya memerlukan
tenaga dan waktu yang tidak sedikit.
Penempatan mayat dalam sarkofagus pada umumnya dalam sikap
terlipat atau menekuk. Penempatan mayat ini dalam sikap lateral lutut ditarik
ke aatas sampai ke pinggang, lengan bawah disejajarkan dengan paha dan
kepala agak merunduk, sedangkan pada sikap punggung dilipat sampai ke
dagu, kedua tangan menyilang di dada dan kepala agak tunduk.
Sikap terlipat menurut para ahli dalam hubungan dengan adat
penguburan sarkofagus ini, mengandung maksud memberi sikap kepada
mayat seolah orang yang mati dalam keadaan siap untuk lahir kembali di suatu
kehidupan baru. Pendapat lain mengenai sikap terlipat ini oleh James dan
27
4
Artanegara, “Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali: Sarkofagus” [online],
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbali/sarkofagus/, diunduh pada 10 Oktober 2021.
5
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 235-
236.
28
I. IDENTITAS OBJEK
Nama objek : Batu Kangkang
Nomer : 002/BTA/JBR/2021
Inventaris
Kriteria : Situs
Objek
Nama tempat : Situs Seputih
penyimpanan
Jalan : Sumber Wadung
Dusun : Sumber Jeding
Desa : Seputih
Kecamatan : Mayang
Kabupaten : Jember
Provinsi : Jawa Timur
Ukuran Lebar : 302 cm
Tinggi : 270 cm
Tebal : 180 cm
Bahan / Bahan : Batu Andesit
Warna Warna : Abu-abu
Kondisi : Secara keseluruhan utuh dan aus
karena alam.
Periode / Masa : Praaksara
Koordinat UTM : 8°12'06.1"S 113°47'54.8"E
Ketinggian : 350°N
Luas 450.000 cm2
Batas-batas Utara : Jalan lokal
Timur : Sungai
Selatan : Gunung
Barat : Gunung
31
II. DESKRIPSI
Deskrispsi : Lingkungan Situs Seputih berada di Dusun Sumber Jeding Desa Seputih yang
Lingkungan secara administratif merupakan salah satu bagian dari wilayah Kecamatan
Mayang Kabupaten Jember. Wilayah tersebut terletak di dataran tinggi,
tepatnya berada di lereng pegunungan. Topografi daerah tersebut dikelilingi
oleh kebun, sungai, dan sawah.
Berdasarkan penelitian Haribuana (2014) bahwa antara mata air dengan
tinggalan arkeologi memiliki kaitan yang sangat erat, dalam hal ini mata air
memiliki fungsi ritual terhadap tinggalan arkeologi, sehingga masyarakat
pendukung melakukan upaya untuk melestarikan sumber-sumber mata air
tersebut.
Deskripsi : Batu Kangkang dengan nomor inventaris 002/BTA/JBR/2021
Objek merupakan batu megalitik besar dimana pada permukaan batunya terdapat
coretan-coretan yang dipahat oleh manusia pada masa lampau yang memiliki
simbol-simbol tertentu. Coretan tersebut berbentuk kaki mengangkang lurus,
beberapa ada yang simbolnya terbalik. Simbol tersebut tentunya memiliki
makna tertentu pada masa lampau. Letaknya berada di tengah lahan
perkebunan dengan kondisi tanah yang lebih tinggi dibandingkan sekitarnya.
Bentuknya tidak beraturan pada bagian bawah lebar dan bagian atas
mengerucut tumpul. Tingginya berkisar sekitar dua meter lebih. Batu ini
ditopang dengan beberapa batu (kaki). Secara keseluruhan kondisinya utuh,
tetapi secara keseluruhan juga aus karena alam. Batu Kangkang ini berbahan
batuan andesit. Batu ini memiliki warna abu-abu.
Latar sejarah : Tradisi pendirian bangunan-bangunan megalitik selalu berdasarkan
pada kepercayaan akan adanya hubungan yang erat anatara yang hidup dengan
yang mati, terutama kepercayaan terhadap adanya pengaruh kuat dari yang
telah mati terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman. Jasa
dari kerabat yang telah mati diabadikan dengan mendirikan bangunan batu
32
besar. Batu ini kemudian menjadi media penghormatan, tempat singgah dan
sekaligus menjadi lambang si mati.
Menurut konsep von Heine Geldern tentang penyebaran kebudayaan
megalitik di Indonesia yang terjadi dalam dua gelombang. Pertama, megalitik
tua yang berusia kurang lebih 2500-1500 SM dan megalitik muda yang
berusia kira-kira milenium pertama sebelum masehi. Pada pembedaan
megalitik tua dan megalitik muda, von Heine Geldern memasukkan megalitik
tua ke masa neolitikum. Sedangkan megalitik muda berkembang dalam masa
perundagian yang memperlihatkan bentuk-bentuk kubur yang diantaranya
peti batu, dolmen, sarkofagus, dan bejana batu.6
Dolmen merupakan salah satu hasil kebudayaan masa megalitik muda.
Dolmen berasal dari bahasa Breton daerah Perancis sekarang, dol yaitu meja
dan men adalah batu, jadi dolmen berarti meja batu.7 Bangunan megalit ini
terdiri dari meja batu besar, susunannya menyerupai sebuah meja batu besar,
daun meja ditopang oleh beberapa batu besar yang berfungsi sebagai kaki
meja. Dolmen dibuat untuk kedatangan roh atau tempat persajian. Dolmen
berfungsi sebagai pelinggih di kalangan masyarakat megalitik yang telah maju
serta digunakan sebagai tempat duduk kepala suku atau raja. Dolmen
dipandang masyarakat sebagai tempat keramat dijadikan sebagai tempat
untuk melakukan pertemuan-pertemuan atau upacara-upacara yang
berhubungan dengan pemujaan arwah leluhur.8
Batu kangkang adalah batu yang memiliki ukiran manusia bergaya
kangkang (hockerstyle) (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:237).9 Figur
manusia kangkang disakralkan dan dianggap sebagai media penyembahan
6
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 205-
206.
7
Sagimun, op.cit., hlm. 38.
8
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 211.
9
Ibid., hlm. 237.
33
kepada yang mereka anggap sebagai dewa atau hubungan manusia dengan
Tuhan, sehingga kadang penempatannya pada suatu wilayah suci seperti mata
air, ladang atau kampung untuk menjaga dan menangkal kekuatan magis dari
luar. Selain itu, penempatan simbol kangkang kemungkinan untuk
penghormatan terhadap roh nenek moyang yang memiliki peran penting
dalam kegiatan upacara ritual.
Pahatan manusia kangkang pada umumnya memiliki maksud religius.
Pada dasarnya posisi kangkang identik dengan penggambaran kemaluan.
Posisi kangkang atau jongkok mengandung maksud sebagai usaha manusia
untuk memperoleh kekuatan gaib. Penemuan demikian banyak dijumpai di
daerah Sumbawa Barat dan di daerah Besuki juga memperlihatkan persamaan
pada bangunan megalitik. Salah satunya di Seputih ditemukan coretan
manusia kangkang di bangunan dolmen.
Pada umumnya bentuk figur manusia dilukiskan pada situs
penguburan digambarkan dalam sikap kangkang. Bentuk semacam ini banyak
ditemukan pada benda-benda yang berhubungan atau berkaitan dengan
penguburan. Selain dijumpai dalam dolmen seperti di Seputih, pada peti kubur
megalitik seperti waruga di Sulawesi dan Sarkofagus di Bali terdapat motif
bentuk manusia kangkang. Hal serupa juga dijumpai pada dolmen di Besuld
untuk upacara kematian di Timor. Menurut Frases, disamping mempunyai
fungsi menolak bala, hiasan tersebut juga memiliki arti kelahiran kembali.10
Sebagai penolak bala, bentuk manusia kangkang dianggap sebagai lambang
nenek moyang yang mempunyai kekuatan supranatural, sehingga dengan
menggambarkan nenek moyangnya diharapkan mendapatkan kekuatan
saktinya.11
10
Daud Tanudirjo Aris, “Lukisan Dinding Goa Sebagai Salah Satu Unsur Upacara
Kematian”, Berkala Arkeologi, Vol. 6, No. 1, 1985, hlm. 4.
11
Jefri Sagala, “Patung dan Relief Di Situs Batu Gajah Simalungun: Tinjauan
Fungsi dan Makna” Skripsi pada Program Studi Arkeologi Universitas Jambi, 2021, hlm.
45.
34
Megalit di Indonesia Timur” Jurnal Forum Arkeologi, Vol. 16, No. 3, 2003, hlm 9-10.
35
kepemilikan Pengelolah : Negara BPCB Jawa Timur dan DISPARBUD Kab. Jember
dan
Pengelolaan
Riwayat : Asal Seputih Kecamatan Mayang Kabupaten Jember
kepemilikan
Foto :
I. IDENTITAS OBJEK
Nama objek : Dolmen
Nomer : 003/BTS/JBR/2021
Inventaris
Kriteria : Situs
Objek
Nama tempat : Situs Seputih
penyimpanan
Jalan : Sumber Wadung
Dusun : Sumber Jeding
Desa : Seputih
Kecamatan : Mayang
Kabupaten : Jember
Provinsi : Jawa Timur
Ukuran Lebar : 130 cm
Tinggi : 170 cm
Tebal : 305 cm
Bahan / Bahan : Batu Sedimen
Warna Warna : Abu-abu kehitaman
Kondisi : Kondisi batu terbelah dan secara
keseluruhan aus karena alam.
Periode / Masa : Praaksara
Koordinat UTM : 8°12'11.1"S 113°47'58.8"E
Ketinggian : 240°SW
Batas-batas Utara : Sungai
Selatan : Gunung
Timur : Gunung
Barat : Sungai
II. DESKRIPSI
37
Deskrispsi : Lingkungan Situs Seputih berada di Dusun Sumber Jeding Desa Seputih yang
Lingkungan secara administratif merupakan salah satu bagian dari wilayah Kecamatan
Mayang Kabupaten Jember. Wilayah tersebut terletak di dataran tinggi,
tepatnya berada di lereng pegunungan. Topografi daerah tersebut dikelilingi
oleh kebun, sungai, dan sawah.
Berdasarkan penelitian Haribuana (2014) bahwa antara mata air dengan
tinggalan arkeologi memiliki kaitan yang sangat erat, dalam hal ini mata air
memiliki fungsi ritual terhadap tinggalan arkeologi, sehingga masyarakat
pendukung melakukan upaya untuk melestarikan sumber-sumber mata air
tersebut.
Deskripsi : Batu Dolmen dengan nomor inventaris 003/BTS/JBR/2021
Objek merupakan batu megalitik besar dimana pada permukaan batunya terdapat
coretan-coretan yang dipahat oleh manusia pada masa lampau yang memiliki
simbol-simbol tertentu. Coretan tersebut berbentuk garis horizontal sebanyak
empat garis. Simbol tersebut tentunya memiliki makna tertentu pada masa
lampau. Letaknya berada di tengah lahan perkebunan. Dolmen tersebut
berupa balok besar. Batu ini ditopang dengan beberapa batu (kaki).
Kondisinya terbelah menjadi dua, secara keseluruhan juga aus karena alam.
Batu Dolmen ini berbahan batuan sedimen. Batu ini memiliki warna abu-abu
kehitaman.
Latar sejarah : Keberagaman megalit di Indonesia dapat ditinjau dari dua aspek,
menyangkut frekuensi distribusi dari masing-masing wilayah maupun dari
keanekaragaman bentuk megalit. Data yang terkumpul dari hasil penelitian
maupun beberapa literatur menunjukkan bahwa secara administratif situs-
situs megalitik Indonesia mempunyai persebaran sekitar 22 dari 35 provinsi,
artinya lebih dari 60% wilayah Indonesia pernah dihuni oleh kebudayaan
megalitik.13 Berdasarkan identifikasi megalit yang pernah ditemukan di
seluruh daerah Indonesia telah diklasifikasikan secara morfologis jenis-jenis
Pendekatan Kawasan” dalam Kalpataru Majalah Arkeologi, Vol. 22, No. 22, 2013, hlm.
91.
38
14
Sagimun, loc.cit.
15
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, loc.cit.
39
16
Heine Geldern, Phrehistoric Research in the Netherlands Indies (New York:
Cvience and Scientists in the Netherlands Indies, 1945).
17
Haris Sukendar, “Tinjauan tentang Peninggalan Megalitik Bentuk Dolmen di
Indonesia” Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional, Jakarta, 1983, hlm. 3.
40
sebagai tutup yang ditopang oleh batu bebrbentuk kubus yang beronda di
bagian dalamnya. Subtipe 3 dicirikan dengan adanya lantai dan dinding dari
papan batu yang menopang bongkahan batu besar setengah silinder di bagian
atasnya. Masyarakat seringkali menyebutnya sebagai kubur pandusa yang
banyak ditemukan di wilayah Bondowoso, Jawa Timur. Subtipe 4 berupa
lempengan-lempengan batu yang didukung oleh potongan-potongan batu di
sekat-sekat membentuk sebuah kamar. Bangunan ini sering disebut sebagai
bilik batu. Pada salah satu sisinya difungsikan sebagai pintu masuk yang
diberi penutup dari lempengan batu, bebrapa diantaranya mengandung
lukisan-lukisan geometris atau berwarna merah pada dinding-dinding
biliknya. Tipe ketiga bentuk meja, merupakan dolmen yang paling umum
ditemukan di Indonesia. Ada tiga variasi bentuk yang meliputi, subtipe 1
dicirikan dengan bongkahan batu (monolit) yang tidak dikerjakan dengan
sejumlah batu sebagai penopangnya. Subtipe 2 dicirikan dalam bentuk jamur
(mushroom-shaped dolmen). Subtipe 3 berupa batu persegi panjang di bagian
atasnya yang ditopang oleh tiang-tiang batu, yang dihiasi dengan berbagai
hiasan tiang batu dia atasnya.
Dolmen di Seputih dengan nomor inventaris 03/BTS/JBR/2021
merupakan hasil kebudayaan pada masa praaksara yang memiliki ciri khusus
pada permukaannya terdapat lukisan geometri berupa garis horizontal
sebanyak 2 garis. Mengacu pada klasifikasi yang dilakukan oleh Bagyo
Prasetyo Dolmen ini termasuk ke dalam klasifikasi hibrid dolmen Subtipe 4.
Status : Status hukum : UU RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
hukum, Pemilik : Negara
kepemilikan Pengelolah : BPCB Jawa Timur dan DISPARBUD Kab. Jember
dan
Pengelolaan
Riwayat : Asal Seputih Kecamatan Mayang Kabupaten Jember
kepemilikan
41
Foto :
I. IDENTITAS OBJEK
Nama objek : Sarkofagus
Nomer : 04/BTA/JBR/2021
Inventaris
Kriteria : Benda
Objek
Nama tempat : Situs Seputih
penyimpanan
Jalan : Sumber Wadung
RT/RW :
Dusun : Sumber Jeding
Desa : Seputih
Kecamatan : Mayang
Kabupaten : Jember
Provinsi : Jawa Timur
Ukuran Lebar : 77 cm
Wadah Tinggi : 57 cm
Tebal bibir : 10 cm
Diameter Palung : 38,5 cm
Dalam Palung : 15 cm
Ukuran Tutup Panjang : 130 cm
Lebar : 73 cm
Tinggi : 61,5 cm
Bahan / Bahan : Batu Andesit
Warna Warna : Abu-abu kecoklatan
Kondisi : Secara keseluruhan utuh dan
aus karena alam.
Periode / Masa : Praaksara
Koordinat UTM : 8°12'07.1"S 113°47'53.4"E
43
Ketinggian : 112 E
Luas 140.400 cm2
Batas-batas Utara : Jalan
Timur : Sungai
Selatan : Gunung
Barat : Gunung
II. DESKRIPSI
Deskrispsi : Lingkungan Situs Seputih berada di Dusun Sumber Jeding Desa Seputih yang
Lingkungan secara administratif merupakan salah satu bagian dari wilayah Kecamatan
Mayang Kabupaten Jember. Wilayah tersebut terletak di dataran tinggi,
tepatnya berada di lereng pegunungan. Topografi daerah tersebut dikelilingi
oleh kebun, sungai, dan sawah.
Berdasarkan penelitian Haribuana (2014) bahwa antara mata air
dengan tinggalan arkeologi memiliki kaitan yang sangat erat, dalam hal ini
mata air memiliki fungsi ritual terhadap tinggalan arkeologi, sehingga
masyarakat pendukung melakukan upaya untuk melestarikan sumber-sumber
mata air tersebut.
Deskripsi : Sarkofagus dengan nomor inventaris 04/BTS/JBR/2021 merupakan
Objek kubur batu yang terdiri dari dua balok batu besar, dimana masing-masing
berfungsi sebagai wadah dan penutup. Secara keseluruhan masih utuh. Benda
ini memiliki warna Abu-abu kecoklatan. Pada bagian wadahnya memiliki
palung (lubang) dengan diameter 38,5 cm, apabila dilihat dari teksturnya
terlihat bahwa palung dan bentuk secara keseluruhannya dibuat dengan cara
dipahat menggunakan alat tertentu. Pada bagian lempengan atau tutup
kuburnya hampir menyerupai trapesium. Benda ini berbahan batuan andesit.
Latar sejarah : Tradisi pendirian bangunan-bangunan megalitik selalu berdasarkan
pada kepercayaan akan adanya hubungan yang erat anatara yang hidup
dengan yang mati, terutama kepercayaan terhadap adanya pengaruh kuat dari
yang telah mati terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman.
44
Jasa dari kerabat yang telah mati diabadikan dengan mendirikan bangunan
batu besar. Batu ini kemudian menjadi media penghormatan, tempat singgah
dan sekaligus menjadi lambang si mati.
Menurut konsep von Heine Geldern tentang penyebaran kebudayaan
megalitik di Indonesia yang terjadi dalam dua gelombang. Pertama, megalitik
tua yang berusia kurang lebih 2500-1500 SM dan megalitik muda yang
berusia kira-kira milenium pertama sebelum masehi. Pada pembedaan
megalitik tua dan megalitik muda, von Heine Geldern memasukkan megalitik
tua ke masa neolitikum. Sedangkan megalitik muda berkembang dalam masa
perundagian yang memperlihatkan bentuk-bentuk kubur yang diantaranya
peti batu, dolmen, sarkofagus, dan bejana batu.
Salah satu objek peninggalan megalitik muda adalah sarkofagus.
Sarkofagus berasal dari bahasa Yunani, yaitu sarx yang berarti daging dan
phagein yang berarti memakan. Secara harfiah sarkofagus berarti memakan
daging, tetapi dalam pengertiannya sarkofagus merupakan tempat dimana
daging akan menghilang sedikit demi sedikit. Sarkofagus berupa peti kubur
yang terbuat dari batu. Pada umumnya sarkofagus terbagi menjadi dua
bagian, pertama bagian wadah yang berfungsi sebagai tempat menyimpan
mayat, kedua bagian atas yang berfungsi sebagai penutupnya. Sarkofagus
merupakan peti batu untuk menguburkan tokoh-tokoh masyarakat yang
dianggap mempunyai wibawa atau sebagai leluhur, jadi benda ini secara
khusus untuk golongan tertentu.18 Tujuan dibuat peti kubur tersebut yaitu
agar orang yang meninggal mencapai keselamatan di dunia arwah.
Sarkofagus terdiri atas wadah dan tutup yang sama dan sebangun,
yang masing-masing memiliki rongga. Pinggiran rongga yang tebal pada
umumnya garis luar dan garis dalam yang sejajar dengan sudut-sudut yang
tajam atau tumpul. Tetapi kadang ada pula misalnya garis luar rongganya
menyudut, tetapi sudut terbentuk di bagian garis dalamnya. Pada umumnya
tutup sarkofagus benar-benar setangkup jika ditempatkan di atas wadah,
18
Sri Ana Handayani, loc.cit.
45
19
Artanegara, loc.cit.
46
20
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, loc.cit.
47
I. IDENTITAS OBJEK
Nama objek : Lumpang Batu
Nomer : 05/BTA/JBR/2021
Inventaris
Kriteria : Benda
Objek
Nama tempat : Situs Seputih
penyimpanan
Desa : Tegal Waru
Kecamatan : Mayang
Kabupaten : Jember
Provinsi : Jawa Timur
Tinggi : 31 cm
Tebal bibir : 15 cm
Diameter : 165 cm
Dalam Palung : 16 cm
Bahan / Bahan : Batu Andesit
Warna Warna : Hitam
Kondisi : Secara keseluruhan utuh, tetapi bibir palung aus
karena alam.
Periode / Masa : Praaksara
Koordinat UTM : 8°11'42.3"S 113°48'18.3"E
Ketinggian : 292°W
Luas 140.400 cm2
Batas-batas Utara : Sawah
Timur : Sungai
Selatan : Sungai
Barat : Sawah
50
II. DESKRIPSI
Deskrispsi : Lingkungan Tegal Waru berada di Kecamatan Mayang Kabupaten Jember.
Lingkungan Wilayah tersebut terletak di dataran tinggi, tepatnya berada di lereng
pegunungan. Topografi daerah tersebut dikelilingi oleh sungai, sawah, dan
rumah penduduk.
Berdasarkan penelitian Haribuana (2014) bahwa antara mata air
dengan tinggalan arkeologi memiliki kaitan yang sangat erat, dalam hal ini
mata air memiliki fungsi ritual terhadap tinggalan arkeologi, sehingga
masyarakat pendukung melakukan upaya untuk melestarikan sumber-sumber
mata air tersebut.
Deskripsi : Lumpang Batu dengan nomor inventaris 05/BTA/JBR/2021
Objek merupakan bongkahan batu dengan lubang pada bagian atas permukaannya.
Lubang lumpang tersebut berjumlah satu. Benda ini memiliki warna hitam
dan berbentuk setengah lingkaran. Benda ini berbahan batuan andesit.
Latar sejarah : Penelitian pada bidang arkeologi telah membuktikan bahwa budaya
megalitik mempunyai daerah penyebaran yang luas. Hasil kebudayaan tradisi
megalitik baik berupa monumen ataupun ritusnya, pada hakekatnya
berpangkal pada suatu konsepsi kepercayaan memuja roh nenek moyang.
Antara aktivitas pemujaan dengan monumen megalit merupakan suatu
kesatuan. Tetapi pemujaan roh nenek moyang tidak selalu diabadikan dengan
monumen megalit, tetapi dapat dikatakan sebagai manifestasi dari
kebudayaan megalit.
Berkaitan dengan pertanian, monumen megalit juga berperan penting
dalam ritual meminta hujan. Hal ini merupakan gambaran kehidupan
masyarakat pertanian pada masa prasejarah (bercocok tanam). Pertanian
semakin terorganisir semenjak manusia hidup menetap, meskipun dengan
teknologi pertanian yang masih sederhana. Dalam bercocok tanam masih
menggunakan peralatan sederhana. Beberapa jenis tanaman telah
dibudidayakan sebagai usaha pemenuhan kebutuhan hidup untuk melepaskan
ketergantungan dari alam.
51
21
Clifford Geertz, Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi Indonesia
(Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1993), hlm. 38.
52
22
Santoso Soegondho, “Awal Pertanian di Indonesia: Sebuah Analisis Ekologi
Budaya”, Analisis Hasil Penelitian Arkeologi III (Kajian Agrikultur Berdasarkan Data
Arkeologi), Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional – Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1989, hlm. 42.
23
Bagyo Prasetyo, “Lingkungan dan Awal Kegiatan Pertanian: Studi Kasus
Beberapa Situs Gua di Indonesia” Analisis Hasil Penelitian Arkeologi III (Kajian
Agrikultur Berdasarkan Data Arkeologi), Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional –
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, hlm. 142.
53
Pada awal zaman prasejarah, orang dari India Utara juga telah
melakukan budidaya tanaman jewawut. Distribusi jewawut saat itu terus
berkembang sampai daerah timur tengah dan Afrika Utara dimana tanaman
ini telah menjadi bahan makanan poko dan lebih lanjut menjadi makanan
khas diet untuk daerah Sumeria sekitar 2500 SM. Selain distribusi jewawut
juga meingkat melalui perdagangan antara Eritrea dan Somalia sekitar tahun
3000 SM. Orang Mesir juga awalnya belajar dari orang Afrika lainnya
tentang teknologi pengolahan jewawut, karena tanaman ini mampu tumbuh
dan berkembang dengan baik di lahan yang sangat kering, dimana gandum
dan barley tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.24
Jewawut telah dikenal oleh sebagian masyarakat Indonesia sejak
1000 SM diantaranya pulau Buru, Jember, Sulawesi Selatan seperti
Enrekang, Sidrap, Maros, dan di Sulawesi Barat, Polewali Mandar, Majene,
dan daerah lainnya.25 Sedangkan kultivasi padi di Asia Tenggara telah ada
pada masa prasejarah. Padi merupajan tanaman domestikasi pertama di
kawasan beriklim Muzon, suatu daerah yang memanjang dari wilayah timur
laut India sampai sebelah utara Indocina hingga mencapai sebelah selatan
Cina.26
Secara umum pertanian atau bercocok tanam ialah proses produksi
yang didasarkan atas pertumbuhan tanaman, yang dibedakan berdasarkan dua
macam ekosistem dinamika yang berlainan, yaitu; a) perladangan pada
dasarnya berlangsung secara berputar, dari tanaman ke tanaman dan
langsung, seperti pada hutan tropis atau meniru alam sekitarnya; dan b)
persawahan adalah usaha menaikkan konsumsi pangan mansuia dengan cara
mengolah kembali alam sekitarnya.27
24
Muhammad Azral, dkk., Teknologi Budidaya Tanaman Jewawut (Yogyakarta:
CV. Cakrawala, 2020), hlm. 5-6.
25
Ibid., hlm. 53.
26
Bagyo Prasetyo, op.cit., hlm. 143.
27
Clifford Geertz, op.cit., hlm. 15-16.
54
I. IDENTITAS OBJEK
Nama objek : Dolmen
Nomer : 06/BTS/JBR/2021
Inventaris
Kriteria Objek : Situs
Nama tempat : Situs Seputih
penyimpanan
Jalan : Sumber Wadung
Dusun : Sumber Jeding
Desa : Seputih
Kecamatan : Mayang
Kabupaten : Jember
Provinsi : Jawa Timur
Ukuran Panjang : 115 cm
Lebar : 96 cm
Tinggi : 31 cm
Bahan / Bahan : Batu Sedimen
Warna Warna : Abu-abu
Kondisi : Secara keseluruhan utuh, tetapi
sebagian aus karena alam.
Periode / Masa : Praaksara
Koordinat UTM : 8°12'06.8"S 113°47'51.4"E
Ketinggian : 320°NW
Batas-batas Utara : Gunung
Timur : Sungai
Selatan : Gunung
Barat : Gunung
II. DESKRIPSI
57
Deskrispsi : Lingkungan Situs Seputih berada di Dusun Sumber Jeding Desa Seputih
Lingkungan yang secara administratif merupakan salah satu bagian dari wilayah
Kecamatan Mayang Kabupaten Jember. Wilayah tersebut terletak di dataran
tinggi, tepatnya berada di lereng pegunungan. Topografi daerah tersebut
dikelilingi oleh kebun, sungai, dan sawah.
Berdasarkan penelitian Haribuana (2014) bahwa antara mata air
dengan tinggalan arkeologi memiliki kaitan yang sangat erat, dalam hal ini
mata air memiliki fungsi ritual terhadap tinggalan arkeologi, sehingga
masyarakat pendukung melakukan upaya untuk melestarikan sumber-
sumber mata air tersebut.
Deskripsi : Batu Dolmen dengan nomor inventaris 05/BTS/JBR/2021
Objek merupakan batu megalitik besar. Letaknya berada di tengah lahan
perkebunan. Dolmen tersebut berupa balok besar. Batu ini ditopang dengan
beberapa batu (kaki). Batu Dolmen ini berbahan batuan sedimen. Batu ini
memiliki warna abu-abu.
Latar sejarah : Keberagaman megalit di Indonesia dapat ditinjau dari dua aspek,
menyangkut frekuensi distribusi dari masing-masing wilayah maupun dari
keanekaragaman bentuk megalit. Data yang terkumpul dari hasil penelitian
maupun beberapa literatur menunjukkan bahwa secara administratif situs-
situs megalitik Indonesia mempunyai persebaran sekitar 22 dari 35 provinsi,
artinya lebih dari 60% wilayah Indonesia pernah dihuni oleh kebudayaan
megalitik.28 Berdasarkan identifikasi megalit yang pernah ditemukan di
seluruh daerah Indonesia telah diklasifikasikan secara morfologis jenis-
jenis megalit antara satu dengan lainnya. Morfologi umum bentuk megalit
dikategorikan dalam jenis batu tegak (menhir), arca batu, meja batu
(dolmen), monolit, punden berundak, peti batu, tempayan batu, kubur batu
(sarkofagus), kursibilik batu, lupang batu, dll.
Tradisi pendirian bangunan-bangunan megalitik selalu berdasarkan
pada kepercayaan akan adanya hubungan yang erat anatara yang hidup
28
Bagyo Prasetyo, loc.cit.
58
29
Sagimun, loc.cit.
30
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, loc.cit.
31
Heine Geldern, loc.cit.
32
Ayu Kusumawati, loc.cit.
59
33
Haris Sukendar, loc.cit.
60
Foto :
BAB 4
KESIMPULAN
62
DAFTAR SUMBER
63
64
Internet
Artanegara, “Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali: Sarkofagus” [online],
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbali/sarkofagus/, diunduh pada 10
Oktober 2021.
66
LAMPIRAN A
PETA PERSEBARAN
PENINGGALAN MEGALITIKUM
SITUS SEPUTIH, MAYANG
66
67
LAMPIRAN B
PETA PERSEBARAN
PENINGGALAN MEGALITIKUM
DESA SEPUTIH, MAYANG
68
LAMPIRAN C
PETA PERSEBARAN
PENINGGALAN MEGALITIK
DESA TEGAL WARU, MAYANG