Anda di halaman 1dari 4

ENSEFALITIS TOXOPLASMA

NO. DOKUMEN NO. REVISI HALAMAN


HK.03.04/III/271/2017 1/2
RSUP DR. M. DJAMIL
PADANG
DITETAPKAN DIREKTUR UTAMA
PANDUAN TANGGAL REVISI
PRAKTEK 5 JANUARI 2022
KLINIK
Dr.dr. Yusirwan, SpB, SpBA(K), MARS
Nip. 196211221989031001
PENGERTIAN Ensefalitis toxoplasma adalah penyakit perdangan pada
jaringan otak yang disebabkan oleh protozoa Toxoplasma
gondii. Penyakit ini muncul akibat terjadinya reaktivasi kista
laten di jaringan. Infeksi primer umumnya menyerang otak
atau dapat berupa peyakit sistemik.
ANAMNESIS Gangguan status mental, demam, nyeri kepala, defisit
neurologis fokal, penurunan kesadaran, kejang dan
gangguan penglihatan
PEMERIKSAAN FISIK Defisit neurologis fokal akibat lesi intracranial seperti
hemiparese, afasia, parese nervus kranialis, kejang fokal,
defisit sensorik, Gerakan involunter, distonia chorea
athetosis, hemiballismus dan mioklonus.
KRITERIA DIAGNOSIS Kriteria Diagnosis
1. Diagnosis definitif ensefalitis toxoplasma hanya
dapat ditegakkan dengan pemeriksaan histologi
biopsi jaringan otak. Sedangkan diagnose persumtif
ensefalitis toxoplasma dapat di buat berdasarkan
respon terhadap terapi empirik anti – toxoplasma
secara klinis dan imajing.
2. Secara praktis semua ODHA dengan lesi massa
intracranial dengan gejala neurologic yang progresif
dapat diberikan terapi empiric anti- toxoplasma
selama 2 minggu, walaupun serologinya negative
atau lesinya tunggal. Bila tidak terdapat perbaikan
klinis maupun radiologic setelah terapi empiric,
barulah dianjurkan untuk biopsy. Syarat pemberian
terapi empiric anti toxoplasma yaitu:
 Pasien HIV positif
 Terdapat gejala neurologis fokal yang
progresif
 Terdapat lesi fokal pada pemeriksaan
imajing.

Tidak disarafnkan untuk memberikan terapi


empiric anti toxoplasma bila:
 CD4> 200 sel/mm3
 IgG antitoxoplasma (-)
 Telah menerima terapi profilaksis adekuat
dengan Cotrimoxazole.

DIAGNOSIS KERJA ENSEFALITIS TOXOPLASMA


DIAGNOSIS BANDING 1. Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML);
perjalanan penyakitnya kronik dengan gambaran
imajing lesi fokal yang tidak menyangat kontras dan
tanpa efek massa.
2. Infeksi TBC pada sistik saraf pusat harus
dipertimbangkan bila terdapat bukti infeksi TBC
ditempat lain.
3. Limfoma sistim saraf pusat berada pada urutan
kedua setelah ensefalitis toksoplasma sebagai
penyebab lesi massa intrakranial pada ODHA,
keduanya dapat memberikan gambaran imajing
yang serupa. Pada MRI lesi tunggal dengan
penyangatan kontras yang homogen lebih
menyokong pada diagnosis limfoma. Pemeriksaan
SPECT , PET dan MRS dapat membedakan lesi ET
atau limfoma sistim saraf pusat.
PEMERIKSAAN 1. Pemeriksaan Penunjang
PENUNJANG 2. CT Brain atau MRI Brain dengan kontras
3. Lab: DPL (Hb/Leu/Ht/Plt), GDA, SGOT, SGPT, Alb,
Cl/Na/K, Ur/Cr, analisa cairan serebro spinal, faal
hemostasis, kultur+ resistensi (aerob & anaerob),
pemeriksaan serologis Toxoplasma gondii, ELISA,
Western Blot analysis, IFA, RIPA, lymphosit cell CD4
dan CD8, viral load. Antibody toksoplasma
lmunoglobulin (Ig) M dan titer IgM toksoplasma , Untuk
fase kronik dapat dilakukan pemeriksaan IgG.
4. Lumbal pungsi
5. EKG &Thorax PA/AP

TATALAKSANA Standar terapi ensefalitis toksoplasma adalah kombinasi


pirimetamin dan sulfadiazin. Namun karena di Indonesia
sulfadiazin tidak tersedia, kombinasi pilihan yaitu
pirimetamin dan klindamisin, dengan dosis:
Fase akut (4-6 minggu):
- Pirimetamin loading 200 mg, lalu dilanjutkan, jika BB
<50 kg: 2x25 mg per hari per oral dan jika BB >50
kg: 3x25 mg per hari per oral
- Klindamisin 4x600 mg
Antiedema:
- Steroid dapat digunakan dalam waktu singkat pada
terapi fase akut, terutama bila dijumpai efek massa
yang signifikan.
Terapi fase akut, selain ini dapat pula digantikan preparat
lain sebagai alternatif, yaitu trimethoprim sulfamethoxazole
5 mg/kg/12 jam (dosis maksimum 15-20 mg/kg/hari),
azitromisin (1,2-1,5 g/hari), klaritromisin 1000 mg diberikan
per oral tiap 12 jam atau atovaquone 1,5 mg per oral tiap
12 jam, minosiklin 150-200 mg diberikan tiap 12 jam atau
doksisiklin diberikan 300-400 mg/hari.

Terapi fase perawatan:


• Pirimetamin dan klindamisin dengan dosis 1⁄2 dari dosis
fase akut dengan asam folat 5-25 mg oral per hari atau
menggunakan kotrimoksazol 2x480 mg,
• Fase rumatan diteruskan hingga pasien mencapai nilai
CD4 > 200

Pada penderita dengan diagnosis presumtif dapat diterapi


dengan sulfadiazine oral (mulai 4 g, kemudian dilanjutkan
4-6 g tiap hari) dan pirimetamin (mulai 200mg, kemudian
50-100mg tiap hari). leukovorin, 15-20mg harus diberikan
setiap hari untuk mengurangi efek antifolat dari
pirimetamin. Pengobatan harus diberikan selama minimal
6 minggu. Pada penderita dengan AIDS, terapi pada dosis
rendah dilanjutkan hingga CD4 melewati 200- 250/llL
selama 6 bulan atau lebih, terapi harus diberikan
sepanjang hidup untuk mencegah relaps.
Respon klinik terhadap terapi empirik anti-toksoplasma
biasanya terlihat dalam 7 hari. Respon radiologik berupa
berkurangnya ukuran lesi dan dan penyangatan kontras
mulai terlihat pada minggu ke-2.

LAMA PERAWATAN 7-14 hari


EDUKASI 1. Penjelasan Sebelum MRS (rencana rawat, biaya,
pengobatan, prosedur, masa dan tindakan pemulihan
dan latihan, manajemen nyeri, risiko dan komplikasi)
2. Penjelasan mengenai risiko dan komplikasi selama
perawatan
3. Penjelasan mengenai faktor risiko dan pencegahan
rekurensi
4. Penjelasan program pemulangan pasien (Discharge
Planning)
5. Penjelasan mengenai gejala dan apa yang harus
dilakukan sebelum dibawa ke RS
PROGNOSIS Ad vitam : dubia ad bonam (tergantung klinis)
Ad Sanationam : dubia ad malam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam (tergantung klinis
TINGKAT EVIDENS
TINGKAT
REKOMENDASI
PENELAAH KRITIS dr.Spesialis Neurologi
INDIKATOR MEDIS
KEPUSTAKAAN 1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis
bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
2. Standar Kompetensi Dokter Spesialis Neurologi
Indonesia, 2015
3. Kelompok Studi Neuroinfeksi Perhimpunan Dokter
Saraf Indonesia. Modul Neuro Infeksi. Jakarta. UB
Press. 2019. Hal 35-55.

Anda mungkin juga menyukai