Anda di halaman 1dari 5

Pada anamnesis, pasien anak laki-laki usia 5 tahun mengeluhkan adanya sesak

napas yang dirasakan sejak 1 hari SMRS, sesak napas dirasakan terus menerus,
semakin lama semakin berat dan tidak membaik dengan istirahat. Sebelum sesak
muncul, pasien mengalami batuk kering sejak 1 minggu SMRS. Batuk dirasakan
terus-menerus dan semakin lama semakin memberat hingga pada 3 hari SMRS batuk
terdengar seperti suara menggonggong. Keluhan pilek disangkal. Selain itu pasien
juga mengeluhkan mual dan muntah 3x saat setelah pasien batuk. Pasien
mengeluhkan demam sejak 2 hari SMRS. Dari keluhan-keluhan pasien tersebut,
termasuk dalam gejala prodormal, yang kemungkinan besar terjadi akibat infeksi
Human Parainfluenza Virus terutama tipe 1 (HPIV–1), HPIV-2, HPIV-3, dan HPIV-4
yang biasanya terdapat pada sekitar 75% kasus. Pasien menyangkal adanya keluarga
yang mengalami hal yang sama, serta tidak ada riwayat asma sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum pasien sakit berat,
kesadaran composmentis, nadi 155x/menit, respirasi 35x/menit, suhu 37,5 0C, dan
SpO2 94%. Pada pemeriksaan kepala dan leher tampak napas cuping hidung dan
dyspneu. Pada pemeriksaan fisik thorax tampak retraksi intercostal, serta ditemukan
suara rhonki dan wheezing di paru kanan, dan terdapat juga stridor. Karena akibat
adanya peradangan pada saluran napas sehingga menyebabkan penyempitan stridor
diikuti retraksi dinding dada yang dapat terjadi (selama inspirasi). Pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan leukosit 3800/μl. Hal ini menunjukkan leukopenia yang
biasanya disebabkan oleh infeksi virus. Pada pemeriksaan thorax ditemukan infiltrat
di perihiler dextra serta adanya gambaran steeple sign, yaitu adanya penyempitan dari
subglotis akibat adanya peradangan.
Dari seluruh gejala-tanda klinis, serta pemeriksaan penunjang, ditetapkan
diagnosis kerja untuk pasien ini adalah viral croup. Pasien ini dikategorikan sebagai
moderate viral cruop sesuai dengan Severity Scoring Westley Modified Croup Score
didapatkan nilai 3 (retraksi dinding dada 2, stridor dengan agitasi 1).
Pasien langsung diberikan terapi berupa IVFD D% ½ NS 1000cc/hari untuk
memebuhi kebutuhan cairan, ceftriaxone inj 2 x 750 mg untuk mencegah adanya
infeksi sekunder, dexamethasone ing 3 x 2 mg sebagai anti peradangan, paracetamol
drip 4 x 250 mg untuk terapi demam, inhalasi ventolin 3x/hari, inhalasi adrenalin 1
amp 3x/hari, serta O2 sungkup 5 liter untuk penanganan sesak, pasien sementara
dipuasakan, dan dirawat di ICU agar bisa termonitor secara jelas.
Hari pertama pasien dirawat, di ICU masih ditemukan gejala klinis seperti
awal masuk IGD berupa sesak, batuk menggonggong, dan lemas, namun suhu sudah
mulai menunjukan penurunan. Retraksi dinding dada, rhonki, wheezing dan stridor
masih ditemukan. Terapi yang diberikan masih sama seperti awal masuk RS. Hari
kedua pasien dirawat, demam sudah tidak ditemukan, namun pasien masih mengeluh
batuk menggonggong, sesak, dan lemas. Retraksi dinding dada, rhonki, wheezing
mengalami penurunan, stridor sudah tidak ditemukan. Terapi yang diberikan masih
sama seperti awal masuk RS. Hari ketiga pasien pindah rawat ke bangsal anak, gejala
yang ditemukan masih terdapat batuk menggonggong namun sudah menunjukkan
penurunan, sesak dan demam disangkal. Retraksi, rhonki, dan wheezing sudah tidak
ditemukan. Hari keempat pasien dirawat keluhan batuk menggonggong tidak
ditemukan, makan dan minum sudah mulai normal, pemeriksaan fisik dalam batas
normal, dan pasien diperbolehkan untuk pulang.

infeksi virus dimulai dari nasofaring dan menyebar ke epitelium trakea


dan laring. Invasi virus ke dalam mukosa laring menyebabkan inflamasi,
hiperemis dan edema. Peradangan difus, eritema, dan edema yang terjadi
pada dinding trakea menyebabkan terganggunya mobilitas pita suara serta
area subglotis mengalami iritasi. Hal ini menyebabkan suara pasien
menjadi serak (parau). Area subglotis mengalami penyempitan sehingga
aliran udara yang melewati saluran respiratori-atas mengalami turbulensi
sehingga menimbulkan stridor, diikuti dengan retraksi dinding dada
(selama inspirasi). Biasanya anak akan mengkompensasi keadaan ini
dengan bernapas lebih cepat dan dalam. Pergerakan dinding dada dan
abdomen yang tidak teratur menyebabkan pasien kelelahan serta
mengalami hipoksia dan hiperkapnea. Pada keadaan ini dapat terjadi
gagal napas atau bahkan henti napas.
KASUS KEPUSTAKAAN
Manifestasi Klinis
Pasien datang dengan keluhan Gejala klinis di awali dengan suara
sesak napas yang dirasakan sejak 1 hari serak, batuk menggonggong dan stridor
SMRS, sesak napas dirasakan terus inspiratoir. Bila terjadi obstruksi, stridor
menerus, semakin lama semakin berat dan menjadi makin berat.
tidak membaik dengan istirahat. Sebelum Viral croup biasanya terjadi pada
sesak muncul, pasien mengalami batuk anak usia 6 bulan – 6 tahun. Ditemukan
kering sejak 1 minggu SMRS. Batuk gejala prodormal seperti suara serak,
dirasakan terus-menerus dan semakin batuk, dan sesak. Batuk dirasakan
lama semakin memberat hingga pada 3 sepanjang hari, dan terdapat demam
hari SMRS batuk terdengar seperti suara tinggi. Terdapat stridor inspiratoir.
menggonggong. Riwayat keluarga dan asma disangkal.
Selain itu pasien juga Berbeda dengan spasmodic croup
mengeluhkan mual dan muntah 3x saat yang gejala prodormalnya tidak jelas.
setelah pasien batuk. Pasien mengeluhkan Terdapat batuk yang dirasakan terutama
demam sejak 2 hari SMRS. pada malam hari. Serta adanya riwayat
Pasien tidak memiliki riwayat keluarga dengan keluhan serupa dan
alergi obat, riwayat asma, dan riwayat asma.
keluarga yang mengalami keluhan serupa.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum pasien sakit berat, Pemeriksaan fisik yang didapatkan
kesadaran composmentis, nadi sesuai dengan derajat keparahan pasien
155x/menit, respirasi 35x/menit, suhu 37,5 biasanya terdapat sianosis, retraksi
0
C, dan SpO2 94%. Pada pemeriksaan dinding dada, stridor dengan agitasi atau
kepala dan leher tampak napas cuping diam.
hidung dan dyspneu. Pada pemeriksaan Pada kasus lain terjadi obstruksi
fisik thorax tampak retraksi intercostal, napas yang makin berat, ditandai dengan
serta ditemukan suara rhonki dan takipneu, takikardia, sianosis dan
wheezing di paru kanan, dan terdapat juga pernapasan cuping hidung. Pada
stridor inspiratoir. pemeriksaan toraks dapat ditemukan
retraksi supraklavikular, suprasternal,
interkostal, epigastrial.
Bila anak mengalami hipoksia,
anak tampak gelisah, tetapi jika hipoksia
bertambah berat anak tampak diam,
lemas, kesadaran menurun. Pada kondisi
yang berat dapat menjadi gagal napas.
Diagnosis
Diagnosis croup ditegakkan Pemeriksaan penunjang seperti
berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan radiologis
dan pemeriksaan penunjang berupa tidak perlu dilakukan karena diagnosis
pemerisaan laboratorium dan didapatkan
biasanya dapat ditegakkan hanya dengan
leukopenia yaitu 3800/μl.
anamnesis, gejala klinis, dan
Lalu pada pemeriksaan radiologi
pemeriksaan fisik.
sesuai dengan teori yaitu terdapat steeple
Bila ditemukan peningkatan
sign.
leukosit >20.000/mm3 yang didominasi
PMN, kemungkinan telah terjadi
superinfeksi, misalnya epiglotitis.
Pada pemeriksaan radiologis leher
posisi poserior-anterior ditemukan
gambaran udara steeple sign (seperti
menara) yang menunjukkan adanya
penyempitan kolumna subglotis.

Tatalaksana
Tatalaksana yang diberikan pada pasien  Nebulisasi epinephrin.
ini berupa : Nebulisasi epinefrin sebaiknya juga
 IVFD D% ½ NS 1000cc/hari diberikan kepada anak dengan sindrom
 Ceftriaxone inj 2 x 750 mg croup sedang-berat yang disertai dengan
 Dexamethasone inj 3 x 2 mg stridor saat istirahat dan membutuhkan

 Paracetamol drip 4 x 250 mg intubasi, serta pada anak dengan retraksi

 Inhalasi ventolin 3x/hari dan stridor yang tidak mengalami


perbaikan setelah diberikan terapi uap.
 Inhalasi epinephhrin 1 amp 3x/hari
 Kortikosteroid
 O2 sungkup 5 liter
Kortikosteroid mengurangi edema pada
 Puasa
mukosa laring melalui mekanisme anti
 Rawat ICU
radang. Uji klinik menunjukkan
adanya perbaikan pada pasien
 Terapi yang telah diberikan pada pasien
laringotrakeitis ringan-sedang yang
ini sudah sesuai dengan kepustakaan. diobati dengan steroid oral atau
 Pasien tidak dilakukan intubasi parenteral dibandingkan dengan
endotrakeal karena pasien tidak plasebo.
mengalami gawat napas.  Deksametason 0,6 mg/kgBB per
oral/im sebanyak satu kali
 Prednisone atau prednisolon dengan
dosis 1-2 mg/kgBB
 Nebulisasi budesonid 2-4 mg
budesonid (2 ml) diberikan melalui
nebulizer dan dapat diulang pada 12
dan 48 jam pertama
 Intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakeal dilakukan pada
pasien sindrom croup yang berat, yang
tidak responsive terapi lain. Intubasi
endotrakeal rnerupakan terapi
alternative selain trakeostomi
 Antibiotik
Pemberian antibiotik tidak diperlukan
pada pasien sindrom croup, kecuali
pasien dengan laringotrakeobronkitis
atau laringotrakeopneumonitis yang
disertai infeksi bakteri. Pasien
diberikan terapi empiris sambil
menunggu hasil kultur. Terapi awal
dapat menggunakan sefalosporin
generasi ke-2 atau ke-3.

Anda mungkin juga menyukai