Anda di halaman 1dari 96

1

MENULIS KREATIF
Panduan Menulis Kreatif

Suhariyadi – Seri Modul Penulisan Sastra

Penerbit
SANGGAR SASTRA UNIROW
2011

2
MENULIS KREATIF
Panduan Menulis Kreatif
Hak Cipta © Suhariyadi

Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia


Oleh Penerbit SANGGAR SASTRA UNIROW,
Mei 2011
Jl. Manunggal No. 65
Tuban

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penulis

Perpustakaan Sanggar Bahasa dan Sastra Indonesia


UNIROW Tuban

Isi di luar tanggung jawab Percetakan

3
KATA PENGANTAR

Buku ini ditulis sebagai Modul Pengembangan Diri mahasiswa Program


Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, UNIROW, Tuban, di bidang
penulisan kreatif. Di samping itu, buku ini juga dapat dipakai untuk kalangan
pelajar dan remaja yang sedang bergairah menulis. Pada modul ini terfokus pada
penulisan sastra, sedangkan pada seri selanjutnya akan ditulis jenis penulisan
kreatif non-sastra. Sebagai modul, buku ini berisi teknik-teknik bagaimana
menuangkan ide dan gagasan ke dalam tulisan. Semoga kehadirannya dapat
bermanfaat bagi semua pihak.
Tujuan disusunnya buku ini sekedar memberikan pedoman bagi
mahasiswa, pelajar, remaja, ataupun para penulis pemula. Kerap kali mereka
mengeluhkan kebuntuhan untuk menuangkan apa yang dipikirkan dan dirasakan
ke dalam bentuk tulisan. Dari berbagai kegiatan pelatihan penulisan yang diikuti
penulis sebagai nara sumbernya, ada dua hal yang melatarbelaknginya. Pertama,
mereka belum memahami hakikat tulisan yang akan mereka ciptakan. Kedua,
mereka belum menguasai teknik menuangkan ide dan gagasannya itu dengan
cara yang mudah, cepat, dan produktif. Berdasarkan dua hal itu modul ini dibuat.
Banyak hal yang belum sempurna dalam modul ini. Oleh karena itu,
penulis terbuka terhadap masukan, kritik, dan saran untuk kesempurnaannya.
Tak ada gading tak retak. Begitu pula yang terjadi dalam modul ini. Banyak hal
yang belum terkatakan. Banyak hal yang belum waktunya diungkapkan. Masih
banyak waktu untuk itu. Masih banyak kesempatan untuk menciptakan. Kiranya
sebatas itulah modul ini ditulis. Terima kasih untuk semua pihak yang telah
membantu penyusunan modul ini. Semoga karya dan kekaryaan memiliki
manfaat bagi kemslahatan umat. Amin.

Penulis

4
DAFTAR ISI

SIASAT SASTRA
Pijakan Mencipta Karya Sastra

MANUSIA HERO
Obyek Penciptaan Karya Sastra

KONFLIK
Titik Kemenarikan Karya Sastra

IDE PENULISAN
Sebuah Premis tentang Problema Manusia

KERANGKA PENULISAN
Membangun Aliran Cerita yang Menarik

BAGAIMANA PUISI ITU TERCIPTA?

BAGAIMANA CERPEN ITU TERCIPTA?

BAGAIMANA DRAMA ITU TERCIPTA?

BAGAIMANA ESAI ITU TERCIPTA?

BELAJAR SASTRA
Menulis Sastra Mesti Belajar Sastra

5
SIASAT SASTRA
Pijakan Mencipta Karya Sastra

D alam jagad kesusasteraan dikenal istilah: imajinasi, fiksi, dan ekspresi.


Ketiga istilah tersebut menyarankan proses kesadaran manusia dalam
penciptaan karya sastra. Istilah imajinasi mengandung pengertian perenungan,
penghayatan, pemikiran, dan perasaan. Di dalam imajinasi itulah, seseorang
mengembara ke ruang kesadaran. Ia mengarungi samudra yang luas tak bertepi
dalam jiwanya. Dalam pengembaraan itu akan ia jumpai kenangan, ingatan,
pengalaman, kilatan gambar-gambar, yang pernah masuk ke dalam alam sadar
dan bawah sadarnya. Itulah mengapa imajinasi disebut juga pembayangan.
Bahasalah yang akan mewadahi hasil imajinasi tersebut ke dalam kata, frase,
kalimat, paragraf, dan wacana, yang kemudian disebut sastra.
Sedangkan istilah fiksi mengandung pengertian rekaan, khayalan, sesuatu
yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga tak perlu dicari
kebenarannya dalam realitas. Ia berisi peristiwa, tokoh, dan tempat, yang
kemudian ditampung dalam bahasa naratif dan disebut dengan sastra (wacana
naratif). Itulah mengapa istilah fiksi bertolak belakang dengan realitas atau
faktual. Kedua istilah itu, imajinasi dan fiksi, merupakan rangkaian tak
terpisahkan. Pengalaman pengembaraan imajinasi seseorang akan memunculkan
fiksi yang terwadahi dengan bahasa dan disebut karya sastra. Beberapa ahli
sastra menyebutnya dengan cerita rekaan atau prosa fiksi.
Sedangkan istilah ekspresi mengandung pengertian cara mengungkapkan
apa yang diimajinasikan seseorang dengan sarana bahasa. Setiap orang memiliki
ekspresi yang berbeda-beda. Setiap kreator memiliki gaya masing-masing. Ia
bersifat individual. Karena bahasa menjadi medianya, maka ekspresi seseorang
akan tampak pada penggunaan kata, frase, kalimat, paragraf, dan wacana.
Bahasa fiksi dengan demikian merupakan hasil dari pengolahan secara kreatif,
imajinatif, dan fiktif. Dari pilihan kata hingga wacana yang lengkap, akan
memunculkan cara dan gaya bagaimana seseorang mengungkapkan apa yang
diimajinasikan dan difiksikan. Tak heran jika seseorang memiliki teknik,
kebiasaan, dan pengetahuan untuk itu.
Dalam ekspresi ada penyikapan terhadap obyek yang diungkapkan dalam
karya sastra. Penyikapan itu dipengaruhi banyak hal, antara lain: tingkat
penghayatan, pemikiran, kemampuan, ideologi, kebiasaan, lingkungan,
pengalaman, dan sebagainya. Di samping itu, dalam ekspresi terdapat juga teknik

6
tentang bagaimana menyusun obyek yang diungkapkan melalui unsur-unsur
wacana sastra yang diciptakan. Dalam pengetahuan wacana disebut dengan
strategi pewacanaan. Strategi pewacanaan merupakan model, skema, dan
fokalisasi yang digunakan seseorang dalam menciptakan karya sastra. Adanya
penyikapan dan teknik ekspresi itulah menandai adanya penyiasatan dalam karya
sastra. Sebutlah dalam konteks pembicaraan ini disebut Siasat Sastra.
Hal ihwal Siasat Sastra muncul lantaran adanya kreativitas pengarang
dalam menciptakan karya sastranya. Adanya sikap terhadap obyek yang
diungkapkan dan gaya atau teknik terhadap bahasa sebagai media, merupakan
dua hal yang menandai siasat sastra. Sikap pengarang terhadap obyek yang
diungkapkan mengandung berbagai kemungkinan yang luas, seluas samudra
imajinasi pengarang itu.Bahkan lebih luas dari realitas. Makanya kebenaran
dalam imajinasi dan fiksi berbeda dengan kebenaran dalam realitas. Tak perlu
mencari kebenaran realitas dalam karya sastra. Terdapat jarak antara keduanya;
kebenaran imajinatif dan kebenaran obyektif. Di antara keduanya ada jarak di
mana sikap kreatif dan estetis berada di dalamnya.
Adanya sikap kreatif dan estetis-imajinatif itulah, apa yang tidak mungkin
dalam realitas, menjadi mungkin dalam karya sastra. Apa yang tidak lumrah
dalam realitas, menjadi lumrah dalam karya sastra. Apa yang tidak logis dalam
realitas, menjadi logis dalam karya sastra. Begitu sebaliknya. Tak pelak lagi
adanya kecenderungan munculnya shok psikologis bagi pembacanya ketika
membaca karya sastra. Apa yang sudah biasa dialami dalam realitas, menjadi
sesuatu yang tidak biasa dalam karya sastra. Bisa saja hal itu tidak lazim dalam
realitas dan tidak disadari pembacanya. Pertunjukan Uncle Tom Cabin karya
Stowe, pada akhirnya menjadi terapi bagi penontonnya, yang semuanya kulit
putih Amerika, bahwa perlakuan kulit putih terhadap kulit hitam merupakan
perbuatan yang tak adil dan tidak sesuai dengan hakikat moral dan kemanusiaan.
Jika kemudian, para penonton merasakan simpati atas apa yang diceritakan
dalam pertunjukan tersebut, sesungguhnya terdapat kesadaran moral yang
selama ini tidak pernah terjadi dalam realitas.
Ketika rakyat Uni Sovyet dibungkam kebebasan mengeluarkan
pendapatnya, maka novel Boris Pasternak berjudul Doktor Zivago menjadi
medianya. Betapapun pada akhirnya Boris Pasternak harus menerima hukuman
mati, sesungguhnya ia telah mengungkapkan sebuah kemungkinan kebenaran
yang diyakininya, yang dalam realitasnya sangat tabu di negeri itu. Begitu juga
ketika tubuh dan organ intim manusia tabu dan vulgar secara etika untuk
diungkapkan dalam realitas, para sastrawan wanita, seperti Ayu Utami, Djenar
Mahesa Ayu, dan banyak pengarang wanita lainnya, justru mengungkapkannya
dalam karya sastra. Begitu juga Abidah El-Khaliqie dalam novelnya berjudul
Perempuan Berkalung Surban, mengungkapkan hal yang tak terungkapkan dalam
realitas. Itu menjadi sebuah kemungkinan sebagai kebenaran yang harus
diungkapkan. Itu menjadi sebuah sikap pengarang dalam memandang obyek
yang diungkapkan dalam karya sastranya. Dan itu merupakan siasat sastra yang
selalu muncul dalam jagad kepengarang kesusasteraan.

7
Siasat sastra dalam perwujudannya sebagai sikap pengarang, merupakan
wujud intelektualitas dan keyakinan akan suatu kebenaran hidup. Pada tataran
inilah karya sastra bukan sekedar khayalan belaka. Bukan sebagai hasil dari
lamunan pengarang terhadap apa yang diceritakan. Tak pelak lagi, sepanjang
sejarahnya, kesusateraan selalu berkaitan dengan hakikat dan nilai-nilai
kehidupan. Sepanjang sejarahnya, kesusasteraan selalu menjadi media sosialisasi
dan pendidikan bagi masyarakatnya. Bahkan dalam sejarahnya itu, kesusasteraan
pernah menjadi media bagi sebuah pembangunan karakter bangsa (character
bulding). Di mata kelompok realisme sosial, yang bersumber pada pemikiran
marxisme, menjadikan karya sastra sebagai alat propaganda ideologi dan
politiknya. Dan bahkan jauh sebelum itu, ketika masyarakat belum mengenal
ilmu pengetahuan yang sedisiplin sekarang, karya sastra adalah pengetahuannya.
Sebagai pembangun karakter bangsa dan pengetahuan tentang hidup,
karya sastra perlu menyiasati segala bidang kehidupan. Ia mesti menyiasati
bagaimana dan sebaiknya dan seharusnya hidup yang lebih baik dan bermoral. Ia
menjadi sebuah alternatif cara pandang dan bersikap terhadap semua persoalan
hidup agar lebih bermakna bagi pemiliknya. Banyak kemungkinan dan pilihan
untuk menjalani kehidupan yang penuh intrik ini. Intrik kehidupan selalu ada
dalam perjalanan hidup manusia. Lika-liku problema kehidupan adalah intrik
yang harus dipecahkan agar kehidupan manusia menjadi harmonis. Manusia
untuk itu harus menyikapi semua hal agar arah perjalanan kehidupannya menuju
kepada kemaslahatan. Penyikapan tersebut merupakan bentuk pemikiran,
penghayatan, pengalaman, dan kebijaksanaan hidup. Di situlah siasat sastra
menempatkan penyikapan terhadap obyek yang diceritakan pengarang turut
memberikan sumbangan bagi masyarakatnya.
Persoalan bahasa sebagai media ekpresi pengarang juga menjadi siasat
sastra. Licensia Poetica menjadi label bagi kebebasan pengarang untuk
membangun bahasanya sebagai perwujudan siasat sastra itu. Hak untuk secara
kreatif menggunakan dan menyusun bahasa dalam karya sastra menjadi
persoalan yang tak pernah habis dibicarakan. Bahkan secara keilmuan muncul
cabang ilmu bahasa dan sastra yang disebut stilistika dan retorika. Kedua cabang
ilmu itu menjadi disiplin yang mencoba menjelaskan kaedah-kaedah bagaimana
suatu bahasa tampak estetik dan menarik. Wilayah kajian keduanya akan sampai
pada suatu proposisi bahwa terdapat siasat yang dipakai pengarang dalam
mengekspresikan karyanya.
Persoalan ekspresi sesungguhnya berdasarkan pada hakikat karya sastra
sebagai karya seni yang indah. Jika pada tataran penyikapan terhadp obyek
merupakan substansi isi, maka ekspresi menjawab bagimana substansi itu
diungkapkan dengan cara yang indah dan menarik. Horatius mengatakan karya
sastra memiliki fungsi dulce et utile; mendidik dan menghibur. Bagaimana
mengajarkan suatu kebijaksanaan hidup yang baik dengan cara menghibur.
Berdasarkan inilah kualitas karya sastra bisa diukur apakah ia tergolong karya
sastra yang cukup menjadi bahan bacaan pengisi waktu luang, sekali baca lantas
tidur, atau ada sesuatu yang mesti dipahami, dimengerti, dihayati, dan
diamalkan dalam kehidupan yang lebih baik. Sebuah apresiasi karya sastra akan

8
diawali pada tingkat hiburan hingga pada aplikasi ke dalam kehidupan
pembacanya.
Sarana bahasa jelas menyediakan semua kebutuhan bagi ekspresi
pengarang ketika menciptakan karya sastra. Keluasan dan keleluasaan berbahasa
yang dimiliki bahasa itu sendiri dan/atau pengarang, memungkinkan banyak
ragam siasat sastra dalam bidang ekspresi. Keluasan dan keleluasaan berbahasa
sejauh keluasan dan keleluasaan karya sastra yang beraneka ragam gaya
ekspresinya. Setiap pengarang memiliki gaya ekspresi yang berbeda-beda. Setiap
karya sastra memiliki penyiasatan bahasa yang bermacam-macam. Namun
demikian, ada prinsip-prinsip dasar yang sama di antara mereka. Prinsip-prinsip
dasar tersebut tampak pada wilayah yang mana yang menjadikan pengarang dan
karya sastranya menyiasati bahasa sebagai bentuk siasat sastra.
Pilihan kata, penciptaan simbol, imaji, gaya bahasa, bangunan kalimat,
penciptaan dan penyimpangan makna, bangunan bunyi, struktur cerita (wacana),
merupakan wilayah yang sangat diperhatikan oleh pengarang. Ia tidak sekedar
memperlakukan semua itu dalam konteks kebahasaan, tetapi ia olah dan
manfaatkan untuk tidak saja menampung makna tetapi juga perasaan. Bahasa
dalam karya sastra tidak saja mewadahi sebuah pengertian sebagaimana dalam
sistem yang mengaturnya, tetapi juga mampu mewadai apa yang ada dalam
gejolak jiwa pengarangnya. Untuk itu acap kali pengarang mengadakan
penyimpangan, pembaharuan, dan pendobrakan terhadap sistem bahasa.
Ketidaklaziman bahasa sering muncul sebagai bentuk siasat sastra. Semua itu
sengaja dilakukan untuk memunculkan kekhasan gaya ekspresi pengarangnya.
Semua itu sengaja dilakukan untuk memunculkan efek kejiwaan dan suasana
dalam karya sastra.
Begitu pentingnya siasat sastra dalam penciptaan karya sastra,
menjadikan ia sebagai wilayah kajian yang tak mungkin dilepaskan dari semua
kajian dengan pendekatan dan teori apa saja. Psikologi sastra, sosiologi sastra,
filsafat sastra, strukturalisme, postrukturalisme, stilistika, hingga studi budaya
sastra, mesti bersentuhan dengan persoalan siasat sastra itu. Oleh karena itu,
kehadirannya tidak perlu berdiri sendiri sebagai sebuah pendekatan atau teori
sastra. Siasat sastra sebatas sebagai wacana pemikiran tentang prinsip-prinsip
dasar penciptaan karya sastra. Ia juga sebagai wacana pemikiran tentang
bagaimana pembaca memahami sebuah strategi kewacanaan yang terkandung
dalam karya sastra. Dengan begitu, pembaca dapat mengambil manfaat dalam
proses pembacaan karya sastra itu.

_________________

9
MANUSIA HERO
Obyek Penciptaan Karya sastra

S ejak peradaban manusia ada, sastra dan moral-sosial tak dapat dipisahkan.
Pertama, sastra diciptakan untuk memberikan pencerahan bagi pembaca
dan pendengarnya. Sastra memberikan pengajaran mengenai budi pekerti dan
moral yang baik. Nilai-nilai tuntunan sangat menonjol tanpa mengabaikan
tatanan keindahannya. Kedua, karya sastra lahir dari perenungan, penghayatan,
pengalaman batin, dan rasa yang dalam dari pengarangnya. Karya sastra bukan
semata sebagai khayalan untuk menghibur. Lebih dari itu, karya sastra menjadi
wujud dari sebuah kebijaksanaan tentang hidup yang sempurna dan bermanfaat.
Tidak heran jika zaman dahulu para sastrawan akan menyiapkan mata batinnya
yang jernih, suci, dan hening sebelum menciptakan karya sastra. Karya sastra
diharapkan menjadi penuntun bagaimana menciptakan harmonisasi antara jagad
mikro (sumber penulisan karya sastra) dengan jagad makro (sumber eksistensi
hidup manusia).
Karya sastra mengungkapkan persoalan hidup manusia dalam hubungan
sarwa (hubungan antara manusia dengan manusia, alam semesta, dan Tuhan).
Hubungan sarwa tersebut selalu melahirkan problema yang menuntut manusia
untuk menyelesaikannya. Akhir dari persoalan hidup yang diungkapkan dalam
karya sastra itu akan selalu menuju pada keharmonisan atau ketidakharmonisan
hubungan. Akhir harmonis menjadi tuntunan positif bagaimana seyogyanya
manusia mengambil sikap dalam menyelesaikan persoalan yang menimpanya.
Akhir tidak harmonis menjadi tuntunan negativ, seharusnya manusia tidak
mengambil sikap tertentu agar persoalan hidup yang menimpanya tidak berakhir
secara tragis dan menyedihkan. Keanekaragaman gaya penceritaan dalam karya
sastra memiliki tujuan yang sama, bagaimana seharusnya bersikap selayaknya
untuk menyelesaikan persoalan hidup.
Manusia pada dasarnya adalah seorang Hero. Itulah yang sesungguhnya
ingin diungkapkan sastrawan melalui karya sastranya. Hidup adalah sebuah
perjuangan. Manusia hidup dengan begitu mesti mengalami dan melakukan
sebuah perjuangan. Perjuangan melawan keterbatasan; perjuangan melawan
kejahatan; perjuangan melawan nafsu; dan perjuangan melawan persoalan-

10
persolan yang muncul dalam perjalanan hidup dan kehidupan manusia. Dalam
hukum moral, Hegel menggambarkan sebuah dialektika; sebuah sistesa dari
internalisasi tesa dan antitesa. Keharmonisan pada dasarnya tercipta dari
keterpaduan suatu hal dengan hal lain. Dalam pemikiran ini, perjuangan manusia
sebagai Hero adalah perjuangan untuk menyelesaikan persoalan melalui
hubungan antara dua hal yang berbeda. Keberhasilan perjuangan itu tergantung
pada bagaimana manusia mampu memadukan keduanya secara harmonis. Karya
sastra mengungkap manusia sebagai hero dalam misinya untuk
mengharmoniskan dirinya dan lingkungannya.
Heroisme manusia dalam sastra bukannya tanpa intrik. Ada sumber yang
melahirkan persoalan yang dihadapi manusia. Sumber persoalan itu dapat bersal
dari dirinya sendiri, karena manusia memiliki nafsu, ambisi, keinginan, harapan,
cita-cita, kebutuhan, dan sebagainya. Sumber persoalan dapat juga berasal dari
orang lain, karena faktor yang sama. Sumber persoalan tersebut juga bisa berasal
dari sebuah kolektivitas, yaitu masyarakat dan sistem sosiokulturalnya. Sumber
dirinya sendiri, orang lain, atau masyarakat, merupakan wujud dari sifat dinamis
manusia. Semuanya serba berubah; semuanya serba berkembang. Tak ada yang
tetap, kecuali perubahan dan perkembangan itu sendiri. Persoalan demi
persoalan selalu muncul. Satu terselesaikan, yang lain akan muncul. Beraneka
ragam kualitas dan bentuknya. Manusia harus menyadarinya. Lantas, semua itu
menuntut manusia menyikapinya dan menyelesaikan agar harmonisasi selalu
tercipta.
Persoalan yang menuntut manusia Hero dalam sastra merupakan bola
salju. Ia akan berjalan semakin besar; semakin menekan psikologis manusia hero
tersebut. Inilah sebuah intrik. Di sinilah konflik yang melahirkan suspense (baca:
ketegangan) dalam cerita sastra tercipta. Di situ pula daya tarik secara artistik
dan estetis tercipta dalam karya sastra. Pembaca akan semakin tenggelam dan
terlibat dalam intrik manusia Hero sebagai tokoh utama yang diceritakan.
Kedalaman intrik itu tergantung pada kedalaman pimikiran, penghayatan,
perenungan, dan pandangan hidup pengarangnya. Di samping itu, kedalaman
intrik tersebut juga tergantung pada keluasan wawasan pengarang dalam
memandang persoalan hidup yang diceritakan. Dalam kualitas kedalaman intrik
itu pula akan ditemukan suatu sikap dan ideologi pengarangnya. Keyakinan,
kepercayaan, pandangan hidup terhadap suatu kebenaran, menjadi sebuah
ideologi yang tersamarkan dalam karya sastra. Manusia hero yang diceritakan,
akan digambarkan berdasarkan keyakinan, kepercayaan, pandangan hidup
tertentu. Analisis kritis terhadap karya sastra akan sampai kepada kedalaman
itu.
Membaca karya-karya sastra di zaman awal kebangkitan bangsa
Indonesia misalnya, kita akan menangkap sebuah pertarungan ideologi para
pengarang-pengarangnya. Sutan Takdir Alisyahbana, Sanusi Pane, Armyn Pane,
Mohamad Yamin, dan pengarang-pengarang lainnya, sangat inten dan serius
menanamkan pandangan-pandangan, keyakinan-keyakinan, dan kepercayaan-
kepercayaan terhadap masa depan bangsa yang bagaimana seharusnya
dibangun. STA yang kebarat-baratan, Armyn Pane yang ketimur-timuran, dan

11
pengarang lain yang mengintegrasikan timur-barat, menjadi tonggak sejarah bagi
pemikiran kebangsaan. Bahkan pertarungan dalam karya sastra melebar ke
wilayah polemik di media massa; kemudian terkenal dengan sebutan Polemik
Kebudayaan. Manusia hero yang diceritakan oleh mereka, berhadapan dengan
persoalan hidup yang ditentukan oleh latar belakang kehidupannya sendiri dan
masyarakatnya. Akhir cerita manusia hero, pada akhirnya ditentukan oleh
pandangan hidup pengarangnya. Pembaca akan menangkap sikap dan
pandangan yang diyakini oleh pengarangnya.
Pertarungan ideologi semakin ramai, bahkan cenderung ke luar konteks
kesasteraan, pada masa 50-an dan 60-an. Jika manusia hero pada zaman 30-an
ditarik ke dalam wilayah semangat kebangkitan bangsa, pada zaman ini manusia
hero ditarik ke dalam wllayah politik praktis. Khususnya pada pengarang yang
terhimpun dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), faham ideologi realisme
sosialis yang dianutnya bersumber pada haluan politik PKI. Semboyan politik
sebagai panglima menjadikan karya sastra sebagai alat propaganda politik.
Akhirnya, manusia hero pun diciptakan sebagai cerminan perjuangan kelas sesuai
pandangan mereka. Oleh karena itu, mereka mengganyang semua karya sastra
dan pengarang yang tidak sehaluan. Pengarang-pengarang yang terhimpun
dalam Manifes Kebudayaan menjadi sasaran mereka. Mereka beranggapan,
karya-karya sastra yang diciptakan pengarang-pengarang kelompok Manifes
Kebudayaan, tidak memberikan pencerahan bagi masyarakat. Karya sastra
tersebut dianggap picisan, tak berkualitas, dan sangat perlu dibakar. Bisa diduga
bagaimana manusia hero yang diceritakan oleh para pengarang Lekra ini.
Pertarungan ideologi terus berlanjut. Seolah jagad kesusasteraan
Indonesia penuh dengan intrik; sebagaimana intrik hidup yang dialami manusia
hero. Di akhir pemerintahan Soeharto hingga kejatuhannya, manusia hero dalam
sastra diceritakan sebagai tokoh yang termarjinalkan, terjajah, dan mengalami
ketidakmerdekaannya. Manusia hero mengalami persoalan hidup dari luar
dirinya yang menjajah, membatasi ruang hidupnya. Hidup manusia hero
mengalami keterkungkungan. Raung hidup yang seharusnya menjamin
kesejahteraan, kedamaian, dan ketenangan, justru membelenggu dirinya. Hidup
manusia hero pada akhirnya tidak merdeka, tidak bebas. Manusia hero mesti
melawan. Manusia hero harus melepaskan dirinya atas ketidakmerdekaannya
itu. Mengapa manusia hero mengalami kehidupan seperti itu? Bukan mengada-
ada jika pertanyaan itu mengarah pada jawaban bahwa kondisi bangsa Indonesia
pada saat itu mengalami represifitas atas rezim kekuasaan Soeharo dan Orde
Barunya. Ada suara ideologi perlawanan yang mengarahkan perjalanan hidup
manusia hero. Manusia hero menjadi media untuk menyuarakan ideologi itu.
Dalam sebuah kata pengantar buku Supaat I. Lathief, Eksistensialisme,
Mistisisme Religius (2008), Sutardi mengemukakan karya sastra merupakan hasil
kesadaran kejiwaan masyarakat, sebagai sejarah mentalitas, sebagai cermin
masyarakat, dokumen sosial budaya, serta sebagai sistem pemikiran, sistem
pengetahuan yang dihadirkan pengarang dalam menangkap, memandang, dan
memahami sebuah realitas. Keberadaan realitas di mata seorang pengarang

12
diolah, diinternalisasi, dan ditransendensikan melalui penjelajahan mendalam ke
dalam wilayah pemikiran dan perasaan.
Pemikiran di atas pada dasarnya ingin mengemukakan bahwa karya
sastra tidak hanya dipandang sebagai dunia fiksional, tetapi juga suatu reflektif
dari keadaan sosial di mana karya sastra itu lahir. Dari sudut pandang yang
terakhir tersebut, menempatkan karya sastra sebagai juru bicara bagi situasi dan
semangat zamannya. Dengan memahami karya sastra dapat dilihat rekaman
peristiwa, psikologi, pandangan kolektif, orientasi nilai, ideologi, dan bahasa yang
ada dalam masyarakat yang melahirkannya. Ujung pemahaman terhadapnya
akan sampai pada fenomena sosial dan sejarah masyarakat.
Di situlah tempat manusia hero dalam sastra memperoleh eksistensinya
dalam konteks antarhubungan sastra dan masyarakat. Tetapi hubungan sastra
dan masyarakat bukanlah bersifat langsung. Hubungan keduanya dimediasi oleh
kompetensi kreatif pengarangnya. Pemikiran, pandangan, dan ideologi
pengarang sebagai individu dan kolektif merupakan mediasi yang menjebatani
keduanya. Fakta sastra tidak langsung difahami sebagai fakta sosial. Struktur
sastra tidak lantas diperlakukan sebagai struktur sosial masyarakat. Fakta dan
struktur sastra memang berangkat dari fakta dan struktur sosial. Tetapi
kehadirannya ke dalam karya sastra melalui proses pengolahan kreatif dan
imajinatif pengarangnya. Dengan demikian, pemahaman terhadap karya sastra
dalam paradigma sosiologi sastra harus diletakkan pada pola hubungan sastra,
pengarang, dan masyarakat.
Pembicaraan tentang hubungan sastra dan masyarakat tidak mungkin
menafikan pengarangnya. Justru dalam konteks pembicaraan itu, eksistensi
pengarang semakin penting. Di satu pihak pengarang merupakan penghasil karya
sastra. Kualitas karya sastra ditentukan oleh proses pergulatan kesadaran yang
utuh dari pengarangnya. Di lain pihak, pengaruh masyarakat terhadap karya
sastra melalui proses internalisasi dan asimilasi dalam diri sastrawan. Sangat
tidak masuk akal jika pembicaraan tentang hubungan sastra dan masyarakat
tidak berangkat dari pengarangnya. Melepaskan eksistensi dan posisi pengarang
dalam pembicaraan tentang hubungan sastra dan masyarakat sama halnya
dengan memperlakukan karya sastra sebagai barang mati. Pembicaraan
semacam itu menghilangkan esensi karya sastra sebagai perwujudan dari proses
daya dan vitalitas imajinasi dan inteletualitas.
Karya sastra bukanlah semata-mata sebagai teks wacana yang bisa diurai
unsur-unsurnya begitu saja. Hakikat unsur-unsur karya sastra adalah pergulatan
pemikiran, imajinasi, dan kreatifitas. Ia tidak begitu saja muncul karena ada
konvensi internal (sistem struktur obyektif) yang mengaturnya sebagai piranti
wacana. Tetapi kehadirannya merupakan suatu bentuk dinamisasi kesadaran
manusia dalam bermasyarakat. Dalam dinamisasi kesadaran manusia itulah
karya sastra menjelaskan secara utuh kehadiran fakta dan struktur sosial
masyarakat ke dalam fakta dan struktur karya sastra.

______________

13
S ekiranya ada manusia yang begitu terkungkung karena dirinya sendiri dan
lingkungan sosialnya, dialah Abu, tokoh utama drama Kapai-Kapai karya
Arifin C. Noer. Betapa tidak. Ia terkungkung karena kebodohan, kemiskinan, dan
keringnya pedoman hidup (agama). Ia juga terkungkung oleh mentalitas dan
perlakuan yang kurang adil dari lingkungan sosial, yang memang cenderung tidak
berpihak pada orang-orang sekelas dia. Belum lagi, kesukaan dia bermalas-
malasan dan berharap sesuatu yang tidak rasional. Itu juga merupakan kondisi
keterkungkungan Abu. Itulah manusia hero ciptaan Arifin C. Noer. Manusia
rekaan yang dihadirkan untuk ditafsirkan, difahami, dan kemudian direnungkan
pembacanya.
Problematika Abu adalah problematika “aku” dalam mitos sebagai
ideologi budaya masyarakat. Fenomena kerja dalam masyarakat, di mana Abu
berkecimpung di dalamnya, adalah mitos. Pertama, mitos tentang dominasi
status sosial atas terhadap kelas bawah. Dominasi dalam konteks ini adalah
penguasaan secara represif (cenderung menjajah) dari kelompok tertentu
terhadap kelompok yang lain. Sebagai pesuruh (buruh), Abu adalah orang dalam
status sosial bawah, dengan demikian, ia adalah pihak yang dikuasai secara
represif itu. Jika Abu, sebagaimana menjadi sasaran umpatan, hinaan, lemparan
kesalahan, dan perlakuan yang tidak adil dari majikannya, itu adalah resiko yang
harus diterima Abu yang hidup dalam mitos itu.
Kedua, mitos yang berkembang dalam budaya masyarakat modern yang
liberal-kapitalis. Mitos itu adalah, buruh adalah instrumen atau alat produksi. Ia
adalah bagian dari sistem teknis dalam alur kerja yang prosedural dan mekanis.
Akibatnya, ia tidak memiliki kesadaran sebagai manusia. Dalam karya sastra ini,
Abu adalah robot di antara robot-robot yang lain (hal. 56-58). Dalam situasi
seperti ini, ia bukan lagi (bernama) Abu, karena hanya manusia yang bernama.
Sedangkan robot hanya memiliki sebutan sebagaimana isyarat bel. Ia harus
patuh dan tunduk mengikuti hukum rutinitas sebagai mesin. Ia harus membuang
jauh kesadarannya sebagai manusia yang bebas.
Berbeda pula dengan manusia hero ciptaan Pramudya Ananta Toer dalam
novel Arok Dedes. Arok adalah manusia hero yang ambisius, licik, dan pintar. Ia
tahu apa yang mesti dilakukan ketika kekuasaan tidak berpihak pada kelas
bawah. Ia meleburkan diri dalam kekuasaan untuk memperoleh kekuasaan. Arok
tidak ingin terjebak pada regimitasi yang dibangun kekuasaan. Arok juga tak ingin
membuka diri untuk menentang regim kekuasaan itu. Ia sangat menyadari
posisinya. Ia sangat hafal apa kekurangan dan kelebihannya. Arok adalah
manusia hero yang menyatu pada kekuasaan yang kelak harus direbutnya. Blok
solidaritas harus dibangun atas orang-orang yang memiliki pengaruh. Blok itulah
yang akan memerangi kekuasaan, bukan semata-mata dirinya. Ia cukup
menguasai blok itu. Pada akhirnya, manusia hero yang satu ini benar-benar
dapat memperoleh tujuan hidupnya. Berbeda dengan Abu yang selamanya harus
terjebak pada kebodohannya sendiri. Arok tak ingin terjebak. Lebih baik
menjebak.
Arok hanyalah manusia rekaan yang hero. Ia tak pernah ada dalam
realitas. Meskipun Arok yang lain benar-benar ada dalam sejarah, tapi Arok

14
dalam Pramudya adalah manusia fiksional. Keduanya berbeda. Tak nyata dan
nyata; fiksional dan realitas. Kalau Arok fiksional begitu nyata dan pintar, karena
manusia hero yang satu ini diciptakan dengan berlandaskan pada intelektualitas
seorang Pramudya Ananta Toer. Dengan begitu, manusia hero Arok tak bisa
dipahami hanya sebagai manusia biasa yang penuh ambius dan nafsu kekuasaan.
Juga bukan manusia hero yang berjuang untuk menghadapi persoalan hidup
yang mengungkung. Ada sesuatu di balik manusia hero itu, yaitu sebuah ideologi.
Sebuah keyakinan, kepercayaan, dan pandangan hidup harus menjadi peta bagi
sosok manusia hero Arok. Peta itulah yang nyata, bukan Arok. Arok hanyalah
sarana, ideologi adalah penumpangnya. Arok adalah manusia hero yang
menyuarakan ideologi itu.
Sama dengan Abu dan Arok, Maya juga manusia hero ciptaan Nukila Amal
dalam novel Cala Ibi. Ketiganya merupakan sarana menyuarakan sebuah
keyakinan, kepercayaan, dan pandangan dunia pengarangnya. Tapi peta ideologi
yang menuntun manusia hero Maya berbeda. Jika manusia hero Abu tenggelam
dalam arus keterkungkungannya, Arok menyatu untuk merebut yang
mengungkungnya, maka manusia hero Maya adalah subyek yang terbelah. Maya
adalah manusia hero yang terkungkung, sekaligus manusia hero yang kritis untuk
menilai identitas yang mengungkungnya. Siapakah sebenarnya yang
mengungkungnya; sebuah persoalan yang harus diurai oleh manusia hero Maya
agar pembaca memahaminya dan mengambil sikap atas semua itu. Maya adalah
manusia hero mirip sel dalam tubuh manusia. Ia bisa membelah agar sekali
waktu dapat menceritakan apa yang dialaminya, sekali waktu pula ia dapat
memperbincangkannya. Dan sekali waktu pula ia menumpang mesin waktu agar
bisa mencatat masa lalu dan masa kini, agar bisa menentukan arah bagi masa
depannya.
Kalau manusia hero Abu beridentitas tunggal yang tak dapat berbuat apa-
apa atas obyek yang mengungkungnya, Arok adalah manusia hero tunggal yang
mampu membelah obyek yang mengungkungnya, maka Maya adalah manusia
hero yang dapat membelah dirinya sendiri agar dapat bercerita dari semua sisi
obyek yang mengungkungnya. Ketiganya dihidupkan pengarangnya agar mampu
menyuarakan apa yang ada dalam diri pengarang. Ketiganya adalah fiksional, tapi
nyata. Ketiganya tak nyata, tapi nyata. Kata “Cala Ibi”, kenyataan yang tak nyata,
ketaknyataan yang nyata. Abu, Arok, dan Maya memang tak nyata, tapi ideologi
yang menuntun dan disuarakannya itulah yang nyata. Ketika ketiga manusia hero
itu disodorkan kepada pembacanya, ketika itu pula sebuah pertarungan ideologi
terjadi. Ideologi yang telah lama menghegemoni melawan ideologi yang ingin
menandinginya. Ideologi yang berkuasa melawan ideologi yang ingin berkuasa.
Ketiga contoh sastra di atas hanyalah segelintir dari sekian ratus karya sastra
Indonesia yang lahir dengan manusia-manusia hero di dalamnya. Mereka
membawa suara amsing-masing. Mereka mencipta manusia hero dengan
ideologi masing-masing. Mereka juga membawa kekentalan sebuah pesan
masing-masing. Masih banyak karya-karya sastra yang lain, yang tak kalah
ramainya dalam menyuarakan pandangan-pandangan pengarangnya melalui
manusia heronya masing-masing. Semuanya sudah disodorkan kepada pembaca.

15
Tinggal bagaimana pembaca memahami, menyikapi, dan lantas mengkayakan
wawasan berpikir. Aplikasinya tergantung pembaca.
Itulah realitas fiksi manusia hero sebagai obyek yang diungkapkan
pengarang dalam karya sastranya. Persoalan ini semakin penting dipahami di
dalam konteks penciptaan karya sastra. Oleh karena itulah, penulis pemula perlu
memahami persoalan itu. Acap kali karya sastra yang beredar di pasaran tidak
memberikan pencerahan apa-apa, selain menghibur. Itu terjadi lantaran
penulisnya kurang memiliki pretensi untuk menghadirkan manusia hero bagi
pembacanya. Karya sastra semacam itu akan dinilai pembacanya sebagai karya
sastra penglipur lara.

________________

16
KONFLIK
Titik Kemenarikan Karya Sastra

H akikatnya karya sastra mengungkapkan konflik yang bersumber dari


problema hidup yang dihadapi tokohnya. Konflik itulah yang
menggerakkan alur cerita dari awal hingga akhir. Jika ditarik garis, karya sastra
dari awal hingga akhir ceritanya, mengetengahkan sosok manusia mendapatkan
masalah, masalah itu semakin runcing karena kehadiran tokoh lain, akibatnya
timbul pertikaian atau pertarungan, pertikaian dan pertarungan tersebut menuju
suatu titik ketegangan (suspens), dan kemudian terjadi penyelesaian. Urutan
tersebut membangun alur cerita konvensional yang lazim diketemukan dalam
karya sastra. Pengembangan dan kronologisnya tergantung kreativitas
pengarang.
Garis urutan alur di atas bukanlah garis linear dan lurus, melainkan
bergerak ke atas. Kehadiran konflik yang wajib ada dalam cerita, mengakibatkan
gerakan alur tersebut bergerak memuncak. Gerakan itulah yang membangun
suasana cerita, yang pada gilirannya akan dirasakan pembaca. Keterlibatan
emosional pembaca terjadi karena mengikuti gerakan itu. Itulah kenapa kadang-
kadang pembaca merasa penasaran, sayang untuk berhenti membacanya, atau
timbul ketidaksabaran untuk segera menyelesaikan cerita yang dibacanya. Tetapi
gerakan alur semacam itu tak akan pernah ada tanpa kehadiran sebuah konflik.
Konflik yang mampu menggerakkan alur di atas tidak sekedar berupa
pertikaian atau pertentangan secara fisik, tetapi juga melibatkan psikologis
tokoh-tokohnya. Bahkan dapat dikatakan, bahwa konflik merupakan tataran
psikologis manusia yang sedang menghadapi problema hidup. Terdapat bagan
segitiga yang dapat digunakan untuk menjelaskan hal tersebut, sebagaimana
berikut ini.

KONFLIK

PROBLEMA
TOKOH
HIDUP

Bagan 1: Relasi Tiga Komponen Pembangun Dinamika Alur

17
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menuju ke suatu konflik
yang menarik, kompleks, dan penuh ketegangan psikologis, baik yang
berlangsung dalam cerita maupun dalam diri pembaca. Jika kembali kepada
pembicaraan terdahulu, beberapa syarat tersebut dapat dikatakan, adanya
problema hidup yang besar menghadang manusia hero untuk menyelesaikannya.
Problema hidup yang besar memiliki pengertian, ia menyangkut suatu
perjuangan yang tidak hanya bertujuan untuk dirinya sendiri, tetapi juga orang
banyak. Adanya kompleksitas permasalahan yang sambung menyambung
sehingga himpitan yang dirasakan tokoh berasal dari berbagai sudut. Problema
semacam itu biasanya berasal dari suatu keadaan masyarakat yang mengancam
atau menghadang tujuan hidup tokoh tersebut. Kebalikan dari itu adalah, tokoh
berusaha untuk meraih suatu keinginan untuk dirinya sendiri dan mendapatkan
tantangan dari tokoh yang lain. Problema semacam itu tidak menuntut tokoh
untuk menyelesaikan himpitan itu secara kompleks, melainkan bagaimana
memenangkan pertarungannya dengan tokoh lain. Perhatikan tingkat
kompleksitas problema hidup dari yang paling sederhana hingga yang besar.

Seorang gadis mencintai


seorang pria, tetapi
mendapatkan rintangan
dari gadis lainnya yang
juga mencintainya.

Seorang gadis mencintai


seorang pria dari lingkungan
keluarga yang berbeda,
sehingga banyak rintangan
yang harus dihadapi untuk
meraih cintanya itu.

Seorang perempuan yang


mencintai seorang pria dari
kelas bangsawan, sehingga ia
mendapatkan tantangan dari
masyarakat.

Seorang perempuan yang


menentang tradisi dan adat
dengan menikahi seorang
pria dari kasta atas, sehingga
ia harus menghadapi sanksi
dan tekanan dari masyarakat

Bagan 2: Kompleksitas Problema Hidup Tokoh Cerita

18
Bagan di atas memperlihatkan problema hidup yang berbeda-beda
kompleksitas dan himpitan yang dialami seorang tokoh perempuan. Semakin ke
bawah menunjukkan problema hidup semakin kompleks dan rumit. Problema 1
dan 2 lebih berorientasi pada dirinya sendiri dan tantangan yang dihadapi hanya
berasal dari tokoh lain. Berbeda dengan problema 3 dan 4, menunjukkan
gambaran yang semakin kompleks dan tekanan atau himpitan yang dialami
tokoh perempuan tersebut semakin besar. Problema 4 menggambarkan
problema hidup yang lebih besar yang dialami oleh tokoh. Tokoh perempuan
yang diceritakan tidak saja mendapatkan tantang dari tokoh lain, tetapi juga oleh
kekuaran masyarakat yang lebih luas. Konflik yang ditimbulkannya lebih
menekan dan menegangkan, baik dalam diri tokoh yang diceritakan maupun
pembacanya. Dan, problema semaca ini juga akan memunculkan konflik yang
lebih menarik dalam diri pembaca. Bahkan memberikan makna yang dalam bagi
pembaca tentang arti sebuah perjuangan demi kemerdekaan dan keadilan.
Cerita semacam ini menempatkan karya sastra dalam peran dan tanggung
jawabnya bagi masyarakatnya.
Agar pembicaraan tentang hal tersebut semakin jelas dan konkrit, marilah
kita memperbincangkan sebuah karya sastra bergenre drama berjudul Kapai-
Kapai karya Arifin C. Noer. Karya sastra tersebut merupakan salah satu contoh
dalam kesusastraan Indonesia yang mengungkapkan tentang bagaimana konflik-
konflik yang ditimbulkan bergerak dinamis karena adanya kompleksitas dan
kerumitan problema yang dialami tokohnya.

Sekiranya ada manusia yang begitu terkungkung karena dirinya


sendiri dan lingkungan sosialnya, dialah Abu, tokoh utama drama Kapai-
Kapai. Betapa tidak. Ia terkungkung karena kebodohan, kemiskinan, dan
keringnya pedoman hidup (agama). Ia juga terkungkung oleh mentalitas
dan perlakuan yang kurang adil dari lingkungan sosial, yang memang
cenderung tidak berpihak pada orang-orang sekelas dia. Belum lagi,
kesukaan dia bermalas-malasan dan berharap sesuatu yang tidak
rasional. Itu juga merupakan kondisi keterkungkungan Abu. Itulah
manusia ciptaan Arifin C. Noer. Manusia rekaan yang dihadirkan untuk
ditafsirkan, difahami, dan kemudian direnungkan pembacanya.
Sosok manusia yang bagaimanakah yang diciptakan Arifin C. Noer
itu? Apakah sosok manusia seperti itu merupakan potret manusia
Indonesia yang direkam Arifin C. Noer? Pertanyaan-pertanyaan itulah
yang menarik untuk dicari jawabannya selepas membaca drama Kapai-
Kapai. Di situlah, menurut penulis, letak kekuatan dramatik dan estetika
karya sastra ini. Di situ pula letak kepekaan dan kecerdasan Arifin C.
Noer sebagai pengarangnya dituntut untuk menyelami problematika
yang dihadirkannya..
Problematika Abu adalah problematika “aku” dalam mitos sebagai
ideologi budaya masyarakat”. Fenomena kerja dalam masyarakat, di
mana Abu berkecimpung di dalamnya, adalah mitos. Pertama, mitos
tentang dominasi status sosial atas terhadap kelas bawah. Dominasi

19
dalam konteks ini adalah penguasaan secara represif (cenderung
menjajah) dari kelompok tertentu terhadap kelompok yang lain. Sebagai
pesuruh (buruh), Abu adalah orang dalam status sosial bawah, dengan
demikian, ia adalah pihak yang dikuasai secara represif itu. Jika Abu,
sebagaimana diceritakan dalam drama Kapai-Kapai ini, menjadi
sasaran umpatan, hinaan, lemparan kesalahan, dan perlakuan yang
tidak adil dari majikannya, itu adalah resiko yang harus diterima Abu
yang hidup dalam mitos itu.
Kedua, mitos yang berkembang dalam budaya masyarakat
modern yang liberal-kapitalis. Mitos itu adalah, buruh adalah instrumen
atau alat produksi. Ia adalah bagian dari sistem teknis dalam alur kerja
yang prosedural dan mekanis. Akibatnya, ia tidak memiliki kesadaran
sebagai manusia. Dalam karya sastra ini, Abu adalah robot di antara
robot-robot yang lain. Dalam situasi seperti ini, ia bukan lagi (bernama)
Abu, karena hanya manusia yang bernama. Sedangkan robot hanya
memiliki sebutan sebagaimana isyarat bel. Ia harus patuh dan tunduk
mengikuti hukum rutinitas sebagai mesin. Ia harus membuang jauh
kesadarannya sebagai manusia yang bebas. Dengan demikian, Abu
dibentuk sebagai bagian dari sistem teknis. Kesadaran dia adalah
kesadaran yang bersifat material; bukan kesadaran sebagai manusia.
Fenomena kerja Abu ada dalam kedua mitos tersebut. Karena mitos
merupakan bagian dari (kelompok) sosial dan mengatur kehidupan
sosial itu, maka kehadirannya bersifat kolektif. Meskipun mitos itu
diproduksi oleh pemilik kerja (borjuis), tetapi dalam praktiknya ia
memiliki kekuatan untuk mengatur dan mengikat. Penolakan terhadap
mitos itu, berakibat keluarnya dia dari kolektivitas masyarakat.
Sedangkan Abu dituntut untuk berkerja demi keberlangsungan
kehidupan ekonominya. Mau tidak mau, Abu harus menerima mitos itu.
Ia harus mengalami keterkungkungan dala mitos tersebut. Betapa pun
mitos itu menjadikan dia pada posisi yang dirugikan. Paling tidak, ia
mengalami ketidakbebasan untuk memilih. Dengan demikian, sebagai
manusia ia kehilangan sebagian dari kemanusiaannya; ia mengalami
keterasingan dalam keberadaannya sebagai (manusia) buruh.
Dalam kedudukan sosial sebagai seorang pesuruh, Abu dan
keluarganya tergolong berstatus ekonomi di bawah garis kemiskinan.
Kata kunci dalam status seperti itu adalah: marjinal, korban, bodoh,
lapar, derita, harap, dan mimpi. Hal ini juga merupakan bagian dari
mitos tentang kemiskinan. Seseorang dengan status sosial dan ekonomi
rendah mencipatakan kondisi kemiskinan dalam kehidupannya. Mitos
itu merefleksikan keadaan yang cenderung mengungkung, tidak
mengenakkan, dan tak bahagia.
Abu harus mengalami kehidupan bersama Iyem, istrinya, dalam
penderitaan karena kemiskinannya itu. Karena kemiskinannya itu pula,
ia dan istrinya merasakan kelaparan yang luar biasa; hidup dalam
ketidakbahagiaan. Bahkan dalam kasih sayangnya sebagai seorang

20
ayah dan ibu, mereka harus tega membunuh orok yang baru lahir, agar
lepas dari penderitaan yang akan dialaminya sebagai bagian dari
kehidupan orang tuanya.
Sosok Abu, di samping sebagai orang berstatus sosial rendah dan
ekonomi bawah, adalah tokoh yang bodoh dan malas. Ia juga seorang
yang jauh dari pedoman hidup (agama). Kehadiran tokoh Kakek dengan
nasehatnya tentang hakikat kehidupan sebagai manusia yang
beragama, diterjemahkan Abu dalam konteks mimpi-mimpi dan
harapannya tentang Cermin Tipu Daya. Konsep Tuhan, neraka, surga,
kematian, dan ujung waktu dunia, disampaikan Kakek kepada Abu
sebagai nilai-nilai yang mempedomani manusia. Tetapi Abu terlalu
bodoh untuk memahami semua ini. Karakter Abu semacam ini
melandasi bentuk kesadarannya untuk menyelesaikan persoalan
ketertindasan dan kemiskinannya itu.
Jika kemudian Abu memilih hidup dalam mimpi-mimpi dan
harapannya, itulah bentuk kesadaran Abu yang muncul untuk
menyelesaikan semua beban yang mengungkungnya. Ia harus mencari
pemecahan persoalan-persoalan hidup yang menghimpitnya. Dalam
drama ini diceritakan, bagaimana Abu terobsesi pada mimpinya menjadi
seorang pangeran rupawan sebagaimana dongeng emak; menjadi
seorang kesatria yang gagah berani melawan jin penculik putri cina; dan
menjadi Ali Baba (pen. tokoh pahlawan dalam dongeng masyarakat
Parsi) yang ingin menggapai ujung dunia. Mimpi-mimpi dan harapannya
untuk memperoleh Cermin Tipu Daya. Dengan Cermin Tipu Daya itulah
ia akan kaya raya, berkuasa, dan menjadi seorang kesatria. Sebuah
pilihan penyelesaian hidup yang dilandasi oleh kebodohan, kemalasan,
dan keringnya pedoman hidup yang bersumber dari agama. Hal ini juga
mitos dari sekian mitos-mitos yang lain yang dihadirkan pengarangnya.
Kebodohan, kemalasan dan keringnya pemahaman agama, akan
mendorong seseorang untuk memilih jalan yang irasional. Mimpi dan
harapan yang dikejar Abu hanyalah semu belaka. Ia terkungkung dalam
keadaan yang ‘kapai-kapai’; bergerak seolah-olah dapat meraihnya.
Pada akhirnya, kehidupan Abu bersama Iyem terkungkung dalam
kegelandangan, yang mengembara dalam penderitaan untuk mencapai
ujung dunia. Tak ada arah untuk ke sana. Tak ada pedoman untuk
mencapai tujuannya itu. Pemahaman tentang kehidupan hanyalah
sebatas materi (fisik), bukan hakikatnya. Oleh karena itulah, ia
terkungkung dalam harapan dan mimpinya itu; ia terkungkung oleh
kebodohannya sendiri; dan ia juga terkungkung dalam penderitaan yang
tak terselesaikan. Jika kemudian Abu di ujung kematiannya,
sesungguhnya ia mengalami kapai-kapai itu.
Sosok manusia seperti itulah yang digambarkan Arifin dalam
karyanya yang berjudul Kapai-Kapai. Apakah sosok manusia seperti itu
merupakan potret masyarakat Indonesia yang direkam oleh Arifin C.
Noer? Yang jelas, sosok manusia dalam karya sastra itu hanyalah

21
sebuah rekaan. Kalau ia merupakan fakta, ia adalah fakta imajiner.
Tidak ada hubungan langsung dengan realitas sosialnya. Tetapi, dalam
paradigma sosiologi sastra dikemukakan, pada dasarnya, seluruh
kejadian dalam karya, bahkan juga karya-karya yang termasuk ke
dalam genre yang paling absurd pun merupakan prototipe kejadian
yang pernah dan mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
ciri kreativitas dan imajinasinya, sastra memiliki kemungkinan yang
paling luas dalam mengalihkan keragaman kejadian alam semesta ke
dalam totalitas naratif semantis, dari kuantitas kehidupan sehari-hari ke
dalam kualitas dunia fiksional.
Fakta imajinatif dalam drama Kapai-Kapai dan fakta obyektif di
mana karya sastra itu diciptakan, memiliki benang merah yang
menghubungkan keduanya. Pemahaman terhadap hal itu akan semakin
tampak jika pemahaman terhadap substansi tematis, dipahami dalam
konteks peristiwa sosial budaya yang melingkupi kehadiran karya sastra
tersebut. Dalam konteks sejarahnya, naskah Kapai-Kapai ini diciptakan
Arifin C. Noer pada tahun 1969 dan diterbitkan dalam bentuk buku pada
tahun 1970. Pada masa itu konstelasi sosial politik terjadi pada bangsa
Indonesia, yaitu tenggelamnya rezim Orde Lama dan munculnya rezim
Orde Baru. Perubahan politik dan kekuasan tersebut membawa harapan
baru terhadap perubahan kondisi masyarakat Indonesia yang selama ini
berlangsung. Kondisi kemiskinan, represi dan dominasi kekuasaan,
rendahnya tingkat intelektual masyarakat akibat belum berkembangnya
dunia pendidikan, dan sebagainya, merupakan problema sosial yang
dialami masyarakat.
Dalam situasi masyarakat yang demikian, naskah Kapai-Kapai
muncul dengan mengangkat persoalan kemiskinan. Kemiskinan dalam
naskah drama ini dipandang sebagai persoalan yang paling esensial.
Melalui simbol-simbol yang dihadirkan pengarang secara surealis,
kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks; tidak saja karena
persoalan ekonomi semata, tetapi juga persoalan manusia dan
kemanusiaannya. Dengan menempatkan tokoh utama, Abu, sebagai
cerminan masyarakat kelas bawah, pengarang ingin mendudah habis
kompleksitas persoalan kemiskinan tersebut. Mimpi, harapan,
kebodohan, dominasi kekuasaan kaum borjuis, dan rutinitas kehidupan
yang penuh penderitaan, tertata dalam simbol-simbol dan idiom-idiom
yang dipilih pengarang.

Tema kemiskinan dipandang oleh Arifin C. Noer dari berbagai sudut


pandang. Kata ‘kemiskinan’ bukan semata-mata persoalan ekonomi, melainkan
sebuah kompleksitas hidup yang rumit. Dalam keadaan miskin yang dialami
seseorang, tidak saja karena minimnya kesempatan ekonomi yang didapat,
melainkan juga karena kepribadian orang itu, minimnya iman keagamaan,
penjajahan status sosial atas, sistem kerja, dan juga sistem sosiokultural

22
masyarakatnya. Premis tersebut memunculkan problema hidup yang dihadapi
tokoh bernama Abu. Tokoh itulah sebagai manusia hero yang mengalami
himpitan dan tegangan, yang pada gilirannya mengakibatkan konflik-konflik.
Titik-titik konflik itulah yang memunculkan daya tarik bagi pembacanya.
Karya sastra berjudul Kapai-Kapai di atas merupakan salah satu contoh
bagaimana konflik yang menarik bersumber dari problema hidup yang kompleks
dan besar yang dialami oleh tokoh yang diceritakan. Himpitan dan tantangan
menekan psikologis tokoh, berasal dari berbagai sudut. Konflik-konflik psikologis
pada akhirnya muncul menggerakkan alur menuju kepada konflik yang besar dan
berujung pada keadaan yang tragis. Cerita semacam itu memiliki kekuatan yang
luar biasa yang mampu menarik perhatian pembacanya. Jelas pengarang
membutuhkan penghayatan, pemikiran, dan keyakinan yang bersumber dari
dirinya sendiri, masyarakat, dan referensi lainnya.
Meskipun daya tarik karya sastra juga bersumber dari unsur-unsur
lainnya, seperti bahasa dan struktur penceritaan, namun demikian unsur konflik
menjadi daya tarik utamanya. Konflik yang menarik tidak mungkin bersumber
dari problema hidup yang biasa saja, yang dialami tokoh. Konflik yang menarik
merupakan ketegangan psikologis yang sangat dalam menekan seorang tokoh,
dan itu tidak mungkin dimunculkan oleh problema yang sederhana. Itulah
mengapa seorang penulis pemula mesti memahami bagaimana membangun
konflik yang menarik bagi pembacanya.

__________________

23
IDE PENULISAN
Sebuah Premis tentang Problema Manusia

P emahaman tentang manusia hero sebagai obyek penciptaan karya sastra,


yang telah dibahas pada bab sebelumnya, sesungguhnya sudah
mengarahkan pada penentuan ide penulisan. Demikian juga dengan
pembahasan tentang konflik sebagai titik kemenarikan karya sastra, telah
mengarahkan pada bagaimana menciptakan problema hidup sebagai topik
cerita. Kedua pembahasan tersebut mengarah pada seorang tokoh yang
mengalami problema hidup dan konflik yang ditimbulkannya. Pada bagian ini
akan dibahas dengan meletakkannya pada konteks penciptaan dan pemilihan ide
penulisan.
Manusia hero dalam menghadapi intrik kehidupan yang disikapi dari
sudut pandang keyakinan dan pemikiran pengarang (ideologi), merupakan suatu
ide penulisan. Persoalannya adalah, manusia hero yang bagaimana dan intrik
kehidupan macam apa yang akan diungkapkan dalam karya sastra. Dengan sudut
pandang bagaimana manusia hero tersebut dapat menyelesaikan problema
(intrik hidup) yang menghadangnya. Apakah ambisi dan konspirasi manusia hero
sebagaimana dalam novel Arok karya Pramudya Ananta Toer? Apakah
kebodohan manusia hero sebagaimana dalam drama Kapai-Kapai karya Arifin C.
Noer? Ataukah ketidakmerdekaan dan keprihatinan seorang Maya sebagai
manusia hero dalam novel Cala Ibi karya Nukila Amal? Semuanya terserah pada
pengarang.
Bagaimanakah menciptakan ide penulisan semacam itu? Atau tepatnya,
bagaimana menemukan ide penulisan semacam itu? Sebagaimana dalam
realitas, problema hidup manusia bisa besar dan rumit atau sebaliknya, kecil dan
tidak banyak menguras emosi dan pikiran untuk menyelesaikannya. Problema
yang besar lebih rumit, kompleks, dan memunculkan konflik yang besar pula.
Problema semacam itu, tentunya membutuhkan manusia hero sebagai sosok
yang besar dan menarik. Problema yang dihadapi sosok manusia hero semacam
itu, jelas memerlukan pemikiran dan penyikapan yang besar pula dari
pengarangnya. Pemikiran dan penyikapan pengarang akan berpijak pada apa
yang diyakini pengarang sebagai suatu kebenaran. Dengan begitu, manusia hero
akan dapat menyelesaikan problema hidup yang dihadapinya itu.

24
Sebaliknya, problema yang kecil atau sederhana akan menciptakan
manusia hero yang sederhana pula. Konflik dan intrik hidup yang dihadapi tak
terlalu rumit, kompleks, dan biasanya tak begitu menarik perhatian pembacanya.
Pengarangnya pun tak perlu menguras pemikiran dan penyikapan yang besar dan
dalam. Karya sastra semacam ini dapat menjadi awalan bagi penulis pemula yang
ingin berkecimpung di jagad penulisan karya sastra. Karya-karya para remaja
misalkan, cenderung berkutat pada persoalan cinta yang biasa terjadi di dunia
sekitarnya. Bahkan penyelesaian problema cinta acap kali lazim dijumpai dalam
kehidupan. Kemenarikan karya sastra remaja ini terletak pada kedekatan tematis
dengan sasaran pembaca yang hendak ditembak. Dan dengan sedikit intrik hidup
dunia remaja yang berbunga-bunga dan menuntut suatu kebebasan,
sebagaimana sifat usia remaja, cerita mereka akan mengasyikan bagi
pembacanya, yang juga remaja.
Problema hidup yang besar --dengan sendirinya menciptakan manusia
hero dan menuntut pemikiran yang besar pula-- membutuhkan berbagai sumber
inspirasi. Realitas masyarakat jelas menjadi sumber ide yang sangat kaya untuk
digali. Tetapi tidak cukup, pengarang mesti menggali juga dari sumber-sumber
lain, seperti: buku, koran, majalah, TV, internet, biografi, sejarah, dan
sebagainya. Di sinilah seorang pengarang dituntut memiliki minat baca, suka
mengamati lingkungan, dan kecerdasan. Tanpa itu, tidak mungkin tercipta karya
sastra beride besar.
Ide penulisan sesungguhnya sebuah premis. Premis merupakan kalimat
pernyataan yang mengandung problema dan konflik tentang kehidupan manusia.
Belajar dari karya-karya sastra, dari sastrawan yang banyak dibicarakan para
kritikus dan ahli sastra, dapat dipahami betapa karya-karya itu menjadi menarik
untuk diperbincangkan lantaran mengungkapkan sebuah premis yang kompleks
dan mengandung problematika hidup yang rumit. Betapa karya-karya sastra
tersebut mengangkat problema kehidupan penuh intrik yang dialami manusia
hero sebagai tokohnya. Sebagai contoh, berikut ini beberapa premis yang
menjadi ide karya-karya sastra yang telah banyak menguras perhatian kritikus
sastra, ahli sastra, pengamat sastra, akademis sastra, dan peneliti sastra.
1. Kemiskinan terjadi lantaran kebodohan, kemalasan, jauh dari pedoman
hidup, dan penindasan
2. Negeri ini layaknya sebuah rumah sakit. Tinggal kita menjadi dokternya atau
pasiennya
3. Masa depan adalah pilihan hari ini. Apa yang kita seriusi hari ini, itulah masa
depan itu.
4. Manusia modern cenderung mengalami schizofrenia di tengah-tengah
kehidupan serba gemerlap oleh citra zaman modern sebagai pengaruh
masuknya budaya luar.
5. Tradisi dan adat pernikahan pada masyarakat X yang cenderung berpihak
pada laki-laki, merupakan bentuk penindasan dan ketidakadilan terhadap
perempuan.

25
6. Penindasan dan ketidakadilan terhadap perempuan sesungguhnya
bersumber pada nilai-nilai tradisi dan budaya masa lalu yang masih
dipertahankan masyarakat.
Premis-premis di atas banyak ditemukan dalam karya-karya sastra yang
ditulis sastrawan yang tergolong mapan dalam jagad kesustraan Indonesia
modern. Arifien C, Noer, Pramudya Ananta Toer, Oka Rusmini, N. Riantiarno,
Nukila Amal, dan beberapa sastrawan lainnya, telah memberikan pencerahan
dan pemikiran yang cerdas bagi pembacanya. Melalui premis-premis tersebut,
ide penulisan mengandung problema kehidupan penuh intrik, kompleks, dan
rumit. Sudah tentu akan menciptakan manusia hero yang besar. Melalui premis-
premis itu juga menuntut sikap dan pemikiran yang besar pula dari
pengarangnya.
Premis-premis di atas berasal dari upaya pengarang secara sungguh-
sungguh merenungkan, menghayati, dan memikirkan tentang hakikat kehidupan
manusia. Premis-premis di atas jelas membutuhkan sumber ide yang kaya dan
beragam. Pengalaman hidup dan konteks realitas masyarakat, jelas menjadi
sumber utamanya. Hal itu didorong oleh kesadaran dan tanggung jawab
pengarang untuk memberikan penilaian, pendidikan, kritik, dan alternatif bagi
masyarakatnya. Betapapun imajinatif dan fiktifnya sebuah karya sastra, ia selalu
merefleksikan apa yang ada di dalam realitas. Karena itulah karya sastra memiliki
manfaat bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat ke depan. Kalau Horatius
mengatakan dengan istilah dulce et utile, maka Aristoteles mengatakan
Catharsis; pencerahan dan penyucian nafsu-nafsu manusia.
Premis-premis di atas juga membutuhkan sumber dari khazanah literatur
yang ada. Wacana-wacana pemikiran dari buku, media massa, dan trand
pemikiran zaman, menjadi sumber diciptakannya ide penulisan karya sastra itu.
Itulah kenapa seorang pengarang dituntut memiliki minat baca yang tinggi.
Menulis dan membaca merupakan pasangan yang tak mungkin dilepaskan. Minat
baca yang tinggi menjadikan seseorang memiliki kekayaan pengetahuan yang
tinggi pula. Kekayaan pengetahuan itu pada gilirannya akan dapat meningkatkan
kualitas tematis karya sastra. Logika dan kebenaran tetap menjadi dasar bagi
diciptakannya premis-premis sebagai ide penulisan.
Lantas bagaimanakah membangun premis yang layak untuk sebuah
penulisan karya sastra? Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebagaimana
berikut ini.
1. Mengandung konflik yang kompleks dan besar
2. Menarik dan penuh intrik kehidupan
3. Bermanfaat untuk pencerahan bagi pembaca
4. Didasarkan atas logika dan kebenaran
Keempat syarat di atas dapat dipahami dengan kembali kepada pembahasan
dalam bab-bab terdahulu.
Kalau kembali kepada pembahasan tentang salah satu contoh karya
sastra Indonesia berjudul Kapa-Kapai karya Arifin C. Noer di atas, dapat menjadi
pelajaran bagaimana keempat syarat tersebut terpenuhi oleh karya sastra
tersebut. Dapat ditarik sebuah premis dari karya sastra tersebut, yaitu:

26
“Kemiskinan terjadi lantaran kebodohan, kemalasan, jauh dari pedoman hidup,
penindasan, dan sistem sosiokultural masyarakatnya”. Premis di atas menjadi ide
penulisan Arifin C. Noer sebagai pengarangnya. Sosok Abu, sebagai tokoh yang
diceritakan, merupakan seorang yang mengalami kemiskinan lantaran
kebodohan dan kemalasannya, kering akan tuntunan agama, penindasan
kelompok masyarakat yang berstatus sosial atas, dan adanya mitos-mitos
masyarakat yang tidak berpihak pada seorang yang berstatus sosial seperti
dirinya.

_______________

27
KERANGKA PENULISAN
Membangun Aliran Cerita yang Menarik

M engapa harus membuat kerangka? Pertanyaan ini sering kali ditanyakan


oleh penulis pemula, lantaran dia beranggapan bahwa pembuatan
kerangka semakin mempersulit dirinya dalam menulis. Dalam benak mereka
hanya terdapat kata menulis, menulis, dan menulis. Tak perlu berpikir yang lain.
Lepas dari pendapat semacam itu, peran kerangka penulisan sangat penting
untuk membentuk cerita yang runtut, jelas, dan mengalir secara enak dan
menarik bagi pembaca. Keruntutan dan kejelasan alur sangat diperlukan agar
apa yang diceritakan menarik ketika dibaca. Tanpa itu, jangan disalahkan jika
karya yang sudah susah payah dihasilkan tidak dibaca secara tuntas oleh
pembaca.
Fungsi kerangka jelas memberikan pedoman bagaimana seharunya cerita
yang sedang ditulis itu runtut dan jelas. Runtut dalam pengertian ini adalah,
terdapat tahapan alur yang utuh sehingga pembaca memahami dari awal sampai
akhir sebagai sebuah aliran cerita yang kronologis dan bersebab-akibat.
Sedangkan jelas memiliki pengertian logis atau masuk akal apa yang diceritakan.
Meskipun tahapan alur dibolak-balik, sebagaimana dalam jenis alur sorot balik,
tetapi masih dapat dikembalikan ke dalam urutan yang runtut (konvensional).
Pembolak-balikan tahapan alur hanya sebuah penataan peristiwa yang
diceritakan sesuai dengan kreativitas pengarangnya. Sedangkan kejelasan lebih
mengarah pada adanya logika sebab-akibat (kausalitas) dan hubungan waktu
(kronologis). Betapapun imajinatifnya karya sastra, tetap masih mengikuti hukum
kedua logika tersebut agar pembaca dapat memahaminya dengan kacamata
realitas. Namun demikian, terdapat karya-karya sastra yang tidak mengikuti
hukum logika di atas karena terdapat pandangan dan pemikiran yang
melatarbelakangi konsep penulisan. Salah satu contohnya adalah karya-karya
Iwan Simatupang yang didorong oleh pemikiran eksistensialisme yang
melatarbelakanginya. Menghadapi karya satra tersebut memerlukan proses
pembacaan yang berbeda dengan kebanyakan karya-karya sastra yang
cenderung realis.
Kerangka penulisan merupakan urutan peristiwa demi peristiwa yang
diceritakan dari awal hingga akhir sehingga membentuk alur. Secara
konvensional, urutan tersebut menunjukkan tahapan alur yang terdiri atas:
eksposisi, konflik, Rising action/penanjakan, klimaks, penyelesaian. Eksposisi

28
merupakan tahap pengenalan tokoh dan latar belakangnya. Dalam tahap ini
diceritakan tentang siapakah tokoh itu sesungguhnya. Konflik merupakan tahap
alur di mana tokoh utama mulai mengalami suatu masalah. Masalah itu semakin
kompleks dan menghimpit tokoh tersebut dalam tahap rising action atau
penjakan. Pada akhirnya masalah tersebut menimbulkan klimak yang
menegangkan pada tahap klimak. Di ujung cerita masalah tersebut terselesaikan
dalam tahap penyelesaian.
Urutan tersebut disusun berdasarkan urutan sebab-akibat dan urutan
waktu. Perlu diingat bahwa alur merupakan rangkaian peristiwa yang memiliki
hubungan sebab akibat. Tanpa hubungan sebab-akibat tidak mungkin terjadi alur
cerita. Sedangkan hubungan waktu lebih mengarah pada peristiwa yang
diceritakan tersebut mengikuti hukum peristiwa sebab lebih dulu terjadi dari
pada akibat. Seting atau latar waktu dan tempat kejadian menunjukkan urutan
waktu terjadinya peristiwa. Cerita tentang rangkaian peristiwa tentang seseorang
yang bangun tidur kesiangan, di sekolah mendapatkan masalah karena buku PR-
nya tertinggal, dimarahi guru, lantas ia kena hukuman membersihkan toilet
sekolahan, jelas menunjukan urutan waktu, sekaligus urutan sebab-akibat.
Dengan kerangka penulisan semacam itu, seorang penulis akan
mempedomaninya ketika menuliskan ceritanya. Kerangka cerita akan menuntun
penulis setahap demi setahap, dari awal hingga akhir, saat menceritakan
peristiwa dalam tulisannya. Dengan begitu, alur akan terjaga dalam urutan yang
logis dan jelas. Tetapi dalam prosesnya bisa jadi seorang penulis merubah dan
memvariasikan sesuai dengan pertimbangan dan kreativitasnya. Kerangka
penulisan memang bukan sebuah pedoman yang kaku dan pasti. Ia tetap akan
mengalami perubahan dan perbaikan. Kerangka diperlakukan sebagai garis besar
sehingga acap kali diperlukan penambahan detil-detil. Meskipun detil-detil
tersebut peristiwa yang kecil, pengarang beranggapan sangat penting
kehadirannya dalam cerita.
Kerangka cerita seyogyanya ditulis. Tetapi tidak jarang kerangka
penulisan tersebut berada di benak pengarang. Pengarang yang satu ini tidak
mau repot-repot menuliskannya. Ia cukup menuliskannya dalam ingatan sambil
dipikirkan, dihayati, dan direnungkan yang kemudian mengalami kematangan di
otaknya. Baru kemudian penulis menuangkannya dalam tulisan. Bisa saja seperti
itu. Tetapi bagi penulis pemula atau yang daya ingatnya lemah, sebaiknya
kerangka penulisan tetap ditulis di kertas. Setiap saat dibaca dan disempurnakan.
Penyempurnaan kerangka penulisan akan terus berlangsung berdasarkan
inspirasi, pemikiran ataupun referensi yang dipelajari penulis. Jika dirasa sudah
mencapai kematangan, penulis dapat mengembangkannya dalam bentuk tulisan.
Kerangka penulisan hanya diperuntukkan genre prosa dan drama,
sedangkan genre puisi tidak membutuhkannya. Tulisan bergenre puisi
menampung kilatan-kilatan emotif dan artistik dalam bentuk kata, frase, atau
kalimat, tanpa berpretensi menceritakan suatu urutan cerita yang beralur.
Bahkan dalam bentuk puisi balada, yang cenderung memiliki cerita, genre ini
tetap mengutamakan imaji-imaji dan sarana puitik yang mampu membangun
suasana emotif dan pengalam imajinatif penyairnya. Bentuk puisi ini tidak

29
semata-mata ingin menceritakan sebuah kisah atau peristiwa, melainkan
suasana yang ditimbulkan oleh kisah atau peristiwa tersebut. Untuk lebih
jelasnya dapat dibaca dalam bab tentang bagaimana puisi itu tercipta pada
bagian buku ini selanjutnya.
Bagi penulis pemula, sekali waktu perlu belajar dari karya penulis yang
sudah mapan; membacanya, mengurainya menjadi sebuah kerangka penulisan.
Dengan belajar dari karya orang lain, dapat diserap bagaimana membangun alur
cerita yang logis dan jelas, sehingga pembaca tertarik. Penulis pemula tersebut
dapat mengambil karya sastra yang telah banyak dibicarakan para kritikus atau
ahli sastra. Banyaknya pembicaraan tentang suatu karya menunjukkan
pengakuan atas kualitas karya tersebut. Salah satu contoh, cerpen karya

________________

30
BAGAIMANA PUISI ITU TERCIPTA?

A nda ingin menulis? Ya, menulislah! Tak perlu repot. Menulis itu tidak ribet.
Malah lebih ribet dari pada orang makan. Orang menulis hanya butuh
bolpein dan kertas. Sedangkan orang ingin makan, harus masak dulu,
menuangkan di piring, lantas melesakkan makanan itu ke mulut. Ribet, kan?
Lebih ribet dari menulis.
Menulis itu kebiasaan. Orang bisa karena biasa. Jadi, biasakan menulis.
Bisa apa saja dan tentang apa saja. Menulis itu ibarat mengasah pedang, semakin
lama di asah, semakin tajam juga. Yang dibutuhkan menulis adalah ketajaman.
Oleh karena itu perlu diasah, seperti mengasah pedang. Semakin lama diasah,
semakin tajam. Semakin tajam daya menulis seseorang, semakin lancar ia
mengalirkan pikiran dan perasaannya ke dalam bentuk tulisan.
Proses menulis itu juga ibarat mata air yang mengalir ke sungai. Biarlah ia
mengalir menjadi sungai dan bermuara ke samudra lepas. Percayalah, orang-
orang, ikan-ikan, batu-batu, bahkan kotoran sekalipun memanfaatkannya untuk
sebuah perjalanan hidupnya. Janganlah ditutupi mata air itu. Janganlah
dibendung sungai itu. Otak kita adalah sumber mata air. Ia mengalirkan isinya
untuk bermuara menjadi tulisan. Jadi, biasakanlah otak kita seperti itu.
Janganlah Kamu biarkan mata air (otak) itu diam membeku. Salurkanlah menjadi
tulisan. Jangan dibiasakan mendiamkan pikiran dan perasaan ke dalam otak.
Paling-paling akan memenuhi ruang bawah sadar kita. Tapi jika ia disalurkan ke
dalam tulisan, akan bermanfaat bagi orang lain. Dapat juga kelak menjadi profesi
sebagai seorang penulis. Profesi sebagai penulis sekarang ini, mendatangkan
imbalan materi yang lumayam.

Bagian Satu:
BERBAGAI MODEL PENCIPTAAN PUISI

B agi saya, membaca puisi sesungguhnya bertujuan memahami dan


menikmati puisi itu. Bisa keduanya, atau mungkin terbatas pada salah
satunya. Itu toch tergantung pada puisinya. Ada puisi yang cukup bisa difahami,
tetapi bukan untuk dinikmati. Atau sebaliknya, puisi yang sebatas untuk
dinikmati tanpa harus memahami maknanya. Atau keduanya, difahami dan
dinikmati. Memahami puisi merupakan usaha untuk menangkap makna dan

31
artinya. Sedangkan menikmati puisi lebih mengarah pada menangkap kedalaman
perasaan, sikap, nada, dan gaya yang muncul ketika membaca puisi.
Puisi memang cukup pendek untuk bisa menampung sebuah pengertian.
Ia sekedar menangkap kilatan momen-momen puitik yang muncul dalam diri
penyairnya. Puisi berkecenderungan tidak berbicara apa-apa, kecuali perasaan
yang dicitrakan melalui bahasa. Apalagi membaca puisi-puisi yang kental dengan
permainan kata dan perasaan. Alhasil, kita cukup menikmati kedalaman
perasaan aku lirik (Penyair ?). Berpijak pada asumsi di atas kita dapat
mengatakan, ada model puisi yang mengutamakan kekuatan sarana puitika
bahasa: simbol, rima, bunyi, imaji, diksi, dan metafora. Model puisi demikian,
penyairnya memiliki kekayaan perbendaharaan kata dan ungkapan-ungkapan
untuk menumbuhkan kenikmatan dan keindahan ketika puisi ini dibaca. Ia lebih
mementingkan efek artistik dalam diri pembaca ketika membaca puisi tersebut.
Tidak penting apakah makna puisi tersebut dapat dipahami atau tidak. Ia hanya
menangkap kilatan-kilatan emotif yang muncul dalam diri penyairnya melalui
rangkaian kata dan tipografi. Puisi-puisi Balai Pustaka dan Pujangga Baru
merupakan contoh puisi yang sangat memperhatikan penataan dan penyusunan
kata untuk memenuhi keindahan bunyi. Puisi-puisi lirik dan auditorium dapat
dijadikan contoh model puisi tersebut pada aspek imaji, metafora dan simbol
yang dipakai. Sedangkan puisi mantra, karya Sutarji Choulsoum Bachri misalnya,
merupakan contoh puisi yang lebih mementingkan bunyi dari pada makna.
Bahkan Sutardji secara terang-terangan ingin melepaskan kata dari maknanya
dalam credonya. Akibat yang ditimbulkan dari model puisi yang demikian itu
adalah, (1) puisi tersebut menjadi puisi gelap (frismatis) dan (2) puisi yang gagal.
Akibat pertama memang menjadi kesengajaan penyairnya sebagai konsekuensi
style yang dipilih.
Sementara akibat kedua cenderung karena ketidakmampuan penyairnya
untuk mengungkapkan apa yang dipikirkan dan dirasakan. Ada model puisi yang
tidak mementingkan bahasa. Ia lebih mementingkan pesan yang ingin
disampaikan penyairnya kepada pembacanya. Kata-kata yang dipilih
sebagaimana kata-kata yang sering dijumpai dalam bahasa sehari-hari. Puisipuisi
Chairil Anwar misalnya, tidak mempersoalkan kata-kata yang dipakai, tetapi
pesan dan makna yang diungkapkan begitu kuat membangun kualitasnya. Ini
semakin terlihat apabila puisi-puisi Chairil Anwar tersebut dibandingkan dengan
puisi-puisi pada pereode sebelumnya, Pujangga Baru dan Balai Pustka. Oleh
karena itu, Chairil Anwar dianggap sebagai pembaharu sastra Indonesia modern
(Avant Garde). Model puisi yang ketiga di samping mengutamakan kekuatan
bahasa juga kekuatan penghayatan dan pendalaman terhadap isi (subject
matter). Puisi seperti ini mampu mengungkapkan apa yang dipikirkan dan
dirasakan penyairnya melalui pilihan kata, simbol, persajakan, imaji, dan
metafora yang tertata. Pembaca tidak saja memperoleh kenikmatan yang
ditimbulkan oleh cara penyair mengungkapkan makna melalui sarana bahasa
yang dipakai, tetapi juga makna di balik sarana bahasa tersebut. Penyair-penyair
seperti Sapardi Djoko Damono, Gunawan Muhamad, Ayip Rosidi, Abdul Hadi
WM., dan penyair lainnya yang sudah mapan, merupakan contoh bagaimana

32
mereka sangat kuat dalam pengungkapan dan pendalaman apa yang ingin
disampaikan dalam puisi-puisinya.
Model-model puisi di atas dapat dijadikan referensi bagaimana
menciptakan puisi, khususnya bagi pemula. Paling tidak ada tigal hal yang harus
diperhatikan di dalam menciptakan puisi. Pertama, kekayaan perbendaharaan
kata, simbol, imaji, dan metafora. Hal ini dapat diperoleh apabila seseorang
sering membaca puisi. Keseringan membaca puisi orang lain akan menambah
perbedaharaan bahasa seseorang. Dan itu merupakan modal yang sangat berarti
dalam menciptakan puisi.
Kedua, kepekaan emosi, pikiran, dan perasaan terhadap semua hal yang
ada di lingkungan sekitar. Kepekaan emosi, pikiran, dan perasaan ini akan
memunculkan kedalaman penghayatan dan perenungan terhadap apa yang ingin
disampaikan dalam puisi yang diciptakannya. Perasaan empati, simpati, inisiatif,
reflektif, daya kritis, dan kekuatan untuk menangkap di balik realitas, merupakan
kepekaan perasaan dan pikiran yang akan bermuara ke dalam puisi.
Ketiga, keseringan di dalam menciptakan puisi. Pikiran dan perasaan
sebagai sumber penulisan puisi sesunggungnya merupakan suatu proses
kesadaran. Ia bersifat dinamis; senantiasa bergerak dan berjalan dalam diri
seseorang. Namun demikian, proses pikiran dan perasaan tersebut tidak akan
teraktualisasi tanpa diungkapkan ke dalam tulisan dan tindak tutur seseorang.
Kebiasaan seseorang mengaktualisasikan apa yang dipikirkan dan dirasakan, baik
melalui tulisan maupun tuturan, akan menentukan kefasihan atau ketrampilan
seseorang dalam berbicara atau menulis. Ide dan inspirasi hanyalah pendorong
seseorang untuk memikirkan dan merasakan dalam dirinya. Dan apa yang
dipikirkan dan dirasakan tersebut diungkapkan melalui media bahasa. Puisi
merupakan salah satu ragam tulisan yang membutuhkan kefasihan atau
keterampilan tersebut. Semakin sering menulis puisi semakin fasih dan terampil.
Keterpaduan ketiga hal di atas akan membangun kualitas puisi. Teknik
menulis puisi berkisar pada hal-hal di atas. Namun demikian, terlepas dari itu
semua, menulis puisi mesti berangkat dari kegairahan bersastra. Tanpa
kegairahan bersastra tidak mungkin tercipta tradisi mencipta karya sastra (puisi).
Pada hakikatnya pencintaan karya sastra merupakan kebiasaan yang terbangun
karena komitmen dan motivasi dalam menggairahkan bersastra, baik secara
indidual maupun dalam konteks yang lebih luas (berkesenian).

Bagian Dua:
DARI PERISTIWA, IMAJINASI, KE PUISI

P uisi ditulis bukan semata-mata untuk mengungkapkan suatu perilaku,


peristiwa, atau suatu ruang dan waktu. Tetapi makna di balik itu semua
yang diungkapkan dalam puisi. Suatu peristiwa yang terjadi dalam realitas
hanyalah sebuah fakta. Pemahaman terhadapnya sebatas suatu rangkaian
kejadian yang secara empiris dilihat atau didengar. Tetapi bukan fakta empiris itu
yang esensial bagi seorang penyair. Fakta itu hanyalah ide dan inspirasi yang

33
mendorong penyair untuk mencipta sebuah puisi. Sementara sumber kekayaan
tematis dan makna dalam penciptaan puisi tersebut terletak pada penghayatan,
perenungan, tanggapan, pemikiran, dan perasaan penyairnya terhadap fakta
empiris itu.
Bagi penyair, biarlah peristiwa sebagai sebuah fakta menjadi bagian dari
sejarah. Bukan tugas seorang sastrawan untuk melaporkan dan mencatatnya,
melainkan sejarawan atau seorang jurnalis. Makna apa dibalik peristiwa, adalah
hal yang terpenting. Peristiwa penembakan mahasiswa demonstran di zaman
orde lama, di mata Taufiq Ismail menjadi bahan perenungan dan penghayatan
untuk diungkapkan dalam puisinya berikut ini.

Tiga anak kecil


Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu

Ini dari kami bertiga


Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi

(1966)

Begitu pula dengan Rendra, ketika mengamati realitas masyarakat yang


begitu timpang; antara kemiskinan dan gaya hidup sebagaian masyarakat yang
membanggakan kekayaannya.

………………….
Janganlah kamu bilang negeri ini kaya
Karena orang-orang miskin berkembang di kota dan di desa
Jangan bilang dirimu kaya
Bila tetanggamu memakan bangkai kucing

Banyak peristiwa dalam sejarah hidup manusia terlupakan begitu saja.


Ketika ia menengok ke sejarah hidupnya itu, tidak sekedar rentetan peristiwa
demi peristiwa telah terjadi dalam hidupnya, tetapi ada pencerahan di sana.
Chairil Anwar mengungkapkan hal itu ke dalam puisinya berjudul Selamat
Tinggal (1959).

Selamat Tinggal

Aku berkaca
Ini muka penuh luka
Siapa punya?

34
Kudengar seru menderu
- dalam hariku? –
Apa hanya ingin lalu?

Lagu lain pula


Menggelepar tengah malam buta

Ah………….!!

Segala menebal, segala mengental


Segala tak kukenal……..!!
Selamat Tinggal………!!

Ketiga penyair di atas didorong oleh suatu peristiwa yang terjadi dalam
realita, baik realitas di luar dirinya yang diamatinya, maupun realitas dalam
sejarah hidupnya yang telah dialaminya. Taufiq Ismail bukan ingin mencatat
sebuah peritiwa penembakan para mahasiswa di tahun 60-an ketika
berdemonstrasi menentang tirani orde lama. Rendra bukan ingin melaporkan
suatu realitas yang terjadi di lingkungannya ketika ia mengamati terjadinya
ketidakadilan dalam masyarakat. Dan Chairil Anwar bukan ingin mengungkapkan
tentang kejelekan dan kekurangan dirinya. Ketiganya berusaha untuk
mengungkapkan apakah makna di balik semua peristiwa itu. Peristiwa-peristiwa
itu merupakan momen puitik yang muncul dari dalam pikiran, perasaan,
perenungan, dan penghayatan ketiga penyair itu. Kalau peristiwa yang diamati
dan dialami bersumber dari realitas sebagai fakta empiris (obyektif), tetapi puisi
yang terinspirasi dari peristiwa itu bersumber dari kesadaran penyairnya sebagai
fakta imajinatif.
Jika dalam sejarah, suatu peristiwa yang ditulis oleh banyak orang, akan
menghasilkan laporan yang sama. Seorang penulis sejarah harus melaporkan
fakta demi fakta itu sendiri. Jika terdapat perbedaan di antara mereka, hanya
satu yang diakui kebenarannya. Semua hal yang terjadi dalam peristiwa itu mesti
dicatat. Tidak ada yang ditutup-tutupi atau sengaja dihilangkan. Kalau itu terjadi,
sesungguhnya ia tidak berpretensi menulis sejarah, tetapi ada kepentingan lain.
Sebaliknya, peristiwa yang sama akan menghasilkan pengungkapan yang
berbeda-beda dalam puisi. Penyair bukan ingin menulis sejarah, agar orang lain
mengetahui tentang peristiwa itu. Penyair menangkap pengalaman puitik ketika
menghadapi, merenungkan, dan menghayati peristiwa itu. Apakah makna di
balik peristiwa itu? Apakah hakikat peristiwa itu? Apakah yang bergejolak di
dalam batin penyair? Bagaimana sikap, pandangan, pemikiran, suasana perasaan
yang timbul dalam diri penyair ketika melihat peristiwa itu? Serangkaian
pertanyaan itulah yang berlangsung dalam proses penciptaan puisi.
Bandingkan dengan puisi berikut ini, yang ditulis oleh seseorang yang
berusaha untuk belajar menulis puisi.

35
Kata Itu

Kata itu …
Slalu aku tunggu
Slalu aku rindu
Slalu ingin aku dengar darimu
Kata itu …
Tak pernah terucap darimu
Tak pernah terdengar olehku
Tapi, sikapmu lembut
Perhatianmu melebihi sahabat
Perlahan, hati ini mulai terlambat
Kata itu …
Belum juga terucap
Kini …
Semua sudah terlambat
Kata itu …
Baru kau ucap
Aku telah bersamanya
Kau telah jadi miliknya
Kata itu …
Hanya menyiksa kita.

Karya: Nikmah (2009)


dokumen Sanggar Sastra Unirow Tuban

Teknik pengungkapan dalam puisi di atas cukup bagus. Penulisnya


memiliki pemahaman bagaimana ia mesti menuangkan sesuatu yang dialaminya
atau dirasakannya dalam bentuk puisi, bukan dalam bentuk genre sastra yang
lain. Pilihan kata, pengulangan yang sengaja disusun, tipografi, dan efisiensi
penggunaan kata, menunjukkan ia cukup memiliki modal untuk menulis puisi.
Keberanian dan kejujurannya untuk mengungkapkan sepenggal kisah yang
dialami aku lirik (penyairnya?) untuk diketahui pembaca, patut dihargai. Lantas,
bagaimana jika puisi ini ditempatkan dalam konteks pembicaraan tentang
hubungan peristiwa dan penciptaan puisi yang telah disampaikan di atas? Itu hal
yang penting untuk menjadi masukan dan pertimbangan bagi penulis puisi
berjudul Kata Itu di atas.
Puisi berjudul Kata Itu di atas mencoba merekam suatu peristiwa yang
dialami aku lirik ketika ia menanti ucapan seseorang ‘sahabat’ yang tak kunjung
terucap. Apa itu? Kalau ditilik dari baris-baris terakhir: Semua sudah
terlambat/…./Kata itu …/Baru kau ucap/Aku telah bersamanya/Kau telah jadi
miliknya/, kata itu adalah ungkapan cinta. Semuanya sudah terlambat.
Keterlambatan itu Hanya menyiksa kita. Hal yang ingin diungkapkan penyairnya
merupakan suatu peristiwa yang biasa dan banyak dialami orang lain yang
seumur dengan penulis puisi itu. Seandainya penulis mau lebih dalam lagi
merenungkan dan menghayati apa makna di balik peristiwa itu, akan terlihat

36
kedalaman pengalaman batin penulisnya itu. Perhatian penulisnya terhadap apa
yang dinanti cukup berlebih. Perulangan kata itu memang cukup berhasil untuk
mengungkapkan efek emotif, tetapi kurang mampu mengungkapkan kedalaman
emosi dan perasaan ketika penantian itu begitu menyiksa aku lirik. Mari kita
bandingkan bagaimana ketersiksaan aku lirik begitu dalam terungkap dalam
pengucapan puisi berikut.

……………………..
Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah melelh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga.

Bersuara tiap kau melangkah


Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah.

Mengganggu dalam mimpiku


Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku.

………………………..

Kepada Peminta-Minta
Chairil Anwar (1959)

Bukan maksud penulis untuk membandingkan seorang penulis puisi


pemula dengan penyair sekelas Chairil Anwar. Paling tidak, dengan
memperbandingkan itulah, kita dapat belajar. Salah satu hal yang bisa kita
ambil dari puisi Chairil Anwar tersebut adalah, bagaimana Chairil mampu
mengungkapkan apa yang dirasakan dan dipikirkan ketika melihat seorang
pengemis di hadapannya. Ada perasaan mencekam dalam diri aku lirik (Cairil
Anwar?) ketika melihat pengemis yang bercacar dan bernanah seolah
mengingatkan dirinya akan dosa-dosa yang telah dilakukan. Untuk melengkapi
pembicaraan ini, berikut ditampilkan sebuah puisi karya seorang pelajar yang
dimuat dalam Kaki Langit (Horison, Edisi VII, 2008:15).

Aku dan Kamu

Aku mendayung
Semakin menjauh dari tepi
Menyelami kamu
Dan mendengar keluhmu

37
Aku terus mendayung
Mengelus tubuhmu
Dari menikmati Indahmu
Hingga
Aku tenggelam ke dalammu

Karya: Biazamsha Kharisma Pinatih

Puisi di atas cukup memberikan bukti bahwa penulisnya telah mampu


mengungkapkan apa yang ada dalam gejolak pikiran dan perasaanya. Pilihan
kata, imaji, metafora, dan kedalaman imajinasi terungkap dalam puisinya itu.
Tetapi, jika pada puisi Kata Itu, penulisnya kurang dalam menukik dan
mengembara ke kedalaman perasaan dan imajinasinya. Sedangkan pada puisi
Aku dan Kamu, penulisnya telah mampu menukik dan mengembara ke
kedalaman perasaan dan imajinasinya, tetapi kurang mengendalikan
pengembaraannya itu sehingga imajinasinya tidak tersusun dengan baik. Terasa
puisinya meloncat-loncat tak tertata. Paling tidak, keduanya memiliki awal yang
baik sebagai modal menjadi seorang penulis puisi (penyair).
Ujung pembicaraan ini sesungguhnya mengarah pada imajinasi. Karena
imajinasi itulah sebuah puisi dibangun lewat media bahasa. Di awal tulis ini
dikemukakan bahwa sumber kekayaan tematis dan makna dalam penciptaan
puisi terletak pada penghayatan, perenungan, tanggapan, pemikiran, dan
perasaan penyair terhadap fakta empiris (baca: ide dan inspirasi). Substansi
pemikiran ini sesungguhnya adalah puisi merupakan tempat bermuaranya
pengembaraan imajinasi penyairnya. Di dalam samudra perasaan dan pikirannya,
majinasi seorang penyair mengembara ke mana-mana. Ia menukik, meloncat-
loncat, masuk ke ruang tak terbatas, bahkan ke tempat yang paling mustahil
sekali pun. Ia akan menjadi liar tak terkendali jika penyair itu tidak mengarahkan
dan memfokuskannya pada puisi yang akan ia tulis. Imajinasi-imajinasi itu harus
tertata dan terhubung satu sama lain sehingga puisi yang ditulisnya tidak terasa
meloncat-loncat. Ia menjadi padu dalam mengungkapkan makna yang ingin
disampaikan dalam puisinya itu. Puisi berikut merupakan contoh bagaimana
penulisnya telah mampu mengembara di ruang imajinasinya secara bebas.
Tetapi, karena pengembaraan itu tidak terkendali dan terpusat, imajinasi dalam
puisi tersebut terasa ke mana-mana dan tak tertata secara padu.

Pengarung Lautan Malam

Hidup dalam lingkaran pijaran kobaran api


Menghirup dunia kebebasan lintangan alam

Melingkar dalam gerombolan yang membentang


Bertarung membelah ombak samudra kegelapan
Menari di tengah-tengah badai angin malam

Terdengar jejak prajurit dalam dunia mimpi

38
Berjalan di atara pohon tua dan guguran dedaunan kering

…………………………..

Karya: M. Faizal Rosyidin


Kaki Langit (Horison, Edisi VII, 2008)

Di samping kurang padu dan terfokus, puisi di atas terasa berlebihan; jika
tidak boleh dikatakan bombastis. Puisi tersebut terkesan meloncat dari satu titik
ke titik yang lain sebelum mampu mengungkapkan makna yang ingin
diungkapkan penyairnya. Namun demikian, kekuatan pengembaraan imajinasi
penyairnya sungguh merupakan kekayaan tak ternilai dalam proses penciptaan
puisi selanjutnya. Tinggal bagaimana mengasah teknik dan cara mengendalikan
pengembaraan imajinasi yang begitu liar dan ke mana-mana itu.
Dengan demikian, hubungan peristiwa dan imajinasi dalam penciptaan
puisi terletak pada ide dan ispirasi yang bersumber dari peristiwa yang dialami
penyairnya untuk mendorong pengembaraan ke dalam imajinasi (perasaan dan
pikiran). Pada gilirannya, pengembaraan itu bermuara ke dalam puisi lewat
media bahasa dan sarana puitik.

Bagian Tiga:
BAHASA MEMBANGUN PUISI

J ika peristiwa menjadi pendorong (inspirasi) dan imajinasi menjadi jiwa puisi,
maka bahasa merupakan medianya. Artinya, imajinasi yang menjadi dasar
penciptaan puisi akan dijilmakan atau diungkapkan dalam bahasa (kata). Oleh
karena itu, kata-kata yang dipilih pengarang bukan semata-mata
mengungkapkan makna puisi, tapi juga mampu memberikan efek emosional atau
perasaan penyairnya. Kata-kata yang dipilih haruslah mampu mengungkapkan
gambaran perasaan dan suasana batin penyair ketika puisi itu ditulis. Di sinilah
nilai puitika akan nampak dalam puisi yang diciptakan penyairnya.
Bagaimanakah puisi bisa mengejawantahkan apa yang dipikirkan,
dirasakan, dan diimajinasi penyairnya? Puisi menggunakan sarana puitika bahasa
untuk itu. Sarana puitika yang dimaksud adalah kata, ungkapan, imaji, dan gaya
bahasa. Seorang penyair akan memilih, menciptakan, dan menata sarana puitika
itu agar mampu menyampaikan perasaan dan imajinasinya ke dalam puisi. Itu
bersifat khas; berbeda atara penyair yang satu dengan yang lain. Orang
menyebutnya sebagai style. Marilah kita mencermati puisi berikut.

Padamu Jua

Habis kikis
Hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

39
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu.

…………………
Amir Hamzah

Bandingkan dengan puisi Chairil Anwar, Darmanto Jatman, dan Sutarji Choulsum
Bachri berikut ini.

Selamat Tinggal

Aku berkata

Ini muka penuh luka


Siapa Punya?

Kudengar seru menderu


- dalam hatiku?
Apa hanya angin lalu?
……………………..
Chairil Anwar

Istri

-- istri mesti digemateni


Ia sumber berkah dan rejeki
(Towikromo, Tambran, Pundong, Bantul)

Istri sangat penting untuk ngurus kita


Menyapu pekarangan
Memasak di dapur
Mencuci di sumur
Mengirim rantang ke sawah
Dan ngeroki kita kalau kita masuk angin
Ya, istri sangat penting untuk kita.

Darmanto Jatman

SEPISAUPI

Sepisau luka sepisau duri


Sepisau dosa sepukau sepi

40
Sepisau duka serisau diri
Sepisau sepi sepisau nyanyi

Sepisapa sepisaupi
Sepisapanya sepisaupi
Sepisanya sepikau sepi
Sepisaupa sepisaupi
Sepikul diri keranjang duri
……………..
Sutarji Choulsum B.

Keempat puisi di atas berbeda style-nya. Perbedaan itu dapat dilihat pada
penataan dan penciptaan sarana retorikanya. Baik kata-kata yang dipilih,
ungkapan, imaji, dan gaya bahasanya. Karena memang, dalam hal style tak ada
yang sama di antara para penyair. Ia khas dan pribadi milik penyair. Tapi penyair
keempat puisi itu sama dalam hal kesadarannya untuk menggunakan sarana
puitika yang mampu mewadahi perasaan, pemikiran, dan imajinasinya.
Dalam puisi Padamu Jua, Amir hamzah sangat tertip dan selektif dalam
memilih kata-katanya. Ia memilih kata-kata yang memiliki persamaan bunyi
(persajakan) agar puisinya itu menimbulkan irama sebagaimana sebuah orkestra
yang melantunkan lagu bernada syahdu. Pasangan kata-kata: Habis – kikis, hilang
– terbang, kembali – seperti, padamu – dahulu, kaulah – kandil – kemerlap,
pelita – jendela, kemerlap – gelap, pulang – perlahan, dan Sabar – setia – selalu,
menimbulkan irama ketika puisi itu dibaca. Sekaligus, pembaca akan mampu
merasakan irama dan nada perasaan penyairnya ketika menulis puisi itu.
Perasaan syahdu penyairnya mampu dimunculkan oleh kata-kata yang dipilih.
Begitu juga imaji kinetik/gerak dan imaji visual yang diciptakan Amir Hamzah
berikut: Segala cintaku hilang terbang (imaji kinetik/gerak) dan Kaulah kandil
kemerlap, Pelita jendela di malam gelap, Melambai pulang perlahan (imaji
visual). Imaji atau pencitraan yang dicipta mampu mengkonkritkan perasaan dan
batin penyair yang abstrak. Imaji atau citra memang berfungsi untuk
mengkonkritkan apa yang diabstraksikan (diimajinasikan/dirasakan) penyair
ketika mencipta puisinya.
Berbeda dengan puisi Chairil Anwar yang cenderung atau terkesan tidak
terlalu memusingkan pilihan kata-katanya. Kata-kata yang dipilih sebagaimana
kata-kata yang dipakai sehari-hari. Tidak ada kata-kata klise dalam puisinya yang
berjudul Selamat Tinggal itu. Memang itulah style khas dari kepenyairan Chairil
Anwar. Hal itu terlihat juga dalam puisi-puisinya yang lain. Tetapi bukan berarti
Cairil tidak menata dan memilih kata-kata yang ada dalam puisi tersebut.
Meskipun kata-kata terkesan biasa, tetapi Cairil tetap memilih kata-kata itu
sebagai sarana puitika untuk mewadahi perasaan dan emosinya. Baris Aku
berkaca/ Ini muka penuh luka/Siapa punya?//, mengandung simbol dan emosi
sebagaimana yang dirasakannya ketika mencipta puisi tersebut. Kata berkaca
dan muka penuh luka menggambarkan introspeksi (mawas diri) atas kejelekan

41
dan dosa-dosa yang pernah dia lakukan. Baris Ini muka penuh luka memunculkan
imaji visual yang menjijikkan dan perasaan menderita yang dialami aku lirik
(penyairnya?). Imaji tersebut mampu mengkonkritkan (membuat nyata)
perasaan Chairil yang hanya bisa dirasakan oleh dirinya secara abstrak.
Style atau gaya Darmanto Jatman berbeda pula. Puisi yang berjudul Istri
sangat bernuansa Jawa. Sebagai orang Jawa yang juga tinggal di Jawa Tengah
(Semarang), puisinya itu mengalirkan sikap dan nada ke-jawa-annya. Baris
puisinya: Istri mesti digemateni/ ia sumber berkah dan rejeki//…/mengirim
rantang ke sawah/dan negeroki kita kalau kita masuk angin/, terasa dekat
dengan suasana kehidupan masyarakat Jawa. Kata digemateni (gemati), berkah,
rejeki, rantang, sawah, dan ngeroki, merupakan kata-kata yang lazim dijumpai
dalam kosa kata bahasa Jawa. Style yang dipilih Darmanto Jatman semacam itu
sangat relevan dengan makna dan pesan yang akan disampaikan lewat puisinya
itu. Penyair dalam puisinya itu ingin mengungkapkan pandangannya tentang
peran dan kedudukan istri berdasarkan pandangan hidup sebagai orang Jawa.
Lain jadinya apabila konsep istri (wanita) Jawa diungkapkan dengan gaya yang
berbeda. Dengan demikian, ada kesengajaan penyairnya untuk membangun
nada dan menata sarana putika yang bernuansa Jawa untuk mengungkapkan
tema ke-jawa-an itu.
Pada masa 70-an, dunia kesusasteraan Indonesia diwarnai eksperimentasi
besar, ketika suhu kebudayaan di tanah air lepas dari dominasi Lembaga
Kebudayaan Rakyat yang berafiliasi pada PKI. Salah satu bentuk eksperimen
tersebut salah satunya di bidang puisi. Penyair Sutarji Choulsoum Bachri
merupakan penyair yang sangat frontal memberontak konvensi (aturan) puisi
yang berlaku sebelumnya. Dalam konsep kepenyairannya (kredo), Sutarji ingin
membebaskan kata dari maknanya. Ia berangkat dari mantra; genre puisi lama
Indonesia. Puisi yang berjudul Sepisaupi di atas merupakan salah satu contoh
betapa dia tidak memperhatikan sistem bahasa yang berlaku dalam bahasa
Indonesia. Pada penyair sebelumnya, hal itu tidak pernah dilakukan.
Dalam puisi di atas, jelas Sutarji dengan sengaja menyimpang dari sistem
bahasa yang ada. Dengan begitu, sepisaupi tidak memilki arti apa-apa jika
dipandang dari sistem bahasa Indonesia. Penyairnya sengaja menggabung kata-
kata: sepi – pisau – pikul digabung menjadi sepisaupi. Berdasarkan gaya dan cara
yang dipakai penyairnya seperti itu akan didapatkan makna interpretatif; sepi itu
seperti pisau yang mengiris dan berat seperti barang sepikul. Baris pertama
/sepisau luka sepisau duri/ dapat dimaknai: sepi itu seperti pisau yang mengiris-
iris luka, sepi itu seperti pisau yang mengiris-iris duri. Sesungguhnya Sutarji
berusaha memunculkan bunyi yang ditimbulkan dari kata-kata yang digabung itu.
Meskipun Sutarji dalam kredonya ingin melepaskan kata dari maknanya, tetapi
sebenarnya dia tidak serta merta meninggalkan makna dari kata-kata yang
dipakai. Berdasarkan style atau gaya yang dipakai memang cenderung makna
tidak diperhatikan, tetapi apabila kata-kata yang digabung tersebut diurai akan
nampak maknanya. Begitu juga dengan puisi-puisi yang lainnya, dia berusaha
untuk tidak memperhatikan makna karena kata sengaja dirusak (dalam tanda
petik) untuk menciptakan style-nya itu. Puisinya yang berjudul Tragedi Winka &

42
Sihka, Sutarji sengaja membalik kata kawin dan kasih menjadi winka & sihka.
Dengan membalik kata tersebut, dia akan berbicara tentang ketidaksempurnaan
sebuah perkawinan karena munculnya konflik dalam liku-liku kehidupan manusia
yang mengalaminya. Oleh karena itu dalam puisinya itu, Sutarji menyusun
tipografinya seperti huruf “Z” yang menyimbulkan lika-liku hidup dalam
perkawinan.
Itulah perbedaan dari keempat style atau gaya yang dipakai oleh
penyairnya. Perbedaan itu disebabkan oleh pemilihan kata, ungkapan, simbol,
imaji, dan gaya bahasa yang dipakai dan ditata sedemikian rupa dalam puisinya.
Penataan tersebut dimakusudkan untuk mewadahi apa yang dipikirkan dan
dirasakan penyairnya ketika menciptakan puisinya. Setiap penyair akan berbeda,
karena masalah style atau gaya tersebut bersifat khas. Kalau kemudian terdapat
persamaan dengan puisi-puisi yang ditulis oleh penyair lainnya, dalam teori
sastra disebut sebagai intertekstual. Saling mempengaruhi di antara para penyair
tentunya pasti terjadi. Gaya Amir Hamzah tentu akan banyak dijumpai dalam
puisi-puisi sezamannya (Pujangga Baru). Begitu juga pada zaman 45-an, puisi-
puisi Chairil Anwar banyak mempengaruhi penyair-penyair lainnya. Itu pun
berlangsung pada zaman-zaman sesudahnya, zaman 60-an, 70-an, 80-an atau
pada zaman sekarang. Atas dasar model yang sama itulah dapat dirumuskan
sebuah angkatan sebagaimana yang dilakukan kritikus sastra seperti H.B. Yasin,
Ayip Rosidi, dan kritikus-kritikus lainnya. Di samping terdapat pertimbangan yang
lain, misalnya semangat zaman, untuk mengelompokkan sastra Indonesia dalam
angkatan yang berbeda. Itu tugas seorang kritikus sastra.

Bagian Empat
CITRA MENGKONKRITKAN SUASANA

A pa yang menyebabkan sebuah puisi begitu nyata dan dalam di benak


pembaca? Jawabnya adalah citra atau imaji. Pengalaman estetik dan
imajinatif yang dialami penyair ketika puisi dicipta, merupakan pengalaman yang
abstrak. Ia merupakan pengembaraan dalam samudra imajinasi pengarangnya.
Pengalaman itu berupa letupan-letupan perasaan dan suasana; kilatan puitik.
Ketika penyair menangkapnya melalui kata-kata dan ditulis di atas kertas, jadilah
sebuah puisi. Dengan begitu, puisi sesungguhnya sebuah abstraksi dari
pengalaman.
Tapi bayangkan, seandainya tidak ada sarana stilistik-bahasa, apa
mungkin pengalaman estetik dan imajinatif itu dapat juga dirasakan oleh orang
lain? Tidak mungkin. Bahkan hanya dengan rangkaian kata-kata saja, tak mungkin
itu terjadi. Di sini puisi bukan sekedar kata dirangkai dengan kata menjadi
kalimat atau baris. Puisi bukanlah sebuah pengertian yang ditimbulkan oleh
bahasa yang dipakai pengarangnya, sebagaimana dalam komunikasi sehari-
sehari. Tidak sekedar pesan ‘arti’, tapi juga ‘rasa’. kata-kata yang dipilih penyair
disusun dalam suatu pencitraan tertentu. Tujuannya, pengalaman estetik dan
imajinatif itu menjadi konkrit. Apa yang didengar, dirasa, dilihat, dan dilihat

43
bergerak, diungkapkan melalui citra itu. Oleh karena itu, dalam teori sastra ada
jenis citra visual, audio, suasana, gerak, dan sebagainya. Perhatikan bebera
kutipan puisi berikut ini.

Ini muka penuh luka


Siapa punya?

Kudengar seru menderu


- dalam hariku? –
Apa hanya ingin lalu?

Selamat Tinggal, Chairil Anwar

Puisi Chairil di atas terasa konkrit, karena kehadiran citra visual dan
audio. Baris: Ini muka penuh luka/Siapa punya?// adalah citra visual yang
mengkonkritkan suasana perasaan yang menjijikkan. Penyair tidak perlu
berbicara secara langsung tentang kehidupannya yang penuh dosa dan
menjijikkan itu. Ia cukup mewakilkannya pada bangunan citra: Ini muka penuh
luka. Kehadiran citra visual tersebut lebih mampu menggambarkan apa yang
dirasa dan diimajinasikan (pengaman puitik, sestetik) dari pada seandai Chairil
berbicara secara langsung, misalnya: “Hidupku menjijikkan/Ini hidupkukah?”.
Bandingkan itu dengan baris puisi Chairil di atas.
Begitu juga dengan citra audio pada baris selanjutnya: Kudengar seru
menderu/-dalam hariku/...//. Pembaca seolah ikut mendengar betapa perasaan
Chairil yang gelisah, sedih, berdegup kencang, seperti suara mesin yang keras
dan terus menerus (menderu). Citra audio tersebut lebih konkrit dan mengena
untuk menggambarkan suasa perasaan Chairil. Meskipun baris tersebut bisa saja
diungkapkan melalui rangkaian kata yang maknanya sama, tetapi pencitraan
yang dibangun Chairil lebih mengena, konkrit dan gelisah. Bandingkan
seandainya baris tersebut diganti: “Kudengar suara memekakkan telinga, dalam
hariku, apa karena akan mati? Untuk memberikan gambaran betapa puisi Chairil
ini terasa konkrit dan bersuasana kejiwaan, berikut ini ditampilkan puisi itu
secara lengkap.

Selamat Tinggal

Aku berkaca
Ini muka penuh luka
Siapa punya?

Kudengar seru menderu


- dalam hariku? –
Apa hanya ingin lalu?

Lagu lain pula

44
Menggelepar tengah malam buta

Ah………….!!

Segala menebal, segala mengental


Segala tak kukenal……..!!
Selamat Tinggal………!!
Chairil Anwar

Puisi Chairil Anwar di atas terasa sangat kuat, meskipun singkat. Pertama,
pilihan kata yang padat, tak perlu melebar dan berpanjang-panjang. Kedua,
penggunaan gaya bahasa metafora (Ini muka penuh luka) dan personifikasi
(menggelepar tengah malam buta). Ketiga, pencitraan yang sangat menonjol
(baris tebal menunjukkan pencitraan tersebut). Keempat, adanya persajakan
(rima) atau pilihan kata yang memiliki persamaan bunyi: berkaca-luka-punya,
seru menderu-hariku-ingin lalu, lagu lain pula, menebal-mengental-kukenal-
selamat tinggal. Persamaan bunyi (aliterasi dan asonansi) seakan membangun
nada orkestra lewat kata.
Keempat hal itulah menjadi trade mark bagi Chairil Anwar, yang
sebelumnya tak dilakukan penyair-penyair lain. Oleh karena itulah, Kenapa
kemudian penyair ini disebut sastrawan pembaharu, pendobrak, avant-garde,
dan pelopor sastrawan angkatan ’45. Sampai saat ini, pembaharuan Chairil
tersebut masih berpengaruh sebagian besar penyair. Bagaimana dengan Anda?
Meskipun bukan satu-satunya gaya pengungkapan yang ada dalam
kesusasteraan Indonesia, nampaknya gaya Chairil Anwar masih bisa menjadi
referensi bagi penciptaan puisi kemudian. Bukankah kita harus belajar dari yang
ada. Selanjutnya terserah Anda.

_______________

45
BAGAIMANA CERPEN ITU TERCIPTA?

A pa yang membedakan puisi dari cerpen? Puisi jelas lebih padat, singkat,
dan sangat bergantung pada pilihan kata, simbol, dan gaya bahasa.
Sementara cerpen lebih melebar atau menjabarkan obyek yang ingin
diungkapkan. Kalau puisi menangkap momen puitik berupa kilatan perasaan,
penghayatan, dan perenungan yang muncul dalam diri penyairnya, maka cerpen
menangkap satu peristiwa yang unik dan menarik tentang kehidupan suatu
tokoh menghadapi suatu problema. Karena itulah cerpen lebih bergantung pada
konflik yang dialami tokohnya.
Apakah yang menyamakan puisi dan cerpen? Sebagai karya sastra, puisi
dan cerpen sama-sama didorong oleh imajinasi, fiksi, dan ekspresi. Ketiga istilah
itulah dikenal dengan apa yang disebut siasat sastra. Oleh karena itu, akan lebih
jelas jika penulis pemula memahami siasat sastra yang telah dibahas pada awal
buku ini, sebagai pijakan pengetahuan menciptakan karyanya. Dengan siasat
sastra itulah, pengarang menciptakan karya sastranya. Karena siasat sastra
itulah, sebuah karya sastra memiliki kualitas.

Bagian Satu
TEMA – IDE PENULISAN – KERANGKA PENULISAN
Marilah membahas tentang bagaimana menulis cerita pendek
berdasarkan apa yang pernah dikemukakan di awal buku ini. Kalau disarikan, apa
yang telah dikemukakan terdahulu, bahwa karya sastra (baca: prosa dan drama)
berangkat dari komponen ide penulisan, obyek yang diceritakan (manusia hero
dan problematika hidupnya), konflik, dan kerangka penulisan. Penulisan cerita
pendek dapat dimulai dari menciptakan komponen-komponen tersebut. Hal itu
bisa disebut dengan istilah treetment. Perhatikan bagan urutan berikut ini.

46
TEMA

IDE PENULISAN

OBYEK YANG DICERITAKAN

KERANGKA PENULISAN

PENGEMBANGAN

Bagan 3: Treatmen Cerita

Tema dalam konteks ini diartikan sebagai wilayah atau bidang pemikiran
yang melandasi cerita. Oleh karena itu, tema akan dengan sendirinya muncul
ketika ide penulisan dibuat. Ide penulisan merupakan sebuah premis atau
pernyataan yang mengandung sebuah problema kehidupan yang hendak
diberikan kepada pembaca melalui karya sastra. Sedangkan obyek yang
diceritakan berwujud problema kehidupan yang bagaimanakah dan siapakah
yang mengalaminya sesuai dengan ide penulisan. Sementara kerangka penulisan
adalah susunan atau rangkaian peristiwa dari awal hingga akhir, yang
berhubungan secara sebab-akibat, menjadi alur cerita. Kerangka penulisan
dibuat berdasarkan obyek yang hendak diceritakan dalam suatu karya sastra.
Ujung dari treetment tersebut adalah suatu cerita pendek yang ditulis
berdasarkan komponen-komponen yang disusun sebelumnya.
Semakin ke atas, komponen tersebut semakin abstrak. Sebaliknya,
semakin ke bawah semakin konkrit. Dengan demikian, tema menduduki posisi
paling abstrak, sedangkan pengembangan paling konkrit. Ide penulisan lebih
abstrak dari pada obyek yang diceritakan, tetapi lebih konkrit dari pada tema.
Bagan di atas menunjukkan urutan yang bisa dilakukan dalam proses penulisan
cerita pendek; dari tingkat abstrak (pemikiran) ke arah konkrit (cerita). Berikut ini
sebuah contoh penerapan treetment tersebut.

47
TEMA
Kemiskinan

IDE PENULISAN
Kemiskinan terjadi lantaran kebodohan, kemalasan,
jauh dari pedoman hidup, dan penindasan

OBYEK YANG DICERITAKAN


Sosok Abu, buruh pabrik yang miskin karena bodoh,
malas, kurangnya tuntunan agama, perlakuan
majikan yang menindas, sistem kerja yag tidak
manusiawi, dan mitos dalam masyarakat yang tidak
memihak pada status sosialnya

Bagan 4: Treetment cerita,


diadaptasi dari cerita dalam naskah drama Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer

Ketiga komponen di dalam treetment di atas menjadi landasan atau dasar


penulisan cerita pendek; bisa juga untuk genre prosa yang lain. Ketiganya bisa
ditulis di sebuah catatan khusus atau hanya diingat ke dalam otak. Tetapi
sebelum penulisan di mulai, perlu dimatangkan dengan penghayatan,
perenungan, dan pemikiran. Dapat juga diperkaya dengan sumber-sumber
referensi yang ada. Setelah dirasa matang dan sempurna, barulah dibuat sebuah
kerangka penulisan.
Kembali kepada pembahasan tentang kerangka penulisan terdahulu,
penyusunan kerangka penulisan mengikuti prinsip urutan sebab-akibat
(kausalitas). Peristiwa yang satu sebagai sebab munculnya peristiwa selanjutnya,
dan seterusnya, hingga membentuk alur dari awal hingga akhir. Perhatikan juga
tahapan alur yang telah disinggung di depan. Jangan lupa, cerita pendek lebih
singkat dari pada novel atau roman. Jika novel dan roman mengungkapkan
rentang waktu yang relatif panjang, maka novel hanya menceritakan satu saja
peristiwa. Oleh karena itu, cerpen memiliki halaman lebih sedikit dari pada genre
prosa yang lain. Dengan begitu, kerangka penulisannya pun lebih sedikit.
Berdasarkan ide penulisan dan obyek yang diceritakan di atas, dibuatlah
kerangka penulisan. Berikut ini contoh kerangka penulisan berdasarkan ide
penulisan dan obyek yang diceritakan di atas.

48
KERANGKA PENULISAN
1
Abu duduk termenung di atas kursi malas kesukaannya. Hujan
di luar menembus genting yang banyak berlubang di atas
rumahnya. Adzan magrib berkumandang. Tapi Abu tetap dalam
lamunannya menjadi raja yang elok rupawan.
2
Iyem, istri Abu, marah-marah melihat suaminya cuma
bermalas-malasan. Rumahnya hampir tenggelam oleh air hujan.
Dia panik, barang-barang di dalam rumahnya hanyut terbawa
air.
3
Lamunan Abu masih terbawa esok harinya di pabrik tempat dia
bekerja. Majikannya marah-marah melihatnya. Sumpah
serapah dilontarkan pada Abu. Dan Abu pun dipecat tanpa
uang pesangon
4
Abu pun beralih menjadi kuli kasar. Lebih keras lagi sistem kerja
di tempat pekerjaannya yang baru. Abu dan temannya hanya
seperti robot. Ia diatur oleh mesin-mesin. Bukan sebaliknya.
Abu semakin hilang aspek kemanusiawiannya karena sistem
kerja seperti itu.
5
Perlakuan majikan di tempat yang baru tak kalah jahatnya dari
pada majikannya yang lama.
6
Abu dan Iyem akhirnya pergi dari semua penderitaan itu.
Mereka pergi menggelandang mencari Cermin Tipu Daya yang
dijual Nabi Sulaeman di ujung dunia, seperti lamunan dan
mimpi-mimpinya.
7
Abu meninggal dalam perjalanannya itu sebelum mendapatkan
impiannya itu.

Diadaptasi dari cerita drama berjudul “Kapai-Kapai” karya Arifin C. Noer

Kerangka penulisan di atas semakin konkrit memperlihatkan bagaimana


cerita dalam cerpen yang akan ditulis nantinya. Ada kesinambungan antara tema,
ide penulisan, obyek yang diceritakan, dan kerangka penulisan. Tahap yang ada
di bawah menerjemahkan tahap di atasnya. Tahap yang ada di bawah
merupakan penkonkritan tahap di atasnya. Kesinambungan itu akan
mempermudah bagaimana mengembangkannya menjadi sebuah cerita pendek
yang utuh.

49
Bagian Dua
PENGEMBANGAN CERITA: Paragraf Awal, Unsur Pelukisan, Dan Dialog
Pengembangan cerita merupakan tahap penulisan cerita pendek yang
sebenarnya. Dalam tahap inilah cerpen secara utuh ditulis. Dengan adanya
kerangka penulisan yang telah matang, penulis lebih mudah menulis cerpen
berdasarkan urutan dalam kerangka itu. Tetapi banyak hal yang bakal terjadi saat
penulis mengembangkan kerangka tersebut menjadi cerita yang utuh. Bisa jadi
penulis menambahi hal-hal yang tidak tercantum dalam kerangka. Peristiwa-
peristiwa kecil akan dihadirkan pada tahap ini. Hal-hal yang ditambahkan
tersebut merupakan bentuk penghidupan cerita agar lebih menarik. Tetapi
secara garis besar, alur cerita tetap berdasarkan kerangka penulisan. Di sinilah
imajinasi dan ekspresi penulis secara total dituangkan dalam cerita. Di sinilah
gaya penceritaan penulis diwujudkan melalui rangkaian kalimat menjadi
paragraf; paragraf menjadi wacana naratif.
Unsur wacana dalam cerita pendek (demikian juga dalam genre prosa
yang lain) terdiri atas pelukisan dan dialog. Di dalam wacana cerpen keduanya
hadir untuk menceritakan obyek yang diceritakan. Pelukisan merupakan
gambaran tentang tokoh, peristiwa yang terjadi, dan tempat peristiwa itu terjadi.
Ketiganya diceritakan dengan kalimat-kalimat yang mengalir dan menarik.
Sedangkan dialog merupakan apa yang diucapkan oleh tokoh cerita. Dituntut
kekayaan bahasa, kepiawian menyusun kalimat yang indah dan enak dibaca, dan
kemampuan menggambarkan secara imajinatif apa yang hendak disampaikan
kepada pembacanya. Itulah sebuah style yang hanya dimiliki penulis itu sendiri.
Ia berbeda dengan penulis yang lain. Hal itu akan terlihat saat cerpen itu dibaca.
Awalilah cerita pendek dengan untaian kalimat yang menarik dan
ekspresif. Untaian kalimat semacam itu diperlukan untuk menarik pembaca agar
termotivasi membaca seterusnya. Hal itu lazim dilakukan penulis-penulis lain.
Perhatikan beberapa contoh bagaimana penulis yang telah mapan dalam
kesusasteraan Indonesia mengawali karyanya, baik cerpen maupun novel.

Mereka hanya muncul malam hari. Peri-peri pemetik air mata. Selalu
datang berombongan—kadang-kadang lebih dari dua puluh—seperti
arak-arakan capung, menjinjing cawan mungil keemasan, yang melekuk
dan mengulin di bagian ujungnya. Ke dalam cawan mungil itulah mereka
tampung air mata yang mereka petik. Cawan itu tak lebih besar dari biji
kenari, tetapi bisa menampung seluruh air mata kesedihan di dunia ini.
Saat ada yang menangis malam-malam, peri-peri itu akan berkitaran
mendekati, menunggu air mata itu menggelantung di pelupuk kemudian
pelan-pelan memetiknya....

“Empat Cerita Buat Cinta” dalam Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia karya Agus Noor
Bapakku anggrek bulan, putih dari hutan. Ibuku mawar merah di
taman, dekat pagar pekarangan. Bertemu suatu pagi di pelabuhan.
Melahirkanku. Bayi merah muda kemboja. Bunga kuburan.

“Cala Ibi” karya Nukila Amal

50
Bayi matahari yang masih merah menggeliat bangun dari tidurnya lalu
merangkak mengangkasa mengikuti busur langit. Ia dan ayahnya duduk
di atap rumah mereka sambil memandang ke kejauhan. Rambutnya
masih acak-acakan sisa sentuhan bantal sepanjang malam. Piyama biru
muda bertabur bintang, bulan, planet, dan astronot masih melekat di
tubuhnya. Kancing teratas piyama itu tanggal dan menyisakan dua
lubang kecil tempat sehelai benang yang tidak begitu panjang pernah
mengakar. Mata-bocahnya yang tampak besar menyiratkan kekaguman.

“Karnaval” karya Bramantio

Paragraf awal dipakai penulis sebagai pijakan untuk masuk ke dalam


cerita. Ada beberapa kebiasaan dilakukan penulis menyusun paragraf awal
tersebut. Pertama, penulis memilih paragraf awal itu dengan lukisan tentang
tempat di mana peristiwa yang dialami tokoh utama terjadi. Namun demikian,
pelukisan tempat tersebut disesuaikan dengan isi cerita. Jika cerita
menggambarkan tentang nasib tokoh utama yang kurang beruntung misalnya,
lukisan tempat menggambarkan suasana yang muram. Jika sebaliknya, akan
diceritakan suasana tempat yang cerah, nyaman, dan indah. Perhatikan contoh
paragraf awal yang menggambarkan hal tersebut.

Di ujung perkampungan yang sesak itu ada jalan memintas yang


dekat bagi para pejalan kaki kalau mereka hendak pergi ke jalan raya,
menyetop bus kota atau kalau mereka hendak pergi ke pusat
perbelajaan. Jadi, jalan pintas itu sangat penting. Tetapi bagi pemilik
mobil jalan pintas itu tidak bisa dimanfaatkan. Mereka harus menyusuri
jalan beraspal. Para pejalan kaki tidak mau menggunakan jalan
beraspal itu.............

“Hukuman untuk Tom”


dalam Bibir dalam Pispot
karya Hamsad Rangkuti (2003)

Kedua, penulis menyusun paragraf awal dengan gambaran tentang


identitas tokoh utama. Penulis akan menyusun kalimat demi kalimat untuk
menggambarkan siapakah tokoh utama yang akan diceritakan, bagaimana
sikapnya tentang sesuatu yang bakal terjadi, profilnya, kebiasaan, atau pun latar
belakang kehidupannya. Contoh berikut merupakan paragraf awal yang dipakai
Nukila Amal untuk menggambarkan latar belakang tokoh yang diceritakan.

51
Bapakku anggrek bulan, putih dari hutan. Ibuku mawar merah di taman,
dekat pagar pekarangan. Bertemu suatu pagi di pelabuhan.
Melahirkanku. Bayi merah muda kemboja. Bunga kuburan.

“Cala Ibi” karya Nukila Amal

Dengan kalimat metaforis dan bersajak (rima), Nukila Amal mengawali


novelnya dengan menggambarkan latar belakang tokoh utamanya. Paragraf
tersebut sangat indah dan menarik berkat penataan dan pilihan kata dan
lambang yang benar-benar tergarap. Paragraf awal semacam itu akan menarik
perhatian dan motivasi pembaca untuk terus membaca karya sastra tersebut.
Ketiga, penulis menyusun paragraf awalnya dengan menggambarkan
tentang identitas tokoh utamanya. Cara ini juga banyak digunakan penulis untuk
mengawali karyanya. Dalam halaman terdahulu telah dikutip paragraf awal yang
dipakai cerpenis Yogya, Agus Noor, untuk membuka ceritanya.

Mereka hanya muncul malam hari. Peri-peri pemetik air mata. Selalu
datang berombongan—kadang-kadang lebih dari dua puluh—seperti
arak-arakan capung, menjinjing cawan mungil keemasan, yang melekuk
dan mengulin di bagian ujungnya. Ke dalam cawan mungil itulah
mereka tampung air mata yang mereka petik. Cawan itu tak lebih besar
dari biji kenari, tetapi bisa menampung seluruh air mata kesedihan di
dunia ini. Saat ada yang menangis malam-malam, peri-peri itu akan
berkitaran mendekati, menunggu air mata itu menggelantung di
pelupuk kemudian pelan-pelan memetiknya....

“Empat Cerita Buat Cinta” dalam Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia
karya Agus Noor (2010)

Paragraf awal cerpen karya Agus Noor di atas melukiskan tokoh


utamanya, Peri Pemetik Air Mata, dengan rangkaian kalimat yang mengalir cukup
cair dan indah. Gaya bahasa digunakan untuk mengkonkritkan lukisan tentang
tokoh tersebut. Pilihan frase seperti : arak-arakan capung, cawan mungil
keemasan, Cawan itu tak lebih besar dari biji kenari, tetapi bisa menampung
seluruh air mata kesedihan di dunia ini, dan air mata itu menggelantung di
pelupuk, sangat indah dengan kandungan metafora dan ironisme yang penulis
pilih. Paragraf awal di atas akan menggugah motivasi pembaca untuk terus
membaca.
Ada banyak gaya yang dipakai penulis untuk membuka ceritanya. Tetapi
pada umumnya, penulis menggunakan ketiga cara tersebut. Dengan gayanya
masing-masing penulis menyusun paragraf awal dengan penataan kalimat, frase,
dan kata, sebaik-baiknya. Cara yang dipakai penulis untuk mengawali ceritanya di
atas dapat menjadi pembelajaran bagi penulis pemula bagaimana mengawali
pengembangan kerangka penulisan yang telah disusun sebelumnya.
Tapi yang tak kalah penting adalah bagaimana mengembangkan kerangka
penulisan menjadi cerita yang utuh dan menarik. Kerangka penulisan yang telah

52
disusun sebelumnya, merupakan teknik awal untuk menuju ke sana. Yang kedua
adalah bagaimana pelukisan dan dialog sebagai unsur pengembangan kerangka
penulisan juga tertata. Sebelum membahas hal tersebut perlu dipahami terlebih
dahulu fungsi unsur pelukisan dan dialog dalam cerita.
Pelukisan merupakan gambaran atau penjelasan yang dilakukan oleh
penulis ke dalam teks cerita. Ada empat hal yang digambarkan atau dijelaskan
melalui pelukisan, yaitu: (1) apa yang dilakukan tokoh; (2) peristiwa yang terjadi;
(3) apa yang dipikirkan dan dirasakan tokoh; dan (4) suasana, tempat, dan waktu
(seting/latar). Penulis sendiri yang mengambil peranan untuk itu. Penulis menjadi
seorang pengamat yang serba tahu, baik yang dapat dilihat maupun yang tidak.
Itulah mengapa penulis mampu menjelaskan dan menggambarkan apa yang
dipikirkan dan dirasakan tokoh di dalam batinnya. Berikut ini beberapa contoh
pelukisan yang dipakai oleh cerpenis Indonesia.

Sepasang burung bangau melayang meniti angin berputar-putar tinggi di


langit. Tanpa sekali pun mengepak sayap, mereka mengapung berjam-
jam lamanya. Suaranya melengking seperti keluhan panjang. Air. Kedua
unggas itu telah melayang beratus-ratus kilometer mencari genangan air.
Telah lama mereka merindukan amparan lumpur tempat mereka mencari
mangsa; katak, ikan, udang atau serangga air lainnya.

Namun kemarau belum usai. Ribuan hektar sawah yang mengelilingi


Dukuh Paruk telah tujuh bulan kerontang. Sepasang burung bangau itu
takkan menemukan genangan air meski hanya selebar telapak kaki.
Sawah berubah menjadipadang kering berwarna kelabu. Segala jenis
rumput, mati. Yang menjadi bercak-bercak hijau di sana-sini adalah
kerokot, sajian alam bagi berbagai jenis belalang dan jangkrik. Tumbuhan
jenis kaktus ini justru hanya muncul di sawah sewaktu kemarau berjaya.

Di bagian langit lain, seekor burung pipit sedang berusaha


mempertahankan nyawanya. Dia terbang bagai batu lepas dari katapel
sambil menjerit sejadi-jadinya. Di belakangnya, seekor alap-alap
mengejar dengan kecepatan berlebih. Udara yang ditempuh kedua
binatang ini membuat suara desau. Jerit pipit kecil itu terdengar ketika
paruh alap-alap menggigit kepalanya. Bulu-bulu halus beterbangan.
Pembunuhan terjadi di udara yang lengang, di atas Dukuh Paruk. Angin
tenggara bertiup. Kering. Pucuk-pucuk pohon di pedukuhan sempit itu
bergoyang.

Daun kuning serta ranting kering jatuh. Gemersik rumpun bambu.


Berderit baling-baling bambu yang dipasang anak gembala di tepian
Dukuh Paruk. Layang-layang yang terbuat dari daun gadung meluncur
naik. Kicau beranjangan mendaulat kelengangan langit di atas Dukuh
Paruk.
Ronggeng Dukuh Paruk karya A. Tohari

53
Seorang perempuan muda bertanya kepada ibunya.
Ibu, lelaki sejati itu seperti apa?

Ibunya terkejut. Ia memandang takjub pada anak yang di luar


pengamatannya sudah menjadi gadis jelita itu. Terpesona, karena waktu
tak mau menunggu. Rasanya baru kemarin anak itu masih ngompol di
sampingnya sehingga kasur berbau pesing. Tiba-tiba saja kini ia sudah
menjadi perempuan yang punya banyak pertanyaan.

Sepasang matanya yang dulu sering belekan itu, sekarang bagai sorot
lampu mobil pada malam gelap. Sinarnya begitu tajam. Sekelilingnya jadi
ikut memantulkan cahaya. Namun jalan yang ada di depan hidungnya
sendiri, yang sedang ia tempuh, nampak masih berkabut. Hidup memang
sebuah rahasia besar yang tak hanya dialami dalam cerita di dalam
pengalaman orang lain, karena harus ditempuh sendiri.

Cerpen Laki-Laki Sejati


karya Putu Wijaya

Dalam batin Corrie, terjadi pergulatan. Ia berusaha menyakinkan dirinya


bahwa perkawinan antar dua bangsa tidak akan membawa bahagia.
Namun ia tak dapat memungkiri suara hatinya yang mencintai Hanafi.
Dengna kesadaran yang dipaksakan. Corrie menulis surat perpisahan
dengan Hanafi. Surat itu berisi pandangan-pandangan Corrie seperti
petuah ayahnya. Ia juga mengatakan jika kedudukan Hanafi Corrie belum
sederajat maka perkawinan bagi mereka adalah mustahil. Corrie tak
dapat menerima Hanafi.

Salah Asuhan, karya abdul Muis

Sesungguhnya, ia mengetahui, pemuda yang ada di hadapannya tidak


lain adalah anak tirinya. Namun, keadaan juga yang menuntut mereka
menjadi korban. Wanita pemilik losmen itu mati dengan keris
pusakanyasendiri setelah ia membunuh Profesor Tabib yang memaksanya
demi memuaskan nafsu setan. Juga si penyair mati dalam berondongan
peluru musuh setelah ia mengadakan perlawanan demi kehidupan dan
demi bangsanya. “Losmen Sederhana hanya tinggal puing yang membara
dan lesu mengepulkan asap kelam-kelam. Terkuburlah di bawah
reruntuhan dan sekitarnya pengkhianatan dan pejuang-pejuang tanpa
baju seragam, tanpa bintang, tanpa nama, dan tanpa pertanda.”

Tanpa Nama, “Domba-Domba Revolusi” karya B. Sularto

54
Memperhatikan contoh pelukisan di atas dapat dipahami bahwa penulis
menggunakan unsur pelukisan tersebut untuk menggambarkan apa yang
dipikirkan dan apa yang dilakukan tokoh yang diceritakannya. Apa yang
dipikirkan dan apa yang dilakukan tokoh tidak mungkin disampaikan melalui
dialog, sehingga kehadiran pelukisan sangat diperlukan untuk itu.
Sedangkan dialog merupakan unsur wacana yang berupa percakapan
antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain; bisa juga dengan dirinya sendiri.
Unsur dialog biasanya ditandai dengan tanda petik ganda untuk mengawali dan
mengakhirinya. Pada bagian-bagian tertentu, dialog tersebut diikuti dengan
penjelasan dengan menggunakan kata: kata, tanya, tutur, tukas, sahur, jawab,
timpal, ujar, potong, dan sebagainya, untuk menjelaskan atau mengkonkritkan
bagaimana tokoh tersebut berdialog. Berikut contoh penulisan dialog yang
dimaksud.

“Seniman memanfaatkan resolusi polaroid yang berbeda dengan


film,” tutur Jose dalam salah satu ceramahnya. “Warna polaroid terlalu
intens, terlalu dramatis. Terkesan tak nyata. Lucas Samara mempercayai
fotografi polaroid untuk mendapatkan imaji-imaji fantastis.”
“Maksudmu?”
“Intinya, Andri,” Jose menepuk bahuku. “Polaroid kerap menipu.
Berlebihan. Artifisial.”
“Lalu Warhol dengan kelamin-kelaminnya?”

Sihir Perempuan karya Intan Paramaditha

“Malaikat itu sebenarnya baik, dia hanya ingin membunuh iblis


tersebut, tapi ia lupa bahwa malaikat tidak boleh membunuh, Darah
iblis itu kotor dan tak boleh menyentuh kemurnian, dan malaikat itu
adalah makhluk yang nurni yang tak boleh terkotori oleh darah iblis.”
“Apakah dia tidak bisa melihat surga?” Michail menggeleng dan lagi-
lagi mata itu berubah menjadi ungu.
“Michail, aku juga mungkin tidak bisa melihat surga...”
“Kenapa kau berkata seperti itu?”
“Surga tempat manusia-manusia yang baik kan? Surga hanya untuk
tempat anak-anak yang manis dan selalu menurut perintah
orangtuanya, surga juga tempat anak manis yang mau belajar dan jadi
anak
baik.”

Dadaisme karya Dewi Sartika (2004)

Baginda segera mendukung bayi yang ternyata seorang bayi


perempuan. Tiba-tiba muncul seraut wajah yang dikenalnya sebagai
wajah istrinya dari istana di tengah rimba tempo dulu.

55
”kakanda Mundingsari, bayi itu adalah anak kita! Dia kuserahkan
kepada kakanda untuk kau besarkan di kalangan manusia.” kata istrinya
itu.
”Di kalangan manusia? Apa maksudmu adinda?” tanya prabu
Mundingsari. Tak mengerti.
”Sebenarnya bahwa aku dari kalangan siluman...!” sahut istrinya tiu.
Baginda prabu Mundingsari merasa heran dan hanya tertegun smapi
beberapa saat. Dia tidak tahu dan tidak menyadari ketika bayangan
wajah putri siluman istrinya itu menghilang.

Dongeng Populer Anak


karya Tira Ikranegara dan M.B., Rahimsyah

Dialog muncul dalam cerpen sejauh dialog tersebut dapat menggerakkan


jalannya cerita. Dialog-dialog yang cenderung bosa-basi dan tidak begitu penting
peranannya dalam pergerakan jalannya cerita (alur), alangkah baiknya tidak
dicantumkan. Hal ini menghindari agar cerpen, yang nota bene cerita yang
pendek dan ringkas, tidak melebar ke mana-mana. Dengan begitu, cerita menjadi
efektif, beralur cepat, dan terfokus pada satu peristiwa yang diceritakan. Ingat,
bahwa cerpen hanya mengambil obyek penceritaan pada satu peristiwa yang
unik dan menarik, berbeda dengan novel dan roman. Namun demikian, dialog
akan semakin hidup dengan variasi pelukisan yang dilakukan oleh penulis.
Pelukisan tersebut, dalam kaitannya dengan dialog, menggambarkan apa yang
sedang dipikirkan dan dirasakan tokoh ketika berdialog dan apa yang dilakukan
tokoh sambil berdialog.
Dapat dikatakan bahwa wacana cerpen, juga novel, dan roman,
merupakan perpaduan antara unsur dialog dan pelukisan. Dialog dilakukan
tokoh, sedang pelukisan dilakukan oleh penulis sebagai pengamat. Perpaduan
keduanya akan menimbulkan pergerakan cerita dan suasana yang timbul dalam
cerita. Penulis yang piawai memadukan keduanya menjadikan cerita yang ditulis
mengalir seolah tanpa berhenti. Sebaliknya, ketidakpaduan kedua unsur tersebut
akan menimbulkan kesan cerita terputus-putus dan carut-marut. Akibatnya,
cerita menjadi tidak menarik. Untuk menghindari hal tersebut diupayakan
adanya kesinambungan antara unsur dialog dan pelukisan dalam hal isi atau
pokok yang dibicarakan. Perhatikan Putu Wijaya memberikan contoh bagaimana
keterpaduan antara pelukisan dan dialog menjadikan cerpennya enak dibaca.

Akhirnya, tanpa diketahui oleh istri saya, saya datang lagi. Sekali ini
saya datang dengan kunci mobil. Saya tarik deposito saya di bank dan
mengambil kredit sebuah mobil. Mungkin Taksu ingin punya mobil
mewah, tapi saya hanya kuat beli murah. Tapi sejelek-jeleknya kan
mobil, dengan bonus janji, kalau memang dia mau mengubah cita-
citanya, jangankan mobil mewah, segalanya akan saya serahkan, nanti.

56
"Bagaimana Taksu," kata saya sambil menunjukkan kunci mobil itu.
"Ini hadiah untuk kamu. Tetapi kamu juga harus memberi hadiah buat
Bapak." Taksu melihat kunci itu dengan dingin.
"Hadiah apa, Pak?" Saya tersenyum.
"Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk
memutuskan. Jadi, singkat kata saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?"
Taksu memandang saya.
"Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?"
Kunci mobil yang sudah ada di tangannya saya rebut kembali.
"Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh kamu
ambil sekarang juga, kalau kamu berjanji bahwa kamu tidak akan mau
jadi guru, sebab itu memalukan orang tua kamu. Kamu ini investasi
untuk masa depan kami, Taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan
supaya kamu meraih gelar, punya jabatan, dihormati orang, supaya
kami juga ikut terhormat. Supaya kamu berguna kepada bangsa dan
punya duit untuk merawat kami orang tuamu kalau kami sudah jompo
nanti. Bercita-citalah yang bener. Mbok mau jadi presiden begitu!
Masak guru! Gila! Kalau kamu jadi guru, paling banter setelah menikah
kamu akan kembali menempel di rumah orang tuamu dan menyusu
sehingga semua warisan habis ludes. Itu namanya kerdil pikiran. Tidak!
Aku tidak mau anakku terpuruk seperti itu!"

Cerpen “Guru” karya Putu Wijaya

Seperti cerpen-cerpen yang lain, pada kutipan di atas Putu Wijaya


membangun ceritanya melalui pelukisan dan dilanjutkan dengan dialog untuk
memunculkan pertikaian antara dua tokoh yang diceritakannya. Pelukisan dalam
contoh di atas dikemukakan oleh penulis yang bertindak sebagai tokoh aku, yang
membelikan sebuah mobil untuk anaknya, Taksu, asalkan anaknya itu merubah
niatnya untuk menjadi guru. Pelukisan tersebut dilanjutkan dengan dialog antara
aku dan Taksu yang menggambarkan perbedaan sikap antara kedua tokoh
tersebut. Dengan demikian, jalan cerita tersebut digerakkan oleh perpaduan
antara pelukisan dan dialog. Kehadiran Keduanya sangat penting dalam
menjelaskan cerita. Dihilangkannya salah satu unsur tersebut menjadikan cerita
tersebut tidak jelas atau timpang.
Dengan demikian, unsur pelukisan dan dialog dalam wacana cerita
memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Tetapi kehadiran keduanya dipadukan
untuk mengembangkan dan menggerakkan cerita. Keduanya sama-sama penting.
Berbeda dengan karya sastra genre drama, karya sastra jenis ini hanya
memerlukan unsur dialog. Sedangkan kehadiran unsur pelukisan tidak sepenting
unsur dialog tersebut. Hal itu dikarenakan naskah drama diciptakan untuk
didialogkan oleh aktor di atas panggung.

57
Bagian Tiga
PENGEMBANGAN CERITA: Bahasa Ekspresif Dan Imajinatif
Aspek lain yang perlu diperhatikan oleh penulis pemula dalam
mengembangkan kerangka penulisan adalah bahasa. Bahasa sangat penting
peranannya dalam cerita pendek karena melalui bahasa itulah cerita diwadahi,
diekspresikan, dan dimunculkan keartistikannya. Oleh karena itulah, bahasa
dalam sastra sering disebut bahasa ekspresif dan imajinatif. Beberapa ahli
menyebutnya bahasa puitik dan artistik. Hal itu menyarankan bahwa bahasa
yang digunakan dalam karya sastra tidak semata-mata untuk menampung
pengertian, tetapi juga emosi dan imajinasi penulisnya. Ia melampaui persoalan
sistem bahasa atau tata bahasa. Kata, frase, dan kalimat dirangkai berdasarkan
pilihan yang selektif, gaya bahasa, perpaduan bunyi atau persajakan, dan gaya
penceritaan yang khas yang dimiliki masing-masing penulis.
Pertama, pilihan kata sangatlah penting untuk diperhatikan. Dalam
khazanah kosa kata bahasa Indonesia sering dijumpai beberapa kata yang
memiliki kesamaan makna. Bagi penulis hanya satu kata yang tepat untuk
mewadahi apa yang ingin dikemukakan. Perhatikan sebuah kalimat yang diambil
dari cerpen Hamsad Rangkuti berjudul Lagu di Atas Bukit berikut ini, beserta
alternatif kosa kata lain yang memiliki makna relatif sama.

Sebuah bus jarak jauh meluncur


meluncur
bergerak
Sebuah bus malam jarak jauh berjalan
melesat
menderu

Kata meluncur dalam konteks kalimat Sebuah bus jarak jauh meluncur,
memiliki relatif kesamaan makna dengan kata: bergerak, berjalan, melesat, dan
menderu. Namun demikian, dari sekian kata tersebut, kata meluncur menadi
pilihan untuk mewadahi apa yang dimaksud oleh penulisnya. Kata tersebut
sangat tepat untuk menampung apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh penulis.
Dalam proses pembacaan, kata tersebut akan memiliki kesan lebih dari bergerak,
berjalan, melesat, dan menderu. Begitu juga dalam contoh kalimat berikut.

Saat kesadarannya seperti terisap, lamat-lamat


didengarnya tangisan yang begitu gaib
terisap,
Saat kesadarannya tertarik; ditarik
terfokus
lamat-lamat
didengarnya tangisan
pelan-pelan
yang begitu gaib
lambat-lambat

58
Penggunakan kata terisap dan lamat-lamat dalam kalimat Saat kesadarannya
seperti terisap, lamat-lamat didengarnya tangisan yang begitu gaib, merupakan
pilihan yang tepat. Di samping terdapat nilai rasa, kedua kata tersebut berpadu
dalam persajakan (rima) yang indah.
Contoh di atas menyarankan bahwa pilihan kata sangat diperhatikan
penulis dalam penggunaan bahasanya. Nilai rasa, asosiasi, perlambangan, dan
pertukaran makna, menjadi landasan bagi penulis untuk memilih kata. Apalgi
dalam puisi, pilihan kata semakin penting lantaran puisi merupakan ungkapan
perasaan dan imajinasi yang singkat dan padat. Puisi merupakan genre sastra
yang mengungkapkan makna secara tidak langsung. Meskipun cerpen cenderung
tidak seperti puisi, namun pilihan kata yang digunakan berdasarkan
pertimbangan yang sama sebagaimana dalam puisi. Meskipun hal itu tidak
sebegitu mendalam dibandingkan puisi.
Kedua, penggunaan sarana literer juga perlu diperhatikan dalam
mengembangkan kerangka penulisan menjadi cerita yang utuh. Sarana literer
yang dimaksud adalah gaya bahasa. Bahasa sastra disiasati, dimanipulasi, dan
didayagunakan seefektif mungkin agar memperoleh efektivitas dan ekspresivitas
pengungkapan cerita. Salah satu siasat yang digunakan adalah melalui
penggunaan gaya bahasa. Gaya bahasa atau disebut dengan majas merupakan
teknik pengungkapan bahasa yang maknanya tidak menunjuk pada makna
harfiah (denotatif), melainkan pada makna tersiratnya (konotatif). Namun
demikian, penggunaan gaya bahasa tidak sepekat dalam puisi. Gaya bahasa
dalam genre prosa (cerpen, novel, dan roman) cenderung menggunakan gaya
bahasa yang lazim dipakai masyarakat. Dapat disebutkan di sini jenis-jenis gaya
bahasa yang sering dipakai dalam karya sastra, yaitu: metafora, antitesis, ironi,
personifikasi, dan paradoks.
Fungsi gaya bahasa dalam cerita tidak saja menimbulkan efek estetis,
tetapi juga mengkonkretkan, mengintensitaskan, dan menampung gagasan yang
luas. Gaya bahasa juga dapat menggambarkan suasana yang akan diceritakan
penulis kepada pembaca. Suasana batin tokoh, tempat, dan suasana peristiwa
yang terjadi dalam cerita, acapkali lebih efektif dan kena jika diungkapkan
melalui gaya bahasa. Pengungkapan cerita secara langsung pada bagian-bagian
tertentu, sering menjemukan dan mendatar saja kesan yang ditangkap. Tetapi
dengan menggunakan gaya bahasa, pengungkapan bagian-bagian tersebut lebih
efektif dan ekspresif. Perhatikan beberapa contoh berikut ini, betapa penulis
cukup efektif dan ekspresif menggambarkan apa yang hendak diucapkan.

Bunga-bunga yang mekar seperti memberi warna pada senja. Udara


terasa segar. Daun-daun yang melambai, seperti menyerahkan hijaunya
pada musim. Waktu merambat berputar pada sumbu. Rasa terik yang
tadi diam-diam melangkah memasuki kelam yang menyeruak dari
segenap dataran hijau. Warna-warna berubah mengelam. Kesenyapan
mengedap dalam dada desa. Sepi tiba-tiba meriung seperti kawah
gunung. Sepi yang mengalir seakan denyutan nadi. Seperti menguraikan
kehidupan yang abadi.

59
Apotik Hijau karya Korrie Layun Rampan

Kepada pepohonan yang sedang menghijau di musim rendheng, kepada


alam yang menebarkan bau tanah terguyur hujan, Ratmi meluruhkan
semuanya. Tentang cinta, tentang kejujuran, kepastian hidup. Terlebih
kepada keberaniannya berpikir dan bersikap. Ada sesuatu yang telah
mendoktrin pikirannya, bahwa menikah tidak ditentukan oleh umur.
Bahwa menikah bukan berarti hidupnya berhenti.

Aku Ratmi bukan Kartini karya Cipriana

Mereka menyebutnya ibu kota. Tapi ia telah berubah menjadi seorang


pelacur tua yang operasi plastik berkali-kali, gemar berdandan penuh
polesan penuh utang, menggali lubang menutup dan menggali lagi, tak
usai. Tubuhnya membumbungkan uap panas menyajikan fatamorgana
di wujudnya yang tak cantik alami

Cala Ibi karya Nukila Amal

Ketika semua orang merasakan guncangan hebat pada hampir


seluruh tatanan serta nilai-nilai kehidupan. Ketika kegelisahan serta
ketidakpastian demikian mencekam. Dan ketika ikatan kebersamaan
hidup berada pada puncak taruhan yang amat menakutkan. Maka
adalah fitrah manusia untuk mendapatkan tempat yang teduh, tempat
jiwa dapat memperoleh kembah ketenangannya. Dan tak usah
dipertanyakan lagi mengapa pada saat seperti itu orang ingin segera
memperoleh kepastian bahwa lembaga tempat dia menyerahkan
kesetiaan dasarnya tidak rusak. Lembaga ini adalah ibu yang selalu
bersedia memberi ketenangan jiwa, dan itu bisa berupa rumpun-
rumpun bambu yang menjadi saksi kelahirannya, bisa berupa pancuran
air yang mengucur abadi atau bisa berupa haribaan seorang nenek yang
sudah apek.

Jantera Bianglala karya A. Tohari

Bagian yang tercetak tebal dalam kutipan menunjukkan gaya bahasa yang
dipakai pengarang. Kutipan di atas mengungkapkan betapa gaya bahasa sangat
diperlukan penulis untuk memberikan efek dan penekanan yang dalam.
Metafora, paralelisme, dan personifikasi, sengaja digunakan untuk itu. Unsur
pelukisan atau naratif terasa indah dibaca dan menimbulkan kedalaman makna
yang tidak mungkin tercapai jika diungkapkan secara tersurat (eksplisit;
langsung). Meskipun terdapat makna tambahan secara tersirat, gaya bahasa
yang dipakai dalam genre prosa di atas tidak terlalu sulit dipahami.

60
Perlambangan secara metaforis yang digunakan lazim dipakai dalam masyarakat.
Oleh karena itulah, gaya bahasa dalam prosa tidak sepekat dalam genre puisi.
Hal-hal itulah yang penting untuk dipahami dalam mengembangkan
kerangka penulisan. Seorang penulis pemula hendaklah belajar dari karya-karya
penulis yang sudah matang dalam menciptakan karya sastranya. Penataan
paragraf awal dan penggunaan gaya bahasa merupakan dua hal yang sangt
penting untuk dipahami dan digunakan untuk mengembangkan kerangka
penulisan menjadi cerita utuh. Meskipun masih banyak lagi unsur-unsur yang
perlu dipahami, tetapi sebagai permulaan, kedua hal di atas menjadi awalan yang
baik bagaimana mengembangkan cerita dari ide penulisan, obyek yang
diungkapkan, dan kerangka penulisan, yang sebelumnya sudah dibuat.

Bagian Empat
PENGEMBANGAN CERITA: Menulis Spontan
Pada bagian keempat ini akan diperkenalkan sebuah teknik menulis yang
dewasa ini banyak dipraktikkan oleh penulis pemula. Agar pemahamannya lebih
mudah, berikut ini akan dijelaskan secara populer dan cair. Tapi yang perlu
diingat bahwa teknik ini hanya cara untuk membantu memecahkan kebuntuhan
menulis yang sering dikeluhkan oleh para penulis pemula. Apabila teknik ini telah
berhasil memecahkan masalah tersebut, perlu dikembangkan teknik-teknik yang
lain. Tulisan ini disarikan dari berbagai sumber yang referensinya ada di bagian
bawah.
Engkau pasti pernah menulis, bukan? Beberapa tulisan bahkan. Di mana
sekarang semua itu? Kau buang begitu saja? Atau kau simpan di antara
tumpukan kertas-kertas? Pernahkah kau berikan temanmu untuk dibaca?
Dikritik? Atau kau baca sendiri karena malu kalau dibaca orang lain? Takut kalau
tulisanmu jelek? Ketika kau menulis, pernahkah merasakan pikiranmu blank?
Tak ada ide sama sekali, sedangkan keinginan menulismu begitu besar? Atau
sebaliknya, begitu banyak ide yang Kau pikirkan, tapi tak satu kalimat pun
muncul? Barangkali juga, baru satu atau dua kalimat, sudah macet? Tak ada
kalimat lagi yang muncul. Paling lancar, satu atau dua pargraf dapat Kau tulis,
setelah itu mandeg? Kau pun merasa bingung harus bagaimana. Bertanya ke
sana ke mari, tak bisa mengatasi masalahmu. Pelajaran yang diberikan guru
bahasamu di sekolah, juga tak mampu mengatasi persoalan itu. Sedang buku-
buku teknik menulis yang pernah Kau baca mengemukakan, menulis itu
gampang. Tapi, ternyata sulit. Semua teknik telah Kau lakukan. Semua trik telah
kau coba. Hasilnya, tetap saja, tidak memuaskan.
Lumrah kalau terjadi kebingungan seperti itu. Wajar kalau terjadi
permasalahan seperti itu. Semua itu kerap kali dialami oleh seseorang yang baru
belajar menulis. Tapi jangan kehilangan keyakinan, bahwa menulis itu memang
gampang. Benar kata guru bahasamu. Benar juga kata buku-buku yang pernah
Kau baca. Menulis itu semudah orang berbicara. Bukankah Kau tidak mengalami
kesulitan jika berbicara? Bahkan Kau bisa berbicara semalam suntuk bersama
teman-temanmu? Lantas, mengapa Kau sulit menulis? Bukankah berbicara dan
menulis itu sama. Sama-sama mengungkapkan apa yang Kau rasakan dan

61
pikirkan. Sama-sama menggunakan bahasa sebagai medianya. Sama-sama
berangkat dari ide untuk disampaikan. Bukankah perbedaannya hanya karena
berbicara menggunakan bahasa lisan, sedangkan menulis menggunakan bahasa
tulis? Kenapa mesti sulit? Kenapa berbicara begitu mudah? Marilah kita
coba mengurainya persoalan itu. Barangkali Kau mengatakan, berbicara begitu
mudah karena sudah terbiasa. Benar! Orang bisa karena biasa., begitu ungkapan
yang sering kita dengar. Berbicara dan menulis itu sebuah keterampilan
berbahasa. Karena suatu keterampilan, keduanya dibangun oleh kebiasaan kita.
Oleh karena itu, biasakan Kau menulis. Kau akan terampil menulis, semudah Kau
berbicara, jika kau memiliki kebiasaan. Segeralah menulis. Apa saja. Jangan takut
tulisanmu nantinya akan jelek atau bagus. Tak perlu malu diejek temanmu. Terus
saja menulis. Sekali waktu, berikan kepada gurumu atau temanmu untuk dibaca.
Mintalah saran. Jangan takut dikritik, karena kritik itu bersifat membangun. Apa
yang kita sangka bagus, barangkali sebaliknya jika dibaca orang lain. Bukankah
penilaian orang lain lebih obyektif dari pada kita nilai sendiri?
Di samping karena kebiasaan, pernahkah Kau berpikir jawaban yang lain,
kenapa berbicara itu lebih mudah dari pada menulis? Benar, berbicara lebih
bersifat spontan. Sedangkan kalau Kau menulis, disibukkan dengan berpikir dulu,
ditimbang-timbang dulu. Kalau demikian, kenapa Kau tidak menggunakan cara
spontan untuk menulis; seperti spontanitas dalam berbicara? Sebutlah teknik
menulismu itu dengan istilah Teknik Menulis Spontan. Semua cara bisa dilakukan
agar terampil menulis. Termasuk cara spontan dapat Kau lakukan. Sah-sah saja.
Apalagi teknik menulis spontan itu mempunyai dasar yang masuk akal juga.
Kenapa tidak!?
Sebenarnya, tidak hanya berbicara saja seseorang melakukannya secara
spontan. Semua tindakan kita sehari-hari, sesunggunya diawali oleh spontanitas.
Ketika melihat sesuatu yang aneh, indah, atau menarik, kita langsung saja
mendekat. Tak perlu berpikir dulu untuk memperhatikannya. Kita secara spontan
bertindak. Atau kalau Kau pernah ke Mal, lantas melihat sebuah baju yang bagus
dengan diskon 50%, serta merta Kau menghampirinya. Spontan Kau memegang
dan membolak-balik pakaian itu. Tak perlu berpikir dulu. Barangkali juga, ketika
ada cewek atau cowok yang cantik atau tampan, spontan kau menatapnya tak
berkedip, meskipun di sampingnya ada pacarnya. Itu pun juga spontanitas. Tak
perlu berpikir dulu untuk merasa tertarik dan menatapnya. Bahkan seorang yang
temperamental, bisa spontan meninju seseorang yang menabraknya. Juga tak
perlu berpikir dulu. Kenapa tindakan kita cenderung spontan?
Sebagaimana mesin yang bergerak berdasarkan sistem yang
mengaturnya, manusia pun memiliki sistem. Sebutlah hukum alam. Tuhan yang
menciptakan hukum itu. Dalam teori Psikologi, itu disebut hukum naluriah.
Manusia memiliki naluri bermacam-macam. Salah satunya adalah spontanitas.
Bagaimana naluri spontannitas itu muncul dalam diri manusia?
Otak manusia itu terdiri atas dua belahan, yaitu otak kanan dan kiri.
Kedua belahan tersebut memiliki sifat yang berbeda-beda. Otak kanan lebih
menyukai kebebasan, spontanitas, dan tanpa aturan. Sedangkan otak kiri
cenderung sistematis, runut, penuh pertimbangan. Keduanya telah deprogram,

62
bahwa secara naluriah, otak kanan lebih dahulu digunakan, baru kemudian otak
kiri. Itulah sebuah hukum alam yang mengatur tindakan manusia sehari-hari.
Oleh karena itu, wajar jika Kau akan secara spontan tertarik, mendekat,
bertindak, atau pun melakukan apa saja ketika melihat baju yang bagus dengan
diskon 50% di sebuah Mal atau ada cewek/cowok cantik/tampan lewat di
depanmu. Baru setelah itu, Kau berpikir; “Beli tidak, ya?” “Sayang sudah ada
yang punya.” Itulah hukum alam yang mengatur naluri manusia. Di dalam
menulis sering kali kita berpikir dulu; menimbang-nimbang dulu. Coba perhatikan
cerita teman-temanmu yang pernah mengikuti diklat menulis berikut ini.
1. Saya ingin menulis, tapi apa yang harus saya tulis?
2. Otak saya penuh ide, tapi saya sulit menuangkannya dalam tulisan.
3. Otak saya penuh ide, tapi baru satu paragraf, atau bahkan baru satu atau dua
kalimat, mandeg.
4. Saya telah membuka-buka buku, mencari sesuatu dalam buku itu. Tapi tak
menemukan yang saya cari. Lantas mandeg. Tak bisa menulis.
5. Aduh! Besuk harus mengumpulkan tugas mengarang, tapi saya belum
mengerjakan sama sekali. Gawat! Saya bingung harus menulis apa?
Mungkin apa yang dialami mereka, juga Kau alami. Kenapa? Karena
mereka dibebani oleh pikiran dan pertimbangan tertentu ketika akan menulis.
Dalam hukum naluri manusia di atas, mereka menggunakan otak kiri dahulu. Itu
menyalahi hukum alam yang telah mengatur manusia. Ingat! Manusia akan
menggunakan otak kanannya dahulu, baru kemudian otak kirinya. Spontan,
bebas, dan tanpa aturan dahulu, baru kemudian dipikirkan dan ditimbang-
timbang. Seseorang yang baru belajar menulis, sering berpikir dahulu sebelum
menggunakan kebebasan dan spontanitasnya untuk menulis. Akhirnya, keinginan
menulis tak mampu diwujudkan. Mandeg. Tak satu pun tulisan dibuatnya.
Barangkali baru satu atau dua paragraf, sudah macet. Bahkan baru satu atau dua
kalimat ditulis, sudah berhenti; meskipun sebelumnya banyak ide yang ingin
dituangkan dalam tulisan itu. Jika semua itu tidak mau terjadi dalam proses
menulis, kembalilah ke dalam hukum alam: spontan dahulu (otak kanan) baru
memikirkan dan mempertimbangkannya (otak kiri).
Sampai di sini Kau tentu bertanya, bagaimana caranya menulis spontan
itu? Langkah-langkah apa yang harus saya lakukan? Ada dua langkah yang mesti
Kau lakukan untuk menulis spontan. Pertama, mulailah menulis secara spontan.
Apapun yang muncul di pikiran, langsung ditulis saja. Bahkan ketika Anda
bingung harus menulis apa, tulis saja kebingungan itu. Apa susahnya menulis
seperti ini:

Entah kenapa hari ini pikiranku terasa bingung. Tak ada ide sama sekali.
Keinginan menulis tinggal keinginan. Macet. Blank. Biasanya pikiranku
penuh ide. Tetapi hari ini terasa kosong. tidak menghasilkan tulisan.
Sedangkan saya harus belajar menulis. Harus bisa menulis.

Apa susahnya menulis seperti itu. Kebingungan, tak ada ide, pikiran terasa
kosong, justru itulah bahan untuk tulisan. Biarkan spontanitas muncul. Tak perlu

63
dihantui pikiran apapun. Tulislah kalimat demi kalimat yang muncul secara
spontan. Biarkan seperti air yang mengalir. Tak perlu dibendung dengan
pertimbangan-pertimbangan, karena itu akan memacetkan spontanitas itu.
Hilangkan semua beban pikiran. Hilangkan semua ketakutan atau keraguan yang
ada. Tak perlu berpikir apakah tulisan yang dihasilkan itu salah atau benar, jelek
atau baik, berkualitas atau tidak. Pokoknya, kita menulis dan menulis;
menangkap spontanitas yang muncul.
Janganlah diedit atau direvisi sebelum tulisan itu selesai. Walau tulisan
itu kacau balau, kalimatnya ngelantur ke sana ke mari, banyak salah ketik, atau
terasa tulisan tersebut sangat jelek, membosankan, dan tak ada bagus-bagusnya,
bahkan bila banyak kalimat yang berisi kata-kata vulgar, membuka aib, dan
seterusnya, biarkan saja. Jangan diedit atau direvisi dulu. Lanjutkan saja proses
menulis hingga semua ide tertuang dalam bentuk tulisan. Begitu Anda mulai
mengedit, maka itu akan menjadi sumber kemandegan yang baru. Ada saatnya
nanti untuk mengedit, merevisi, dan mempertimbangkan secara rasional
dilakukan. Itulah tahap pertama menulis secara spontan. Otak kananlah yang
bekerja secara spontan, bebas, dan tanpa aturan. Apapun yang terjadi dalam
tulisan tersebut, tidak menjadi soal, toh nanti bisa dipikirkan, dipertimbangkan,
dan diperbaiki. Proses spontanitas akan berhenti jika dirasa tulisan sudah selesai.
Ide-ide yang muncul seketika sudah tertuang dalam tulisan. Atau mungkin
selesainya sebuah tulisan spontan didasarkan atas target jumlah halaman yang
harus dicapai; dua halaman atau lebih, tergantung penulisnya. Setelah tahap
spontanitas selesai, diamkan dahulu tulisan itu sekitar satu atau dua hari. Atau
kalau buru-buru, satu atau dua jam cukup. Lalu baca lagi tulisan tersebut. Kini,
mulailah memperbaiki, menambah, mengurangi, atau pun memasukan kutipan-
kutipan dari pendapat pakar. Tahap inilah otak kiri mulai digunakan. Pada tahap
inilah pertimbangan dan pemikiran untuk menjadikan tulisan itu lebih baik,
sistematis, dan teratur, dilakukan. Hal-hal berikut ini bisa dilakukan.
1. Buatlah tulisan tersebut menjadi lebih bagus. Kata-kata dan kalimat diganti
atau diperbaiki agar enak dibaca. Boleh jadi, perlu ditambah kalimat-kalimat
lainnya agar lebih jelas, padat, dan tidak meloncat-loncat. Kalau perlu,
ditambahkan kutipan-kutipan dari buku para ahli. Dalam tulisan ilmiah dan
non-fiksi, kutipan dari para ahli sangat perlu untuk memperkuat pendapat
penulis. Jadikan paragraf demi paragraf. Tulisan mesti terdiri atas beberapa
paragraf agar lebih mudah dibaca dan teratur. Akan lebih baik jika ketika
dalam tahap spontanitas, telah dilakukan menulis paragraf demi paragraf.
2. Bila ada salah ketik, saatnya diperbaiki. Kesalahan ejaan dan tanda baca yang
terjadi dan sengaja dibiarkan saja ketika tahap spontanitas, saat inilah
diperbaiki sesuai ejaan yang berlaku.
3. Bila topiknya melebar ke mana-mana, saatnya difokuskan ke tujuan semula.
Hapuslah kalimat-kalimat yang terlalu melebar dan tidak berkaitan dengan
ide atau focus tulisan (paragraf). Setiap paragraf selalu berbicara tentang
satu ide atau gagasan. Kalimat-kalimat yang tidak menjelaskan ide atau
gagasan paragraf, hapuslah atau ganti dengan kalimat yang sesuai.

64
4. Bila Kau merasa tulisannya kurang menarik, kini saatnya dibuat lebih
menarik. Tulisan yang menarik pada umumnya dibangun oleh kalimat-kalimat
yang pendek, jelas, dan enak dibaca. Kalau terpaksa harus panjang,
gunakanlah tanda koma atau titik koma. Bacalah sekali waktu buku pedoman
EYD untuk itu. Terserah bagaimana penulis melakukannya agar tulisan itu
menjadi menarik. Tulisan yang menarik sesungguhnya adalah perwujudan
dari style (gaya) penulisnya. Setiap penulis memiliki style berbedabeda.
Teknik menulis spontan di atas hanyalah sebuah metode untuk
membantu menyelesaikan persoalan-persoalan yang sering terjadi pada
seseorang yang baru belajar menulis. Keterampilan menulis sesungguhnya
adalah sebuah kebiasaan. Tetapi kebiasaan tersebut harus diawali dengan
melancarkan spontanitas. Pada dasarnya, menulis dan berbicara adalah
keterampilan berbahasa yang dibangun atas spontanitas. Namun demikian,
spontanitas akan terjadi jika di dalam otak tersedia berbagai informasi. Untuk itu,
membaca sangat dibutuhkan bagi seorang penulis agar spontanitas yang terjadi
berdasarkan pencairan atas apa yang dibaca itu. Tulisan yang kaya dan padat
didasarkan atas kekayaan dan kepadatan informasi dan penalaran manusia.
Teknik menulis spontan juga merupakan cara untuk memperlancar aliran
penalaran seseorang ke dalam bentuk tulisan. Spontanitas mesti dibiasakan
layaknya sumber air yang tak terbendung. Seringnya seseorang melancarkan
spontanitas itu, akan memunculkan kalimat demi kalimat secara mudah, deras,
dan cepat untuk ditulis. Bahkan, bagi seorang penulis yang sudah terbiasa, terjadi
berkelibatan ide-ide dan kalimat-kalimat yang muncul. Tak jarang dia kuwalahan
untuk menampungnya dalam tulisan. Kalau itu terjadi, menulis itu pekerjaan
yang mudah, cepat, dan produktif.
Coba teknik ini Kau gunakan untuk mengembangkan kerangka penulisan
yang telah kaususun sebelumnya.

Disarikan dari beberapa sumber:


1. Founder & Mentor (Sekolah-Menulis Online).2009. Cara Modern Menjadi Penulis Hebat,
www.SekolahMenulis Online.com.
2. ________________ 2009. Menerbitkan Buku Itu Gampang! Panduan Langkahlangkah
Penulisan & Penerbitan Buku untuk Pemula, www.MenerbitkanBukuItuGampang.com.
3. Peter Elbow.2007. Writing Without Teacher. Jakarta: Publishing.

_____________

65
BAGAIMANA NASKAH DRAMA ITU TERCIPTA?

D rama ditulis untuk tujuan dipentaskan di atas panggung dalam


pertunjukan teater. Oleh karena itu, drama berbentuk dialog, yang
natinya disampaikan aktor di atas panggung. Tetapi bukan berarti drama hanya
semata-mata untuk sebuah pementasan. Drama juga memiliki tujuan untuk
dibaca, sebagaimana puisi, cerpen, novel, dan roman.
Hakikat drama adalah konflik. Konflik tentang seorang tokoh yang
mengalami problematika hidup. Perjalanan hidup seorang manusia yang
mengalami himpitan dan tekanan sehinggan manuntutnya untuk menyelesaikan
problema tersebut. Himpitan dan tekanan itulah menimbulkan konflik, baik fisik
maupun psikologis, yang dialami tokoh. Pada tataran inilah drama dan cerpen
memiliki kesamaan.
Sebagaimana cerpen, drama ditulis berdasarkan ide penulisan.
Sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu, ide penulisan berbentuk sebuah
premis; kalimat pernyataan yang mengandung problema. Problema tersebut
berupa intrik kehidupan yang dijalani tokoh. Pada akhirnya, problema itu
menimbulkan konflik.
Premis merupakan pemikiran, gagasan, atau ide yang melandasi seorang
penulis menyusun drama. Premis bisa disebut dengan gagasan dasar drama yang
akan menuntun arah aktor dari awal sampai akhir. Beberapa ahli mengatakan
bahwa premis disebut sebagai: tema, ide dasar, tesis, tujuan, ide pokok, subjek,
dll. Meskipun begitu, semua istilah tersebut pada dasarnya sama, yaitu ide dasar
yang menjadi landasan dalam menyusun naskah drama.
Premis itulah yang pertama kali harus dipahami penulis drama jika ingin.
Pertanyaan yang mesti diajukan adalah, “Ide atau gagasan apakah yang ingin
dikemukakan penulis melalui naskah tersebut?” Jawaban terhadap pertanyaan
tersebut akan juga memberikan landasan pemikiran bagi pekerja teater nantinya
dalam menyuguhkan naskah tersebut di atas panggung.
Cerita dalam naskah lakon hanyalah sebuah bahasa simbol yang
maknanya mengarah pada premis tersebut. Bahasa panggung juga sebuah
simbol yang bermakna pada premis tersebut. Oleh karena itu, bahasa panggung
yang berupa dialog, seting, idiom, akting, artistik, dan sebagainya, yang
dihadirkan di atas panggung akan difokuskan pada pengungkapan premis
tersebut.

66
Oleh karena itu, awalilah penulisan drama dengan membuat sebuah
premis. Bagaimanakah premis yang layak untuk sebuah penulisan naskah drama
itu? Ada tigal yang harus diperhatikan untuk membuat premis, sebagaimana
berikut ini.
1. Mengandung konflik
2. Menarik dan penuh intrik kehidupan
3. Bermanfaat untuk pencerahan bagi pembaca/penonton
Konflik merupakan ketegangan yang disebabkan oleh problema hidup
yang menghimpit dan mengungkung tokoh utama. Ketegangan demi ketegangan
yang dialami tokoh itulah yang kemudian menimbulkan kekuatan dramatik saat
drama dipentaskan di atas panggung. Konflik semacam itu dapat diwujudkan
apabila terdapat intrik kehidupan yang kompleks dan rumit yang melanda tokoh
utama.
Dari manakah penulis memperoleh premis semacam itu? Terdapat
beberap cara yang bisa dilakukan untuk itu.
1. Membaca
2. Mendengar
3. Melihat
4. Memikirkan
Sebagaimana yang sering diucapkan dalam buku ini, bahwa menulis dan
membaca merupakan pasangan yang tak bisa dilepaskan. Menulis akan
memperoleh kekayaan isinya apabila penulis memiliki minat baca yang tinggi.
Hasil proses membaca itulah yang kemudian menjadi bahan pembuatan premis.
Berbagai sumber bacaan tersedia dan bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh
penulis. Buku, majalah, koran, dan internet, merupakan sumber bacaan yang tak
pernah akan habis-habisnya untuk digali.
Seorang penulis juga mesti suka suka mengamati lingkungan sekitarnya.
Masyarakat juga merupakan sumber penulisan yang kaya dan tak akan pernah
habis untuk digali sebagai bahan pembuatan premis. Penulis mesti mendengar
dan melihat apa yang terjadi di tengah arus kehidupan masyarakat. Penulis juga
mesti mendengar dan melihat bagaimana polah tingkah manusia dalam
menjalani hidup sehari-hari.
Dan semua itu mesti dipikirkan, direnungkan, dihayati, disikapi, dan
diimajinasikan penulis. Ada sebuah makna dibalik semua hal yang telah dibaca,
didengar, dan dilihat penulis. Makna itulah yang mengarahkan penulis kepada
sebuah premis. Dengan keyakinan dan pemikiran terhadap suatu makna hidup,
premis yang menjadi ide penulisan akan memberikan pencerahan dan
pendidikan yang bermanfaat bagi pembaca/penonton. Inilah sebuah proses awal
penulisan karya yang membutuhkan keseriusan, keyakinan, dan sikap tentang
suatu kebenaran.
Apakah langkah selanjutnya setelah ide penulisan dibuat? Susunlah
sebuah treatment. Treatment adalah sebuah kerangka penulisan yang nantinya
akan dikembangkan menjadi sebuah naskah drama. Treatment untuk penulisan
naskah drama berbeda dengan cerpen, novel, atau roman. Berikut ini salah satu

67
contoh treatmen yang disusun secara terbalik dari naskah drama yang telah jadi
karya Arifin C. Noer berjudul Kapai-Kapai.

1. PREMIS :
kemiskinan terjadi lantaran kebodohan, kemalasan, jauh dari pedoman
hidup, dan penindasan

2. TOKOH :
a. Abu
1) Status : buruh pabrik, 28 th., miskin, kelas sosial bawah
2) Karakter : malas, bodoh, jauh dari agama, pemimpi,
tertindas
b. Iyem
1) Status : miskin, kelas sosial bawah, bodoh
2) Karakter : bodoh, jauh dari agama, keras, penuntut
c. Emak
1) Status : pendongeng, tokoh tak realis (surealis)
2) Karakter : perayu, pintar, berkuasa
d. Kelam
1) Status : tokoh tak-realis (surealis)
2) Karakter : kejam, keras

e. Kakek
1) Status : orang tuan, 60 th., tokoh agama
2) Karakter : bijaksana, penuh perhatian

3. ADEGAN
a. Abu sedang mendengarkan dongeng emak tentang pangeran
rupawan
b. Hinaan majikan terhadap abu
c. Abu bermimpi menjadi pangeran
d. Iyem marah-marah melihat abu hanya tidur; bermalas-malasan
e. Dongeng emak tentang cermin tipu daya yang dijual nabi sulaeman
di ujung dunia
f. Dan seterusnya. Baca “kapai-kapai” karya Arifin C. Noer

Treatment di atas akan menjadi pedoman bagi penulis pada langkah


berikutnya, yaitu mengembangkan treatment menjadi naskah drama. Sebelum
dikemukakan tentang apa yang harus dilakukan untuk mengembangkannya,
berikut ini akan dijelaskan tentang unsur pembangun karya sastra yang bergenre
drama.

68
Drama memiliki unsur pembangun atau disebut struktur, yang berbeda
dengan cerpen, novel, atau roman. Ada dua macam struktur dalam drama, yaitu
struktur tertutup dan struktur terbuka. Struktur tertutup (closed drama) dimana
laku plot dari awal sampai akhir menggambarkan resolusi dan kesimpulan dari
persoalan yang diungkapkan. (biasanya untuk lakon konvensional). Dalam
struktur tertutup ini, alur berjalan berdasarkan hubungan sebab-akibat yang jelas
dan realistis.
Sedangkan struktur terbuka (open drama) tidak mengharuskan adanya
kaitan waktu, kejadian, dan peristiwa. Juga tidak mewajibkan laku lakon
mengikuti alur atau plot dari awal sampai akhir yang menghasilkan kesimpulan
(konklusi). Biasanya struktur demikian digunakan dalam drama berjenis
kontemporer, seperti lakon absurd.
Berikut ini dikemukakan unsur-unsur yang ada dalam drama,
sebagaimana dikemukakan Eko Santoso dkk. dalam bukunya Seni Teater Jilid 1
untuk SMK (2008), diterbitkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah,
Departemen Pendidikan Nasional. Tetapi dalam konteks penulisan drama, hanya
tiga unsur yang dibicarakan, yaitu: penokohan, bahasa, dan gaya atau tipe
naskah drama. Tiga hal itulah unsur utama yang perlu mendapatkan perhatian
utama dalam menulis naskah drama.

Penokohan
Menurut perannya tokoh dapat dibedakan menjadi:
a. Protagonis: tokoh utama yang menggerakkan plot dari awal sampai akhir dan
memiliki kehendak tetapi dihalangi oleh tokoh lain.
b. Antagonis: tokoh yang menentang atau melawan tokoh protagonis.
c. Deutragonis: tokoh lain yang berada di pihak protagonis.
d. Foil: tokoh lain yang berada di pihak antagonis.
e. Tritagonis (confidante): tokoh yang dipercaya (berada di pihak) protagonis dan
antagonis.
f. Utility: tokoh pembantu atau sebagai tokoh pelengkap untuk mendukung
rangkaian cerita dan kesinambungan dramatik.
Sedangkan menurut Kategori Cassady, penokohan dalam naskah dapat
dilihat berdasarkan ciri-cirinya, yaitu:
a. karakter fisik: mengungkap ciri-ciri fisik karakter;
b. latar belakang: mengungkap segala sisi dari sang karakter, latar keluarga,
pendidikan, budaya, kegemaran, latar pekerjaan, dan lain sebagainya;
c. sikap dan pendirian: menekankan cara pandang dan berpikir tokoh dalam
menghadapi persoalan hidup, menyikapi masalah, dan sikapnya terhadap
hubungan dengan karakter lain;
d. tingkah laku: memberikan gambaran perilaku karakter dalam kehidupan
e. ciri dominan: memberikan citra khusus bagi sang karakter misalnya, ia adalah
seorang tokoh moralis, propagandis atau individualis.
Berdasarkan Jenis dan Sifat Karakternya, tokoh dalam naskah dapat
digolongkan ke dalam empat jenis sebagai berikut.

69
a. Flat Character: tokoh yang dibekali karakterisasi oleh pengarang secara datar
atau lebih bersifat hitam putih.
b. Round Character: tokoh yang diberi pengarang secara sempurna,
karakteristiknya kaya dengan pesan-pesan dramatik.
c. Caricatural Character: karakter yang tidak wajar, satiris, dan cenderung
menyindir.
d. Theatrical Character: karakter yang tidak wajar, unik, lebih bersifat simbolis.

Bahasa
Tidak kalah pentingnya di dalam sebuah naskah drama adalah bahasa.
Bahasa dalam naskah adalah media sastra. Untuk dapat benar-benar mengerti
naskah drama, aktor harus mempelajari kata-kata, kalimat, dan dialog yang ada
di dalamnya. Sebagai seorang aktor, analisa naskah yang dilakukannya tidak
seperti cara seorang sastrawan yang menafsirkannya untuk kepentingan sastra,
tetapi seorang aktor berusaha memecahkan masalah bagaimana
menghidupkannya kembali di atas panggung atau di depan kamera.
Penulis drama selalu memulai tulisannya dengan visi. Setiap karakter di
naskah tersebut hidup dalam diri si penulis sebagai bagian dari seluruh
mekanisme yang memberi ekspresi pada visi tersebut. Visi yang memberi fondasi
pada kata-kata adalah sesuatu yang dapat dimengerti jika kita meraihnya ke
dalam melalui kata-kata. Visi lebih mendasar daripada kata-kata. Visi adalah
kekuatan yang menyokong kata-kata. Visi adalah embrio komunikasi.
Oleh karena visinya, seorang penulis naskah mempunyai arah untuk
memilih dan mengkombinasikan sedemikian rupa, untuk menciptakan karakter-
karakter dalam situasi-situasi mereka, dan memberikan struktur menurut gaya
tertentu. Para aktor dapat meraih ke visi tersebut dengan menganalisa detail-
detail ini, dengan cara memutarbalikkan proses rekonstruksi naskah tersebut.
Pendekatan ini lebih berarti daripada menganalisanya secara naluri dan
memberikan respon secara garis besarnya saja. Dalam produksi, sutradara akan
memberikan bimbingan untuk melihat visi naskah melalui konsep produksinya.
Begitu pula dengan si aktor, mengembangkan visi yang sejalan dengan konsep
sutradara.
Unsur penting dalam naskah drama, yaitu:
a. karakter dibangun dengan bahasa mereka;
b. peran bahasa dalam membangun adegan dan suasana peristiwa.
Kedua hal di atas sangat diperhatikan oleh penulis naskah. Oleh karena itu,
pemahaman bahasa naskah mutlak diperlukan untuk memahami naskah.

Tipe / Gaya Naskah


Tipe atau gaya lakon atau naskah akan menentukan seorang sutradara
dalam membawakan naskah tersebut ke atas panggung. Meskipun sering kali
karena kreativitas, tipe atau gaya lakon dalam naskah disesuaikan dengan konsep
sutradara. Tetapi dalam konteks pemahaman naskah, perlu juga dipahami tipe
atau gaya naskah yang akan digarap sehingga memperoleh perbandingan dengan
konsep sutradara.

70
Tipe atau gaya lakon atau naskah dapat disebut juga dengan genre.
Masing-masing genre akan membawa variasi atau sub-genre. Paling tidak dapat
dikemukakan dua tipe, yaitu:
a. genre: Realism: sub genrenya: naturalis, selective realism, suggestive realism
b. genre: Simbolis
Unsur penokohan, bahasa, dan tipe atau gaya naskah drama, perlu
mendapatkan prioritas penting dalam mengembangkan treatmen. Unsur
penokohan memiliki peranan penting dalam naskah drama karena unsur itulah
yang akan diwujudkan seorang aktor di atas panggung. Tanpa tokoh dan
penokohan tidak akan terjadi pertunjukan teater. Pertunjukan teater
sesungguhnya mengungkapkan karakter manusia yang saling berbenturan.
Karena itulah dalam treatment penokohan mesti dibangun oleh penulis
sebelumnya.
Penokohan meliputi ciri fisik, sosial, dan psikologis. Dengan katakan lain,
penulis harus memahami persoalan tokoh dan penokohan yang akan ditulis
dalam dramanya dengan mencari jawaban atas pertanyaan: siapakah tokoh yang
ada di dalam naskah drama tersebut? bagaimanakah karakter yang dimiliki?
Dapat dirangkum ke dalam dua penekanan pada status dan karakter. Perhatikan
contoh treatment di atas.
Fungsinya dalam penulisan adalah, status dan karakter akan tercermin
dalam dialog yang diucapkan. Naskah drama ditulis dalam bentuk dialog. Dialog
inilah mesti dibuat dengan memperhatikan siapa yang berdialog. Status dan
karakter seorang tokoh akan mempengaruhi kualitas dialog yang diucapkan.
Perhatikan kutipan naskah dialog yang menggambarkan hal tersebut.

1. Majikan : Abu!
Abu : Hamba, Tuan
Majikan : Bangsat kamu! Kerja sudah hampir tiga tahun masih
saja kamu melakukan kesalahan yang sama. Lebih
bodoh kamu daripada kerbau! (Keluari)

2. Majikan : Abu!
Abu : (Diam)
Majikan : Anjing!
Abu : Ya, Tuan.
Majikan : Anjing!
Abu : Ya, Tuan.
Majikan : Anjing!
Abu : Ya, Tuan.
Majikan : Anjing!
Abu : Ya, Tuan.
Abu merangkak
Majikan : Ini pesangonmu! Keluar! Hancur perusahaan!

71
Kedua kutipan di atas mengungkapkan dua status dan karakter yang
berbeda dari dua tokoh yang diceritakan. Tokoh majikan jelas memiliki status
sosial lebih tinggi dari tokoh Abu. Perbedaan status tersebut menjadikan tokoh
majikan lebih berkuasa dari Abu yang berstatus sosial di bawahnya. Karakternya
pun cukup jelas. Tokoh majikan berkarakter keras, sewenang-wenang, berkuasa,
dan kasar. Sedang Abu berkarakter terhina dan bodoh. Kutipan di atas cukup
berhasil menggambarkan tokoh dan penokohannya.
Sebagaimana dikemukakan dalam pembahasan di atas, penokohan
diwujudkan ke dalam bahasa (dialog). Penulis akan mempertimbangkan kata,
frase, dan kalimat percakapan yang bagaimana yang mampu mewujudkan status
dan karakter tokoh yang diceritakan. Seorang yang bodoh atau tidak
berpendidikan jelas memiliki ciri khas bahasa yang berbeda dengan seorang
terpelajar. Begitu juga seorang yang memiliki karakter keras berbeda dengan
tokoh yang berkarakter lembut. Seorang yang sedang marah, bertanya,
memberitahu, menyangkal, membantah, jelas memiliki susunan bahasa yang
berbeda-beda. Hal-hal itulah yang menjadi perhatian bagi penulis.
Di samping itu, pengembangan treatment juga mesti memperhatikan tipe
atau gaya naskah yang akan ditulis. Tipe drama yang manakah yang akan dibuat
seorang penulis. Naskah drama bergaya realis cenderung mengungkapkan cerita
dan dialog lebih dekat dengan kenyataan. Berbeda dengan naskah drama yang
bertipe atau bergaya puitis. Gaya puitis cenderung mengungkapkan dialog-dialog
yang tidak mungkin diketemukan dalam realitas. Dialog-dialognya cenderung
berbentuk puisi dan pembawaannya di atas panggung juga cenderung seperti
deklamasi. Naskah drama bertipe simbolis misalkan, cenderung menggunakan
perlambang-perlambang yang maknanya secara tersirat. Begitu juga penulisan
naskah drama musikal, cenderung dialog-dialognya berupa lagu-lagu yang
hendak dinyanyikan di atas panggung. Oleh karena itu, penulis mesti memiliki
tujuan sehubungan dengan gaya atau tipe naskah drama. Apakah penulis ingin
menulis drama realis, simbolis, musikal, teaterikalisasi puisi, atau gaya yang lain.
Berikut ini beberapa contoh kutipan drama dengan beberapa gaya atau tipe yang
berbeda-beda.

Kutipan 1

TIDAK SEPERTI HARI BIASA, KUBURAN DESA ‘GIRILOYO’ YANG TERLETAK DI


PERBUKITAN DESA GIRI GARING MENJADI RAMAI OLEH WARGA DESA YANG
MENANGKAP TANGAN PENCURI MAYAT. WARGA MENCOBA MENGHAKIMI DAN
MENGHUKUM PENCURI MAYAT DENGAN ANEKA MACAM PERTANYAAN YANG
SESEKALI DISERTAI PUKULAN, HANTAMAN KE ARAH MUKA DAN TUBUHNYA.
WARGA 1 : Oh iblis, setan alas, demit gentayangan. Dasar manusia tak
punya martabat, tega-teganya mengganggu mayat. Orang
sudah mati kok ya di ganggu.
WARGA 2 : Ngaku saja mas, kamu mau mencuri mayat ini tho?
WARGA 3 : Tidak mau ngaku ?, (SAMBIL MEMUKUL KEPALA PENCURI
MAYAT) nih… rasakan bogem mentahku.
WARGA 2 : Pasti kamu cari pesugihan.

72
WARGA 1 : Kasihan kan keluarganya, kalau jenazah yang sudah coba
diistirahatkan, kamu permainkan seperti itu..!
WARGA 4 : (MENGAYUNKAN SEPOTONG BAMBU KE TUBUH PENCURI) Oh,
kanibal ! Pemakan Bangkai !
PERONDA 1 : Kamu bukan warga sini ya ? Kamu pendatang ya ? kamu mau
mengganggu ketenangan warga sini ya ?
PENCURI MAYAT : (HANYA DIAM)
WARGA 5 : Sedari kalau tadi ditanya baik-baik tidak mau menjawab,
hanya diam, gelang-geleng kepala. Kurang ajar ! kamu
nantang warga sini ya ? (SEMAKIN MARAH DAN LANGSUNG
MEMUKULI PENCURI MAYAT. KEMUDIAN DIIKUTI WARGA
LAIN YANG KEMUDIAN BERKEROYOKAN IKUT
MENGHAJARNYA).
PERONDA 1 : Ayo, ngaku saja ! daripada badanmu aku remuk seperti peyek
kepinyak !
PENCURI MAYAT : (HANYA DIAM, BIAR BAGAIMANAPUN TETAP PADA POSISI
SALAH, DAN TAK MUNGKIN MELAWAN WARGA DESA YANG
BANYAK JUMLAHNYA).
WARGA 5 : Huh ! Gregetan aku. Ditanya baik-baik nggak mau ngaku,
dipukuli juga nggak mau buka mulut. Ayo kita kubur saja
hidup-hidup biar tahu rasa !
PARA WARGA : (BERSAHUTAN) Ayo. Kita kubur biar merasakan jadi orang
mati. Aku siapkan galian. Dikubur saja bersama kuburannya
Lik Rukmini yang mau dicuri. Ayo, ayo !.Biar tahu rasa.

ANJING ANJING MENYERBU KUBURAN


Karya : Puthut Buchori
Adaptasi cerpen karya : Kuntowijoyo

Kutipan 2

01. BAPAK : Hidup bagai puisi


peristiwa demi peristiwa
adalah kata-kata
keindahan dan kesedihan didalamnya
adalah makna
sedang tangis dan tawa
bagai musik yang mengiringinya

02. PEKERJA : Hidup seperti mimpi


apa yang terjadi
esok dan hari ini
adalah sebuah misteri
apa yang terwujud
dalam harapan dan keinginan
sulit kita pahami

03. BAPAK : Memahami keterbatasan

73
menyadari ketidakmampuan
adalah pintu gerbang
memasuki mata batin
untuk merasakan indahnya
mengenal karunia Illahi
yang memancar menerangi hati

Beberapa saat setelah istirahat dirasa cukup menyegarkan badan dan pikiran,
mereka melanjutkan kerjanya. Sesaat berikutnya, beberapa PEKERJA datang dan ikut
bergabung dalam kerja. Selang beberapa saat kemudian terjadi dialog lagi. Musik,
bloking menyesuaikan.

04. PEKERJA : Sisa hidup di usia kita


tidak boleh sia-sia
tiap detik bisa berguna
dan ketidakmampuan bisa kita bina
untuk bekal menghadap-Nya

05. BAPAK : Usia tua


tidak boleh membunuh kita dalam berkarya
tidak membelenggu kita dalam ruang dan waktu
tidak memaksa kita menunggu dalam bisu
hingga musnah segala nilai diri
dari segala fungsi hidup ini

06. PEKERJA : Kematian


adalah akhir dari batas ketidakmampuan
batas akhir dari segala ilmu
yang terbingkai oleh ruang dan waktu
bukan dari keputusasaan kaum fakir
yang hadir dari kecelakaan pikir

07. BAPAK : Bila kecelakaan pikir terjadi


yang membawa kita kehilangan nilai diri
hingga hidup tak bermanfaat lagi
adalah sebuah kematian
yang sangat memalukan

Eutanasia karya R. W. Adyaksa

Kutipan 3

Creon : Oedipus, kau menuduhku berkhianat dan bersekongkol dengan


Theresias untuk memberikan ramalan palsu. Dan kau menuduhku tanpa
membiarkan aku berbicara.
Oedipus : Apa? Mendengarkan bahwa kau bukan penjahat?
Creon : Aku memang bukan penjahat.
Oedipus : Aku punya bukti-buktinya.

74
Creon : Jelaskan kepadaku.
Oedipus : Kau yang mendesakku untuk memanggil peramal itu. Saat dia di sini dia
menuduhku membunuh Laius, tuduhan yang telah kalian sepakati
bersama.
Creon : Kalau itu yang dia katakana, aku hanya mendengar darimu. Lagipula
untuk apa aku berbuat demikian. Itu tidak benar, dan gila bila aku tidak
setia. Pikirkanlah. Mana yang harus dipilih: memerintah dalam
ketakutan ataukah menikmati tidur nyenyak sambil tetap memiliki
kekuasaan dan hak-hak istimewa seorang penguasa? Aku akan selalu
memilih yang kedua. Mengapa harus aku sia-siakan hidup semacam itu
demi sesuatu yang lebih tinggi namun menjadi jahat dalam meraihnya?
Kalau tidak percaya tanyalah pada Orakel. Kalau kau mendengar aku
berkomplot melawanmu, bunuhlah aku. Tidak adil kau menuduh tanpa
bukti yang teruji. Kesedihan akan menimpa orang yang mendorong ke
samping sahabat-sahabatnya yang setia.
Oedipus : aku tidak percaya ucapanmu. Hatimu busuk sampai ke jantungmu.
Creon : Kau menuduhku dengan tidak benar dan kau tak akan bisa membunuhku
sampai kau membuktikan kebenaran tuduhanmu.
Oedipus : Kau berani mendikte apa yang harus kulakukan? Kau yang melakukan
pengkhianatan maka kau harus patuh.
Jocasta : Wahai! Mengapa kalian bertengkar saat bencana menimpa negeri ini?
Tenangkanlah amarah kalian berdua. Pergilah Creon sebelum amarahmu
semakin meluap.
Creon : Saudariku, Suamimu menghendaki kematianku!
Oedipus : Sebab ia tertangkap basah berkomplot menjatuhkan aku dari
singgasana.

Oedipus Dan Jocasta


Adaptasi Dari Raja Oedipus Karya: Sopokles
Terjemahan Menelaos & Yannis Stephanides
Adaptasi Cerita Oleh: Silvia A Purba

Kutipan 4

Kakek : Sekarang jkau nyanyi.


Nenek menggeleng sambil tersenyum manja.
Kakek : Seperti dulu.
Nenek menggeleng sambil tersenyum manja.
Kakek : Nyanyi seperti dulu.
Nenek : Malu
Kakek : Sejak dulu kau selalu begitu.
Nenek : Habis kaupun selalu mengejek setiap kali saya menyanyi.
Kakek : Sekarang tidak, sejak sekarang saya tidak akan pernah mengejek kau
lagi.
Nenek : Saya tidak mau menyanyi.
Kakek : Kapanpun?
Nenek : Kapanpun.
Kakek : Juga untuk saya.
Nenek : Juga untuk kau.

75
Kakek : Sama sekali?
Nenek : Sama sekali.
Kakek : Kau kejam. Saya sangat sedih. Saya mati tanpa lebih dulu mendengar
kau menyanyi.
Nenek : Sayang, kenapa kau berfikir kesana? Itu sangat tidak baik, lagi tidak
ada gunanya. Sayang , berhenti kau berfikir tentang hal itu.
Kakek : Mati saya tidak bahagia karena kau tidak maumenyanyi. Ini memang
salah saya. Tetapi kalau ejak dulu kau cukup mengerti bahwa saya
memang sangat memainkan kau, tentu kau bisa memaafkan segala
macam ejekan-ejekan saya. Tuhan, saya kira saya akan
menghembuskan nafas saya yang terakhir tatkala kau sedang
menyanyikan sebuah lagu ditelinga saya.
Nenek : Sayang saya mohon berhentilah kau berfikir mengenai hal itu. Demi
segala-galanya berhentilah. Tersenyumlah lagi seperti biasanya.
Kakek : Saya akan tersenyum kalau kau mau mengucapkan janji.
Nenek : Tentu, tentu.
Kakek : Kau mau menyanyi.
Nenek : Tentu, sayang, tentu.
Kakek : Kapan?
Nenek : Suatu ketika.
Kakek : Sebelum saya mati?
Nenek : Ya, sayang, ya, sayang.
Kakek : Sekarang.
Nenek : Tidak mungkin, sayang, kau tahu saya sedikit flu karena pesta
beberapa hari yang lalu?
Kakek : (Tertawa) U, saya baru ingat sekarang.
Nenek : Selalu kau begitu. Selalu kau tak pernah ambil pusing setiap kali saya
sakit.
Kakek : Kau melebih-lebihkan.
Nenek : Tapi acap kali kau begitu. Kalau saya batuk baru setelah satu minggu
kau tahu.
Kakek : Ya, saya akui saya acap kali terlalu asyik dengan diri sendiri. Saya akui.
Saya minta dimaafkan supaya sorga saya tidak tertutup, supaya kubur
saya…….
Nenek : Sayang, saya tidak mau memberi maaf kalau kau tidak mau juga
berhenti menyebut-nyebut soal kematian.
Kakek : Maaf, tidak lagi.
Nenek : Sekarang saya akan memaafkan kau dengan satu syarat.
Kakek : Apa?
Nenek : Kau harus menyanyi.
Kakek menggelengkan kepalanya.
Nenek : Kalu begitu, kau tak saya maafkan.
Kakek : Dan sorga saya…?
Nenek : Mungkin, tertutup.
Kakek : Baik, saya akan menyanyi. Tapi separo. Kalau terlalu lama nanti saya
batuk.
Nenek : Tidak. Satu lagu.
Kakek : Nanti batuk.

76
Nenek : Setiap kali kau bilang begitu, padahal kau memang pintar menyanyi.
Dan kau selalu menghabiskan sebuah lagu dengan sempurna tanpa
batuk.
Kakek : Satu lagu?
Nenek : Ayolah, sayang. Penonton sudah tidak sabar lagi menunggu sang
penyanyi.
Kemudian kakek menyanyi du tiga baris dari no other love stand – chen Schubert atau
lainnya dan selebihnya play back. Begitu lagu berakhir nenek bertepuk tangan dengan
semangat.
Nenek : Suara kau tidak pernah berubah.
Kakek : Mna album kesatu? Saya ingin melihat gambar saya ketika saya
menyanyi di depan umum dimana kau juga ikut mendengarkan. Kau
ingat kapan itu.
Nenek : Ketika itu kau baru saja lulus propaedus. Kau sombong betul ketika itu.
Kakek : Kau juga. Sepicingpun kau tak pernah membalas pandang saya.
Nenek : Habis pandangan kau nakal.
Kakek : Habis kau juga suka mencuri pandang.
Nenek : Kau sudah terlalu pintar berciuman ketika pertama kali kau mencium
saya.
Kakek : Saya memang pintar berkhayal. Setiap kali saya menonton saya selalu
mengkhayalkan adegan ciuman secara amat terperinci.

Pada Suatu Hari karya Arifin C. Noer

Keempat kutipan drama dari penulis yang berbeda di atas, memiliki


perbedaan gaya masing-masing. Perbedaan tersebut terlihat pada ragam bahasa
yang digunakan. Terdapat drama yang cendrung realis dengan warna kejawa-
jawaan, drama puitik, dan drama yang sarat dengan romantik. Pembaca dapat
menemukan ragam tersebut jika mencermati kutipan-kutipan di atas. Penulisnya
sadar betul tipe atau gaya yang bagaimana drama yang ditulisnya itu. Masih
banyak diketemukan gaya dan tipe yang berbeda-beda dari drama yang ada
dalam khazanah kesusasteraan Indonesia. Namun demikian, dari keanekaragam
tipe atau gaya tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar,
yaitu tipe atau gaya realis dan non-realis.

_______________

77
BAGAIMANA ESAI ITU TERCIPTA?
Esai tentang Esai

Di kalangan sebagian ahli, esai dimasukkan sebagai salah satu genre


sastra. Artinya, esai telah memenuhi syarat untuk disebut sastra. Dari sisi bahasa
dan cara pengungkapan, pendapat sebagian ahli tersebut ada benarnya. Tapi dari
sisi apa yang diungkapkan dan tujuannya, terdapat perbedaan yang mencolok
dibanding genre sastra lain, seperti puisi, cerpen, novel, roman, dan drama.
Namun demikian, apapun pendapat orang, semua akan setuju jika dikatakan
bahwa esai lebih dekat dengan ragam sastra dari pada ragam yang lain. Bahkan
sangat jauh jarak yang membedakan antara ragam yang digunakan dalam esai
dengan tulisan ilmiah.
Ibarat sebuah renungan, esai ditulis untuk mengungkapkan apa yang
direnungkan itu. Di sana terdapat bentuk-bentuk proses kesadaran penulisnya,
seperti: perasaan, pemikiran, penghayatan, pembayangan, pengayalan, dan
pengargumentasian. Di sana juga terdapat emosi, nafsu, suasaana perasaan
(mood), libidinal, dan memori bawah sadar. Semuanya serba ada dalam proses
penulisan esai. Kalau kemudian esai dibaca, semua itu seperti anak katak
berloncatan dari balik semak-semak bernama esei. Bukankah pembaca itu
seperti orang yang menguak-uak, mengibas-ibas, dan menyibak-nyibak
kerimbunan tanaman di belantara bahasa? Ia ingin mengetahui ada apa di dalam
kerimbunan itu. Dan anak-anak katak seperti terganggu olehnya dan
berhamburan keluar dari tempat persembunyiannya. Pembaca yang tak jijik pada
katak, ia akan melihatnya dengan takjub, senang, dan geli. Sebaliknya yang jijik,
ia akan marah, mengumpat, bahkan membanting apa yang dibacanya.
Sementara para perempuan yang biasa berperasaan, merasakan sedih, prihatin,
terharu, tersenyum, penasaran, dan penuh rasa simpati dan empati.
Tapi esai juga seperti argumentasi seorang profesor senior berambut
botak dengan kaca mata kecil bundar menggantung sedikit ke bawah matanya.
Tak terbantahkan, lantaran ia berisi proposisi-prosisi paradigmatis yang
kebenarannya tak perlu diuji lagi selain diterima begitu saja menjadi cara
pandang tentang hakikat realitas. Kalau hanya omongan seorang anggota dewan

78
saja, dilibas. Kalau hanya ceramah dosen di depan mahasiswa saja, belum ada
apa-apanya. Bahkan omongan presiden, pengacara pokrol bambu, atau orator
ulung sekalipun, esai tetap berada di jajaran teratas. Ia kelak akan langgeng
dikenang oleh pembacanya. Bahkan sangat membekas menjadi sebuah tradisi
ilmiah yang tak ilmiah, karena memang esei bukan tulisan ilmiah.
Esai juga seperti ajaran kebijakan filosofis tentang hakikat kehidupan. Ia
hasil dari kontemplasi manusia tentang hakikat kebenaran. Esai
mempertanyakan segala hal ihwal yang ada dan keadaannya. Yang ada, nampak,
dan nyata, dipertanyakan dalam renungan-renungan penuh makna. Tujuannya,
agar esai dapat membuka cakrawala pembaca tentang sesuatu yang masih samar
menjadi nyata; yang nampak menjadi terang, dalam kenyataan atau
ketidaknyataannya. Tujuannya, agar esai dapat memberikan pencerahan dan
penyucian terhadap nafsu-nafsu, hasrat-hasrat, dan kehendak yang cenderung
meledak-ledak dalam diri manusia. Maka, esai membangun kualitasnya dengan
untaian kalimat persuasif dan ekspresif. Maka, esai membangun substansinya
dengan kebijakan-kebijakan hidup.
Berlebihankah, mengibaratkan esai seperti anak katak berloncatan dari
balik semak belantara bahasa? Seperti proposisi seorang profesor senior? Atau,
seperti ajaran filsuf yang mempertanyakan hakikat hidup ini? Semuanya serba
mungkin. Semuanya bisa terjadi dalam sebuah esai. Tidak masalah esei akan
seperti apa. Yang penting, esai adalah bentuk ekspresi berbahasa yang
mengungkapkan manusia dan kemanusiaannya dari perspektif subyektif dan
obyektif berbaur menjadi satu. Sebuah strategi pelisanan yang khas, yang berada
di kedua ujung wacana reflektif-subyektif dan argumentatif-obyektif. Mana ada
ragam tulisan seperti itu, selain esai?
Di ujung yang satu, esai merupakan tulisan reflektif-subyektif. Itulah
kenapa sebagian ahli memasukkannya dalam genre sastra. Dua aspek di
dalamnya yang menjadikan esai lebih dekat dengan sastra; bahkan dikatakan
memang jenis sastra. Pertama, esai ditulis dengan memperhatikan style bahasa.
Kata, frase, kalimat, dan paragraf, disusun tidak hanya untuk menampung
sebuah pengertian, tetapi juga mewadahi perasaan penulisnya. Bahasa esai
mengalir seperti alir sungai membawa kesegaran bagi pembacanya. Bahasa esai
juga menggelora seperti gelegak gunung Merapi hendak memuntahkan sekian
kubik lava panas. Kesegaran dan kemurkaan, mengalir dalam untaian bahasa
yang digunakan esai. Karenanya, esai adalah wacana khas dan individual seperti
karya sastra. Ia berbeda antara satu esei dengan esai yang lain dari penulis yang
berbeda. Tak ada satu pun gaya bahasa yang sama di antara sekian juta penulis
di dunia. Bahasa memiliki kekuatan dan kekayaannya untuk digunakan,
dimodivikasi, digarap, dan di-style-kan, meski tanpa mengorbankan makna
tuturannya.

79
Kedua, esai mempunyai cara pengungkapan yang khas pula. Tidak hanya
bahasanya yang khas, tapi juga bagaimana cara penulis mengungkapkan apa
yang ingin diungkapkan. Ada daya ekspresi di dalam esai. Ekspresi itu berkaitan
dengan sikap, pandangan, dan wawasan yang dimiliki penulisnya. Esai ditulis
bukan sekedar untuk menampung sebuah fakta, seperti wacana sejarah. Esai
bukan sekedar menampung konsep, seperti wacana pengetahuan. Esei juga
bukan sekedar menampung aturan-aturan untuk dipedomani, seperti wacana
hukum. Tapi esai ingin mengungkapkan sebuah persoalan yang direfleksikan dari
kehidupan dengan sudut pandang kemanusiaan. Itulah mengapa ada sikap,
pandangan, dan keyakinan di dalam esai, sebentuk ideologi kewacanaan.
Ideologi kewacanaan merupakan wujud intelektualitas dan keyakinan akan suatu
kebenaran hidup.
Bahasa yang khas dan cara pengungkapan mengindikatorkan adanya
kreativitas dan imajinasi penulisnya. Kreasi dan imajinasi adalah terminologi
dalam jagad kesusasteraan. Ketika keduanya masuk ke dalam ranah esai, ia telah
memenuhi syarat sebagai sebuah karya sastra. Di dalam imajinasi itulah
seseorang mengembara ke ruang kesadaran. Ia mengarungi samudra yang luas
tak bertepi dalam jiwanya. Dalam pengembaraan itu akan ia jumpai kenangan,
ingatan, pengalaman, kilatan gambar-gambar, yang pernah masuk ke dalam alam
sadar dan bawah sadarnya. Bahasalah yang akan mewadahinya melalui kata,
frase, kalimat, paragraph, dan wacana, yang kemudian disebut sastra. Demikian
juga dalam esai, penulis mengembara dalam kesadarannya untuk mengais-ngais
memori, pengalaman, pemikiran, penghayatan, perenungan, bahkan khayalan,
yang kemudian disebut imajinasi. Melalui bahasa, hasil pengembaraan itu
menjadi untaian kalimat yang sarat dengan semua itu.
Di ujung yang lain, esai adalah tulisan argumentasi-obyektif. Kebenaran
dijunjung tinggi sebagai obyek yang ingin diungkapkan. Semua hal yang ditulis
dengan cara dan gaya apapun, kebenaran menjadi tujuannya. Kalau ragam ilmiah
berlandaskan pada kerangka berpikir teoritis, maka esai menggunakan jalan
refleksi-subyektif untuk mengungkapkan kebenaran itu. Kalau ragam ilmiah ingin
menjelaskan dan membuktikan sebuah kebenaran dengan kacamata keilmuan,
maka esai ingin mengritik, menilai, mendudah, mengungkap, dan menunjukkan
sebuah kebenaran dengan kacamata refleksi. Kalau ragam ilmiah berangkat dari
asumsi dan hipotesis, maka esai berpijak pada sebuah keyakinan, kepercayaan,
pandangan, sikap, dan ideologi. Kalau dalam ragam ilmiah didukung oleh bukti-
bukti, maka dalam esai didukung oleh metafor, tamsil, ibarat, adagium,
keyakinan, peristiwa, dogma, dan aksioma-aksioma. Dengan demikian, esei
menggunakan sudut pandang pribadi untuk menjelaskan hakikat sebuah
kebenaran. Dalam esai ekspresi menjadi impresi, sedang dalam tulisan ilmiah
teoritisasi menjadi proposisi. Tapi keduanya dengan cara berlainan, sama-sama

80
ingin menjelaskan suatu kebenaran untuk dapat digunakan dalam kehidupan ini.
Kalau tulisan ilmiah akan ditumbangkan oleh teori baru, maka esai akan
ditenggelamkan oleh perjalanan waktu.
Sampai di ujung pemikiran ini, marilah kita membahas contoh esai berikut
ini, agar apa yang dikemukakan di muka menjadi konkrit dan jelas.

Marxisme, Posmodernisme,
Ketika Tak Ada lagi Revolusi

Oleh: Gunawan Muhamad

“Membentuk kembali hidup! Orang yang bisa bicara begitu tak pernah
paham sedikitpun apa itu hidup—mereka tak pernah merasakan
nafasnya, jantungnya….”
—Dr. Zhivago

PADA awalnya 1917. Kemudian 1993. Dua peristiwa besar, yang berhubungan
dengan agenda “membentuk kembali hidup”, telah mengubah permukaan dunia
seperti dua gelombang gempa yang ganjil, sebab ada yang hancur setelah itu,
dan ada yang terbentuk.

Yang pertama ialah sebuah revolusi atas nama Marxisme, yang berlangsung
sebagai “sepuluh hari yang mengguncangkan dunia”, seperti dilukiskan John Reid
tentang Revolusi Oktober yang bermula di St. Petersburg, Rusia. Yang kedua
ialah sebuah perubahan Yang tak kalah mengguncangkannya, meskipun hampir
tanpa letupan bedil: Rusia (dan dalam batas tertentu juga Cina) membatalkan
banyak hal dalam agenda Marxisme, sesuatu yang sebenarnya bermula di tahun
1989, ketika Tembok Berlin bebas diruntuhkan orang ramai.

Dua perubahan, dua guncangan besar: Marxisme adalah harapan dan keyakinan
penting selama kurang satu setengah abad, sesuatu yang demikian jelas, tegas,
memukau dan menularkan inspirasi.

Tapi Marxisme juga dalam bentuknya yang dicoba dalam suatu transformasi
sosial—ternyata dengan cepat merapuh. Selama beberapa tahun terakhir ia
telah didiskreditkan secara luas, dan hampir di seluruh dunia tidak terdengar lagi
rencana Marxis untuk “mengubah dunia”. Yang tersisa adalah “menerangkan
dunia”—terutama di jurnal-jurnal pemikiran dan seminar-seminar—ketika politik
sayap kiri merosot, atau mengalami perubahan diri, di pelbagai penjuru.

Maka apa gerangan yang kita hadapi, dan bisa dilakukan?

81
Pertanyaan ini penting, juga di Indonesia: kita tahu di sini pengaruh Marxisme,
sisa-sisanya dalam pemikiran kita, tak bisa diabaikan. Marxisme tidak sekadar
membayang dalam tulisan-tulisan Bung Karno sebelum kemerdekaan, ia pernah
dicoba—setidaknya sebagian unsurnya, mungkin juga sebersit semangatnya—
dengan mempraktikkan “sosialisme Indonesia” dan “ekonomi terpimpin”. Ia
pernah menjadi inti dari pemikiran Partai Sosialis Indonesia dan Partai Komunis
Indonesia, dan ia pernah menjadi bagian sentral dalam bahan-bahan yang
diajarkan secara luas tentang “ideologi negara” di tahun 1960-an (yang disebut
“Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi”).

Di akhir tahun 1960-an paham ini dilarang—dan pada gilirannya paham yang
dilarang itu memikat banyak anak muda dan cendekiawan Indonesia secara
diam-diam, hingga sekarang, sebagi sejenis pernyataan pembangkangan,
apalagi di sebuah masyarakat yang mulai mengalami secara nyata gerak
kapitalisme, dan masih punya masalah distribusi pendapatan yang menajam.

Sesudah itu sepi. Tak terdengar suara revolusi. Bukan maksud saya untuk
berbicara tentang “akhir sejarah” sekarang, tetapi nampak suatu kecenderungan
yang jelas, terutama di dekat kita: setelah Marxisme tersingkir dan digagalkan,
yang menggantikan (di Rusia, di Eropa Timur, di Cina) ialah sejenis sikap
pragmatik, kerja yang tak mengedepankan persoalan benar atau tidak menurut
suatu doktrin atau asas, baik atau tidak menurut satu ajaran; kriteria
legitimasinya hampir sepenuhnya dikaitkan dengan hasil atau performativitas.
Dalam pelbagai variasinya sebenarnya yang terjadi sekarang ialah semacam
pemborjuisan (embourgoisement) dunia: sebuah proses yang menampakkan ciri-
ciri modernitas yang dikenal dalam buku-buku sejarah ketika borjuasi Eropa
mengambil peran dan mengubah permukaan bumi “sesuai dengan citranya”,
untuk meminjam kata-kata dalam Manifesto Komunis. Dengan kata lain, menjadi
semakin berperannya rasionalitas, dalam arti kebebasan dari ilusi dan takhayul,
dan meluasnya desakralisasi lingkungan sosial dan alam, juga bangkitnya etos
tentang obyektivitas ilmiah.

Tulisan ini termuat dalam buku ”Setelah Revolusi Tak Ada Lagi” (Edisi
Revisi), Pustaka Alvabet, Jakarta, september 2005. Halaman, 169-192].

2
PERTUNJUKAN TEATER NEGERI INI,
SEBUAH PERADABAN

Oleh: Suhariyadi

Kalau negeri ini dipandang sebagai panggung teater, siapakah tokoh


utama pengemban cerita untuk diungkapkan di atas panggung itu? Mereka
adalah penguasa, pengusaha, dan media. Ketiga aktor inilah yang akan
memainkan perannya secara ekspresif agar pertunjukkan yang dimainkan

82
meyakinkan dan menghanyutkan penontonnya. Siapakah penontonnya? Mereka
adalah rakyat yang tidak memiliki akses untuk mendekati lingkaran ketiga aktor
tersebut. Narasi apakah yang akan dibangun dan diungkapkan dalam
pertunjukkan itu? Narasi itu adalah sebuah adaptasi dari intrik-intrik zaman yang
berasal dari kepentingan-kepentingan kelompok dan tekanan-tekanan eksternal
yang tidak bisa dielakan oleh aktor-aktor tersebut. Agar kita dapat
mengapresiasi bagaimana pertunjukkan itu berlangsung, sebaiknya kita urai
pertunjukkan itu secara interpretatif.
Sebagai sebuah interpretatif, pemikiran ini jelas mengambil perspektif
subyektif dengan pisau analisis rasional; bukan lantaran dengan perspektif
subyektif itu lantas tidak menggunakan rasional untuk memahami persoalan ini.
Dan sebagaimana layaknya mengapresiasi sebuah pertunjukkan teater, tulisan
ini harus bermula dari narasi sebagai skenario yang akan dimainkan. Tetapi yang
perlu diingat, bahwa pertunjukkan ini bergenre modern, meski naskah atau
skenario tersebut tidak tertulis. Cukup seperti dalam teater tradisional, narasi
yang akan dimainkan dipahami kemudian diimprovisasi oleh para aktor di atas
panggung.
Proses berperadaban yang terjadi hingga sekarang ini, sesungguhnya
sebuah narasi yang diciptakan dan sekaligus menjadi pedoman bagi masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari. Foucault, seorang tokoh pencetus postrukturalisme
dan posmodernisme Barat, mengatakannya sebagai Diskursus. Namun demikian,
narasi itu adalah sebuah wacana kebudayaan yang tidak cukup dipahami secara
tekstual, melainkan terdapat makna dibalik yang kasat mata itu, yaitu proses
produksi dan konteks yang melatarbelakanginya. Proses produksi dalam konteks
ini dapat dipahami sebagai proses sejarah bagaimana narasi itu terbentuk dan
siapakah yang berperan dalam produksi narasi itu. Sedangkan konteks yang
melatarbelakanginya itu jelas adalah sosial, budaya, politik, ideologi, ekonomi,
dan sebagainya, dari masyarakat di mana narasi itu diciptakan, dipedomani, dan
mengatur dirinya. Teks (baca: narasi) dan Konteks. Kedua hal tersebut akan
muncul ketika seseorang mau mendudah dan mengurai hingga ke akar narasi itu.
Kalau perlu, hingga ke aspek filosofis yang mendasari terbangunnya narasi itu.

Esai Gunawan Muhamad, kutipan pertama, jelas tidak berpretensi untuk


menjadi tulisan ilmiah, meskipun apa yang diungkapkannya itu sering kali
menjadi pembicaraan dan penulisan dalam konteks ilmiah. Bahkan, meskipun
dalam esainya itu Gunawan Muhamad banyak mengacu pemikiran dan teori
yang pernah ada dalam tradisi pemikiran dunia. Dengan bahasanya yang cair dan
dibumbui dengan pilihan kata bernilai rasa tertentu dan metafor, juga
bercampur kode secara kebahasaan, esai tersebut ingin mengungkapkan
perjalanan rasionalitas manusia semenjak Weber, Marxis, hingga sekarang,
posmodern, khususnya di Indonesia. Meskipun apa yang diungkapkan sangat
berat bagi pembaca kalangan tertentu, tetapi esai tersebut, dengan sasaran
pembaca khusus, mampu mewadahi suatu sikap, pandangan, dan keyakinan

83
penulisnya. Bahasa dan gaya pengungkapan Gunawan Muhamad sangat khas,
dengan sudut pandangnya yang reflektif subyektif miliknya.
Gunawan Muhamad merupakan salah satu penulis produktif di Indonesia
yang menulis dengan bentuk esai. Catatan Pinggir-nya yang termuat di majalah
Tempo, dan juga telah diterbitkan dalam buku, merupakan tulisan esai yang
sangat digemari pembaca darisemua kalangan. Sebagai sastrawan dan mantan
wartawan, Gunawan Muhamad tidak sulit untuk menulis dengan gaya esai.
Bahkan dapat dikatakan, dia merupakan penulis spesialis esai. Memang ada
semacam kecenderungan bahwa esai kebanyakan ditulis oleh seorang sastrawan
ataupun orang yang terjun di bidang kesastraan. Sebut nama Emha Ainun Najib,
dia juga seorang penyair sekaligus piawai menulis esai. H.B. Yassin, Nirwan
Dewanto, Budi Darma, Mangunwijaya, Zawawi Imron, Taufik Ismail, Agus R.
Sarjono, Ayu Utami, Beni Setia, Jamal D. Rahman, Acep Iwan Saidi, dan yang
lainnya, merupakan para penulis esai yang piawai, di samping mereka seorang
penulis sastra. Karena kedekatan esai pada sastra menjadikan jenis tulisan ini
cenderung ditulis seorang yang terjun di dunia sastra. Namun demikian, ada
beberapa penulis esei yang memiliki latar belakang jauh dari sastra, tapi esai
yang ditulisnya sangat bagus, misalnya Fakri Ali dari komunitas Utan Kayu.
Jauh berbeda dengan kutipan kedua. Esai kedua juga mengungkapkan
persoalan yang sering juga menjadi topik pembahasan di kalangan akademis.
Perjalanan kebudayaan di Indonesia selalu menjadi topik yang tak pernah akan
habis dibicarakan orang. Jika Gunawan Muhamad membicarakan topiknya
dengan mengupas sisi-sisi yang jarang disinggung orang, tetapi dalam esai kedua,
penulis mencoba membahasakan topiknya dengan sebuah analog dalam
pertunjukan teater. Sebuah refleksi acap kali tak terkira dan tak terduga orang
lain. Dalam refleksi bukan apa yang ada di permukaan yang utama, tetapi apa
yang tersemunyi di dalamnya. Refleksi dapat memunculkan gambaran sisi-sisi
gelap, samar di depan orang lain, menjadi terang. Ketika banyak orang
meributkan sesuatu sebagaimana yang tampak dan terjadi, sebuah refleksi
meliuk-liuk untuk memandang sesuatu itu pada sisi yang lain.
Cara pengungkapan seperti itu bukan tanpa rasional dan argumentasi.
Sebuah kebenaran adalah ranah yang harus dipikirkan, dianalisis, dan diabstraksi
oleh logika umum. Karena cara reflektif-subyektif dan pilihan gaya bahasa yang
khas, sebuah esei menjadi lain saat dibaca. Kebenaran dan sebuah fakta dikupas
pada sisi-sisi yang masih samar, tersembunyi, dan penuh ketakterdugaan. Hal itu
tak mungkin dilakukan tanpa keterlibatan secara serius rasional dan argumentasi
yang memadai. Itulah gaya dalam tulisan esai. Bandingkan dengan tulisan dengan
bentuk yang lain berikut ini.

84
1
Semua penelitian pada hakekatnya merupakan usaha mengungkap
kebenaran. Kebenaran ini dapat dibedakan dalam empat lapis. Lapis paling dasar
adalah kebenaran inderawi yang diperoleh melalui pancaindera kita dan dapat
dilakukan oleh siapa saja; lapis di atasnya adalah kebenaran ilmiah yang
diperoleh melalui kegiatan sistematik, logis, dan etis oleh mereka yang
terpelajar. Pada lapis di atasnya lagi adalah kebenaran falsafati yang diperoleh
melalui kontemplasi mendalam oleh orang yang sangat terpelajar dan hasilnya
diterima serta dipakai sebagai rujukan oleh masyarakat luas. Sedangkan pada
lapis kebenaran tertinggi adalah kebenaran religi yang diperoleh dari Yang Maha
Pencipta melalui wahyu kepada para nabi serta diikuti oleh mereka yang
meyakininya.
Kalau kebenaran falsafati dan religi saja memungkinkan adanya tafsir
yang menimbulkan mazhab atau aliran tersendiri, apalagi dalam memperoleh
kebenaran ilmiah. Kita semua dilahirkan aebagai mahluk yang unik,
masingmasing di antara kita berbeda. Kalau penampakan kita saja dapat
dibedabedakan, seperti misalnya sidik jari dan DNA, apalagi yang kasatmata
yang ada dalam otak dan hati kita masing-masing. Suatu gejala atau peristiwa
yang sama, dapat diberi arti yang lain oleh orang yang berlainan.

(Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, M.Sc., Landasan Berpikir dan Pengembangan Teori
dalam Penelitian Kualitatif, dalam Jurnal Pendidikan Penabur, No.05/Th.IV/
Desember 2005).

2
Menurut Patton dalam Kristi (2001) paradigma mengacu pada
serangkaian proposisi yang menerangkan bagaimana dunia dan kehidupan
dipersepsikan. Paradigma mengandung pandangan tentang dunia, cara pandang
untuk menyederhanakan kompleksitas dunia nyata. Paradigma memberi
gambaran pada kita mengenai apa yang penting, apa yang dianggap mungkin
dan sah untuk dilakukan, apa yang dapat diterima akal sehat.
Disadari atau tidak, peneliti sesungguhnya berjalan dan bersinggungan
dalam kerangka epistemologis, ontologis dan metodologi yang memang
diyakininya dalam penelitian. Epistemologis menjelaskan bagaimana hubungan
antara peneliti—yang mencari tahu—dengan orang-orang atau fenomena yang
diteliti. Sedangkan ontologi adalah interpretasi manusia apa itu realitas dan
bagaimana cara mengetahuinya. Sedangkan metodologi adalah cara-cara,
teknik atau metode untuk meneliti.

Amir Purba, Menyelami Analisis Wacana Melalui Paradigma Kritis,


Majalah Kajian Media Dictum on
line.http://dictum4magz.wordpress.com, download 3 April 2010.

85
Kedua contoh tulisan di atas beragam ilmiah. Dalam tulisan bentuk ini
cenderung menghindari pilihan kata dan kalimat yang bisa menimbulkan salah
tafsir, menggunakan istilah-istilah dalam terminologi keilmuan, sistematis, serius,
baku, dan didukung argumentasi yang kuat; kalau perlu didukung oleh data-data
yang akurat. Ada aturan yang lebih ketat dalam tulisan beragam ilmiah. Berbeda
dengan esai yang cenderung menggunakan semua aspek dalam bahasa,
termasuk nilai rasa dan gaya bahasa, untuk menambah daya tariknya. Aturan
penulisan esai tidak begitu ketat, bahkan cenderung sebuah pilihan bebas.
Hal-hal itulah yang menjadi ciri dan hakikat tulisan esai. Tak ada salahnya
untuk mencoba menciptakannya. Acap kali sebuah esai lebih bisa menampung
sebuah pemikiran secara santai, cair, dan mudah, sekali pun membahas
persoalan yang serius. Selamat mencoba.

_________

86
BELAJAR SASTRA
Menulis Sastra Mesti Belajar Sastra

S ulit membayangkan seorang penulis karya sastra tidak belajar mengenai


sastra. Katak dalam tempurung. Peribahasa ini tepat digunakan untuk
menggambarkan hal itu. Dikira tulisannya sudah bagus, tetapi ketika di letakkan
di tengah-tengah arus perkembangan karya sastra, ternyata tulisannya itu jauh
dari apa yang disebut bagus. Mengapa? Karena penulis seperti itu tak membuka
diri terhadap apresiasi dan referensi tentang segala hal yang berkaitan dengan
apa yang ditulisnya. Belajarlah sastra untuk menulis sastra.
Sebagai pengayaan bagi penulis yang hendak terjun di dunia penulisan
karya sastra, berikut ini dikemukakan apa dan bagaimana belajar sastra itu. Ingat,
menulis dan membaca merupakan pasangan yang tak mungkin dilepaskan satu
sama lain. Menulis sastra mesti membaca sastra.

Dialog Imajiner Bersama Sastrawan


Sastra itu demokratis! Begitu kalimat pertama yang keluar dari bibir
seorang sastrawan memulai percakapannya. Sastrawan yang satu ini memang
sering kali berdiskusi dengan anak-anak muda yang menyenangi sastra. Bahkan
dengan seseorang yang tidak suka sastra sekalipun, ia tak menolak jika diajak
berdiskusi. Baginya, tak ada salahnya orang berbicara tentang sesuatu dengan
orang yang tidak menyukai sesuatu itu.
Lantas apa maksud ucapan sastrawan itu? Kalimat ini yang berkelebat di
benak orang-orang yang mendengarnya. Sebagai seorang sastrawan yang telah
matang, ia tahu apa yang berkecamuk di benak mereka. Ia tak ingin membuat
penasaran anak-anak muda itu.
“Kalau ada teks bacaan yang begitu terbuka, sehingga bermacam-macam
kepentingan dan tujuan orang dapat membacanya, itu adalah sastra. Dari tukang
becak hingga pejabat, dari pelajar SD hingga seorang profesor, dari
pengangguran hingga penguasaha yang super sibuk, sastra dapat dibacanya. Dari
orang yang tak bisa tidur hingga larut sampai seorang yang maniak membaca,
karya sastra dapat dibacanya. Dari seorang yang mencari hiburan sampai
akademisi yang ingin menambah ilmu, karya sastra menyodorkan dirinya untuk
dibaca. Memang, ia menyiapkan berpuluh wajah untuk ia tampakkan sesuai
dengan siapa dan bagaimana membacanya. Tak memandang anak-anak atau
orang tua, laki-laki atau perempuan, di perempatan jalan atau disembarang
tempat, sastra tidak menolak untuk dibaca.” Kata sastrawan itu dengan

87
keyakinan dan kepercayaan dirinya. Sementara mereka yang mendengarnya
manggut-manggut seperti hewan yang dicocok hidungnya.
“Atau bisa dikatakan, tidak ada objek yang begitu fleksibel sehingga
merambah ke mana-mana, melampaui batas-batas ruang dan waktu, selain
sastra. Itulah makna demokratis yang melekat dalam sastra.”
Seorang mahasiswa yang sering dicekoki dengan teori-teori sastra dari
Barat nampak begitu penasaran. Belum pernah ia menjumpai dalam referensi
manapun proposisi yang mengatakan bahwa sastra itu demokratis. Sastrawan itu
cukup peka untuk memahami apa yang berkecamuk di benak mahasiswa itu.
Meski tak sempat menyelesaikan, ia juga pernah makan bangku kuliah.
“Sebagai bahan bacaan, karya sastra bersifat terbuka. Ia mau menerima
siapapun dan dengan pola pikir apapun sebagai landasan berfikir untuk
memahami dirinya. Bukankah sifat demokratis itu harus terbuka kepada
siapapun, kan!? Di samping berdasarkan Ilmu sastra sebagai landasan teoritis
membaca sastra secara ilmiah. Karena sifat terbuka inilah, ilmu tentang sastra
menjadi multidisipliner. Ketika teori sosial menjadi landasan berfikir untuk
memahami sastra, maka muncullah Sosiologi Sastra. Begitu juga Psikologi
memberikan proposi-proposinya untuk menjelaskan aspek kejiwaan dalam karya
sastra itu, maka muncullah Psikologi Sastra. Ilmu politik, Komunikasi, Ekonomi,
hingga gerakan-gerakan pemikiran yang ada di masyarakat, turut pula
memberikan landasan berfikir untuk menjelaskan aspek-aspek sastra dari kaca
mata mereka. Belum lagi Studi Budaya, Antropologi, Linguistik, Filsafat,
Jurnalistik, sampai teori tafsir agama (kitab), menjadi pisau untuk memahami
sastra. Tidak heran jika kemudian proses membaca sastra ramai memenuhi
ruang publik masyarakat.
“Apa sebenarnya hakikat karya sastra sehingga dia bersifat terbuka dan
fleksibel itu?” Tanya mahasiswa itu semangat. Tak pernah dosennya
menerangkan materi seperti itu. Apalagi dari referensi yang sempat ia baca. Buku
saja belum tentu sekali satu tahun ia beli.
“Sastra merupakan dunia yang unik, ujarnya sambil menghisap rokoknya
dalam-dalam. “Di mana letak keunikan sastra? Sastra merupakan dunia fiktif
yang memiliki seribu wajah. Banyaknya wajah yang dimunculkan sastra,
sebanyak kesadaran (imajinasi) manusia yang membacanya. Banyaknya rupa
yang diperlihatkan sastra, sebanyak aspek-aspek kehidupan realitas kehidupan
dimana sastra itu diciptakan. Imajinasi dan realitas adalah dua sisi dari mata uang
yang bernama sastra. Dua wajah yang bolak-balik muncul dalam proses
pembacaannya. Ketika dipandang sebagai imajinatif, sastra memunculkan
realitas masyarakat. Ketika ditangkap sebagai realitas, ia menjilma sebagai karya
imajinatif. Dua hal yang sebenarnya bertentangan, imajinasi dan realitas, justru
bersama-sama hadir dalam sastra.”
“Sastra juga merupakan dunia kemungkinan. Artinya, ketika pembaca
berhadapan dengan karya sastra, maka ia berhadapan dengan kemungkinan
penafsiran. Setiap pembaca berhak atas penafsirannya yang beraneka ragam
terhadap makna karya sastra. Tujuan dan harapan yang berbeda akan
mengakibatkan perbedaan penafsiran terhadap sebuah karya sastra tertentu. Hal

88
ini berkaitan dengan masalah sifat, fungsi dan hakikat karya sastra. Sifat- sifat
khas karya sastra ditunjukkan oleh aspek referensialnya (acuan), fiksionalitas,
ciptaan, dan sifat imajinatifnya.”
“Sebagai dunia kemungkinan, karya sastra dapat menghadirkan apa yang
tidak mungkin terjadi dalam realitas, bisa mungkin dalam karya sastra. Atau
sebaliknya, yang mungkin dan pasti dalam realitas, menjadi tidak mungkin dan
tidak pasti dalam karya sastra. Sebagai dunia kemungkinan, karya sastra juga
dapat menghadirkan peristiwa yang dianggap logis di dalam realitas menjadi
tidak logis. Atau sebaliknya, yang tidak logis dalam realitas, menjadi logis dalam
karya sastra.”
“Kualitas dunia sastra bermuara pada realitas dipandang dari sisi
imajinasi; imajinasi dipandang dari sisi realitas. Itulah yang kemudian
memunculkan dunia fiksi dalam sastra. Itu juga yang kemudian menghadirkan
realitas dalam sastra. Karya fiksi (imajinasi; sastra) menceritakan sesuatu yang
bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh,
sehingga tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata. Karya fiksi juga
memandang realitas diluar sebagai sumber dan sasaran diciptakannya karya
sastra itu, sehingga dalam karya sastra juga memiliki hubungan dengan realitas di
sekelilingnya (masyarakat). Karya sastra memiliki realitas sendiri, sedangkan
realitas di luar sastra adalah realitas tersediri pula. Tapi keduanya menyatu
dalam karya sastra itu. Dalam karya sastra, perbedaan antara fakta dan fiksi
seringkali berada dalam batas yang sangat relatif. Kadang kala begitu tipis dan
sulit ditarik garis tegas. Tetapi dalam waktu yang lain, dapat sangat jelas batas-
batas itu. Tidak sedikit karya sastra yang secara sadar mencoba mengangkat
fakta atau peristiwa-peristiwa faktual, sehingga ia tampak lebih dekat pada
gambaran sosiologis masyarakat. Tetapi karya sastra tidak sekedar melaporkan
realitas itu sendiri, namun melaporkan realitas yang telah menjadi pemikiran
pengarangnya.
”Saudara-Saudara…” lanjut sastrawan itu sambil menyeruput kopi yang
telah tersedia di atas meja. “Bagaimana sifat demokratis, fleksibel, terbuka, dan
penuh kemungkinan itu bisa difahami dan dimanfaatkan dalam kehidupan ini?
Itulah yang perlu kita pahami. Jangan salah persepsi seperti zaman modern
sekarang ini, ilmu pengetahuan dan teknologi memperlakukan karya sastra
secara keliru.”
“Zaman modern dengan faham modernismenya cenderung mengagung-
agungkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Alhasil, manusia-manusia menjadi
obyek bagi ilmu pengetahuan dan teknologi itu. Sedangkan manusia itu
mempunyai jiwa dan sifat kemanusiaannya. Seharusnya menjadi subyek.
Janganlah manusia disetir oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia bisa
menjadi robot. Akhirnya, manusia mengalami dehumanismenya. Bahaya bagi
masa depan peradaban. Tanda-tanda untuk itu telah muncul. Perang terjadi
karena kecanggihan teknologi kemiliteran manusia; Eksplorasi alam secara besar-
besaran sehingga merusak keseimbangan alam; dampak polusi sehingga
terjadinya global warming; belum lagi pola hidup yang berubah: konsumtif,
materialis, individual, seks bebas, longgarnya hubungan sosial dan keluarga,

89
demoralisasi, kekerasan dan perkelahian. Inilah saatnya kita memperluas
wawasan dan cara pandang kita. Dunia ini tak akan mungkin menjadi baik jika
manusia hanya berkutat dengan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa dilandasi
dengan humaniora dan agama. Persepsi kita tentang kesenian, termasuk sastra,
mesti berubah, karena di dalam karya sastra itu kaya akan kemungkinan dan cara
pandang yang lebih manusiawi.”
Malam semakin menggigil di tubuh sastrawan dan para pendengarnya itu.
Mereka semakin merapatkan duduknya untuk sekedar mengurangi
kedinginannya. Mereka tak akan terusik oleh suasana malam. Mereka tak akan
bergeming. Seolah ada yang mesti diseriusi. Seolah ada yang mengkhawirkan
dalam dunia fana ini. Itu lebih penting dari dinginnya malam. Gemirisik daun
diterpa angin, seakan menjadi musik yang mendukung membangun suana
perbincangan itu.
“Lantas bagaimana karya sastra itu memandang realitas?” Tanya seorang
guru sastra yang sejak tadi cuma terbengong saja lantaran ia butuh untuk
memperkaya profesinya.
“Ya. Kalau karya sastra juga memiliki peranan dalam membangun masa
depan, tentunya ia memiliki cara untuk menjadikan realitas menjadi sumber
penciptaannya. Dengan begitu, karya sastra sangat bermanfaat bagi kehidupan.”
Pendapat yang lain mendukung pertanyaan sang guru sastra itu. Nampaknya
semakin malam, semakin semangat untuk mendudah habis rahasia keunikan
karya sastra.
“Berbagai pendapat muncul berbeda-beda dalam menjelaskan hal itu.
Dalam teori mimesis misalnya, semenjak Plato, filsuf dari Yunani, yang kemudian
diperbaruhi muridnya, Aristoteles, hingga sekarang, memandang karya sastra
merupakan peniruan secara kreatif dari realitas Seni (termasuk sastra) menurut
Aristoteles merupakan kegiatan meniru atau tiruan dari dunia, alam, benda, dan
manusia. Menurut teori mimesis ini, karya sastra manampilkan wajah sebagai
perwujudan hubungan dinamis yang berlanjut antara suatu seni (sastra) dengan
alam semesta. Tentunya realitas (alam semesta) yang dipikirkan dan diolah
secara kreatif oleh pengarangnya. Dengan demikian, membaca karya sastra
dengan landasan berfikir teori mimesis ini menempatkan karya sastra itu sebagai
produk peniruan kenyataan, produk dinamis, representasi kenyataan semesta
secara fiksional, dan produk imajinasi.”
“Berbeda dengan teori mimesis, Strukturalisme Genetik yang dicetuskan
Lucien Goldman mengemukakan dua pendapatnya mengenai karya sastra.
Pertama, karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner.
Kedua, dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu pengarang
menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner.
Sehingga hubungan karya sastra dan masyarakat tak terelakkan. Tetapi
hubungan keduanya dimediasi oleh pandangan dunia (ideologi) pengarangnya.
Sebagai produk dari dunia sosial yang senantiasa berubah-ubah, karya sastra
merupakan kesatuan dinamis yang bermakna, sebagai perwujudan nilai-nilai dan
peristiwa-peristiwa penting zamannya. Dalam istilah Strukturalisme Genetik

90
karya sastra menyuarakan pandangan dunia (ideologi) subjek kolektif
pengarangnya.”
Seorang sosiolog, Karl Manheim memandang karya seni (termasuk sastra)
menyampaikan maknanya dalam tiga tingkat: objectif meaning (hubungan sastra
dengan dirinya sendiri), expressif meaning (hubungan sastra dengan
penciptanya), dan documentary meaning (hubungan sastra dengan konteks
sosialnya). Dari sudut pandang ini, pembacaan karya sastra mengikuti prosedur
tiga tingkatan makna tersebut. Dalam teori Semiotika, karya sastra dipandang
sebagai sistem struktur yang terdiri atas penanda, petanda, dan sistem yang
menghubungkan keduanya. Pembacaan karya sastra mengarah pada memaknai
tanda yang bermakna realitas yang terkandung dalam karya sastra itu.”
“Mas kalau sudah menyinggung teori-teori seperti itu, sampeyan seperti
seorang dosen,” ujar sang mahasiswa.
“Wah, kamu itu sudah merendahkan saya lho,” jawab sastrawan itu
sambil tertawa ngakak. “Guyon!” lanjutnya. “Jangan dilaporkan dosenmu, nanti
mereka pada tersinggung.”
“Masih banyak saya kira teori-teori yang memberikan pandangannya
tentang karya sastra. Psikoanalitis Freud, Strukturalisme Levi Straus dan Todorof,
Cultural Materialism Richad Johnson, dan beberapa pemikiran yang lain, berpijak
pada pandangan yang berbeda-beda. Semua itu semakin meramaikan studi
sastra dan memapankan sifat sastra yang demokratis (terbuka).”
“Saya pikir, Mas…,” kata sang mahasiswa, yang nampaknya dia memiliki
kekritisan yang lumayan, “keterbukaan karya sastra itu juga karena fenomena
sastra yang dewasa ini semakin berkembang”
“Maksudnya?” Pancing sastrawan sambil tersenyum.
“Dewasa ini muncul jenis sastra baru sebagai pengaruh perkembangan
masyarakat modern. Di samping puisi, prosa, dan drama, muncul jenis
cybersastra, sastra Koran, dan sastra jurnalistik”
“Masuk akal pendapat Kamu”
“Cyber sastra menjadi ramai akhir-akhir ini karena pengaruh
perkembangan teknologi informasi (internet). Meskipun belum banyak yang
meneliti keberadaan cyber sastra, karena memang relative baru, genre sastra ini
mempunyai kekhasan sendiri. Sedangkan sastra Koran, beberapa pendapat
menyamakan dengan sastra jurnalistik, keberadaannya relatif lama. Sementara
sastra jurnalistik, saya cenderung membedakan dengan sastra koran, muncul
dalam ranah ilmu komunikasi. Sastra jurnalistik menurut saya merupakan jenis
wacana jurnalistik dengan menggunakan bahasa ragam sastra. Di dunia
akademis, sastra jurnalistik telah lama menjadi objek kajian disiplin Ilmu
Komunikasi. Semakin berkembangnya jenis sastra ini menyebabkan
berkembangnya pembacaan sastra. Meluasnya kajian Ilmu Komunikasi yang
mengambil sastra sebagai objek kajian, jelas akan menggunakan teori komunikasi
sebagai landasan berfikirnya. Begitu juga ketika penelitian sastra merambah ke
ranah Ilmu Politik, jelas akan membedah karya sastra dari sisi Ilmu Politik.
Dalam perbincangan suatu malam pada minggu-minggu berikutnya,
setelah beberapa minggu tak tampak batang hidungnya, sastrawan memulainya

91
dengan kalimat yang mengundang penasaran pendengarnya. Maklum, karena
minat bacanya yang tinggi dan kesukaanya berdiskusi hingga pagi.
“Kalau membaca sastra kita ibaratkan lompat jauh, mesti harus
mempunyai tumpuan. Tanpa itu, lompatan kita tidak mungkin optimal” Analogi
sederhana yang sengaja dipakai sastrawan untuk menarik
perhatianpendengarnya. Seperti biasanya, orang-orang pun menunggu
penjelasan sastrawan dengan penasaran. Lantas apa kaitannya lompat jauh
dengan membaca sastra?
Tumpuan yang dipakai seorang pelompat jauh harus dibuat dengan baik,
tepat, dan relevan. Dengan begitu dapat mendorong pelompat jauh itu
semaksimal mungkin; sesuai dengan kapasitas dia sebagai atlet.
Dalam membaca sastra, seorang juga juga harus membangun tumpuhan,
tempat dia berpijak dan memandang tentang objek bacaannya. Dan itu kita
sebut dengan cara pandang. Pembaca jelas memiliki cara pandang terhadap
karya sastra. Cara pandang dia terhadap dunia sastra menjadi sumber untuk
merumuskan apa tujuan dia membaca itu, bagaimana cara membacanya, dan
seberapa dalam dia membaca. Oleh karena itu, pembaca sastra akhirnya
bermacam-macam golongan.
“Mas, saya ini seorang pelajar. Di sekolah guru saya menyuruh saya
belajar sastra. Katanya, belajar sastra itu ya membaca sastra. Membaca sastra itu
ya belajar sastra. Kock melingkar-lingkar begitu, ya?”
“Coba baca tulisan saya berikut ini secara seksama. Dalam tulisan itulah,
nanti kamu menemukan penjelasannya.”

Tingkatan Belajar Sastra


Pada hakikatnya belajar sastra adalah membaca sastra. Dengan demikian,
belajar sastra memiliki cakupan pengertian yang luas, seluas pengertian dan jenis
membaca sastra yang pernah dilakukan orang selama ini. Belajar sastra adalah
proses membaca karya sastra untuk memahami segala hal yang berhubungan
dengan karya sastra itu. Di samping karya sastra sebagai dunia yang otonom dan
memiliki aspek yang beraneka ragam, belajar sastra juga terdiri atas berbagai
tingkatan kualitas, menyangkut proses, tujuan, dan hasil dari belajar sastra itu.
Dapat dikemukakan, tingkatan orang belajar sastra terdiri atas tingkat mengerti,
memahami, menghayati, dan mengaplikasikan dalam kehidupan nyata;
sebagaimana tingkatan orang mengapresiasi dan menganalisis karya sastra.
Belajar sastra dapat dilakukan secara langsung maupun tak langsung.
Secara langsung, seseorang belajar sastra tanpa melalui pengetahuan sastra atau
kajian-kajian terhadap karya sastra seperti: resensi, apresiasi, kritik, dan
sebagainya yang dilakukan orang lain. Cara seperti ini bertujuan untuk
memahami makna karya sastra dengan melibatkan pengalaman langsung ke
dunia pengarang yang tercermin dalam karya sastra yang dipelajarinya.
Sedangkan belajar sastra secara tak langsung, seseorang berangkat dari
pengetahuan atau kajian orang lain terhadap karya sastra. Seseorang tidak
langsung berhadapan dengan karya sastra, tetapi belajar tentang prinsip-prinsip
tentang karya sastra ataupun hasil-hasil pemahaman karya sastra yang pernah

92
dilakukan orang lain. Cara ini dilakukan dengan tujuan agar seseorang itu
memiliki bekal teoritis dan konseptual tentang karya sastra yang akan
dipelajarinya.
Kedua cara di atas memiliki kelebihan dan kelemahan. Cara langsung
memiliki kelebihan dalam hal keterlibatan pengalaman estetika dalam
mempelajari karya sastra. Keterlibatan pengalaman estetika ini sangat penting,
karena karya sastra merupakan karya seni yang estetis dan imajinatif.
Pemahaman yang utuh dapat terjadi apabila proses mempelajari karya sastra
mampu melibatkan semua aspek kesadaran dan pengalaman hidup seseorang.
Namun demikian, cara ini membutuhkan bekal kepekaan dan pengetahuan
untuk dapat menangkap makna karya sastra yang dipejarinya. Bagi seseorang
yang telah memiliki kepekaan dan pengetahuan tentang sastra, mempelajari
secara langsung akan relatif mudah dibandingkan dengan yang baru tingkat
belajar sastra. Oleh karena itu, diperlukan cara tidak langsung secara bergantian.
Kedua cara tersebut bisa dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang utuh
dalam mempelajari karya sastra.
Selain itu, belajar sastra memiliki banyak cara, tergantung dasar yang
dipakai. Berdasarkan tujuannya, mempelajari karya sastra dapat digolongkan
kedalam: (1) belajar sastra secara akademis dan ilmiah, (2) belajar sastra secara
kritis, (3) belajar sastra secara apresiatif, dan (3) belajar sastra secara alamiah.
Pertama, belajar sastra secara akademis dan ilmiah memiliki metode dan
prosedur yang ketat karena memiliki tujuan agar hasil-hasilnya dapat bernilai
ilmiah dan akademis. Metode dan prosedur ditentukan oleh teori yang dipakai.
Contoh belajar sastra dengan cara ini tampak pada kegiatan-kegiatan penelitian
dan apresiasi sastra yang dilakukan para akademisi dan ilmuwan sastra di
perguruan tinggi.2 Di sampingn itu, belajar sastra secara ilmiah dan akademis
merupakan studi dalam konteks keilmuan.
Kedua, belajar sastra secara kritis bertujuan untuk memahami kelebihan
dan kekurangan karya sastra yang dipelajarinya. Cara kritis ini biasa dilakukan
oleh kritikus atau sarjana sastra untuk membantu memberikan pertimbangan
kepada pengarang dan pembaca.
Ketiga, seseorang yang memiliki minat terhadap karya sastra,
sesungguhnya adalah orang yang secara alamiah berusaha untuk mempelajari
dan menggauli karya sastra sebagaimana orang membaca sastra sebagai hobi. Ia
tidak harus berlandaskan pada teori atau pengetahuan tentang sastra. Cara ini
bertujuan untuk menyalurkan minat dan kesenangannya membaca karya sastra.
Di antara mereka, membaca sastra dilakukan karena memiliki minat menulis
sastra juga. Mereka menyadari bahwa kreativitasnya di bidang menulis sastra
tidak mungkin dilepaskan dari kebiasaan membaca dan belajar sastra.
Berdasarkan proses atau prosedurnya, belajar sastra juga dapat
digolongkan kedalam: (1) belajar sastra secara impresif, (2) belajar sastra secara
teoritis, dan (3) belajar sastra secara filosofis. Belajar sastra secara impresif
adalah belajar sastra untuk kepentingan pemenuhan kesan akan cerita yang
terkandung dalam karya sastra. Kepuasan dan kenikmatan menjadi tujuan utama
dalam belajar sastra golongan ini. Sedangkan belajar sastra secara teoritis

93
merupakan usaha untuk memahami karya sastra dengan memakai prinsip-prinsip
teoritis tertentu. Dasar teori yang dipakai dalam belajar sastra golongan ini
menunjukkan bahwa usaha-usaha belajarnya berorientasi pada keilmuan dan
akademis. Cara belajar ini cenderung dilakukan para ilmuwan dan mahasiswa
sastra. Sementara cara belajar sastra secara filosofis pada dasarnya merupakan
usaha untuk memahami pesan-pesan, ajaran-ajaran, dan pemikiran tentang
kehidupan yang terkandung dalam karya sastra. Objek karya sastra yang
dipelajari kebanyakan adalah karya para pengarang yang telah memiliki predikat
sebagai seorang filsuf, pemikir, tokoh agama, atau intelektual, disamping dia
sebagai seorang sastrawan. Cara belajar golongan ini tidak mengutamakan
aspek-aspek kesasteraannya, tetapi isi dari karya sastra.
Meskipun terdapat perbedaan yang khas di antara golongan belajar
sastra di atas, tetapi secara hirarkis berurutan. Dengan kata lain, ada beberapa
tahapan yang dilalui seseorang dalam belajar sastra, meskipun tahapan tersebut
tidak secara sadar diketahui dan dilalui dalam prosesnya. Pada kasus tertentu,
seseorang dapat mencapai tingkatan tertinggi dalam tahapan tersebut. Tetapi
pada kasus lain, seseorang hanya berhenti pada tingkatan tertentu. Itu semuanya
tergantung pada tujuan, motivasi, dan keseriusan seseorang dalam belajar
sastra.
Dalam sistem hirarki, belajar sastra memiliki empat tingkatan dan
tahapan. Pertama, tingkat rekreatif. Pada tingkatan ini seseorang belajar sastra
untuk memperoleh hiburan. Sekali seseorang membaca dan memahami
ceritanya, selesai sudah. Hiburan dan kepuasan atau sebaliknya, menjadi tolok
ukur keberhasilan orang itu. Kedua, tingkat informatif. Pada tingkat ini seseorang
belajar sastra untuk memperoleh fakta-fakta, informasi, ataupun materi
pengetahuan yang ada dalam karya sastra yang dipelajarinya. Pada tingkat ini,
seseorang berasumsi bahwa karya sastra yang dipelajarinya memuat hal-hal yang
ingin ia ketahui. Kalau pada tingkat rekreatif seseorang ingin terhibur, pada
tingkat ini seseorang ingin memperoleh materi tentang sesuatu hal.
Ketiga, tingkat kreatif. Pada tingkat ini seseorang belajar sastra bertujuan
untuk memperoleh bekal dan referensi untuk menulis karya sastra atau
kreativitas penciptaan yang lain. Seseorang belajar sastra pada tingkat ini
berasumsi bahwa untuk menciptakan karya sastra, seseorang harus belajar
tentang karya sastra orang lain. Karya sastra menjadi bahan atau materi dalam
proses kreativitas yang dilakukan seseorang. Barangkali juga, seseorang berusaha
untuk memperoleh inspirasi, mengadaptasi, ataupun belajar teknik menulis
karya sastra. Keempat, tingkat analitis. Tingkat ini dilakukan seseorang dalam
konteks akademis dan keilmuan. Para ilmuwan, peneliti, sarjana, dan mahasiswa,
merupakan orang-orang yang belajar sastra demi kepentingan keilmuan dan
komitmen disiplinnya. Hasil-hasil yang diperoleh pada tingkat ini berupa laporan
penelitian, kritik ilmiah, artikel dan esei, ataupun paper bersifat studi. Kelima,
tingkat filosofis. Pada tingkat ini belajar sastra merupakan usaha untuk
menemukan jawaban atas persoalan-persoalan kehidupan dan kebenaran. Oleh
karena itu, hanya karya-karya sastra tertentu yang dipelajari. Seseorang pada
tingkat ini tidak semata-mata untuk belajar sastra. Lebih dari itu, orang tersebut

94
pada hakikatnya belajar tentang hidup dan kehidupan dari pengalaman orang
lain melalui karya sastra (pengarang).
Keenam, tingkat aplikatif. Tingkatan ini melampaui batas-batas karya
sastra sebagai karya seni. Karya sastra tidak diberlakukan sebagai karya seni yang
imajinatif, estetis, dan fiktif, melainkan karya sastra adalah sumber pencapaian
kehidupan yang lebih baik dan luhur. Pada masa silam, tingkatan ini
sesungguhnya telah melekat dalam fungsi sosial dan religius karya sastra sebagai
satu-satunya ragam wacana masyarakat. Pendidikan, agama, sosial, filsafat, dan
nilai-nilai kebenaran, menjadi materi yang diungkapkan dalam karya sastra.
Orang belajar tentang hidup, kebenaran, kesempurnaan, etika dan moral, dan
agama, melalui karya sastra. Oleh karena itu, sastrawan pada masa itu adalah
seseorang yang dianggap memiliki tingkat pengetahuan dan religiusitas yang
tinggi. Pada masa sekarang, tingkat aplikatif dalam belajar sastra bertujuan
menemukan hal-hal yang positif untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Hakikat Sastra sebagai Sebuah Samudra


Kalau karya sastra adalah samudra, maka belajar sastra adalah seorang
penyelam yang merambah ke kedalamannya untuk menemukan apa yang dicari.
Dia bisa saja ingin menemukan keindahan di dasar samudra itu. Dapat pula ingin
menemukan hewan atau tumbuhan yang ada di dalamnya. Atau ingin
menemukan bangkai kapal yang tenggelam berabad-abad yang lalu. Barangkali
juga ingin menemukan batu karang, pasir, bahkan mutiara. Seorang penyelam
bisa menggunakan alat apa saja untuk menyelam, asalkan memang memadai
untuk kegiatan penyelaman di dalam samudra. Hasil temuannya dapat menjadi
bahan pameran di museum oceanologi dan sejarah, laporan petualangan ke
samudra, atau laporan reaserch.
Karya sastra adalah samudra kreasi imajinasi dari penciptanya. Karya
sastra juga samudra kehidupan yang diciptakan pengarangnya. Karya sastra
merupakan tiruan atau jiplakan kenyataan (mimetik). Tetapi karya sastra juga
merupakan hasil dari khayalan yang secara kreatif diolah dan dibangun menjadi
sebuah dunia; dunia fiksi.
Psikologi menggambarkan karya sastra adalah samudra (suatu keadaan)
kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada dalam situasi setengah sadar
setelah mendapat bentuk yang jelas dituangkan ke dalam bentuk tertentu secara
sadar. Sementara Sosiologi menggambarkan karya sastra adalah samudra yang
bermata ganda bagai sekeping mata uang logam. Di satu sisi, ia adalah dunia
imajinasi yang berdiri sendiri, di sisi lain ia menampakan wajah sosial di mana
karya sastra itu diciptakan.
Bagi seorang arsitek, karya sastra merupakan bangunan yang tersusun
atas unsur-unsur yang terstruktur membentuk sebuah sistem. Sedang Pembaca
Sastra, karya sastra adalah sebuah samudra yang masih samar-samar dan perlu
dikonkritkan oleh pemaknaan pembacanya.
Mengapa begitu banyak penjelasan tentang karya sastra? Banyak orang
memiliki pandangan bermacam-macam tentang suatu hal. Itu semua tergantung
pada cara pandang yang mereka pakai dalam melihat suatu hal itu. Begitu juga

95
pandangan dan penjelasan tentang karya sastra. Cara pandang orang bermacam-
macam terhadap karya sastra. Mereka memiliki dasar filosofis dan konseptual
untuk dipakai memahami karya sastra. Oleh karena itu, selama ini usaha untuk
mendefinisikan karya mengalami kesulitan. Masing-masing orang memiliki
definisi sendiri-sendiri sesuai kebutuhan dan cara pandang masing-masing.

_______________

96

Anda mungkin juga menyukai