Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MATERNITAS
KLIMAKTERIUM

Oleh :
APIPIN
2108015

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN, BISNIS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS WIDYA HUSADA SEMARANG
TAHUN 2021
1. Konsep Dasar
1. Definisi
Menopause adalah haid terakhir pada wanita, yang juga sering
diartikan sebagai berakhirnya fungsi reproduksi seorang wanita.
Klimakterium adalah masa peralihan dalam kehidupan normal seorang
wanita sebelum mencapai senium, yang mulai dari akhir masa
reproduktif dari kehidupan sampai masa non-reproduktif. Klimakterium
biasa terjadi pada wanita berumur 40-65 tahun. Klimakterium merupakan
periode peralihan dari fase reproduksi menuju fase usia tua (senium)
yang terjadi akibat menurunnya fungsi generatif ataupun endokrinologik
dari ovarium. (Baziad, 2003)
2. Etiologi
Sebelum haid berhenti, sebenarnya pada seorang wanita terjadi
berbagai perubahan dan penurunan fungsi pada ovarium seperti,
berkurangnya jumlah folikel dan menurunnya sintesis steroid seks,
penurunan sekresi estrogen.
Perkembangan dan fungsi seksual wanita secara normal
dipengaruhi oleh sistem poros hipotalamus-hipofisis-gonad yang
merangsang dan mengatur produksi hormon-hormon seks yang
dibutuhkan. Hipotalamus menghasilkan hormon gonadotropin releasing
hormone (GnRH) yang akan merangsang kelenjar hipofisis untuk
menghasilkan follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing
hormone (LH). Kedua hormon FSH dan LH ini yang akan
mempersiapkan sel telur pada wanita. FSH dan LH akan meningkat
secara bertahap setelah masa haid dan merangsang ovarium untuk
menghasilkan beberapa follicle (kantong telur). Dari beberapa kantong
telur tersebut hanya satu yang matang dan menghasilkan sel telur yang
siap dibuahi. Sel telur dikeluarkan dari ovarium (disebut ovulasi) dan
ditangkap oleh fimbria (organ berbentuk seperti jari-jari tangan di ujung
saluran telur) yang memasukkan sel telur ke tuba fallopii (saluran telur).
Apabila sel telur dibuahi oleh spermatozoa maka akan terjadi kehamilan
tetapi bila tidak, akan terjadi haid lagi. Begitu seterusnya sampai
mendekati masa klimakterium, dimana fungsi ovarium semakin menurun.
Masa pramenopause atau sebelum haid berhenti, biasanya ditandai
dengan siklus haid yang tidak teratur. Pramenopause bisa terjadi selama
beberapa bulan sampai beberapa tahun sebelum menopause. Pada masa
ini sebenarnya telah terjadi aneka perubahan pada ovarium seperti
sklerosis pembuluh darah, berkurangnya jumlah sel telur dan
menurunnya pengeluaran hormon seks. Menurunnya fungsi ovarium
menyebabkan berkurangnya kemampuan ovarium untuk menjawab
rangsangan gonadotropin. Hal ini akan mengakibatkan interaksi antara
hipotalamus-hipofisis terganggu. Pertama-pertama yang mengalami
kegagalan adalah fungsi korpus luteum. Turunnya produksi steroid
ovarium menyebabkan berkurangnya reaksi umpan balik negatif terhadap
hipotalamus. Keadaan ini akan mengakibatkan peningkatan produksi dan
sekresi FSH dan LH. Peningkatan kadar FSH merupakan petunjuk
hormonal yang paling baik untuk mendiagnosis sindrom klimakterik.
Secara endokrinologis, klimakterik ditandai oleh turunnya kadar
estrogen dan meningkatnya pengeluaran gonadotropin. Pada wanita masa
reproduksi, estrogen yang dihasilkan 300-800 ng, pada masa
pramenopause menurun menjadi 150-200 ng, dan pada pascamenopause
menjadi 20-150 ng. Menurunnya kadar estrogen mengakibatkan
gangguan keseimbangan hormonal yang dapat berupa gangguan
neurovegetatif, gangguan psikis, gangguan somatik, metabolik dan
gangguan siklus haid. Beratnya gangguan tersebut pada setiap wanita
berbeda-beda bergantung pada:
1. Penurunan aktivitas ovarium yang mengurangi jumlah hormon
steroid seks ovarium. Keadaan ini menimbulkan gejala-gejala
klimakterik dini (gejolak panas, keringat banyak, dan vaginitis
atrofikans) dan gejala-gejala lanjut akibat perubahan metabolik
yang berpengaruh pada organ sasaran (osteoporosis).
2. Sosio-budaya menentukan dan memberikan penampilan yang
berbeda dari keluhan klimakterik.
3. Psikologik yang mendasari kepribadian wanita klimakterik itu,
juga akan membe-rikan penampilan yang berbeda dalam
keluhan klimakterik.
3. Manifestasi Klinis
Sekitar 40-85% dari semua wanita dalam usia klimakterik
mempunyai keluhan. Gejala yang tetap dan tersering adalah gejolak
panas dan keringat banyak. Gejolak panas merupakan sensasi seperti
gelombang panas yang meliputi bagian atas dada, leher, dan muka.
Keluhan ini biasanya diikuti oleh gejala-gejala psikologik berupa rasa
takut, tegang, depresi, lekas marah, mudah tersinggung, gugup dan jiwa
yang kurang mantap.
Keluhan lain dapat berupa sakit kepala, sukar tidur, berdebar-
debar, rasa kesemutan di tangan dan kaki, serta nyeri tulang dan otot.
Keringat malam hari merupakan keluhan yang sangat mengganggu,
sehingga menimbulkan lelah dan kesukaran bangun pagi. Semua keluhan
ini kurang menggembirakan bagi seorang wanita, dan mendorong
penderita mencari pengobatan.
Atrofi epitel genital dapat mengakibatkan vaginitis senilis. Gejala-
gejalanya mencakup: iritasi, rasa terbakar, pruritus, leukorea,
dispareunia, perdarahan vaginal, penurunan sekresi vaginal, penipisan
epitel dan mudah kena trauma, pemendekan dan pengurangan kelenturan
vagina. Kebanyakan masalah seksual dialami oleh wanita
pascamenopause adalah karena status fisis dari mukosa vagina, yang
harus memelihara kelembaban protektif yang cukup dan memberikan
pelumas selama sanggama. Setelah menopause, perubahan atrofik dapat
menyebabkan dispareunia, vaginitis, vaginismus, taknyaman fisis, dan
hilang minat seksual.
Kulit wanita banyak dipengaruhi oleh estrogen sehingga
menimbulkan kulit kehilangan elastisitasnya, berkerut, kering dan
menjadi lebih tipis. Hal tersebut mengurangi kecantikan seorang wanita,
sehingga wanita merasa kurang percaya diri lagi (dan dapat menambah
ketidakseimbangan emosi wanita tersebut).
Gangguan psikogenik, ini mencakup : peningkatan rasa gelisah,
depresi, mudah cemas, insomnia, dan sakit kepala. Keadaan lain yang
dapat diperberat oleh gejala menopause mencakup : masalah
psikosomatik yang telah ada yang diperkuat oleh gejolak panas, pola
tidur yang diganggu oleh keringat malam, penurunan libido karena
vaginitis atrofikans yang mengakibatkan dispareunia.
Osteoporosis adalah gangguan tulang yang terutama menyerang
tulang trabekular, menyebabkan pengurangan kuantitas tulang sehingga
mengakibatkan tulang keropos. Meskipun kedua jenis kelamin
mengalami kehilangan massa tulang dengan proses menua, jarang bagi
pria mengalami gejala osteoporosis sebelum usia 70.
4. Patofisiologi
Seiring dengan pertambahan usia, sistem neurohormonal tidak
mampu untuk berstimulasi periodik pada sistem endokrin yang
menyebabkan ovarium tidak memproduksi progesterone dalam jumlah
yang bermakna. Estrogen hanya dibentuk dalam jumlah kecil melalui
aromatisasi androsteredion dalam sirkulasi. penurunan fungsi ovarium
menyebabkan ovarium mengecil dan akhirnya folikel juga menghilang.
Tidak adanya estrogen ovarium merupakan penyebab timbulnya
perubahan-perubahan pasca menopause, misalnya: kekeringan vagina,
yang dapat menimbulkan rasa tidak nyaman sewaktu berhubungan seks,
dan atrofi gradual organ-organ genetalia, serta perubahan fisik lainnya.
Namun wanita pasca menopause tetap memiliki dorongan seks karena
androgen adrenal mereka. Masih tidak jelas apakah gejala-gejala
emosional yang berkaitan dengan fungsi ovarium, misalnya depresi dan
iritabilitas, disebabkan oleh penurunan estrogen akan merupakan reaksi
psikologis terhadap dampak menopause.
5. Pathway
6. Pemeriksaan Penunjang
Penatalaksanaan menopause bisa berupa terapi hormonal dan
nonhormonal. Terapi hormonal dapat dilakukan menggunakan preparat
estrogen atau kombinasi estrogen dan progesteron. Terapi nonhormonal
dapat berupa obat-obatan seperti antidepresan, antikonvulsan, clonidine,
dan preparat herbal seperti fitoestrogen.
a. Tata Laksana Hormonal
Tata laksana hormonal diberikan mulai tahap perimenopause. Tata
laksana dapat berupa estrogen atau kombinasi estrogen dan
progesteron.
1) Estrogen diberikan secara tunggal untuk wanita yang sudah
menjalani operasi histerektomi. Wanita yang masih memiliki
uterus harus diberikan kombinasi progesteron untuk melindungi
endometrium dari efek estrogen yang mencetuskan hiperplasia
dan kanker endometrium. Indikasi tata laksana hormonal adalah:
a) Tata laksana gejala vasomotor sedang dan berat yang
berhubungan dengan menopause
b) Tata laksana gejala urogenital sedang dan berat seperti rasa
kering pada vagina, pruritus, dan disuria yang berhubungan
dengan menopause. Untuk gejala ini preparat topikal vagina
lebih direkomendasikan
c) Pencegahan osteoporosis pasca menopause
Kontraindikasi tata laksana hormonal adalah:
a) Riwayat kanker payudara
b) Riwayat keganasan yang dicetuskan oleh estrogen
c) Perdarahan genital yang belum terdiagnosis
d) Hiperplasia endometrium yang belum diobati
e) Riwayat penyakit tromboemboli vena
f) Riwayat penyakit tromboemboli arteri
g) Hipertensi yang tidak terkontrol
h) Penyakit hepar aktif
i) Riwayat hipersensitivitas dengan terapi hormonal
j) Porfiria kutaneus tarda
Estrogen
Terapi estrogen dimulai dengan dosis terendah yang dapat
mengatasi gejala menopause dan memberi efek proteksi tulang.
Beberapa preparat yang sering digunakan adalah sebagai berikut:
a) Conjugated equine estrogens 0,3-0,625 mg
b) Micronized 17β-estradiol 0,5-1 mg
c) Transdermal estradiol 14-100 mcg
d) Ethinyl estradiol 0,01-0,02 mg
e) Preparat estrogen vagina seperti cincin estradiol, Penggunaan
preparat transdermal lebih dipilih untuk wanita dengan
hipertensi, hipertrigliseridemia, dan risiko kolelitiasis karena
preparat estrogen oral memiliki efek sistemik yang
meningkatkan sintesis trigliserida dan angiotensinogen.
2) Progesteron
Pemberian progesteron ditujukan untuk efek proteksi
endometrial. Beberapa preparat yang umum digunakan adalah:
a) Medroxyprogesterone acetate (MPA) 2,5 mg setiap hari
atau 5 mg untuk 10-12 hari/bulan
b) Micronized progesterone 100 mg setiap hari atau 200 mg
untuk 10-12 hari/bulan
c) Norethindrone 0,35 mg setiap hari atau 5 mg untuk 10-12
hari/bulan
d) Levonorgestrel 0,075 mg setiap hari
Beberapa efek samping dari penggunaan progesteron adalah
sindrom premenstrual, perubahan mood, rasa kembung,
retensi cairan, dan gangguan tidur.[4]
b. Tata Laksana Nonhormonal
Tata laksana nonhormonal berupa obat-obatan seperti
antidepresan, antikonvulsan, clonidine, dan preparat herbal seperti
fitoestrogen dapat menjadi alternatif untuk mengatasi gejala
vasomotor.
Antidepresan beberapa obat antidepresan dapat digunakan untuk
meredakan gejala hot flushes. Antidepresan yang paling sering
digunakan adalah venlafaxine, paroxetine, dan fluoxetine. Efek
samping dari antidepresan dapat berupa mual, mulut kering,
insomnia, rasa lelah, disfungsi seksual, dan gangguan
gastrointestinal.
a) Fluoxetine 20 mg per hari
b) Paroxetine 12,5-25 mg per hari
c) Venlafaxine 75 mg per hari
Clonidine adalah agonis alfa-2-adrenergik sentral yang diduga
dapat mengurangi gejala hot flushes dengan menurunkan aktivitas
vaskular perifer. Clonidine dapat digunakan dalam dosis 0,1 mg
per hari. Efek samping dapat berupa hipotensi postural, konstipasi,
dan rasa lelah. Penggunaan gabapentin ditemukan dapat
mengurangi frekuensi dan keparahan hot flushes sebanyak kurang
lebih 2 episode per hari. Dosis yang dianjurkan adalah 900 mg/hari
dalam dosis terbagi. Fitoestrogen adalah molekul sterol yang
diproduksi oleh tumbuhan dengan aktivitas estrogenik lemah,
memiliki struktur yang mirip dengan estrogen pada manusia, dan
dapat berinteraksi dengan reseptor estrogen. Konsumsi isoflavone,
salah satu jenis fitoestrogen, sebanyak 40-80 mg per hari selama 6
bulan dilaporkan dapat mengurangi gejala vasomotor.
Wanita lebih direkomendasikan mengkonsumsi sumber
isoflavone dari makanan daripada suplemen. Makanan yang
banyak mengandung isoflavone adalah produk kacang-kacangan
dan soya.
7. Komplikasi
Komplikasi menopause yang dapat terjadi adalah obesitas, sindrom
metabolik, diabetes, penyakit kardiovaskular, osteoarthritis, penurunan
fungsi kognitif, dementia, dan depresi.
a. Penyakit Kardiovaskular
Saat proses menopause terjadi, penurunan estrogen dapat
mempengaruhi profil lipid. Oleh karenanya, wanita yang sudah
mengalami menopause memiliki peningkatan risiko mengalami
penyakit kardiovaskular seperti stroke dan penyakit jantung koroner
hingga 2-3 kali lipat.
b. Osteoporosis
Osteoporosis pada wanita pasca menopause disebabkan oleh
penurunan densitas tulang akibat defisiensi estrogen, sehingga
meningkatkan risiko terjadinya fraktur tulang vertebra, pelvis,
pergelangan, sakrum, iga, sternum, dan humerus yang pada akhirnya
akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
c. Obesitas
Penurunan kadar estrogen yang mendadak saat menopause
menyebabkan peningkatan lemak subkutan abdominal dan viseral.
Selain itu juga terjadi penurunan lipolisis yang memudahkan
terjadinya obesitas.
Pasien menopause juga mengalami perubahan pola distribusi
lemak dari tipe ginoid menjadi android dan peningkatan total lemak
tubuh. Hal ini merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
resistensi insulin yang akan menimbulkan diabetes mellitus tipe 2.
d. Kulit, Kartilago, dan Jaringan Ikat
Penurunan kadar estrogen saat menopause menyebabkan hilangnya
jaringan ikat penyokong dermis di kulit, diskus intervertebra, dan
kartilago artikular. Prevalensi osteoarthritis ditemukan lebih banyak
pada wanita setelah menopauseDementia, Depresi, dan Penurunan
Fungsi Kognitif Pada tahap transisi dan pasca menopause awal,
sebagian wanita memiliki keluhan sering lupa, sulit berkonsentrasi,
dan berkurangnya daya kognitif secara perlahan. Hal ini dapat
berujung pada dementia dan depresi.[28]
8. Penatalaksaan
Penatalaksanaan umum Merupakan pendapat umum yang salah
bahwa semua masalah klimakterik dan menopause dapat dihilangkan
dengan hanya pemberian estrogen saja. Tujuan pengobatan dengan
estrogen bukanlah memperlambat terjadinya menopause, melainkan
memudahkan wanita-wanita tersebut memasuki masa klimakterium.
Hubungan pribadi yang baik, saling percaya antara suami-istri, maupun
antara dokter-penderita akan memberikan harapan yang besar akan
kesembuhan. Pemberian obat-obat penenang bukanlah cara pengobatan
yang terbaik. Psikoterapi superfisial oleh dokter keluarga sering sekali
menolong.
Pengobatan hormonal Menopause merupakan suatu peristiwa
fisiologis dari keadaan defisiensi estrogen. Sindrom klimakterik pada
umumnya terjadi akibat kekurangan estrogen, sehingga dengan
sendirinya pengobatan yang tepat adalah pemberian estrogen, meski
bukan tanpa risiko. Pada masa lalu, estrogen diberikan untuk selang
waktu yang singkat dan kemudian berangsur-angsur dikurangi sehingga
gejolak panas sirna. Konsep ini tidak berlaku lagi. Seorang wanita yang
mengalami gejala-gejala menopause telah mengidap defisiensi estrogen
dan akan tetap begitu sepanjang hayatnya. Defisiensi estrogen jangka
panjang dapat menyebabkan berkembangnya osteoporosis, penyakit
jantung aterosklerotik, dan mungkin perwujudan psikogenik. Program
yang seimbang dari pengobatan estrogen-pengganti yang dikombinasikan
dengan progestogen siklik merupakan pengobatan terbaik, karena tujuan
nyata dari estrogen-pengganti adalah tidak hanya untuk meredakan
gejala-gejala vasomotor melainkan juga untuk mencegah akibat
metabolik seperti osteoporosis dan ateroskletosis.
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
Biodata
a. Identitas klien (Nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,
pekerjaan, status perkawinan, alamat)       
b. Riwayat Kesehatan Saat Ini (Keluhan Utama)
c. Riwayat Penyakit
d. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
e.  Klien pertama kali haid (menarche)
f. Riwayat Obstetrik dan abortus
g.  Riwayat Kesehatan Keluarga
h. Riwayat Psikospritual (kecemasan, harapan, hubungan dengan
keluarga, keagamaaan, hubungan dengan masyarakat)
i. Kebutuhan dasar
j. Pola sehari hari (pola makan, tidur, eliminasi)
k. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum : TTV     
2) Kulit: mulai keriput, tidak ada lesi, kemerahan.
3)   Kepala: simetris tegak lurus dengan garis tengah tubuh, kulit
kepala bersih, rambut mulai beruban.
4) Muka: tampak cemas, kemerahan, hangat, tumbuh bercak-bercak
kecoklatan.
5) Mata: ikterus (-), pupil isokhor kiri dan kanan, anemis (-),
palpebra hitam
6) Telinga: bentuk simetris kiri dan kanan, pendengaran tidak
terganggu.
7) Hidung: bentuk simetris, fungsi penciuman baik, polip (-) tidak
ditemukan darah/cairan keluar dari hidung.
8) Mulut: bibir agak kering, sianosis (-), lidah dapat dijulurkan
dengan maksimal dan dapat bergerak bebas.
9) Leher: tidak ada pembengkakan kelenjar tiroid, dapat digerakkan
dengan bebas.
10) Dada: bentuk dan gerakan simetris, tidak ada nyeri tekan.
11) Abdomen: tidak ada pembesaran hati, limpa
12) Tungkai/ekstremitas: simetris kiri dan kanan, dapat melakukan
aktivitas dengan baik
13) Kuku: pendek, bersih
l. Pemeriksaan penunjang
2. Diagnosa
a. Disfungsi seksual 
b. Gangguan pola tidur 
c. Ansietas
d. Defisit pengetahuan
3. Intervensi
a. Disfungsi seksual
Edukasi Seksualitas
Observasi:
- Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
Terapeutik:
- Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
- Jadwal pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
- Baerikan kesempatan untuk bertanya
- Fasilitasi kesadaran keluarga terhadap anak dan remaja serta
pengaruh media
Edukasi
- Jelaskan anatomi dan fisiologi system reproduksi laki-laki dan
perempuan
- Jelaskan perkembangan seksualitas sepanjang siklus kehidupan
b. Gangguan Pola Tidur
Dukungan Tidur

Observasi:
- Identifikasi pola aktivitas dan tidur
- Identifikasi faktor pengganggu tidur (fisik dan/atau psikologis)
- Identifikasi makanan dan minuman yang mengganggu tidur (mis.
kopi, teh, alkohol, makanan mendekati waktu tidur, minum banyak
air sebelum tidur)
- Identifikasi obat tidur yang dikonsumsi
Terapeutik:
- Modifikasi lingkungan (mis. pencahayaan, kebisingan, suhu,
matras, dan tempat tidur)
- Batasi waktu tidur siang, jika perlu
- Fasilitasi menghilangkan stres sebelum tidur
- Tetapkan jadwal tidur rutin
- Lakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan (mis. pijat,
pengaturan posisi, terapi akupresur)
- Sesuaikan jadwal pemberian obat dan/atau tindakan untuk
menunjang siklus tidur-terjaga
Edukasi
- Jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit
- Anjurkan menepati kebiasaan waktu tidur
- Anjurkan menghindari makanan/minuman yang mengganggu tidur
- Anjurkan penggunaan obat tidur yang tidak mengandung supresor
terhadap tidur REM
- Ajarkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap gangguan pola
tidur (mis. psikologis:gaya hidup, sering berubah shift bekerja)
- Ajarkan relaksasi otot autogenik atau cara nonfarmakologi lainnya
c. Ansietas
Reduksi Ansietas
Observasi:
- Identifikasi saat tingkat ansietas berubah
- Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
- Monitor tanda-tanda ansietas
Terapeutik:
- Ciptakan suasana teraupetik untuk menumbuhkan kepercayaan
- Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika memungkinkan
- Pahami situasi yang membuat ansietas
- Dengarkan dengan penuh perhatian
- Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
- Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
Edukasi
- Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami
- Informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengobatan, dan
prognosis
- Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien
- Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan
- Latih teknik relaksasi
d. Defisit Pengetahuan
Edukasi Kesehatan
Observasi:
- Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
- Identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan
menurunkan motivasi perilaku perilaku hidup bersih dan sehat
Terapeutik:
- Sediaakan materi dan media pendidikan kesehatan
- Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
- Berikan kesempatan untuk bertanya
Edukasi
- Jelaskan faktor risiko yang dapat mempengaruhi kesehatan
- Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat
- Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan
perilaku hidup bersih dan sehat
DAFTAR PUSTAKA
https://www.alomedika.com/penyakit/obstetrik-dan
ginekologi/menopause/prognosis diakses pada tanggal 10 Februari 2021
pukul 11:45 WIB
https://www.google.com/search?
q=pathway+klimakterium&oq=pathway+&aqs=chrome.1.69i57j35i39l2j0l
5.4015j0j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8 diakses pada tanggal 10
Februari 2021 pukul 10:15 WIB
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta : PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi
1. Jakarta : PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta : PPNI

Anda mungkin juga menyukai