Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA LANSIA DENGAN SINDROM


GERIATRI INSTABILITAS DAN DIAGNOSA MEDIS DIABETES MELLITUS TIPE
2 DI RUANG BOEGENVILE PANTI GRIYA WERDHA JAMBANGAN KOTA
SURABAYA

Dosen Pembimbing Akademik:


Dianis Wulan Sari S.Kep., Ns., M.HS
NIP.198805062017123201

Disusun Oleh:
Sesi Putri Arisandi
NIM. 132113143008

PRAKTIK PROFESI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
KOTA SURABAYA
TAHUN 2021
TINJAUAN TEORI

A. Proses Penuaan
1. Definisi Lansia
Menurut World Health Organization (WHO), lansia adalah seseorang yang
telah memasuki usia 60 tahun ke atas. Lansia merupakan kelompok umur pada
manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok
yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut Aging
Process atau proses penuaan. Seseorang dikatakan lansia ialah apabila berusia 60
tahun atau lebih, karena faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya baik secara jasmani, rohani maupun sosial (Prabasari, Juwita and
Maryuti, 2017).
2. Batasan Usia Lansia
Batasan-batasan lansia dalam (Prabasari, Juwita and Maryuti, 2017) yaitu:
1) Menurut WHO:
a. Usia pertengahan (middle age) kelompok usia 45-59 tahun.
b. Usia lanjut (elderly) antara 60 - 70 tahun.
c. Usia lanjut tua (old) antara 75-90 tahun.
d. Usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun.
2) Menurut UU RI No.13 Tahun 1998:
Usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.
3) Menurut Depkes RI : Usia lanjut digolongkan menjadi 3 golongan yaitu:
a. Kelompok lansia dini (55-64 tahun).
b. Kelompok lansia pertengahan (65 tahun ke atas).
c. Kelompok lansia dengan resiko tinggi (70 tahun keatas).
4) Menurut Bernice Neu Gardon (1975):
a. Lansia muda, yaitu pada orang yang berumur antara 55-75 tahun.
b. Lansia tua, yaitu orang yang berumur lebih dari 75 tahun.
5) Menurut Levinson (1978):
a. Lansia peralihan awal, antara 50-55 tahun.
b. Lansia peralihan menengah, antara 55-60 tahun.
c. Lansia peralihan akhir, antara 60-65 tahun.
3. Tujuan Pelayanan Kesehatan pada Lansia
Tujuan pelayanan kesehatan pada lansia menurut Depkes RI (2016) terdiri
dari:
1) Mempertahankan derajat kesehatan para lansia pada taraf yang setinggi-
tingginya, sehingga terhindar dari penyakit atau gangguan.
2) Memelihara kondisi kesehatan dengan aktivitas fisik dan mental.
3) Mencari upaya semaksimal mungkin agar para lansia yang menderita suatu
penyakit atau gangguan, masih dapat mempertahankan kemandirian yang
optimal.
4) Mendampingi dan memberikan bantuan moril dan perhatian pada lansia yang
berada dalam fase terminal sehingga lansia dapat menghadapi kematian
dengan tenang dan bermartabat. Fungsi pelayanan dapat dilaksanakan pada
pusat pelayanan sosial lansia, pusat informasi pelayanan sosial lansia, dan
pusat pengembangan pelayanan sosial lansia dan pusat pemberdayaan lansia
4. Tugas Perkembangan Lansia
1) Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun.
2) Mempersiapkan diri untuk pensiun.
3) Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya.
4) Mempersiapkan kehidupan baru.
5) Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan social atau masyarakat secara
santai.
6) Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan.
5. Definisi Proses Menua
Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan tahapan-
tahapan menurunnya berbagai fungsi organ tubuh, yang ditandai dengan semakin
rentannya tubuh terhadap berbagai serangan penyakit yang dapat menyebabkan
kematian misalnya pada sistem kardiovaskuler dan pembuluh darah, pernafasan,
pencernaan, endokrin dan lain sebagainya. Hal tersebut disebabkan seiring
meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel,
jaringan, serta sistem organ (Simbolon and Simbolon, 2018).
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam
kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak
hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan
kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah
melalui tiga tahap kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua. Perubahan tersebut
pada umumnya mempengaruhi pada kemunduran kesehatan fisik dan psikis yang
pada akhirnya akan berpengaruh pada ekonomi dan sosial lansia. Sehingga secara
umum akan berpengaruh pada Activity Of Daily Living (Fatimah, 2018).
6. Tahapan Proses Menua
Menurut (Ashar, 2016) proses penuaan dapat berlangsung melalui tiga tahap
yaitu sebagai berikut:
1) Tahap subklinik (usia 25-35 tahun)
Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai
menurun, yaitu hormon testosteron, growth hormon dan hormon estrogen.
Pembentukan radikal bebas dapat merusak sel dan DNA mulai
mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar,
karena itu pada usia ini dianggap usia muda dan normal.
2) Tahap transisi (usia 35-45 tahun)
Pada tahap ini kadar hormon menurun sampai 25%. Massa otot
berkurang sebanyak satu kilogram tiap tahunnya. Pada tahap ini orang
mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan oleh
radikal bebas mulai merusak ekspresi genetik yang dapat mengakibatkan
penyakit seperti kanker, radang sendi, berkurangnya memori, penyakit
jantung koroner dan diabetes.
3) Tahap klinik (usia 45 tahun ke atas)
Pada tahap ini penurunan kadar hormon terus berlanjut yang meliputi
DHEA, melatonin, growth hormon, testosteron, estrogen dan juga hormon
tiroid. Terjadi penurunan bahkan hilangnya kemampuan penyerapan
bahan makanan, vitamin dan mineral. Penyakit kronis menjadi lebih
nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan.
7. Teori Proses Menua
Menurut (Kurnianto, 2015) ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses
penuaan yaitu teori biologi, teori psikologi, teori sosial, dan teori spiritual.
1) Teori biologi
Teori biologi terbagi menjadi lima yaitu teori genetik dan mutasi,
teori immunology slow theory, teori stres, teori radikal bebas, teori rantai
silang. Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut:
a. Teori genetik dan mutasi
Menurut teori genetik dan mutasi, menua terprogram secara
genetik untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi karena
adanya perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul
DNA dan setiap sel akan terjadi mutasi. Pada teori biologi dikenal
dengan pemakaian dan perusakan (wear and tear) yang terjadi
adanya kelebihan usaha dan stres yang menyebabkan sel-sel tubuh
menjadi lelah karena adanya pemakaian.
b. Immunology slow theory
Menurut teori Immunology slow theory adalah sistem imun
menjadi efektif dengan terjadinya peningkatan jumlah usia dan
masuknya virus ke dalam tubuh yang dapat menyebabkan
kerusakan organ tubuh.
c. Teori stres
Berdasarkan teori stres menua terjadi akibat hilangnya sel-sel
yang biasa digunakan ditubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat
mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha
dan stres yang menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.
d. Teori radikal bebas
Teori radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak
stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi
oksigen bahan-bahan organik: karbohidrat dan protein. Radikal ini
dapat menyebabkan sel-sel tidak dapat melakukan regenerasi.
e. Teori rantai silang
Pada teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-
sel yang tua atau usang menyebabkan ikatan yang kuat khususnya
jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastisitas,
kekacauan dan hilangnya fungsi sel.
2) Teori psikologi
Teori psikologi adalah terjadinya perubahan psikologis secara
alamiah karena proses penuaan. Adanya penurunan dari intelektualitas
meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori dan belajar. Pada usia
lanjut menyebabkan sulit untuk dipahami dan berinteraksi. Terjadinya
penurunan fungsi sistem sensorik maka terjadi juga penurunan dalam
menerima, memproses dan merespon stimulus sehingga muncul reaksi
yang berbeda.
3) Teori sosial
Teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan terbagi menjadi
beberapa teori yaitu teori interaksi sosial (social exchange theory), teori
penarikan diri (disengagement theory), teori aktivitas (activity theory),
teori berkesinambungan (continuity theory), teori perkembangan
(development theory) dan teori stratifikasi usia (age stratification theory).
a. Teori interaksi sosial (social exchange theory)
Teori interaksi sosial ini menjelaskan mengapa lansia
bertindak pada situasi tertentu yaitu atas dasar hal-hal yang
dihargai masyarakat. Pada lansia, kekuasaan dan prestisinya
berkurang sehingga menyebabkan interaksi sosial berkurang, yang
tersisa hanyalah harga diri dan kemampuan untuk mengikuti
perintah.
b. Teori penarikan diri (disengagement theory)
Teori penarikan diri ini merupakan teori tentang penuaan yang
diperkenalkan oleh Gumming dan Henry 1961. Kehilangan peran,
berkurangnya komitmen, kemiskinan, hambatan kontak sosial, dan
menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan lansia secara
perlahan lahan mengisolasi diri dari lingkungan sekitarnya.
c. Teori aktivitas (activity theory)
Teori aktivitas ini dikembangkan oleh Palmore 1965 dan
Lemon et al, 1972 teori ini menyatakan bahwa penuaan yang
sukses tergantung dari bagaimana lansia merasakan kepuasan
dalam melakukan aktivitas serta mempertahankan aktivitas yang
penting untuk tetap dilakukan.
d. Teori kesinambungan (continuity theory)
Pada teori kesinambungan menjelaskan tentang pergerakan
dan proses dari berbagai arah, tergantung dari bagaimana
penerimaan seseorang terhadap status kehidupannya. Pengalaman
hidup seseorang merupakan gambaran kelak pada saat menjadi
lansia.
e. Teori perkembangan (development theory)
Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses menjadi
tua merupakan tantangan yang dapat bernilai positif atau negatif.
Akan tetapi teori ini tidak menggariskan bagaimana cara menjadi
tua yang seharusnya diterapkan oleh lansia.
f. Teori stratifikasi usia (age stratification theory)
Teori stratifikasi usia pertama kali diperkenalkan oleh Wiley
(1971), stratifikasi usia berdasarkan usia kronologis yang
menggambarkan serta membentuk adanya perbedaan kapasitas,
peran, kewajiban dan hak berdasarkan usia. Keunggulan teori ini
yaitu dapat digunakan untuk mempelajari sifat lansia secara
berkelompok dan bersifat makro. Kelemahannya yaitu tidak bisa
digunakan untuk menilai lansia secara perorangan.
4) Teori spiritual
James Fowler mempercayai bahwa kepercayaan atau spiritual adalah
suatu kekuatan yang memberi arti bagi kehidupan seseorang dan cara
berhubungan di kehidupan akhir. Teori ini menjelaskan kepercayaan
merupakan orientasi yang bersifat holistik.
8. Perubahan - Perubahan pada Penuaan
Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara
degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri manusia,
tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif, mental, spiritual, psikososial,
dan seksual (Naftali, Ranimpi and Anwar, 2017).
1) Perubahan Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi
adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple
pathology), misalnya tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin
keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Seorang lansia agar
dapat menjaga kondisi fisik yang sehat, perlu menyelaraskan kebutuhan-
kebutuhan fisik dengan kondisi psikologis maupun sosial, dengan cara
mengurangi kegiatan yang bersifat melelahkan secara fisik. Seorang
lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya
makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang. Perubahan fisik yang
terjadi pada lansia di antaranya:
a. Sistem Indra
Sistem pendengaran; Prebiakusis (gangguan pada
pendengaran) oleh karena hilangnya kemampuan (daya)
pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara
atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit dimengerti
kata-kata, 50% terjadi pada usia di atas 60 tahun.
b. Sistem Integumen
Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastis
kering dan berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga
menjadi tipis dan berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropi
glandula sebasea dan glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna
coklat pada kulit dikenal dengan liver spot.
c. Sistem Muskuloskeletal
Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia diantaranya
yaitu jaringan penghubung (kolagen dan elastin), kartilago, tulang,
otot, dan sendi.
d. Sistem Kardiovaskuler
Perubahan pada sistem kardiovaskuler pada lansia adalah
massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertropi
sehingga peregangan jantung berkurang, kondisi ini terjadi karena
perubahan jaringan ikat. Perubahan ini disebabkan oleh
penumpukan lipofusin, klasifikasi SA Node, dan jaringan
konduksi berubah menjadi jaringan ikat.
e. Sistem respirasi
Pada proses penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru,
kapasitas total paru tetap tetapi volume cadangan paru bertambah
untuk mengkompensasi kenaikan ruang paru, udara yang mengalir
ke paru berkurang. Perubahan pada otot, kartilago dan sendi torak
mengakibatkan gerakan pernapasan terganggu dan kemampuan
peregangan toraks berkurang.
f. Pencernaan dan Metabolisme
Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, seperti
penurunan produksi sebagai kemunduran fungsi yang nyata karena
kehilangan gigi, indra pengecap menurun, rasa lapar menurun
(kepekaan rasa lapar menurun), liver (hati) makin mengecil dan
menurunnya tempat penyimpanan, dan berkurangnya aliran darah.
g. Sistem perkemihan
Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang signifikan.
Banyak fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju
filtrasi, ekskresi, dan reabsorpsi oleh ginjal.
h. Sistem saraf
Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan
atropi yang progresif pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami
penurunan koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktifitas
sehari-hari.
i. Sistem reproduksi
Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan
menciutnya ovary dan uterus, atropi payudara. Pada laki-laki testis
masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun adanya
penurunan secara berangsur-angsur.
2) Perubahan Kognitif
Memory (daya ingat, ingatan), IQ (intellegent quotient), kemampuan
belajar (learning), kemampuan pemahaman (comprehension), pemecahan
masalah (problem solving), pengambilan keputusan (decision making),
kebijaksanaan (wisdom), kinerja (performance), dan motivasi.
3) Perubahan Mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental:
a. Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa.
b. Kesehatan umum.
c. Tingkat pendidikan.
d. Keturunan (hereditas).
e. Lingkungan.
f. Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian.
g. Gangguan konsep diri akibat kehilangan kehilangan jabatan.
h. Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman
dan keluarga.
i. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap
gambaran diri, perubahan konsep diri.
4) Perubahan Spiritual Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam
kehidupannya. Lansia semakin matang (mature) dalam kehidupan
keagamaan, hal ini terlihat dalam berpikir dan bertindak sehari-hari.
5) Perubahan Psikososial
a. Kesepian : terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekat
meninggal terutama jika lansia mengalami penurunan kesehatan,
seperti menderita penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau
gangguan sensorik terutama pendengaran.
b. Duka cita (Bereavement) : meninggalnya pasangan hidup, teman
dekat, atau bahkan hewan kesayangan dapat meruntuhkan pertahanan
jiwa yang telah rapuh pada lansia. Hal tersebut dapat memicu
terjadinya gangguan fisik dan kesehatan.
c. Depresi : duka cita yang berlanjut akan menimbulkan perasaan
kosong, lalu diikuti dengan keinginan untuk menangis yang berlanjut
menjadi suatu episode depresi. Depresi juga dapat disebabkan karena
stres lingkungan dan menurunnya kemampuan adaptasi.
d. Gangguan cemas : terdapat beberapa golongan yaitu fobia, panik,
gangguan cemas umum, gangguan stress setelah trauma dan
gangguan obsesif kompulsif. Gangguan-gangguan tersebut
merupakan kelanjutan dari dewasa muda dan berhubungan akibat
penyakit medis, depresi, efek samping obat, atau gejala penghentian
mendadak dari suatu obat.
e. Parafrenia : suatu bentuk skizofrenia pada lansia, ditandai dengan
waham (curiga), lansia sering merasa tetangganya mencuri barang-
barangnya atau berniat membunuhnya. Biasanya terjadi pada lansia
yang terisolasi/diisolasi atau menarik diri dari kegiatan sosial.
f. Sindroma Diogenes : suatu kelainan dimana lansia menunjukkan
penampilan perilaku sangat mengganggu. Rumah atau kamar kotor
dan bau karena lansia bermain-main dengan feses dan urinnya, sering
menumpuk barang dengan tidak teratur. Walaupun telah dibersihkan,
keadaan tersebut dapat terulang kembali.
6) Perubahan Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lansia sering kali
berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti: gangguan jantung,
gangguan metabolisme (diabetes mellitus), vaginitis, baru selesai operasi
prostatektomi, kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau
nafsu makan sangat kurang, penggunaan obat-obat tertentu seperti
antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer.
Sedangkan faktor psikologis yang menyertai seperti: rasa tabu atau
malu bila mempertahankan kehidupan seksual, sikap keluarga dan
masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan
budaya, kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupan,
pasangan hidup telah meninggal, disfungsi seksual karena perubahan
hormonal, atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi,
pikun, dsb.
B. Konsep Instabilitas
1. Definisi
Keseimbangan merupakan kemampuan relatif untuk mengontrol pusat
gravitasi (center of gravity) atau pusat massa tubuh (center of mass) terhadap
bidang tumpu (base of support). Pusat gravitasi (center of gravity) adalah suatu
titik dimana massa dari suatu obyek terkonsentrasi berdasarkan tarikan
gravitasinya. Pada manusia normal, pusat gravitasi terletak di perut bagian bawah
dan sedikit di depan sendi lutut. Agar dapat menjaga keseimbangan, pusat
gravitasi tersebut harus berpindah untuk mengompensasi gangguan yang dapat
menyebabkan orang kehilangan keseimbangannya (Barnedh, 2006).
Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap bagian tubuh dan didukung
oleh sistem muskuloskeletal serta bidang tumpu. Tujuan tubuh mempertahankan
keseimbangan, yaitu untuk menyangga tubuh melawan gaya gravitasi dan faktor
eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar sejajar dan
seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilkan bagian tubuh ketika tubuh
lain bergerak (Irfan, 2012).
Kemampuan untuk menyeimbangkan massa tubuh dengan bidang tumpu
akan membuat manusia mampu untuk beraktivitas secara efektif dan efesien
(Yuliana, 2014). Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau
saksi mata, yang melihat kejadian mengakibatkan seseorang mendadak
terbaring/terduduk di lantai/tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran atau luka (Darmojo, 2009). Ketidakstabilan saat berjalan
dan kejadian jatuh pada lansia merupakan permasalahan serius karena hal
tersebut tidak hanya menyebabkan cedera, melainkan juga dapat menyebabkan
penurunan aktivitas, peningkatan utilisasi pelayanan kesehatan, dan bahkan
kematian.
2. Etiologi
Keseimbangan merupakan kemampuan relatif untuk mengontrol pusat
gravitasi (center of gravity) atau pusat massa tubuh (center of mass) terhadap
bidang tumpu (base of support). Pusat gravitasi (center of gravity) adalah suatu
titik dimana massa dari suatu obyek terkonsentrasi berdasarkan tarikan
gravitasinya. Pada manusia normal, pusat gravitasi terletak di perut bagian bawah
dan sedikit di depan sendi lutut. Agar dapat menjaga keseimbangan, pusat
gravitasi tersebut harus berpindah untuk mengompensasi gangguan yang dapat
menyebabkan orang kehilangan keseimbangannya (Barnedh, 2006).
Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap bagian tubuh dan didukung
oleh sistem muskuloskeletal serta bidang tumpu. Tujuan tubuh mempertahankan
keseimbangan, yaitu untuk menyangga tubuh melawan gaya gravitasi dan faktor
eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar sejajar dan
seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilkan bagian tubuh ketika tubuh
lain bergerak (Irfan, 2012).
Kemampuan untuk menyeimbangkan massa tubuh dengan bidang tumpu
akan membuat manusia mampu untuk beraktivitas secara efektif dan efesien
(Yuliana, 2014). Jatuh adalah salah satu masalah yang sering terjadi pada usia
lanjut akibat perubahan fungsi organ penyakit, dan lingkungan. Jatuh merupakan
suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata, yang melihat kejadian
mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai/tempat yang
lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka (Darmojo, 2009).
Ketidakstabilan saat berjalan dan kejadian jatuh pada lansia merupakan
permasalahan serius karena hal tersebut tidak hanya menyebabkan cedera,
melainkan juga dapat menyebabkan penurunan aktivitas, peningkatan utilisasi
pelayanan kesehatan, dan bahkan kematian.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorik, pedoman praktik klinis merekomendasikan, paling
tidak dilakukan pemeriksaan kalsium serum, kreatinin, alkali fosfatase, enzim
hati, dan darah lengkap. Hasil pemeriksaan tersebut dapat menginformasikan
pemilihan terapi osteoporosis dan mengeliminasi penyakit lainnya yang dapat
mendasari serta beberapa bentuk penyakit tulang metabolik. Pemeriksaan lebih
lanjut yang dapat dilakukan meliputi elektroforesis protein serum, tes fungsi
tiroid, kalsium urin 24 jam, dan hormon paratiroid. Pemeriksaan free testosteron
serum dapat dilakukan untuk menyingkirkan kecurigaan hipogonadisme.
Pemberian suplemen testosteron rutin untuk laki-laki lanjut usia tanpa gejala
hipogonadisme berat tidak dianjurkan (Kepel et. al, 2020).
4. Pemeriksaan Resiko Jatuh (TUGT)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai resiko jatuh, keseimbangan dan
gaya berjala pada lansia (Barry, E., et all, 2014). Peneliti melaporkan sensitivitas
80% dan spesifisitas 100% untuk pemeriksaan resiko jatuh dengan menggunakan
TUG (Barry, E., et all, 2014). Hasil pemeriksaan TUGT menunjukan hasil
berikut: ≤ 14 detik Tidak berisiko jatuh > 14 detik Resiko tinggi jatuh >24
detik Diperkirakan jatuh dalam kurun waktu 6 bulan >30 detik Diperkirakan
membutuhkan bantuan dalam mobilisasi dan melakukan ADL.
5. Komplikasi
Jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik dan
psikologis. Kerusakan fisik yang paling ditakuti dari kejadian jatuh adalah patah
tulang panggul. Jenis fraktur lain yang sering terjadi akibat jatuh adalah fraktur
pergelangan tangan, lengan atas dan pelvis serta kerusakan jaringan lunak.
Dampak psikologis adalah walaupun cedera fisik tidak terjadi, syok setelah jatuh
dan rasa takut akan jatuh lagi dapat memiliki banyak konsekuensi termasuk
ansietas, hilangnya rasa percaya diri.
Penbatasan dalam aktivitas sehari-hari, falafobia atau fobia jatuh (Gardner,
2000). Komplikasi-komplikasi jatuh adalah:
a. Cedera: Cedera mengakibatkan rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat
sakit berupa robek atau tertariknya jaringan otot, robeknya arteri/vena, patah
tulang atau fraktur misalnya fraktur pelvis, femur, humerus, lengan bawah,
tungkai atas.
b. Disabilitas: Disabilitas mengakibatkan penurunan mobilitas yang berhubungan
dengan perlukaan fisik dan penurunan mobilitas akibat jatuh yaitu kehilangan
kepercayaan diri dan pembatasan gerak.
c. Kematian
6. WOC
Lansia

Faktor intrinsik penurunan kekuatan Faktor ektrinsik antara lain


otot, fungsi fisik dan kognitif, lingkungan yang tidak mendukung
gangguan muskuloskeletal yang meliputi cahaya ruangan yang
dapat menyebabkan gangguan kurang terang, lantai yang licin,
berjalan, kelemahan ekstremitas tempat berpegangan yang tidak kuat.
bawah.

Ketidakseimbangan gaya MK. Risiko Jatuh


berjalan

Kejadian jatuh

Ketidakmampuan dalam Cedera


merawat diri sendiri.
MK. Risiko Cedera
MK. Defisit Perawatan
Diri

Fraktur, peradangan
pada tulang.

MK. Nyeri Akut MK. Gangguan Penurunan fungsi fisik


Mobilitas fisik

MK. Ansietas
C. Konsep Diabetes Mellitus
1. Definisi
Diabetes melitus merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang ditandai
dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat kerusakan pada
sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (Smeltzer dan Bare, 2015).
Diabetes melitus adalah sindroma gangguan metabolisme dengan
hiperglikemi kronik akibat defisiensi sekresi insulin atau berkurangnya efektifitas
biologis dari insulin yang disertai berbagai kelainan metabolik lain akibat
gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata,
ginjal, saraf dan pembuluh darah ( Rendy dan Margareth, 2012).
Diabetes melitus merupakan gangguan metabolisme kronis yang ditandai
dengan tingginya kadar gula darah sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Hal
tersebut dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel
beta langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel
tubuh terhadap insulin (Sunaryati dalam Masriadi, 2016).
2. Etiologi
1) Penyebab Diabetes Melitus berdasarkan klasifikasi menurut WHO tahun
1995 adalah: DM Tipe I (IDDM: DM tergantung insulin).
a. Faktor genetik / herediter
Faktor herediter menyebabkan timbulnya DM melalui
kerentanan sel-sel beta terhadap penghancuran oleh virus atau
mempermudah perkembangan antibodi autoimun melawan sel-sel
beta, jadi mengarah pada penghancuran sel-sel beta.
b. Faktor infeksi virus berupa infeksi virus coxakie dan Gondogen
yang merupakan pemicu yang menentukan proses autoimun pada
individu yang peka secara genetik
2) DM Tipe II (DM tidak tergantung insulin = NIDDM)
Terjadi paling sering pada orang dewasa, dimana terjadi obesitas pada
individu obesitas dapat menurunkan jumlah resoptor insulin dari dalam
sel target insulin diseluruh tubuh. Jadi membuat insulin yang tersedia
kurang efektif dalam meningkatkan efek metabolik yang biasa.
3) DM Malnutrisi
a. Fibro Calculous Pancreatic DM (FCPD)
b. Terjadi karena mengkonsumsi makanan rendah kalori dan rendah
protein sehingga klasifikasi pangkreas melalui proses mekanik
(Fibrosis) atau toksik (Cyanide) yang menyebabkan sel-sel beta
menjadi rusak.
c. Protein Defisiensi Pancreatic Diabetes Melitus (PDPD)
Karena kekurangan protein yang kronik menyebabkan hipofungsi
sel Beta pankreas.
4) DM Tipe Lain
a. Penyakit pankreas seperti : pancreatitis, Ca Pancreas dll.
b. Penyakit hormonal Seperti: Acromegali yang meningkat GH
(growth hormon) yang merangsang sel-sel beta pankeras yang
menyebabkan sel-sel ini hiperaktif dan rusak.
c. Obat-obatan
a) Bersifat sitotoksin terhadap sel-sel seperti aloxan dan
streptozerin.
b) Yang mengurangi produksi insulin seperti derifat thiazide,
phenothiazine dll.
3. Manifestasi Klinis
Adanya penyakit diabetes mellitus ini pada awalnya seringkali tidak
dirasakan dan tidak disadari oleh penderita. Manifestasi klinis Diabetes Melitus
dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Jika hiperglikemianya
berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria.
Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan
pengeluaran urine (poliuria) jika melewati ambang ginjal untuk ekskresi glukosa
yaitu ± 180 mg/dl serta timbulnya rasa haus (polidipsia). Rasa lapar yang
semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori
(Price dan Wilson, 2012).
Pasien dengan diabetes tipe I sering memperlihatkan awitan gejala yang
eksplosif dengan polidipsia, pliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah,
somnolen yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat
menjadi sakit berat dan timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak
mendapatkan pengobatan segera. Terapi insulin biasanya diperlukan untuk
mengontrol metabolisme dan umumnya penderita peka terhadap insulin.
Sebaliknya pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak
memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan
pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada
hiperglikemia yang lebih berat pasien tersebut mungkin menderita polidipsia,
poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis
karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif.
Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk mnenghambat
ketoasidosis (Price dan Wilson, 2012).
Gejala dan tanda-tanda DM dapat digolongkan menjadi 2 yaitu gejala akut
dan gejala kronik (PERKENI, 2015) :
1) Gejala akut penyakit DM
Gejala penyakit DM bervariasi pada setiap penderita, bahkan
mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu.
Permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (poli) yaitu
banyak makan (poliphagi), banyak minum (polidipsi), dan banyak
kencing (poliuri). Keadaan tersebut, jika tidak segera diobati maka akan
timbul gejala banyak minum, banyak kencing, nafsu makan mulai
berkurang atau berat badan turun dengan cepat (turun 5-10 kg dalam
waktu 2-4 minggu), mudah lelah, dan bila tidak lekas diobati, akan
timbul rasa mual.
2) Gejala kronik penyakit DM
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM adalah
kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa
tebal di kulit, kram, mudah mengantuk, mata kabur, biasanya sering
ganti kacamata, gatal di sekitar kemaluan terutama pada wanita, gigi
mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun, dan para
ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam
kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg.
4. Patofisiologi
Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin
karena selsel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun.
Hiperglikemi puasa terjadi akibat produkasi glukosa yang tidak terukur oleh hati.
Di samping itu glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam
hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia
posprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi
maka ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar,
akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria).
Ketika glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini
akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini
dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan,
pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus
(polidipsia). Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan
lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami
peningkatan selera makan (polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori.
Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal
insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan
glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari dari asam-asam amino dan
substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi
tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia.
Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan
produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan
keton merupakan asam yang menggangu keseimbangan asam basa tubuh apabila
jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat menyebabkan
tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas
berbau aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran,
koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai
kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan
mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai
pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen terapi yang
penting.
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan
insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin
akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat
terikatnya insulin dengan resptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai
dengan penurunan reaksi intrasel ini.
Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk
mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah
insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan
ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun
demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan
akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II.
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas DM tipe II,
namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah
pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu
ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian,
diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya
yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketoik (HHNK).
Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia lebih
dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat
(selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat
berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering
bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsi, luka
pada kulit yang lama sembuh-sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur
(jika kadra glukosanya sangat tinggi).
5. Pemeriksaan Penunjang
Penentuan diagnosa Diabetes Mellitus adalah dengan pemeriksaan antara
lain:
1) Gula darah puasa (GDO) 70-110 mg/dl. Kriteria diagnostik untuk DM > 140
mg/dl paling sedikit dalam 2 kali pemeriksaan. Atau > 140 mg/dl disertai
gejala klasik hiperglikemia atau IGT 115-140 mg/dl.
2) Gula darah 2 jam post prondial <140 mg/dl digunakan untuk skrining atau
evaluasi pengobatan bukan diagnostik.
3) Gula darah sewaktu < 140 mg/dl digunakan untuk skrining bukan diagnostik.
4) Tes toleransi glukosa oral (TTGO). GD < 115 mg/dl ½ jam, 1 jam, 1 ½ jam <
200 mg/dl, 2 jam < 140 mg/dl.
5) Tes toleransi glukosa intravena (TTGI) dilakukan jika TTGO merupakan
kontraindikasi atau terdapat kelainan gastrointestinal yang mempengaruhi
absorbsi glukosa.
6) Tes toleransi kortison glukosa, digunakan jika TTGO tidak bermakna.
Kortison menyebabkan peningkatan kadar glukosa abnormal dan
menurunkan penggunaan gula darah perifer pada orang yang berpredisposisi
menjadi DM kadar glukosa darah 140 mg/dl pada akhir 2 jam dianggap
sebagai hasil positif.
7) Glycosetat hemoglobin, memantau glukosa darah selama lebih dari 3 bulan.
8) C-Pepticle 1-2 mg/dl (puasa) 5-6 kali meningkat setelah pemberian glukosa.
9) Insulin serum puasa: 2-20 mu/ml post glukosa sampai 120 mu/ml, dapat
digunakan dalam diagnosa banding hipoglikemia atau dalam penelitian
diabetes.
6. Penatalaksanaan
Pada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan disertai
dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2 minggu). Bila
setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran
metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensi farmakologik dengan obat -
obat anti diabetes oral atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam
keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, DM dengan stres
berat, berat badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat segera diberikan.
Pada keadaan tertentu obat-obat anti diabetes juga dapat digunakan sesuai
dengan indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Pemantauan kadar glukosa
darah bila dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah mendapat
pelatihan khusus untuk itu (PERKENI, 2015).
Menurut Smeltzer dan Bare (2015), tujuan utama penatalaksanaan terapipada
Diabetes Mellitus adalah menormalkan aktifitas insulin dan kadar glukosa darah,
sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk menghindari terjadinya
komplikasi. Tatalaksana diabetes terangkum dalam 4 pilar pengendalian diabetes.
Empat pilar pengendalian diabetes, yaitu :
1) Edukasi
Penderita diabetes perlu mengetahui seluk beluk penyakit diabetes.
Dengan mengetahui faktor risiko diabetes, proses terjadinya diabetes, gejala
diabetes, komplikasi penyakit diabetes, serta pengobatan diabetes, penderita
diharapkan dapat lebih menyadari pentingnya pengendalian diabetes,
meningkatkan kepatuhan gaya hidup sehat dan pengobatan diabetes.
Penderita perlu menyadari bahwa mereka mampu menanggulangi diabetes,
dan diabetes bukanlah suatu penyakit yang di luar kendalinya. Terdiagnosis
sebagai penderita diabetes bukan berarti akhir dari segalanya.
Edukasi (penyuluhan) secara individual dan pendekatan berdasarkan
penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil.
2) Pengaturan makan (Diit)
Pengaturan makan pada penderita diabetes bertujuan untuk
mengendalikan gula darah, tekanan darah, kadar lemak darah, serta berat
badan ideal. Dengan demikian, komplikasi diabetes dapat dihindari, sambil
tetap mempertahankan kenikmatan proses makan itu sendiri. Pada
prinsipnya, makanan perlu dikonsumsi teratur dan disebar merata dalam
sehari. Seperti halnya prinsip sehat umum, makanan untuk penderita diabetes
sebaiknya rendah lemak terutama lemak jenuh, kaya akan karbohidrat
kompleks yang berserat termasuk sayur dan buah dalam porsi yang
secukupnya, serta seimbang dengan kalori yang dibutuhkan untuk aktivitas
sehari-hari penderita.
3) Olahraga / Latihan Jasmani
Pengendalian kadar gula, lemak darah, serta berat badan juga
membutuhkan aktivitas fisik teratur. Selain itu, aktivitas fisik juga memiliki
efek sangat baik meningkatkan sensitivitas insulin pada tubuh penderita
sehingga pengendalian diabetes lebih mudah dicapai. Porsi olahraga perlu
diseimbangkan dengan porsi makanan dan obat sehingga tidak
mengakibatkan kadar gula darah yang terlalu rendah.
Panduan umum yang dianjurkan yaitu aktivitas fisik dengan intensitas
ringan-selama 30 menit dalam sehari yang dimulai secara bertahap. Jenis
olahraga yang dianjurkan adalah olahraga aerobik seperti berjalan, berenang,
bersepeda, berdansa, berkebun, dll.
Penderita juga perlu meningkatkan aktivitas fisik dalam kegiatan sehari-
hari, seperti lebih memilih naik tangga ketimbang lift, dll. Sebelum olahraga,
sebaiknya penderita diperiksa dokter sehingga penyulit seperti tekanan darah
yang tinggi dapat diatasi sebelum olahraga dimulai.
4) Obat / Terapi Farmakologi
Obat oral ataupun suntikan perlu diresepkan dokter apabila gula darah
tetap tidak terkendali setelah 3 bulan penderita mencoba menerapkan gaya
hidup sehat di atas. Obat juga digunakan atas pertimbangan dokter pada
keadaan-keadaan tertentu seperti pada komplikasi akut diabetes, atau pada
keadaan kadar gula darah yang terlampau tinggi.
7. WOC
WOC DIABETES MELLITUS
TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN
A. Konsep Carrol A Miller
Model teori yang diperkenalkan oleh Carol disebut teori konsekuensi fungsional
untuk promosi kesehatan bagi lansia (Functional Consequences Theory for Promoting
Wellness in Older Adults). Perawat dapat menggunakan model keperawatan ini di
berbagai situasi dimana tujuan dari keperawatannya ialah promosi kesehatan bagi lansia.
Teori ini dikembangkan untuk menjelaskan keunikan dari promosi kesehatan untuk
lansia dan bagaimana penerapan keperawatan untuk kebutuhan kesehatan bagi lansia.
B. Fokus Pengkajian
1) Nama wisma dan tanggal pengkajian
2) Identitas Klien
Meliputi nama, umur, dan alamat pasien sesuai kartu identitas. Tanggal datang di
panti dan lama tinggal. Penyesuaian dapat dilihat dari rekam medik milik panti.
3) Data Keluarga Berisi identitas anggota keluarga klien yang bertanggung jawab
terhadap diri klien dalam pengambilan keputusan terkait pembiayaan, tindakan medis
dan perawatan.
4) Status Kesehatan Sekarang
a. Keluhan utama: pada umumnya klien mengalami Nyeri pada sendi lutut, adanya
kekakuan sendi.
b. Obat-obatan: obat-obatan, herbal dan jamu yang dikonsumsi oleh klien dalam
kurun waktu 2 minggu terakhir dan pada saat pengkajian dilakukan.
5. Age Related Changes
Perubahan terkait proses penuaan. Perubahan yang terjadi meliputi aspek fisik,
psikososial dan spiritual
a. Kondisi Umum: Secara umum klien tampak letih dan lemah, serta pandangan
seperti kosong.
b. Integumen: Dalam batas normal.
c. Hematopic: Dalam batas normal.
d. Kepala: Dalam batas normal.
e. Mata: Biasanya klien mengalami penuruan penglihatan akibat usia.
f. Telinga: Biasanya klien mengalami penurunan pendengaran akibat usia.
g. Hidung Sinus: Dalam batas normal.
h. Mulut, Tenggorokan: Dalam batas normal.
i. Leher: Dalam batas normal.
j. Pernafasan: Dapat ditemukan adanya peningkatan frekuensi nafas atau dalam
batas normal.
k. Kardiovaskular: Dalam batas normal.
l. Gastrointestinal: Dalam batas normal.
m. Perkemihan: Biasanya terdapat urgency (rasa ingin berkemih secara tiba-tiba),
atau dalam batas normal
n. Reproduksi: Dalam batas normal.
o. Muskuloskeletal: mengalami kelemahan otot, dan menurunnya ADL klien,
penggunaan alat bantu jalan berupa tongkat.
p. Persyarafan: klien dapat mengingat kejadian di masa lampau, benda atau suatu
barang, dan atau peristiwa yang baru saja terjadi.
6. Potensi Pertumbuhan Psikososial dan Spiritual Kondisi spiritual klien bergantung
terhadap kondisi kesehatan klien.
7. Lingkungan: Dalam kondisi baik.
8. Negative Functional Consequences.
a. Kemampuan ADL (indeks barthel)
b. Aspek Kognitif (aspek ini diukur apabila pada pengkajian psikososial diketahui
klien sulit berkonsentrasi, kehilangan memori.)
c. Tes Keseimbangan (diukur dengan menggunakan Time Up Go Test apabila
diketahui lansia memiliki hambatan pada pelaksanaan ADL, kondisi setelah
stroke, fraktur pada kaki, dan membutuhkan asistensi untuk mobilisasi.).
d. Kecemasan, GDS (diukur dengan menggunakan Geriatric Depression Scale
apabila pada pengkajian psikososial lansia ditemukan ada kecemasan dan tanda
depresi.
e. Status Nutrisi (Diukur dengan menggunakan American Dietetic Association and
National Council on the Aging apabila pada pengkajian sistem gastrintestinal
ditemukan kelainan, serta ada perubahan nafsu makan dan penurunan berat badan)
f. Hasil Pemeriksaan Diagnostik (hasil pemeriksaan diagnostik yang diagnostik yang
pernah dilakuakan oleh klien).
g. Fungsi Sosial Lansia (diukur apabila pada mekanisme koping klien menunjukkan
mekanisme koping negatif, disertai adanya depresi dan kecemasan.
C. Diagnosa Keperawatan
1) Risiko jatuh (D.0143).
2) Gangguan mobilitas fisik (D.0054).
3) Risiko cedera (D.0136)
D. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI
.
1. Gangguan mobilitas fisik Mobilitas Fisik (L.05042) Dukungan Mobilisasi
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan (I.05173)
penurunan kekuatan otot keperawatan kemampuan Observasi
(D.0054). dalam gerakan fisik dari - Identifikasi toleransi
satu atau lebih ekstremitas fisik melakukan
secara mandiri meningkat, pergerakan
dengan kriteria hasil: Terapeutik
- Pergerakan ektremitas - Libatkan keluarga
sedang untuk membantu
- Kekuatan otot sedang pasien dalam
- ROM sedang meningkatkan
pergerrakan
Edukasi
- Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan
2. Risiko Jatuh dibuktikan Tingkat Jatuh (L.14138) Pencegahan Jatuh
dengan factor risiko Setelah dilakukan tindakan (I.14540)
keperawatan tingkat jatuh Observasi
D.0143 menurun, dengan kriteria - Identifikasi factor
hasil: resiko
- Jatuh dari tempat tidur - Identifikasi faktor
menurun lingkungan yang
- Jatuh saat berdiri meningkatkan risiko
menurun jatuh
- Jatuh saat duduk - Hitung risiko jatuh
menurun menggungakan skala
- Jatuh saat berjalan Terapeutik
menurun - Pastikan roda tempat
- Jatuh saat dikamar tidur dan kursi roda
mandi menurun selalu dalam keadaan
- Jatuh saat naik tangga terkunci
menurun - Pasang pengaman pad
atempat tidur
- Posisi tempat tidur
rendah
- Gunakan alat bantu
berjalan
Edukasi
- Anjurkan
berkonsentrasi untuk
menjaga
keseimbangan tubuh
- Anjurkan melebarkan
jarak kedua kaki
untuk meningkatkan
keseimbangan saat
berdiri
3. Risiko Cedera dibuktikan Tingkat Cedera (L.04136) Manajemen
dengan perubahan fungsi Setelah dilakukan tindakan Keselamatan
psikomotor keperawatan pola kebiasaan Lingkungan (I.04513)
buang air kecil membaik, Observasi
D.0136 dengan kriteria hasil: - Identifikasi kebutuhan
- Kejadian cedera keselamatan
menurun - Monitor perubahan
- Luka/lecet menurun status keselamatan
lingkungan
Terapeutik
- Hilangkan bahaya
keselamatan
lingkungan
- Modifikasi lingkungan
untuk meminimalkan
bahaya dan risiko
- Sediakan alat bantu
keamanan lingkungan
Edukasi
- Ajarkan individu ,
keluarga, dan
kelompok risiko tinggi
bahaya lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
Ermawati & Sudarji, S., 2013. Kecemasan Menghadapi Kematian pada Lanjut Usia.
Psibernetika Universitas Bunda Mulya, 6(1).
Indrayani dan Sudarto. 2018. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kualitas HidupLansia
di Desa Cipasung Kabupaten Kuningan Tahun 2017. Jurnal Kesehatan Reproduksi, 9
(1). Universitas Indonesia.
Klatz, R. & Goldman, R., 2007. The Official Anti Aging Revolution: Stop the Clock, Time is
on Your Side for a Younger, Stronger, Happier You. 4th ed. United States: Basic
Health Publications, Inc.
Maryam, R. S., 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika.
Miller, C, A. (2012). Nursing for wellness in older adults, 6th edition. China:
LippincottWilliams & Wilkins
Prabasari, dkk. 2017. Pengalaman Keluarga Dalam Merawat Lansia Di Rumah(Studi
Fenomenologi)(Family Experience in Caring For Eldery At Home
(Phenomenological Study)). Jurnal Ners Lentera, Vol. 5, No. 1.

Anda mungkin juga menyukai