Anda di halaman 1dari 5

1.

Teori konseling eklektik


Latipun (2011) mengemukakan pendekatan konseling eklektik adalah suatu
pendekatan yang berusaha menyelidiki berbagai sistem metode dan teori dengan tujuan
untuk memahami dan menerapkannya dalam situasi konseling. Pendekatan eklektik juga
dikenal sebagai konseling integratif. Hal ini tentu saja disebabkan karena orientasi
pendekatan eklektik adalah penggabungan teori-teori konseling dengan
mempetimbangkan kelebihan dan kekurangan pada masing-masing teori tersebut. Karena
dalam praktiknya pendekatan elektrik menggunakan semua teori konseling maka
pendekatan ini tidak pernah menggunakan konsep-konsep teori secara tetap tetapi akan
memilih konsep teori apakah yang paling sesuai dengan masalah konseli. Oleh karena itu,
pendekatan eklektik bersifat fleksibel dalam penggunaannya. Selain itu, pendekatan
eklektik juga besifat ilmiah, sistematik dan logis.
Konseling eklektik dapat disebut dengan pendekatan konseling integratif, yang
menunjukkan dalam konseling ini berpegang pada pandangan teoritis dan pendekatan,
yang merupakan perpaduan dari berbagai unsur yang diambil atau dipilih dari berbagai
konsepsi serta pendekatan.Tujuan dari layanan ini adalah menggantikan tingkah laku
yang terlalu kompulsif dan emosional dengan tingkah laku yang bercorak lebih rasional
dan lebih konstruktif.
Promotor utama dari konseling eklektik adalah Frederick Thorne yang mulai
mengelola majalah Journal of Clinical Psychology pada tahun 1945 dan menyebarkan
luaskan rangkaian pandangannya dalam beberapa buku, antara lain Principles of
Personality Counseling.
Dryden & Norcross dalam Gunarsa (1992) mengemukakan bahwa konseling eklektik
adalah memilih apa yang baik dari berbagai macam sumber, gaya dan sistem untuk
menghadapi masalah-masalah khusus. Menurut Gilliland dalam Arintoko (2011)
mengemukakan bahwa konseling eklektik adalah teori konseling yang tidak memiliki
teori atau prinsip khusus tentang kepribadian. Sedangkan pandangan Shertzer & Stone
dalam buku Fundamentals of Counseling, konseling eklektik sebagaimana dikonsepsikan
oleh Thorne mengandung unsur positif dan negatif.
Cooper (Surya, 2003) menyarankan bahwa tiga bentuk dasar pengalaman (afektif,
kognitif dan behavioral) menggambarkan unsur-unsur internal sistem lingkungan klien.
Kemudian hal itu dipengaruhi oleh lingkungan eksternal siswa yang terdiri atas faktor
keluarga, sosial yang berada diluar diri pribadi siswa. Konselor yang menggunakan
model eklektik akan memandang masalah siswa dalam kaitan dengan unsur-unsur
eksternal dan internal. Dari uraian diatas dapat dikemukakan bahwa konseling eklektik
adalah konseling yang memilih teori yang baik dari bermacam- macam teori, metode dan
pengalaman- pengalaman praktik untuk dipergunakan bersama-sama dalam menghadapi
konseli.
Konseling integratif digunakan untuk menggambarkan integrasi dua atau lebih
terapis atau integrasi teknik-teknik konseling (atau disebut ekletisisme teknik), atau
integrasi terapi dan teknik. Konseling integratif tidak terikat pada terapi tunggal karena
para praktisi mempunyai pandangan bahwa tak ada pendekatan tunggal yang bisa bekerja
untuk setiap klien dalam setiap situasi. Masih menurut Seligman (2001), jika konselor
ingin memformulasikan suatu pendekatan eklektik atau integratif, mereka harus
mengalamatkan sejumlah pertanyaan, diantaranya adalah:
a. Apa pandangan teori ini terhadap sifat dasar manusia.
b. Menurut teori ini, bagaimana perubahan perilaku dapat difasilitasi.
c. Informasi apa yang harus diperoleh pada wawancara awal.
d. Ketrampilan apa yang dituntut dalam teori ini.
e. Berapa lama program perlakuan harus dilaksanakan.
f. Dibawah kondisi lingkungan seperti apa pendekatan ini bisa efektif.

Beberapa Model Pendekatan Konseling Integratif Konseling kognitif-perilaku merupakan


satu contoh yang paling jelas dari pendekatan konseling yang menggunakan pendekatan
eklektikdan integratif yang sistematis. Guna melawan OD]\ HFOHFWLVP atau syncretism para
ahli telah mengembangkan suatu pendekatan eklektik dan integratif yang sitematis dan logis.
Yaitu di luar konseling kognitif-perilaku.

2. Tujuan Konseling Eklektik

Tujuan konseling menurut eklektik adalah membantu klien mengembangkan


integritasnya pada level tertinggi, yang ditandai oleh adanya aktualisasi diri dan integritas yang
memuaskan. Untuk mencapai tujuan yang ideal ini maka klien perlu dibantu untuk menyadari
sepenuhnya situasi masalahnya, mengajarkan klien secara sadar dan intensif mamiliki latihan
pengendalian di atas masalah tingkah laku. Eklektik berfokus pada tingkah laku, tujuan, masalah,
dan sebagainya.
3. Peran Konselor Eklektik

Peran konselor eklektik sebenarnya tidak terdefinisi secara khusus. Hanya saja
dikemukakan peran konselor sangat ditentukan oleh pendekatan yang digunakan dalam proses
konseling itu. Jika dalam proses konseling itu menggunakan psikoanalisis, maka peran konselor
adalah sebagai psikoanalisis, sementara jika pendekatan yang digunakan adalah berpusat pada
konseli maka perannya sebagai pertner konseli dalam membuka diri terhadap segenap
pengalamannya.
Beberapa ahli eklekik memberi penekanan bahwa konselor perlu memberi perhatian
kepada konseli, menciptakan iklim yang kondusif bagi perubahan yang diinginkan konseli. Pada
dasarnya seluruh pendekatan berkeinginan membantu konseli mengubah diri konseli
sebagaimana yang dia alami. Konselor dalam mencapai tujuan ini dapat berperan secara
bervariasi, misalnya sebagai konselor, psikiater, guru, konsultan, fasilitator, mentor, advisor, atau
pelatih.
4. Teknik Konseling Eklektik
Pendapat yang paling relevan bagi konselor yang menggunakan teknik eklektik adalah
tingkat keaktifan konselor dalam bekerja dengan klien. Setelah menelusuri sejarah dari dasar
pemikiran tentang peran konselor, Thorne membuat kesimpulan tentang penggunaan teknik aktif
dan teknik pasif. Metode aktif harus digunakan hanya dengan indikasi tertentu. Sedangkan
metode pasif harus digunakan bila memungkinkan. Pada umumnya, teknik tersebut hanya
meminimalkan campur tangan secara langsung yang  diperlukan untuk mencapai tujuan
konseling. Berikut penjelasan dari teknik aktif dan pasif :
1) Teknik pasif biasanya menggunakan teknik pilihan pada tahap awal terapi saat
klien bercerita dan untuk melepaskan emosional.
2) Hukum parsimoni harus diamati setiap saat. Metode yang sulit digunakan setelah
metode sederhana gagal dilakukan.
3) Semua proses konseling berpusat pada klien. Ini berarti bahwa kepentingan klien
menjadi pertimbangan utama. Ini tidak berarti bahwa metode aktif kontra-
indikasi. Dalam banyak kasus, kebutuhan klien menunjukkan tindakan direktif.
4) Memberi kesempatan kepada setiap klien untuk menyelesaikan masalahnya
secara tidak langsung.
5) Teknik aktif biasanya ditunjukkan dalam situasi ketidakmampuan dimana solusi
tidak dapat dicapai tanpa kerja sama dengan orang lain.
6) Konseling eklektik cenderung mengutamakan klien yang aktif dan konselor yang
pasif. Tetapi bila teknik pasif yang dilakukan konselor mengalami hambatan,
maka konselor baru menggunakan teknik aktif.
7) Teknik pemecahan masalah juga dilaksanakan dengan sangat flaksibel, jika
alternatif pemecahan masalah yang semula ternyata tidak efektif maka
pemecahan masalah dapat diganti dengan cara-cara lain yang lebih efektif.
Konselor membutuhkan fleksibilitas pemikiran dan fleksibilitas dalam
pemecahan masalah
5. Kelebihan dan Keterbatasan Pendekatan Konseling Eklektik
Kelebihan
a. Dapat menciptakan suatu sistematika dalam memberikan layanan konseling.
b. Menghindari posisi dogmatik dan kaku dengan berpegang pada satu kerangka teoretis
dan pendekatan praktis saja.
c. Proses konseling bersifat efektif karena menetapkan/memadukan berbagai pendekatan
dengan menggunakan berbagai variasi prosedur dan teknik, sehingga dapat melayani
klien sesuai dengan kebutuhannya dan sesuai dengan ciri khas masalah yang dihadapi.
d. Konselor dianggap lebih fleksibel karena dapat berada dalam continue dari direktif dan
nondirektif.
Keterbatasan
a. Pendeatan konseling elektik adalah teori konseling yang tidak memiliki teori atau prinsip
khusus tentang kepribadian.
b. Dibutuhkan konselor yang benar-benar profesional karena menjadi mahir dalam
penerapan satu pendekatan konseling tertentu sudah cukup sulit bagi seorang konselor,
apalagi mengembangkan suatu pendekatan konseling yang memadukan unsur-unsur dari
berbagai pendekatan konseling;
c. Konseling dapat merasa bingung bila konselor mengubah-ubah siasatnya sesuai dengan
keadaan konseli pada fase-fase tertentu dalam proses konseling
d. Masih diragukan apakah konselor mampu menentukan siasat yang paling sesuai hanya
berdasarkan reaksi dan tanggapan konseli pada saat-saat tertentu selama proses konseling
berlangsung.

Anda mungkin juga menyukai