Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

“IRRITABLE BOWEL SYNDROME (IBS) ”

DOSEN PENGAMPU

Apt. Cahyani Purnasari, S.Si, M.Si

DISUSUN OLEH :

Inriani Lapidjahi 204111006


Luki Valentino Panie 204111019
Lidia Bulu 204111020
Heriberta Sandy Triyani Seran 204111009
Hubertus Silvia Anggrio Bili 204111002
Styvani Rensini 204111022
Tri Astuti Tlonaen 204111023
Victoris Umbu lanni 204111018

KELAS : FARMASI A

SEMESTER : III

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS CITRA BANGSA

KUPANG

2021
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul IRRITABLE BOWEL
SYNDROME (IBS) ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Farmakologi dan Toksikologi. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang IBS bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada dosen pengampu, apt.selaku


dosen mata kuliah Farmakologi dan Toksikologi, serta kepada semua pihak yang telah mendukung
serta membantu penyelesaian makalah ini.

Penulis menyadari, makalah yang ditulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang bersifat membangun yang ditunjukan demi kesempurnaan makalah ini sangat
penulis nantikan.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat menjadi pedoman atau referensi bagi para
pembaca serta menambah wawasan terkait IBS.

Kupang, 13 Januari 2021

Penulis
Daftar Isi
BAB 1....................................................................................................................................................6

PENDAHULUAN.................................................................................................................................6

A. Latar belakang.............................................................................................................................6

B. Rumusan Masalah.......................................................................................................................6

C. Tujuan.........................................................................................................................................7

BAB 2....................................................................................................................................................8

PEMBAHASAN....................................................................................................................................8

A. Pengertian Irritable Bowel Syndrome (IBS)...............................................................................8

B. Gejala Pada Irritable Bowel Syndrome (IBS).............................................................................9

C. Klasifikasi Irritable Bowel Syndrome (IBS).............................................................................10

D. Terapi IBS.................................................................................................................................10

 Hubungan Dokter-Pasien....................................................................................................10

 Edukasi Pasien.....................................................................................................................11

 Diet........................................................................................................................................12

 Psikoterapi............................................................................................................................12

 Terapi obat.............................................................................................................................13

E. Penggolongan obat IBS.............................................................................................................16

 HIOSIN BUTILBROMIDA..................................................................................................16

 ATROPIN SULFAT..............................................................................................................17

 AMITRIPTILIN HIDROKLORIDA....................................................................................18

 LOPERAMID HIDROKLORIDA........................................................................................19

 BISAKODIL.........................................................................................................................19
 FLUOKSETIN......................................................................................................................20

 GABAPENTIN.....................................................................................................................21

BAB 3..................................................................................................................................................23

PENUTUP............................................................................................................................................23

A. Kesimpulan...............................................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................24
BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Irritable Bowel Syndrome (IBS) adalah kondisi gastrointestinal kronis yang umum yang
ditandai dengan gangguan kebiasaan buang air besar dan nyeri perut, tanpa adanya patologi
organik yang diketahui. IBS mengurangi kualitas hidup pasien, dan memberikan dampak negatif
yang substansial pada sumber daya keuangan pasien dan masyarakat pada umumnya. Diagnosis
IBS dibuat sesuai dengan sistem klasifikasi berdasarkan gejala, Kriteria Roma, dengan pedoman
yang diperbarui, Roma IV, baru-baru ini dirilis. Variabel fisiologis dan psikologis telah
diidentifikasi memainkan peran dalam etiologi dan kelangsungan simtomatologi, menyoroti
pembicaraan silang antara otak dan usus pada pasien yang hidup dengan IBS. Meskipun
penyelidikan penelitian telah membuat keuntungan dalam memahami patofisiologi IBS,
intervensi terapeutik tetap didorong oleh gejala, dengan pendekatan farmakologis dan non-
farmakologis dalam gudang pengobatan. Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk merangkum
epidemiologi, patofisiologi, diagnosis, dan pengobatan IBS, dan untuk mendiskusikan implikasi
untuk praktik keperawatan klinis.
Irritable Bowel Syndrome (IBS) adalah gangguan kronis pada saluran pencernaan, ditandai
dengan nyeri perut dan perubahan kebiasaan buang air besar (Canavan, West & Card, 2014). IBS
adalah gangguan yang paling sering ditemui oleh gastroenterologis (Halmos, Power, Shepherd,
Gibson & Muir, 2014), dan diagnosis dibuat berdasarkan sistem klasifikasi berdasarkan gejala,
Kriteria Roma, dengan versi terbaru, Roma IV, baru-baru ini dirilis. (Drossman, 2016). Tingkat
prevalensi di Amerika Utara telah dilaporkan sekitar 12%, dan gejala lebih sering terjadi pada
pasien berusia kurang dari 50 tahun (Lovell & Ford, 2012). Pasien IBS tidak hanya menderita
distres gastrointestinal, tetapi sekitar 40-60% mengalami gangguan psikologis penyerta, seperti
depresi atau kecemasan (Dekel, Drossman & Sperber, 2013). Selain itu, pasien dengan IBS
melaporkan tingkat somatisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa IBS tetapi
dengan gejala gastrointestinal (Patel et al., 2014). Tidak mengherankan, IBS telah terbukti
berdampak negatif terhadap kualitas hidup pasien, serta berdampak buruk pada sumber daya
keuangan masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu IBS ?
2. Apa saja Gejala IBS ?
3. Apa saja Klasifikasi IBS ?
4. Bagaimana terapi dan penggolongan obat pada terapi IBS ?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian IBS.
2. Mengetahui gejala-gejala yang muncul pada penderita IBS.
3. Mengetahui klasifikasi dari penyakit IBS.
4. Mengetahui terapi dan penggolongan obat yang diberikan bagi penderita IBS.
BAB 2

PEMBAHASAN
A. Pengertian Irritable Bowel Syndrome (IBS)
Irritable Bowel Syndrome (IBS) adalah kondisi gastrointestinal kronis yang umum
yang ditandai dengan gangguan kebiasaan buang air besar dan nyeri perut, tanpa adanya
patologi organik yang diketahui. IBS mengurangi kualitas hidup pasien, dan memberikan
dampak negatif yang substansial pada sumber daya keuangan pasien dan masyarakat pada
umumnya. Diagnosis IBS dibuat sesuai dengan sistem klasifikasi berdasarkan gejala, Kriteria
Roma, dengan pedoman yang diperbarui, Roma IV, baru-baru ini dirilis. Variabel fisiologis
dan psikologis telah diidentifikasi memainkan peran dalam etiologi dan kelangsungan
simtomatologi, menyoroti pembicaraan silang antara otak dan usus pada pasien yang hidup
dengan IBS. Meskipun penyelidikan penelitian telah membuat keuntungan dalam memahami
patofisiologi IBS, intervensi terapeutik tetap didorong oleh gejala, dengan pendekatan
farmakologis dan non-farmakologis dalam gudang pengobatan. Tujuan dari tinjauan ini
adalah untuk merangkum epidemiologi, patofisiologi, diagnosis, dan pengobatan IBS, dan
untuk mendiskusikan implikasi untuk praktik keperawatan klinis.
Irritable Bowel Syndrome (IBS) adalah gangguan kronis pada saluran pencernaan,
ditandai dengan nyeri perut dan perubahan kebiasaan buang air besar (Canavan, West &
Card, 2014). Menurut sistem klasifikasi Rome, IBS ditandai dengan adanya determinan
fisiologi yang multipel, yang berperanan pada gejala dari IBS dan bukan merupakan satu
penyakit yang tunggal. IBS didefinisikan sebagai kelompok kelainan fungsional dari saluran
cerna dimana adanya rasa tidak nyaman atau nyeri perut dihubungkan dengan defekasi atau
perubahan pada pola defekasi, dan dengan gambaran kelainan pada defekasi.
Patogenesis IBS belum diketahui dengan baik, telah diusulkan adanya peranan kelainan
aktivitas motoris dan sensoris usus, disfungsi saraf pusat, gangguan psikologis, stress, dan
faktor luminal pada pathogenesis dari IBS. 9 Tidak ada mekanisme fisiologi khusus sebagai
karakter dari IBS, setidaknya ada 3 faktor yang saling berhubungan yang mempengaruhi
gejala dengan berbagai tingkat pada masing-masing individu dengan IBS, yaitu:
1. Perubahan reaktivitas usus (motilitas, sekresi) dalam respon terhadap rangsangan lumen
(seperti makanan, distensi usus, inflamasi, faktor bakteri) atau provokasi lingkungan
(stress psikososial), yang mengakibatkan gejala diare dan atau konstipasi.
2. Hipersensitivitas usus dengan peningkatan persepsi visceral dan nyeri.
3. Disregulasi aksis otak-usus, mungkin berhubungan dengan reaktivitas stress yang lebih
besar dan perubahan persepsi dan atau modulasi dari signal aferen visceral.

B. Gejala Pada Irritable Bowel Syndrome (IBS)


Ciri khas IBS adalah sakit perut atau ketidaknyamanan yang terkait dengan perubahan
kebiasaan buang air besar atau buang air besar yang tidak teratur. Rasa sakit atau
ketidaknyamanan yang terkait denganIBS seringkali tidak terlokalisasi dengan baik dan
mungkin bermigrasi dan bervariasi. Ini dapat terjadi setelah makan, selama stres atau pada
saat menstruasi. Selain rasa sakit dan ketidaknyamanan,kebiasaan buang air besar yang
berubah sering terjadi, termasuk diare, konstipasi, dan diare yang bergantian dengan
konstipasi. Pasien juga mengeluh kembung atau perut distensi, lendir dalam tinja, urgensi,
dan perasaan evakuasi yang tidak lengkap. Beberapa pasien menggambarkan episode yang
sering, sedangkan yang lain menggambarkan durasi yang lamaperiode bebas gejala. Pasien
dengan iritasi usus sering melaporkan gejala gangguan gastrointestinal fungsional lainnya
juga, termasuk nyeri dada, mulas,mual atau dispepsia, kesulitan menelan, atau sensasi
benjolan di tenggorokan atau penutupan tenggorokan (Gambar 8).
Pasien dengan IBS umumnya diklasifikasikan menurut jenis kebiasaan buang air
besar yang menyertai rasa sakit. Beberapa pasien memiliki gejala yang dominan diare, yang
lain predominan sembelit, dan yang lain memiliki kombinasi keduanya. Beberapa pasien
bergantian antara subkelompok yang berbeda.
Gejala dapat bervariasi dari hampir tidak terlihat hingga melemahkan, kadang-kadang
pada pasien yang sama. Pada beberapa pasien, stres atau krisis kehidupan dapat dikaitkan
dengan timbulnya gejala, yang kemudian dapat hilang ketika stres mereda. Pasien lain
tampaknya memiliki episode IBS acak dengan remisi spontan. Yang lain lagi
menggambarkan periode gejala yang lama dan periode bebas gejala yang lama.
Secara umum, gejala IBS bertambah dan berkurang sepanjang hidup, tetapi sebagian
besar pasien yang diperiksa oleh dokter berusia 20-50 tahun. Pada sekitar 50% pasien, gejala
dimulai sebelum usia 35 tahun. Gangguan ini juga ditemukan pada anak-anak, umumnya
muncul pada awal masa remaja. Banyak pasien dapat melacak timbulnya gejala kembali ke
masa kanak-kanak. Prevalensi IBS sedikit lebih rendah pada orang tua, dan pada populasi
pasien ini kelainan organik harus disingkirkan.
Gejala yang tidak berhubungan dengan usus (gejala ekstratestinal) sering terjadi pada
pasien dengan IBS. Ini mungkin termasuk sakit kepala, gangguan tidur, gangguan stres
pasca-trauma, gangguan sendi temporomandibular, sindrom sicca, nyeri punggung/panggul,
mialgia, nyeri punggung, dan nyeri panggul kronis (Gambar 8). Fibromyalgia dan sistitis
interstisial juga sering dijumpai pada pasien dengan IBS. Faktanya, Fibromyalgia terjadi pada
hingga 33% pasien dengan IBS dan hampir setengah dari pasien dengan fibromyalgia juga
memiliki IBS.

C. Klasifikasi Irritable Bowel Syndrome (IBS)


IBS dibedakan menjadi beberapa kelompok berdasarkan gejala saluran pencernaan
yang dominan, yaitu IBS dengan diare (IBS-D), IBS dengan konstipasi (IBS-C), dan IBS
campuran atau diare dan konstipasi bergantian (IBS-M). Meskipun diagnosis subtipe IBS
didasarkan pada gejala saat evaluasi awal, mayoritas pasien mengalami perubahan gejala
seiring waktu, kebanyakan dari IBS-C atau IBS-D menjadi IBS-M.

D. Terapi IBS
Penatalaksanaan pasien dengan Irritable Bowel Syndrome didasarkan pada
diagnosis positif dari sindrom tersebut, mengesampingkan kelainan organik, dan terapi
spesifik. Pengobatan untuk IBS harus mengatasi tiga faktor utama yang penting secara
patofisiologis—gangguan psikososial, hipersensitivitas viseral, dan dismotilitas.
Perawatan harus berorientasi pada pasien dan diarahkan untuk menghilangkan gejala-
spesifik. Mayoritas perawatan IBS konvensional yang saat ini digunakan adalah empiris
dan belum secara resmi ditinjau dan disetujui oleh FDA. Terapi mungkin termasuk
konsumsi serat untuk sembelit, anti-diare, relaksan otot polos untuk nyeri, dan agen
psikotropika untuk nyeri, diare dan depresi. Pasien wanita dengan diare predominan-IBS
dapat mengambil manfaat dari alosetron, agonis 5-HT3 baru.
Pasien dengan gejala ringan atau jarang dapat mengambil manfaat dari pembentukan
hubungan dokter-pasien, pendidikan dan kepastian pasien, modifikasi diet, dan tindakan
sederhana seperti konsumsi serat. Pasien dengan IBS yang dominan konstipasi umumnya
dapat diobati dengan pencahar ringan osmotik seperti Milk of Magnesia. Pencahar yang
lebih kuat harus disediakan untuk pasien yang tidak menanggapi konsumsi serat dan
pencahar osmotik yang lembut

 Hubungan Dokter-Pasien
Pasien yang menderita IBS sering datang untuk perawatan medis hanya
setelah upaya diagnosis mandiri yang mengecewakan untuk menentukan
penyebab dan resolusi gejala. Oleh karena itu, sangat penting bahwa dokter yang
bertanggung jawab membina hubungan positif dengan pasien untuk membantu
keberhasilan manajemen klinis. Diagnosis yang positif dan meyakinkan, disertai
dengan penjelasan yang jelas tentang mekanisme yang mungkin terjadi dan
penjelasan yang jujur tentang kemungkinan perjalanan penyakit, dapat menjadi
penting dalam mencapai tujuan pengelolaan yang diinginkan. Untuk
memfasilitasi hubungan yang positif, penting bagi dokter untuk mempraktikkan
prinsip-prinsip berikut:
 Yakinkan pasien bahwa mereka tidak biasa
 Mengidentifikasi mengapa pasien saat ini datang
 Dapatkan riwayat pengalaman rujukan
 Periksa ketakutan atau agenda pasien
 Pastikan harapan pasien terhadap dokter
 Tentukan kesediaan pasien untuk membantu dalam pengobatan
 Temukan gejala yang paling memengaruhi kualitas hidup dan perawatan
khusus yang dirancang untuk meningkatkan pengelolaan gejala itu
Selain mengatasi ketakutan dan kekhawatiran pasien, dokter harus
mengevaluasi apakah pengenalan alat bantu dokter, seperti ahli diet, konselor, dan
kelompok pendukung, dapat membantu pasien dalam jangka panjang.

 Edukasi Pasien

Pendidikan pasien sangat penting untuk setiap rencana manajemen yang


sukses. Dalam kasus IBS, ini termasuk menawarkan pasien penjelasan yang jelas
dan mudah dipahami tentang patofisiologi gangguan yang mereka derita,
penyebab dan gejalanya, serta peran faktor psikososial dalam presentasinya.
Pasien yang disajikan dengan diskusi terperinci tentang diagnosis dan pilihan
pengobatan mereka telah mengurangi intensitas gejala dan lebih sedikit
kunjungan kembali. Untuk mendidik pasien dengan baik, dokter harus
membicarakan masalah berikut dengan pasien:

 Insiden gejala IBS pada populasi umum dan relevansinya dengan pasien

 Fisiologi gastrointestinal termasuk respons gastrokolon, produksi gas,


kepekaan usus terhadap rangsangan tertentu, dan kemungkinan

 Potensi dampak stres dalam memicu atau memperburuk gejala, dengan


jaminan bahwa gejala tersebut bukan psikosomatik

 Kecemasan apa pun, termasuk kekhawatiran tentang penyakit yang


mendasari dan gejala utama

 Kebutuhan pasien untuk menerima tanggung jawab untuk manajemen


kondisi

 Pengakuan bahwa tidak ada obat mujarab yang keluar, tetapi terapi dapat
sangat meningkatkan kualitas hidup dan secara signifikan mengurangi
keparahan gejala

Pasien yang terinformasi dengan baik lebih cenderung membuat pilihan dan
perubahan gaya hidup dan diet yang dapat mengurangi keparahan dan frekuensi
gejala mereka. Direkomendasikan bahwa dokter mendiskusikan informasi baru
selama kunjungan pasien, dan membangun informasi sebelumnya dengan
menyebarkan materi pendidikan baru yang mungkin telah tersedia sejak
kunjungan terakhir pasien.

 Diet

Beberapa gejala IBS sekarang dipahami sebagai akibat dari fermentasi


kolon abnormal setelah flora usus yang rusak oleh antibiotik atau gastroenteritis.
Kelebihan produksi hidrogen, bersama dengan berbagai senyawa lain,
diperkirakan berdampak pada fungsi kolon. Telah ditunjukkan bahwa pasien
dengan gejala ringan sampai sedang biasanya paling responsif terhadap
modifikasi diet. Pada pasien ini diet dan agen penggembur dapat secara efektif
memanipulasi fermentasi kolon, menghasilkan manajemen IBS yang sukses

 Psikoterapi
Riwayat peristiwa kehidupan yang penuh tekanan atau kesusahan saat ini
sering mendahului perkembangan IBS. Dalam beberapa studi klinis telah
ditunjukkan bahwa timbulnya gangguan kejiwaan terjadi sebelum, atau
bersamaan dengan, timbulnya gejala IBS. Saat menentukan pengobatan untuk
pasien dengan IBS, dokter harus menginventarisasi: tekanan psikologis, termasuk
adanya gangguan kecemasan atau depresi; karakteristik kepribadian, termasuk
kecenderungan kuat untuk khawatir, mungkin mengenai masalah kesehatan;
tekanan sosial saat ini dan mekanisme koping yang tidak memadai; dan perilaku
penyakit yang tidak normal.
Dari semua gejala psikiatri, pasien IBS paling sering datang dengan
depresi dan kecemasan. Sementara gangguan ini biasanya merespon dengan baik
terhadap pengobatan, jika dibiarkan mereka dapat membahayakan manajemen
IBS klinis serta memperburuk gejala usus. Rujukan psikiatri direkomendasikan
setiap kali dokter percaya bahwa penilaian lebih lanjut adalah demi kepentingan
terbaik pasien, misalnya ketika pasien mengalami depresi dan mengungkapkan
ide bunuh diri atau ketika pasien memiliki pertanyaan tentang psikotropika.
Selain itu, rujukan psikiatri diperlukan ketika ada gangguan sosial serius yang
tidak terkait dengan IBS, ketika ada somatisasi berulang dengan rujukan ke
berbagai departemen, atau jika riwayat pelecehan atau trauma besar ditemukan.
Beberapa intervensi psikologis telah disarankan untuk pengobatan IBS,
termasuk psikoterapi. Terapi Perilaku Kognitif (CBT) telah menunjukkan harapan
untuk pasien dengan IBS sedang sampai berat dan mereka dengan IBS dan
kecemasan atau gangguan mood yang menyertai. CBT dapat membantu pasien
mempelajari strategi koping untuk mengontrol gejala yang disebabkan oleh
kecemasan atau keasyikan. Dalam Terapi Perilaku Kognitif, pasien IBS bekerja
dengan terapis untuk mengatasi kekhawatiran dan persepsi khusus tentang gejala
gastrointestinal fungsional mereka. Persepsi ini dimodifikasi dengan cara yang
mengarah pada perubahan penilaian kognitif stres, yang pada gilirannya
berdampak pada gejala usus pasien. Selain itu, CBT mengajarkan pasien
bagaimana mengenali situasi yang dapat memicu gejala IBS mereka. Hasil dari,
pasien dapat belajar bagaimana menemukan cara yang lebih sehat untuk
menanggapi situasi tersebut, sehingga mengurangi stres. Terapi kombinasi-
manajemen medis ditambah psikoterapi-telah, dalam penelitian terbaru,
menunjukkan sukses besar, dan dapat mewakili masa depan pengobatan IBS.

 Terapi obat
 Relaksan otot polos

Uji klinis terbaru dari agen antikolinergik dan antispasmodik telah


menunjukkan obat ini secara signifikan lebih manjur daripada plasebo dalam
meredakan gejala IBS. Namun, perlu dicatat bahwa uji coba ini telah dikritik
karena kegagalan metodologis, dan kemanjuran antikolinergik dan
antispasmodik belum terbukti secara definitif. Akibatnya, obat-obatan ini hanya
direkomendasikan atas dasar "sesuai kebutuhan", dengan dosis hingga dua kali
sehari untuk kembung, distensi, dan serangan nyeri akut. Mebeverine dan
Dicyclomine tampaknya kehilangan efektivitasnya dengan penggunaan kronis.
Antispasmodik yang tersedia saat ini dipisahkan ke dalam klasifikasi terapi
umum antikolinergik, penghambat saluran kalsium, dan modulator reseptor
opioid.Antikolinergik yang paling sering diresepkan di AS adalah dicyclomine,
hyoscyamine, dan clidinium (dalam kombinasi dengan chlordiazepoxide
hydrochloride (Librium) = Librax). Penghambat saluran kalsium selektif usus,
yang digunakan untuk mengatur pergerakan ion kalsium ke dalam sel otot polos
dan neuron, telah dikembangkan untuk mengobati IBS dan untuk menghindari
efek kardiovaskular dan sistemik yang tidak diinginkan dari penghambat saluran
kalsium tradisional. Minyak peppermint, karminatif lama digunakan untuk
mengobati nyeri IBS, telah melihat hasil yang tidak konsisten. Opiat seperti
trimebutin sering digunakan tidak hanya sebagai antidiare tetapi juga sebagai
antispasmodik. Kelas antispasmodik yang lebih baru (antagonis reseptor
neurokinin [NK]2 dan agonis 3-adrenoseptor) sedang dalam uji klinis fase II.

 Agen antidiare

Agen antidiare digunakan untuk mengobati diare bersamaan dengan terapi


rehidrasi untuk memperbaiki deplesi cairan dan elektrolit. Pada pasien dengan
diare sebagai gejala utama, usus halus dan waktu transit kolon proksimal
dipercepat. Loperamide (2–4 mg hingga 4 kali/hari) mengurangi waktu transit,
meningkatkan penyerapan asam empedu, meningkatkan tonus sfingter anal, dan
mengurangi nyeri perut. Opioid sintetik ini juga efektif dalam mengurangi
urgensi postprandial dan meningkatkan kontrol pada saat stres yang diantisipasi.
Loperamide lebih disukai daripada narkotika lain untuk mengobati pasien iritasi
usus dengan diare dan/atau inkontinensia. Cholestyramine juga dapat berguna
sebagai pengobatan lini kedua atau ketiga untuk malabsorpsi asam empedu.

 Agen psikotropika

Dalam subset pasien dengan nyeri dan diare sebagai gejala utama IBS, agen
trisiklik telah ditemukan sangat bermanfaat (Tabel 5). Terapi ini biasanya
direkomendasikan pada pasien dengan gejala parah, atau gejala yang resisten
terhadap pendekatan lini pertama, karena efek samping. Dosis yang lebih rendah
digunakan dibandingkan dengan dosis yang digunakan untuk pengobatan
depresi.Agen trisiklik berfungsi sebagai analgesik dengan memodulasi nyeri
melalui sifat antikolinergiknya. Dihipotesiskan bahwa antidepresan trisiklik
secara langsung mempengaruhi.

Kelainan sumbu otak-usus yang melekat pada proses fungsi. Awalnya, dosis
rendah diberikan, dan kemudian dosis dititrasi untuk mengontrol rasa sakit.
Selain itu, dosis rendah telah ditemukan untuk memperlambat transit orocecal,
berpotensi menggantikan antidiare pada pasien yang dominan diare. Karena
onset kerja yang tertunda, 3 sampai 4 minggu terapi harus dicoba sebelum
mempertimbangkan dosis yang tidak mencukupi. Amitriptyline, dengan dosis
awal 10 hingga 25 mg setiap hari, atau imipramine, pada 25 hingga 50 mg setiap
hari, berguna untuk tujuan ini. Agen trisiklik tertentu, seperti amitriptyline,
mungkin sangat membantu untuk pasien yang mengeluh insomnia atau yang
memiliki depresi atau serangan panik yang jelas.

Antidepresan trisiklik dapat menyebabkan atau memperburuk konstipasi, dan


karenanya harus dihindari pada pasien dengan IBS yang predominan konstipasi.
Agen ini juga tidak aman untuk digunakan pada pasien yang sedang hamil.
Seperti halnya terapi obat apa pun, pasien harus diperingatkan tentang efek
samping antikolinergik (lihat bagan di bawah).

 Selektif Serotonin Reuptake Inhibitor

Meskipun ada beberapa percobaan acak yang dilakukan untuk mengukur


efektivitas inhibitor reuptake serotonin (SSRI: paroxetine, fluoxetine dan
sertraline), obat ini tampaknya bermanfaat pada dosis psikiatri yang khas (Tabel
5). SSRI yang lebih baru, khususnya Zoloft dan Effexor, mungkin lebih disukai
pada pasien yang lebih tua atau pada mereka yang mengalami konstipasi, karena
dikaitkan dengan efek samping antikolinergik yang lebih sedikit. Citalopram
diberikan kepada pasien dalam sebuah penelitian kecil yang dilakukan dengan
baik di Belgia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa obat menginduksi
sedikit relaksasi kolon, meningkatkan tonus kolon dan mengurangi tingkat
ketidaknyamanan yang terkait dengan distensi kolon.Dipercaya bahwa SSRI
berdampak pada gejala IBS melalui mekanisme yang berbeda dari antidepresan
trisiklik. Dalam review kecil retrospektif pasien yang menerima SSRI untuk
pengobatan psikiatri, penambahan antidepresan trisiklik meningkatkan fungsi
gastrointestinal. Akibatnya, diperkirakan bahwa SSRI dapat berdampak pada
IBS dengan memodifikasi lingkungan kognitif dan rasa sejahtera pasien. Hasil
awal dari laporan studi baru-baru ini bahwa paroxetine juga meningkatkan
tindakan global pada pasien dengan IBS parah. Dalam penelitian ini, berbeda
dengan penelitian yang menggunakan antidepresan trisiklik dosis rendah,
ditemukan korelasi antara penggunaan paroxetine dan penurunan peringkat
psikologis. Oleh karena itu, telah disarankan bahwa berkurangnya kecemasan
dan depresi dapat menghasilkan hasil positif dalam kesejahteraan global.

 Terapi Alternatif

Terapi alternatif telah ditemukan berguna untuk beberapa pasien. Herbal,


termasuk chamomile, jahe dan mint telah terbukti membantu dalam mengurangi
nyeri gastrointestinal pada subkelompok pasien. Salah satu ramuan Cina
tertentu, yang terdiri dari 20 herbal, telah menunjukkan kemanjuran dalam uji
klinis formal. Pasien harus memahami bahwa beberapa herbal dapat berinteraksi
secara negatif dengan obat yang diresepkan atau yang dijual bebas dan informasi
tentang penggunaan obat gratis harus dibagikan dengan dokter yang
bertanggung jawab.

Hipnotisme adalah terapi alternatif lain yang mendapatkan perhatian untuk


pengobatan IBS. Hipnotisme dapat membantu pasien IBS mengelola stres dan
kecemasan dan meningkatkan keterampilan koping. Dengan memfokuskan
pasien pada fisiologi usus melalui teknik visualisasi, motilitas kolon dan
sensitivitas visceral dapat dimodifikasi. Beberapa uji coba terkontrol secara acak
telah menunjukkan peningkatan fungsi usus, nyeri, distensi perut dan
kesejahteraan global yang terkait dengan hipnosis. Sementara jenis terapi ini
lebih mahal daripada obat tradisional, penghentian gejala mungkin lebih tahan
lama dibandingkan dengan agen lain.

Terapi alternatif lain yang digunakan untuk mengobati IBS termasuk


suplemen pro-flora seperti spesies acidophilus dan lactobacillus, diminum dua
hingga tiga kali sehari, untuk menyeimbangkan kembali bakteri usus normal dan
mengurangi gas dan kembung. Olahraga teratur, seperti berjalan kaki, dapat
mengurangi stres dan mendorong buang air besar. Pijat terapeutik dapat
membantu mengurangi efek stres. Tidak ada penelitian yang dirancang dengan
baik yang mengevaluasi efek perawatan chiropraktik pada individu dengan IBS,
tetapi telah dilaporkan bahwa manipulasi tulang belakang dapat memperbaiki
gejala kondisi pada beberapa individu. Dihipotesiskan bahwa dalam kasus ini,
manipulasi tulang belakang mungkin memiliki efek keseimbangan pada saraf
yang memasok impuls ke saluran usus.

E. Penggolongan obat IBS

 HIOSIN BUTILBROMIDA
 Mekanisme

Hiosin butilbromida bekerja sebagai antimuskarinik/antispasmodik dengan cara


menghambat kerja stimulus asetilkolin atau kolinergik lainnya pada efek
toratonomik yang dipengaruhi oleh syaraf kolinergik prostaglandin dan pada
otot polos yang kekurangan inevarti kolonergik.
 EFEK SAMPING

Konstipasi (sembelit), penglihatan kabur, detak jantung cepat, Mulut kering,


Kulit kering, Berkeringat, Ruam kulit gatal, Detak jantung di atas 100 denyut
per menit (takiaritmia), Tekanan darah rendah (hipotensi), Mengantuk.

 DOSIS

Oral (namun absorpsinya buruk, lihat keterangan di atas), 20 mg 4 kali sehari;


Anak 6-12 tahun: 10 mg 3 kali sehari. Injeksi intramuskuler atau intravena
lambat (spasme akut dan spasme pada prosedur diagnostik) 20 mg, bila perlu
diulang setelah 30 menit (dapat diulang lebih sering pada endoskopi) maksimal
100 mg sehari; Anak: tidak disarankan.

 INTERAKSI OBAT

Hyoscine butylbromide dapat menimbulkan interaksi bila digunakan bersama


obat-obatan, seperti:

i. Codeine

ii. Obat alergi, seperti antihistamin

iii. Beberapa obat untuk depresi, seperti amitriptyline

iv. Amantadine untuk penyakit parkinson

v. Quinidine atau disopyramide untuk obat jantung

 ATROPIN SULFAT
 Mekanisme

Atropin merupakan obat yang termasuk dalam golongan agen antikolinergik,


yang secara kompetitif menghambat reseptor asetilkolin muskarinik pada
jaringan perifer, seperti jantung, usus, otot bronkus, iris mata, dan kalenjar
sekresi.

 Efek Samping

Sakit kepala, Pusing, Mata kering, Penglihatan kabur, Mengantuk.

 Dosis
sebagai premedikasi, injeksi intravena, 300-600 mcg 30 hingga 60 menit segera
sebelum induksi anestetik, dan dengan peningkatan dosis setiap kali 100 mcg
untuk pengobatan bradikardia.Melalui injeksi intramuskuler, 300-600 mcg 30
hingga 60 menit sebelum induksi; anak: 20 mcg/kg bb.

 Interaksi Obat

Mengonsumsi atropine dengan obat lain bersamaan dapat menyebabkan


beberapa interaksi yang meliputi:

Ipratropium,diphenhydramine,hydromorphone,haloperidol,danpromethazine.Pen
ggunaan atropine bersama obat-obatan di atas dapat meningkatkan efek
samping, seperti kantuk, penglihatan kabur, mulut kering, kemerahan,
penurunan keringat, kesulitan buang air kecil, kram perut, sembelit, detak
jantung cepat, kebingungan, masalah memori, dan tekanan pada bola mata
(glaukoma).

 AMITRIPTILIN HIDROKLORIDA
 Mekanisme

Amitriptilin bekerja dengan menghambat pengambilan kembali neurotransmiter


di otak.

 Efek samping

mulut kering, sedasi, pandangan kabur, mual, sulit buang air kecil, berkeringat,
tremor gangguan perilaku (terutama anak), bingung (terutama lansia), perubahan
gula darah, nafsu makan bertambah.

 Dosis

Oral: depresi, dosis awal 75 mg 1 kali (lansia dan remaja 30-75 mg/hari), dosis
terbagi, atau dosis tunggal menjelang tidur Naikkan bertahap bila perlu,
maksimal 150 mg. Dosis pemeliharaan lazım. 50-100 mg/hari, ANAK di bawah
16 tahun, tidak dianjurkan untuk depresi. Nocturnal enuresis, ANAK 7-10 tahun
10-20 mg. 11-16 tahun 25-50 mg, malam hari. Maksimal periode pengobatan
(termasuk pemutusan obat secara bertahap) 3 bulan.

 Interaksi obat
Menggunakan amitriptilin dengan obat-obatan lain bersamaan dapat
menyebabkan beberapa interaksi seperti

i. Debrisoquine, guanethidine, dan clonidine

ii. Penggunaan bersama amitriptilin dapat menguranei efektivitas obat di


atas dalam menurunkan

iii. tekanan darah tinggi. Amiodarone atau quinidine

iv. Penggunaan bersama obat di atas dapat meningkatkan risiko aritmia


ventrikel, vaitu gangguanrama putung akibat sinyal listrik abnormal di
bilik jantung.

 LOPERAMID HIDROKLORIDA
 Mekanisme

Loperamid bekerja dengan dengan mekanisme yaitu mengurangi peristaltik dan


sekresi cairan Serta meningkatkan tonus sfingter sehingga waktu transit
gastrointestinal Lebih lama sehingga meningkatkan Penyerapan cairan dan
elektrolit dari saluran pencernaan.

 Efek samping

kram abdomen, pusing, mengantuk dan reaksi kulit termasuk urtikaria; ileus
paralitik dan perut kembung.

 Dosis

diare akut, dosis awal 4 mg diikuti dengan 2 mg setiap setelah buang air besar
hingg maksimal 5 hari; dosis lazim 6-8 mg sehari; Dosis tidak melebihi dari 16
mg sehari.

 Interaksi

Menggunakan loperamide dengan obat-obatan lain bersamaan dapat


menyebabkan beberapa interaksi, seperti: Antikolinergik, antispasmodik,
morfin, beberap antihistamin, dan antidepresan trisiklik. Penggunaan bersama
obat di atas dapat menyebabkan sembelit atau kesulitan buang air besar.

 BISAKODIL
 Mekanisme
Mekanisme kerja bisacodyl adalah dengan merangsang saraf enterik sehingga
menyebabkan kontraksi kolon (usus besar). Seperti obat stimulan laxative
lainnya, obat ini terutama berfungsi untuk mengosongkan usus besar.

 Efek samping

Gangguan keseimbangan cairan, Rasa tidak nyaman pada bagian anorektal.


Dehidrasi, Pusing, Penurunan kadal kalsium atau kalium dalam darah,
Peradangan pada usus (kolitis), Rasa tidak nyaman pada perut, mual, diare, dan
sakit perut.

 Dosis

oral untuk konstipasi, 5-10 mg malam hari, kadang-kadang perlu dinaikkan


menjadi 15-20 mg, anak-anak (lihat juga 1.6) di bawah 10 tahun 5 mg Rektum:
dalam supositoria untuk konstipası, 10 mg pada pagi b anak-anak (lihat 1.6) di
bawah 10 tahun 5 mg. Sebelum prosedur radiologi dan bedah, 10 mg oral
sebelum tidur malam selama 2 hari sebelum pemeriksaan dan jika perlu
supositoria 10 mg 1 jam sebelum pemeriksaan, anak-anak setengah dosis
dewasa hari.

 Interaksi

Mengonsumsi obat bisacodyl dengan obat lain bersamaan dapat menyebabkan


interaksi, seperti Obat laksatifPenggunaan bersama bisacodyl meningkatkan
efek samping gangguan pencernaan Obat antasidaPenggunaan bersama
bisacodyl menurunkan efek terapi serta meningkatkan rasa tidak nyaman pada
perut (dispepsia) dan iritasi pada saluran pencernaan.

 FLUOKSETIN
 Mekanisme

obat ini bekerja dengan menghambatreuptakeserotonin (5-HTLA, 5-HT2C,


dan5-HT3C) ke dalam prasinap saraf terminal. Alhasil akan terjadi peningkatan
neurotransmisi olehserotonin sehingga menimbulkan efek antidepresan.

 Efek Samping

saluran cerna, mulut kering, gugup, cemas, nyeri kepala, insomnia, tremor,
bingung, pusing, bipotensi, mangantuk, kejang demam, berkeringat, gangguan
gerak dan diskinesia, gangguan fungsi hati, gangguan peredaran darah otak
kecenderungan bunuh diri, perilaku kekerasan, rambut rontok.

 Dosis

i. depresi: 20 mg/hari.

ii. Bulimia nervosa 60 mg/hari

iii. Gangguan obsesif kompulsif: dosis awal 20 mg/hari, Maksimal: 60


mg/hari ANAK: tidak dianjurkan

 Interaksi Obat
Obat diuretik atau adrenokortikosteroid Penggunaan bersama bisacodyl dengan
dosis tinggi dapat meningkatkan risiko ketidakseimbangan elektrolit dalam
tubuh, Obat laksatif Penggunaan bersama bisacodvl meningkatkan efek samping
gangguan pencernaan.Obat antasida Penggunaan bersama bisacodyl
menurunkan efek terapi serta meningkatkan rasa tidak nyaman pada perut
(dispepsia) dan iritasi pada saluran pencernaan.

 GABAPENTIN
 Mekanisme

Mekanisme kerja dari gabapentin adalah dengan meningkatkan aktivitas,


glutamic acid decarboksilase (GAD). Agonis GABA ini juga mengatur aliran
kalsium dalam sel sehingga menurunkan transmisi saraf dan menghambat
pelepasan glutamat.

 Efek Samping

nyeri punggung, nyeri perut, demam, infeksi virus, lelah, pusing, peningkatan
nafsu makan, diare, mulut. kering, mual dan muntah mengantuk, tremor,
bingung, batuk dan jerawat.

 Dosis

i. ANAK 6-12 tahun (hanya diberikan oleh spesialis saja) 10 mg/kg bb

ii. ANAK 3-5 tahun 40 mg/kg/hari (dalam 3 dosis terbagi). Dosis dapat
ditingkatkan hingga 50 mg/kg/hari. Interval waktu penggunaan antar
dosis tidak lebih dari 12 jam.
 Interaksi Obat

Duloksetin, escitalopram, fluoksetin, dan setralin.Menggunakan obat-obatan


tersebut bersama gabapetin dapat meningkatkan risiko kadar natrium darah
menjadi terlalu rendah (hiponatremia) dan mengurangi keefektifan gabapentin
dalam mengontrol kejang.
BAB 3

PENUTUP
A. Kesimpulan
Irritable Bowel Syndrome (IBS) adalah gangguan kronis pada saluran pencernaan,
ditandai dengan nyeri perut dan perubahan kebiasaan buang air besar (Canavan, West &
Card, 2014).Menurut sistem klasifikasi Rome, IBS ditandai dengan adanya determinan
fisiologi yang multipel, yang berperanan pada gejala dari IBS dan bukan merupakan satu
penyakit yang tunggal. IBS didefinisikan sebagai kelompok kelainan fungsional dari
saluran cerna dimana adanya rasa tidak nyaman atau nyeri perut dihubungkan dengan
defekasi atau perubahan pada pola defekasi, dan dengan gambaran kelainan pada defekasi

Ciri khas IBS adalah sakit perut atau ketidaknyamanan yang terkait dengan perubahan
kebiasaan buang air besar atau buang air besar yang tidak teratur. Rasa sakit atau
ketidaknyamanan yang terkait denganIBS seringkali tidak terlokalisasi dengan baik dan
mungkin bermigrasi dan bervariasi.Ini dapat terjadi setelah makan, selama stres atau pada
saat menstruasi. Selain rasa sakit dan ketidaknyamanan,kebiasaan buang air besar yang
berubah sering terjadi, termasuk diare, konstipasi, dan diare yang bergantian dengan
konstipasi.

Menurut kriteria Roma III dan karakteristik feses, IBS dibagi menjadi 3 subkelas:

1. IBS dengan diare (IBS-D)

2. IBS dengan konstipasi (IBS-C)

3. IBS dengan campuran kebiasaan buang air besar atau pola siklik (IBS-M)

Penatalaksanaan pasien dengan Irritable Bowel Syndrome didasarkan pada diagnosis


positif dari sindrom tersebut, mengesampingkan kelainan organik, dan terapi
spesifik.Pengobatan untuk IBS harus mengatasi tiga faktor utama yang penting secara
patofisiologis—gangguan psikososial, hipersensitivitas viseral, dan dismotilitas.Perawatan
harus berorientasi pada pasien dan diarahkan untuk menghilangkan gejala-spesifik.
DAFTAR PUSTAKA
I Ketut Mariadi, I. D. (2007). PERKEMBANGAN TERKINI DALAM DIAGNOSIS DAN
PENATALAKSANAAN IRRITABEL BOWEL SYNDROME. J Peny Dalam, Volume 8
Nomor 3 September 2007 , 8, 240-253.

Kesuma, Y. (2017). Hubungan Masalah Perilaku pada Remaja dengan Irritable Bowel syndrome.
Sari Pediatri, Vol. 18, No. 6, April 2017, 18, 492-497.

Rastita Widyasari, I. A. (n.d.). Pathophysiology of Irritable Bowel Syndrome.

Shalim, C. P. (2019). Diagnosis dan Tatalaksana Irritable Bowel Syndrome. CDK-281/ vol. 46
no. 12 th. 2019, 46, 754-758.

Anda mungkin juga menyukai