Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KETIMPANGAN SOSIAL DI BIDANG


PENDIDIKAN

Kelompok 3
1. ASRIFAH
2. SAIFUL BAHRI
3. JANNATUN NA’IM
4. IQBAL TAUVIQILLAH

PEMERINTAHAN PROVINSI JAWA TIMUR


DINAS PENDIDIKAN

SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 SUMBERASIH


JL. Raya Probolinggo Surabaya Km.8 Kab. Probolinggo
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum WR.WB.

Puji syukur senantiasa kami haturkan kepada Allah SWT. Karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya, makalah ini
dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Terimakasih kepada Dosen mata kuliah Bahasa Indonesia
yang telah memberikan penjelasan yang baik dalam membantu menyelesaikan makalah ini. Terimakasih pula kepada
semua sahabatku yang telah ikut membantu sehingga makalah dapat terselesaikan dengan baik.

Makalah ini selain diperuntukkan dalam pemenuhan tugas mata kuliah Bahasa Indonesia, juga berguna dalam
memberikan pemahaman dan menambah pengetahuan kepada pembaca tentang ‘Analisis Faktor Penyebab Terjadinya
Kesenjangan Pendidikan di Indonesia’.

Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga saja makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terimakasih.

Wassalamu’alaikum WR.WB.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................ .1
1.2 Rumusan dan Ruang Lingkup Masalah.......................................... 2
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan....................................................... 2
1.3.1 Tujuan Penulisan......................................................................2
1.3.1 Manfaat Penulisan.................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Penelitian Terdahulu.........................................................................4
3.2 Definisi dan Faktor Pendidikan..........................................................5
3.2.1 Pengertian Pendidikan...............................................................5
3.3.1 Faktor yang Mempengaruhi Pendidikan....................................6
BAB III METODE PENGUMPULAN DATA
3.1 Metode Data Primer..........................................................................7
3.2 Metode Data Sekunder......................................................................8
BAB IV PEMBAHASAN..............................................................................9
4.1 Faktor Internal Penyebab Terjadinya
Kesenjangan Kualitas Pendidikan di Indonesia................................10
4.2 Faktor Eksternal Penyebab Terjadinya
Kesenjangan Kualitas Pendidkan di Indonesia.................................11
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan dan Saran.......................................................................23
5.1.1 Kesimpulan...............................................................................23
5.1.2 Saran.........................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................27
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan merupakan hal yang pertama dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan
merupakan proses pengubahan sikap dan perilakuseseorang atau kelompok dalam upaya mendewasakan manusia
melalui pengajaran dan pelatihan, proses, cara mendidik. Kondisinya pendidikan menjadi hal yang paling sering dibahas,
karena lewat pendidikanlah sesuatu perubahan dimulai. Penciptaan generasi muda yang memiliki kemampuan ilmu
pengetahuan yang dengan ilmu pengetahuan itu dapat melakukan pembangunan di segala bidang merupakan alasan
umum mengapa pendidikan menjadi begitu penting.
Namun pada kenyataannya, pendidikan Indonesia sekarang ini menunjukkan kualitas yang rendah. Kenyataan yang
justru terjadi dengan pendidikan di negara yang begitu luas ini adalah pendidikan tidak meluas merata ke seluruh
penjuru nusantara. Di era pembangunan yang sedang gencar-gencarnya ini, kesenjangan masih dirasakan oleh wilayah-
wilayah Indonesia yang berada jauh dari jangkauan pemerintah pusat. Wilayah Indonesia yang secara garis besar dapat
dibagi menjadi 2 kawasan yaitu kawasan barat dan kawasan timur, dimana letak pemerintahan pusat berada di kawasan
barat membuat kesenjangan dalam banyak bidang antara kawasan barat yang dianggap sebagai pusat pemerintahan
dan pusat pembangunan dengan kawasan timur Indonesia yang cenderung sulit dijangkau dari pusat pemerintahan.
Berdasarkan data terakhir Kementrian Daerah Tertinggal, dari 183 daerah tertinggal di Indonesia, 70% berada di
kawasan timur Indonesia.

Pemerintah memang tak henti-hentinya memberikan kebijakan demi kemajuan pendidikan, namun kebijakan demi
kebijakan seakan hanya menjadi Oase ditengah padang pasir yang kesejukannya hanya sesaat saja. Dalam praktiknya,
pendidikan tetap menjadi masalah yang krusial bagi bangsa ini. Terkhusus pendidikan di daerah 3T. tertinggal, terpencil
dan terbelakang. Terlebih, Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey United
Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di Negara-negara
berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara.

Sebenarnya pemerintah Indonesia telah lama menyadari akan pentingnya pendidikan untuk pembangunan nasional,
seperti yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 bahwa ; “Tiap-tiap warga Negara berhak
mendapat pengajaran”, yang kemudian dirumuskan dalam GBHN yang antara lain dikemukakan bahwa ; Titik berat
pembangunan pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan serta perluasan
kesempatan belajar pada jenjang pendidikan menengah dalam rangka persiapan wajib belajar untuk pendidikan
menengah tingkat pertama.namun, Terdapat kesenjangan yang luar biasa besar antara cita-cita ideal Bangsa dengan
kondisi real bangsa Indonesia saat ini.

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh masalah ini, sehingga penulis tertarik untuk
mengambil judul :“Analisis Faktor Penyebab Terjadinya Kesenjangan Kualitas Pendidikan di Indonesia”

1.2 Rumusan dan Ruang Lingkup Masalah

Berdasaarkan uraian pada latar belakang di atas, ada beberapa masalah yang tridentifikasi, maka dapat dibuat rumusan
masalah yaitu Apakah yang menjadi faktor penyebab terjadinya kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia?.Ruang
lingkup dari pembahasan masalah makalah ini dibatasi hanya meliputi :

1.3.1 Apa yang menjadi Faktor Internal penyebab terjadinya kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia?.
1.3.2 Apa yang menjadi Faktor Eksternal penyebab terjadinya kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia?.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dan manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1.4.1 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini untuk menganalisis faktor penyebab terjadinya kesenjangan kualitas pendidikan di
Indonesia. Faktor – faktor tersebut meliputi;
1. Faktor Internal penyebab terjadinya kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia.
2. Faktor Eksternal penyebab terjadinya kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia.

1.3.2 Manfaat Penulisan

Dari tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan makalah ini, maka dapat dilihat manfaat dari penulisan ini adalah,

1. Manfaat Toritis
Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi di bidang Bahasa Indonesia dalam
hal faktor-faktor yang meneyebabkan terjadinya kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia.
2. Manfaat Paraktis
a). Manfaat bagi penulis, dengan adanya makalah ini, penulis dapat menerapkan dan mengembangkan ilmu yang
didapat selama penulisan, mempunyai wawasan yang luas, menimbulkan kepekaan sosial, mampu menemukan
solusi untuk mengatasi kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia, serta mampu berkontribusi terhadap
pemerintah Indonesia khususnya di bidang pendidikan.
b). Manfaat bagi lembaga, sebagai bahan referensi acuan dalam penyusunan makalah di masa yang akan dating
khususnya pada mata kuliah Bahasa Indonesia,
c). Manfaat bagi pembaca, adanya makalah ini pembaca dapat ikut berfikir dan menemukan solusi untuk mengatasi
kesenjangan kualitas pendidikan di indonesia, sehingga pembaca dapat berkontribusi terhadap pemerintah
Indonesia.
d).Manfaat bagi Pemerintah, adanya makalah ini diharapkan bisa menjadi masukan atau sumbangsi untuk
menentukan kebijakan- kebijakan pemerintah selanjutnya dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian ini akan menjelaskan penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan masalah kesenjangan kualitas
pendidikan di Indonesia.

Berdasarkan penelitian sebelumnya dengan judul penelitian “Kesenjangan Pendidikan Antar Daerah”, diperoleh
kesimpulan bahwa,kesenjangan kualitas pendidikan pada masing-masing daerah masih terjadi. Salah satu faktor
penyebabnya adalah perbedaan biaya pendidikan dan kemampuan setiap daerah dalam menyelenggarakan pendidikan.
Dalam hal ini, faktor keuangan dan pembiayaan disadari sebagai salah satu sumber daya utama dalam menunjang
efektivitas pengelolaan pendidikan Untuk penghitungan satuan biaya pendidikan hendaknya didasarkan pada kondisi riil
di masing- masing daerah. Selain itu, perlu pula dilakukan pemetaan kondisi di berbagai daerah untuk mengklasifikasi
berbagai kelompok daerah yang memiliki kesamaan biaya unit (unit cost). (Arini Mayan: 2011)

Penelitian serupa yang berjudul “ Peran Pendidikan dalam Pembangunan Indonesia”, diperoleh kesimpulan bahwa,
pendidikan Indonesia sekarang ini menunjukkan kualitas yang rendah. Kualitas rendah secara garis besar disebabkan
oleh dua masalah yaitu, akses pendidikan yang kurang merata karena terdapat persyaratan tertentu dan karena adanya
kesenjangan ekonomi, serta buruknya kualitas dan relevansi pendidikan seperti rendahnya standar kelulusan dan fungsi
pengawasan terhadap pendidikan di Indonesia.(Rizki Rama :2010).

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang tersebut di atas, maka penulis ingin meneliti ulang mengenai kesenjangan
kualitas pendidikan di Indonesia dengan objek dan struktur yang berbeda.

3.1 Definisi dan Faktor Pendidikan

3.1.1 Pengertian Pendidikan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan
memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai
pengertian yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.
Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, peletak dasar yang kuat pendidkan nasional yang
progresif untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang merumuskan pengertian pendidikan sebagai berikut :

Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter),
pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita
memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras dengan
dunianya

(Ki Hajar Dewantara, 1977:14)

Pengertian Pendidikan Menurut Beberapa Ahli

segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga
mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. (Soekidjo Notoatmodjo. 2003 : 16)

Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tatalaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik. (Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional. 2002 : 263)

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
(UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1)

3.1 2 Faktor yang Mempengaruhi Pendidikan

Faktor yang mempengaruhi pendidikan menurut Hasbullah (2001) adalah sebagai berikut :

1. Ideologi

Semua manusia dilahirkan ke dunia mempunyai hak yang sama khususnya hak untuk mendapatkan pendidikan dan
peningkatan pengetahuan dan pendidikan.

2. Sosial Ekonomi

Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi memungkinkan seseorang mencapai

Tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

3. Sosial Budaya

Masih banyak orang tua yang kurang menyadari akan pentingnya pendidikan

formal bagi anak-anaknya.

4. Perkembangan IPTEK

Perkembangan IPTEK menuntut untuk selalu memperbaharui pengetahuan dan

keterampilan agar tidak kalah dengan negara maju.

5. Psikologi

Konseptual pendidikan merupakan alat untuk mengembangkan kepribadian

individu agar lebih bernilai.


BAB III

METODE PENGUMPULAN DATA

1.1 Metode Penelitian

Dalam makalah ini penulis menggunakan dua macam metode pengumpulan data menurut klasifikasi jenisnya dan
sumbernya, yaitu :

1.2 Metode Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya, diamati dan dicatat untuk pertama kalinya (Marzuki,
2005). Data primer yang digunakan dalam makalah ini yaitu,

a. Metode Kuesioner ( Angket )

Angket adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada responden untuk menggali data sesuai dengan permasalahan
penelitian. Menurut Masri Singarimbum, pada penelitian survai, penggunaan angket merupakan hal yang paling pokok
untuk pengumpulan data di lapangan. Hasil kuesioner inilah yang akan diangkakan (kuantifikasi), disusun tabel-tabel
dan dianalisa secara statistik untuk menarik kesimpulan penelitian.

Tujuan pokok pembuatan kuesioner adalah (a) untuk memperoleh informasi yang relevan dengan masalah dan tujuan
penelitian, dan (b) untuk memperoleh informasi dengan reliabel dan validitas yang tinggi. Hal yang perlu diperhatikan
oleh peneliti dalam menyusun kuesioner, pertanyaan-pertanyaan yang disusun harus sesuai dengan hipotesa dan tujuan
penelitian.

Ditinjau dari segi cara pemakain kuesioner, ada beberapa cara yang bisa dilakukan oleh peneliti, antara lain:

1) Kuesioner digunakan dalam wawancara tatap muka dengan responden

2) Kuesioner diisi sendiri oleh responden

3) Wawancara melalui telepon

4) Kuesioner dikirim melalui pos

b. Metode Interview ( Wawancara )

Yaitu teknik pengumpulan data dengan cara melakukan tanya jawab langsung kepada pihak-pihak yang terkait dan
berhadapan langsung dengan informan.

1. Metode Data Sekunder

Data Sekunder Data sekunder adalah data yang bukan di usahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti (Marzuki,
2005). Data sekunder diperoleh dari berbagai bahan pustaka, baik berupa buku, jurnal-jurnal dan dokumen lainnya yang
ada hubungannya dengan materi kajian yaitu kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia.

Berdasarkan metode pengumpulan data di atas, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data yaitu,

a. Studi Pustaka/Literatur

Metode pengumpulan data dengan teknik studi pustaka/literatur dilaksanakan dengan melakukan pencarian terhadap
berbagai data sekunder mengenai informasi terkait kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia. Tujuan utama
dilakukannya studi pustaka adalah untuk memperoleh bahan yang dapat menunjang dan memperkuat makalah terkait
faktor terjadinya kesenjangan kualitas Pendidikan.

Adapun data sekunder diperoleh dalam studi pustaka/literatur ini adalah:


() Hasil-hasil kajian/penelitian yang berkenaan dengan faktor penyebab terjadinya kesenjangan kualitas pendidikan
di Indonesia.

(a) Jurnal-jurnal ilmiah, majalah, dan makalah tentang faktor penyebab terjadinya kesenjangan kualitas pendidikan di
Indonesia.

(b) Buku dan sejenisnya mengenai profil, program dan hasil-hasil kebijakan pemerintah dalam mengatasi
kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia.

b. Studi Dokumentasi

Yaitu dengan cara memperoleh data melalui pengkajian dan penelaahan catatan penulis maupun dokumen dokumen
yang berkaitan dengan masalah- masalah yang diteliti.

BAB IV

PEMBAHASAN

Keseriusan pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan nasional tampak cukup menjanjikan ketika ditetapkan alokasi
anggaran sebesar 20,2 % setelah menteri pendidikan Muhammad Nuh menaikkan anggaran sebesar 0,2 % di awal tahun
2011. Berbagai program telah dilaksanakan,seperti dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan beasiswa dengan
beragam klasifikasi. Namun, apa yang kita lihat, mulai dari tingginya biaya pendidikan sampai banyaknya anak jalanan
yang sama sekali “tidak memiliki harapan untuk mendapatkan pendidikan. Justru yang terjadi sekarang ini,kualitas
pendidikan di Indonesia semakin terpuruk, pendidikan menjadi angan-angan yang tinggi bagi mereka yang tidak
mampu.

Hingga saat ini memang belum terjadi pemerataan pendidikan, baik dari segi tenaga pengajar, fasilitas sarana
prasarana, sampai siswa-siwanya yag kelak menjadi generasi penerus bangsa. Sekolah yang kualitasnya bagus karena
memiliki pengajar yang kompeten, fasilitas lengkap, dan siswa-siswanya cerdas akan semakin bagus. Sedangkan sekolah
yang kualitasnya sedang justru sebaliknya. Sekolah yang kualitasnya sedang atau kurang bagus akan menjadi bertambah
buruk. Sudah tenaga pengajarnya kurang kompeten, fasilitasnya kurang, siswa-siswanya juga kurang secara akademis
menurut Prof. Eko Budihardjo (dalam www.mediaindonesia.com).

“Sekolah yang kualitasnya sedang atau kurang bagus akan menjadi bertambah buruk. Sudah tenaga pengajarnya kurang
kompeten, fasilitasnya kurang, siswa-siswanya juga kurang secara akademis,” katanya.

Dalam bab ini penulis akan membahas mengenai analisis faktor penyebab terjadinya kesenjangan kualitas pendidikan
di Indonesia. Dimana bangsa Indonesia saat ini mengalami rendahnya kualitas pendidikan di banding dengan negara-
negara berkembang lainnya. Dan pastinya mempunyai banyak faktor penyebab terjadinya kesenjangan itu, baik faktor
internal maupun internal dunia pendidikan

Adapun faktor penyebab terjadinya kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia sebagai berikut ;

I. Faktor internal penyebab terjadinya kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia


1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik

perbandingansekolah.jpg

Dilihat dari gambar di atas, sangat nampak sekali kesenjangan pendidikan di Indonesia ini. Kualitas pendidikan di desa
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan
penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian
teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri,
tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan bahkan belajar di tempat yang tidak layak dan
sebagainya.

Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk
di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan
yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara
normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.

Dibandingkan dengan kualitas sarana fisik yang ada di kota-kota besar, mereka memiliki fasilitas-fasilitas yang memadai,
mulai dari bangunan yang mewah, penggunaan media belajar yang lengkap, laboratorium, perpustakaan,dan
sebagainya.

Bagaimana siswa bisa meningkatkan prestasi belajar mereka, sedangkan kondisi secara fisik tidak mendukung. Data
Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898
siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi
baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan
berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada
umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.

2. Rendahnya Kualitas Guru

20111217_023352_guru.jpgguru-03.jpg

Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru,
sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan
kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima
di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru.
Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka
ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia
akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.

Selain rendahnya kualitas sarana fisik, Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Khususnya di daerah-
daerah terpencil. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya
sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran,
menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan
pengabdian masyarakat. Dibandingkan pengajar di kota-kota besar, mayoritas pengajar di kota sudah mendapatkan
sertifikasi dan lulusan dari luar negeri.

Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan
mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07%
(negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73%
(swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).

Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998)
menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain
itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat
sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari
181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).

Pemerintah khususnya departemen pendidikan nasional,mewajibkan guru-guru disekolah dasar hingga ke sekolah
lanjutan tingkat atas,harus berpendidikan minimal,S1 strata sarjana,untuk meningkatkan mutu,dan juga mewajibkan
guru,ikut profesi sertifikasi guru sebagai bukti guru tersebut mempunyai kapabilitas.

Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran
merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat
besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga
dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.

3. Faktor Infrastruktur

Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan
penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kerusakan sarana dan prasarana ruang kelas dalam jumlah yang banyak,
maka proses pendidikan tidak dapat berlangsung secara efektif.

Aspek sarana dan prasarana yang berkaitan dengan tercapainya pendidikan tidak hanya jumlah dan kondisi gedung
sekolah atau tempat-tempat pendidikan, tetapi juga akses menuju tempat pendidikan tersebut yang dalam hal ini
berupa kondisi jalan sehingga menghambat penyaluran bantuan dari pemerintah seperti buku-buku pelajaran ke daerah
yang sulit dijangkau.

4. Jumlah dan Kualitas Buku Yang Belum Memadai

Ketersediaan buku yang berkualitas merupakan salah satu prasarana pendidikan yang sangat penting dibutuhkan dalam
menunjang keberhasilan proses pendidikan. Sebagaimana dalam PP No 19/2005 tentang SNP dalam pasal 42 tentang
Standar Sarana dan Prasarana disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot,
peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain
yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan (ayat 1).

Secara teknis, pengadaan buku pelajaran di sekolah tidak lagi boleh dilakukan oleh sekolah dengan menjual buku-buku
kepada siswa secara bebas, melainkan harus sesuai dengan buku sumber yag direkomendasikan oleh pemerintah

5. Mahalnya Biaya Pendidikan

Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan
masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga
Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin
tidak boleh sekolah.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS
(Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan
mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya
unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah
terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat
implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-
orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah,
dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan
rakyatnya.selain itu, mahalnya biaya pendidikan menyebabkan banyaknya anak putus sekolah karena tidak mampu
menjangkau biaya yang tinggi,.

6. Keterbatasan Anggaran

Ketersediaan anggaran yang memadai dalam penyelenggaran pendidikan sangat mempengaruhi keberlangsungan
penyelenggaraan tersebut. Ketentuan anggaran pendidikan tertuang dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas dalam
pasal 49 tentang Pengalokasian Dana Pendidikan yang menyatakan bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan
biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada
sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (ayat 1).

Permasalahan lainnya yang juga penting untuk diperhatikan adalah alasan pemerintah untuk berupaya merealisasikan
anggaran pendidikan 20% secara bertahap karena pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mengalokasikan 20%
secara sekaligus dari APBN/APBD. Padahal kekayaan sumber daya alam baik yang berupa hayati, sumber energi,
maupun barang tambang jumlahnya melimpah sangat besar. Tetapi karena selama ini penanganannya secara
kapitalistik maka return dari kekayaan tersebut malah dirampas Oleh para ahli pemilik modal sehingga pemabnagunan
di daerah daerah menjadi tidak merata dan timbullah kesenjangan.

7. Rendahnya Prestasi Siswa

Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi
siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia
internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia
hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam
hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga
yang terdekat.

Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah
mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul
Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177
negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.

Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali
menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa
menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda. Sebagai gambaran rendahnya prestasi siswa di Indonesia ditunjukkan
dengan sample angka ketidaklulusan yang meningkat per tahun.

8. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia

Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah,
menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru,
instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat
berguna.

Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk
membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang
terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat.
Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang
mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan
minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.

Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa
mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta
didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di
Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas
pendidikan di Indonesia.

9. Efisiensi Pendidikan Di Indonesia

Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses
pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses
yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan
prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam
proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di
Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.

Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau
lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung
seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang
kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun
peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain
sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada
pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.

Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey
lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain.
Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari
pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik
yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang
mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa
proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal
untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.

Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya.
Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang
sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan
yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga
mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004,
kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum
baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi
pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering
mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih
efektif.

Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan
yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep
efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian
kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta
jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran

10. Standarisasi Pendiidkan di Indonesia

Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang
kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.Seperti yang kita lihat
sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap
standar dan kompetensi.

Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk
badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional
Pendidikan (BSNP).

Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau
belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti
UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus
tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta
didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti
itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal
yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita.

Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita
mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.

Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus
beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.

11. RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional)

Suatu negara bisa dikatakan maju apabila dinegara suatu pendidikan teratur dan maju,maka akan timbulnya suatu
kesejahteraan pada negara tersebut (richardd,university mc gill). Kebijakan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI)
justru menciptakan kesenjangan mutu dan layanan pendidikan. Padahal, pemerintah semestinya memperjuangkan
kesetaraan mutu dan layanan pendidikan bagi semua anak bangsa. "Dalam UUD 1945 jelas disebutkan bahwa
pendidikan adalah hak warga negara. Karena itu, mutu pendidikan yang baik bukan hanya untuk sekelompok orang,
tetapi untuk semua anak bangsa," ujar Psikolog Sosial Universitas Indonesia Bagus Takwin selaku saksi ahli pemohon uji
materi pasal 53 ayat 3 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu
(2/5/2012). Sidang dengan agenda mendengarkan saksi dari pemohon dan pemerintah ini dipimpin Ketua MK Mahfud
MD.

Dalam literatur psikologi pendidikan, lanjut Bagus, anak-anak justru berkembang lebih baik jika terjadi interaksi dan
dialog dengan guru dan siswa yang berbeda-beda. Dengan demikian, anak-anak pintar bisa berbagi, sedangkan anak-
anak yang kurang pintar bisa belajar untuk meningkatkan diri. jika anak-anak bangsa sudah dikotak-kotakkan
berdasarkan kelompok kecerdasan ataupun kondisi ekonomi lewat sekolah, generasi muda Indonesia akan terbiasa
berpikir bahwa ketidakadilan dan kesenjangan merupakan hal yang biasa. Dalam kebijakan pendidikan, pemerintah
semestinya menutup celah anak-anak bangsa tertinggal jauh dari anak-anak lainnya.

II. Faktor Eksternal penyebab terjadinya kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia

1. Rendahnya Kesejahteraan Guru

Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia.
Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru
menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5
juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan
seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan.

Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang
buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005). Dengan adanya UU Guru dan Dosen,
barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan
hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain
meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan
lain yang berkaitan dengan tugasnya.

Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas. Tapi, kesenjangan
kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah
kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403
PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru
dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006) .

2. Laju Pertumbuhan Penduduk


Masalah kependudukan dan kepribadian bersumber pada dua hal :

a. Pertambahan penduduk

b. Penyebaran penduduk

a. Dengan bertambahnya penduduk, maka penyediaan prasarana dan sarana pendidikan beserta komponen penunjang
terselenggaranya pendidikan harus ditambah. Dengan demikian terjadi pergeseran permintaan akan fasilitas
pendidikan, yaitu untuk sekolah lanjut cendrung lebih meningkat dibanding dengan permintaan akan fasilitas sekolah
dasar.

b. Penyebaran penduduk diseluruh pelosok tanah air tidak merata, sebaran penduduk yang seperti digambarkan itu
menimbulkan kesulitan dalam penyediaan prasarana dan sarana pendidikan.

3. Keterbelakangan Budaya dan Saran Kehidupan

Keterbelakangan budaya adalah suatu istilah yang diberikan oleh sekelompok masyarakat (yang menganggap dirinya
sudah maju) kepada masyarakat lain pendukung suatu budaya. Perubahan kebudayaan terjadi karena adanya
penemuan baru dari luar maupun dari dalam lingkungan masyarakat sendiri. Keterbelakangan itu terjadi karena :

•Letak geografis tempat tinggal suatu masyarakat

• Penolakan masyarakat terhadap datangnya unsur budaya baru karena tidak dipahami

atau karena dikhwatirkan akan merusak sendi masyarakat.

• Ketidak mampuan masyarakat secara ekonomis, menyangkut unsur kebudayaan

tersebut.

• Masyarakat daerah terpencil

•Masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis

• Masyarakat yang kurang terdidik.

Yang menjadi masalah ialah bahwa kelompok masyarakat yang terbelakang kebudayaannya tidak ikut berperan dalam
pembangunan sebab mereka tidak mempengaruhi dorongan untuk maju. Mereka sulit untuk menerima arus globalisasi.
Hal itu menjadi salah satu alasan mengapa pemerataan pendidikan belum juga terlaksana.

4. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan

Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen
Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi
Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk
kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu
layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan
menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan
strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.

5. Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan

Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak
tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0
sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi
untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999,
setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan
masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini
disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik
memasuki dunia kerja.

BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis pada bab pembahasan, penulis dapat menarik kesimpulan, bahwa Faktor Penyebab
Terjadinya Kesenjangan Kualitas Pendidikan di Indonesia tidak hanya dari faktor internal namun juga dari faktor
eksternal yang berdampak secara signifikan terhadap peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Banyak sekali faktor
yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Faktor-faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah
rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana fisik, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya
kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan
pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan
di Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia yang dihasilkan dari sistem ini adalah
manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka
disinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan
di Indonesia.

5.1.2 Saran

Permasalahan aktual berupa kesenjangan-kesenjangan yang pada saat ini kita hadapi dan terasa mendesak untuk
ditanggulangi beberapa masalah aktual pendidikan yang akan dikemukakan aktual pendidikan ada yang mengenai
konsep dan ada yang mengenai pelaksanaannya.

Masalah aktual tersebut antara lain :

a. Masala keutuhan pencapaian sasaran

b. Masalah kurikulum

c. Masalah

d. Peranan guru

e. Masalah pendidikan 9 tahun

f. Hambatan lainnya berasal dari sambutan masyarakat.

Utamanya dari orang tua/kalangan orang yang kurang mampu, mereka mungkin cenderung untuk tidak menyekolahkan
anaknya karena harus membiayai anaknya lebih lama.
Berdasarkan kesimpulan, maka saran yang dapat penulis berikan untuk memberikan sumbangsi terhadap kebijakan
pemerintah selanjutnya adalah sebagai berikut :

Upaya penanggulangan

a. Pendidikan efektif perlu ditingkatkan secara terprogram tidak cukup berlangsung hanya secara incidental.

b. Pelaksanaan KO dan ekstrakurikuler dikerjakan dengan penuh kesungguhan dan hasilnya diperhitungkan dalam
menetapkan nilai akhir ataupun perlurusan untuk itu, perlu dikaitkan dengan pemberian insentif oleh guru.

c. Pemilihan siswa kelas atas kelompok yang akan melanjutkan belajr keperguruan tinggi dengan yang akan tertuju
kepada masyarakat merupakan hal yang prinsip, karena pada dasarnya tidak semua siswa secara personal maupun
belajar diperguruan tinggi.

d. Pendidikan tenaga kependidikan (perjabatan dan jabatan) perlu diberi perhatian khusus, oleh karena itu, tenaga
kependidikan khususnya guru menjadi penyebab lahirnya sumber daya manusia yang berkualitas untuk pembangunan.

e. Diperlukan asas dalam mengelola daerah yang meliputi desentalisasi pelayanan publik/rakyat dan dekonsentrasi.
Untuk memudahkan pelayanan pendidikan kepada rakyat/publik, otonomi daerah dapat digunakan. Otonomi daerah
merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya
otonomi daerah, akan tercipta suatu otonomi pendidikan yang mampu mengatur sistem pendidikan di suatu daerah
sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing.

g. Sementara itu, di daerah yang terpencil, masih banyak anak yang masih belum mendapatkan pendidikan dengan
baik karena kekurangan guru, ruang kelas yang tidak layak dan akses ke sekolah yang sulit ditempuh. Jangankan untuk
mengembangkan sistem pendidikan di sekolah, untuk memperbaiki gedung saja dananya tidak ada. Jika hanya
mengandalkan perhatian pemerintah pusat, keadaan ini akan terus berlangsung. Oleh karena itu perlu adanya otonomi
pendidikan di daerah.

h. Pengembangan sistem perencanaan berdasarkan kebutuhan dan ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan;

i. Pengembangan sistem dan mekanisme rekrutmen dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan yang
merata secara geografis, tepat jumlah, tepat kualifikasi/keahlian, dan gender.

j. Peningkatan jumlah pendidik di wilayah/daerah yang kekurangan

Seperti pengaturan mekanisme penempatan dan redistribusi guru, penambahan guru baru, perubahan status pendidik
dari satu jenjang ke jenjang lain, integrasi guru/tutor mata pelajaran sejenis, pola insentif guru di daerah terpencil,
memberikan bantuan bagi guru tidak tetap (GTT) swasta, pengawas/penilik/pamong belajar, dan guru daerah terpencil.

k. Perluasan jurusan LPTK pada bidang yang masih kekurangan seperti guru MIPA, Bahasa Inggris dan teknologi
kejuruan;

l. Penambahan jumlah tenaga kependidikan secara proporsional

Seperti pengawas sekolah, penilik, pegawai tata-usaha, laboran, pustakawan, pengembang sumber belajar, arsiparis,
operator komputer, dsb, melalui penambahan tenaga baru, penempatan tenaga non-kependidikan menjadi tenaga
kependidikan di sekolah atau lembaga pendidikan lain

m. Pemberian disinsentif pada pendidik yang melanggar etika profesi.

Dalam rangka pemerataan dan perluasan akses, dilakukan pengadaan guru. Untuk meningkatkan daya tarik
penempatan guru di daerah-daerah sulit, perlu dibentuknya suatu program penataran (upgrading) bagi guru-guru yang
sudah ada (SD/MI) agar mereka memiliki kesempatan untuk mengajar di SMP atau sekolah-sekolah layanan khusus
pada SMP Khusus.

n. Pengembangan pola manajemen pendidik dan tenaga kependidikan yang mandiri dan berbeda dengan pola
manajemen birokratis.
Pola manajemen ini diharapkan akan dapat mereposisi guru dari posisi periperal, yaitu posisi di kawasan pinggiran atau
terpinggirkan, menuju posisi sentral, memberikan perlindungan hukum yang pasti dalam profesi, kesejahteraan,
jaminan sosial, hak dan kewajiban.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai