“Wat de Atjehsche vrouwen betreft, haar rol in den krijg is zelfs thans moeilijk te
schatten, maar het was meestal eene zeer actieve. De Atjehsche vrouw, fier en
dapper, was de verpersoonlijking van den bittersten haat jegens ons, en van de
uiterste onverzoenlijkheid, en als zij medestreed, dan deed zij dit met eene energie
en doodsverachting welke veelal die der mannen overtroffen. Zij was de draagster
van een haat die brandde tot den rand van het graf, en nog in het aangezicht van
den dood spuwde zij hem den Kaphe" in het gezicht” – HC Zentgraaf, ATJEH, hal 44.
Bagi perempuan Aceh, perannya dalam perang sulit diperkirakan, bahkan
hingga saat ini, tetapi biasanya sangat aktif. Wanita Aceh yang gagah dan
berani menjadi personifikasi dari kebencian paling pahit terhadap kami
(Belanda), dan dari keteguhan hati, perempuan ini melakukannya dengan energi
dan penghinaan terhadap kematian yang melebihi pria. Mereka adalah pembawa
kebencian yang membara terhadap Kaphe hingga mendekati ajalnya, dan
menghadapi kematian dengan memuntahkan kebencian di wajahnya.
Ilustrasi lukisan
Ratu Nahrasiyah adalah salah satu perempuan Aceh yang juga banyak berkontribusi di Aceh.
Namanya harum bersanding dengan tokoh perempuan Aceh lainnya, seperti Cut Nyak Dien, Cut
Meutia, Sultanah Safiatuddin Syah, Ratu Inayat Zakiatuddin Syah, dan Nurul Alam Naqiatuddin Syah.
Kendati demikian, namanya seolah tak terdengar karena tertutup oleh dua raja terkenal Kerajaan
Samudra Pasai, yakni Raja Malikussaleh dan Malikudzahir. Padahal, Ratu Nahrasiyah lebih dari 20
tahun berkuasa.
Nahrasiyah merupakan seorang ratu dari Kerajaan Samudra Pasai yang berkuasa dari 1405-1428 M.
Ia anak dari Sultan Zainal Abidin Malikudzahir. Namun, ada versi lain tentang Nahrasiyah yang
menyebutkan bahwa ia adalah janda dari Sultan Zainal Abidin.
Prof T Ibrahim Alfian pernah menulis bahwa Nahrasiyah dikenal sebagai sosok yang bijak dan arif.
Selama berada di tampuk kepemimpinan, ia memerintah dengan sifat keibuan dan penuh kasih
sayang. Saat itu, harkat dan martabat perempuan begitu mulia.
Waku itu banyak perempuan yang menjadi penyiar agama. Ibrahim mengatakan terkait sosok
Nahrasiyah, jejak sejarahnya bisa dilihat dari nisannya. Keterangan tentangnya juga terdapat pada
sejarah Cina, yakni kronik Ying-yai sheng-lan.
Buku tersebut berisi laporan umum mengenai pantai-pantai Sumatra waktu itu serta menyebutkan
raja-raja yang berkuasa. Ma Huan seorang pelawat Cina Muslim dalam pengantar kronik Cina
tersebut disebutkan bahwa dia dikirim bersama Laksamana Cheng Ho ke berbagai negeri karena
mampu menerjemahkan buku-buku asing.
Pada 1415 Cheng Ho dan armadanya mengunjungi Kerajaan Samudra Pasai. Dalam kronik dinasti
Ming (1368-1643) buku 32 diceritakan, Sekandar (Iskandar) keponakan suami kedua Ratu bersama
ribuan pengikutnya menyerang dan merampok Cheng Ho. Tapi, serdadu-serdadu Cina berhasil
mengalahkan penyerang tersebut hingga kemudian Sekandar ditangkap dan dibawa sebagai
tawanan Istana Maharaja Cina. Di sana, Sekandar dijatuhi hukuman mati.
K eumalahayati, adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh.
Ayahnya bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana
Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun
1530–1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah
(1513–1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.
Pada tahun 1585–1604, dia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia
dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV
Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah syahid)
berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599 sekaligus
membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal. Dia
mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan
nama Laksamana Malahayati. Saat meninggal dunia, jasad Malahayati dikebumikan di bukit Krueng
Raya, Lamreh,Aceh Besar.
Perundingan Damai
Laksamana Malahayati tidak hanya cakap di medan perang. Ia juga melakukan perundingan damai
mewakili Sultan Aceh dengan pihak Belanda. Perundingan itu adalah upaya Belanda untuk
melepaskan Frederick de Houtman yang ditangkap oleh Laksamana Malahayati. Perdamaian itu
terwujud. Frederick de Houtman dilepaskan namun Belanda harus membayar ganti rugi kepada
Kesultanan Aceh. Laksamana Malahayati juga menjadi orang yang menerima James Lancaster, duta
utusan Ratu Elizabeth I dari Inggris.
Laksamana Malahayati meninggal dunia pada tahun 1615. Makamnya terletak di Desa Lamreh,
Kecamatan Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar.
Laksamana Malahayati mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 9 November
2017 bersama dengan 3 orang lainnya.
Atas jasa-jasanya Pemerintah Republik Indonesia, Presiden Joko Widodo menganugerahi Gelar
Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/TK/Tahun 2017
tanggal 6 November 2017.
C ut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848 – Sumedang,
Jawa Barat, 6 November 1908; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang
Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang
Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga
bertempur melawan Belanda. Tewasnya Ibrahim Lamnga di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878
kemudian menyeret Cut Nyak Dhien lebih jauh dalam perlawanannya terhadap Belanda.
Pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar, setelah sebelumnya ia dijanjikan
dapat ikut turun di medan perang jika menerima lamaran tersebut. Dari pernikahan ini Cut Nyak
Dhien memiliki seorang anak yang diberi nama Cut Gambang[2]. Setelah pernikahannya dengan
Teuku Umar, Cut Nyak Dhien bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda. Namun,
pada tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar gugur. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien berjuang
sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Usia Cut Nyak Dien yang saat itu sudah
relatif tua serta kondisi tubuh yang digrogoti berbagai penyakit seperti encok dan rabun membuat
satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba.[3][4] Ia akhirnya
ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh.
Keberadaan Cut Nyak Dhien yang dianggap masih memberikan pengaruh kuat terhadap perlawanan
rakyat Aceh serta hubungannya dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap membuatnya
kemudian diasingkan ke Sumedang. Cut Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan
dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang. Nama Cut Nyak Dhien kini diabadikan sebagai Bandar
Udara Cut Nyak Dhien Nagan Raya di Meulaboh.
Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI
Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang VI Mukim, yang
juga merupakan keturunan Datuk Makhudum Sati, perantau dari Minangkabau. Datuk Makhudum
Sati merupakan keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan
Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman. Datuk Makhudum Sati mungkin
datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul
Munir. Sedangkan ibunya merupakan putri uleebalang Lampageu.
Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh pendidikan pada
bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak,
melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya).
Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia
sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari
uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.
Perlawanan saat Perang Aceh
Rencong merupakan senjata tradisional milik Suku Aceh. Cut Nyak Dhien menggunakan Rencong
sebagai salah satu alat perang untuk melawan para tentara Kerajaan Belanda pada saat Kerajaan
Belanda menyerang Kerajaan Aceh dan membakar Masjid Raya Baiturrahman pada tahun 1873.
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan
tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Perang Aceh pun
meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan
Machmud Syah bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat itu,
Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai
Makam
Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan
permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di
Belanda. Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara sarasehan. Pada acara tersebut,
peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak sekitar dua kilometer. Menurut pengurus
makam, kumpulan masyarakat Aceh di Bandung sering menggelar acara tahunan dan melakukan
Setelah Umar syahid perjuangannya untuk tidak pernah menyebut istilah jahat untuk Cut
sebagian besar diteruskan oleh isterinya Cut Nya' Dhien, walau pun sudah ratusan nyawa
Nya' Dhien yang sudah mulai lanjut usianya. Belanda melayang akibat penyerangan Cut
Panglima Nya' Makam dibunuh secara buas Nya' Dhien.
oleh Belanda dalam bulan Juli 1896. Orang
C. van der Pol dalam uraian khususnya
pertama yang meningkat kegemasannya
mengenai Cut Nya' Dhien, ketika
terhadap Belanda sebagai akibat kebuasan
menceritakan akibat-akibat kebuasan Belanda
Belanda terhadap Nya' Makam, adalah Cut
seperti kejadian terhadap Nya' Makam, yang
Nya' Dhien sendiri.
membuat Cut Nya' Dhien berdendam
Cut Nya' Dhien bukan hanya memandang Nya' kesumat terhadap Belanda, telah menulis
Makam laksana putera kandung tapi bukan hanya ratusan korban yang
keperwiraan Nya' Makam telah memperhebat ditimbulkana oleh Cut Nya' Dhien tapi ribuan
hormat dan kagumnya. Sudah lamalah jiwa dan jutaan uang. Untuk jelasnya penulis
diketahui umum di masa itu bahwa Cut Nya' pindahkan bagian kalimatnya sebagai berikut:
Dhien selain pendorong suaminya, Umar, "Zij (maksudnya Cut Nya' Dhien dan
supaya tetap bersabil dalam jalan Allah, juga pengikutnya-M.S.) smeedden wraakplannen
Cut Nya' Dhien menjadi "actor intellectualis" zoo grootsch en veelomvattend, dat er vele
penyerangan-penyerangan terhadap Belanda. duizenden levens en millioenen schats moeten
worden opgeofferd om ze te verijdelen."
Dialah yang selalu berdiri di belakang layar.
Selagi Umar masih kerja sama dengan C. van der Pol menempatkan pahlawan
Belanda di sekitar tahun 1894, harian wanita ini dalam sebentuk kalimat "een der
Bataviaasch Handelsblad di Jakarta telah merkwaardigste vrouwen in Nederland Indie"
mensinyalir pengaruh Cut Nya' Dhien. Harian ("salah seorang wanita yang mengajaibkan di
Belanda itu mengatakan antara lain: "Zoo Indonesia").
staat Teuku Umar de man van het oogenblik
Sekujur tubuh Cut Nya' Dhien boleh
in Groot Atjeh, geheel onder den invloed van
ditamsilkan melambangkan unsur benci
zijn Tjut Nya' Dhien". (Demikianlah, Teuku
Belanda, benci penjajahan, yaitu penjajahan
Umar, orang penting dewasa ini di Aceh
yang dikenalnya dari dekat penuh dengan
Besar, sepenuhnya berada di bawah pengaruh
penindasan dan kebuasan.
isterinya, Cut Nya' Dhien), harian itu
mengupas betapa besarnya pengaruh wanita- Sesungguhnyalah dari pihak Belanda sendiri
wanita Aceh terhadap suaminya dan besarnya dengan tidak sangsi telah menyatakan
peranan mereka di bidang politik. Dengan kekaguman terhadap ketangkasan Cut Nya'
adanya kenyataan itu Belanda senantiasa Dhien berjuang dan keteguhan imannya.
dihinggapi oleh penyakit takut kepada Cut Tenaganya susut karena tuanya, tapi
Nya' Dhien. Tapi berlainan dengan Umar yang dibanding dengan kewanitaannya, maka
selalu diberi diskwalifikasi oleh Belanda kesanggupannya berjuang hingga mencapai
dengan istilah "schurk", Belanda rupanya usia yang lanjut sekali, sangatlah
mengagumkan. Mungkin karena bangsa
Keureutoe menempati kedudukan khas di Ci' Bintara nikah dengan Cut Meuthia
antara wilayah Aceh, sebagai salah satu yang (Meuthia Mutiara), memang dia adalah
terkemuka dan terkaya, kata wartawan mutiara antara sesama wanita. Dia puteri dari
Belanda Zentgraaf. Negeri itu sedemikian Teuku Ben Dawot dari Pira, salah seorang
padat penduduknya, sehingga timbul julukan uleebalang yang tak mengenal apa arti
namanya "Kejuruan Lalat' pemerintahan tunduk, dan ketika "kompeni" berhasil
wilayah di mana manusianya sedemikian merebut mukim tersebut, ia pun hijrah ke
besar bilangannya, laksana lalat. Juga dalam gunung dan ke hutan-hutan di luar daerah
sejarah, Keureutoe mengambil tempat jangkauan Belanda, di sanalah mereka
terkemuka. Dalam masa pemerintahan Sultan berdiam, sembari menyatakan diri hanya satu
Aceh, uleebalangnya turut bersuara dalam yang mereka akui, yakni Sultan.
musyawarah.
Cut Meuthia selain cantik, tapi juga gairah dan
Sebelum perang, Pocut Asiah seorang gaya, dengan pakaian sesuai dengan
bangsawan wanita menjadi uleebalang di kedudukannya; seluar hitam dan baju yang
Keureutoe, atas dasar keturunan sepanjang menutupi dada dilengkapi oleh hiasan emas,
adat. Lalu diganti oleh Teuku Cut Muhammad, rambut ikal hitam dengan "ulee ceumara",
yang telah mengakui kedaulatan Belanda dan gelang kaki melilit pergelangan betis yang
tahun 1899, menjadi uleebalang. Namun manis. Jangan heran bila Sultan sendiri pun
Belanda senang pecah belah. Demikian politik terpesona padanya, namun beliau tetap
yang dijalankan oleh van Heutsz untuk menjauh diri. Tidak layak ia menjadi istri
wilayah-wilayah pantai timur dan utara Aceh. Teuku Bintara, apalagi untuk diajak
Setiap mukim harus dipecah kalau angkat tergantung pada "Kompeuni". Ialah puteri
muka. Tapi ketika perlawanan mereka, dan yang murni dari bangsanya. Jiwa raganya
ingin dipulihkan kembali pada wajarnya, melekat terus kepada para pejuang yang tak
ternyata tokoh-tokoh yang baik sudah mau tunduk dan tinggal di gunung, mereka
mengendap digunung. yang hanya tunduk mengabdi pada jalan Fi
Sabilillah, di mana ayah bundanya aktif serta.
Ketika menduduki Keureutoe Belanda tidak
Ke sanalah idamannya, di tempat yang ia
menginginkan Teuku Cut Muhammad,
selalu pergi, bebas dari kafir. Karena itu sang
melainkan memilih saudara tirinya Teuku Ci'
suami tidak senang, lalu menjatuhkannya
Bintara, pada hal orang ini kurang populer di
talak. Cepat juga (selesai idah) Cut bernikah
antara rakyat. Selain itu kurang dipercaya.
dengan saudara tiri dari bekas suaminya,
Begitu pun dalam rangka merealisasi politik
Teuku Cut Muhammad, seorang yang juga
"pasifikasi" dialah yang diinginkan oleh
tidak disukai oleh Kompeni. Ia pun lalu
Belanda, teungku Cut Muhammad
berhijrah ke gunung dan ikut berjuang bahu
mempunyai pembawaan seseorang pemimpin
membahu dengan mereka.
yang berwibawa karena itu pengaruh
pribaDhienya senantiasa membayangi Teuku Cut Muhammad diangkat oleh" Sultan
saudaranya. menjadi uleebalang Keureutoe, disyahkan
dengan "Cap Sembilan" (Sikureueng). Dengan
Pocut Baren
Pocut Baren adalah seorang pahlawan dan ulama wanita dari Aceh yang terkenal gigih melawan
penjajahan Belanda. Selain menjadi panglima perang, ia pun menjadi uleebalang daerah Gome. Ia
mempunyai pengikut setia yang banyak dan membantunya dalam pertempuran melawan Belanda.
Menurut cerita penduduk, ia ikut bergerilya bersama-sama pasukan yang dipimpin oleh Cut Nyak
Dhien. Setelah Cut Nyak Dhien tertangkap oleh Belanda, Pucut Baren tetap meneruskan perjuangan
menentang penjajahan Belanda. Ia menjadi panglima perang menggantikan suaminya yang
meninggal dunia dalam peperangan.
Riwayat
Pocut Baren merupakan anak perempuan seorang uleebalang Teuku Cut Ahmat Tungkop sebuah
kemukiman di Kecamatan Sungai Mas, Kabupaten Aceh Barat. Ia lahir pada tahun 1880 di Kabupaten
Aceh Barat.
Setelah dewasa menikah dengan seorang Keujruen yang kemudian menjadi Uleebalang Gume,
Kabupaten Aceh Barat. Yang kemudian tewas dalam peperangan melawan Belanda. Peperangan
yang dia ikut juga didalamnya. Namun kematian suaminya tidak menyurutkan semangatnya untuk
terus melanjutkan berjuang. Setelah suaminya tewas kemudian Pocut Baren menggantikan
suaminya sebagai uleebalang, Dalam berptempur Pocut Baren selalu diiringi oleh semacam
pengawal, terdiri dari lebih kurang tiga puluh orang pria. Kemana-mana ia selalu memakai
peudeueng tajam (pedang tajam), sejenis kelewang bengkok
Perlawanan terhadap Belanda
Pocut Baren telah berjuang dalam waktu yang cukup lama. Sejak muda ia terjun ke kancah
pertempuran. Pocut Baren juga ikut berjuang bersama-sama dengan Cut Nyak Dhien. Perjuangan
dan perlawanan Pocut Baren yang gagah berani dilukiskan sendiri oleh penulis Belanda bernama
Doup. Pocut Baren telah melakukan perlawanan terhadap Belanda sejak tahun 1903 hingga tahun
1910. Cut Nyak Dhien pernah tertangkap oleh pasukan Belanda pada tanggal 4 November 1905.
Artinya, Pocut Baren pernah memimpin sendirian pasukannya melawan Belanda, meskipun Cut Nyak
Dhien masih aktif berjuang secara sendirian. Dengan demikian, pada masa itu di wilayah Aceh
Orang Belanda mengatakan bahwa Aceh kaya dengan Belanda. Kepada mereka yang
dengan sejarahnya. Pendapat ini tidak bersedia menyecahkan tanda tangannya,
sekedar berdasar peristiwa sebelum agresi tidak lagi dilakukan oleh Belanda (blokkade)
Belanda di tahun 1873 ke Aceh, tapi terutama pantai-pantai mereka. Bebaslah raja-raja dan
pula setelah mereka mengalami sendiri pedagang melancarkan perniagaan sebagai
perkembangan-perkembangan sejak itu. biasa. Sejak tahun 1874 memang ada raja-
Kegagalan pendaratan pertama tahun 1873 raja kecil (di pantai) barat dan timur,
mencapai berjilid-jilid buku tebal ceritanya, menandatangani kontrak politik dengan
ditulis oleh para ahli sejarah. Setelah "Kraton" Belanda, demi kesempatan dengan luar
(Dalam) direbut oleh van Swieten akhir terbuka, seperti tidak ada terlihat
Januari 1874, banyak pula kisah yang dapat perlawanan mereka. Tapi nyatanya, dari
dihimpun (diinventarisir) dari situ. van keuntungan itu mereka sumbangkan ke
Swieten mengatakan bahwa ia sudah berhasil Keumala untuk dana perang, disamping
menaklukkan Aceh, padahal nyatanya masih mereka mengirim balabantuan pemuda
100% tidak benar. Ia dikecam. Dan pejuang ke sana untuk bertempur ke medan
dihubungkan dengan perlawanan yang perang.
berkecamuk sejak itu, ditambah dengan
Peristiwa-peristiwa sebagai ini pun turut
catatan-catatan orang Belanda sendiri
memperkaya lembaran kisah sejarah Aceh.
mengenai perkembangan peristiwa
Dari ungkapan-ungkapan mengenai apa yang
sebenarnya, maka banyak pulalah bukubuku
terjadi belakang layar, terutama tentang
yang ditulis orang sehingga memperkaya
pergantian jenderal-jenderal, dapat pula
sejarah Aceh pula.
ditelaah bagian-bagian yang cukup
Dengan perkembangan seterusnya, ketika mengesahkan dalam sejarah perang Aceh
silih berganti jenderaljenderal yang tersebut, mengenai betapa sulitnya Belanda
memimpin penyerangan ke sana, meninggal, menghadapinya.
sakit, pindah tugas dan entah apa lagi alasan-
Dalam bulan Juni 1877 Gubernur/Panglima
alasan, di samping pengalaman-pengalaman
perang Belanda untuk Aceh, jenderal A.J.R.
mereka menghadapi perlawanan tersebut, itu
Diemont, disebut sebagai sakit. Tidak
pun semua mempertebal catatan sejarah
dijelaskan dari sebab apa, atau apakah kena
wilayah tersebut. Ketika pusat kerajaan Aceh
tembak pula. Tapi walau pun tidak, non-
hijrah ke Keumala (Pidie), solidaritas kerajaan-
aktifnya jenderal Diemont merupakan tokoh
kerajaan kecil di luar Aceh Besar, terutama di
panglima besar yang ke-3 kerugian militer
pantai-pantai, terus-terus secara positif dapat
Belanda. Ia digantikan oleh kolonel
memperteguh daya tahan perjuangan.
(kemudian: jenderal) Karel van der Heijden,
Mengesankan juga bentuk solidaritas yang
seorang militer Belanda yang terkenal ganas
diberikan yang ada kalanya menampakkan
dan buas. Rupanya ia dipilih sengaja
gejala bahwa raja-raja kecil di pantai itu
dipentingkan mentalitas sebagai itu dalam
seolah-olah patah semangat, diketika mereka
menghadapi Aceh. Ia seorang anak Indo dari
rela menandatangani perjanjian politik
Keumangan Oesen, Potjoet Di Rambong (Raimah), Potjoet Manjak dan T Bentara Geulumpang Pajong
Van Heutsz kembali dari perjalanan dan T. Bentara Gloempang Pajong dan Potjoet di
sangat terkesan dengan hasil tangkapan yang Rambong.
dilakukan Marechausse ini, yang sebagian
Sesudah pemeriksaan mendalam di kediaman
besar berkat jasa Dr. Snouck Hurgronje, yang
Teungkoe Gadé (Teupin Raya) didapatkan 20
dengan krani nya seorang Atjeh telah berhasil
pucuk senjata dan amunisi, 1.800 dollar
untuk mencuri dengar tempat persembunyian
Spanyol dan perhiasan emas seharga 3.600
dollar. Untuk pertama kali terungkap bahwa
Potjoet Di Rambong (Raimah) dan Potjoet Manjak dalam pengasingan di Kuraraja (Keudah)
Pocut Cot Murong, Tuanku Raja Ibrahim dan Pocut Meurah Pakeh
Lagu Dô Da Idi merupakan lagu nina bobo (lullaby) versi bahasa Aceh. Dô da berasal dari
kata peudôda yang berarti bergoyang, dan idi berarti berayun.
Nyanyian ini merupakan pendidikan karakter yang diberikan oleh perempuan Aceh kepada
anak-anaknya pada usia yang sangat dini, dan sekaligus merupan doa bagi anak-anaknya.
Jak lôn tatèh, meujak lon tatèh Mari ibu latih kamu berjalan
Beudoh hai aneuek tajak u Acèh Bangunlah anakku, mari pergi ke ibukota
Meubèe bak ôn ka meubèe timphan Sudah tercium wangi daun dari timphan
Meubèe badan bak sinyak Acèh Seperti wangi tubuh anak Aceh
Allah hai Po Ilahon hak Allah Sang Pencipta yang punya kehendak
Gampông jarak han trôh lôn woe Kampung(ku) jauh, tak mampu pulang
Adak na bulèe ulon teureubang Seandainya (aku) punya bulu untuk terbang
Mangat rijang trôk u nanggroe Supaya lekas sampai ke nanggroe (= Aceh)
Allah hai jak lôn timang preuek Kemarilah, nak, agar dapat kutimang
Sayang riyeuk jisipreuek panté Sayang ombak memecah pantai
‘Oh rayek sinyak nyang puteh meupreuek Jika anak(ku) yang putih ini sudah besar
Töh sinaleuek gata boh haté Di manakah kau akan berada nanti, anakku?
Dikumpulkan oleh:
Teuku Otman
otman.otto@gmail.com