Anda di halaman 1dari 5

PENGGUNAAN KATA ‘JANCUK’ SEBAGAI POP CULTURE,

PANTASKAH?
Oleh : Muchlis Fatahilah

Beberapa tahun belakangan ini masyarakat (khususnya pulau Jawa) yang


banyak didominasi oleh anak muda sangat akrab dengan penggunaan kata jancuk
dalam keseharian mereka. Sudah banyak diketahui bahwa kata ini banyak digunakan
oleh orang-orang kampung Suroboyo saat berkomunikasi dan berinterkasi dalam
kehidupan sehari-hari. Namun, menurut pengamatan penulis, penggunaan kata
tersebut cukup massif setelah rilisnya film Yowes Ben pada tahun 2018 yang
disutradarai oleh Fajar Nugros dan Bayu Skak. Film yang mampu merangkul 825-
an penonton tersebut menggunakan 80 persen dialog dengan bahasa Jawa. Dalam
berbagai dialog, film ini kerap menyematkan kata jancuk ketika sedang kesal dan
marah serta dibeberapa dialog hanya sekadar spontanitas. Di Film ini pula, kata cuk
digunakan untuk memanggil lawan bicara.

Meski tak sepenuhnya Film Yowis Ben yang menjadi ‘pemantik’ masifnya
kata jancuk di pulau Jawa, namun tidak bisa dipungkiri bahwa Film tersebut menjadi
salah satu bagian yang memperluas penggunaan kata tersebut. Karena, pemain film
yang dalam hal ini adalah komunikator, membawa sebuah pesan yaitu kata jancuk
dan disampaikan melalui media film. Kemudian, seorang komunikan menerima
pesan tersebut dan meniru apa yang disampaikan (menimbulkan effek). Kalau kita
mengingat 5 unsur komunikasi yang disampaikan oleh Laswell, yakni komunikator,
komunikan, pesan, media dan effek, maka semua unsur tersebut telah dipenuhi
dalam proses penyampaian pesan ini. Apalagi, pemeran utama dari Film Yowis Ben
adalah Bayu Skak yang merupakan seorang youtuber dan memiliki banyak
penggemar di tanah air, sudah pasti semakin memperkuat pesan persuasif yang
disampaikan. Hal ini didasarkan pada salah satu rumusan model pendekatan
komunikasi dan persuasi oleh Baron dan Byrne yang menyebutkan bahwa
komunikator yang popular dan menarik biasanya lebih persuasif dan efektif daripada
komunikator yang tidak popular dan kurang menarik.

Seperti yang telah disampaikan diawal, bahwa kata jancuk berasal dari daerah
Surabaya. Di Surabaya, dalam proses interaksi antar individu, mereka menggunakan
bahasa yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu bahasa formal/resmi (bahasa
Indonesia), bahasa antar kelompok (berlaku hanya untuk kelompoknya saja seperti
bahasa Mandarin dan Madura) dan bahasa Jawa dialeg Surabaya atau dikenal dengan
bahasa Suroboyoan. Bahasa Suroboyoan ini digunakan dalam percakapan sehari-
hari warga sana dan sebagai wujud keakraban mereka. Penggunaan bahasa tersebut
akan menjadikan antar individu merasa lebih akrab, percaya diri dan lebih egaliter.
Berdasarkan ketiga kategori bahasa yang digunakan warga Surabaya tersebut, maka
kata jancuk sendiri masuk pada kategori ketiga yaitu bahasa Suroboyoan.

Tidak ada sumber yang secara pasti mendefinisikan kata jancuk. Namun,
berdasarkan asal katanya, dan yang paling rasional menurut penulis adalah berasal
dari nama tank Belanda yang bertuliskan Jan-Cox. Tank ini pula diduga terdapat
dalam pertempuran Surabaya pada 10 November 1945, kemudian ketika tank
tersebut lewat, masyarakat berteriak dengan kata jancuk. Ada berbagai definisi
mengenai kata jancuk sendiri. Sabrot D Malioboro menjelaskan bahwa penggunaan
kata tersebut merupakan bagian dari bahasa Suroboyoan yang paling komunikatif.
Artinya, bahasa tersebut sangat mampu untuk menghubungkan satu individu dengan
individu lain serta mudah dimengerti, difahami dan diterima dengan baik. Lain
daripada itu, Sulistyo mendefinisikan bahwa umumnya kata jancuk akan digunakan
untuk mengumpat atau misuh. Kata tersebut juga dianggap sebagai bentuk tantangan
untuk berkelahi dan dikenal saru (tidak pantas diucapkan). Dengan demikian, kata
jancuk memiliki makna dan fungsi yang bervariasi tergantung dari situasi dan
kondisi komunikasi tersebut. Atas dasar itulah muncul pertanyaan besar dibenak
penulis bahwa apabila kata ini sudah menjadi budaya popular, Bagaimana dinamika
penggunaan kata jancuk pada masyarakat yang multikultur? Apa efek yang
ditimbulkan, dan seberapa tingkat kepantasan pengguaan kata tersebut?

Berkembangnya kata jancuk belakangan ini bukan hanya ada di daerah


Surabaya atau Jawa Timur saja, melainkan diseluruh pulau Jawa bahkan seluruh
Indonesia. Uniknya, pengguna kata ini sangat didominasi oleh remaja. Mungkin,
alasan paling logis mengapa para remaja menggunakan kata ini adalah karena
kelompok sosialnya yang memberikan pengaruh terhadap perkembangan dan pola
perilakunya. Suwarno menuturkan, bahwa kuatnya pengaruh sosial terhadap
individu, maka individu akan mengikuti aturan yang ada dikelompoknya. Artinya,
ketika suatu kelompok tersebut memberikan kewajaran terhadap suatu hal, maka
peraturan tersebut akan diikuti oleh seluruh anggota kelompoknya. Teori ini berlaku
pada penggunaan kata jancuk dikalangan remaja. Apabila dalam suatu kelompok
remaja saling memahami dan menganggap wajar penggunaan kata tersebut, maka
hal ini tidak akan menimbulkan masalah atau konflik dalam kelompok sosial.
Sebaliknya, jika pemahaman, pengalaman dan kerangka berfikir yang dibangun
antar satu individu dengan individu lain masih cenderung banyak perbedaan, maka
timbulnya konflik sangat mungkin terjadi.

Meskipun pengguna kata jancuk banyak didominasi oleh remaja, tidak


menutup kemungkinan anak-anak juga akan meniru penggunaan kata ini.
Panggunaan kata jancuk pada anak-anak dibanding dengan remaja mungkin akan
berbeda secara pemaknaan. Selain didasari atas peniruan dari orang yang lebih
dewasa dan lingkungan tanpa menggunakan akal kritisnya untuk memikirkan tingkat
kepantasan, kata jancuk oleh anak-anak juga dimaknai sebatas luapan sakit hati atau
emosi. Yang menjadi masalah adalah ketika anak-anak ini tidak mampu untuk
menempatkan kapan, dimana dan dengan siapa ia berbicara. Menggunakan kata
jancuk pada teman sebaya mungkin hal yang wajar saja. Namun, ketika kata jancuk
digunakan untuk ekspresi luapan sakit hati kepada orang tua atau menggunakan kata
‘cuk’ untuk memanggil seorang guru atau yang lebih dituakan, jelas ini akan
menimbulkan masalah terkait etika maupun moral.

Penggunaan kata jancuk sangat berkaitan dengan etika. Karena, etika dalam
arti tunggal berarti kebiasaan. Etika bersifat universal, namun sangat berkaitan
dengan baik dan buruknya sesuatu. Aristoteles menyebutkan bahwa dalam bentuk
jamak (tha etha) artinya adalah adat kebiasaan. Maka kesimpulan pemaknaan dari
etika adalah ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasan.
Adat dan kebiasaan satu tempat dengan tempat lain jelas berbeda. Maka,
menggunakan kata jancuk juga harus memperhatikan bagaimana adat di sebuah
tempat. Mungkin, di Surabaya hal ini diperbolehkan, namun lain cerita dengan
tempat lain. Sedangkan, apabila kita membahas soal moral, Howard memiliki
pandangan bahwa moral merupakan patokan perilaku benar dan salah yang dapat
dijadikan sebagai pedoman bagi pribadi seseorang. Moral lebih bersifat personal,
dimana setiap orang bisa memliki prinsip moral tentang benar dan salah yang
berbeda-beda. Sehingga, moral tidak dapat digeneralisir dari kepercayaan satu orang
dengan yang lain. Karena moral bersifat pribadi, maka ini menjadi risiko tersendiri
ketika menggunakan kata jancuk terhadap seseorang. Bisa jadi, kita menanggap
benar ketika mengucapkan kata tersebut, namun orang lain tidak mampu menerima
karena memang standar moralnya berbeda.

Kesimpulannya, penggunaan kata jancuk secara universal merupakan hal


yang sah dan wajar saja. Namun, ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan
ketika menggunakan kata ini. Pertama, kita harus memahami adat atau kebiasaan
dimana tempat kita tinggal atau ketika menggunakan kata ini. Apabila tempat
tersebut menganggap pengucapan kata jancuk adalah hal yang wajar, maka sah-sah
saja. Begitu pula sebaliknya. Kedua, kita harus tau dengan siapa kita berbicara. Ini
bukan terbatas pada perkara standar moralnya sama atau tidak, melainkan perihal
kesopanan. Terakhir, kita juga harus memahami situasi dan kondisi ketika
mengucapkan kata ini. Menggunakan kata jancuk pada orang yang baru saja ditemui,
kemungkinan besar akan menimbulkan kesalah fahaman.

Daftar Pustaka:

Isti Prabandari, Ayu. 2020. Perbedaan Etika dan Moral, Ketahui Sumber Prinsipnya.
https://www.merdeka.com/jateng/perbedaan-etika-dan-moral-ketahui-sumber-
prinsipnya-kln.html (diakses tanggal 30 Desember 2021)

Laili Khoirun Nida, Fatma. 2014. Persuasi Dalam Media Komunikasi Massa.AT-
TABSYIR-Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, 2(2), 77-95

Reksiana. 2018. Kerancuan Istilah Karakter, Akhlak, Moral dan


Etika.THAQAFIYYAT, 19(1), 1-30

Sriyanto, Sugeng dan Akhmad Fauzie. 2017. Penggunaan Kata “Jancuk” Sebagai
Ekspresi Budaya dalam Perilaku Komunikasi Arek di Kampung Surabaya. Jurnal
Psikologi Teori dan Terapan, 7(2), 88-102

Anda mungkin juga menyukai