Anda di halaman 1dari 14

Capaian Pembelajaran:

Mahasiswa mampu mendeskripsikan konsep kecerdasan emosi


Mahasiswa mampu mengidentifikasi aplikasi konsep kecerdasan emosi dalam
pembelajaran

Pengertian Kecerdasan Emosional


Kecerdasan adalah kecakapan untuk menemui situasi-situasi baru atau belajar melakukan
dengan tanggapan menyesuaikan diri yang baru. Kita mempunyai dua otak, dua pikiran dan
dua jenis kecerdasan yang berlainan: kecerdasan rasional dan kecerdasan emosi. Keberhasilan
kita dalam kehidupan ditentukan oleh keduanya, tidak hanya oleh IQ, tetapi kecerdasan
emosilah yang memegang peranan. Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame of Mind
(Golmen, 2000: 50-53) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang penting
untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada kecerdasan dengan varietas utama yaitu
interpersonal dan intrapersonal yang dinamakan sebagai kecerdasan pribadi. Emosi secara
bahasa berasal dari kata movere, kata Latin yang berarti bergerak atau menggerakkan, ditambah
awalan “e” untuk memberi arti bergerak menjauh sehingga kecenderungan bertindak adalah
hal yang mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2003) emosi merujuk pada suatu
perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian
kecenderungan untuk bertindak.
Istilah kecerdasan emosional diperkenalkan pada tahun 1990 oleh Peter Salovey dari
Harvard University dan Jack Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan
kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Salovey dan Meyer
mendefinisikan kecerdasan emosional (EQ) sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial
yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada
orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbimng
pikiran dan tindakan (Shapiro, 1998: 8).

1
Modul Digital Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik
Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat
berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orangtua pada masa anak-
anak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional. Definisi yang tidak
jauh berbeda dengan definisi yang dikemukakan Salovey dan Meyer di atas, dikemukakan pula
oleh Daniel Golman. Kecerdasan emosional menurut Daniel Golman (2003:45) adalah
kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi
diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam
hubungan dengan orang lain. Steven J. Stein dan Howard E. Book yang mendefinisikan
kecerdasan emosional sebagai mengetahui perasaan-perasaan yang baik dan buruk, dan
bagaimana untuk mendapatkan dari yang buruk itu menjadi baik. Kecerdasan emosional telah
diterima dan diakui kegunaannya. Studi-studi menunjukkan bahwa seseorang profesional yang
unggul dan memiliki EQ yang tinggi adalah orang-orang yang mampu mengatasi konflik.
Davies, dkk, mengungkapkan kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk
mengendalikan emosi dirinya sendiri dan orang lain, membedakan satu emosi dengan emosi
lainnya, dan menggunakan informasi tersebut untuk menuntun proses berpikir serta perilaku
seseorang (Satiadarma & Wawuru, 2003: 27). Menurut Cooper dan Sawaf, mereka
mengemukakan kecerdasan emosi sebagai kemampuan merasakan, memahami, dan secara
efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan
pengaruh yang manusiawi. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa kecerdasan emosi menuntut
seseorang untuk belajar mengakui, menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain serta
menanggapinya dengan tepat dan menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan
sehari-hari.
Kecerdasan emosional tidak hanya berfungsi untuk mengendalikan diri, tetapi lebih dari
itu juga, mencerminkan dalam mengelola ide, konsep, karya atau produk sehingga hal itu
menjadi minat bagi orang banyak (Suharsono, 2004:120). Kecerdasan emosional bekerja
secara senergis dengan keterampilan kognitif. Tanpa kecerdasan emosional, orang tidak akan
bisa menggunakan kemampuan-kemampuan kognitif mereka sesuai dengan potensi
maksimum. Daniel Goleman mendapatkan kenyataan bahwa terdapat kecenderungan yang
sama di seluruh dunia bahwa generasi sekarang lebih banyak mengalami kesulitan emosi
dibanding dengan generasi sebelumnya. Mereka lebih kesepian dan pemurung, lebih
berangasan dan kurang menghargai sopan santun, lebih gugup dan mudah cemas, lebih
impulsif dan agresif. Bertolak dari hal di atas, maka di sinilah pentingnya kecerdasan emosi

2
Modul Digital Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik
bagi remaja. Kecerdasan emosi akan memberikan kepada remaja untuk mampu memberi kesan
yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri, berusaha
menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat mengendalikan perasaan dan mampu
mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada. Sehingga interaksi
dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Goleman bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila
seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat
berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosi yang baik dan akan lebih mudah
menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya.

Teori-Teori tentang Proses Terjadinya Emosi


a. Teori James-Lange Theory
Teori James-Lange emosi berpendapat bahwa sebuah peristiwa menyebabkan rangsangan
fisiologis terlebih dahulu dan kemudian seseorang menafsirkan rangsangan ini. Setelah
interpretasi dari rangsangan terjadi seseorang mengalami emosi. Jika seseorang tidak
menyadari atau tidak memikirkan rangsangan, maka dia tidak mengalami emosi yang
didasarkan pada rangsangan tersebut. Contohnya seseorang berjalan menyusuri lorong
gelap larut malam dan dia mendengar sesuatu. Ada suara jejak di belakangnya dan dia
mulai gemetar, jantungnya berdetak lebih cepat, dan napasnya semakin dalam. Dia melihat
perubahan-perubahan fisiologis dan menafsirkannya sebagai situasi yang menakutkan,
maka dia mengalami rasa takut. Teori JamesLange dapat digambarkan sebagai berikut:

b. Teori Meriam Bard


Teori Meriam Bard berpendapat bahwa seseorang mengalami rangsangan fisiologis dan
emosional pada saat yang sama, tetapi tidak melibatkan peran pikiran atau perilaku lahiriah.
Contoh: ketika seseorang berjalan menyusuri lorong gelap larut dan dia mendengar sesuatu.
Ada suara jejak kaki di belakangnya, dia mulai gemetar, jantungnya berdetak lebih cepat,
dan pernapasannya menjadi lebih dalam dan pada saat yang sama dia merasa takut. Teori
Meriam Bard dapat digambarkan sebagai berikut:

3
Modul Digital Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik
c. Teori Schachter-Singer
Menurut teori ini, suatu peristiwa pertama menyebabkan rangsangan fisiologis, kemudian
seseorang harus mengidentifikasi alasan untuk stimulus ini dan kemudian dia mendapat
pengalaman yang disebut emosi. Contohnya seseorang berjalan menyusuri lorong gelap
larut malam dan dia mendengar sesuatu. Ada suara langkah kaki di belakangnya dan dia
mulai gemetar, jantungnya berdetak lebih cepat, dan pernapasannya menjadi lebih dalam.
Setelah melihat ini rangsangan dia menyadari kenyataan bahwa dia berjalan menyusuri
lorong gelap sendirian, perilaku ini berbahaya dan hal itu menyebabkan dia merasakan
emosi takut. Teori Schachter-Singer dapat digambarkan sebagai berikut:

d. Teori Lazarus
Teori Lazarus menyatakan bahwa pikiran harus datang sebelum emosi atau rangsangan
fisiologis. Dengan kata lain, seseorang harus terlebih dahulu berpikir tentang situasi,
sebelum dia mengalami emosi. Contohnya seseorang berjalan menyusuri lorong gelap larut
malam dan mendengar sesuatu. Ada suara langkah kaki di belakangnya dan dia pikir
mungkin perampok sehingga dia mulai gemetar, jantungnya berdetak lebih cepat, dan
pernapasannya semakin dalam dan pada waktu takut pengalaman yang sama. Teori
Schachter-Singer dapat digambarkan sebagai berikut:

e. Teori facial feedback (Umpan Balik Wajah)


Menurut teori umpan balik wajah, emosi adalah pengalaman perubahan pada otot wajah
seseorang. Ketika seseorang tersenyum, dia kemudian mengalami kesenangan, atau
kebahagiaan ketika dia cemberut, dia kemudian mengalami kesedihan. Perubahan di wajah

4
Modul Digital Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik
seseorang otot-otot merupakan isyarat otak yang dasar emosi. Contohnya seseorang
berjalan menyusuri lorong gelap larut malam dan mendengar sesuatu. Ada suara langkah
kaki di belakangnya anda dan matanya melebar, mengeretakkan giginya dan otaknya
menafsirkan perubahan tersebut sebagai ekspresi wajah ketakutan. Oleh karena itu dia
mengalami emosi takut. Teori facial feedback dapat digambarkan sebagai berikut:

(Sit, 2012: 127 - 130)

Ciri- Ciri Kecerdasan Emosional


Kecerdasan emosional adalah serangkaian kecakapan yang memungkinkan seseorang
melapangkan jalan di dunia yang rumit yang mencakup aspek pribadi, sosial dan pertahanan
dari seluruh kecerdasan, akal sehat yang penuh misteri dan kepekaan yang berfungsi secara
efektif pada setiap harinya (Stein dan Book, 2002:30). Menurut teori Goleman (2002: 513-
514), ciri – ciri kecerdasan emosional kedalam 5 (lima) komponen sebagai berikut:
a. Kesadaran diri, yaitu mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan
menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolak
ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.
b. Pengaturan diri, yaitu menangani emosi sehingga berdampak positifterhadap pelaksanaan
tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya
suatu sasaran dan mampu pulih kembalidari tekanan emosi.
c. Motivasi, yaitu menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan
menuntun kita menuju sasaran, membantu kitamengambil inisiatif, bertindak efektif dan
untuk bertahan menghadapikegagalan dan frustrasi.
d. Empati, yaitu merasakan apa yang di rasakan oleh orang lain, mampu memahami
perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya,dan menyelaraskan diri
dengan bermacam-macam orang.
e. Keterampilan sosial, yaitu menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan
orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan
lancar.
Goleman mengutip pendapat Salovey menyebutkan bahwa ciri-ciri kecerdasan emosi sebagai
berikut:

5
Modul Digital Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik
a. Mengenali emosi diri
Mengenali emosi diri merupakan kesadara diri atau kemampuan untuk mengenali perasaan
sewaktu perasaan itu terjadi. Seseorang yang mampu mengenali emosi diri akan mampu
mengetahui apa yang mereka rasakan (Goleman, 2005: 58). Menurut Makmun Mubayidh,
ada empat gambaran rinci yang merupakan ciri mengenali emosi diri yaitu: (1)
Memperhatikan secara berkesinambungan apa yang terjadi pada diri. (2) Mengenali
kekuatan dan kelemahan diri. (3) Mengenali emosi diri dan pengaruhnya. (4) Melihat
secara realitis dan optimis (Mubayidh, 2006: 24).
b. Mengelola emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan
kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang timbul karena
gagalnya keterampilan emosi dasar ini (Goleman, 2005: 58). Tutu April A. Suseno (2009)
mengemukakan ada enam unsur kecerdasan emosi dalam mengelola emosi yaitu: (1)
Bersikap toleran terhadap frustasi dan mampu mengelola amarah secara baik. (2) Lebih
mampu mengungkapkan amarah dengan tepat tanpa berkelahi. (3) Dapat mengendalikan
perilaku agresif yang merusak diri sendiri dan orang lain. (4) Memiliki perasaan yang
positif tentang diri sendiri, sekolah, dan keluarga. (5) Memiliki kemampuan untuk
mengatasi ketegangan jiwa. (6) Dapat mengurangi perasaan kesepian dan cemas dalam
pergaulan.
c. Memotivasi diri sendiri
Memotivasi diri sendiri merupakan kemampuan untuk menata emosi sebagai alat untuk
mencapai tujuan (Goleman, 2005: 58). Menurut Tutu April A. Suseno, ada tiga unsur
kecerdasan emosi dalam memotivasi diri yaitu: (1) Memiliki rasa tanggung jawab. (2)
Mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan. (3) Mampu mengendalikan
diri dan tidak bersifat implusif (Suseno, 2009: 4). Motivasi yang dimaksud dalam
kecerdasan emosi yaitu kemampuan menggunakan hasrat yang paling dalam untuk
menggerakkan dan menuntun diri menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan
bertindak sangat efektif, dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.

d. Mengenali emosi orang lain atau empati

6
Modul Digital Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik
Empati merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli,
menunjukkan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu
menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi dan mengisyaratkan apa-apa yang
dibutuhkan oleh orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain,
peka terhadap perasan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain
(Goleman, 2005: 59). Menurut Saleh empati bukanlah bawaan, tetapi dikembangkan
melalui pendidikan dan pengalaman hidup (proses belajar sosial), melalui proses yang
panjang yang dibangun dalam kehidupan keluarga, guru, teman-teman termasuk juga
pengalaman hidup yang menyertai proses perkembangan diri kita melalui belajar sosial
(social learning) dalam lingkungan dimana kita hidup, bermain bersama dan berinteraksi
bersama (Saleh, 2012: 225).
Makmun Mubayidh mengatakan, ada tujuh gambaran rinci yang merupakan ciri mengenali
emosi orang lain atau empati yaitu: (1) Suka menolong orang lain. (2) Tidak egois. (3)
Membaca pesan orang lain, baik yang diutarakan langsung dengan kata-kata maupun tidak.
(4) Mengenali perasaan dan emosi orang lain. (5) Mengetahui kebutuhan orang lain. (6)
Mampu membuat hubungan yang tepat dengan orang lain. (7) Mampu memahami sudut
pandang dan sikap oranga lain (Mubayidh, 2006: 25).
e. Membina hubungan
Membina hubungan meruapakan kemampuan mengenali emosi masing-masing individu
dan mengendalikannya sebelum dapat mengendalikan emosi orang lain, seseorang harus
mampu mengendalikan emosinya sendiri dan mampu berempati (Golemen, 2005: 58).
Tutu April A. Suseno mengemukakan, ada delapan unsur kecerdasan emosi dalam
membina hubungan yaitu: (1) Memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menganalisis
hubungan dengan orang lain. (2) Dapat menyelesaikan konflik dengan orang lain. (3)
Memiliki kemampuan berkomunikasi dengan orang lain. (4) Memiliki sifat bersahabat
atau mudah bergaul dengan teman sebaya. (5) Memiliki sikap tenggang rasa dan perhatian
terhadap orang lain. (6) Memperhatikan kepentingan sosial (senang menolong orang lain)
dan dapat hidup selaras dengan kelompok. (7) Bersikap senang berbagai rasa dan bekerja
sama. (8) Bersikap demokratis dalam bergaul dengan orang lain (Suseno, 2009: 5).

Aspek- Aspek Kecerdasan Emosional

7
Modul Digital Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik
Kecerdasan emosional terbagi dalam beberapa aspek kemampuan yang membentuknya.
Aspek-aspek kemampuan yang membentuk kecerdasan emosional tidak seragam untuk setiap
ahli, tergantung dari sudut pandang dan pemahaman. Menurut Salovey (Golman, 2007: 58-59)
ada lima aspek utama yang terdapat dalam kecerdasan emosional, yaitu:
a. Mengenali emosi sendiri, yaitu: Mengenali emosi sendiri merupakan suatu kemampuan
untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi.
b. Mengelola emosi, yaitu: Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam
menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat, sehingga tercapai keseimbangan
dalam diri individu.
c. Memotivasi diri sendiri, yaitu: Kendali diri emosional menahan diri terhadap kepuasan dan
mengendalikan dorongan hati adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang.
d. Mengenali emosi orang lain, yaitu: Mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Orang
yang empatik lebih mampu menangkap sinyalsinyal sosial yang tersembunyi yang
mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain.
e. Membina hubungan, yaitu: Kemampuan dalam membina hubungan merupakan
keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi.

Komponen dasar kecerdasan emosional menurut Reuven Bar-on (Stein & Book, 2002 :
39) dibagi menjadi lima bagian, yaitu:
a. Intrapersonal
Kemampuan menyadari diri, memahami emosi diri, dan mengungkapkan perasaan serta
gagasan.
a. Interpersonal
Kemampuan menyadari dan memahami perasaan orang lain, peduli kepada orang lain
secara umum, dan menjalin hubungan dari hati ke hati yang akrab.
b. Adaptabilitas
Kemampuan menguji perasaan diri, kemampuan mengukur situasi sesaat secara teliti,
dengan luwes mengubah perasaan dan pikiran diri, lalu menggunakannya untuk
memecahkan masalah.
c. Strategi pengolaan stress
Kemampuan mengatasi stress dan mengendalikan luapan emosi.
f. Memotivasi dan suasana hati

8
Modul Digital Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik
Kemampuan bersikap optimis, menikmati diri sendiri, menikmati kebersamaan dengan
orang lain, dan merasakan serta mengekspresikan kebahagiaan.

Golman (2005: 513) mengadaptasi model teori Salovey dan Baron kedalam sebuah versi
yang menurutnya paling bermanfaat untuk memahami cara kerja kecerdasan emosional dan
sosial yang dikelompokkan kedalam dua bagian yaitu:
a. Kecakapan Pribadi
1) Kesadaran diri
Mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya untuk
memandu pengambilan keputusan diri sendiri.
2) Pengaturan diri
Menangani emosi kita sedemikian sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan
tugas dan mampu kembali dari tekanan emosi.
3) Memotivasi
Menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun kita
menuju sasaran, membantu kita mengambilan inisiatif dan bertindak sangat efektif,
dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.
b. Kecakapan Sosial
1) Empati
Merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif mareka,
menumbuhkan hubungan saling percaya dan penyelaraskan diri dengan bermacam-
macam orang.
2) Keterampilan sosial
Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan
cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan
keterampilan ini untuk mempengaruhi, menyelesaikan perselisihan dan bekerjasama.

Faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional


Adapun menurut Goleman faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi individu
yaitu faktor lingkunga keluarga dan lingkungan non keluarga (Goleman, 2005: 267-282).

a. Lingkungan keluarga.

9
Modul Digital Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik
Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi. Peran serta
orangtua sangat dibutuhkan karena orang tua adalah subyek pertama yang perilakunya
diidentifikasi, diinternalisasi yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari kepribadian
anak. Kecerdasan emosi ini dapat diajarkan pada saat anak masih bayi dengan contoh-
contoh ekspresi. Kehidupan emosi yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak
kelak di kemudian hari, sebagai contoh: melatih kebiasaan hidup disiplin dan bertanggung
jawab, kemampuan berempati, kepedulian, dan sebagainya. Hal ini akan menjadikan anak
menjadi lebih mudah untuk menangani dan menenangkan diri dalam menghadapi
permasalahan, sehingga anak-anak dapat berkonsentrasi dengan baik dan tidak memiliki
banyak masalah tingkah laku seperti tingkah laku kasar dan negatif.
b. Lingkungan non keluarga
Dalam hal ini adalah lingkungan masyarakat dan lingkungan penduduk. Kecerdasan emosi
ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental anak. Pembelajaran ini
biasanya ditunjukkan dalam aktivitas bermain anak seperti bermain peran. Anak berperan
sebagai individu di luar dirinya dengan emosi yang menyertainya sehingga anak akan
mulai belajar mengerti keadaan orang lain. Pengembangan kecerdasan emosi dapat
ditingkatkan melalui berbagai macam bentuk pelatihan diantaranya adalah pelatihan
asertivitas, empati dan masih banyak lagi bentuk pelatihan yang lainnya.Berdasarkan
pendapat Goleman dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi kecerdasan
emosi individu adalah lingkungan keluarga dan lingkungan non keluarga.

Prinsip-prinsip Kecerdasan Emosi


Menurut Maurice J. Elias, dkk., prisip kecerdasan emosi yaitu:
a. Sadari perasaan anda dan orang lain.
b. Tunjukkan empati dan pahami orang lain.
c. Atur dan atasi dengan positif prilaku emosi dan impulsif anda.
d. Berorientasi pada tujuan dan rencana positif.
e. Gunakan keterampilan sosial anda dalam menangani hubungan. (Elias, 2001: 109).
Menurut Patricia Patton, ada delapan prinsip karakter kecerdasan emosi, diantaranya:33
(1) Kesabaran, (2) Keefektifan, (3) Kontrol Impuls, (4) Paradigma, (5) Keteguhan hati, (6)
Pusat Spiritual, (7) Temperamen, dan (8) Kesempurnaan.

10
Modul Digital Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik
Tahapan Perkembangan Emosi
Perkembangan emosional dimulai pada usia dini, ketika anak-anak masuk taman kanak-
kanak dan prasekolah. Melalui interaksi mereka dengan orang lain, anak-anak
mengembangkan kemampuan sosial dan intelektualnya. Perkembangan emosional dan
intelektual biasanya berjalan beriringan untuk membantu anak mengembangkan kemampuan
sosialnya, karena interaksi antara anak-anak dan orang dewasa menciptakan kesehatan
emosional. Perbedaan antara perasaan positif dan negatif terhadap situasi tertentu mungkin
disebabkan perkembangan emosional. Beberapa anak merespon dengan baik berbagai situasi
sosial yang berbeda. Interaksi akan membantu mereka memiliki perkembangan emosional
yang kuat. Anak-anak yang mengalami trauma akan mengalami kesulitan berinteraksi dengan
orang lain.
Dari umur 2 (dua) anak mulai menguji dirinya sendiri dengan batas-batas yang telah
terhadap perilaku mereka. Ini adalah standar anak-anak terhadap perilaku yang merupakan cara
yang baik untuk memulai proses perkembangan emosional. Tidak semua perkembangan
emosional dilakukan melalui interaksi sebab kadang-kadang anak-anak harus dibiarkan untuk
menemukan emosinya sendiri dari waktu ke waktu. Pemecahan masalah kemudian menjadi
bagian yang kuat di dalam hidup anak-anak. Setiap upaya pemecahan masalah adalah tantangan
bagi anak-anak. Bagi anak-anak mengamuk adalah cara anak mengekspresikan diri karena
kata-kata sering gagal menyampaikan maksudnya. Mereka merasa bahwa kata-kata tidak
cukup untuk menyampaikan seluruh pesan. Orangtua dan guru harus memberikan penguatan
positif pada anak dengan cara membujuk anak untuk bicara tentang masalah atau sinyal
emosinya, sebab jika tidak dilakukan anak akan cenderung mengamuk lagi.
Pada usia 3 (tiga) tahun anak telah semakin terampil mengatur emosinya. Anak sudah
mulai paham ketika orangtua mengajarkan bahwa tidak boleh membanting-banting mainan
ketika marah. Erikson menyatakan anak-anak yang mengalami perkembangan psikososial yang
sehat pada usia ini telah berada pada tahap kemandirian (autonomy). Kemandirian
memungkinkan mereka mampu mengatur emosinya, sehingga mereka mulai dapat menahan
diri jika diingatkan orangtua atau pengasuhnya.
Pada usia 4-6 tahun anak-anak juga telah mulai mampu mengenali ungkapan emosi orang
lain. Pada usia tujuh sampai dua belas tahun anak telah mampu melakukan regulasi diri yang
lebih variatif. Anak mulai mampu menunjukkan sikap yang pantas dalam ekspresi emosinya.
Mereka telah lebih mampu menyembunyikan emosi-emosi yang dianggap melanggar aturan

11
Modul Digital Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik
sosial. Mereka juga lebih mampu menunjukkan emosi-emosi yang membuat orang lain senang,
misalnya emosi gembira, senang, malu, kagum, dan cinta.
Remaja usia 12-18 tahun sejalan dengan perkembangan kognitifnya telah mampu
menerjemahkan situasi sosial yang tepat untuk mengekspresikan emosi. Jika pengaturan diri
pada usia sebelumnya telah baik, Erikson menyatakan pada usia remaja berada pada tahap
industri dan identitas diri. Mereka akan lebih pandai bersahabat dan mulai melepaskan diri dari
ikatan emosi yang lebih kuat dengan orang tuanya. Pada usia remaja semua emosi primer dan
sekunder telah muncul dengan pengaturan yang berbeda-beda. Remaja yang memiliki identitas
diri yang baik akan menampilkan emosi-emosi primer dan sekunder sesuai dengan situasi
sosial yang dihadapinya. Dia tidak akan menunjukkan sikap gembira dan senang ketika
keluarga/sahabatnya ditimpa kesulitan atau musibah demikian juga sebaliknya. Dia juga tidak
akan merasa bersalah ketika menunjukkan rasa gembira dan senang ketika dia mendapatkan
keberhasilan. Dia juga tidak akan merasa takut dan bersalah ketika dia mulai jatuh cinta kepada
lawan jenisnya, tetapi tidak juga tidak akan mewujudkan emosi cinta tersebut dengan melawan
norma-norma yang telah diketahuinya.
Bagi remaja yang mengalami rasa rendah diri (inferiority) dan kekacauan peran akan
mengekspresikan emosinya secara berlebihan dan kurang terkontrol. Mereka mungkin akan
bersikap sombong atau over acting untuk menutupi rasa rendah dirinya. Mereka juga selalu
merasa iri atau cemburu dengan kelebihan orang lain, merasa takut ketika jatuh cinta,
mengekspresikan cinta dengan cara yang salah, dan lain sebagainya (Sit, 2012: 135-139)

Metode Pengembangan Kecerdasan Emosi


EQ tidak berkembang secara alamiah, artinya kematangan seseorang tidak didasarkan pada
perkembangan usia biologisnya. Oleh karena itu EQ harus dipupuk dan diperkuat melalui
proses pelatihan dan pendidikan yang kontinu (Patton, 2002: 107). Banyak pakar yang
merumuskan kiat-kiat untuk mengembangkan kecerdasan emosi. Diantaranya adalah pendapat
Claude Steiner yang mengemukakan tiga langkah yang utama dalam mengembangkan
kecerdasan emosi, yaitu: (1) Membuka hati, (2) Menjelajahi dataran emosi, (3)
Bertanggungjawab (Nggermanto, 2001: 100-102).
Perkembangan emosi anak dan remaja harus dibimbing dengan baik oleh orangtua maupun
guru, sebab kecerdasan emosional akan mempengaruhi kesuksesan anak dalam kehidupan

12
Modul Digital Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik
berikutnya. Beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam bimbingan perkembangan emosi
anak adalah:
a. Ajarkanlah anak bahwa bangga diri adalah sikap yang baik untuk membangun rasa percaya
diri anak tetapi tidak boleh dilakukan secara berlebihan.
b. Ajarkan kepada anak bahwa marah merupakan kekuatan yang harus ada pada diri manusia,
terutama perasaan marah Ketika melihat orang lain melakukan maksiat. Tetapi seseorang
tidak boleh marah berlebihan sehingga dia tergoda setan.
c. Ajarkan kepada anak bahwa cinta merupakan emosi yang paling baik dalam diri manusia,
tetapi manusia harus menempatkan cinta kepada Tuhan di atas cinta kepada yang lain.
d. Ajarkanlah anak untuk mengelola rasa bencinya dengan baik.
e. Ajarkan anak untuk mengelola rasa cemburunya dengan baik.
f. Ajarkan anak untuk menghindari sikap sombong.
(Sit, 2012: 138 – 141)

Kualitas Kecerdasan Emosi


Kualitas kecerdasan emosi adalah mutu kecerdasan emosi yang dapat dilihat dan sejumlah
kecakapan yang meliputi sifat, sikap, atau gagal seorang dalam mengekspresikan perasaannya.
Seorang tepat dan benar mencapai sasaran. Menurut Mayer dan Salovey, sebagaimana yang
dikutip oleh Shapiro dalam bukunya How to Raise a Child With a High EQ, kualitas-kualitas
kecerdasan emosi antara lain: empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, kemandirian,
kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecah masalah antarpribadi,
ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, sikap hormat (Lawrence, 1997: 5).
Dalam ruang lingkup yang lebih luas lagi, Reuven Baron dalam desertasi doktornya, the
Development of a Concept and Test Psychology Well Being, menulis bahwa ada lima belas
kualitas kecerdasan emosi. Ia mengklasifikasikan kualitas-kualitas tersebut dalam lima gugus
umum sebagaimana disimpulkan oleh Goleman dalam bukunya Working With Emotional
Intelligence berikut ini: (1) Ketrampilan antarpribadi, (2) Adaptabilitas, (3) Strategi
pengelolaan stres, (4) Faktor-faktor yang terkait dengan motivasi dan suasana hati.37 Menurut
Reuven Baron yang disimpulkan oleh Goleman dalam bukunya Working With Emotional
Intelligence, ada lima kulitas kecerdasan emosi yaitu ketrampilan antarpribadi, ketrampilan
pribadi, adaptabilitas, strategi pengelolaan stres, faktor-faktor yang terkait dengan motivasi dan
suasana hati.

13
Modul Digital Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik
DAFTAR PUSTAKA

Goleman, Daniel. 1999. Emotional Intelligence, Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ, Terj,
T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Goleman, Daniel. 2005. Working with Emotional Intelligence, Terj. Alex Tri Kantjono Widodo,
cet. VI. Jakarta: Gramedia Utama.

Goleman, Daniel. 2005. Kecerdasan Emosional, tej. Hermaya, cet. ke-5. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

Lawrence, Shapiro E. 1997. Mengajar Emotional Intelligence Pada Anak, How to Raise a
Child with a High EQ: A Parents’ Guide to Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia
Pustaka Umum.

Mubayidh, Makmun. 2006. Kecerdasan dan Kesehatan Emotional Anak, terj. Muhammad
Muchson, cet. 1. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Nggermanto, Agus. 2001. Quantum Quotient, Kecerdasan Quantum, Cara Cepat Melejitkan
IQ, EQ dan SQ secara Harmoni. Bandung: Nuansa Cendekia.

Satiadarma, Monty P., dan Wawuru, Felis E. 2003. Mendidik Kecerdasan: Pedoman bagi
Orangtua dan Guru dalam Mendidik Anak Cerdas. Jakarta: Pustaka Populer.

Sit, Masganti. 2012. Perkembangan Peserta Didik. Medan: Perdana Publishing

Patton, Patricia. 2002. EQ Pengembangan Sukses Lebih Bermakna, terj., Hermes. Jakarta:
Mitra Media.

Suseno, Tutu April A. 2009. EQ Orang Tua VS Anak, cet. I. Jogjakarta: LOCUS.

14
Modul Digital Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik

Anda mungkin juga menyukai