Anda di halaman 1dari 13

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DALAM PERISTIWA PERBUDAKAN

MODERN DI KAPAL LONGXING 629 BERBENDERA TIONGKOK

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 1

AMIN ISNAN MAARIF (11000118130510)

ARUNG SETYAWAN ( 11000119130347)

SYARIF PRADHANA S.( 11000119120088)

UNIVERSITAS DIPONEGORO

FAKULTAS HUKUM

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai negara hukum, pemerintah yang mana sebagai penyelenggara negara


melaksanakan tindakan apapun itu harus didasarkan hukum. Salah satu kewajiban dari negara
adalah menjamin Hak Asasi Manusia warga negaranya. Hak Asasi Manusia ini ditunjukkan
dengan dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
disusul oleh dikeluarnya UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia sebagai bentuk upaya dalam penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa
lalu. Namun pada praktiknya, upaya pemerintah belom maksimal dalam hal menjaga dan
menegakkan kejahatan manusia dari dulu hingga sekarang. Hak Asasi Manusia, atau yang biasa
dikenal dengan HAM merupakan sesuatua yang sangat penting dalam setiap kehidupan umat
manusia. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 menjelaskan bahwa Hak Asasi Manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebaagai mahluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan suatu anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dlindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang, demi kehormatan dan perlindungan
harkat dan martabat manusia1. Hak Asasi Manusia pada prinsipnya merupakan suatu pengakuan
akan martabat yang terpadu dalam diri setiap orang akan hak-hak yang sama dan tidak teralihkan
bagi semua orang. Hak Asasi Manusia merupakan suau dasar dari terciptanya suatu kebebasan,
keadilan, dan terciptanya perdamaian dunia.

Sebagai manusia, hak asasi manusia merupakan suatu hak yang melekat kepada setiap
manusia di seluruh muka bumi, karena, sejatinya hak asasi manusia merupakan suatu hak yang
melekat dengan manusia, yang tidak bisa direbut ataupun diambil alih oleh manusia lain, dengan
cara apapun maupun dengan alasan apapun. Hak asasi manusia ini dimiliki oleh setiap manusia
karena ia tercipta sebagai manusia, bukan suatu pemberian yang diberikan dari suatu masyarakat,
manusia lain, atau suatu pemerintahan, ataupun suatu negara. Hak ini diperoleh manusia dari
sang pencipta, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari itu, hak asasi manusia tidak tergantung
dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, ataupun pemerintah dan negara lain

1
Indonesia, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun 1999, Pasal 1 Ayat (1).
Sebagai manusia, ia merupakan mahluk Tuhan yang memiliki martabat yang tinngi. Hak
asasi manusia ada dan melekat pada setiap manusia di muka bumi. Oleh karena itu, hak asasi
manusia bersifat universal, yang berarti berlaku di mana saja, untuk siapa saja, serta tidak bisa
diambil oleh apapun dan siapapun, ataupun dengan alasan apapun.

Bila melihat sejarah, tonggak sejarah hak asasi manusia di duni dengan disahkannya
Universal Declaration of Human Right (UDHR) dan Indonesia sudah meratifikasi beberapa
konvenan tentang hak asasi manusia (HAM) mula dari konvensi hak sipil politik, hak ekonomi,
sosial dan budaya, dan yang lain. Oleh karena itu sudah sepatutnuya Indonesia yang besar dan
multicultural menjunjung tinggi hak asasi manusai. Tetapi Implementasi hak asasi manusia ini
belum sampai pada substansi yang mana banyak persoalan hak asasi manusia sekarang bukan
pada pengakuan hak tersebut, tetapi memiliki lebih banyak untuk menyelesaikan masalah dalam
implementasi hak itu sendiri seperti pemenuhan dan perlindungn sehingga perlu Tindakan lebih
dari negara untuk membumikan hak asasi manusia2.

Walaupun hak asasi manusia telah diatur di dalam Universal Declaration of Human
Right, dan beberapa peraturan lainnya yang bersifat nasional, masih ada manusia yang mencoba
dengan berbagai cara untuk merebut hak asasi manusia dari manusia lainnya, seperti melakukan
pemusnahan, melakukan suatu kejahatan kemanusiaan, pembunuhan massal, hingga mencoba
untuk merampas hak-hak dari manusia lainnya. Salah satu contohnya adalah Kejahatan Hak
Asasi Manusia Berat yang terjadi di Wasior, Papua Barat pada tahun 2001, yang membuat 6
orang meninggal dunia, 1 orang mengalami kekerasan seksual, 5 orang dihilangkan secara paksa,
dan 39 orang mengalami penyiksaan, serta pemusnahan atas rumah, harta benda, hasil kebun,
hingga hewan ternak peliharaan.

Tidak hanya itu saja tetapi masih banyak juga kasus pelanggaran HAM yang lingkupnya
menghilangkan nyawa seseorang dan kekerasan seksual tetapi maraknya juga pelanggaran HAM
dalam perbudakan. Pada dasarnya perbudakan segala hal mengenai pengendalian terhadap
seseorang oleh orang lain dengan cara paksaan dan perbudakaan biasa terjadi untuk memenuhi
keperluan akan buruh atau kegiatan seksual.dan kejadian itu sangat marak terjadi di Indonesia.
Walaupun pada jaman dahulu perbudakan menjadi suatu hal yang wajar tetapi pada jaman

2
Mahrul Ali, Membumikan HAM di Indonesia, https://law.uii.ac.id/blog/2020/05/21/membumikan-ham-di-indonesia/,
diakses pada 1 Desember 2021
modern ini konsep atau sistem perbudakan sangat bertentangan dengan jati diri manusia yang
dimana manusia adalah makhluk sosial dan saling menghargai sesamanya tanpa membedakan
SARA.

Merujuk pada pernyataan diatas , maka kami akan membahas mengenai Perbudakan Modern
di Kapal Longxing 629 Berbendera China tentang bagaimana kasus posisi tersebut , bagaimana
upaya penyelesaian terhadap pelanggaran HAM serta juga bagaimana upaya pemerintah dalam
memulihkan hak-hak atas korban dalam kasus tersebut.

B. Permasalahan

a. Upaya Mekanisme Penyelesaian Kasus Perbudakan Modern di Kapal Longxing 629


Berbendera China

Kasus eksploitasi manusia atau perbudakan sering sekali terjadi, bahkan sudah
sangat lumrah dikalangan pelaut. Pemerintah seolah abai, sehingga kasus-kasus serupa
selalu saja terulang. Kasus yang demikian sudah sering kali dilaporkan, namun tidak
pernah ditanggapi serius oleh pemerintah. Kasus ABK asala Indonesia di kapal berbendera
china atau tiongkok belakangan ini sedang ramai diperbincangkan dugaan eksploitasi dari
kasus ini pun menjadi fokus permasalahan.

Kasus perbudakaan yang terjadi terhadap ABK bukan lagi hal yang baru, baik
sebelum ataupun setelah kasus ekspolitasi yang terjadi empat orang ABK perbudakan
kapalChinaLongxing.
b. Upaya Pemulihan Hak-hak Korban

Mengenai hal ini Empat orang anak buah kapal (ABK) korban perbudakan di kapal
China Long Xing 629 menerima ganti rugi (restitusi) dengan total sebesar Rp 176,5 juta.
Penyerahan restitusi ini dilakukan di aula Kejaksaan Negeri Brebes, Jawa Tengah. Empat
ABK ini masing-masing F warga Kabupaten Brebes, AP warga Kabupten Tegal; CK dan
AR, keduanya dari Sulawesi Selatan. Keempat orang ini dinyatakan berhak mendapatkan
restitusi sesuai putusan Pengadilan Negeri Brebes dalam kasus tindak pidana perdagangan
orang(TPPO).

Kepala Kejaksaan Negeri Brebes, Emi Munfarida, mengatakan kasus hukum perbudakan
ini telah vonis pada 28 Januari 2021. Terpidana kasus ini, William Ghozali, divonis
hukuman penjara 3 tahun 4 bulan. Selain itu, pelaku juga diwajibkan membayar denda Rp
120 juta ditambah uang ganti rugi (restitusi) sebesar 12.706 USD atau Rp 176,5 juta.

Dalam kasus perdagangan orang ini yang menjadi korban adalah anak buah kapal China
Long Xing 629. Pelakunya adalah perekrut tenaga kerja ini, William Ghozali. Pelaku saat
sidang dituntut 5 tahun kemudian diputus 3 tahun 4 bulan, bayar denda dan bayar ganti rugi
kepada korban eks ABK kapal Long Xing. Terdakwa menerima hukuman itu sehingga
langsung inkracht," ungkap Emi Munfarida kepada wartawan usai menyerahkan uang ganti
rugi di aula Kantor Kejaksaan Brebes, Uang ganti rugi sebesar Rp 176,5 juta itu bersumber
dari uang terdakwa. Di mana uang sejumlah itu akan dibagikan kepada 4 orang yang
menjadi korban perbudakan.
Penyerahan ganti rugi ini disaksikan oleh Livia Istania DF Iskandar dan Antonius
PS Wibowo. Keduanya adalah Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK). Hingga 2020 LPSK telah menangani 314 kasus Tindak Pidana Perdagangan
Orang. Sebagian besar kasus ini sudah diselesaikan. Antonius mengaku optimis, kasus yang
masih dalam proses akan cepat diselesaikan, sehingga bisa dilakukan eksekusi pembayaran
ganti rugi seperti kali ini Sementara, CK, salah satu korban perbudakan asal Sulawesi
Selatan mengaku, selama kerja di kapal Long Xing 629 dirinya kerap diperlakukan tidak
manusiawi. Salah satu contoh, Chery menyebut, makanan yang diberikan tidak layak.
BAB II

STUDI PUSTAKA

A. PELANGGARAN HAM

1. Pengertian Pelanggaran HAM

Secara etimologis Hak Asasi Manusia (HAM) dalam bahasa Belanda dikenal dengan
menselijke rechten dan dalam bahasa Inggris erdapat beberapa istilah untuk
menyebutnya seperti human rights, fundamental rights, citizen’s right, atau collective
rights.
Hak Asasi Manusia sendiri dapat dimaknai sebagai seperangkat hak yang meleka pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
meruakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabar manusia.14 Negara dalam hal ini memiliki kewajiban untuk
menghormati, memenuhi, dan melindungi HAM setiap manusia. Namun karena
kehidupan manusia yang dinamis dan heterogenitas manusia yang tinggi menyebabkan
seringkali terjadi gesekan antar masyarakat ataupun Negara/Korporasi dengan
masyarakat sekitar.
Gesekan yang terjadi tersebut dapat menimbulkan tindakan yang dapat melukai HAM
yang melekat pada diri manusia lain. Akibat adanya “luka” akan HAM tersebut maka
terjadilah pelanggaran HAM.
Pelanggaran HAM sendiri menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah
setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disngaja
maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi dan atau mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang dan tidak
mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang
adil dan benar, berdasrkan mekanisme hukum yang berlaku. Pelanggaran HAM sendiri
dapat terjadi dari beberapa sisi, yaitu :
a. Vertikal
Pelanggaran HAM secara vertikal dapat terjadi saat pelanggaran HAM tersebut
dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara, baik secara langsung ataupun
tidak langsung. Pelanggaran HAM ini terjadi secara vertikal karena dalam hal ini
negara memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan warga negara. Aparat negara
dimana seharusnya memiliki kewajiban untuk menghormati, memenuhi, dan
meindungi HAM itu sendiri.
b. Horizontal

Pelanggaran HAM yang terjadi antar warga negara, korporasi bisnis terhadap
warga masyarakat. Hal ini termasuk kedalam pelanggaran HAM secara horizontal
karena pada hakekatnya posisi tiap warga negara/masyarakat/korporasi bisnis ialah
sama.

Pengertian akan pelanggaran HAM sendiri sering di identikan dengan elemen keterlibatan
negara karena negara yang merupakam subyek penanggung jawab HAM. Pelanggaran
HAM sendiri dapat terjadi karena perbuatan yang dilakukan ataupun dikarenakan tidak
melakukan sesuatu, yang dalam hal ini menumbulkan kelalaian dengan tidak terlaksananya
HAM yang ada.

2. Jenis-jenis Pelanggaran HAM

Dalam perundang-undangan Indonesia membedakan pelanggaran HAM menjadi 2


jenis, yaitu pelanggaran HAM biasa dan pelanggaran HAM berat.
Dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menjelaskan mengenai
pelanggaran HAM, dimana dalam penjelasn tersebut tidak menunjukan secara spesifik
mengenai apakah hal tersebut pengertian dari pelanggaran berat ataukan pelanggaran
biasa. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia hanya menjelaskan bahwa Pelanggaran HAM
berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang tersebut. Dimana bererti dalam undnag-undnag sendiri tidak memiliki definisi
mengenai pelanggaran HAM berat dan Pelanggaran HAM biasa.
Meskipun begitu, dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan
HAM memberikan klasifikasi hal-hal apa sajakah yang termasuk dalam Pelanggaran
HAM berat. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan HAM menyebutkan bahwa hpelanggaran HAM berat meliputi kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu terdapat pula syarat-syarat
yang harus dipenuhi untuk dapat membuat suatu pelanggaran HAM dapat dikatakan
sebagai pelanggaran HAM berat, yaitu perbuatan tersebut haruslah sistematis dan
meluas.
Sistematis yang dimaksudkan ialah telah direncanakn dan makna meluas disini tidak
hanya meluas dalam segi korban namun juga dari segi wilyah atau ruang lingkup
pelanggaran HAM iu terjadi.
3. Pelanggaran HAM Berat Kejahatan terhadap Kemanusiaan

Pasal 7 Statuta Roma hal-hal yang termasuk kedalam kejahatan terhadap kemanusiaan
ialah apabila salah satu dari perbuatan berikut ini dilakukan sebagai bagian dari
serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk
sipil, dengan menetahui adanya serangan itu :
a. Pembunuhan

b. Pemusnahan

c. Perbudakan

d. Deportasi atau pemindahan paksa penduduk

e. Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-
aturan dasar hukum Internasional
f. Penyiksaan;

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa,


pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat;
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas
atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender sebagai didefinisikan
dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak
diizinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap
perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam
jurisdiksi Mahkamah;
i. Penghilangan paksa;

j. Kejahatan apartheid;
k. Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan
penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik.

Dimana dalam Pasal 7 ayat (2) lebih lanjut terhadap perbuatan-perbuatan tersebu.
Dimana penjelasan-penjelasanya yaitu :

a.) “Serangan yang ditujukan terhadap suatu kelompok penduduk sipil” berarti
serangkaian perbuatan yang mencakup pelaksanaan berganda dari perbuatan yang
dimaksud dalam ayat 1 terhadap kelompok penduduk sipil, sesuai dengan atau
sebagai kelanjutan dari kebijakan Negara atau organisasi untuk melakukan
serangan tersebut.
b.) “Pemusnahan” mencakup ditimbulkannya secara sengaja pada kondisi kehidupan,
antara lain dihilangkannya akses kepada pangan dan obat-obatan, yang
diperhitungkan akan membawa kehancuran terhadap sebagian penduduk.
c.) “Perbudakan” berarti pelaksanaan dari setiap atau semua kekuasaan yang melekat
pada hak kepemilikan atas seseorang dan termasuk dilaksanakannya kekuasaan
tersebut dalam perdagangan manusia, khususnya orang perempuan dan anakanak;
d.) “Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa” berarti perpindahan
orangorang yang bersangkutan secara paksa dengan pengusiran atau perbuatan
pemaksaan lainnya dari daerah di mana mereka hidup secara sah, tanpa alasan yang
diperbolehkan berdasarkan hukum internasional;
e.) “Penyiksaan” berarti ditimbulkannya secara sengaja rasa sakit atau penderitaan
yang hebat, baik fisik atupun mental, terhadap seseorang yang ditahan atau di
bawah penguasaan tertuduh; kecuali kalau siksaan itu tidak termasuk rasa sakit atau
penderitaan yang timbul hanya dari, yang melekat pada atau sebagai akibat dari,
sanksi yang sah;
f.) “Penghamilan paksa” berarti penahanan tidak sah, terhadap seorang perempuan
yang secara paksa dibuat hamil, dengan maksud mempengaruhi komposisi etnis
dari suatu kelompok penduduk atau melaksanakan suatu pelanggaran berat
terhadap hukum internasional. Definisi ini betapapun juga tidak dapat ditafsirkan
sebagai mempengaruhi hukum nasional yang berkaitan dengan kehamilan;
g.) “Penganiayaan” berarti perampasan secara sengaja dan kejam terhadap hak-hak
dasar yang bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan identitas
kelompok atau kolektivitas tersebut;
h.) “Kejahatan apartheid” berarti perbuatan tidak manusiawi dengan sifat yang sama
dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam ayat 1, yang dilakukan dalam konteks
suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi sistematik oleh satu
kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dan
dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan rezim itu;
i.) “Penghilangan paksa” berarti penangkapan, penahanan atau penyekapan
orangorang oleh, atau dengan kewenangan, dukungan atau persetujuan diam-diam
dari,
j.) suatu Negara atau suatu organisasi politik, yang diikuti oleh penolakan untuk
mengakui perampasan kebebasan itu atau untuk memberi informasi tentang nasib
atau keberadaan orang-orang tersebut, dengan maksud untuk memindahkan mereka
dari perlindungan hukum untuk suatu kurun waktu yang lama.

Sementara itu dalam hukum nasional sendiri, yang notabene juga mengadopsi dari
Statuta Roma, memberikan definisi tersendiri dari kejahatan terhadap kemanusiaan.
Hal tersebut disebutkan dalam Pasal 9 dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
Tentang Pengadilan HAM bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik
yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil, berupa :

a. pembunuhan;

b. pemusnahan;

c. perbudakan;

d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-


wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f. penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain
yang setara;
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau
alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut
hukum internasional;
i. penghilangan orang secara paksa; atau

j. kejahatan apartheid.

4. Penegakan Hukum Pelanggaran HAM Berat

Penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia yang diatur dalam UU Pengadilan


HAM menjelaskan bahwa penyelesaian HAM berat dapat diselesaikan melalui
pengadilan HAM dan Pengadilan HAM ad hoc apabila pelanggaran hak asasi manusia
berat tersebut terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Pengadilan HAM.
Selain melalui mekanisme pengadilan HAM atau pengadilan HAM ad hoc,
pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakuknya UU Pengadilan HAM tidak
menutup kemungkinan bahwa penyelesaiannya dapat dilakukan oleh Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KRR).
Namun sayangya saat ini Undang-Undang yang megatur tentang KKR sudah tidak lagi
berlaku dikarenakan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusan
MK tersebut terdapat beberapa pasal dalam UU KKR yang bertentangan dengan UUD
NRI 1945.
Meskipun UU KKR nasional tidak lagi berlaku, salah satu provinsi di Indonesia yaitu
Aceh yang memiliki otonomi daerah sendiri telah membentuk qanun (sebutan perda
Aceh) yang berisikan mengenai pembentukan KKR khusus daerah Aceh yang
menangani kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di Aceh
B. DASAR HUKUM

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusi

4. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia

5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh

6. Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

7. Universal Declaration of Human Rights

8. Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik

9. Konvensi Anti Penyiksaan

10. Statuta Roma


BAB 3

KASUS POSISI

Long Xing 629 telah beroperasi sejak 15 Februari 2019, dan selama lebih dari 13 bulan
beroperasi di Perairan Samoa (tepatnya di wilayah RFMO Western & Central Pacific Fisheries
Commission). Kapal terus berada di tengah laut tanpa pernah bersandar di daratan atau pulau.
Pada Desember 2019, dua orang ABK bernama Sepri, Alfatah meninggal disebabkan oleh penyakit
misterius yang memiliki ciri-ciri sama, yakni badan membengkak, sakit pada bagian dada, dan
sesak nafas. Sepri dan Alfatah mengalami sakit selama 45 hari sebelum meninggal. Selanjutnya
pada Maret 2020, Ari mengalami sakit yang sama selama 17 hari sebelum akhirnya meninggal
pada 30 Maret 2020.

Selama sakit, kapten kapal hanya memberikan obat-obat yang tidak dapat dipahami ABK
Indonesia karena tertulis dalam bahasa China, juga diduga telah kadaluarsa. Kapten juga menolak
permintaan para ABK Indonesia untuk membawa temannya yang sakit ke rumah sakit di Samoa.
Pada masa kritis itu, Alfatih dipindahkan ke Kapal Long Xing 802, dan Sepri ke Long Xing 629.
Mereka meninggal di kedua kapal tersebut. Para ABK Indonesia telah meminta agar jenazah rekan
mereka disimpan di tempat pendingin agar dapat dibawa pulang ke Indonesia. Namun kapten kapal
menolak dan justru melarung jenazah tersebut ke tengah laut. Berikut rincian mengenai
meninggalnya tiga ABK Indonesia tersebut: setelah berlabuh di Busan untuk menjalani karantina
14 hari di Hotel Ramada, ABK Effendi Pasaribu mengalami sakit misterius yang sama dengan
rekan-rekan terdahulu. Sayangnya Effendi tidak langsung dibawa ke rumah sakit padahal gejala
badan bengkak dan sesak nafas sudah dirasakan Effendi Pasaribu sejak Februari 2020, atau 2 bulan
sebelum berlabuh di Busan. Baru pada 26 April malam Effendi dibawa ke UGD Busan Medical
Centre karena kondisinya yang semakin kritis. Namun akhirnya Effendi meninggal pada 27 April
2020 pagi waktu Busan.

Anda mungkin juga menyukai