Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

FISIOLOGI PRODUKSI TERNAK


‘Fisiologi Kebuntingan, Partus dan Produksi Susu’

Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Produksi Ternak

Dosen Pengampu : Dr. Achadiah Rachmawati, S.Pt, M.Si

Oleh :

Edhgar Egadhio Koy 2160501111015

PROGRAM MAGISTER ILMU TERNAK


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
KATA PENGANTAR

Rasa syukur patut dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkah dan rahmatNya akhirnya tugas berupa makalah yang berjudul fisiologi
kebuntingan, partus dan produksi susu pada ternak dapat diselesaikan dengan
baik. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi mengenai
bagaimana fisiologi ternak mulai dari kebuntingan sampai produksi susu. Dengan
demikian diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi pembaca.

Makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, segala bentuk
kritikan dan saran-saran yang bersifat membangun dengan senang hati akan
diterima yang akhirnya dapat memberikan manfaat bagi makalah ini.

Kupang, Desember 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebuntingan merupakan suatu masa dalam kehidupan spesies hewan yang terjadi
setelah pembuahan ovum oleh spermatozoa yang ditandai dengan pertumbuhan dan
perkembangan zigot menjadi embrio dan seterusnya menjadi foetus. Dalam proses
perkembangan selanjutnya zigot yang terbentuk akan mengalami deferensiasi dimana sel-
sel embrionik bersegregasi untuk membentuk banyak macam sel. Sel-sel ini akan
berkembang membentuk jaringan-jaringan tubuh dan pada akhirnya terbentuk suatu sistem
organ dari suatu makluk hidup. Setelah mencapai umur kebuntingan tertentu yang
ditentukan secara genetik maka spesies hewan akan sampai pada suatu masa yang mana
masa tersebut ditandai dengan adanya suatu proses fisiologis dimana uterus bunting akan
mengeluarkan anak dan plasenta. Masa inilah yang disebut dengan kelahiran. Untuk
mengembalikan kondisi uterus yang baru saja mengeluarkan foetus dan plasenta ke ukuran
semula sama seperti sebelum terjadinya kebuntingan, membutuhkan waktu yang agak lama
(30 sampai 60 hari) pada sapi. Pada masa ini ditandai dengan adanya regenerasi epitel
endometrium, pengecilan serat urat daging miometrium dan pembuluh-pembuluh darah
uterus. Semua yang terjadi didalam uterus merupakan suatu proses yang berlangsung
secara alamiah, sehingga pada akhimya spesies hewan akan masuk pada suatu siklus
reproduksi baru yang ditandai dengan estrus kembali dari spesies hewan tersebut.

Empat kelenjar susu pada sapi bergabung menjadi satu membentuk ambing. Ambing
adalah suatu kelenjar kulit yang tertutup oleh bulu, kecuali pada putingnya. Ambing
tampak sebagai kantung yang berbentuk persegi empat, terbagi menjadi dua bagian kiri dan
kanan dipisahkan oleh lekukan memanjang, yang disebut “intermammary groove”. Kuarter
belakang merupakan bagian yang besar dan menghasilkan susu 60% dari total produksi.
Sering dijumpai adanya puting tambahan (extra teat) diluar empat puting yang normal dari
masing-masing kuarter. Puting tambahan biasanya berada dibelakang puting belakang atau
kadang-kadang diantara puting depan dan belakang.

Berat dan kapasitas kelenjar susu meningkat sejalan dengan peningkatan umur sapi
sampai umur 6 tahun dan peningkatan terbesar terjadi pada saat antara laktasi pertama dan
kedua. Setelah sapi mencapai umur 6 tahun tidak tampak nyata adanya peningkatan berat
maupun kapasitas kelenjar susu. Berat ambing menurun selama bulan-bulan laktasi dan
penurunan yang nyata terjadi setelah 2 bulan pertama setiap laktasi.

Puting susu bentuknya bervariasi, dari yang berbentuk silindris, kerucut, pencil,
sampai yang bentuk pendek. Puting belakang biasanya lebih pendek daripada puting
depan. Pada pemerahan dengan mesin, sapi-sapi yang mempunyai puting pendek lebih
disukai karena mempunyai pancaran susu yang lebih cepat dibandingkan dengan puting
susu yang lebih panjang.
Selain itu pertautan ambing dengan tubuh harus sempurna dan tidak menunjukkan
kelemahan; yang disukai adalah panjang, lebar dan kedalamannya sedang. Ambing
berkembang kedepan dengan pertautan yang baik dan kuat. Pada bagian belakang, lebar
dan tinggi, tampak simetris. Di negara maju peternak menginginkan sapinya mempunyai
ambing besar dan memproduksi susu banyak

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana mekanisme ternak mulai dari tahap kebuntingan sampai memproduksi
susu?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui proses fisiologi ternak mulai dari kebuntingan sampai produksi
susu
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kebuntingan
Kebuntingan merupakan suatu masa yang dimulai sesudah proses fertilisasi sampai
dengan kelahiran. Banyak pendapat yang berkembang di dalam masyarakat yang mencoba
memberikan definisi tentang periode kebuntingan pada ternak. Bagi seorang petani
peternak, ia akan mendefinisikan bahwa periode kebuntingan dimulai dari perkawinan
yang terakhir sampai kelahiran. Seorang inseminator menghitung periode kebuntingan
sejak inseminasi yang terakhir sampai dengan kelahiran. Pada manusia (ibu-ibu hamil)
perhitungan tersebut agak berlainan yakni dimulai saat berakhirnya menstruasi sampai
dengan kelahiran.
Dari definisi yang berkembang dalam masyarakat, maka perhitungan tersebut bisa
meleset beberapa jam bahkan sampai beberapa hari. Sebagai contoh bahwa pada wanita
produktif masa kesuburan berlangsung pada pertengahan siklus haid, atau hari ke 14-15
setelah menstruasi. Pada pertengahan siklus tersebut terjadi ovulasi sehingga apabila
spermatozoa masuk sampai ampula tuba Fallopii akan terjadi fertilisasi. Dengan demikian
sejak saat itulah dimulai periode kehamilan.

2.1.1 Periode Kebuntingan pada Mamalia


Pertumbuhan makluk baru yang terbentuk sebagai hasil pembuahan ovum oleh
spermatozoa dapat dibagi menjadi tiga periode yaitu periode ovum, periode embrio dan
periode foetus. Periode ovum adalah periode yang dimulai dari fertilisasi sampai
implantasi; periode embrio dimulai dari implantasi sampai saat dimulainya pembentukan
alat-alat tubuh bagian dalam, terbentuknya ekstremitas sampai lahir.
Pendapat beberapa ahli embriologi menyatakan bahwa periode ovum dimulai dari
saat ovulasi (ovum yang dikeluarkan dari ovarium) sampai terjadinya fertilisasi, periode
embrio dimulai dari sejak fertilisasi, implantasi sampai terbentuknya alat-alat tubuh bagian
dalam, kemudian dilanjutkan dengan periode foetus.

2.1.2 Lama Kebuntingan pada Ternak


Lama periode kebuntingan pada beberapa jenis ternak dapat dilihat pada table
berikut.
Tabel 1. Perbedaan periode kebuntingan pada ternak.
Ternak Rata-rata (Kisaran) (hari)
Sapi
Ayrshire 278
Brown Swiss 290 (270-306)
Shorton 282
Frisian 276 (240-303)
Guernsei 284
Hollstein Frisian 279 (262-309)
Jersey 279 (270-285)
Swedish Frisian 282 (260-300)
Sapi potong
Abeerden angus 279
Hereford 285 (243-316)
Shorthorn 283 (273-294)
Sebu (Brahman) 285
Domba 148 (150-159)
Kambing 149 (Bearden and Fuguay, 1992)
Babi
Domestik 114 (102-128)
Liar (124-140)
Kuda
Arab 337 (301-371)
Belgian 335 (304-354)
Clydesdale 334
Morgan 344 (316-363)
Percheron 321-345)
Shire 340
Throughbreed 338 (301-349)
Sumber Hafez (1993).
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Lama Kebuntingan
a. Faktor genetik
Salah satu contoh bahwa faktor genetik mempunyai pengaruh terhadap lama
kebuntingan pada seekor ternak adalah hasil perkawinan antara kuda jantan dengan kuda
betina lama kebuntingan 355 hari, sedangkan hasil perkawinan antara kuda betina dengan
keledai jantan adalah 340 hari.
b. Faktor Maternal.
Faktor maternal yang dimaksudkan adalah umur induk. Sebagai contoh, pada domba
yang berumur 8 tahun mempunyai lama kebuntingan 2 hari lebih lambat dibandingkan
dengan domba umur muda. Pada sapi-sapi dara yang bunting pada umur yang relatif muda
akan mempunyai masa kebuntingan yang lebih pendek dari pada induk sapi yang lebih tua.
c. Faktor Foetus.
Foetus yang banyak pada jenis hewan monotokus mempunyai masa kebuntingan yang
lebih singkat daripada foetus tunggal. Sebagai contoh bahwa anak sapi kembar berada
dalam kandungan 3-6 hari kurang dari anak sapi tunggal atau dengan kata lain bahwa anak
kembar akan lahir lebih cepat sekitar 3-6 hari.
Jenis kelamin foetus dan ukuran plasenta pada kuda ikut mempengaruhi lama
kebuntingan. Pada sapi dan anak kuda dengan anak jantan yang dikandung mempunyai
umur kebuntingan 2 hari lebih lama dari anak betina.
d. Faktor Lingkungan Fisik
Pada kuda, pengaruh musim dingin akan memperpanjang lama kebuntingan, oleh karena
terjadi penundaan implantasi. Pengaruh suhu yang tinggi memperpanjang masa
kebuntingan pada rodensia, tetapi tidak ada informasi mengenai pengaruhnya pada ternak.
Pada kuda dan domba tingkatan pakan mempengaruhi lama kebuntingan dimana pada
tingkat pakan yang rendah memperpanjang masa kebuntingan.
2.1.4 Perubahan Alat Kelamin Betina Selama Kebuntingan
Selama periode kebuntingan terjadi berbagai perubahan pada alat kelamin hewan
betina.
a. Vulva dan Vagina
Pada sapi dara terjadi oedema vulva mulai dari kebuntingan 6-7 bulan, dan semakin tua
umur kebuntingan akan semakin jelas oedema tersebut. Pada sapi yang sudah sering
beranak oedema vulva baru akan terlihat setelah kebuntingan 8,5-9 bulan. Pada vagina
hanya terlihat adanya pertambahan vaskularisasi mukosa vagina.
b. Serviks
Kripta serviks menghasilkan lendir yang kental. Lendir ini berfungsi,sebagai sumbatan
lumen serviks sehingga mikroorganisme tidak dapat masuk ke lumen serviks. Pada serviks
juga terdapat kontraksi tonus dari muskulatur, dan kontraksi ini berlangsung hingga masa
kelahiran foetus. Menjelang kelahiran foetus (2-5 hari) serviks mulai merileks sehingga
kontraksi yang bersifat tonus perlahan-lahan mengendor. Serviks menghasilkan lendir yang
berfungsi unutk melincinkan jalannya kelahiran.
c. Uterus
Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam uterus meliputi :
1. Sebelum implantasi (setelah fertilisasi).
Terjadi vaskularisasi endometrium. Terbentuk banyak kelenjar endometrium dan
tumbuh lebih panjang dan berkelok-kelok seperti spiral, terjadi infiltrasi leukosit, kelenjar
uterus menghasilkan histotrop (susu uterus), miometrium menjadi tenang dan tidak
berkontraksi lagi.
2. Setelah implantasi.
Terjadi penyaluran makanan yang lebihg lancar dari induk kepada anak, dan zat
buangan dari anak kepada induk, terjadi pertumbuhan embrio dan meluasnya tropoblas,
dan terjadi pertumbuhan uterus yang meliputi pertumbuhan muskulatur (hipertropi) yaitu
pertumbuhan elemen fibril dan jaringan kolagen.
Pada sapi dan kerbau pada umur kebuntingan 90 hari, kornua yang bunting telah mulai
turun sehingga pada kebuntingan 4 bulan apex kornua yang mengandung foetus bunting
telah sampai ke dasar ruang perut. Pada kebuntingan 5 bulan dasar ruang perut telah
seluruhnya dipenuhi oleh uterus bunting dan lambat laun uterus membesar, dan pada
kebuntingan 9 bulan dinding uterus dan rektum telah bersentuhan.
d. Ovarium
Setelah ovulasi, pada bekas folikel yang pecah terpenuhi dengan darah yang cepat
membeku (disebut corpus hemorhagicum). Dilapisan bawah kanan terdapat sel-sel
granulosa dan sel theca interna. Dari sini terbentuk sel-sel baru berwarna kuning dan
disebut selluteum. Selluteum akan tumbuh menjendol dan disebut corpus luteum (CL).
Corpus luteum tumbuh dan menghasilkan progesteron karena pengaruh hormon estrogen
dan LTH. Pada sapi dan domba CL telah terbentuk pada hari ke 5 atau 6. Apabila tidak
terjadi kebuntingan maka CL akan dinonaktifkan oleh PGF2α endometrium sehingga akan
berdegenerasi menjadi jaringan ikat putih mengkilat dan disebut corpus albikans. Apabila
estrus pada hewan betina menghasilkan kebuntingan maka CL tetap dipertahankan selama
kebuntingan dan dikenal dengan CL graviditatum.
Pada sapi, domba, kambing dan babi serta kerbau tetap dipertahankan sampai akhir
masa kebuntingan. Pada kuda CL yang pertama hanya dipertahankan sampai bulan ke 5.
Pada umur kebuntingan 40 hari dalam ovarium tumbuh dan berkembang 10-15 folikel,
dimana sebagian dari folikel akan berovulasi sehingga dalam satu ovarium terdapat 3-5 CL.
Corpus luteum yang terbentuk disebut CL tambahan. Folikel yang tumbuh dan berkembang
dalam ovarium adalah sebagai akibat dari adanya Pregnant Mare Serum Gonadotropin
(PMSG) sekarang berubah nama menjadi equine chorionic gonadotropin (eCG) yang
dihasilkan oleh mangkok-mangkok endometrium.
Pada kebuntingan 5 bulan semua CL mulai beregresi sehingga pada bulan ke 7 CL yang
terbentuk hanya tinggal sisa-sisanya saja. Pada saat itu tidak terjadi abortus karena plasenta
sudah cukup banyak menghasilkan progesteron.

2.1.5 Kebutuhan Hormon Selama Kebuntingan


Corpus luteum, plasenta, folikel, hipotalamus dan hipofisis merupakan kelenjar
endokrin utama yang memegang peranan penting selama masa kebuntingan berlangsung.
Kelenjar tiroid dan adrenal mempunyai fungsi untuk menunjang kerja dari kelima kelenjar
tersebut.
Corpus luteum dengan produksi progesteronnya berfungsi mengelola pertumbuhan
makluk baru dalam kandungan terlebih pada saat implantasi sampai pada pertengahan
kebuntingan (pada kuda). Progesteron juga dihasilkan oleh plasenta yang fungsi utamanya
dalam memilihara kebuntingan melalui : 1). Menghambat sekresi LH, walaupun hambatan
tidak total oleh karena LH harus diproduksi walaupun dalam kadar rendah, dan diperlukan
untuk merawat CL bersama LTH; 2). Menghambat kontraksi endometrium sehingga tidak
mengeluarkan PGF2α yang dapat menghilangkan fungsi kerja CL dengan cara melisis
sehingga tidak dapat menghasilkan progesteron.
a. Plasentasi
Plasenta adalah tenunan tubuh dari embrio dan hewan induknya, yang terjalin pada
waktu pertumbuhan embrio untuk keperluan penyaluran makanan dari induk kepada
anaknya dan zat buangan dari anak kepada induknya.
Berdasarkan jumlah lapisan jaringan yang memisahkan aliran darah induk dan anak
maka plasenta dibagi atas 3 macam :
1. Plasenta epiteliokorial. Dikenal juga dengan plasenta difusa. Mempunyai hubungan
yang relatif luas dan licin antara korion dan epitel uterus. Pada uterus tidak terdapat
karankula dan vili-vili korion tersebar diseluruh permukaan plasenta. Darah induk dan
anak dipisahkan oleh 2 lapis epitel, 2 lapis endotel dan 2 lapis tenunan pengikat yang
masing-masing berasal dari endometrium dan tropoblas.Biasanya terdapat pada babi dan
kuda.
2. Plasentasindesmokorial. Dikenal juga dengan plasenta kotiledonaria. Tidak ada epitel
uterus yang menutupi karankula (daerah bundar yang menonjol ke lumen uterus).
Ditemukan pada sapi, domba dan kambing. Kotiledon pada korioalantois bertaut pada
karankula oleh vili-vili yang menyusup masuk kedalam karankula dan bersama-sama
membentuk plasentom.
3. Plasenta hemokorial. Darah induk dan anak dipisahkan oleh 3 lapisan sel yang berasal
dari tropoblas yaitu endotel, tenunan pengikat dan epitel. Struktur ini memberikan
gambaran bahwa tropoblas telah terendam dalam darah induk.

b. Selaput Luar Embrio


Selaput luar terdiri dari : kantung kuning telur, amnion, alantois dan serosa (korion).
1. Kantung kuning telur
Merupakan bagian dari usus primitif dan berfungsi memberi makanan pada embrio.
Pada kantung kuning telur pembuluh darah berkembang dan berfungsi membawa bahan
makanan yang diserap dari susu uterus. Kantung kuning telur bekerja dalam waktu singkat
karena tugasnya diambil alih oleh alantois.
2. Amnion
Amnion berasal dari selapis dari mesoderm dan ektoderm dan tumbuh menyelubungi
embrio. Biasanya disebut kantung air berisi cairan bening yang merendam embrio.
Fungsinya adalah sebagai bantalan pelindung dari goncangan dari luar dan tekanan dari
bagian badan induk yang ada disekitarnya, mencegah bertautnya kulit embrio dengan
lapisan yang menyelubunginya. Pada waktu kelahiran sebagai pembuka jalan yang
membuka serviks dan bersifat pelumas membantu mengeluarkan foetus. Fungsi lain adalah
sebagai tempat penampung zat buangan dari embrio melalui ureter.
3. Alantois
Alantois dibentuk sebagai kantung luar usus bagian belakang. Fungsinya adalah
menampung air seni embrio. Pada waktu partus cairan alantois membantu meneruskan
tekanan yang diberikan oleh uterus ke serviks sehingga serviks terbuka. Analisis kimia
terhadap cairan amnion dan alantois memberikan kesimpulan bahwa cairan tersebut
bersifat asam, berisi sedikit protein, lemak, glukosa, fruktosa dan elektrolit (Na, K) urea
dan kreatinine. Hal ini membuktikan bahwa kantung amnion dan alantois digunakan
sebagai kantung tempat pembungan kotoran.
4. Korion
Merupakan lapisan luar blastosis yang mula-mula disebut tropoblas. Lapisan ini
bersambung dengan lapisan luar yang dibentuk oleh cakram lembaga disebut ektoderm.
Bila lapisan lembaga telah terbentuk maka lapisan ini dikenal tropekderm. Mula-mula
tugas utamanya menyerap zat makanan, setelah berhubungan dengan alantois maka
fungsinya membantu pengangkutan zat makanan ke embrio.
2.1.6 Perkembangan Prenatal
Setelah inti sel spermatozoa bersatu dengan inti sel ovum maka terjadilah sel baru
yang bersifat diploid. Sel ini disebut konseptus atau embrio.

Gambar 1.Sapi betina yang sedang bunting

Konseptus akan membelah diri secara mitosis sehingga jumlah sel dalam zona
pelusida mencapai 32 sel. Embrio ini disebut morula. Cairan terkumpul diantara beberapa
sel didalam tubuh morula. Ruangan ini disebut blastocoele sedang embrio kini disebut
blastosis. Pada saat ini tubuh embrio seolah-olah terbagi dua karena ada bagian sel yang
membentuk sel-sel tipis dibagian permukaan yang menyelubungi hampir seluruh tubuh
blastocoele yang disebut tropoblas. Sedang bagian yang diselubungi disebut inner cell
mass (masa sel bagian dalam). Tropoblas akan tumbuh menjadi plasenta sedangkan masa
sel bagian dalam tumbuh menjadi makluk baru yang akan lahir.

2.1.7 Diferensiasi dan Pembentukan Somit


Diferensiasi adalah suatu proses dimana sel-sel embrional bersegregasi untuk
membentuk banyak macam sel khusus yang diperuntukkan bagi pelaksanaan fungsi-fungsi
yang khusus.
Selama permulaan diferensiasi inner cell mass akan berkembang menjadi endoderm,
mesoderm dan ektoderm.
1. Endoderm, merupakan lapisan terdalam dimana dari lapisan ini akan membentuk
dinding usus dan kelenjar-kelenjarnya dan vesica urinaria.
2. Mesoderm, merupakan lapisan antara ektoderm dan endoderm yang akan membentuk
jaringan ikat, sistem vaskular, tulang dan otot serta korteks adrenal, sel kelamin primer
mungkin berasal dari mesoderm atau ektoderm.
3. Ektoderm, merupakan lapisan luar yang membentuk medulla adrenal, otak, sumsum
tulang belakang dan derivat sistem saraf termasuk vesicular optica, neurohipofisis dan
ganglia. Bagian-bagian ini berasal dari ektoderm neural.
Dari ektodermal membentuk neurohipofisis, kulit dan semua derivat termasuk
kelenjar mamae dan kulit lainnya, kuku, rambut, teracak dan lensa mata.
Lapisan endoderm selain membentuk sistem pencernaan juga membentuk hati, paru-
paru, kelenjar tiroid dan kelenjar-kelenjar lain. Demikian pula dengan mesoderm selain
membentuk sistem sketsa dan sistem sirkulatori juga membentuk otot, sistem reproduksi
jantan dan betina, ginjal dan sistem urinaria.
Somit atau segmen-segmen tubuh berkembang menjadi tiga daerah yaitu :
1. Daerah pertama berkembang menjadi tulang belakang yang menyelubungi saluran saraf.
2. Daerah kedua bagian atas dekat saluran saraf membentuk urat daging sekeletol.
3. Daerah ketiga bagian terbawah somit membentuk jaringan ikat dan kulit.
2.1.8 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Prenatal
Perkembangan prenatal dipengaruhi oleh beberapa faktor :
1. Hereditas. Ukuran foetus ditentukan oleh gennya sendiri, kompleks gen induk dan
kompetisi intrauterin dengan foetus lain. Kontribusi maternal mencapai 50-75
variabilitas dari berat lahir dan lebih besar dari kontribusi paternal.
2. Besar dan umur induk. Besar induk mempunyai korelasi positif dengan pertumbuhan
prenatal. Jika induk bangsa kecil kawin dengan pejantan besar karena memiliki
lingkungan maternal kecil sehingga harus membatasi besar foetus secukupnya agar
lahir secara normal. Apabila induk bangsa besar akan menghasilkan anak yang cukup
besar pula. Hal ini akan lebih jelas pada kuda dan sapi.
3. Nutrisi. Pertumbuban foetus tidak tergantung pada nutrisi induk dan besar litter selama
trimester pertama namun pada trimester terakhir masa kebuntingan terdapat perubahan
yang nyata dalam berat foetus yang mencerminkan faktor genetik, besarnya litter dan
status nutrisi dan kesehatan induk. Pemberian pakan dengan tingkat nutrisi yang tinggi
pada domba bunting dengan anak kembar pada trimester ke dua akan memberikan berat
lahir yang lebih tinggi dari anak domba kembar yang lahir dari induk bunting dengan
pemberian pakan moderat. Hal ini memberikan indikaksi bahwa kekurangan pakan
pada domba selama trimester ke dua masa kebuntingan menyebabkan produksi anak
terhambat walaupun pada trimester pertama telah diberikan pakan yang tinggi.
4. Jumlah anak perlitter. Banyaknya litter pada suatu kebuntingan berbanding terbalik
dengan berat foetus. Semakin banyak litter per kebuntingan maka kecepatan
pertumbuhan prenatal makin kurang karena komptisi antara foetus. Pada jenis hewan
monotokus foetus kembar umumnya lebih kecil daripada foetus tunggal. Pada foetus
tunggal dapat mencapai berat 120% dan foetus triplet 90%dari berat foetus kembar.
5. Ukuran plasenta. Ukuran plasenta yang menyebabkan gangguan prenatal adalah
plasenta kecil dan abnormalitas membran plasenta yang mempengaruhi pengangkutan
zat-zat makanan dari induk kepada anak. Anak babi yang baru lahir dengan
pertumbuhan yang terhambat yang sering ditemukan pada litter besar kemungkinan
disebabkan oleh plasenta yang sangat kecil.
6. Suhu udara luar. Pada domba bunting yang dikenakan stress panas akan menghambat
pertumbuhan foetus. Dengan demikian foetus lahir menjadi kerdil. Keadaan ini adalah
karena pengaruh suhu bukan karena pengaruh pakan. Kekerdilan karena pengaruh suhu
merupakan miniatur dengan proporsi yang sempurna. Sedangkan domba induk yang
kekurangan pakan mempunyai anak yang kurus dengan kaki yang panjang.
2.2 Partus / Kelahiran
Kelahiran adalah proses fisiologi dimana uterus yang bunting megeluarkan anak dan
plasenta melalui saluran kelamin.
2.2.1 Tanda- Tanda Kelahiran.
Tanda-tanda kelahiran pada hewan ternak adalah pada umumnya induk hewan
gelisah, ligamentasacrospinosum et toberosum merelaks, ooedema pada vulva, lendir
sumbat serviks mencair, kolostrum telah menjadi cair dan bila dipencet mudah keluar dari
puting susu. Pada anjing dan kucing sering membuat sarang. Pada sapi terjadi relaksasi
bagian pelvis terutama ligamenta sacrospinosum et tuberosum. Relaksasi ini menyebabkan
urat daging di atas pelvis mengendor. Kadang-kadang menaikkan pangkal ekor (tegak
seperti pada waktu hewan sedang berahi), vulva membengkak, kelenjar susu ooedema
(pada sapi dara mulai 4-5 bulan), ooedema daerah ventral perut, terjadi produksi
kolostrum, lendir serviks berubah dari kental menjadi cair. Pada kuda terjadi relaksasi
ligamenta sacrospinosum et toberosum (tidak terlalu kentara seperti pada sapi) karena urat
daging tebal. Vulva tidak menjadi oedema tetapi menjadi lunak, terlihat lendir pelicin,
kelenjar susu, kolostrum mulai menetes. Beberapa jam menjelang kelahiran terlihat
gelisah, tidak mau makan, merebahkan diri, bangun dan sebagainya sampai foetus lahir.
Pada domba dan kambing hampir sama dengan sapi tetapi kebengkakan susu tidak terlalu
jelas, lendir vagina tidak seperti pada sapi. Pada babi, anjing dan kucing, pada umumnya
mereka menjadi tenang dan mencari tempat yang tenang. Pada anjing dan kucing mencari
tempat yang ada alasnya atau kain-kain tua untuk sangkar. Sedangkan pada babi terjadi
pembesaran kelenjar susu dengan ooedema vulva. Jika dalam kandang ia akan berputar.
2.2.2 Mekanisme Inisiasi Kelahiran
Berbagai teori yang mencoba menerangkan bagaimana mekanisme kelahiran dimulai
belum secara pasti diketahui. Namun secara garis besar dapat dikelompokkan dalam 4
kelompok yaitu mekanisme stimulasi mekanik, mekanisme immunologik, mekanisme
hormonal, dan mekanisme pengontrolan foetus.
1. Mekanisme Stimulasi Mekanik
Desakan keluar yang berasal dari pertambahan volume foetus terhadap dinding uterus
menyebabkan peninggian sinsivitas otot-otot uterus terhadap estrogen dan oksitosin. Teori
ini didasarkan pada kenyataan bahwa kebuntingan kembar pada hewan monotokus
mengalami proses kelahiran lebih awal. Teori ini dibantah dengan kasus pada hewan
politokus dengan 10 atau lebih foetus pada suatu kebuntingan. Ketika kebuntingan tersebut
hanya satu atau dua ekor tidak menyebabkan perawalan atau perlambatan kelahiran.
Bantahan lain adalah pada kejadian hidrops dimana volume cairan alantois dan amnion
melebihi normal yang menyebabkan keregangan dinding uterus. Hal ini tidak
menyebabkan terjadinya inisiasi urat daging uterus untuk berkontraksi.
2. Mekanisme Imunologik
Keselurahan masa kebuntingan diperlukan untuk mengembangkan respons imunologik
terhadap foetus yang dianggap asing karena adanya kontribusi faktor paternal. Pada
kelompok-kelompok sel-sel foetus dalam mangkok endometrium pada kuda ditolak oleh
jaringan induk, namun induk cukup terisolir secara imunologik dari foetus.
3. Mekanisme Hormonal
Peranan hormon dalam memulai terjadinya induksi kelahiran adalah sangat besar
sehingga dapatlah dikatakan tanpa kerja hormon proses kelahiran tidak akan pernah terjadi.
Induksi kelahiran dimulai dengan terjadinya penurunan kadar progesteron dan kenaikan
kadar estrogen dan oksitosin. Hal ini terjadi pada semua mamalia kecuali pada wanita
dimana kadar progesteron dan estrogen tetap meninggi menjelang kelahiran.
4. Oksitosin
Oksitosin dikenal sebagai hormon yang mempunyai peranan penting dalam merangsang
uterus untuk memulai kontraksi. Peranannya dalam proses kelahiran dimulai pada saat
perejanan pengeluaran foetus yaitu pada waktu memulai peregangan serviks, terjadi
rangsangan saraf ke otak, dimana rangsangan tersebut diteruskan ke hipotalamus dan
akhirnya dari neurohipofisis disekresikan oksitosin. Oksitosin merembes kedalam
peredaran darah, kemudian menuju ke uterus dan menyebabkan kontraksi miometrium.
Oksitosin dapat bekerja secara baik untuk kontraksi uterus apabila kadar progesteron
dalam darah sudah cukup rendah dan estrogen sudah cukup tinggi yang berfungsi untuk
membuat uterus agar lebih peka terhadap oksitosin.
Progesteron berfungsi untuk menjaga dan merawat kebuntingan dengan jalan mencegah
terjadinya kontraksi urat daging uterus, sehingga uterus menjadi tenang. Peranan
progesteron sudah dimulai sejak terbentuknya CL. Apabila sumber progesteron dihentikan
maka terjadilah abortus. Selain diproduksi oleh CL juga dihasilkan oleh plasenta bersama
estrogen, dimana menjelang kelahiran progesteron akan menurun sedangkan estrogen
meningkat. Mekanisme apa yang mengatur produksi kedua hormon ini belum diketahui
secara pasti, namun diduga bahwa adrenal foetus akan menghasilkan corticosteroid dengan
cortisol sebagai produksinya. Cortisol ini menyebabkan pengurangan sekresi progesteron
oleh plasenta dan peningkatan estrogen. Peningkatan produksi estrogen merangsang
kontraksi miometrium sehingga terjadi pelepasan PGF2α. PGF2α menyebabkan regresi CL
dan terjadi penurunan progesteron.
Pada zat estrus estrogen yang dihasilkan oleh theca intema dan sel-sel granulosa
berfungsi selain merangsang tingkah laku estrus juga berfungsi untuk terjadinya kontraksi
uterus. Tujuannya adalah untuk membantu membawa spermatozoa ke tempat pembuahan
di tuba Fallopii. Pada akhir masa kebuntingan estrogen kembali merangsang uterus untuk
berkontraksi lemah. Sedangkan untuk kontraksi tonus adalah pengaruh hormon oksitosin.

2.2.3 Mekanisme Pengontrolan Foetus


Bagaimana pengontrolan foetus terhadap terjadinya kelahiran adalah terletak pada
poros hipotalamus-hipofisis adrenal foetus yang memproduksi corticosteroid. Menjelang
kelahiran kadar corticostiroid foetus meningkat cukup tinggi. Hal ini memberikan
kesimpulan bahwa corticostiroid foetus terlibat langsung dalam proses kelahiran. Hal ini
yang menunjukkan bahwa corticostiroid foetus berperan dalam proses kelahiran adalah
dengan penyuntikan ACTH atau dexamethason akan menginduksi kelahiran.

2.2.4 Tahap-tahap Kelahiran.


Proses kelahiran dibagi atas dua tahap yaitu tahap permulaan atau tahap persiapan
dan tahap pengeluaran foetus dan plasenta. Untuk tahap ke dua disebut tahap perejanan dan
dibagi atas 3 tahap yaitu tahap persiapan perejanan; tahap perejanan yang kuat untuk
mengeluarkan foetus; dan tahap yang kuat untuk mengeluarkan plasenta. Ada juga yang
membagi proses kelahiran atas tiga stadium yaitu persiapan, ekspulsi atau pendorongan
foetus ke luar dan ekspulsi plasenta. Tipe dan interval waktu untuk tahapan-tahapan
tersebut berbeda-beda antara bangsa ternak dan antara individu dalam suatu bangsa ternak.
1. Tahap Persiapan
Pada stadium ini uterus relatif tenang dan cadangan energi yang tersedia ditimbun
sampai sangat banyak. Aktomiosin, protein, kontraktil otot menjadi aktif dan banyak.
Semua ini diperlukan uterus untuk mempersiapkan energi dan protein untuk mengeluarkan
foetus. Pada tahap permulaan ditandai dengan adanya kontraksi uterus yang boleh
dikatakan intensitas yang masih lemah dengan frekuensi yang tidak terlalu cepat. Setelah
masuk pada tahap persiapan perejanan kontraksi uterus menjadi lebih kuat dengan
frekuensi yang lebih cepat.
Mula-mula kontraksi terjadi setiap 15 menit dengan lama kontraksi 15-30 detik, rata-
rata 20 detik. Kontraksi dimulai dari apex cornua sehingga isi kandungan seolah-olah
terdesak kearah serviks. Kantung amnion dan alantois bersama isi cairan menyusup ke
lumen serviks. Serviks merileks sedikit demi sedikit membuka. Kontraksi uterus menjadi
lebih cepat dan terjadi setiap 5 menit dengan lama 20-40 detik. Stadium persiapan
perejanan berlangsung cepat yaitu 30 menit dan bisa juga lambat 24 jam namun rata-rata 2-
6 jam. Pada akhir tahap ini serviks terbuka luas, sehingga serviks dan vagina serta vulva
merupakan satu saluran yang tidak jelas batas-batasnya. Membran alantois tersembur ke
luar kemudian pecah mengeluarkan cairan. Kantung amnion masuk ke dalam pelvis dan
menyembul sedikit dari vulva. Kepala dan ke dua kaki foetus masuk ke dalam ruang
pelvis, maka terjadilah ransangan ke pusat dan sumsum tulang punggung yang diteruskan
berupa refleks ke urat daging perut dan diafragma. Dengan demikian tahap persiapan
perejanan selesai. Pada kuda ditandai dengan tanda- tanda yang sangat menyolok yaitu
menunjukkan gejala sakit perut, menendang perutnya dengan kaki belakang, merintih,
berbaring, berdiri dan sering kencing dan berlangsung 1-4 jam.
2. Tahap Pengeluaran Foetus
Tahap ini ditandai dengan adanya kontraksi bersama urat daging uterus, urat daging
perut dan urat daging diafragma. Gabungan dari ketiga kontraksi ini menghasilkan
kontraksi yang amat kuat. Perejanan terjadi setiap 5 menit kemudian 4 menit dan 3 menit
dengan lama kontraksi sampai 1 menit. Apabila perejanan semakin dekat maka dapat
berlangsung sampai 80 detik bahkan 100 detik. Akibat perejanan yang kuat maka kantung
amnion pecah, cairan amnion melicinkan jalan bagi foetus yang akan keluar. Kepala foetus
menyusup terus menuju vagina dan vulva diikuti seluruh badan sehingga terjadilah
kelahiran.
Kuda, sapi kerbau, kambing dan domba mempunyai tahap pengeluaran foetus yang
hampir sama. Pada babi, anjing dan kucing agak berlainan dengan hewan-hewan tersebut.
Pada babi setelah alantois pecah maka diikuti oleh kantung amnion yang tersembul keluar
dimana agak lama tinggal dimulut vulva. Pada saat itu kaki dan mungkin moncong foetus
ikut terjepit di mulut vagina. Dengan perejanan yang kuat kantung amnion pecah maka
foetus lahir dan tali pusar yang menghubungkan plasenta dan foetus segera putus. Pada
waktu anak berbaring maka kantung amnion dan alantois akan keluar perlahan-lahan.
Setelah beberapa menit kantung alantois yang kedua tersembul ke luar dan pecah
kemudian diikuti oleh pecahnya kantung amnion dan foetus kedua lahir dan seterusnya
diikuti oleh foetus ketiga sampai selesai.
Pada anjing kantung alantois dan amnion yang tersembul ke luar akan segera dijilat oleh
induk anjing dengan demikian akan segera pecah dan kemudian foetus lahir. Induk akan
segera menjilat sisa-sisa lendir yang ada pada tubuh anak. Setelah beberapa menit maka
plasenta foetalis akan keluar kemudian dimakan oleh induknya. Demikian pula pada
kelahiran ke dua dan seterusnya sampai selesai akan berlangsung sama seperti kelahiran
foetus pertama. Akibat mengkonsumsi plasenta terlalu banyak kesehatan induk tergangu
dan perut sakit, muntah-muntah dan menceret. Oleh karena itu kepada pemilik anjing
disarankan untuk membuang plasenta dan kalau bisa jangan semua dimakan. Demikian
pula pada kucing proses kelahiran akan berlangsung sama seperti pada anjing. Kantung
alantois dan amnion yang tersembul ke luar akan dijilat oleh induk kucing bahkan tali
pusar ikut diputuskan oleh induk kucing karena tingginya intensitas penjilatan. Plasenta
foetalis akan dimakan oleh induknya. Lama waktu pengeluaran foetus dari tersembulnya
kantung amnion adalah sebagai berikut : kuda 10-30 menit, sapi ½-4 jam, domba dan
kambing 1/2-2 jam pada anjing dan kucing untuk foetus pertama 10-60 menit (selang
foetus pertama dan kedua diatas 5 menit).
3. Tahap Pengeluaran Plasenta
Setelah foetus keluar maka kontraksi uterus berkurang dan tidak seintensitas seperti
pada saat perejanan pengeluaran foetus. Oleh karena kontraksi urat daging diafragma dan
urat daging perut sudah tidak ada lagi. Kontraksi yang sisa adalah dimaksudkan untuk
melepaskan ikatan antara vili-vili plasenta dengan kripta endometrium yang sudah dimulai
sejak stadium permulaan. Akibat kontraksi maka plasenta akan terdorong dan bergeser
menjauhi endometrium uterus dan mendekati serviks untuk seterusnya menuju dan
bergantung di vulva.
Pengeluaran plasenta pada kuda, sapi, kerbau, kambing dan domba adalah
disebabkan 2 faktor yaitu mekanik dan hormonal.
1. Faktor mekanik yaitu beratnya plasenta yang menggantung di ujung vulva dan tarikan
hewan ketika induk hewan menjilat bahkan menggigit plasenta foetaIis (untuk hal ke
dua lebih utama terjadi pada anjing dan kucing).
2. Faktor hormonal yaitu pengaruh estrogen dan oksitosin. Estrogen diperlukan untuk
membuat uterus tetap peka terhadap oksitosin sehingga uterus masih tetap berkontraksi
sampai terjadi pengeluaran plasenta. Oksitosin dalam let down milk berfungsi untuk
membantu merangsang turunnya susu dari alveoli ke saluran susu, sehingga proses
menyusu yang dilakukan anak terhadap induk akan sangat membantu terhadap
kontraksi uterus oleh karena pada proses penyusuan pada puting susu induk akan
menyebabkan disekresikan hormon oksitosin.

Waktu untuk mengeluarkan plasenta berbeda-beda dari spesies ke spesies dan sangat
bergantung pada kesehatan. Pada spesies hewan yang cukup sehat maka pengeluaran
plasenta akan lebih cepat. Sebagai contoh pada sapi potong pengeluaran plasenta
berlangsung ½-1 jam sedangkan pada sapi perah yang dikandangkan terus menerus
memakan waktu 1-8 jam. Adanya perbedaan yang jelas dari pengeluaran plasenta dari ke
dua spesies ternak tersebut adalah karena sapi potong selama bunting banyak mendapat
kesempatan untuk bergerak di lapangan. Pada kambing, domba dan kuda 1-3 jam.
Kebiasaan memakan plasenta adalah umum terjadi pada sapi, kerbau, kambing, domba
dan babi kecuali kuda tidak memakan plasentanya. Demikian pula pada anjing dan kucing
sampai-sampai plasenta yang mengalami retensi juga dilahap habis bahkan foetus yang
mati terbungkus plasenta juga ikut dimakan.
Salah satu keuntungan mengkonsumsi plasenta oleh induk adalah induk mendapat
tambahan protein. Hal ini dapat dikonsumsi dalam jumlah yang terbatas sebab apabila
mengkonsumsi dalam jumlah yang banyak mempunyai pengaruh negatif yaitu sakit perut,
menceret sampai muntah.
2.2.5 PostPartum
Postpartum atau dikenal pula dengan istilah puerperium adalah waktu dan
perubahan-perubahan yang terjadi pada induk hewan. Terdapat tiga hal yang perlu
dicermati dalam masa atau periode puerperium. Ketiga hal tersebut adalah regenerasi
endometrium, involusi uteri dan berahi setelah partus.
2.2.6 Regenerasi Endometrium
Regenerasi endometrium berawal saat plasenta terlepas dari karankula endometrium.
Kripta-kripta pada endometrium yang merupakan tempat bertautnya vili-vili plasenta
menjadi semakin dangkal, akibat sisa-sisa vili dalam kripta terlepas dan bercampur dengan
serum, limfe dan reruntuhan epitel endometrium yang terdapat dalam lumen uterus.
Pembuluh darah dalam dinding uterus mengecil, dan secara umum endometrium
memadatkan diri. Tangkai karankula dan karankula menjadi pendek dan mengecil. Seluruh
sel-sel epitel endometrium mengalami regenerasi dan terlepas menjadi benda mati dan
tercampur dengan cairan uterus. Satu minggu setelah plasenta keluar tangkai karankula
tidak ada lagi dan karankula hanya berupa jendolan endometrium dengan legokan-legokan
dari sekumpulan kripta. Pada mimggu ke tiga dan ke empat karankula telah mengecil dan
menjadi sebesar karankula aslinya. Enam minggu setelah plasenta keluar epitel karankula
yang mengalami degenerasi dan lepas, telah diganti dengan yang baru. Dan pada minggu
yang ke tujuh seluruh epitel permukaan uterus telah mengalami regenerasi.
2.2.7 Involusi Uterus
Involusi uterus adalah peristiwa pengecilan uterus. Dari volume pada waktu
mengandung menjadi ukuran normal tidak mengandung. Dalam pengecilan termasuk
regenerasi epitel endometrium, pengecilan serat urat daging miometrium dan pembuluh-
pembuluh darah uterus.
Waktu yang dibutuhkan uterus untuk mencapai ukuran normal adalah 18 hari pada
sapi yang pertama kali beranak dan 20 hari pada sapi yang sudah sering beranak (jika
dilakukan palpasi per rektal). Secara histoanatomik proses involusi uterus adalah 47-50
hari. Sehingga perkawinan sapi setelah partus sebaiknya adalah ± 60 hari.
2.2.8 Berahi Setelah Partus
Pada sapi estrus terjadi 30-70 hari setelah kelahiran foetus. Jarak ini akan lebih
panjang jika anak menyusu langsung pada induknya. Untuk sapi perah frekuensi
pemerahan susu dapat mempengaruhi jarak waktu tersebut. Jika diperah dua kali sehari
menghasilkan jarak waktu datangnya estrus pertama menjadi lebih panjang dari pada
diperah 4 kali sehari. Demikian pula bila sapi yang menyusui anaknya akan
memperpendek jarak estrus pertamanya. Berahi ini juga disertai ovulasi tetapi karena
uterus masih penuh lochia yaitu cairan limfe, serum, sisa-sisa vili plasenta anak dan epitel
permukaan endometrium maka kalau babi dikawinkan maka kemungkinan bunting kecil.

2.3 Produksi Susu


Performa produksi pada sapi merupakan salah satu sifat ekonomis yang dikendalikan
oleh sifat genetik (kuantitatif), sehingga produksi susu yang dihasilkan selama masa laktasi
merupakan akumulasi dari pengaruh genetik, lingkungan dan interaksi antar keduanya
(Utomo dan Miranti, 2010). Performa produksi dari seekor sapi dapat dilihat dari produksi
susu, lama laktasi, puncak laktasi dan lama masa kering. Setiap individu sapi memiliki nilai
yang berbeda dalam hal performa yang dihasilkan, sehingga perlu adanya sebuah
pencatatan untuk dijadikan pedoman yang akhirnya dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan untuk melakukan seleksi (Rahman dkk., 2015). Produksi susu memiliki
keterkaitan dengan paritas, bulan laktasi dan umur ternak (Purwanto dkk., 2013). Awal
laktasi pertama produksi susu akan meningkat sampai dengan umur dewasa, kemudian
akan menurun seiring bertambahnya umur ternak (Rahman dkk., 2015). Produksi susu satu
masa laktasi pada umur berbeda yaitu laktasi pertama sebesar 80%, laktasi kedua 85 - 90%,
laktasi ketiga 95%, laktasi keempat 100% (Murti, 2015). Umur muda yang beranak
pertama mempunyai produksi susu relatif lebih rendah dikarenakan pakan yang dikonsumsi
terbagi untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup produksi susu dan untuk memenuhi
kebutuhan pokok hidup pada masa pertumbuhan, sehingga menghasilkan produksi susu
yang belum maksimal (Awan dkk., 2016). Produksi susu sapi dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya adalah ketinggian tempat, konsumsi pakan, kualitas pakan, penyakit,
bulan laktasi dan periode laktasi (Krisnaningsih dkk., 2010). Kondisi lingkungan meliputi
suhu lingkungan dan kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan sapi laktasi menurunkan
performa produksi (Awan dkk., 2016). Produksi susu dipengaruhi oleh masa laktasi karena
semakin singkat masa laktasi akan menyebabkan penurunan produksi susu harian dan total
produksi susu per laktasi (Atabany dkk., 2011). Produksi susu juga dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor dari performa reproduksi ternak diantaranya adalah adanya hubungan
antara S/C, DO dan CI pada ternak terhadap produksi susu yang cenderung dapat
mengakibatkan penurunan produksi selama masa laktasi (Zainudin dkk., 2014). Waktu
yang digunakan sapi perah untuk menghasilkan susu dalam satu periode produksi disebut
lama laktasi. Lama laktasi dalam satu periode merupakan salah satu ciri atau sifat dari
setiap bangsa sapi. Produksi sapi selama hidup produktifnya bervariasi dari laktasi satu ke
laktasi selanjutnya akibat pengaruh tata laksana dan iklim lingkungan setempat. Produksi
susu sapi mengalami peningkatan dari paritas pertama ke paritas berikutnya sampai umur
6- 8 tahun dan setelah itu menurun secara bertahap (Djaja dkk., 2006). Standar lama laktasi
normal adalah 305 hari atau 10 bulan. Lama laktasi yang pendek atau kurang dari 305 hari
pada bangsa sapi Eropa disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan tidak ada hubungannya
dengan kemampuan genetik sapi tersebut (Ensminger,1991). Keadaan ini dibuktikan
dengan menempatkan sapi Frisien Holstain di Fiji dan Selandia Baru. Sapi di Fiji
mempunyai lama laktasi lebih pendek sehingga produksi susunya lebih rendah dari sapi
Selandia Baru. Sapi berproduksi rendah berhenti berproduksi sebelum 300 hari. Sapi bagus
bila tidak bunting menghasilkan susu lebih dari 400 hari dalam satu masa laktasi (Ball and
Peters, 2004).
Sapi menghasilkan susu dan anak setiap tahun idealnya masa laktasi selama 305 hari
dan kemudian dikeringkandangkan pada 7 bulan kebuntingan selama 60 hari sehingga
selang beranak menjadi 365 hari. Lama laktasi sapi Friesian Holstein di Indonesia berkisar
305 sampai 405 hari (Toelihere, 1993). Kenyataannya, lama laktasi berbeda-beda karena
tergantung pada efisiensi reproduksinya. Sapi terlambat bunting menyebabkan selang
beranak dan lama laktasi lebih panjang. Akibat selanjutnya masa produksi singkat. Dengan
demikian, lama laktasi dan sifat reproduktif secara tidak langsung berkaitan satu sama
lainnya (Damron, 2003). Sapi sebaiknya berada di peternakan selama lima laktasi atau
lebih agar memaksimumkan pendapatan (Ball and Peters, 2004). Pasokan susu diperlukan
untuk anak baru lahir segera setelah induk beranak, perkembangan kelenjar ambing dan
sekresi susu diatur oleh hormon- hormon yang sama dan terlibat dalam pengontrolan
kebuntingan dan beranak Sekali terbentuk sekresi susu biasanya dijaga agar dapat
mencapai 300 hari (Ball and Peters, 2004).

Produksi susu mencapai puncak 1 sampai 2 bulan setelah beranak. Penurunan berlanjut
sampai sapi perah dikeringkan atau berhenti berproduksi (Ball and Peters, 2004). Produksi
susu pada satu masa laktasi dimulai dari satu titik dan meningkat untuk kira-kira selama 3
sampai 6 minggu (Damron, 2003). Selanjutnya pertambahan produksi susu sedikit
menurun dan mencapai puncaknya pada 35 sampai 50 hari setelah beranak. Setelah puncak
dilalui produksi susu menurun dan berhenti karena sapi perah dikeringkan (Siregar, 1993).
Mulai laktasi pertama produksi susu terus meningkat sampai sapi perah tersebut mencapai
dewasa tubuh umur 6 sampai 8 tahun atau rata-rata 7 tahun. Kemudian, produksi susu
menurun sampai sapi perah diafkir kira-kira pada umur 12 tahun. Produksi susu laktasi ke
1,2,3 dan 4 masing-masing 70 sampai 77%, 80%, 90% dan 95 sampai 98% dari puncak
produksi. Keadaan ini dapat dicapai bila sapi perah beranak pada umur dua tahun. Sapi
berproduksi tinggi biasanya memerlukan waktu lebih lama untuk mencapai produksi
puncak dibandingkan sapi berproduksi rendah (Ensminger, 1991). Publikasi lain
menyatakan bahwa produksi puncak adalah titik dimana sapi mencapai level produksi
tertinggi susu pada masa laktasi yang sedang berjalan. Dara mencapai produksi susu
sebesar 70 sampai 75% sapi dewasa dan sapi laktasi kedua menghasilkan susu sebanyak
90% sapi dewasa. Waktu untuk mencapai puncak dipengaruhi oleh banyak factor,
misalnya: bangsa, nutrisi dan kemampuan (Djaja dkk., 2006).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kebuntingan merupakan suatu masa yang dimulai sejak fertilisasi dan diakhiri
dengan proses kelahiran. Selama kebuntingan terjadi perkembangan prenatal yang ditandai
dengan perubahan bentuk dari sigot menjadi embrio dan foetus. Lama kebuntingan
dipengaruhi oleh faktor genetik dan maternal (foetus dan lingkungan fisik). Proses
kelahiran ditandai dengan gejala-gejala yang ditimbulkan dari adanya mekanisme inisiasi
kelahiran. Proses ini terjadi karena adanya stimulasi mekanik, imunologik dan hormonal.
Secara bertahap hewan akan mengalami tahap persiapan, pengeluaran foetus dan tahap
pengeluaran plasenta. Setelah ternak mengalami partus maka selanjutnya akan
memasukitahapmemproduksiuntukanakternakyangbarudilahirkan
DAFTAR PUSTAKA
Arthur, G.H., David E. Noakes and Harold Pearson., 1982. Veterinary
Reproduction and Obstetrics. Theriogenelogi. Fifth Edition. Bailliere
Tindall London.

Bearden, H.J., and John W. Fuguay., 1992. Applied Animal Reproduction. Third
Edition. A Prentice-Hail Company Reston Virginia. P. 101-130.

Hafez, E.S.E., 1993. Reproduction In Farm Animals. 5th Edition. Lea and Febiger
Philedelphia. P. 229-259.

Partodihardjo, S., 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya. Jakarta
Pusat. P. 230-314.

Salisbury, G. W., N.L. Vandemark dan R. Djanuar., Fisiologi Reproduksi dan


Inseminasi Buatan Pada Sapi. Gadjah Mada University Press. 1985. P:
137-176.

Toelihere, M.R., 1993. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Angkasa Bandung. P.


166-299.

Anda mungkin juga menyukai