Anda di halaman 1dari 44

PERAN VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH

FACTOR (VEGF), KI-67 DAN P53 PADA


KEMOTERAPI NOEADJUVAN KANKER SERVIKS
STADIUM IB3, IIA2 DAN IIB

I GDE SASTRA WINATA

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU KEDOKTERAN


UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI........................................................................................................i

DAFTAR GAMBAR.........................................................................................iii

PENDAHULUAN ..............................................................................................1

1. Peran Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) sebagai

Respons Keberhasilan Kemoterapi Neoadjuvan pada Kanker

Serviks Stadium IB3, IIA2 dan IIB..............................................................

1.1 Biologi Vascular Endothelial Growth Factor/Receptor

(VEGF/VEGFR)...........................................................................................

1.2 Regulasi Ekspresi gen Vascular Endothelial Growth

Factor (VEGF) ............................................................................................

1.3 Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan

Angiogenesis................................................................................................

1.4 Vascular Endothelial Growth Factor/Receptor

(VEGF/VEGFR) pada Kanker Serviks........................................................

1.5 VEGF/VEGFR pada Kanker Serviks dengan

Kemoterapi Neoadjuvan.............................................................................

1.6 Penilaian Ekspresi VEGF pada Kanker Serviks.................................

2. Peran Ki-67 sebagai Respons Keberhasilan Kemoterapi

Neoadjuvan pada Kanker Serviks Stadium IB3, IIA2 dan IIB..................

2.1 Penilaian Ekspresi Ki-67 pada Kanker Serviks..................................

3. Peran p53 sebagai Respons Keberhasilan Kemoterapi

i
Neoadjuvan pada Kanker Serviks Stadium IB3, IIA2 dan

IIB...............................................................................................................

3.1 Protein p53..........................................................................................23

3.2 Struktur p53........................................................................................23

3.3 Regulasi Ekspresi Protein p53............................................................25

3.4 Peran p53 pada Proses Angiogenesis dan Apoptosis.........................27

3.5 Peran p53 sebagai Respons Keberhasilan Kemoterapi Neoadjuvan

pada Kanker Serviks Stadium IB3, IIA dan IIB.................................29

3.6 Penilaian Ekspresi p53 pada Kanker Serviks ....................................31

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................33

ii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Famili VEGF dan Reseptornya

.....................................................................................................

Gambar 1.2 Jalur Tranduksi Sinyal VEGFR-2

.....................................................................................................

Gambar 1.3 Kaskade Sinyal Vascular Endothelial Growth

Factor (VEGF) pada Angiogenesis

.....................................................................................................

Gambar 1.4 Interaksi antara beberapa isoform VEGF dari sel tumor

maupun sel stromal dan VEGFR pada endotel

.....................................................................................................

Gambar 1.5 VEGF dan Angiogenesis Tumor

.....................................................................................................

12

Gambar 1.6 Skematik diagram struktur Ki-67

.....................................................................................................

17

.....................................................................................................

iii
Gambar 1.7 Struktur Ki-67

.....................................................................................................

17

Gambar 1.8 Regulasi siklus sel oleh Ki-67

.....................................................................................................

18

Gambar 1.9 Struktur p53

.....................................................................................................

25

Gambar 1.10 Proses Apoptosis pada p53

.....................................................................................................

28

Gambar 1.11 Proses Karsiogenesis

.....................................................................................................

29

iv
PENDAHULUAN

Kanker serviks merupakan tumor ganas pada serviks yang disebabkan oleh

infeksi Human Papilloma Virus (HPV). Kanker serviks merupakan kanker

ginekologi yang paling sering ditemukan dan menjadi penyebab utama kesakitan

dan kematian pada wanita, khususnya di negara berkembang. Sampai saat ini,

penanganan kanker serviks masih sangat berkembang dan pada beberapa stadium

dini masih banyak terdapat kontroversi, salah satunya adalah stadium IB3, IIA2

dan IIB.

Kanker serviks menempati peringkat ke-empat kanker yang paling sering

ditemukan pada wanita setelah kanker payudara, kolorektal dan paru. Angka

kejadian kanker serviks mengalami peningkatan sejak dua dekade terakhir. Angka

insiden kanker serviks secara global sebesar 13,1 kasus per 100.000 wanita, yang

bervariasi di setiap negara. Angka kejadian kanker serviks di dunia berdasarkan

International Agency for Research on Cancer (IARC) pada tahun 2015 adalah

sebesar 17 kasus per 100.000 perempuan (Hacker dan Vermoken, 2015; WHO,

2016). Kanker serviks bulky atau kanker serviks dengan ukuran massa ≥ 4 cm,

yaitu IB3, IIA2 dan stadium IIB merupakan permasalahan khusus terkait

kontroversi penanganan dan prognosis pasien tersebut. Prognosis kanker serviks

stadium IB3, IIA2 dan IIB lebih buruk dibanding stadium awal IA sampai IB2

terkait insiden rekurensi lokal dan metastasis kelenjar getah bening yang lebih

tinggi.

1
Sampai saat ini strategi penatalaksanaan kanker serviks stadium IB3, IIA2

dan IIB masih menjadi kontroversi, di mana dapat dilakukan kemoradiasi, operasi

2
2

radikal histerektomi atau pemberian neoadjuvan kemoterapi yang kemudian

dilanjutkan dengan histerektomi radikal (Hacker and Vermoken, 2015). National

Comprehensive Cancer Network (NCCN) merekomendasikan modalitas terapi

pada kanker serviks jenis ini adalah histerektomi radikal langsung, histerektomi

radikal setelah kemoterapi neoadjuvan atau kemoradioterapi konkuren (Shen,

2012; Wang, 2014). Di RSUP Sanglah, terapi kanker serviks mengikuti

rekomendasi yang dikeluarkan oleh Federation Internationale de Gynecologie et

d’Obstetrique (FIGO). Tetapi khusus pada kanker serviks stadium IIB Divisi

Onkologi Ginekologi RSUP Sanglah menetapkan penanganan kanker serviks

stadium IIB meliputi pemberian kemoterapi neoajuvan platinum-based

dilanjutkan histerektomi radikal pada kasus yang memungkinkan operasi atau

radioterapi bila tidak memungkinkan operasi. Regimen kemoterapi neoadjuvan

yang sering digunakan antara lain cisplatin, paclitaxel, topotecan, vinorelbine,

gemcitabine dan ifosfamide (Berek dan Hacker, 2015). Pada penelitian oleh Mori

dkk. (2010), pemberian regimen paclitaxel dan carboplatin per minggu yang

dilanjutkan dengan operasi radikal pada pasien Locally Advanced Cervical

Cancer (LACC) merupakan terapi yang menjanjikan dengan prognosis yang lebih

baik. Kemoterapi neoadjuvan mampu mengurangi risiko metastasis kelenjar getah

bening, infiltrasi parametrium dan ukuran tumor sehingga dapat meningkatkan

angka kelangsungan hidup, kualitas hidup pasien dan mengurangi kebutuhan

terapi radiasi adjuvan paska operasi (Shirali dkk., 2018).

Respons terhadap kemoterapi ditentukan oleh faktor angiogenesis atau

vaskularisasi tumor serviks, aktivitas proliferatif sel dan instabilitas genetik


3

kanker serviks. Angiogenesis merupakan proses biologis yang sangat penting

untuk pertumbuhan dan metastasis kanker primer. Vascular Endothelial Growth

Factor (VEGF) adalah salah satu sitokin utama yang memiliki fungsi dalam

stimulasi angiogenesis tumor dan tingkat ekspresi. Oleh karena itu, VEGF

memiliki peran penting dalam angiogenesis dan oksigenasi di dalam jaringan yang

menjadi salah satu mekanisme penting pertumbuhan tumor (Carmeliet, 2005 ).

Penelitian oleh Choi, dkk. (2008) melaporkan bahwa ekspresi VEGF suatu marker

angiogenesis, dapat memprediksi respons terhadap kemoterapi neoadjuvan.

Penanda adanya proliferasi sel tumor adalah protein Ki-67. Ki-67 adalah

protein yang diekspresikan di semua fase siklus sel, kecuali selama fase G0. Ki-67

diperlukan untuk distribusi sel normal dan asosiasi nukleolus heterokromatin

selama interfase. Sebagai penanda proliferasi sel, Ki-67 dapat digunakan sebagai

prediktor potensi tumor ganas (Li dkk., 2015). Kamoi, dkk. (2003) melaporkan

hubungan yang signifikan antara ekspresi Ki-67 dengan respons terhadap

kemoterapi neoadjuvan. Pada kanker serviks terjadi supresi gen p53 yang

disebabkan oleh HPV. Protein HPV E6 mendorong degradasi p53 sehingga

menghambat stabilisasi dan aktivasi p53. Beberapa penelitian telah menunjukkan

bahwa p53 berperan penting dalam regulasi VEGF pada tumor. Garzetti, dkk.

(1996) melaporkan hubungan signifikan antara overekspresi p53 dan sensitivitas

terhadap kemoterapi neoadjuvan, di mana kelompok pasien yang berespons

terhadap kemoterapi memiliki frekuensi sel yang positif terhadap p53 lebih tinggi

dibanding kelompok pasien yang tidak berespons.


4

1. Peran Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) sebagai Respons

Keberhasilan Kemoterapi Neoadjuvan pada Kanker Serviks Stadium IB3,

IIA2 dan IIB

1.1 Biologi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)

Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) merupakan faktor

pertumbuhan yang memiliki aktivitas pro-angiogenik, mitogenik dan efek anti-

apoptosis pada sel endotel, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, serta

meningkatkan migrasi sel. VEGF berkontribusi dalam proses angiogenesis baik

dalam keadaan fisiologis maupun patologis (Melincovici dkk., 2018).

Secara struktural, VEGF merupakan glikoprotein heterodimer dengan

berat 40 kDa yang terdiri dari motif simpul sistin dan ditandai dengan disposisi

jembatan bisulfida. Pada manusia, famili VEGF terdiri dari VEGF-A (disebut

juga sebagai VEGF), VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D, VEGF-E, VEGF-F, dan

placenta growth factor (PIGF). Pada akhir-akhir ini telah ditemukan VEGF yang

berasal dari kelenjar endokrin yang dinamakan endocrine gland-derived

vascular endothelial growth factor (EG-VEGF). Sementara reseptor VEGF

terdiri dari VEGFR-1, VEGFR-2, dan VEGFR-3. Famili VEGF dapat

berinteraksi dengan protein lain antara lain neurofilin, integrin, cadherin, atau

proteoglikan sulfat heparan (Melincovici dkk., 2018).

VEGF-A merupakan prototipe famili VEGF memainkan peran penting

dalam angiogenesis. VEGF-A dapat berikatan dengan VEGFR-1 dan VEGFR-2,

namun reseptor utamanya adalah VEGFR-2. VGFR-1 berfungsi sebagai ‘umpan’


5

yang berikatan dengan PIGF dan mencegah VEGF berikatan dengan VEGFR-2

(Apte dkk., 2019).

Gambar 1.1 Famili VEGF dan Reseptornya (Hicklin dan Ellis, 2005)

1.2 Regulasi Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)

VEGF yang berikatan dengan VEGFR-2 menyebabkan auto-fosforilasi

residu tirosin spesifik yang terletak di domain juxtamembrane intraseluler,

domain kinase dan akhir C-terminal VEGFR. Lokasi fosforilasi utama VEGFR-

2 berada di Tyr951 di domain kinase dan Tyr1 175 di domain C-terminal.

Fosforilasi Tyr951 menengahi aktivasi SRC tirosin kinase yang bergantung pada

protein adaptor TSAd sehingga terjadi regulasi permeabilitas vaskular melalui

fosforilasi dan internalisasi VE-cadherin. Sementara fosforilasi Tyr1 175

merekrut PLC γ menuju membran plasma dan memicu hidrolisasi

fosfatidylinositol-4,5-bifosfat menjadi diasilgliserol (DAG) dan inositol 1,4,5-


6

trifosfat. Hal ini mengaktivasi ERK dan Ca2+ signaling pathway dan regulasi sel

endotel berproliferasi dan bermigrasi (Karaman dkk., 2018).

Gambar 1.2 Jalur Tranduksi Sinyal VEGFR-2 (Simons dkk., 2016)

1.3 Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Angiogenesis

Pemicu utama dari angiogenesis adalah hipoksia. Jaringan hipoksia akan

melepaskan hypoxia-inducible factor-1 (HIF-1) sehingga mengaktivasi transkripsi

faktor pro-angiogenik seperti: VEGF, basic fibroblast growth factor (bFGF, FGF-

2), angiopoietin-1 (Ang-1), angiopoietin-2 (Ang-2), TGF-β, TNF- α, dan lain-lain.

Selain itu, jaringan hipoksia dan sel endotel juga akan melepaskan nitric oxide

(NO) yang dapat menginduksi vasodilatasi (Ferrara dkk., 2003; Ferrara, 2004;

Melincovici dkk., 2018).

Tahap pertama dari angiogenesis dimulai dari vasodilatasi dan perubahan

struktur pembuluh darah akibat faktor pro-angiogenik yang disekresi oleh jaringan

hipoksia. Melalui PDGF- β/ PDGFR- β signaling pathway terjadi rekruitmen


7

pericyte dan pembentukan serta stabilisasi pembuluh darah baru. Dibawah

pengaruh fakto pro-angiogenik, sel endotel dan sel mural teraktivasi sehingga sel

endotel berproliferasi dan migrasi menuju matriks ekstraseluler, dimana

tubulogenesis terjadi (Dvorak dkk., 2002; Ferrara dkk., 2003; Ferrara, 2004;

Melincovici dkk., 2018).

VEGF yang dilepaskan oleh jaringan hipoksia akan meningkatkan

permeabilitas vaskular dan terjadi ekstravasasi protein plasma ke matriks

ekstraseluler. Protein-protein ini berguna untuk migrasi sel endotel dan pericyte

untuk terjadi tubulogenesis dan angiogenesis. Pembuluh darah yang baru

terbentuk tidak mempunyai lumen sehingga perlu disempurnakan melalui proses

dekomposisi matriks ekstraseluler melalui sekresi dan aktivasi matrix

metalloproteinase dan inhibisi tissue inhibitor of metalloproteinases-2 (TIMP-2)

(Melincovici dkk., 2018).

Gambar 1.3 Kaskade Sinyal Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)


pada Angiogenesis (Karbel dkk., 2008)
8

Pada saat diameter tumor mencapai 1-2 mm, kebutuhan oksigenasi dan

nutrisi masih bisa dipenuhi melalui proses difusi dari pembuluh darah. Jika

diameter tumor melebihi 2 mm, tumor tidak akan berkembang dan terjadi hypoxia

induced cell death akibat iskemik oleh karena ukuran tumor yang besar atau

tekanan intra tumor yang meningkat (Folkman, 1995; Ferrara, 2004).

Sel hipoksia akan mensekresi VEGF dan stimulator angiogenesis lainnya

untuk menstimulasi sel endotel dari pembuluh darah yang ada sebelumnya untuk

berkembang dan migrasi ke jaringan hipoksia. Ketika proses pembentukan

pembuluh darah baru, endothelial progenitor cells (EPCs) bersama dengan

pericytes memberi dukungan struktural dan membentuk lapisan luar dari sel

endotel (Li dkk., 2018).

Pembuluh darah tumor berbentuk berkelok-kelok, ‘leaky’, melebar, dan

tidak stabil akibat tidak normalnya struktur perivaskuler. Akibatnya aliran darah

pada tumor cenderung lambat dan intermiten sehingga nutrisi dan oksigen yang

menyuplai kurang dan terjadi peningkatan tekanan interstisial. Selanjutnya akan

merangsang kembali sekresi VEGF sebagai survival factor, proses angiogenesis

terus berlanjut dan terbentuk pembuluh darah baru berlebihan yang abnormal

(Folkman, 1995; Ferrara, 2004; Duda dkk., 2009; Nagy dkk., 2009).
9

Gambar 1.4 Interaksi antara beberapa isoform VEGF dari sel tumor
maupun sel stromal dan VEGFR pada endotel (Ferrara dkk., 2004)

Gambar 1.5 VEGF dan Angiogenesis Tumor (Apte dkk., 2019)

1.4 Vascular Endothelial Growth Factor/Receptor (VEGF/VEGFR) pada

Kanker Serviks

Bukti klinis menunjukkan bahwa angiogenesis memegang peranan penting

pada patogenesis kanker serviks. VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor)

dapat menstimulasi angiogenesis yang merupakan bagian dari proses metastasis


10

(Kartikasari, 2019). Ekspresi berlebihan dari VEGF telah banyak dikaitkan

dengan luaran onkologis yang merugikan pada banyak jenis solid tumor termasuk

kanker serviks. VEGF intra tumor diketahui memiliki kendali terhadap jaringan

serviks dengan tingkat ekspresi VEGF lebih tinggi dikaitkan dengan stadium

lanjut, meningkatkan risiko metastasis nodal dan angka kesembuhan yang buruk

(Eskander, 2014).

Telah banyak penelitian yang menghubungkan antara ekspresi VEGF

dengan kanker serviks dari segi progresifitas, target terapi hingga prognosis. Studi

oleh Goncharuk, et al. (2009) menghubungkan antara stadium kanker serviks

menurut FIGO dengan ekspresi VEGF. Ditemukan bahwa stadium kanker serviks

berhubungan secara signifikan terhadap ekspresi VEGF. Semakin tinggi stadium

kanker serviks maka semakin tinggi pula ekspresi VEGF pada pasien yaitu

stadium I 40%, stadium II 80%, stadium III 80,67% dan stadium IV 90%.

Sedangkan, tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara ekspresi VEGF

dengan tipe histologis kanker serviks (SCC 55% dan adenokarsinoma 65%).

Penelitian ini juga menemukan bahwa ekspresi VEGF memiliki korelasi positif

terhadap grading histopatologis kanker serviks yaitu G2 53,5% dan G3 63,4%.

Ekspresi VEGF yang tinggi juga berhubungan dengan ketebalan invasi

stroma dan ukuran tumor pada kanker serviks. Tumor dengan ukuran yang besar

(lebih atau sama dengan 2 cm) dan invasi stroma yang lebih dalam

mengkepresikan VEGF yang lebih tinggi (Zusterzeel 2009; Lee 2002). Namun

penelitian setelahnya oleh Mandic, et al. (2014) menemukan bahwa tidak ada

hubungan yang signifikan antara ekspresi VEGF dengan ketebalan invasi stromal
11

dan ukuran tumor. Pada penelitian ini VEGF berperan penting dalam invasi dini

kanker serviks.

Rizzuto dkk. (2020) menjelaskan bahwa reseptor VEGF dapat dijadikan sebagai

target terapi pada kanker serviks. Reseptor bloker seperti Bevacizumab dapat

menghambat proses signaling VEGF-VEGFR sehingga mampu menurunkan

proliferasi sel endotel dan perkembangan neovaskularisasi sebagai faktor yang

mempercepat progresi kanker serviks.

Studi meta-analisis oleh Zhang dkk. (2017) menemukan bahwa VEGF

dapat menjadi faktor prognostik dari kanker serviks. Ekspresi yang tinggi dari

VEGF dan VEGF-C secara signifikan berhubungan dengan luaran harapan hidup

yang buruk. Hal ini dapat disebabkan karena pada studi sebelumnya oleh Sun

(2016) ditemukan bahwa VEGF berhubungan dengan metastasis kanker serviks

ke kelenjar getah bening. Sehingga dapat dihubungkan bahwa usia harapan hidup

yang rendah disebabkan karena tingginya risiko metastasis ke kelenjar getah

bening pada pasien kanker serviks dengan ekspresi VEGF yang tinggi.

Pada studi meta-analisis, peningkatan ekspresi dari VEGF secara

signifikan diasosiasikan dengan kesintasan pada pasien dengan kanker serviks

yang buruk. Sejalan dengan hasil penelitian oleh Zhang dkk. (2017), yang

menunjukkan bahwa peningkatan ekspresi VEGF dapat menjadi parameter untuk

estimasi kesintasan pada pasien kanker serviks. Mekanisme yang dapat

menjelaskan, diantaranya ekspresi VEGF dikaitkan dengan metastasis kelenjar

getah bening dan behubungan dengan ketahanan hidup pasien yang lebih buruk.
12

Pada studi dengan pemberian kemoterapi neoadjuvan Paxus-Carboplatin

pada 25 pasien dengan kanker serviks IB2 hingga IIA2, ekspresi VEGF menurun

signifikan secara statistik (P <0.001). Sehingga pengukuran titer VEGF dapat

menjadi salah satu parameter untuk mengevaluasi respons kemoterapi

(Kartikasari, 2019).

1.5 VEGF/VEGFR pada Kanker Serviks dengan Kemoterapi Neoadjuvan

Kartikasari (2019) meneliti tentang ekspresi VEGF subtipe C (VEGF-C)

pada pasien kanker serviks sel skuamosa setelah diberikan kemoterapi

neoadjuvan. Didapatkan hasil terdapat penurunan ekspresi VEGF-C setelah

pemberian kemoterapi adjuvan dengan rerata sebelum pemberian adalah 6,16 dan

setelah pemberian adalah 4,20. Namun kelemahan pada penelitian ini adalah hasil

dinilai dari pemberian kemoterapi sebanyak 3 seri yang seharusnya dilakukan

setelah 6 seri selain itu tidak diteliti tentang faktor eksternal lain yang dapat

menurunkan ekspresi VEGF-C. Tujuan pemberian kemoterapi neoadjuvan adalah

untuk mengurangi ukuran lesi pada serviks sehingga proses angiogenesis yang

terjadi pada sel kanker juga akan berkurang dan menyebakan penurunan ekspresi

HIF-1ɑ yang diikuti dengan penurunan transkripsi dari VEGF-C (Kartikasari,

2019). Kemoterapi neoadjuvan juga mempengaruhi proses limfangiogenesis dan

angiogenesis serta mematikan sel kanker baik secara lokal dan yang bermetastasis

sehingga ekspresi dari VEGF-C pada jaringan serviks diharapkan dapat menurun

setelah diberikan kemoterapi (Wang dkk., 2016).

Penelitian oleh Choi, et al. (2008) menemukan bahwa setelah dilakukan

kemoterapi neoadjuvan ditemukan bahwa respon pada pasien dengan ekspresi


13

VEGF positif lebih rendah daripada pasien dengan VEGF negatif. VEGF yang

positif menjadi prediktor independen untuk terjadinya respon yang buruk terhadap

terapi. Temuan yang menarik pada penelitian ini adalah bahwa terdapat korelasi

yang kuat antara ekspresi VEGF dan respon pasien kanker serviks terhadap

kemoterapi neoadjuvan. Pasien dengan kanker serviks yang hasil pemeriksaan

VEGF positif menunjukan manfaat minimal dengan pemberian kemoterapi

neoadjuvan atau terjadi kondisi kemoresisten. Namun pada penelitian ini pasien

yang dijadikan sampel terlalu heterogen dalam stadium dan modalitas terapi yang

diberikan sehingga memerlukan penelitian lanjutan. VEGF merepresentasikan

vaskularisasi pada tumor yang berbeda dengan vaskularisasi normal, adanya

pembentukan pembuluh darah berkelok-kelok dan sakular sangat terorganisir

secara buruk dan bersifat hiperpermeabel. Abnormalitas ini yang dapat

meningkatkan resistensi aliran darah dan menggangu distribusi dan efektivitas

terapi sitotoksik konvensional (Choi dkk., 2008; Jain, 1998).

Sebuah penelitian yang meneliti korelasi ekspresi jaringan VEGF-C dan

diameter lesi serviks pada pasien dengan kanker serviks yang mendapatkan terapi

neoadjuvan. Dalam penelitian tersebut terdapat 30 pasien dengan kanker serviks

stadium IB2 atau IIA yang mendapatkan Paclitaxel 175 mg per meter kubik luas

permukaan tubuh dan Carboplatin dengan dosis 6 (AUC) x (25 + GFR).

Kemoterapi diberikan sebanyak 3 kali dengan interval 3 minggu. Hasil penelitian

menunjukkan korelasi negatif yang signifikan antara perbedaan ekspresi jaringan

VEGF-C secara immunohistokimia dengan diameter lesi serviks. Hal ini


14

menunjukkan diameter lesi serviks semakin kecil, maka ekspresi VEGF-C pada

jaringan setelah kemoterapi semakin meningkat (Priyanto H. dkk., 2019).

Penelitian yang dilakukan di Second Hospital of Lanzhou University

melibatkan 117 spesimen karsinoma sel skuamosa serviks dengan ukuran tumor

>4 cm. Semua pasien mendapatkan Paclitaxel (135-175 mg/m2) dan Carboplatin

(AUC = 4-5) selama 3 minggu sebanyak 3 kali. Hasil penelitian menunjukkan

efikasi terapi berkorelasi negatif dengan stadium patologis, ekspresi Ki-67,

ekspresi VEGF, dan ekspresi survivin. Efikasi terapi menunjukkan 9.4% complete

remission (CR), 77.8% partial remission (PR), dan 12.8% stable disease (SD).

Ekspresi Ki-67 terdapat pada 8.9% kelompok CR, 15.5% kelompok PR, dan 7.4%

kelompok SD. Sementara ekspresi VEGF pada kelompok CR menunjukkan

ekspresi tingkat lemah sebanyak 18.2%, ekspresi tingkat rendah sebanyak 72.7%,

ekspresi tingkat sedang sebanyak 9.1%. Ekspresi VEGF pada kelompok PR

tingkat lemah sebanyak 4.4%, tingkat rendah dan sedang 35.2%, dan tingkat

tinggi 25.3% (Zhang Y. dkk., 2019).

Ekspresi VEGF-C terhadap diameter lesi pasien kanker serviks yang

diberikan terapi neoadjuvan diteliti oleh Priyanto (2019). Biopsi jaringan pasien

kanker serviks IB2 dan IIA2 sebelum dan sesudah kemoterapi paxus-carboplatin

dilakukan, ditemukan hasil bahwa rerata diameter terbesar lesi kanker serviks

sebelum kemoterapi neoadjuvan lebih besar daripada setelah kemoterapi

neoadjuvan. Disimpulkan bahwa terdapat korelasi negatif antara ekspresi VEGF-

C jaringan dengan diameter lesi serviks yang diberikan kemoterapi neoadjuvan.


15

Salah satu tujuan pemberian kemoterapi neoadjuvan adalah untuk

memperkecil ukuran lesi pada serviks atau invasi pada dinding vagina sehingga

yang dengan demikian dapat meningkatkan radikalitas operasi. Menurunnya

ukuran lesi dapat menurunkan kebutuhan sel kanker akan oksigen sehingga

ekspresi VEGF-C dapat menurun diikuti dengan menurunnya VEGF-C yang

disekresi ke sirkulasi (Priyanto, 2019).

1.6 Penilaian Ekspresi VEGF pada Kanker Serviks

Imunohistokimia saat ini menjadi standar untuk menilai ekspresi berbagai

penanda tumor yang memiliki tingkat pewarnaan yang berbeda secara persentase

(Yamamoto dkk, 2012). Pemeriksaan immunohistokimia VEGF menggunakan

metode streptavidin-peroxidase-biotin. Pewarnaan VEGF positif ditandai dengan

adanya granula berwarna kuning kecoklatan di sitoplasma. Penilaian VEGF dibuat

berdasarkan luas sel positif dan intensitas warna (Xu P. dkk., 2016 ). Berdasarkan

intensitas warna coklat pada sel ganas yang terpulas oleh VEGF maka dibagi

menjadi skor 0-3 yaitu : 0 (negatif), 1 (lemah), 2 (sedang) dan 3 (kuat). Ekspresi

VEGF dievaluasi secara kuantitatif menggunakan Histoscore (H-score) yang

menggabungkan data mengenai persentase positif sel yang terwarnai dan

intensitas pewarnaan, memakai rumus % sel positif x [intensitas + 1]. Analisa

statistik menunjukkan bahwa ketika dievaluasi sebagai variable kontinu atau

dikotomi menggunakan H-score 200. Ekspresi VEGF dikatakan tinggi jika H-

score ≥ 200, sebaliknya jika H-score < 200 menunjukkan ekspresi VEGF yang

rendah (Randall, dkk. 2009).


16

2. Peran Ki-67 sebagai Respons Keberhasilan Kemoterapi Neoadjuvan

pada Kanker Serviks Stadium IB3, IIA2 dan IIB

Ki-67 pertama kali diidentifikasi sebagai antigen pada inti sel limfoma

Hodgkin yang banyak diekspresikan dalam siklus sel tetapi menurun dalam fase

G0 pada saat istirahat. Karakteristik inilah yang membuat Ki-67 sebagai penanda

proliferasi yang penting secara klinis untuk penilaian berbagai jenis kanker. Pada

manusia, Ki-67 dikode oleh gen MKI67. Meskipun Ki-67 memiliki bagian

fungsional di dalamnya, kandungan rangkaian utama yang berada di luar bagian

berkadar rendah. Rangkaian terbesar protein Ki-67 termasuk domain N-terminal

forkhead-related (FHA), protein fosfatase 1 (PP1) - binding domain, bagian pusat

besar terdiri dari rangkaian ulangan yang berurutan, dan LR terminal-C (leucine/

arginine-rich) bagian yang berikatan dengan kromatin (Sun and Kaufman, 2018).

Proliferasi sel kanker yang cepat dibandingkan dengan sel normal, dipicu

oleh beberapa faktor seperti protein Ki-67, MIB1, dan Cyclin. Laju proliferasi

sendiri dapat dinilai melalui beberapa penanda seperti: Grading histologi, Mitotic

Activity Index /MAI, S-Phase Fraction/SPF dan DNA ploidy melalui flow

cytometri, Thymidine Labeling Index (TLI), Thymidine Kinase (TK), protein Ki-

67 atau MIB1, Cyclin E, Cyclin D (van Diest dkk., 1998; Chang dan Hilsenbeck,

2010).
17

Gambar 1.6 Skematik Diagram Struktur Ki-67 (Sun and Kaufman, 2018)

Protein Ki-67 atau dikenal dengan proliferation associated antigen,

pertama kali diidentifikasi oleh Gerdes, et al (1991). Ki-67 merupakan penanda

proliferasi terhadap kinetik sel tumor, protein inti nonhiston yang memiliki dua

isoform dengan berat molekul 359kD dan 320kD, dan terletak pada kromosom

10q25 exon ke 16 (Li, dkk., 2015).

Gambar 1.7 Struktur Ki-67 (Menon dkk., 2019)


18

Protein Ki-67 dapat dideteksi melalui beberapa modalitas seperti

pemeriksaan imunohistokimia, mikroskop electron, ELISA, dan flow cytometry.

Ekspresi protein Ki-67 akan berhubungan dengan transkripsi ribosom RNA,

sehingga inaktivasinya akan menghambat sintesis RNA ribosom. Kadar Ki-67

akan bervariasi pada tiap siklus sel dimana akan dijumpai rendah pada fase G1

dan awal fase S, dan meningkat secara progresif dan mencapai puncaknya pada

fase mitosis (metaphase), dan selanjutnya menurun pada fase akhir mitosis

(anaphase/telophase) dan tidak terekspresi pada fase resting atau G0. Waktu

paruh Ki-67 diperkirakan antara 60-90 menit. Terdapat dua mekanisme yang

meregulasi ekspresi dari Ki-67 yaitu sintesis de novo yang dipengaruhi oleh

regulator siklus sel Complex Cyclin B/Cyclin-Dependent Kinase (CDK4/6-Rb)

dan proses degradasi (proteolytic) selama fase mitosis dan G1 (Li dkk., 2015).

Gambar 1.8 Regulasi siklus sel oleh Ki-67 (Menon dkk., 2019)

Inti promotor Ki-67 memiliki suatu ikatan transkripsi yaitu Sp-1 binding sites.

Ikatan ini berhubungan dengan ekspresi p53 dan pRb, dimana p53 akan
19

mensupresi terhadap gen transkripsi dari Sp-1 binding sites. Ki-67 memiliki

beberapa peran terkait onkogenesis diantaranya;

1. Ki-67 sebagai penanda diagnostik dan prognosis

Proliferasi sel yang masif dan tidak terkontrol merupakan patofisiologi

neoplasia. Ki-67 merupakan salah satu penanda proliferasi dengan yang

meningkat ekspresinya secara signifikan pada keganasan dibandingkan

dengan sel fisiologis, terutama pada stadium lanjut dan metastasis kelenjar

getah bening. Sehingga Ki-67 dapat menjadi penanda agresifitas dari

karsinoma serviks, terutama tipe skuamosa berkeratin dan peningkatan kadar

nya juga dihubungkan dengan invasi limfatik.

2. Ki-67 sebagai target potensial terapeutik kanker

Beberapa studi sebelumnya menunjukkan Ki-67 sebagai salah satu indikator

dalam menilai respons dan target evaluasi terhadap terapi pada kanker.

Protein Ki-67 terletak pada nukleus sel yang sedang dalam fase pembelahan

G1, S, G2 dan M. Antigen Ki-67 dapat berikatan dengan antibodi monoklonal

MIB-1, Ki-67 / MIB-1, sebagai faktor prediktif untuk perkembangan tumor

dan memiliki korelasi dengan kesintasan buruk pada beberapa jenis kanker,

seperti kanker payudara dan karsinoma paru non- small-cell. Pan dkk. (2015)

menjelaskan bahwa Ki-67 menunjukkan korelasi dengan progresivitas kanker

dan indikator pasien membutuhkan pengobatan yang lebih agresif.

Ekspresi Ki-67/ MIB-1 berasosiasi dengan prognosis yang buruk pada

populasi kanker serviks. Meta-analisis oleh Pan dkk. (2015) menyatakan hasil

yang serupa dan Ki-67 dapat menjadi prediktor potensial untuk prognosis pada
20

kanker serviks. Studi oleh Shi dkk. (2020) menunjukkan kadar ekspresi protein

Ki-67 pada kanker serviks secara signifikan lebih tinggi dibandingkan CIN dan

jaringan serviks fisiologis.

Sensitivitas dan spesifisitas Ki-67/p16 dapat mendeteksi CIN2 pada

populasi masing-masing sebesar 90,9% dan 79,5%. Hal tersebut menunjukkan

bahwa Ki-67 secara sitologi memberikan korelasi bermakna dengan lesi pra-

kanker dan kanker serviks. Ekspresi Ki-67 korelasi sesuai dengan derajat lesi pada

serviks. Aktivitas proliferasi meningkat secara gradual pada patofisiologi

karsinogenesis serviks, sehingga Ki-67 secara signifikan berhubungan dengan

progresivitas kanker serviks dan rerata kesintasan lebih rendah (Ahmed dkk.,

2018; Yu dkk., 2016).

Ancuta dkk. (2009) pada peneltiannya yang menilai ekspresi Ki-67 pada

populasi kanker serviks menjumpai adanya hubungan yang bermakna antara

agresivitas kanker serviks terutama tipe skuamosa berkeratin dan kadar Ki-67.

Namun, tidak dijumpai korelasi yang bermakna antara kadar Ki-67 dan kejadian

relaps. Ekspresi Ki-67 juga dijumpai berhubungan dengan stadium klinis

karsinoma serviks. Pada penelitian yang dilakukan di Palembang oleh Hertati dkk.

(2014) yang menilai 60 pasien dengan karsinoma serviks, dijumpai ekspresi Ki-67

yang semakin tinggi pada stadium klinis yang lanjut dan uji statistik menunjukkan

adanya korelasi yang cukup kuat (r = 0.714; p = 0.034).

Kadar Ki-67 sebelum terapi diasosiasikan dengan respon patologis

terhadap kemoterapi. Penurunan Ki-67 pada fase awal kemoterapi neoadjuvan,

tidak memiliki hubungan signifikan terhadap luaran sebagai indikasi modifikasi


21

pengobatan selanjutnya. Namun pada akhir terapi neoadjuvan, Ki-67 memiliki

korelasi kuat dengan luaran jangka panjang yang baik. Ki-67 juga memiliki

makna klinis estimasi risiko kekambuhan terhadap lesi residual tumor (Nielsen

dkk., 2020).

Kritic dkk. (2018) pada studinya menjumpai adanya peran signifikan pada

indeks proliferasi Ki-67 dengan respons kemoterasi berbasis cisplatin pada

pasien-pasien kanker serviks tahap lanjut. Pada analisa kurva Kaplan Meier,

dijumpai bahwa pasien dengan indeks proliferasi Ki-67<60% memiliki angka

ketahanan hidup yang lebih rendah. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa

ekspresi Ki-67 yang tinggi pada kanker serviks stadium lanjut memberikan

respons terapi terhadap kemoterapi berbasis cisplatin yang jauh lebih baik dan

angka ketahanan hidup yang lebih tinggi.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Hebbar dan Murthy, (2017), Ki-67

memiliki sensisitivitas sebesar 87.5% dan spesifisitas sebesar 87.5% dalam

mendeteksi tumor pada serviks dan dapat menjadi prediktor keganasan dari suatu

tumor. Ki-67 secara spesifik sebagai penanda displasia high risk yang disebabkan

oleh HPV, yang memiliki posibilitas lebih tinggi berkembang menjadi lesi

neoplasia. Pada sebuah studi oleh Zhang, et al. (2019) pada tahun 2015 sampai

2017 di China, menemukan bahwa Ki-67 memiliki hubungan yang bermakna

secara statistik (p < 0.0001) dalam menentukan respons terapi menggunakan

neoadjuvan pada kanker serviks.

2.1 Penilaian Ekspresi Ki-67 pada Kanker Serviks


22

Ekspresi Ki67 yang dinilai dengan immunostaining telah menjadi standar

dengan nilai potong antara 10% dan 14% sel berwarna positif didefinisikan

sebagai risiko tinggi dalam hal prognosis. Namun, hasil penilaian tersebut terdapat

perbedaan yang tipis jika ahli patologi menggunakan penghitungan manual. Hal

ini dapat menimbulkan perbedaan interpretasi. Antara pemeriksaan dan akibatnya,

perbedaan diagnosis karena, meskipun manusia memiliki pemahaman gambar dan

pengenalan pola yang sangat baik, namun mereka rentan terhadap variabilitas

substansial dalam kapabilitas tugas kuantifikasi. Di sisi lain, pengujian real time

quantitative reverse-transcription polymerase chain reaction (RT-qPCR)

memungkinkan penghitungan transkrip target yang mudah, yang menghasilkan

data yang objektif dan berkesinambungan. Apalagi mengukur ekspresi gen level

dengan cara ini sangat dapat direka ulang (Yamamoto et al., 2013).

Saat ini, formalin-fixed paraffin-embedded (FFPE) secara rutin digunakan

untuk analisis ekspresi gen, mengatasi kesulitan teknis yang terutama disebabkan

oleh modifikasi dan degradasi kimiawi asam nukleat. Jaringan FFPE stabil di suhu

kamar, mudah disimpan, dan merupakan arsip sample klinis yang penting terkait

dengan informasi klinis. Oleh karena itu, kemampuan untuk melakukan profil

ekspresi gen pada sampel FFPE akan memungkinkan banyak prospektif dan

retrospektif studi yang akan dilakukan, yang akan membantu mengembangkan

pemahaman tentang korelasi antara ekspresi gen dan hasil klinis (Yamamoto et

al., 2013).

Untuk menentukan ekspresi Ki-67, dilakukan pemeriksaan

imunohistokimia dan menentukan berdasarkan ekspresi tentang intensitas dan


23

distribusi imunostaining tersebut. Ekspresi positif Ki-67 ditandai dengan

intensitas warna coklat pada saat proses pewarnaan. Penilaian sel yang diwaranai

dibagi menjadi 5 skor yaitu : jika tidak ada sel positif (negatif), 1 – 25% (+), 26 –

50% (++) dan 51 – 75% (+++) dan > 75% (++++) (Tobing et al., 2019).

Untuk menentukan ekspresi Ki-67, dilakukan pemeriksaan

imunohistokimia dan menentukan berdasarkan ekspresi tentang intensitas dan

distribusi imunostaining tersebut. Ekspresi positif Ki-67 ditandai dengan

intensitas warna coklat pada saat proses pewarnaan. Penilaian sel yang diwaranai

dibagi menjadi 5 skor yaitu : jika tidak ada sel positif (negatif), 1 – 25% (+), 26 –

50% (++) dan 51 – 75% (+++) dan > 75% (++++) (Mahayasa dkk., 2016).

3. Peran p53 sebagai Respons Keberhasilan Kemoterapi Neoadjuvan pada

Kanker Serviks Stadium IB3, IIA2 dan IIB

3.1 Protein p53

Protein p53 adalah suatu polipeptida yang diekspresikan oleh gen p53

untuk menjaga keutuhan sel melalui jalur transkripsi tetramerik. Protein p53

memiliki peran sebagai respon kerusakan DNA dan merupakan bagian dari

regulasi jaringan gen yang luas dan kompleks, selain itu p53 juga berperan

sebagai gen supresor untuk menghambat pertumbuhan sel yang disebabkan oleh

onkogen dan dapat menghambat potensi tumorigenik. Protein p53 juga dikenal

sebagai onkogene oleh karena sering ditemukan dalam jumlah yang berlebihan

sel-sel yang mengalami keganasan (Bai dan Zhu, 2006).

3.2 Struktur p53


24

Struktur p53 terdiri dari suatu nuklear fosfoprotein yang memiliki berat

molekul sebesar 53 kilo Dalton (kDa). Protein ini dikode oleh 20 kilobasa (kb)

gen yang mengandung 11 ekson dan 10 intron, terletak pada bagian lengan

pendek dari kromosom 17 p53 mengandung sebanyak 393 asam amino dan terdiri

dari beberapa struktur atau komponen penting (Bai dan Zhu, 2006).

Bagian N-terminal mengandung daerah domain terminal amino, kemudian

terdapat sebuah daerah domain inti sentral atau central core dan daerah domain C-

terminal. Daerah domain terminal asam amino digunakan untuk aktivitas

transaktivasi dan interaksi dengan berbagai macam faktor transkripsi, meliputi

asetil-transferase dan Murine Double Minute 2 (MDM2). Daerah yang kaya akan

prolin memainkan peranan penting dalam stabilitas dari p53 yang diregulasi oleh

MDM2 tersebut, di mana p53 menjadi lebih rentan terhadap degradasi oleh

MDM2 jika daerah yang kaya akan prolin tersebut dihilangkan. MDM2

merupakan suatu protein yang berperan khusus dalam menghancurkan protein

p53. Pada bagian C-terminal dari p53 juga berfungsi sebagai domain regulasi

negatif yang memiliki fungsi untuk menginduksi proses kematian sel atau

apoptosis dan mengatur kemampuan domain binding DNA inti sebagai bentuk

yang laten. Apabila interaksi antar C-terminal dan domain binding DNA inti

diputus atau dihilangkan oleh modifikasi pascatranslasi, seperti proses fosforilasi

dan asetilasi, domain DNA binding akan menjadi teraktivasi, sehingga akan

menginduksi terjadinya aktivitas transkripsi.

Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa mayoritas mutasi terhadap

p53 yang ditemukan dalam berbagai keganasan berupa missense mutation dan
25

sebagian besar terletak pada domain DNA binding inti. Penelitian lainnya

terhadap p53 yang dimasukkan ke dalam sel kanker yang sebelumnya telah

kehilangan fungsi p53 secara endogen, ternyata dapat memperkecil proses

pembentukan tumor atau tumorigenesis. Namun, sebaliknya adanya pemberian

p53 mutan dapat memperbesar proses tumorigenesis (Bai dan Zhu, 2006).

Gambar 1.9 Struktur p53 (Bai dan Zhu, 2006)

3.3 Regulasi ekspresi protein p53

Protein p53 memiliki peran sebagai gen penekan tumor yang mengontrol

siklus sel sebelum memulai fase sintesis. p53 dapat ditemukan dalam jumlah yang

rendah pada sel yang tidak terpapar stressor. Jika terjadi stressor, protein p53 akan

diekspresikan dengan jumlah yang sangat tinggi sebagai respon untuk

menstabilisasi. p53 memainkan peran penting dalam regulasi proliferasi sel,

memperbaiki DNA, apoptosis, stabilitas genomik, penuaan, dan homeostasis

metabolik. Hilangnya p53 atau mutasi pada p53 akan mempengaruhi

perkembangan tumor dan resistensi kemoterapi selain itu juga akan

mengakibatkan terjadinya penurunan apoptosis (Nakamura et al., 2019).

Sel pada kanker serviks akan mengekspresikan 2 onkogen yaitu E6 dan

E7. protein E6 akan berikatan dengan tumor suppressor p53 dan protein E7 akan
26

berikatan dengan pRb. Protein E6 dari HPV16 dan 18 berinteraksi dengan E3

ubiquitin-protein ligase sehingga terjadi proteolisis protein p53. Kemudian E6

mengikat dengan E1A binding protein p300 dan CREB-binding protein dan

mengurangi kemampuan aktivasi elemen p53-responsive promotor (Tziortzioti,

2016). Protein p53 teraktivasi oleh beberapa sinyal seperti kerusakan DNA,

hipoksia, ekspresi onkogen, deplesi ribonucleotide, stres osmotik, dan memainkan

faktor transkripsi. Protein E6 dari HPV16 dan 18 berinteraksi dengan E3

ubiquitin-protein ligase sehingga terjadi proteolisis protein p53. Kemudian E6

mengikat dengan E1A binding protein p300 dan CREB-binding protein dan

mengurangi kemampuan aktivasi elemen p53-responsive promotor (Tziortzioti

dkk., 2016).

Apabila terjadi kerusakan DNA, p53 menginduksi ekspresi p21 yang merupakan

inhibitor cyclin-dependent kinase (CDK) yang mengakibatkan siklus sel fase G1

berhenti. G1 berhenti memberi kesempatan memperbaiki DNA sebelum replikasi

saat fase S1. Apabila sel tidak dapat memperbaiki kerusakan DNA, p53

menginduksi apoptosis dengan mengaktivasi gen yang mensinyalkan apoptosis

seperti BAX, PUMA, Noxa, dan PERP. Disfungsi p53 menyebabkan proliferasi

sel abnormal dan berhubungan erat dengan karsinogenesis. Dari hasil studi oleh

Nakamura et al, 4 dari 9 studi menunjukkan ekspresi p53 pada kanker serviks

lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Tiga studi menunjukkan ekspresi p53 di

high-grade squamous intraepithelial lesion (HSIL) meningkat signifikan

dibanding kelompok kontrol. Kemudian, 2 studi menunjukkan ekspresi p53


27

meningkat seiring dengan berkembangnya cervical intraepithelial neoplasia

(CIN) (Nakamura dkk., 2019).

3.4 Peran p53 pada proses Angiogenesis dan Apoptosis

Protein p53 dapat mengatur gen yang terlibat dalam migrasi sel baik

secara langsung maupun tidak langsung, mutan p53 diperantarai Slug atau Twist,

suatu faktor transkripsi yang mengatur perkembangan embrionik pada epithelial-

mesenchymal transition (EMT) dapat menginduksi EMT yang bersifat parsial

sehingga menyebabkan supresi sintesis Ecadherin, hilangnya E-cadherin sering

dikaitkan dengan kejadian metastasis pada kanker, supresi anti-invasive gene

CCN-S/WISP2 juga bisa menimbulkan metastasis, selain itu sinyal RhoA /ROCK

(Rho associated coiled-coil containing protein kinase) dapat menginisiasi

amoeboid migratory mode yang menyebabkan sel kanker menginvasi stroma.

Ketika p53 kehilangan fungsinya, maka ekspresi Toca-1 meningkat, maka

mengembalikan fungsi p53 dapat memicu terjadinya metastasis dan meningkatkan

adaya invasi. p53 akan menghambat proses angiogenesis dengan membuat

produksi faktor proangiogenesis terhambat dan meningkatkan produksi TSP yang

bersifat antiangiogenik tumor (Garcia and Attardi, 2014).

p53 memiliki peranan yang penting dalam pengaturan siklus sel dengan

melakukan kontrol terhadap sejumlah gen, termasuk gen untuk apoptosis jika

terdapat kerusakan seluler yang berat. mitokondria sebagai peran utama melalui

pembebasan sitokrom c. Efek proapoptosis oleh p53 diperantarai melalui


28

peningkatan sintesis Bax. Selanjutnya protein Bax tersebut akan mendorong

pelepasan sitokrom c pada mitokondria, yang akhirnya akan membentuk suatu

komplek dengan Apoptosis Inducing Factor-1 (APAF-1), prokaspase-9 dan

Adenosine Triphosphate (ATP). Kompleks tersebut mengakibatkan terjadinya

aktivasi prokaspase-9 menjadi kaspase-9. Kemudian kaspase-9 akan memicu

aktivasi dari kaspase-3. Kaspase-3 merupakan kaspase terakhir atau eksekutor

yang memecah DNA dan substrat lainnya sehingga mengakibatkan terjadinya

kematian sel. Pada sel yang mengalami mutasi atau kehilangan p53, maka sel

tidak akan mampu mengekspresi p53 atau dapat terjadi ekspresi p53 secara

berlebih (overekspresi p53) yang mengakibatkan siklus sel tidak berhenti pada

akhir fase G1 dan tidak terjadi aktivasi GADD45, yang mengakibatkan perbaikan

DNA tidak terjadi (Dewi and Winarti, 2014). Pada sel yang mengalami mutasi

atau kehilangan gen p53, tidak adanya pada gen apoptosis yaitu BAX

mengakibatkan sel gagal mengalami apoptosis. Pada akhirnya, semua hal tersebut

berdampak pada terfiksasinya mutasi pada sel yang membelah, khususnya DNA

sehingga sel akan masuk menuju proses menuju transformasi ganas (Dewi and

Winarti, 2014).
29

Gambar 1.10 Proses Apoptosis pada p53 (Dewi and Winarti, 2014).

Gambar 1.11 Proses Karsinogenesis (Dewi and Winarti, 2014).

3.5 Peran p53 sebagai Prediktor Keberhasilan Kemoterapi Neoadjuvan

pada Kanker Serviks Stadium IB3, IIA dan IIB

Protein p53 berperan dalam regulasi proliferasi sel, memperbaiki DNA,

apoptosis, stabilisasi struktur genomik, penuaan dan homeostasis metabolik.

Apabila terjadi kerusakan DNA, p53 akan menginduksi ekspresi p21 yang

merupakan inhibitor cyclin-dependent kinase (CDK) yang mengakibatkan siklus

sel fase G1 berhenti. Penghentian siklus sel G1 berhenti memberi kesempatan

untuk memperbaiki DNA sebelum replikasi saat fase S1. Apabila sel tidak dapat
30

memperbaiki kerusakan DNA, p53 akan memicu proses apoptosis dengan

mengaktivasi gen yang memberi sinyal apoptosis seperti BAX, PUMA, Noxa, dan

PERP. Disfungsi p53 menyebabkan proliferasi sel tidak terkontrol dan

berhubungan bermakna dengan karsinogenesis (Nakamura, 2019).

Inaktivasi dan disfungsi dari p53 merupakan patogenesis berbagai kanker

termasuk kanker serviks. Pada kanker serviks, ditemukan lebih dari 80% spesimen

dengan ekspresi p53, dan beberapa laporan ditemukan variasi ekspresi p53 yang

diinduksi oleh mutasi pada regulator protein MDM2. Beberapa faktor yang

mempengaruhi kadar p53 seperti usia, jumlah paritas dan status menopause dan

berhubungan linear dengan derajat lesi serviks. Hal ini dibuktikan dengan kadar

ekspresi p53 yang lebih tinggi di basal sel pada lesi CIS dan SCC dibandingkan

CIN. Oleh karena itu, ekspresi p53 dapat digunakan sebagai parameter dalam

mengidentifikasi anaplasia, progresivitas dan metastasis sel kanker serviks

(Tejosukmono and Suharto, 2012).

Mekanisme respon seluler terhadap kemoterapi dipengaruhi yang

dipengaruhi oleh p53 dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti apoptosis sel,

resistensi obat atau perbaikan DNA, serta transkripsi gen. Berdasarkan penelitian

yang dilakukan oleh Tchelebi dkk, p53 memainkan peran penting dalam respon

kemoterapi, dimana mutasi p53 menunjukkan penurunan sensitivitas

dibandingkan dengan p53 wild type. p53 menunjukkan peningkatan resistensi

(atau penurunan sensitivitas) terhadap agen kemoterapi. Pada penelitian ini

didapatkan sebanyak 39 mutan p53 dan 18 wild type menunjukkan mutan p53

cenderung menunjukkan penghambatan pertumbuhan yang lebih sedikit


31

dibandingkan dengan sel dengan wild type p53 saat terpapar sejumlah agen

antikanker yang relevan secara klinis. Secara khusus, hal itu menunjukkan bahwa

mutan p53 memberikan resistensi kemoterapi.

Pada sebuah penelitian didapatkan hasil dari 40 kasus yang diteliti,

sebanyak 20 kasus (50%) mempunyai respons yang baik (berespons), sedangkan

20 kasus lainnya (50%) mempunyai respons yang buruk (tidak berespons) pada

kemoterapi neoadjuvan. Pada umumnya kasus yang diberikan kemoterapi

neoadjuvan mempunyai respons terapi yang baik, sebanyak 10–20% mempunyai

respons lengkap, 50–60% mempunyai respons sebagian, dan hanya 20–40%

mempunyai respons stabil atau progresif. Data preklinis menunjukkan bahwa sel

yang mempunyai mutasi p53 akan resisten terhadap stimuli apoptosis kemoterapi.

Pada penelitian ini didapatkan imunoekspresi p53 positif sebanyak 27 kasus dari

40 kasus (68%) dan 13 kasus (32%) mempunyai imunoekspresi p53 negatif.

Terdapat korelasi yang bermakna antara tingkat imunoekspresi p53 dan tingkat

respons kemoterapi neoadjuvan dimana semakin tinggi tingkat imunoekspresi

p53, semakin tidak berespons terhadap kemoterapi neoadjuvan (Muhartono and

Hanriko, 2012).

3.6 Penilaian Ekspresi p53 pada Kanker Serviks

Banyak teknik telah dirancang untuk mendeteksi mutasi p53 pada tumor,

termasuk sekuensing genomik, sekuensing cDNA, denaturasi gradien gel

elektroforesis (DGGE), single-strand conformation polymorphism analysis

(SSCP), pewarnaan imunohistokimia, dan analisis fungsional p53. Analisis


32

fungsional status p53 secara umum berbeda dari semua pemeriksaan lainnya, tes

ini menguji fungsi protein yang dikodekan oleh alel p53 dalam tumor,

pemeriksaan ini belum dapat diterima secara luas, karena ketersediaan alat dan

bahan yang diperlukan sulit ditemukan di laboratorium patologi rutin.(Meinhold-

Heerlein et al., 2001)

Pemeriksaan immunohistokimia p53 menggunakan metode streptavidin-

peroxidase-biotin. Hasil dinilai berdasarkan persentase sel positif dan tingkat

pewarnaan. Persentase sel positif dinilai dengan seleksi acak dan observasi 5

bidang kekuatan tinggi. Tiap bidang masing-masing diberi skor 1, 2, 3, atau 4,

untuk <10, 10-50, 51-75, dan> 75% sel positif. Tingkat pewarnaan sel dinilai

dengan skor 1, 2, 3, atau 4, untuk masing-masing sel yang tidak menunjukkan

warna kuning, kuning samar, kuning sedang, atau kuning kecoklatan.

Pemeriksaan immunohistokimia ini dilakukan karena dapat mendeteksi mutan p53

oleh karena kestabilan dan paruh panjangnya ketahanan p53 tersebut, selain itu

p53 juga memiliki tingkat mutasi yang rendah, tetapi tingkat ekspresi positif yang

tinggi pada jaringan kanker serviks (Liu dkk., 2015).


33

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, S.T., Ahmed, A.M., Musa, D.H., Sulayvani, F.K., Al-Khyatt,


M. and Pity, I.S., 2018. Proliferative index (Ki67) for prediction in
breast duct carcinomas. Asian Pacific journal of cancer
prevention: APJCP, 19(4), p.955.

Ancuta, E., Ancuta, C., Cozma, L.G., Iordache, C., Anghelache-


Lupascu, I., Anton, E., Carasevici, E. and Chirieac, R., 2009.
Tumor biomarkers in cervical cancer: focus on Ki-67 proliferation
factor and E-cadherin expression. Rom J Morphol Embryol, 50(3),
pp.413-418.

Andrijono, et al. 2013. Panduan Penatalaksanaan Kanker Serviks.


Komite Penanggulangan Kanker Nasional. PP 1-30. Available at:
http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PPKServiks.pdf

Apte, R.S., Chen, D.S. and Ferrara, N., 2019. VEGF in signaling and
disease: beyond discovery and development. Cell, 176(6),
pp.1248-1264.

Aziz, M. Farid, 2006 Buku Acuan Nasional Onkologi Ginekologi,


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.

Bai, L. and Zhu, W.G., 2006. p53: structure, function and therapeutic
applications. J Cancer Mol, 2(4), pp.141-153.

Basukala O, Mittal S, Massimi P, Bestagno M, Banks L. The HPV-18


E7 CKII phospho acceptor site is required for maintaining the
transformed phenotype of cervical tumour-derived cells. PLoS
Pathog. 2019 May 22;15(5):e1007769. doi:
10.1371/journal.ppat.1007769. PMID: 31116803; PMCID:
PMC6530875.

Chakrabarti, O., Krishna, S., 2003. Molecular interactions of ‘high risk’


human papillomaviruses E6 and E7 oncoproteins: implications for
tumour progression. J. Biosci. 28, 337–348.
https://doi.org/10.1007/BF02970152
34

Chen, C.-A., Chen, T.-M., Wu, C.-C., Chang, C.-F., & Hsieh, C.-Y.
(1994). Human papillomavirus DNA and p53 status in stage IB
bulky cervical cancer. Journal of Cancer Research and Clinical
Oncology, 120(11), 678–682. doi:10.1007/BF01245381

Choi, C.H., Song, S.Y., Choi, J.J., Park, Y.A., Kang, H., Kim, T.J., Lee,
J.W., Kim, B.G., Lee, J.H. and Bae, D.S., 2008. Prognostic
significance of VEGF expression in patients with bulky cervical
carcinoma undergoing neoadjuvant chemotherapy. BMC cancer,
8(1), pp.1-7.

Dewi, K.P., Winarti N.W. (2014). Peran Mutasi Gen P53 Pada
Karsinogenesis Sel Basal Kulit. Medicina Unud, Vol 45 No 1

Duda, D.G., Ancukiewicz, M. and Jain, R.K., 2009. Biomarkers of


antiangiogenic therapy: how do we move from candidate
biomarkers to valid biomarkers?. Journal of clinical oncology:
official journal of the American Society of Clinical Oncology,
28(2), pp.183-185.

Dvorak, H.F., 2002. Vascular permeability factor/vascular endothelial


growth factor: a critical cytokine in tumor angiogenesis and a
potential target for diagnosis and therapy. Journal of clinical
oncology, 20(21), pp.4368-4380.

Eskander, R.N. and Tewari, K.S., 2014. Targeting angiogenesis in


advanced cervical cancer. Therapeutic advances in medical
oncology, 6(6), pp.280-292.

Ferrara, N., Gerber, H.P. and LeCouter, J., 2003. The biology of VEGF
and its receptors. Nature medicine, 9(6), pp.669-676.

Ferrara, N., 2004. Vascular endothelial growth factor: basic science and
clinical progress. Endocrine reviews, 25(4), pp.581-611.

Ferreira, A.R., Ramalho, A.C., Marques, M. and Ribeiro, D., 2020. The
interplay between antiviral signalling and carcinogenesis in human
papillomavirus infections. Cancers, 12(3), p.646.

Folkman, J., 1995. Angiogenesis in cancer, vascular, rheumatoid and


other disease. Nature medicine, 1(1), pp.27-30.

Garcia, P.B. and Attardi, L.D., 2014, March. Illuminating p53 function
in cancer with genetically engineered mouse models. In Seminars
35

in cell & developmental biology (Vol. 27, pp. 74-85). Academic


Press.

Gariglio, P., Organista Nava, J., 2016. Role of HR-HPVs E6 and E7


Oncoproteins in Cervical Carcinogenesis. J Mol Genet Med 10.
https://doi.org/10.4172/1747-0862.1000216

Gerdes, J., Li, L., Schlueter, C., Duchrow, M., Wohlenberg, C., Gerlach,
C., Stahmer, I., Kloth, S., Brandt, E. and Flad, H.D., 1991.
Immunobiochemical and molecular biologic characterization of
the cell proliferation-associated nuclear antigen that is defined by
monoclonal antibody Ki-67. The American journal of pathology,
138(4), p.867.

Goncharuk, I.V., Vorobjova, L.I., Lukyanova, N.Y. and Chekhun, V.F.,


2009. Vascular endothelial growth factor exression in uterine
cervical cancer: correlation with clinicopathologic characteristics
and survival. Experimental oncology.

Hanriko, R., 2012. Korelasi antara Imunoekspresi p53 dan Respons


Kemoterapi Neoadjuvan Regimen Fluororasil, Adriamisin, dan
Siklofosfamid pada Karsinoma Duktus Payudara Invasif. Majalah
Kedokteran Bandung, 44(1), pp.13-18.

Hebbar, A. and Murthy, V.S., 2017. Role of p16/INK4a and Ki-67 as


specific biomarkers for cervical intraepithelial neoplasia: An
institutional study. Journal of laboratory physicians, 9(2), p.104.

Hertati, N., Maulani, H., Musa, Z. and Hafy, Z., 2014. Hubungan antara
Ekspresi Ki-67 dengan Stadium Klinis dan Derajat Histopatologis
Karsinoma Sel Skuamosa Serviks. Majalah Patologi Indonesia,
23(3).

Hicklin, D.J. and Ellis, L.M., 2005. Role of the vascular endothelial
growth factor pathway in tumor growth and angiogenesis. Journal
of clinical oncology, 23(5), pp.1011-1027.

Karaman, S., Leppänen, V.M. and Alitalo, K., 2018. Vascular


endothelial growth factor signaling in development and disease.
Development, 145(14).

Kartikasari, U.K., Priyanto, H. and Respati, S.H., 2019. Vascular


Endothelial Growth Factor-C Expression in Servical Squamous
Cell Carcinoma of Patients with Neoadjuvant Chemotherapy.
Indonesian Journal of Medicine, 4(1), pp.40-45.
36

Karbel, R., 2008. Molecular Origin of Cancer–Tumor Angiogenesis.


The New England Journal of Medicine, pp.2039-49.

Lee, K.Y., Peters, M.C. and Mooney, D.J., 2003. Comparison of


vascular endothelial growth factor and basic fibroblast growth
factor on angiogenesis in SCID mice. Journal of controlled
release, 87(1-3), pp.49-56.

Li, L.T., Jiang, G., Chen, Q. and Zheng, J.N., 2015. Ki67 is a promising
molecular target in the diagnosis of cancer. Molecular medicine
reports, 11(3), pp.1566-1572.

Mahayasa, I.M.W., Tobing, M.D.L. dan Harsono, A.B., 2016.


Hubungan antara Ekspresi Ki-67 dan Kaspase-3 dengan Respons
Kemoterapi Neoajuvan pada Pasien Karsinoma Serviks Stadium
IB2 dan IIA2 di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin, Bandung.
Indonesian Journal of Cancer, 10(2), pp.49-54.

Mandic, A., UsajKnezevic, S. and KapiclIvkovic, T., 2014. Tissue


expression of VEGF in cervical intraepithelial neoplasia and
cervical cancer. J BUON, 19(4), pp.958-64.

Meinhold-Heerlein, I., Ninci, E., Ikenberg, H., Brandstetter, T., Ihling,


C., Schwenk, I., Straub, A., Schmitt, B., Bettendorf, H., Iggo, R.
and Bauknecht, T., 2001. Evaluation of methods to detect p53
mutations in ovarian cancer. Oncology, 60(2), pp.176-188.

Melincovici, C.S., Bosca, A.B., Susman, S., Marginean, M., Mihu, C.,
Istrate, M., Moldovan, I.M., Roman, A.L. and Mihu, C.M., 2018.
Vascular endothelial growth factor (VEGF)-key factor in normal
and pathological angiogenesis. Rom J Morphol Embryol, 59(2),
pp.455-467.

Menon, S.S., Guruvayoorappan, C., Sakthivel, K.M. and Rasmi, R.R.,


2019. Ki-67 protein as a tumour proliferation marker. Clinica
Chimica Acta, 491, pp.39-45.

Nagy, J.A., Chang, S.H., Dvorak, A.M. and Dvorak, H.F., 2009. Why
are tumour blood vessels abnormal and why is it important to
know?. British journal of cancer, 100(6), pp.865-869.

Nakamura, M., Obata, T., Daikoku, T. and Fujiwara, H., 2019. The
association and significance of p53 in gynecologic cancers: the
potential of targeted therapy. International journal of molecular
sciences, 20(21), p.5482.
37

Nielsen, T.O., Leung, S.C., Rimm, D.L., Dodson, A., Acs, B., Badve,
S., Denkert, C., Ellis, M.J., Fineberg, S., Flowers, M. and Kreipe,
H.H., 2020. Assessment of Ki67 in Breast Cancer: Updated
Recommendations from the International Ki67 in Breast Cancer
Working Group. JNCI: Journal of the National Cancer Institute.

Pal, A., Kundu, R., 2020. Human Papillomavirus E6 and E7: The
Cervical Cancer Hallmarks and Targets for Therapy. Front.
Microbiol. 10, 3116. https://doi.org/10.3389/fmicb.2019.03116

Pan, D., Wei, K., Ling, Y., Su, S., Zhu, M. and Chen, G., 2015. The
prognostic role of Ki-67/MIB-1 in cervical cancer: a systematic
review with meta-analysis. Medical science monitor: international
medical journal of experimental and clinical research, 21, p.882.

Priyanto, H. et al. 2019. Correlation of VEGF-C tissue expression and


cervical lesion diameter on cervical cancer patients given
neoadjuvant therapy. Bali Medical Journal 8(1), p. 299. Available
at: http://dx.doi.org/10.15562 /bmj.v8i1.1190.

Randall, L.M., Monk, B.J., Darcy, K.M., Tian, C., Burger, R.A., Liao,
S.Y., Peters, W.A., Stock, R.J. and Fruehauf, J.P., 2009. Markers
of angiogenesis in high-risk, early-stage cervical cancer: A
Gynecologic Oncology Group study. Gynecologic oncology,
112(3), pp.583-589.

Rizzuto, I., Otter, S., Bharathan, R. and Stewart, A., 2020. Vascular
endothelial growth factor (VEGF) inhibitors for the treatment of
metastatic and recurrent cervical cancer. The Cochrane Database
of Systematic Reviews, 2020(5).

Shepherd, J.H., Milliken, D.A., 2008. Conservative Surgery for


Carcinoma of the Cervix. Clinical Oncology 20, 395–400.
https://doi.org/10.1016/j.clon.2008.05.002

Shi, Z., Jiang, W., Chen, X., Xu, M., Wang, X. and Zha, D., 2020.
Prognostic and clinicopathological value of Ki-67 expression in
patients with nasopharyngeal carcinoma: a meta-analysis.
Therapeutic Advances in Medical Oncology, 12,
p.1758835920951346.

Simons, M., Gordon, E. and Claesson-Welsh, L., 2016. Mechanisms and


regulation of endothelial VEGF receptor signalling. Nature
reviews Molecular cell biology, 17(10), p.611.
38

Sun, H., Tang, F., Zhou, S., Li, X., Wang, S., Huang, K., Jia, Y., Tian,
X., Ma, D. and Li, S., 2016. Association between vascular
endothelial growth factor expression and lymph node metastasis in
cervical cancer: A meta‐analysis. Journal of Obstetrics and
Gynaecology Research, 42(10), pp.1310-1316.

Sun, X. and Kaufman, P.D., 2018. Ki-67: more than a proliferation


marker. Chromosoma, 127(2), pp.175-186

Tseng, C.-J., Tseng, L.-H., Lai, C.-H., Soong, Y.-K., Hsueh, S., & Pao,
C.-C. (1997). Identification of human papillomavirus types 16 and
18 deoxyribonucleic acid sequences in bulky cervical cancer after
chemotherapy. American Journal of Obstetrics and Gynecology,
176(4), 865–869. doi:10.1016/s0002-9378(97)70612-4

Tziortzioti R. 2016. Induction of apoptosis by functionalized fullerene-


based sonodynamic therapy in HL-60 cells. Anticancer Research.
36: 2665–2674

Van Diest, P.J., Brugal, G. and Baak, J.P., 1998. Proliferation markers
in tumours: interpretation and clinical value. Journal of clinical
pathology, 51(10), p.716.

Yamamoto, S., Ibusuki, M., Yamamoto, Y., Fu, P., Fujiwara, S.,
Murakami, K. and Iwase, H., 2013. Clinical relevance of Ki67
gene expression analysis using formalin-fixed paraffin-embedded
breast cancer specimens. Breast Cancer, 20(3), pp.262-270.

Yu, L., Fei, L., Liu, X., Pi, X., Wang, L. and Chen, S., 2019.
Application of p16/Ki-67 dual-staining cytology in cervical
cancers. Journal of Cancer, 10(12), p.2654.

Zhang, J., Liu, J., Zhu, C., He, J., Chen, J., Liang, Y., Yang, F., Wu, X.
and Ma, X., 2017. Prognostic role of vascular endothelial growth
factor in cervical cancer: A meta-analysis. Oncotarget, 8(15),
p.24797.

Zusterzeel, P.L., Span, P.N., Dijksterhuis, M.G., Thomas, C.M., Sweep,


F.C. and Massuger, L.F., 2009. Serum vascular endothelial growth
factor: a prognostic factor in cervical cancer. Journal of cancer
research and clinical oncology, 135(2), pp.283-290.

Anda mungkin juga menyukai