Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH FARMASI RUMAH SAKIT

“PENETAPAN HARGA RESEP”

DISUSUN OLEH:

YANTY ELYSABETH (21344103)

PROGRAM STUDI APOTEKER

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

JAKARTA

2021

1
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
I. Latar Belakang ...................................... ........................................ 3
II. Tujuan…………............................................................................. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 . Rumah Sakit……….………………..………………………………………………….. 5

2.2 . Obat……………………………………………………………... 6
2.3 . Resep………… …….…………………………………………… 6
2.4 Harga…………….……………………………………………….. 7
2.4.1 Harga Eceran Tertinggi ……………………………………………. 8
2.4.2 Metode Penetapan Harga …………………………………. 8

BAB III PEMBAHASAN………………………………………..…... 12


BAB IV KESIMPULAN……………………………………………….….18
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................19

2
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar belakang

Obat merupakan suatu bahan yang dimaksudkan untuk dipergunakan dalam

menetapkan diagnosa, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan

penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada

manusia. Obat sudah menjadi kebutuhan yang vital bagi setiap orang terutama orang

yang sakit. Obat bertindak sebagai sebuah produk kesehatan yang bermanfaat dan

mempunyai kedudukan yang amat penting dalam pandangan masyarakat, maka sudah

seharusnya konsumen obat-obatan mempunyai akses yang jelas terhadap informasi

suatu obat.

Undang-undang Perlindungan Konsumen mengatur bagaimana konsumen

mempunyai hak untuk mendapatkan informasi mengenai suatu produk yang akan

dikonsumsi, begitu pula dengan konsumen produk obat-obatan. Informasi tersebut

berupa Harga Eceran Tertinggi (HET), kandungan yang terdapat dalam obat tersebut,

khasiat dari obat, efek samping dari obat, dan keaslian dari suatu obat. Dari kenyatan

yang terjadi selama ini di dalam masyarakat, konsumen seolah-olah tidak mempunyai

akses yang jelas mengenai informasi yang jelas terhadap suatu obat yang hendak di

konsumsinya.

Didalam Peraturaan Menteri Kesehatan Nomor 98 Tahun 2015 tentang

Pemberian Informasi Harga Eceran Tertinggi dalam Pasal 2 pengaturan pemberian

informasi harga eceran tertinggi obat dimaksudkan untuk memberikan informasi yang

benar, jelas, dan jujur mengenai harga eceran tertinggi atau harga obat yang diberikan

kepada masyarakat.

3
Harga adalah jumlah uang yang dibebankan atas produk atau jasa, atau jumlah

dari nilai yang ditukar konsumen atas manfaat-manfaat karena memiliki atau

menggunakan produk atau jasa tersebut”, (Kotler, 2002). Dalam bauran pemasaran,

harga adalah salah satu unsur pemasaran yang penting karena bisa menentukan

kepuasan pelanggan.

Harga obat, resep, ataupun obat bebas biasanya ditetapkan oleh masing-

masing apotek/ took obat/ IFRS sesuai kesepakatan pemilik apotek/ took obat / IFRS.

Dengan penetapan harga yang sesuai terhadap produk-produk yang ditawarkan dapat

menimbukan kepuasan konsumen dan membuat rumah sakit meraih kepercayaan

konsumen .

II. Tujuan

Mahasiswa ingin mengetahui penetapan harga resep obat di Rumah Sakit

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Rumah sakit

II.1.1 Pengertian Rumah Sakit

Menurut Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 rumah sakit adalah institusi

pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan

secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat

darurat. Sedangkan menurut RI nomor 9 Tahun 2008 adalah sarana kesehatan

yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan meliputi pelayanan

promotif, prementif, curative, dan rehabilitativ yang menyediakan pelayanan

rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

II.1.2 Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Menurut Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 Instalasi Farmasi adalah unit

pelaksana fungsional yang menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan

kefarmasian di Rumah Sakit .Berdasarkan definisi tersebut maka Instalasi Farmasi

Rumah Sakit secara umum dapat diartikan sebagai suatu departemen atau unit

atau bagian dari suatu rumah sakit di bawah pimpinan seorang apoteker dan

dibantu oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi persyaratan perundang-

undangan yang berlaku dan bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta

kefarmasian, yang terdiri pelayanan paripurna yang mencakup perencanaan,

pengadaan, produksi, penyimpanan perbekalan farmasi/sediaan farmasi,

dispensing obat berdasarkan resep bagi penderita saat dan rawat jalan,

pengendalian mutu dan pengendalian distribusi dan penggunaan seluruh

perbekalan kesehatan dirumah sakit (Septini, 2012). Didalam Permenkes Nomor

5
72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Minimal rumah sakit, yang

menyebutkan bahwa Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan

bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan

maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.

Tujuan dari Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit yaitu untuk

meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi

tenaga kefarmasian dan melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat

yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien(patient safety). Dan sebagai

tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam

menyelenggarakan pelayanan kefarmasian

II.2 Obat

Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang

digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan

patologi dalam rangka penetapan diaognosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,

peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (Permenkes, 2016).

II.3 Resep

Menurut Permenkes RI No.9 Tahun 2017, menyebutkan bahwa “Resep adalah

permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi atau dokter hewan, kepada Apoteker, baik

dalam bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan dan menyerahkan obat

bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. Resep memiliki nama lain yaitu Formulae

Medicae, (Permenkes 2017). Resep memiliki beberapa jenis di antaranya:

II.3.1 Resep standar, yaitu resep yang komposisinya sudah dibakukan dan dituliskan

dalam farmakope atau buku resep standar lainya yang penulisan resepnya sesuai

buku standar.

6
II.3.2 Resep Polisfarmasi, yaitu yang sudah dimodifikasi atau diformat oleh dokter, bisa

berupa campuran atau tunggal yang diencerkan dalam pelayanannya harus diracik

terlebih dahulu.

II.3.3 Resep Obat jadi, yaitu berupa obat paten, merek dagang atau pun generik dan

dalam pelayanan tidak mengalami peracikan. Buku referensi, Organisasi

Internasional untuk Standarisasi (ISO), Indonesia Index Medical Specialities

(IIMS), Daftar Obat Indonesia (DOI) dan sebagainya.

II.3.4 Resep Obat generik, yaitu penulisan resep obat dengan nama generic dalam

bentuk sediaan dan jumlah tertentu. Dalam pelayanan bisa tidak mengalami

peracikan (Jas 2009).

II.3.5 Resep asli bersifat rahasia dan harus disimpan di apotek dengan baik paling

singkat 5 (lima) tahun. Resep atau salinan hanya boleh diperlihatkan oleh pihak

yang berwenang yaitu :

 Dokter yang menulis atau merawatnya.

 Pasien atau keluarga yang bersangkutan.

 Paramedis yang merawat pasien.

 Apoteker yang mengelola apotek bersangkutan.

 Aparat pemerintah serta pegawai yang ditugaskan untuk memeriksa.

 Petugas asuransi untuk kepentingan klaim pembayaran (Permenkes, 2017).

II.4 Harga

Menurut Basu Swastha (1986) Harga diartikan sebagai jumlah uang

(kemungkinan ditambah barang) yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah

kombinasi dari barang beserta pelayanannya.

7
Menurut Alex S Nitisemito (1991) Harga diartikan sebagai nilai suatu

barang atau jasa yang diukur dengan sejumlah uang dimana berdasarkan nilai

tersebut seseorang atau perusahaan bersedia melepaskan barang atau jasa yang

dimiliki kepada pihak lain.

II.4.1 Harga Eceran Tertinggi

Harga Eceran Tertinggi Obat yang selanjutnya disingkat HET adalah harga

jual tertinggi obat di apotek, toko obat dan instalasi farmasi rumah sakit/klinik.

Apotek, toko obat, dan instalasi farmasi rumah sakit/klinik hanya dapat menjual

obat dengan harga yang sama atau lebih rendah dari HET. Apoteker pada apotek

atau instalasi farmasi rumah sakit/klinik pada saat memberikan pelayanan obat

atas resep dokter wajib memberikan informasi HET obat kepada pasien atau

Keluarga Pasien.

Apoteker harus menginformasikan obat lain terutama obat generik yang

memiliki komponen aktif dengan kekuatan yang sama dengan obat yang

diresepkan yang tersedia pada apotek atau instalasi farmasi rumah sakit/klinik

kepada pasien atau Keluarga Pasien.

2.4.2. Metode Penetapan harga

Terkait tingginya harga obat di Indonesia, terdapat perbedaan pandangan antara

perusahaan-perusahaan farmasi sebagai produsen dan dengan masyarakat sebagi

konsumen. Perusahaan farmasi menganggap jika harga obat yang mereka keluarkan sudah

teramat murah sampai-sampai mereka hampir mengurangi dan bahkan meminta subsidi

dari pemerintah untuk bahan baku. Penentuan harga obat, sebagaimana “komoditas” yang

lain, juga sangat dipengaruhi beberapa hal, antara lain :

 Biaya Bahan Baku (bahan baku/zat aktif, bahan/zat tambahan dan bahan pengemas)

8
 Biaya Operasional (operational cost)

 Biaya Marketing dan Promosi

 Biaya Distribusi

 Biaya Lain-lain (Umum, Penyusutan, Pajak, dan lain-lain).

Berikut adalah gambaran struktur harga obat hingga sampai di tangan pasien :

1. Harga Pokok Produksi (HPP) atau yang sering disebut dengan Cost Of Goods

Manufacture (COGM) terdiri dari: Biaya Bahan Baku (bahan aktif, bahan tambahan

dan bahan pengemas), biaya tenaga kerja langsung (direct labour), dan biaya

telepon, BBM, listrik, spare part, training dll (over-head cost). Untuk industri

farmasi, biaya bahan baku bisa mencapai 70 – 80% , direct labour antara 5 – 10% ,

dan overhead cost antara 15 – 20 % dari HPP. Khusus untuk obat-obat lisensi

(under licence) dan obat paten (patented Drug) masih dibebani biaya lisensi atau

paten serta kewajiban untuk membeli bahan baku dari pemberi lisensi atau paten.

Hal inilah salah satu penyebab mengapa obat-obat yang masuk dalam kategori

under licence atau obat-obat paten harganya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan

obat generik maupun generik bermerek.

2. Selanjutnya, HPP + Biaya Marketing + Biaya Lain-lain (General Affairs, termasuk

komisi dan bonus Komisaris atau Direksi, baiya CSR, dll) + Bunga & Depresiasi +

Laba Operasional (profit) menjadi HJP (Harga Jual Pabrik) atau yang sering disebut

dengan Cost Of Goods Sales (COGS).

3. HJP + Biaya Distribusi (Distribution Fee) = HNA (Harga Netto Apotek).

4. HNA + Laba (Apotek dan atau PBF) + PPN = HJA (Harga Jual Apotek), yang

merupakan HET (Harga Eceran Tertinggi) yang dibayarkan oleh konsumen.


9
Industri farmasi membagi produknya menjadi 2 golongan besar, yaitu obat- obat

resep (ethical) dan obat-obat OTC (over the counter /obat bebas). Obat golongan ethical

adalah obat yang hanya bisa dibeli dengan resep oleh dokter, sedangkan obat OTC bisa

dibeli langsung tanpa resep. Obat ethical ditandai dengan huruf “K” dalam lingkaran

merah, sedangkan obat OTC biasanya bertanda lingkaran biru (obat bebas terbatas) atau

lingkaran hijau (obat bebas). Termasuk dalam golongan OTC ini adalah produk-produk

kesehatan berupa makanan tambahan (food suplement), seperti multivitamin, dan

sebagainya. Untuk obat-obat golongan OTC ini, biasanya berlaku hukum pasar. Artinya,

laku atau tidaknya produk sangat tergantung bagaimana strategi marketing (marketing mix)

dari produsen. Masyarakat bebas untuk memilih produk yang hendak digunakan. Tentu

saja, agar konsumen mengenal produk yang diproduksi dan kemudian tertarik untuk

membeli, maka produsen obat harus mengeluarkan biaya untuk mempromosikan obatnya.

Promosi ini bisa melalui ATL (above the line), seperti iklan di TV, Radio, majalah atau

surat kabar atau melalui BTL (bellow the line), seperti penyebaran brosur, penempelan

leaflet, sponsor seminar dan sebagainya.

Lain halnya dengan obat-obat golongan ethical. Untuk obat-obat golongan ini,

masyarakat tidak bisa bebas memilih produknya, namun dipilihkan oleh dokter yang

memeriksanya. Pilihan doter tersebut tercantum dalam selembar resep yang diberikan

dokter kepada si pasien. Selanjutnya, pasien menebus resep tadi di apotek untuk bisa

mendapatkan obat. Jadi disini konsumen “tidak memiliki kebebasan” dalam memilih obat

yang hendak dikonsumsinya, semuanya sudah ditentukan oleh dokter yang menanganinya.

Di sinilah letak akar masalahnya. Dokter yang menuliskan resep tidak ikut membayar atas

obat yang dipilihnya, sedangkan pasien tidak bisa menolak produk yang dipilihkan oleh

dokter. Itulah uniknya “komoditas” yang satu ini.

10
Industri farmasi dalam menentukan harga obat tidak semata-mata berdasarkan

hitung-hitungan di atas, tapi lebih banyak melihat berdasarkan aspek-aspek berikut :

1. Harga produk sejenis yang sudah ada di pasaran

2. Tingkat kompetisi pasar

3. Besarnya biaya promosi yang diperlukan

4. Besarnya modal yang dikeluarkan

5. Besarnya laba atau margin yang diinginkan.

11
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Penetapan harga obat bebas

Penjualan bebas yang dimaksud adalah penjualan obat dari perbekalan farmasi

lainnya yang dapat dibeli tanpa resep dari dokter seperti obat OTC (iver the counter)baik

obat bebas maupun bebas terbatas. Pelayanan penjualan obat dan alat kesehatan yang

dijual bebas termasuk kosmetik, dilakukan terhadap pasien yang memerlukan obat dan

alat kesehatn tanpa resep dari dokter.

Prosedur penjualan bebas yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1) Petugas membantu pasien dalam mencari barang di swalayan farmasi sesuai kebutuhan

dan menginformasikan harga barang tersebut sesuai dengan harga yang tertera di KIS .

2)  Pembayaran dilakukan setelah petugas memasukkan nama dan jumlah barang yang di

entry dikomputer setelah disetujui pasien, serta membuat bukti penyerahan nota

penjualan bebas.

3) Barang beserta bukti pembayaran penjualan bebas diserahkan kepada pembeli. Bukti

penjualan obat bebas dikumpulkan dan diurutkan berdasarkan nomor dan dicatat

di laporan penjualan harian

Alur Penentuan harga obat

Harga Pokok Harga Jual Harga Netto Harga Eceran


Produksi Pabrik Apotek Tertingi

Harga Jual
Apotek

12
3.2 Penjualan Obat Resep tunai

Penjualan obat dengan resep tunai dilakukan terhadap pasien yang langsung datang ke

apotek untuk menebus obat yang dibutuhkan dan dibayar secara tunai adalah sebagai berikut :

 Kasir atau petugas lain pada bagian penerimaan resep menerima resep dari pasien,

lalu memeriksa kelengkapan dan keabsahan resep tersebut.

  Asisten apoteker akan memeriksa ada atau tidaknya obat dalam persediaan.

 Resep diberi nomor urut resep, selanjutnya nomor reseptersebut diserahkan ke

pasien untuk mengambil obat pada bagian penyerahan obat.

 Resep asli diserahkan ke bagian peracikan atau penyiapan obat. Asisten Apoteker

pada bagian peracikan atau penyiapan obat akan meracik atau menyiapkan obat

sesuai dengan resep.

  Setelah obat selesai disiapkan maka obat diberi etiket dan dikemas

 Sebelum obat diberikan dilakukan pemeriksaan kembali meliputi nomor resep,

nama pasien, kebenaran obat, jumlah dan etiketnya. Juga dilakukan pemeriksaan

salinan resep sesuai resep aslinya serta kebenarankuitansi.

  Obat diserahkan kepada pasien sesuai dengan nomor resep lalu pasien diberi

informasi tentang cara pemakaian obat dan informasi lain yang diperlukan pasien.

 Lembaran resep asli dikumpulkan menurut nomor urut dan tanggal resep dan

disimpan sekurang-kurangnya tiga tahun.

Pada setiap tahapannya, petugas apotek wajib membubuhkan paraf atas apa

saja yang dikerjakan padaresep tersebut, jika terjadi sesuatu dapat

dipertanggung jawabkan atas pekerjaan yang dilakukan.

3.3 Penjualan Obat dengan resep kredit

13
Resep kredit adalah resep yang ditulis dokter yang bertugas pada suatu instansi atau

perusahaan untuk pasien dari instansi yangtelah mengadakan kerja sama dengan apotek yang

sering disebutIkatan Kerja Sama (IKS), pembayaran dilakukan dalam jangka waktutertentu

berdasarkan perjanjian yang telah disepakati bersama.Apotek bekerja sama dengan beberapa

instalasi sepertiAskes, PT.Jamsostek,PLN.

3.4 Faktor- factor penentu harga obat

Penentuan harga obat, sebagaimana komoditas yang lain, juga sangat dipengaruhi

beberapa hal, antara lain :

 Biaya Bahan Baku (bahan baku/zat aktif, bahan/zattambahan dan bahan pengemas)

 Biaya Operasional (operational cost )

 Biaya Marketing dan Promosi

 Biaya Distribusi

 Biaya Lain-lain (Umum, Penyusutan, Pajak, dan lain-lain).

Adapun faktor lain penentu harga obat yaitu:

 Harga produk sejenis yang sudah ada di pasaran

 Tingkat kompetisi pasar

 Besarnya biaya promosi yang diperlukan

 Besarnya modal yang dikeluarkan (apalagi kalau untuk membuatobat tadi harus invest

alat/mesin baru)

 Besarnya laba/margin yang diinginkan

3.5 Metode Penentuan Harga Obat

1. Metode kenaikan harga : sistem markup atau kenaikan secara otomatis menyesuaikan

harga untuk mencocokkan perubahan dalam biaya obat, bila harga obat meningkat pendapatan

14
meningkat secara proporsional. Hal ini dapat melindungi apotik dari penurunan

persentase laba kotor pada masa masa inflasi. Cara ini ada kerugiannya yaitu harga

nya mahal untuk pasien sehingga pasien membandingkan harganya dan memilih beli

ditempat lain.

2. Metode biaya pelayanan profesional yaitu nilai yang telah ditentukan

yangditambahkan pada biaya obat untuk menentukan harga resep obat . Kerugiannyapenurunan

margin kotor selama masa inflasi

3.  Metode skala geser yaitu mengatasi kedua kerugian tersebut dengan persentase

kenaikan yg tidak tetap atau biaya pelayanan profesional untuk menghitung resep obat.

3.6 Metode Penetapan Harga

1. Metode Taksiran (Judgemental Method)

Apotek yang baru saja berdiri biasanya memakai metode ini. Penetapan harga

dilakukan dengan menggunakan instink saja walaupun market survey telah dilakukan.

Biasanya metode ini digunakn oleh para pengusaha yang tidak terbiasa dengan data

statistik. Penggunaan metode ini sangat murah karena apotek tidak memerlukan

konsultan untuk surveyor. Akan tetapi tingkat kekuatan prediksi sangat rendah karena

ditetapkan oleh instink.

2. Metode Berbasis Pasar (Market-Based Pricing)

a. Harga pasar saat ini (current market price)

Metode ini dipakai apabila apotek mengeluarkan produk baru, yaitu hasil

modifikasi dari produk yang lama. Apotek akan menetapkan produk baru

tersebut seharga dengan produk yang lama. Penggunaan metode ini murah dan

cepat. Akan tetapi pangsa pasar yang didapat pada tahun pertama relatif kecil

karena konsumen belum mengetahui profil produk baru apotek tersebut,

seperti kualitas, rasa, dan sebagainya

15
b. Harga pesaing (competitor price)

Metode ini hampir sama dengan metode harga pasar saat ini.

Perbedaannya menetapkan harga produknya dengan mereplikasi langsung

harga produk apotek saingannya untuk produk yang sama atau berkaitan.

Dengan metode apotek berpotensi mengalami kehilangan pangsa pasar karena

dianggap sebagai pemalsu. Ini dapat terjadi apabila produk apotek tersebut

tidak mampu menyaingi produk pesaing dalam hal kualitas, ketahanan, rasa,

dan sebagainya.

c. Harga pasar yang disesuaikan (adjusted current market price)

Dengan metode ini, apotek mengidentifikasi harga pasar yang berlaku pada

saat penyiapan anggaran dengan melakukan survey pasar atau memperoleh

data sekunder. Harga yang berlaku tersebut dikalikan dengan penyesuaian

3.7 Menghitung harga jual obat di apotek

 Harga jual di apotek adalah = (harga distributor)= (PPN 10%) + (harga jual apotek) +

(uang resep/jasa dokter).

 Cara menghitung harga jual apotek, perhitungan HJA, Mark-up, Harga Netto

apotek dan PPN 10%.

 HNA adalah harga netto Apotek, merupakan harga (modal) awal apotek dalam

membeli obat dari distributor (PBF atau PBF cabang).

 Mark-up adalah % keuntungan, ada yang menetapkan 25% (1,25) dan ada

yang menetapkan 30 % (1,3).

 PPN 10% (1,1) adalah pajak pertambahan nilai yang dikenakan untuk setiap

16
pertambahan nilai dari proses transaksi dari produsen ke konsumen.

 HJA adalah harga jual apotek, harga yang ditawarkan kepada konsumen

setelah diperhitungkan HNA, PPN 10% dan Mark-up.

HJA = HNA x PPN 10% x Mark-up

Industri farmasi membagi produknya menjadi 2 golongan besar, yaitu obat- obat

resep (ethical) dan obat-obat OTC (over the counter /obat bebas). Obat golongan ethical

adalah obat yang hanya bisa dibeli dengan resep oleh dokter, sedangkan obat OTC bisa

dibeli langsung tanpa resep. Obat ethical ditandai dengan huruf “K” dalam lingkaran

merah, sedangkan obat OTC biasanya bertanda lingkaran biru (obat bebas terbatas) atau

lingkaran hijau (obat bebas). Termasuk dalam golongan OTC ini adalah produk-produk

kesehatan berupa makanan tambahan (food suplement), seperti multivitamin, dan

sebagainya. Untuk obat-obat golongan OTC ini, biasanya berlaku hukum pasar. Artinya,

laku atau tidaknya produk sangat tergantung bagaimana strategi marketing (marketing mix)

dari produsen. Masyarakat bebas untuk memilih produk yang hendak digunakan. Tentu

saja, agar konsumen mengenal produk yang diproduksi dan kemudian tertarik untuk

membeli, maka produsen obat harus mengeluarkan biaya untuk mempromosikan obatnya.

Promosi ini bisa melalui ATL (above the line), seperti iklan di TV, Radio, majalah atau

surat kabar atau melalui BTL (bellow the line), seperti penyebaran brosur, penempelan

leaflet, sponsor seminar dan sebagainya.

Lain halnya dengan obat-obat golongan ethical. Untuk obat-obat golongan ini,

masyarakat tidak bisa bebas memilih produknya, namun dipilihkan oleh dokter yang

memeriksanya. Pilihan doter tersebut tercantum dalam selembar resep yang diberikan dokter

kepada si pasien. Selanjutnya, pasien menebus resep tadi di apotek untuk bisa mendapatkan

17
obat. Jadi disini konsumen “tidak memiliki kebebasan” dalam memilih obat yang hendak

dikonsumsinya, semuanya sudah ditentukan oleh dokter yang menanganinya.

BAB IV

KESIMPULAN

I. Kesimpulan

Penetapan harga terdiri dari penetapan harga obat bebas dan harga resep.

Dalam menentukan harga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu Biaya Bahan

Baku (bahan baku/zat aktif, bahan/zattambahan dan bahan pengemas), biaya

Operasional (operational cost ), biaya Marketing dan Promosi, biaya Distribusi, biaya

Lain-lain (Umum, Penyusutan, Pajak, dan lain-lain).

Ada beberapa metode dalam menentukan harga obat seperti Metode

kenaikan harga , metode biaya pelayanan profesional, metode skala geser. Dalam

penetapan harga yaitu Metode Taksiran (Judgemental Method) dan Metode

Berbasis Pasar (Market-Based Pricing).

18
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1999, Undang-undang  Republik  Indonesia  Nomor  8  Tahun  1999  tentang

Perlindungan Konsumen, Depkes RI, Jakarta

Anonim, 2004, Keputusan  Menteri  Kesehatan  Republik  Indonesia  Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang  Standar  Pelayanan  Kefarmasian  di Apotek, Depkes RI,

Jakarta 

Ebert, R.J., Ronald J., Grifin, Ricky W.,2003, Introducing of Business, 6thEdition, Prentice

Hall. Inc. New York.

http://organisasi.org/definisi-pengertian-harga-tujuan-metode-pendekatan-penetapan-harga-

manajemen-pemasaran

Vinska, Adista, 2015, Penerapan konsep harga obat untuk menetapkan pola tarif jasa

pelayanan kefarmasian di apotek kabupaten kudus. yogyakarta

Siahaan, selma, 2009,Kebijakan harga obat di Indonesia dan perbandingannya dengan

negara-negara lain,Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Pusat Penelitian dan

Pengembangan Sistem dan Kebijakan Badan Litbangkes Depkes RI.

Djajang, D, Managemen dan Administrasi Rumah sakit indonesia,2019

19

Anda mungkin juga menyukai