Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

“KONSEP GIZI PADA LANSIA, KONSEP POST POWER


SYNDROME DAN PATIENT SAFETY DALAM
KEPERAWATAN GERONTIK”

Dosen pengampuh : Ns. Grace Marentek, S. Kep., M. Kep

Disusun oleh:

Kelompok 7
1.Anggreni Repi
2.Eudia Tahendung
3.Gabriela Walalangi
4.Sofia Kani
5.Dennis Walangare

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


AKADEMIK KEPERAWATAN BETHESDA TOMOHON
2022
BAB I

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas
limpahan rahmat serta hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
pembuatan makalah tepat pada waktunya. Makalah ini berisikan tentang "Konsep
gizi pada lansia, konsep Post Power Syndrome dan patient safety dalam
keperawatan gerontik"

Dalam penyusunan makalah ini kami sudah berusaha semaksimal


mungkin, namun kesempurnaan hanya milik Tuhan. Kami mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca yang membangun dengan kesempurnaan pembuatan
makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya
bagi semua pihak atau pembaca.
DAFTAR ISI

BAB I.......................................................................................................................2
KATA PENGANTAR..........................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................3
BAB II......................................................................................................................4
PEMBAHASAN......................................................................................................4
A. KONSEP GIZI PADA LANSIA.....................................................................4
1. Pengertian Gizi pada Lansia.........................................................................4
2. Tujuan Gizi pada Lansia...............................................................................4
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan gizi pada lansia....................4
4. Klasifikasi Status Gizi lansia........................................................................5
5. Penilaian Status Gizi.....................................................................................6
6. Pengukuran Status Gizi pada Lanjut Usia....................................................7
7. Kebutuhan Zat Gizi Pada Lanjut Usia........................................................10
B. KONSEP POST POWER SYNDROME......................................................14
1. Pengertian post power syndrome................................................................14
2. Gejala-gejala post power syndrome............................................................15
3. Faktor-faktor penyebab post power syndrome...........................................16
C. PATIENT SAFETY DALAM KEPERAWATAN GERONTIK..................19
1. Pengertian patient safety.............................................................................19
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi keselamatan dan keamanan................19
3. Faktor – faktor yang memengaruhi keamanan dan keselamatan klien.......21
KESIMPULAN......................................................................................................26
SARAN..................................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................28
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP GIZI PADA LANSIA

1. Pengertian Gizi pada Lansia

Bagi lansia pemenuhan kebutuhan gizi yang diberikan dengan baik yang
dapat membantu dalam proses beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan yang dialaminya selain itu dapat menjaga kelangsungan
pergantian sel-sel tubuh sehingga dapat memper panjang usia.

2. Tujuan Gizi pada Lansia

a. Menjadikan lansia yang dapat terpenuhi akan kebutuhan gizinya

b. Terpenuhinya kebutuhan jasmani, rohani, Sosial dan psikologis lanjut usia


secara memadai serta teratasinya masalah-masalah akibat usia lanjut.

c. Terlindunginya lanjut usia dari perlakuan yang salah.

d. Terlaksananya kegiatan-kegiatan yang bermakna bagi lanjut usia.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan gizi pada lansia

1. Berkurangnya kemampuan mencerna makanan akibat kerusakan gigi atau


ompong.

2. Berkurangnya indera pengecapan mengakibatkan penurunan terhadap cita rasa


manis, asin, asam dan pahit.

3. Esophagus/kerongkongan mengalami pelebaran.

4. Rasa lapar menurun, asam lambung menurun.

5. Gerakan usus atau gerak peristaltic lemah dan biasanya menimbulkan


konstipasi.

6. Penyerapan makanan di usus menurun.


4. Klasifikasi Status Gizi lansia

1) Gizi Baik (Well Nourished)

Status gizi dapat dikatakan baik apabila nilai indeks massa tubuh seseorang
mencapai 18,5 – 25,0 𝐾𝑔𝑀2. Status gizi dapat baik apabila asupan gizi harus
seimbang dengan kebutuhan gizi seseorang yang bersangkutan. Kebutuhan gizi
ditentukan oleh: kebutuhan gizi basal, aktivitas, keadaan fisiologis tertentu,
misalnya dalam keadaan sakit

(Ariani, 2017).

2) Gizi Kurang (Under Weight)

Status gizi dapat dikatakan kurang apabila nilai indeks massa tubuh seseorang
mencapai <18,5 𝐾𝑔𝑀2. Status gizi kurang merupakan keadaan tidak sehat
(patologis) yang timbul karena tidak cukup makan atau konsumsi energy dan
protein kurang selama jangka waktu tertentu

(Ariani, 2017).

3) Gizi Lebih (Over Weight)

Status gizi dapat dikatakan lebih (gemuk) apabila nilai indeks massa tubuh
seseorang mencapai 25,1 – 27, 0 𝐾𝑔𝑀2. Status gizi lebih apabila keadaan
patologis (tidak sehat) yang disebabkan kebanyakan makan (Ariani, 2017).

4) Obesitas

Status gizi dikatakan lebih (obesitas) apabila nilai indeks massa tubuh seseorang
mencapai >27,0 𝐾𝑔/𝑀2. Kegemukan (obesitas) merupakan tanda pertama yang
dapat dilihat dari keadaan gizi lebih. Obesitas yang berkelanjutan akan
mengakibatkan berbagai penyakit antara lain: diabetes mellitus, tekanan darah
tinggi dan lain-lain (Ariani, 2017).
5. Penilaian Status Gizi

Menurut Supariasa (2012), pada dasarnya penilaian status gizi dapat dibagi
dua yaitu secara langsung dan tidak langsung.

1) Penilaian status gizi secara langsung

Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu :
antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Secara umum antropometri artinya
ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi
tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Supariasa, 2012).

2) Penilaian status gizi secara tidak langsung

Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga yaitu:

survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi.

a. Survei konsumsi makanan merupakan metode penentuan status gizi secara tidak
langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.

b. Statistik vital merupakan pengukuran dengan menganalisis

data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian bedasarkan umur, angka
kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu.

c. Faktor ekologi digunakan untuk mengungkapkan bahwa

malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor


fisik, biologis, dan lingkungan budaya.
6. Pengukuran Status Gizi pada Lanjut Usia

Status gizi lansia dapat dinilai dengan cara pengukuran antropometri


(Supariasa, 2012). Pengukuran antropometri adalah pengukuran tentang ukuran,
berat badan, dan proporsi tubuh manusia dengan tujuan untuk mengkaji status
nutrisi dan ketersediaan energi pada tubuh serta mendeteksi adanya masalah-
masalah nutrisi pada seseorang. (Nurachmah, 2001).Pengukuran antropometri
yang dapat digunakan untuk menetukan status gizi pada lansia meliputi tinggi
badan, berat badan, tinggi lutut (knee high), lingkar betis, tebal lipatan kulit
(pengukuran skinfold), dan lingkar lengan atas. Cara yang paling sederhanan dan
banyak digunakan adalah dengan menghitung Indeks Masa Tubuh (IMT)
(Fatmah, 2010). Adapun beberapa pengukuran antropometri yang dapat dilakukan
pada lansia adalah sebagai berikut:

1. Berat badan

Berat badan merupakan gambaran masa jaringan tubuh dan cairan tubuh.
Berat badan adalah variabel antropometri yang sering digunakan dan hasilnya
cukup akurat. Pengukuran berat badan sering digunakan berbagai kelompok usia
karena pengukuran berat badan juga dapat digunakan sebagai indikator status gizi
pada saat skrining gizi dilakukan. Hal ini disebabkan karena berat badan sangat
sensitive terhadap berbagai perubahan komposisi tubuh, sehingga penurunan atau
kenaikan berat badan ini berkaitan erat dengan komposisi tubuh (Fatmah,2010).
Pengukuran berat badan lansia dapat diukur menggunakan alat ukut timbangan
injak digital (Seca) dengan ketelitian 0,1kg. Subyek diukur dalam posisi berdiri
dengan ketentuan subyek memakai pakaian seminimal mungkin, tanpa isi kantong
dan sepatu/sandal. Pada pengukuran lansia yang mengalami gangguan
psikomotorik dapat diukur dengan menggunkan Flush mounted floor scal adalah
timbangan yang dapat digunakan untuk pasien yang menggunakan kursi roda
maupun terbaring di tempat tidur yang memiliki roda. Prinsip penggunannya
ditimbang beserta kursi roda ataupun tempat tidur yang telah diketahui beratnya
dengan alat yang sama. Dihitung menggunkan dengan rumus BB Responden =
Berat Orang dan Kursi Roda - Berat Kursi Roda.
2. Tinggi badan

Tinggi badan merupakan hasil pertumbuhan kumulatif sejak lahir sehingga


parameter ini dapat memberikan gambaran mengenai riwayat status gizi masa
lalu. Tinggi badan ini diukur dengan menggunakan alat ukur seperti microtoise
dengan ketepatan 0,1cm tetapi bisa juga dengan alat pengukuran non elastik
ataupun metal. Pengukuran di lakukan pada posisi berdiri tegak pada permukaan
tanah/lantai yang rata (flat surface) tanpa menggunakan alas kaki. Ujung tumit
kedua telapak kaki dirapatkan dan menempel di dinding dalam posisi agak terbuka
di bagian jari-jari kaki, pandangan mata lurus ke depan, kedua lengan dikepal erat,
tulang belakang dan pantat menempel di dinding. (Chumlea, 1998) Pada
pengukuran tinggi badan lansia yang mengalami kelainan tulang, tidak dapat
dilakukan pengukuran tinggi badan secara tepat (Fatmah, 2010). Menurut
Chumlea, bagi lansia yang tidak dapat berdiri ataupun bongkok, maka pengukuran
tinggi lutut dapat dilakukan untuk memperkirakan tinggi badan. Tinggi lutut erat
kaitannya dengan tinggi badan, sehingga data tinggi badan bisa didapatkan dari
tinggi lutut bagi orang yang tidak dapat berdiri ( Fatmah, 2006).

3. Indek Masa Tubuh (IMT)

IMT merupakan indikator status gizi yang cukup peka digunakan untuk menilai
status gizi orang dewasa diatas umur 35 tahun dan mempunyai hubungan yang
cukup tinggi dengan persen lemak dalam tubuh (fatmah,2010). IMT juga
merupakan sebuah ukuran “berat terhadap tinggi” badan yang umum digunakan
untuk menggolongkan

orang dewasa ke dalam kategori underweight (kekurangan berat badan),

Overweight (kelebihan berat badan) dan obesitas (kegemukan). Rumus

atau cara menghitung IMT yaitu dengan membagi berat badan dalam

kilogram dengan kuadrat dari tinggi badan dalam meter (kg/m2)

Indeks Massa Tubuh (IMT) dapat diketuhi nilainya dengan

menggunakan rumus :
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝐾𝑔)
IMT=
𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑚)𝑥 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑚)

4. Lingkar Lengan Atas (LILA)

Lingkar lengan atas merupakan pengkajian umum yang digunakan untuk menilai
status nutrisi. Pengukuran LLA dilakukan dengan menggunakan sentimeter kain
(tape around). Pengukuran dilakukan pada titik tengah lengan yang tidak dominan
(Nurachmah, 2001). Menurut Depkes RI (1994), nilai normal lingkar lengan atas
pada lansia adalah 21 hingga 22 cm. Klasifikasi nilai Lingkar Lengan Atas (LLA)
sebagai berikut :

a. LLA < 21 = buruk

b. LLA 21 sampai ≤ 22 = sedang

c. LLA > 22 = baik/normal

Supariasa (2001) mengemukakan beberapa keunggulan antropometri gizi


sebagai berikut :

a. Prosedurnya sederhana, aman, dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang
besar.

b. Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, tetapi cukup dilakukan oleh tenaga
yang sudah dilatih.

c. Alatnya murah, mudah dibawa, dan tahan lama

d. Metode ini tepat dan akurat karena dapat dilakukan

e. Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayt dizi di masa lampau

f. Mumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang dan gizi buruk.

g. Metode antropometri dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode


tertentu.
7. Kebutuhan Zat Gizi Pada Lanjut Usia

Gizi seimbang adalah keseimbangan antara zat-zat penting yang


terkandung di dalam makanan maupun minuman yang dikonsumsi oleh seseorang
dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Almatsier (2010) gizi yang seimbang
dikelompokkan berdasarkan tiga fungsi utama yaitu:

a. Zat energi atau tenaga yaitu yang didapatkan dari padi-padian atau serealia
seperti beras, jagung, gandum, umbi-umbian seperti ubi singkong dan talas serta
hasil olahannya seperti tepung-tepungan, mie dan bihun. Berfungsi sebagai
pemberi energi atau tenaga untuk kegiatan hidup manusia.

b. Zat pembangun yaitu suatu zat yang didaptkan dari sumber protein hewani,
seperti daging ayam telur, dan susu. Sumber protein nabati, seperti kacang-
kacangan: kacang kedelai kacang tanah, kacang hijau, kacang merah, kacang
tolo,olahannya serta hasil olahannya seperti tempe, tahu, susu kedelai, dan oncom.
Fungsi utama dari zat pembangunan adalah untuk memberi tubuh perlindungan
maksimal terhadap serangan penyakit.

c. Zat pengatur seperti sayuran dan buah, sayuran diutamakan yang berwarna
hijau dan jingga, seperti bayam, daun singkong, daun katuk, kangkung, wortel,
serta sayur kacang kacangan seperti kacang panjang, buncis dan kecipi

Besaran zat gizi yang dibutuhkan seorang lanjut usia dipaparkan Sebagai
berikut.
1) Energi

Kebutuhan energi pada masa menua akan menurun. Hal ini Karena jumlah sel-sel
otot menurun dan sel-sel lemak meningkat Karena aktivitas yang berkurang.
Keseimbangan antara asupan dan Keluaran energi akan seimbang jika seorang
lanjut usia memiliki Ukuran dan komposisi tubuh yang ideal dan tetap dalam
waktu yang lama. Bagi lanjut usia laki-laki, kecukupan gizi yang Disarankan
adalah 2050 kalori, berbeda pada wanita sedikit di bawah laki-laki, yaitu 1600
kalori. Jika seseorang sudah mencapai usia kepala empat, demi keseimbangan gizi
disarankan untuk menurunkan konsumsi energi sebanyak 5% dari konsumsi gizi
sebelumnya. Angka tersebut kemudian ditambah 5% lagi pada 10 tahun
kemudian, yaitu ketika seseorang telah mencapai usia 50 tahun. Pada lanjut usia,
pengurangan asupan gizi ditambah 10%, yaitu pada usia 60 tahun ke atas. Dan
jika seseeorang lanjut usia mencapai 70 tahun, maka dikurangi lagi 10%.

2) Karbohidrat

Dalam karbohidrat terdapat senyawa dari molekul hydrogen, karbon, dan oksigen.
Sebagai salah satu zat gizi, fungsi utama karbohidrat adalah penghasil energi di
dalam tubuh. Sumber karbohidrat yang dimaksud biasa terdapat pada nasi, roti,
mie, bihun, kentang, macaroni dan gula. Seorang lanjut usia harus membatasi
mengkonsumsi makanan tersebut, apalagi jika menunjukkan tanda tanda
peningkatan kadar gula sebagai gejala awal kencing manis.Usia yang semakin
menua biasanya akan menganggu fungsi dari organ organ tubuh pada lanjut usia.
Hal ini akan sangat mempengaruhi aktivitas sel tubuh. Gangguan lainnya adalah
pada sistem pencernaan dan metabolisme pada lanjut usia berupa kekurangan
bahkan kelebihan gizi. Munculnya gangguan tersebut akan menimbulkan penyakit
tertentu (Fatmah, 2010). Mengenai kebutuhan karbohidrat, berbeda-beda pada
setiap usia dan jenis kelamin. Laki-laki usia 55-64 tahun membutuhkan
karbohidrat sebanyak 400 gram, lanjut usia lebih dari 65 tahun menurun menjadi
350 gram. Sementara dari perempuan, di usia 55-64 tahun membutuhkan asupan
karbohidrat sebanyak 285 gram dan menurun di usia 65 tahun ke atas menjadi 248
gram.
3) Protein

Kebutuhan protein dari masa dewasa hingga masa ini tetap sama. Protein
dibutuhkan untuk mengganti sel-sel yang rusak, seperti otot, tulang, enzim, dan
sel darah merah. Meski demikian, konsumsi protein tidak perlu berlebihan, sebab
kelebihan protein merupakan salah satu sebab gangguan fungsi dan kerja ginjal.Di
dalam protein terdapat substansi kimia makanan yang merupakan bagian dari
asam amino. Protein dalam makanan akan berubah menjadi asam amino ketika
diproses oleh tubuh. Selain untuk membangun dan memelihara sel, fungsi lainnya
adalah sebagai sumber energi dengan menyediakan 4 kalori per gram. Meski
demikian, protein tidak dapat dijadikan sebagai sumber utama energi. Pemilihan
protein yang baik untuk lansia sangat penting mengingat sintesis protein di dalam
tubuh tidak sebaik saat masih muda, dan banyak terjadi kerusakan sel yang harus
segera diganti. Kebutuhan protein untuk usia 40 tahun masih tetap sama seperti
usia sebelumnya. Pakar gizi menganjurkan kebutuhan protein lansia dipenuhi dari
yang bernilai biologis tinggi seperti telur, ikan, dan protein hewani lainnya karena
kebutuhan asam amino esensial meningkat pada usia lanjut. Akan tetapi harus
diingat bahwa konsumsi protein yang berlebihan akan memberatkan kerja ginjal
dan hati (Fatmah, 2010).Untuk kebutuhan detail protein, laki-laki di usia 55-64
tahun membutuhkan 60 gram, dan relatif tetap meski usianya semakin tua. Begitu
pula dengan perempuan, dimulai pada usia 55 tahun, protein yang dibutuhkan
akan tetap sama hingga lanjut usia, yaitu 50 gram.
4) Lemak

Lemak terbagi menjadi dua, lemak jenuh dan lemak tak jenuh. Menurut Fatmah
(2010), di dalam lemak jenuh terdapat struktur kimia yang mengandung asam
lemak jenuh. Konsumsi lemak jenis ini sebaiknya secukupnya saja. Jika
dikonsumsi dalam jumlah yang berlebihan akan berakibat pada tingginya kolestrol
dalam darah. Kolestrol dan trigliserida yang merupakan komponen-komponen
lemak di dalam darah yang dapat membahayakan kesehatan. Sementara untuk
lemak tak jenuh yakni lemak ini memiliki ikatan rangkap yang terdapat di dalam
minyak (lemak cair) dan dapat berada dalam 2 bentuk, yaitu isomer cis dan
trans.Lemak dibutuhkan oleh laki-laki berusia 55-64 tahun berkisar pada angka 50
gram, dan sedikit menurun pada usia lanjut 65 tahun ke atas, yaitu pada angka
45,5 gram. Sementara pada perempuan berusia 55-64 tahun membutuhkan asupan
gizi sebanyakn 39 gram dan menurun menjasi 36 gram pada usia lanjut.Mengenai
kebutuhan masing-masing zat gizi seperti diuraikan di atas.

5) Gizi Seimbang

Gizi seimbang adalah susunan pangan sehari-hari yang mengandung zat gizi
dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh, dengan
memperhatikan prinsip keanekaragaman pangan, aktivitas fisik, perilaku hidup
bersih dan mempertahankan berat badan normal untuk mencegah masalah gizi.
Dari pengertian diatas disimpulkan bahwa gizi seimbang mengandung komponen
komponen yang lebih kurang sama, yaitu: cukup secara kuantitas, cukup secara
kualitas, mengandung berbagai zat gizi (energi, protein, vitamin dan mineral)
yang diperlukan tubuh untuk tumbuh (pada anak-anak), untuk menjaga kesehatan
dan untuk melakukan aktivitas dan fungsi kehidupan sehari-hari (bagi semua
kelompok umur dan fisiologis), serta menyimpan zat gizi untuk mencukupi
kebutuhan tubuh saat konsumsi makanan tidak mengandung zat gizi yang
dibutuhkan (KemenKes RI, 2014).
B. KONSEP POST POWER SYNDROME

1. Pengertian post power syndrome

Menurut Suparni dan Astutik (2016:68) Post power syndrome adalah


gejala- gejala pasca kekuasaan yang muncul berupa gejala-gejala kejiawaan dan
emosi yang kurang stabil yang timbul karena perubahan peran menimbulkan
gejala ketidakstabilan psikis yang muncul saat seseorang meninggalkan jabatan
atau kekuasaan, karena adanya perasaan tidak dihormati lagi.

Menurut Elia (dalam Rahmad dan Suyanto, 2016: 77-94) menyatakan


bahwa yang dimaksud dengan post power syndrome adalah kumpulan gejala.
Power adalah kekuasaan. Jadi, terjemahan dari post power syndrome adalah gejala
pasca kekuasaan. Gejala ini umumnya terjadi pada orang-orang yang tadinya
mempunyai kekuasaan atau menjabat satu jabatan, namun ketika sudah tidak
menjabat lagi, seketika itu terlihat gejala-gejala kejiwaan atau emosi yang kurang
stabil. Gejala itu biasanya bersifat negatif, khawatir itulah yang diartikan post
power syndrome.

Berdasarkan berbagai difinisi post power syndrome di atas maka dapat


disimpulkan bahwa post power syndrome adalah gejala-gejala pasca kekuasaan
yang muncul berupa gejala-gejala kejiwaan seperti gejala ketidakstabilan psikis
yang muncul saat seorang meninggalkan jabatan atau kekuasaannya, serta gejala
emosi yang kurang stabil yang timbul karena perubahan peran dari individu itu
sendiri fungsi tubuh baik itu jasmani dan rohani. Gangguan ini terjadi karena
adanya perasaan ingin mempertahankan status sosialnya di masyarakat yang tetap
dianggap penting dan dihormati lagi.
2. Gejala-gejala post power syndrome

Gejala-gejala post power syndrome menurut Suparni dan Astutik (2016)


gejala post power syndrome terjadi pada orang-orang yang tadinya mempunyai
kekuasaan atau mempunyai jabatan di tempat kerja, sehingga ketika sudah tidak
menjabat lagi, akan terlihat gejala-gejala yang kurang stabil, dan individu merasa
adanya gejala fisik.

Menurut Elia (dalam Rahmat dan Suyanto, 2016) akan dirasakan individu
dalam meliputi beberapa gejala, diantaranya:

a. Gejala fisik

Gejala fisik yang terjadi pada orang-orang yang menderita post power syndrome
biasanya tampak menjadi jauh lebih cepat tua dibandingkan pada waktu dia masih
menjabat. Tampak diduga tiba-tiba rambutnya menjadi putih, berkeriput, menjadi
pemurung, malas dan mungkin sakit-sakitan.

b. Gejala emosi

Gejala emosi yang terjadi pada orang-orang yang menderita post power syndrome
misalnya cepat mudah tersinggung, merasa tidak berharga, ingin menarik diri dari
lingkungan pergaulan, ingin bersembunyi dan lain-lain.

c. Gejala perilaku

Gejala perilaku yang terjadi pada orang-orang yang menderita post power
syndrome misalnya seorang individu malu bertemu dengan orang lain, lebih
mudah melakukan pola-pola kekerasan atau menunjukan kemarahan baik di
rumah atau tempat lain. Seorang yang mengalami post power syndrome biasanya
dapat diketahui dari gejala-gejala yang dialaminya. Morce dan Rice (dalam
Suparni dan Astutik,2016: 69-70) membagi gejala post power syndrome menjadi
dua, yaitu:

a. Gejala fisik

Gejala fisik yang sering muncul yaitu layu, sayu, lemas, tidak bergairah, dan
mudah sakit-sakitan.
b. Gejala psikis

Gejala psikis yang sering tampil antara lain ialah apatis, depresi, semuanya “serba
salah”, tidak pernah merasa puas dan beputus asa, atau tanda-tanda sebaliknya,
yaitu menjadi mudah ribut, tidak toleran, cepat tersinggung, gelisah, cemas,
eksplosif mudah meledak, agresif dan suka menyerang baik dengan kata-kata atau
ucapan bahkan dengan benda-benda, dan sebagainya. Bahkan tidak jarang
menjadi beringas setengah sadar. Dinsi (dalam Suparni dan Astutik, 2016: 70)
yaitu gejala fisik misalnya tampak layu, terlihat tua, tubuh lebih lemah. Gejala
emosi misalnya mudah tersinggung, masih belum bisa menerima kenyataan.
Gejala perilaku misalnya senang berbicara mengenai kehebatan dirinya dimasa
lalu baik di rumah ataupun di tempat umum.

3. Faktor-faktor penyebab post power syndrome

Pada beberapa pekerja ada yang sudah tidak bekerja (menganggur, pensiun, tidak
menjabat lagi, dan lain-lain) oleh banyak individu dilihat sebagai suatu yang
negatif paling parah dan paling tidak diinginkan yang dapat menyebabkan post
power syndrome. Menurut Suparni dan Astutik (2016: 69) Faktor post power
syndrome antara lain penurunan berbagai aspek seperti fisiologis, psikis, fungsi
fisik, kognitif, regulasi emosi, minat, sosial, ekonomi dan religiusitas. Menurut
Kartono (dalam Suparni dan Astutik, 2016: 68) faktor penyebab post power
syndrome adalah:

a. Individu merasa terpotong atau tersisih dari orbit resmi, yang sebenarnya ingin
memiliki dan dikuasai terus menerus.

b. Individu merasa sangat kecewa, sedih, sengsara berkepanjangan.

c. Emosi negatif yang sangat kuat dari kecemasan-kecemasan hebat yang


berkelanjutan.

Sedangkan menurut Morce dan Rice (dalam Suparni dan Astutik, 2016: 68)

faktor penyebab post power syndrome adalah:


a. Merasa kehilangan penghasilan

b. Konsep diri negatif sehingga cenderung bekerja sangat berlebihan ketika masih
produktif dan mengalami kekecewaan ketika memasuki masa pensiun.

c. Pensiun dinilai sebagai akhir dari segalanya di mana individu akan kehilangan
jabatan, merasa kesepian dan ditinggalkan oleh teman-teman yang masih bekerja.

Turner dan Helms (dalam Suparni dan Astutik, 2016: 69) menggambarkan
penyebab terjadinya post power syndrome dalam kasus kehilangan pekerjaan,
yaitu:

a. Kehilangan harga diri, hilangnya jabatan menyebabkan hilangnya perasaan atas


pengakuan diri.

b. Kehilangan fungsi eksekutif, fungsi yang memberikan kebanggaan diri.

c. Kehilangan perasaan sebagai orang yang memiliki arti dalam kelompok


tertentu.

d. Kehilangan orientasi kerja.

e. Kehilangan sumber penghasilan terkait dengan jabatan terdahulu.

Menurut Rini (dalam Rahmat dan Suyanto, 2016: 77-94) banyak faktor
yang memengaruhi seseorang menderita post power syndrome, beberapa faktor
antara lain:

a. Kepuasan kerja dan pekerjaan

Ketika seseorang sudah memasuki masa pensiun secara otomatis kepuasan dalam
diri mereka untuk bekerja menjadi salah satu faktor mengalami post power
syndrome.Usia

b. Usia

Usia memang menjadi faktor penentu dalam mengalami gejala post power
syndrome. Karena ketika usia semakin lanjut, maka pola pikir dan perilaku pun
semakin menurun.
c. Kesehatan

Kesehatan jelas sekali dapat memengaruhi gejala post power syndrome pada diri
seseorang. Semakin tua seseorang, maka gejala kesehatan yang menurun pun akan
terlihat.

d. Status sosial sebelum pensiun

Biasanya orang yang menderita gejala post power syndrom mengalami depresi,
karena status sosial mereka akan terpengaruhi, sebagaimana menjadi orang biasa
lagi.
C. PATIENT SAFETY DALAM KEPERAWATAN GERONTIK

1. Pengertian patient safety

Keselamatan adalah suatu keadaan seseorang atau lebih yang terhindar


dari ancaman bahaya/ kecelakaan. Kecelakaan merupakan kejadian yang tidak
dapat diduga dan tidak diharapkan yang dapat menimbulkan kerugian, sedangkan
keamanan adalah keadaan aman dan tentram.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi keselamatan dan keamanan.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk


melindungi diri dari bahaya kecelakaan yaitu usia, gaya hidup, status mobilisasi,
gangguan sensori persepsi, tingkat kesadaran, status emosional, kemampuan
komunikasi, pengetahuan pencegahan kecelakaan, dan faktor lingkungan. Perawat
perlu mengkaji faktor-faktor tersebut saat merencanakan perawatan atau
mengajarkan klien cara untuk melindungi diri sendiri.

1. Usia

Individu belajar untuk melindungi dirinya dari berbagai bahaya melalui


pengetahuan dan pengkajian akurat tentang lingkungan. Perawat perlu untuk
mempelajari bahaya-bahaya yang mungkin mengancam individu sesuai usia dan
tahap tumbuh kembangnya sekaligus tindakan pencegahannya.

2. Gaya hidup

Faktor gaya hidup yang menempatkan klien dalam resiko bahaya diantaranya
lingkungan kerja yang tidak aman, tinggal didaerah dengan tingkat kejahatan
tinggi, ketidakcukupan dana untuk membeli perlengkapan keamanan adanya akses
dengan obat-obatan atau zat aditif berbahaya.

3. Status mobilisasi

Klien dengan kerusakan mobilitas akibat paralisis, kelemahan otot, gangguan


keseimbangan koordinasi memiliki resiko untuk terjadinya cedera.
4. Gangguan sensori persepsi.

Sensori persepsi yang akurat terhadap stimulus lingkungan sangat penting bagi
keamanan seseorang. Klien dengan gangguan persepsi rasa, dengar, raba, cium,
dan lihat, memiliki resiko tinggi untuk cedera.

5. Tingkat kesadaran.

Kesadaran adalah kemampuan untuk menerima stimulus lingkungan, reaksi tubuh,


dan berespon tepat melalui proses berfikir dan tindakan. Klien yang mengalami
gangguan kesadaran diantaranya klien yang kurang tidur, klien tidak sadar atau
setengah sadar, klien disorientasi. Klien yang menerima obat-obatan tertentu
seperti narkotik, sedatif, dan hipnotik.

6. Status emosional.

Status emosi yang ekstrim dapat mengganggu kemampuan klien menerima


bahaya lingkungan. Contohnya situasi penuh stres dapat menurunkan konsentrasi
dan menurunkan kepekaan pada simulus ekstemal.Klien dengan depresi
cenderung lambat berfikir dan bereaksi terhadap stimulus lingkungan.

8. Pengetahuan pencegahan kecelakaan

Informasi adalah hal yang sangat penting dalam penjagaan keamanan. Klien yang
berada dalam lingkungan asing sangat membutuhkan informasi keamanan yang
khusus. Setiap individu perlu mengetahui cara-cara yang dapat mencegah
terjadinya cedera.

9. Faktor lingkungan

Lingkungan dengan perlindungan yang minimal dapat beresiko menjadi penyebab


cedera baik dirumah, tempat kerja, dan jalanan.
3. Faktor – faktor yang memengaruhi keamanan dan keselamatan klien

1. Faktor Fisiologis

Sistem pada tubuh manusia bekerja secara terkoordinasi dengan baik, apabila
salah satu sistem tidak bekerja maka hal tersebut akan mengancam keamanan
seseorang. Misalnya orang akan menarik tangannya jika menyentuh sesuatu benda
yang terasa panas, dan sebagainya.

a) Sistem Muskuloskeletal

Kesatuan muskoloskeletal merupakan hal yang sangat esensial dalam


pembentukan postur dan pergerakan yang normal. Kerusakan yang terjadi pada
mobilitas dan kemampuan untuk merespon terhadap hal yang membahayakan, dan
ini meningkatkan risiko terhadap injuri. Masalah muskoloskeletal yang
mengganggu keamanan dapat diakibatkan oleh keadaan seperti fraktur,
osteoporosis, atropi otot, artritis, atau strains dan sprains.

b) Sistem Neurologis

Koordinasi yang baik dalam sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi akan
menciptakan sistem yang baik pada individu. Rangsangan yang diterima dari saraf
tepi akan diteruskan ke sistem saraf pusat melalui proses persepsi kognisi yang
baik sehingga seseorang dapat memutuskan dalam melakukan proses berfikir. Hal
tersebut akan menciptakan seseorang mampu melakukan orientasi dengan baik
terhadap orang, tempat dan waktu sehingga orang akan merasa nyaman.
Gangguan neurologis yang dapat mengancam keamanan seperti cedera kepala.
medikasi/pengobatan, alkohol dan obat-obatan, stroke, injuri tulang belakang,
penyakit degeneratif (seperti Parkinson dan Alzaimer), dan tumor kepala.
c) Sistem Kardiorespirasi

Sistem kardiorespirasi yang baik memungkinkan tubuh untuk dapat beristirahat


karena suplai 02 dan nutrisi untuk sel, jaringan dan organ tercukupi dengan baik.
Adapun kondisi gangguan sistem kardiovaskuler yang mengganggu keamanan
adalah hipertensi, gagal jantung, kelainan jantung bawaan, atau penyakit vaskuler
bagian tepi. Penyakir respirasi atau pernafasan yang mengganggu keamanan
seperti kesulitan bernafas, wheezing, danm kelelahan yang diakibatkan oleh tidak
toleransi terhadap aktivitas, keterbatasan mobilitas.

d) Aktivitas dan Latihan

Kondisi aktivitas dan latihan tubuh bereaksi secara cepat pada kedaruratan.
Keterbatasan dalam aktivitas dan latihan akan mengganggu seseorang dalam
mengenali hal yang mengancam dirinya dari luar.

e) Kelelahan (Fatigue)

Fatigue akan mengakibatkan keterbatasan dalam persepsi terhadap bahaya,


kesulitan mengambil keputusan dan ketidakadekuatan dalam pemecahan masalah.
Fatigue dapat diakibatkan karena kurang tidur, gaya dan pola hidup, jam
pekerjaan, stress, atau karena berbagai macam pengobatan, yang dapat
mengancam keamanan.

2. Faktor Toleransi tehadap stress dan Mekanisme Koping.

Faktor seperti kecemasan dan depresi merupakan permasalahan yang akan


mengganggu keamanan seseorang, dimana seseorang akan kesulitan dalam
mengekspresikan sesuatu. Contoh, seseorang yang mengalami kecemasan
mengenai prosedur operasi, maka seseorang tersebut akan mengalami
miskomunikasi tentang informasi apa yang akan dia lakukan setelah operasi
sehingga akan mengancam keamanan dia waktu pulang ke rumah sehingga akan
muncul masalah komplikasi setelah operasi.
Mekanisme koping seseorang tehadap stress berhubungan langsung dengan
keamanan. Faktor kepribadian seseorang memainkan peranan dalam keamanan.
Menarik diri, pemalu dan ketidakpercayaan berpengaruh pada peningkatan
keamanan, sehingga seseorang perlu untuk belajar kembali atau mereka akan
mengalami masalah gangguan jiwa/mental.

3. Faktor Lingkungan Rumah

Keamanan di rumah menyangkut tentang ventilasi, pencahayaan. pengaturan


panas dan sebagainya. Pengaturan perabot rumah tangga merupakan bagian
penting dari keamanan di dalam rumah. Penataan yang baik dari peralatan dapur,
kursi, penempatan ruangan, tangga sangat menentukan keselamatan dan
keamanan seseorang. Penggunaan senjata tajam, rokok. lantai rumah dari bahan
kimia dan penyimpanan bahan kimia akan membantu dalam pencegahan baya
dalam rumah termasuk sumber listrik dan api. Masalah utama yang dapat terjadi
dalam rumah adalah adanya risiko adanya untuk jatuh.

a) Tempat kerja

Tempat kerja akan mengakibatkan gangguan keamanan dengan adanya risiko


untuk terjadi injuri pada seseorang. Bahaya yang dapat ditimbulkan dari jenis
pekerjaan dan tempat seseorang bekerja, baik secara fisik. mekanik, ataupun
kimia. Dalam bekerja maka seseorang sangat membutuhkan adanya suatu kondisi
yang ergonomis. sehingga perlu adanya pendidikan tentang kesehatan dan
keselamatan kerja dalam mencegah terjadinya injuri atau kecelakaan kerja.

b) Komunitas

Seting tempat komunitas dapat mengakibatkan gangguan keamanan seperti


kegaduhan.kebisingan, pencahayaan yang kurang baik di tempat umum maupun
pusat bermain. Sanitasi lingkungan juga sangat berperan dalam peningkatan
keamanan individu dalam komunitas.
c) Tempat pelayanan kesehatan

Pusat pelayanan kesehatan dapat mengganggu keamanan seseorang baik bagi


petugas kesehatan maupun pasiennya. Bahaya dapat ditimbulkan karena peralatan,
kesalahan prosedur dan sebagainya. Hal ini perlu adanya standar operasional
prosedur yang haku dan diperbaharui di RS sehingga kebutuhan akan keamanan
dapat terpenuhi untuk semua yang ada dalam rumah sakit.

d) Temperatur

Perubahan suhu dan cuaca sangat berpengaruh terhadap keamanan seseorang.


Perlu adanya penyesuaian diri terhadap perubahan temperatur suhu yang ada
sehingga kebutuhan keamanan seseorang dapat terpenuhi.

e) Polusi

Polutan yang bebas terdapat di lingkungan ataupun di udara bebas akan


menggangu keamanan seeorang. Bahan kimia dalam produk kimia yang terdapat
baik di udara, air dan tanah akan menganggu ekosistem yang ada.

f) Sumber listrik

Pengaturan sumber-sumber listrik yang ada di rumah ataupun dimanapun sanagt


mutilak diperlukan untuk mencegah terjadinya sengatan listrik ataupun kebakaran.

g) Radiasi

Radiasi yang ada akan mengakibatkan terjadinya mutasi gen ataupun kematian sel
sehingga mengakibatkan tubuh seseorang menjadi rentan sehingga keamanan
seseorang dapat mengalami masalah.

4. Faktor Penyakit

Penyakit sanagi mempengaruhi seseorang untuk mengalami masalah dalam


pemenuhan kebutuhan keamanan. Penyakit seperti HIV/AIDS, hepatitis
merupakan penyakit yang dapat menjadikan tubuh untuk mengalami penurunan
yang drastis. Perlu adanya kewaspadaan yang baik dalam pengenalan hal tersebut,
termasuk tindakan pencegahan sehingga infeksi nosokomial tidak terjadi atau
dapat dicegah baik dalam seting RS, klinik ataupun keluarga.
5. Faktor Ketidak pengindahan tentang Keamanan

Hal ini berkaitan dengan kesadaran diri individu dalam pemenuhan kebutuhan
keamanan. Apabila standar prosedur telah dilakukan sesuai dengan kepatuhan
yang ada maka keamanan seseorang dapat tercipta.

Fungsi perawat lansia(gerontik) adalah; Guide persons of all ages toward a


healthy aging process (membimbing orang pada segala usia untuk mencapai masa
tua yang sehat), eliminate ageism (menghilangkan perasaan takut tua), respect the
tight of older adults and ensure other do the same (menghormati hak orang yang
lebih tua dan memastikan yang lain melakukan hal yang sama), overse and
promote the quality of service delivery (memantau dan mendorong kualitas
pelayanan), notice and reduce risks to health and well being (memerhatikan serta
menguragi resiko terhadap kesehatan dan kesejahteraan), teach and support
caregives (mendidik danmendorong pemberi pelayanan kesehatan), open channels
for continued growth (membuka kesempatan untuk pertumbuhan selanjutnya),
listen and support (mendengarkan dan memberi dukungan), offer optimism,
encouragement and hope (memberikan semangat,dukungan, dan harapan).
KESIMPULAN

1. lanjut usia adalah seseoramg yang telah memasuki usia 60 ke atas.


Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki tahapan
akhir dari fase kehidupannya.Didalam makanan alami yang kita makan
mengandung dua kelompok, yaitu zat gizi dan zat non gizi. Zat gizi terdiri dari
karbohidrat,lemak.protein.air.mineral,vitamin dan serat makanan.sedangkan pada
zat non gizi terdiri atas enzim: sintesase,hydrolase:bahan menyerupai vitamin
kartinin,glutation;dan pigmen:klorofil.flavonoid,.zat gizi esensial harus dimakan
karena tidak dapat disintesis oleh tubuh dan bila kekurangan dapat menimbulkan
gejala defisiensi. Perubahan fisiologis pada lanjut usia berkaitan dengan
kebutuhan zat gizi Menurut (Darmojo.2010) adapun perubahan fisiologis sebagai
berikut; komposisi tubuh, gigi dan mulut, indera pengecap dan pencium,
gastrointesternal dan hematologi.

2. Post Power Syndrome adalah gejala-gejala setelah berakhirnya


kekuasaan. Gejala ini umumnya terjadi pada orang-orang yang tadinya
mempunyai kekuasaan, namun ketika sudah tidak berkuasa lagi, seketika itu
terlihat gejala gejala kejiwaan yang biasanya bersifat negatif atau emosi yang
kurang stabil. Faktor-faktor penyebab Post Power Syndrome: Pensiun, PHK atau
pudarnya ketenaran seorang artis adalah salah satu dari faktor tersebut, kejadian
traumatik juga misalnya kecelakaan yang dialami oleh seorang pembalap, yang
menyebabkan kakinya harus diamputasi, Post-power syndrome hampir selalu
dialami terutama orang yang sudah lanjut usia dan pensiun dari pekerjaannya.
3. Keselamatan pasien (patient safery) adalah suatu sistem dimana rumah
sakit membuat asuhan pasien lebih aman, mencegah terjadinya cidera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Isu penting terkait keselamatan
(hospital risk) yaitu: keselamatan pasien; keselamatan pekerja (nakes):
keselamatan fasilitas (bangunan,peralatan); keselamatan lingkungan; keselamatan
bisnis. Elemen Patient Safery yaitu: Adverse drug events(ADE)/ medication errors
(ME) (ketidakcocokan obat/kesalahan pengobatan), Restraint use (kendali
penggunaan), Nosocomial infections (infeksi nosokomial), Surgical mishaps
(kecelakaan operasi), Pressure ulcers (tekanan ulkus). Blood product
safety/administration (keamanan produk darah/administrasi), Antimicrobial
resistance (resistensi antimikroba), Immunization program (program imunisasi),
Falls (terjatuh), Blood stream vascular catheter care faliran darah perawatan
kateter pembuluh darah), Systematic review, follow-up, and reporting of
patient/visitor incident reports (tinjauan sistematis, tindakan lanjutan, dan
pelaporan pasien/pengunjung laporan kejadian).

SARAN

Diharapkan dengan adanya makalah ini pembaca khususnya dapat memahami


tentang konsep gizi pada lansia, konsep post power syndrome dan keselamatan
pasien di lingkungan pelayanan Poli Klinik. Diharapkan dalam proses asuhan
medis ini tidak ada yang mengakibatkan cedera pada pasien, berupa Near Miss
atau Adverse Event (Kejadian Tidak Diharapkan/KTD).
DAFTAR PUSTAKA

1. http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/842/4/BAB%20II.pdf
2. http://dp2m.umm.ac.id/files/file/INFORMASI%20PROGRAM
%20INSENTIF%20RISTEK/NUTRISI%20LANSIA.pdf
3. http://eprints.umpo.ac.id/5441/3/BAB%202.pdf
4. http://repository.usm.ac.id/files/skripsi/F11A/2015/F.111.15.0117/
F.111.15.0117-05-BAB-II-20200212030704.pdf
5. https://www.academia.edu/37063886/
ASKEP_GERONTIK_DENGAN_KEAMANAN_DAN_KESELAMA
TAN_LANSIA
6. http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/
2017/11/MANAJEMEN-KESELAMATAN-PASIEN-Final-
DAFIS.pdf

Anda mungkin juga menyukai