Anda di halaman 1dari 62

MAKALAH

METODE DETEKDI DINI MASALAH GIZI AKIBAT KEKURANGAN


DAN KELEBIHAN ZAT GIZI MAKRO

OLEH:

NI PUTU EMI
NIM: P07131219029
SEMESTER: V
KELAS: A

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN
DENPASAR JURUSAN GIZI PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN
GIZI DAN DIETETIKA
2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmat-Nya makalah “Metode Deteksi Dini Masalah Gizi yang
Berhubungan dengan Zat Gizi Makro” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah Deteksi Dini
Masalah Gizi Makro dan Mikro pada semester V.

Penulis menyampaikan terimakasih kepada A. A. Gede Raka Kayanaya, SST,


M.Kes selaku dosen mata kuliah Deteksi Dini Masalah Gizi Makro dan Mikro yang telah
membimbing dalam proses perkuliahan, serta semua pihak yang telah membantu
dalam pembuatan makalah ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
karena keterbatasan pengetahuan serta kemampuan, untuk itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun agar dapat menjadi bahan evaluasi dalam
penulisan makalah berikutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk
semua pihak. Akhir kata penulis menyampaikan terima kasih.

Denpasar, 26 Agustus 2021

2
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................4
1.1 Latar Belakang...................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................5
1.3 Tujuan................................................................................................................5
1.4 Manfaat..............................................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................7
2.1 Konsep Penyebab Penyakit dan Riwayat Alamiah Penyakit....................................7
2.1.1 Konsep Penyebab Penyakit dan Riwayat Alamiah Penyakit.......................7
2.1.2 Konsep Penyebab Penyakit dan Riwayat Alamiah Masalah Gizi.............21
2.2 Metode Deteksi Dini Masalah Gizi yang Berhubungan Dengan Zat Gizi Makro...26
2.2.1 Gambaran Umum Zat Gizi Makro............................................................26
2.2.2 Metode Deteksi Dini Masalah Gizi Akibat Kekurangan Zat Gizi Makro. 28
2.2.3 Metode Deteksi Dini Masalah Gizi Akibat Kelebihan Zat Gizi Makro....41
BAB III PENUTUP.........................................................................................................59
3.1 Kesimpulan......................................................................................................59
3.2 Saran................................................................................................................59
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................60

3
BAB I
PENDAHULUAN

2.1.1 Latar Belakang

Nutrisi memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Nutrisi yang


dibutuhkan setiap manusia sama, tetapi dengan jumlah yang berbeda sesuai
dengan usia dan kebutuhan tubuh masing-masing manusia (Almatsier, 2001).
Masalah gizi merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia. Menurut Gizi
seimbang merupakan susunan makanan sehari-hari yang mengandung zat-zat
gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan gizi tubuh, yang
memperhatikan prinsip keragaman makanan, keamanan makanan, pentingnya
pola hidup aktif dan berolahraga dan pentingnya berat badan ideal. Asupan
gizi merupakan dapat mempengaruhi status gizi seseorang. Asupan gizi dapat
diperoleh dari zat gizi makro seperti karbohidrat, protein, lemak dan zat gizi
mikro berupa vitamin dan mineral.
Zat gizi makro adalah zat yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah besar. Zat
gizi yang termasuk dalam kelompok zat gizi makro adalah karbohidrat,
protein dan lemak. Ketiganya menyediakan energi agar dapat beraktivitas dan
menjalankan fungsinya. Makronutrien diukur dalam satuan gram, misalnya
sekian gram karbohidrat, lemak, atau protein. Karbohidrat dan protein
sebanyak 1 gram masing-masing menyediakan energi sebesar 4 kkal (kalori),
sedangkan 1 gram lemak menyumbangkan 9 kkal.
Karbohidrat berfungsi menyediakan energi bagi tubuh. Namun, zat gizi ini
juga berperan dalam proses pembentukan energi dan cadangannya. Dengan
menyimpan cadangan, tubuh tidak perlu mengambil energi dari pembakaran
lemak atau protein. Setelah karbohidrat habis, tubuh akan membakar lemak
untuk memperoleh energi. Lemak ini juga melindungi organ-organ vital,
menjadi insulator (penghantar panas) yang mempertahankan panas tubuh,
serta melarutkan dan membawa vitamin larut lemak. Protein merupakan zat
gizi makro yang menyusun berbagai jaringan tubuh. Protein juga diperlukan
untuk menjalankan metabolisme tubuh, menghasilkan hormon dan enzim,
serta menjaga keseimbangan asam dan basa di dalam tubuh.

4
Kebutuhan karbohidrat, lemak dan protein harian berbeda-beda menurut
usia, jenis kelamin, dan tingkat aktivitas fisik. Standar kebutuhan zat gizi ini
didasarkan atas Angka Kecukupan Gizi (AKG). Kekurangan maupun
kelebihan zat gizi makro dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan
tubuh dan menyebabkan malnutrisi.
Kurangnya asupan zat gizi makro akan menyebabkan defisit zat gizi
terutama energi dan protein yang akan memberikan dampak gangguan
kesehatan seperti Kurang Energi Protein (KEP) atau Kurang Energi Kronis
(KEK) yang dapat mengganggu fungsi tubuh serta lambatnya pertumbuhan.
Selain kekurangan zat gizi, kelebihan asupan zat gizi makro juga dapat
menyebabkan masalah kesehatan pada tubuh. Kelebihan asupan zat gizi
makro juga akan berdampak pada gangguan fungsi tubuh. Kelebihan asupan
zat gizi makro dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan berbagai macam
penyakit seperti gangguan pada jantung, diabetes sampai obesitas.
Malnutrisi akibat kekurangan atau kelebihan zat gizi makro akan
berdampak pada menurunnya fungsi tubuh, kecacatan, bahnkan kematian.
Untuk itu penting untuk dpaat mengetahui konsep penyebab terjadinya
penyakit serta riwayat alamiah penyakit. Dengan hal ini makan akan dapat
dilakukan upaya-upaya pencegahan terjadinya malnutrisi, salah satunya
adalah dengan pencegahan dengan cara deteksi dini masalah gizi yang dapat
terjadi akibat kekurangan maupun kelebihan zat gizi. Segingga dapat
mengurangi resiko terdampak penyakit.

2.1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimanakah konsep penyebab penyakit dan riwayat alamiah


penyakit ?
1.2.2 Bagaimanakah metode deteksi dini masalah gizi berhubungan dengan
zat gizi makro ?

2.1.3 Tujuan

1.3.1 Untuk mengetahui konsep penyebab penyakit dan riwayat alamiah


penyakit.

5
1.3.2 Untuk mengetahui metode deteksi dini masalah gizi yang
berhubungan dengan zat gizi makro.

2.1.4 Manfaat

1.4.1 Memenuhi tugas mata kuliah Dteksi Dini Masalah Gizi Makro dan
Mikro pada semester V
1.4.2 Memberikan informasi yang lebih lengkap terkait materi Konsep
Penyebab Penyakit & Riwayat Alamiah Penyakit serta Metode
Deteksi Dini Masalah Gizi Akibat Kekurangan atau Kelebihan Zat
Gizi Makro.

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Penyebab Penyakit dan Riwayat Alamiah Penyakit

2.1.5 Konsep Penyebab Penyakit dan Riwayat Alamiah Penyakit

Konsep Penyebab Penyakit

A. Trias Epidemilologi
Didalam epidemiologi deskriptif dipelajari bagaimana frekuensi penyakit
berubahmenurut perubahan variabel-variabel epidemiologi yang terdiri dari
orang (person), tempat (place) dan waktu (time). Epidemiologi terdapat
Hubungan asosiasi dalam bidang adalah hubungan keterikatan atau saling
pengaruh antara dua atau lebih variabel, dimana hubungan tersebut dapat
bersifat hubungan sebab akibat maupun yang bukan sebab akibat.
Dalam kaitanya dengan penyakit terdapat hubungan karasteristik
antaraKarakteristik Segitiga Utama. Yaitu host, agent dan improvment. Serta
terdapat interaksi antar variabel epidemologi sebagai determinan penyakit.
Ketiga faktor dalam trias epidemiologi terus menerus dalam keadaan
berinteraksi satu sama lain. Jika interaksinya seimbang, terciptalah keadaan
seimbang. Begitu terjadi gangguan keseimbangan, muncul penyakit.
Terjadinya gangguan keseimbangan bermula dari perubahan unsur-unsur trias
itu. Perubahan unsur trias yang petensial menyebabkan kesakitan tergantung
pada karakteristik dari ketiganya dan interakksi antara ketiganya.
 Karakteristik Penjamu
Pejamu adalah tempat yang dinvasi oleh penyakit. Penjamu dapat berupa
manusia, hewan atapun tumbuhan. Manusia mempunyai karakteristik
tersendiri dalam menghadapi ancaman penyakit, yang bisa berupa:
a. Resistensi: kemampuan dari penjamu untuk bertahan terhadap suatu
infeksi. Terhadap suatu infeksi kuman tertentu, manusia mempunyai
mekanisme pertahanan tersendiri dalam menghadapinya.
b. Imunitas: kesanggupan host untuk mengembangkan suatu respon
imunologis, dapat secara alamiah maupun perolehan (non-ilmiah),

7
sehingga tubuh kebal terhadap suatu penyakit tertentu. Selain
mempertahankan diri, pada jenis-jenis penyakit tertentu mekanisme
pertahanan tubuh dapat menciptakan kekebalan tersendiri. Misalnya
campak, manusia mempunyai kekebalan seumur hidup, mendapat
imunitas yang tinggi setelah terserang campak, sehingga seusai kena
campak sekali maka akan kebal seumur hidup.
c. Infektifnes (infectiousness): potensi penjamu yang terinfeksi untuk
menularkan penyakit kepada orang lain. Pada keadaan sakit maupun
sehat, kuman yang berada dalam tubuh manusia dapat berpindah
kepada manusia dan sekitarnya.
 Karakteristik Agen
Agen adalah penyebab penyakit yang dapat terdiri dari berbagai jenis
yaitu
agen biologis (virus, bakteri, fungi, riketsia, protozoa, metazoa); Agen nutrien
(Protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, dan air); Agen fisik: Panas,
radiasi, dingin, kelembaban, tekanan; Agen kimia (Dapat bersifat endogenous
seperti asidosis, diabetes (hiperglikemia), uremia, dan eksogenous (zat kimia,
alergen, gas, debu, dll.); dan agen mekanis (Gesekan, benturan, pukulan yang
dapat menimbulkan kerusakan jaringan). Adapun karakteristik dari agen
berupa :
a. Infektivitas: kesanggupan dari organisma untuk beradaptasi sendiri
terhadap lingkungan dari penjamu untuk mampu tinggal dan
berkembangbiak (multiply) dalam jaringan penjamu. Umumnya
diperlukan jumlah tertentu dari suatu mikroorganisma untuk mamppu
menimbulakan infeksi terhadap penjamunya. Dosis infektivitas
minimum (minimum infectious dose) adalah jumlah minimal
organisma yang dibutuhkan untuk menyebabkan infeksi. Jumlah ini
berbeda antara berbagai spesies mikroba dan antara individu.
b. Patogenensis: kesanggupan organisma untuk menimbulakan suatu
reaksi klinik khusus yang patologis setelah terjadinya infeksi pada
penjamu yang diserang. Dengan perkataan lain, jumlah penderita
dibagi dengan jumlah orang yang terinfeksi.hampir semua orang yang

8
terinfeksi dengan virus smaalpox menderita penyakit (high
pathogenenicity), swedangkan orang yang terinfeksi polivirus tidak
semua jatuh sakit (low pathogenenicity).
c. Virulensi: kesanggupan organisma tertentu untuk menghasilakan
reaksi patologis yang berat yang selanjutnya mungkin menyebabkan
kematian. Virulensi kuman menunjukkan beratnya (suverity)
penyakit.
d. Toksisitas: kesanggupan organisma untuk memproduksi reaksi kimia
yang toksis dari substansi kimia yang dibuatnya. Dalam upaya
merusak jaringan untuk menyebabkan penyakit berbagai kuman
mengeluarkan zat toksis.
e. Invasitas: kemampuan organisma untuk melakukan penetrasi dan
menyebar setelah memasuki jaringan.
f. Antigenisitas: kesanggupan organisma untuk merangsang reaksi
imunologis dalam penjamu. Beberapa organisma mempunyai
antigenesitas lebih kuat dibanding yang lain. Jika menyerang aliran
darah (virus measles) akan lebih merangsang immunoresponse dari
yang hanya menyerang permukaan membran (gonococcuc).
Menurut Murti, B.(2003) dalam Izmah (2018), dalam menyebabkan
penyakit agen harus memiliki kemampuan dari karakteristik diatas. Akan
tetapi masing-masing agen terkadang memiliki karakteristik yang terendah
atau terkuat dari jenis-jenis karakteristik.
Tabel 1. Urutan Penyakit Infeksi Utama Menurut Karakteristik
Agennya

Urutan relatif Infektivitas Patogenesitas Virulensi

Tinggi Cacar Cacar Rabies


Campak Rabies Cacar
Chikenpox Campak Chikenpox Tuberkulosis
Poliomyelitis Common cold Hantavirus
Ebola AIDS Ebola

9
Ebola AIDS

Sedang Rubella Rubella Poliomyelitis


Mumps Mumps
Common cold

Rendah Tuberkulosis Poliomyelitis Campak


Tuberkulosis

Sangat Lepra Lepra Rubella


rendah Chikenpox
Common cold

 Karakteristik Lingkungan
a. Topografi: situasi lingkungan tertentu, baik yang natural maupun
buatan manusia yang mungkin mempengaruhi terjadinya dan
penyebaran suatu penyakit tertentu.
b. Geografis: keadaan yang berhubungan dengan struktur geologi dari
bumi yang berhubungan dengan kejadian penyakit.

Didalam epidemiologi dekriptif, terdapat tiga variabel determinan yaitu


orang, tempat dan waktu. Frekuensi penyakit berubah menurut perubahan
variabel-variabel epidemiologi tersebut

 Person (Orang)
Variabel orang yang mempengaruhi penyakit adalah karakteristik dan atribut
dari anggota populasi. Perbedaaan rate penyakit berdasarkan orang
menunjukkan sumber paparan yang potensial dan berbeda-beda pada faktor
host. Adapun beberapa variabel orang adalah :
a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Kelas sosial
d. Jenis pekerjaan
e. Penghasilan
f. Ras dan suku bangsa (etnis)

10
g. Agama
h. Status perkawinan
i. Besarnya keluarga – umur kepala keluarga
j. Struktur keluarga
k. Paritas
 Place (Tempat)
Varibel tempat adalah karakteristik lokal dimana orang hidup, bekerja dan
berkunjung. Perbedaan insiden berdasarkan tempat menunjukkan perbedaan
susunan penduduk atau lingkungan mereka tinggal. Pentingnya variabel
tempat di dalam mempelajari etiologi suatu penyakit dapat digambarkan
dengan jelas pada penyelidikan wabah dan penyelidikan terhadap kaum
migran.
Beberapa varibel tempat :
a. Batas-batas daerah pemerintahan (desa, kecamatan, kabupaten/kota,
provinsi).
b. Kota dan pedesaan
c. Daerah atau tempat berdasarkan batas-batas alam
d. Negara-negara
e. Regional – global
 Time (Waktu)
Variabel waktu dapat menganalisis perbedaan cara pandang dari kurva
epidemik. Hubungan antara waktu dan penyakit merupakan kebutuhan dasar
di dalam analisis epidemiologi oleh karena perubahan penyakit menurut
waktu menunjukkan faktor etiologis.
Beberapa pola penyakit :
a. Sporadis (jarang terjadi dan tidak teratur)
b. Penyakit endemis (kejadian dapat diprediksi)
c. Epidemis (kejadian yang tidak seperti biasa/KLB)
d. Propagating epedemik (penyakit yang terus meningkat sepanjang waktu)
B. Interaksi Agen, Host, dan Lingkungan
Faktor agent adalah penyebab penyakit berupa biologis, fisik, kimia. Faktor
host adalah karakteristik personal, perilaku, presdisposisi genetik dan

11
immmunologic. Faktor lingkungan adalah keadaan eksternal (selain agent) yang
mempengaruhi proses penyakit baik berupa fisik, biologis atau sosial.

Gambar 1 : Segitiga Epidemiologi

Keseimbangan dari segitiga epidemiologi diatas akan mempengaruhi status


kesehatan. Berlaku untuk penyakit menular maupun tidak menular.

Gambar 2 : Interaksi Segitiga Epidemiologi

 Interaksi antara agen penyakit dan lingkungan


Keadaan dimana agen penyakit langsung dipengaruhi oleh lingkungan dan
terjadi pada saat pre-patogenesis dari suatu penyakit. Misalnya: Viabilitas bakteri
terhadap sinar matahari, stabilitas vitamin sayuran di ruang pendingin, penguapan
bahan kimia beracun oleh proses pemanasan.
 Interaksi antara Host dan Lingkungan
Keadaan dimana manusia langsung dipengaruhi oleh lingkungannya pada
fase
pre-patogenesis. Misalnya: Udara dingin, hujan, dan kebiasaan membuat dan
menyediakan makanan.
 Interaksi antara Host dan Agen penyakit Keadaan

12
Keadaan dimana agen penyakit menetap, berkembang biak dan dapat
merangsang manusia untuk menimbulkan respon berupa gejala penyakit.
Misalnya: Demam, perubahan fisiologis dari tubuh, pembentukan kekebalan,
atau mekanisme pertahanan tubuh lainnya.
Interaksi yang terjadi dapat berupa sembuh sempurna, cacat, ketidakmampuan,
atau kematian.
 Interaksi Agen penyakit, Host dan Lingkungan Keadaan
Keadaan dimana agen penyakit, manusia, dan lingkungan bersama-sama
saling mempengaruhi dan memperberat satu sama lain, sehingga
memudahkan agen penyakit baik secara langsung atau tidak langsung masuk
ke dalam tubuh manusia. Misalnya: Pencemaran air sumur oleh kotoran
manusia, dapat menimbulkan Water Borne Disease.

Riwayat Alamiah Penyakit

A. Definisi Riwayat Alamiah Penyakit


Riwayat alamiah penyakit adalah perkembangan penyakit secara alamiah,
tanpa ikut campur tangan medis atau intervensi kesehatan lainnya. Riwayat
alamiah penyakit (natural history of disease) adalah deskripsi tentang
perjalanan waktu dan perkembangan penyakit pada individu, dimulai sejak
terjadinya paparan dengan agen kausal hingga terjadinya akibat penyakit,
seperti kesembuhan atau kematian, tanpa terinterupsi oleh suatu intervensi
preventif maupun terapetik (CDC, 2010 dalam Ismah, 2018).
Manfaat yang diperoleh dari riwayat alamiah penyakit, yaitu:
1. Untuk diagnostik: masa inkubasi dapat dipakai sebagai pedoman
penentuan jenis penyakit, misalnya jika trejadi KLB (Kejadian Luar
Biasa).
2. Untuk pencegahan: dengan mengetahui kuman patologi penyebab dan
rantai perjalanan penyakit dapat dengan mudah dicari titik potong
yang penting dalam upaya pencegahan penyakit. Dengan mengetahui
riwayat penyakit dapat trelihat apakah penyakit itu perlangsungannya
akut ataukah kronik. Tentu berbeda upaya pencegahan yang
diperlukan untuk penyakit yang akut dibanding dengan kronik.

13
3. Untuk terapi: intervensi atau terapi hendaknya biasanya diarahkan ke
fase pasling awal. Pada tahap perjalanan awal penyakit itu terapi tepat
sudah perlu diberikan. Lebih awal terapi akan lebbih baik hasil yang
diharapkan. Keteralambatan diagnosis akan berkaitan dengan
keterlambatan terapi.

Pengetahuan mengenai Riwayat Alamiah Penyakit (RAP) merupakan


dasar untuk

melakukan upaya pencegahan. RAP dan hasil pemeriksaan fisik akan


mengarahkan pemeriksa (tenaga kesehatan) untuk menetapkan diagnosis dan
kemudian memahami bagaimana perjalanan penyakit yang telah didiagnosis.
Hal ini penting untuk dapat menerangkan tindakan pencegahan, keganasan
penyakit, lama kelangsungan hidup penderita, atau adanya gejala sisa berupa
cacat atau carrier. Informasi-informasi ini akan berguna dalam strategi
pencegahan, perencanaan lama perawatan, model pelayan yang akan
dibutuhkan kemudian, dan lain sebagainya (ISMAH, 2018).

B. Tahap Riwayat Alamiah Penyakit


Beberapa tahapan Riwayat Alamiah Penyakit adalah Tahap Prepatogenesis,
Tahap Patogenesis dan Tahap Pasca Patogenesis: Sembuh, Kronik/ Karier,
Cacat, Mati (ISMAH, 2018).

Gambar 3 : Riwayat perjalanan Penyakit Pada Manusia.


1. Tahap Prepatogenesis

14
Pada tahap ini individu berada dalam keadaan normal sehat tetapi mereka
pada dasarnya peka terhadap kemungkinan terganggu oleh serangan agen
penyakit (stge of suseptibility). Walaupun demikian pada tahap ini
sebenarnya telah terjadi interaksi antara penjamu dengan bibit penyakit .
tetapi interaksi ini masih terjadi di luar tubuh, dalam arti bibit penyakit
masih ada di luar tubuh penjamu di mana para kuman mengembangkan
potensi infektifitas, siap menyerang penjamu. Pada tahap ini belum ada
tanda-tanda sakit sampai sejauh daya tahan tubuh penjamu masih kuat.
Namun begitu penjamunya ‘lengah’ ataupun memang bibit penyakit
menjadi lebih ganas, ditambah dengan kondisi lingkungan yang kurang
menguntungkan penjamu, maka keadaan segera dapat berubah. Penyakit
akan melanjutkan perjalanannya memasuki fase berikutnya, tahap
patogenesis.
Secara ringkas, gambaran tahap prepatogenesis, yaitu:
a. Kondisi Host masih normal/sehat
b. Sudah ada interaksi antara Host dan Agent, tetapi Agent masih diluar
Host
c. Jika interaksi Host, Agent dan Environment berubah maka Host jadi
lebih rentan atau Agent jadi lebih virulen jadi Agent masuk ke Host
(memasuki tahap patogenesis)
2. Tahap Patogenesis
ini meliputi 4 sub-tahap, yaitu: Tahap Inkubasi, Tahap Dini, Tahap
Lanjut, dan Tahap Akhir.
a. Tahap Inkubasi
Tahap inkubasi merupakan tenggang waktu antara masuknya
bibit penyakit ke dalam tubuh yang peka terhadap penyakit,
sampai timnulnya gejala penyakit. tahap ini ditandai dengan
mulai masuknya Agent ke dalam Host, sampai timbulnya
gejala sakit. Masa inkubasi ini bervariasi antara satu penyakit
dengan penyakit lainnya. Dan pengetahuan tentang lamanya
masa inkubasi ini sangat penting, tidak sekedar sebgai
pengetahuan riwayat penyakit, tetapi berguna untuk informasi

15
diagnosis. Setiap penyakit mempunyai mas inkubasi tersendiri,
dan pengetahuan mas inkubasi dapat dipakai untuk
indentifikasi jenis penyakitnya.
b. Tahap Dini
Tahap ini mulai dengan munculnya gejala penyakit yang
kelihatannya ringan. Tahap ini sudah mulai menjadi masalah
kesehatan karena sudah ada gangguan patologis (pathologic
changes), walaupun penyakit masih dalam masa subklinik
(stage of subclinical disease). Seandainya memungkinkan,
pada tahap ini sudah diharapkan diagnosis dapat ditegakkan
secara dini.
c. Tahap Lanjut
Merupakan tahap di mana penyakit bertambah jelas dan
mungkin tambah berat dengan segala kelainan patologis dan
gejalanya (stage of clinical disease). Pada tahap ini penyakit
sudah menunjukkan gejala dan kelainan klinik yang jelas
sehingga diagnosis sudah realtif mudah ditegakkan. Saatnya
pula, setelah diagnosis ditegakknan, diperlukan pengobatan
yang tepat untuk menghindari akibat lanjut yang kurang baik.
d. Tahap Akhir
Berakhirnya perjalanan penyakit dapat berada dalam lima
pilihan keadaan, yaitu:
1) Sembuh sempurna, yakni bibit penyakit menghilang
dan tumbuh menjadi pulih, sehat kembali.
2) Sembuh dengan cacat, yakni bibit penyakit
menghilang, penyakit sudah tidak ada, tetapi tubuh
tidak pulih sepenuhnya, meninggalkan bekas gangguan
yang permanen berupa cacat.
3) Karier, di mana tubuh penderita pulih kembali, namun
bibit penyakit masih tetap ada dalam tubuh tanpa
memperlihatkan gangguan penyakit.
4) Penyakit tetap berlangsung secara kronik.

16
5) Berakhir dengan kematian.
C. Konsep Tingkat Pencegahan Penyakit
Salah satu kegunaan pengetahuan tentang riwayat alamiah penyakit adalah
untuk dipakai dalam merumuskan dan melakukan upaya pencegahan.
Artinya, dengan mengetahui perjalanan penyakit ddari waktu ke waktu serta
perubahan-perubahan terjadi di setiap masa/fase tersebut, dapat dipikirkan
upaya-upaya pencegahan apa yang sesuai dan dapat dilakukan sehingga
penyakit itu dapat dihambat perkembangannya sehingga tidak ,enjadi lebih
berat, bahkan dapat disembuhkan. Upaya pencgahan yang dapat dilakukan
akan sesuai dengan perjalan penyakit. Ada berbagai bentuk tingkat
pencegahan ada yang menggolongkan menjadi 3, 4 dan 5 (ISMAH, 2018).
1. Primary, Secondary, and Tertiary Prevention Pencegahan
Primary prevention adalah pencegahan pada tahapan susceptibility
sebelum patogen menyerang tubuh. Tujuan utamanya adalah mengurangi
insiden penyakit pada masyarakat. Contoh program imunisasi .
Secondary Prevention adalah pencegahan pada subliclinical pada orang
yang menjadi karier namun tidak menunjukkan gejala. Tujuan utamanya
yaitu mengurangi kejadian kegawatan penyakit. Misal skirining kanker
Tertiary Prevention adalah pencegahan pada fase klinis. Pencegahan ini
adalah untuk mengurangi keganasan penyakit dan mencegah kecacatan.
2. Beaglehole (WHO, 1993) dalam (Ismah, 2018), membagi upaya
pencegahan menjadi 3 bagian : Pencegahan Tingkat Awal (Priemordial
Prevention) yaitu pada pre patogenesis, Pencegahan Tingkat Pertama
(Primary Prevention) yaitu health promotion dan general and specific
protection , Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention) yaitu
early diagnosis and prompt treatment dan Pencegahan Tingkat Ketiga
(Tertiary Prevention) yaitu dissability limitation. Untuk lebih lanjut,
akam diuraikan.
3. Pencegahan Lima Tingkat
Pencegahan yang dilakukan pada setiap tingkat itu meliputi 5 bentuk
upaya pencegahan sebagai berikut:
1) Pencegahan Tingkat Awal (Priemordial Prevention)

17
a. Pemantapan Status Kesehatan (Underliying Condition)
2) Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
a. Promosi Kesehatan (Health Promotion)
b. Pencegahan Khusus
3) Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
a. Diagnosis Awal dan Pengobatan Tepat (Early diagnosis and
prompt treatment)
b. Pembatasan Kecacatan (Disability limitation)
4) Rehabilitasi (Rehabilitation)
Lebih lanjut pada setiap bentuk upaya pencegahan itu dapat
diberikan beberapa contoh. Contoh-contoh upaya pencegahan yang
dapat dilakukan pada setiap bentuk upaya pencegahan adalah :
a. Pemantapan Status Kesehatan
 Pemakaian makanan bergizi rendah lemak jenuh
 Pengendalian pelarangan merokok
 Promosi Kesehatan
 Pendidikan kesehatan, penyebaran informasi kesehatan
 Konsultasi gizi
 Penyediaan air bersih
 Pembersihan lingkungan/sanitasiKonsultasi genetik
 Olahraga secara teratur
b. Pencegahan Khusus
 Pemberian imunisasi dasar
 Pemberian vitamin A, tablet penambah zat besi
 Perlindungan kerja terhadap bahan berbahaya (hazard
protection)
 Isolasi terhadap penderita penyakit menular, misal yang
terkena flu burung
 Perlindungan terhadap bahan-bahan yang bersifat
karsinogenik, bahan- bahan racun maupun alergi
 Pengendalian sumber-sumber pencemaran.

18
c. Diagnosis Awal dan Pengobatan Tepat
 Screening (Penyaringan)
 Pejejakan kasus (case finding)
 Pemeriksaan khusus (laboraturium dan tes)
 Pemberian obat yang rational dan efektif
d. Pembatasan Kecacatan
 Operasi plastik pada bagian/organ yangcacat
 Pemasangan pin pada tungkai yang patah
 Pencegahan terhadap komplikasi dan kecacatan
 Pengobatan dan perawatan yang sempurna agar penderita
sembuh dan tak terjadi komplikasi
 Perbaikan fasilitas kesehatan sebagai penunjang untuk
dimungkinkan pengobatan dan perawatan yang lebih
intensif
e. Rehabilitasi
 Rehabilitasi fisik: rehabilitasi cacat tubuh dengan
pemberian alat bantu/protase
 Rehabilitasi sosial: rumah perawatan wanita tua/jompo
 Rehabilitasi kerja (vocational services): Rehabilitasi masuk
ke tempat kerja sebelumnya, mengaktikan optimum organ
yang cacat
 Menyadarkan masyarakat untuk menerima mereka kembali
dengan memberikan dukungan moral setidaknya bagi yang
bersangkutan untuk bertahan
 Mengusahakan perkampungan rehabilitasi sosial sehingga
setiap penderita yang telah cacat mampu mempertahankan
diri
 Penyuluhan dan usaha-usaha kelanjutan yang harus tetap
dilakukan seseorang setelah ia sembuh dari suatu penyakit
Upaya pencegahan ini diarahkan kepada masyarakat sesuai dengan kondisi atau
masalah masyarakat masing-masing dan biasnya dibagi menurut kelompok target

19
tertentu. Gambaran arah pencegahan sesuai dengan target dapat dilihat pada tabel
berikut (ISMAH, 2018).
Tabel 2. Tingkat Pencegahan dan Kelompok Targetnya Menurut Fase
Penyakit

Tingkat Fase Penyakit Kelompok Target


pencegahan

Primordial Kondisi normal Populasi total dan


kesehatan kelompok terpilih

Primary Keterpaparan faktor Populasi total dan


penyebab khusus kelompok terpilih dan
individu sehat

Secondary Fase patogenisitas awal Pasien


Fase

Tertiary Fase lanjut penyakit Pasien


(pengobatan dan
rehabilitasi)

Tabel 3. Hubungan Kedudukan Riwayat Perjalanan Penyakit, Tingkatan


Pencegahan dan Upaya Pencegahan

Riwayat Tingkatan Upaya Pencegahan


Penyakit Pencegahan Underlying

Pre-patogenesis Primordial Prevention Underlying Condition


Primary Prevention Health Promotion
Specific Protection

Patogenesis Secondary Prevention Early Diagnosis and


Prompt Treatment
Disability Limitation

20
Tertiary Prevention Rehabilitation

D. Spectrum of Disease and “the Iceberg”


1. Spectrum of Disease Rentang
Rentang dan variasi gejala manifestasi dan keparahan dari penyakit
infeksi disebut gradient penyakit sedangkan pada non infeksi disebut
dengan spektrum penyakit.
Spektrum penyakit adalah berbagai variasi tingkatan simptom dan
gejala penyakit menurut intensitas infeksi atau penyakit pada
penderitanya, dari yang ringan, sedang sampai yang berat dengan
komplikasi pada organ-organ vital (ISMAH, 2018).
2. The Iceberg Metaphor
Beberapa spektrum penyakit terkadang seperti iceberg, yaitu
masalah dalamjumlah besar namun tidak terlihat. Fenomena ini dapat
terjadi pada penyakit kronis, kecelakan, penyakit infeksi baik secara
kuantitatif maupun kualitatif. Penyakit yang tidak terdeteksi seperti
penampakan es bawah laut. Dengan skrining dan deteksi dini akan dapat
mengontrol penyakit menjadi lebih baik.
Seperti dalam kasus, ada beberapa usaha yang gagal dari percobaan
bunuh diri yang tercatat. Namun jumlah orang yang ingin bunuh diri
akibat depresi penyakit yang mereka derita terjadi lebih banyak namun
tidak tercatat. Dengan perawatan yang tepat jumlah depresi dengan
kecenderungan orang yang ingin bunuh diri ini akan berkurang. Skrining
pada penyakit yang tak terlihat akan terdetekdi san menjadi bagian
program pengendalian penyakit yang efektif (ISMAH, 2018).

2.1.6 Konsep Penyebab Penyakit dan Riwayat Alamiah Masalah Gizi

Riwayat Alamiah Penyakit Gizi


Dalam proses pathogenesis penyakit, Jelliffe dan Florentino Salon (1977)
telah membuat bagan mengenai pathogenesis dari penyakit kurang gizi, yang
berdasarkan penelitian dan pengalaman di negara sedang berkembang, seperti
terlihat pada gambar berikut (Suantara & Suriaoka, 2018).

21
Gambar 4 : Pathogenesis dari Penyakit Kurang Gizi
Proses diatas terjadi akibat faktor lingkungan dan faktor manusia (Host)
yang didukung oleh kekurangan zat-zat gizi. Akibat kekurangan zat gizi, maka
simpanan zat gizi didalam tubuh digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Apabila
keadaan ini berlangsung lama maka simpanan zat gizi akan habis dan akhirnya
terjadi kemerosotan jaringan. Pada saat ini orang sudah dapat dikatakan
malnutrisi, walaupun baru hanya ditandai dengan penurunan berat badan dan
pertumbuhan yang terhambat (stunting) (Suantara & Suriaoka, 2018).
Dengan meningkatnya defisiensi zat gizi, selanjutnya akan muncul
perubahan-perubahan biokimia, seperti rendahnya zat-zat gizi dalam darah yaitu :
rendahnya kadar Haemoglobin (Hb), serum, rendahnya serum Vitamin A. Dapat
pula terjadi peningkatan beberapa hasil metabolisme seperti meningkatnya asam
laktat dan piruvat pada kekurangan thiamine. Apabila keadaan ini berlangsung
lama, maka akan terjadi perubahan fungsi tubuh seperti ditandai dengan
menurunnya fungsi-fungsi syaraf yaitu lemah, pusing, kelelahan, nafas pendek
dan lain-lainnya (Suantara & Suriaoka, 2018).
Keadaan ini akan berlanjut terus yang diikuti dengan tanda-tanda klasik
dari kekurangan gizi, seperti kebutaan dan photopobia, nyeri lidah pada penderita
kekurangan riboflavin, kaki kaku pada defisiensi thiamine dan lain- lain.
Selanjutnya keadaan ini akan diikuti dengan luka pada anatomi seperti
xeropthalmia dan keratomalasia pada kekurangan Vitamin A Angular Stomatitis

22
pada kekurangan riboflavin, oedema dan kulit luka pada penderita kwashiorkor
(Suantara & Suriaoka, 2018).
Konsep alamiah terjadinya penyakit sering diterapkan dalam mempelajari
terjadinya penyakit kekurangan gizi, seperti terlihat pada gambar.

Gambar 5 : Konsep Alamiah terjadinya Penyakit Diterapkan Pada Masalah Gizi


Penduduk
Konsep Penyebab Terjadinya Masalah Gizi
A. Masalah Gizi
Menurut pandangan epidemiologi masalah gizi terjadi akibat interaksi
antara orang/anak (sebagai host), makanan yang dimakan (sebagai agent), dan
lingkungan disekitar tempat tinggal (sebagai environment).
Dari sudut pandang perencanaan, gambaran yang sederhana dan sering
digunakan adalah menurut Call & Levinson, 1973 seperti yang terlihat pada
gambar 6 tentang penyebab timbulnya masalah gizi (Suantara & Suriaoka, 2018).

23
Gambar : 6 Beberapa Penyebab Dari Masalah Gizi

B. Pencegahan
Pencegahan mempunyai suatu pengertian, mengambil tindakan terlebih
dahulu sebelum kejadian. Dalam mengambil langkah-langkah untuk pencegahan,
haruslah didasarkan pada keterangan yang ada dan bersumber dari hasil analisa
penelitian epidemiologis (Suantara & Suriaoka, 2018). Dalam kaitannya dengan
epidemiologi pencegahan masalah gizi, dapat dilihat dan diberikan intervensi pada
beberapa tingkat yaitu :

Pencegahan I : Peningkatan keadaan kesehatan Pencegahan khusus untuk penyakit


tertentu.

Penegahan II : Diagnose tahap awal/dini dan perkiraan treatment untuk


penyembuhan dan mengurangi kecacatan.

Pencegahan III : Rehabilitasi untuk pemulihan kondisi seperti normal kembali dan
mencegah terulangnya kejadian penyakit.

24
C. Lima Tingkatan Pencegahan
Sebagaimana yang ditulis oleh Leavell & Clark terdapat 5 tingkatan
pencegahan untuk diterapkan dan pencegahan dan penanggulangan masalah gizi,
yaitu :
a. Masa Pra Pathogenesis
1) Peningkatan Kesehatan
Usaha-usaha yang dapat dilakukan adalah :
 Penyuluhan gizi yang intensif
 Penggalakan ASI dan makanan tambahan untuk bayi/balita
 Pemenuhan kebutuhan gizi sehari-hari
 Standard mutu gizi yang terjamin
 Perlindungan keselamatan makanan.
 Pemberian makanan di sekolah-sekolah
 Pemberian makanan pada buruh dipabrik/perusahaan
 Pemenuhan kebutuhan pokok : makanan, air bersih, jamban,
pakaian, perumahan dan lain-lain.
b. Perlindungan Khusus (Specific Protection)
1) Perlindungan khusus terhadap : bayi, balita, ibu hamil dan ibu
menyusui
2) Fortifikasi bahan makanan (misalnya iodisasi garam)
3) Suplementasi zat gizi tertentu (misalnya pemberian kapsul vitamin A)
4) Immunisasi
5) Penggalakkan penggunaan ASI dan makanan tambahan untuk bayi dan
balita
c. Diagnose dini, pengobatan cepat dan tepat (Early Diagnosis and
Prompt Treatment)
1) Penimbangan balita setiap bulan sekali
2) Survei gizi secara periodik
3) Pemeriksaan anthropometri, klinik, biokimia yang teratur
4) Pemberian Kapsul Vitamin A dosis tinggi pada anak dengan gejala
xeropthalamia

25
5) Pemberian tablet besi (Fe) pada ibu hamil dan ibu menyusui yang
anemia
6) Larutan gula garam (oralit) pada anak yang diare
d. Masa Pathogenesis
1) Membatasi Cacat (Disability Limitation)
a. Perawatan khusus KEP berat (Kwarsiorkor/Marasmus)
b. Tempat-tempat penampungan penderita kelaparan dan HO
2) Pemulihan Kesehatan (Rehabilitation)
a. Penyuluhan Gizi
b. Mental feeding (Usaha memperbaiki perkembangan mental anak)
c. Memperbaiki lingkungan hidup (biologis, fisik, dan sosial) dan cara
hidup
d. Persediaan pangan bergizi yang cukup
e. Melembagakan kebiasaan pemberian makanan dan kesehatan yang
baik

2.2 Metode Deteksi Dini Masalah Gizi yang Berhubungan Dengan Zat Gizi
Makro

2.2.1 Gambaran Umum Zat Gizi Makro

A. Pengertian Zat Gizi Makro


Zat Gizi Makro adalah makanan utama yang membina tubuh dan memberi
energi. Zat gizi makro dibutuhkan dalam jumlah besar dengan satuan gram
(g). Zat gizi makro terdiri atas karbohidrat, lemak, dan protein.Zat gizi makro
terdiri atas karbohidrat, lemak, dan protein.
B. Klasifikasi Zat Gizi Makro
Zat gizi makro dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu karbohidrat, protein,
dan lemak.
1. Karbohidrat
Karbobidrat merupakan zat gizi makro yang meliputi gula, pati dan
serat. Gula dan pati memasok energi berupa glukosa, yaitu sumber
energi utama untuk sel-sel darah merah, otak, sistem saraf pusat,

26
plasenta dan janin. Glukosa dapat pula disimpan dalam bentuk
glikogen dalam hati dan otot, atau diubah menjadi lemak tubuh ketika
energi dalam tubuh berlebih. Gula tergolong jenis karbohidrat yang
cepat dicerna dan diserap dalam aliran darah sehingga dapat langsung
digunakan tubuh sebagai energi. Pati termasuk jenis karbohidrat yang
lama dicerna dan diserap darah, karena perlu dipecah dulu oleh enzim
pencernaan menjadi gula, sebelum dapat digunakan tubuh sebagai
energi, tetapi ada beberapa jenis pati yang tahan terhadap enzim
pencernaan (Desthi, 2019).
Sementara serat adalah jenis karbobidrat yang tidak dapat dicerna,
sebab tidak dapat dipecah oleh enzim pencernaan, sehingga relatif
utuh ketika melewati usus besar. Serat membantu memberikan
perasaan kenyang, penting untuk mendorong buang air besar yang
sehat, dan menurunkan risiko penyakit jantung coroner (Desthi,
2019).
2. Protein
Protein merupakan komponen struktur utama seluruh sel tubuh dan
berfungsi sebagai enzim, hormon, dan molekul-molekul penting lain.
Protein dikenal sebagai zat gizi yang unik sebab menyediakan asam-
asam amino esensial untuk membangun sel-sel tubuh maupun sumber
energi. Karena menyediakan "bahan baku" untuk membangun tubuh,
protein disebut zat pembangun (Desthi, 2019).
Protein terbentuk dari asam-asam amino dan bila asamasam amino
tersebut tidak berada dalam keseimbangan yang tepat, kemampuan
tubuh untuk menggunakan protein akan terpengaruh. Jika asam-asam
amino yang dibutuhkan untuk sintesis protein terbatas, tubuh dapat
memecah protein tubuh untuk memperoleh asam-asam amino yang
dibutuhkan. Kekurangan protein memengaruhi seluruh organ dan
terutama selama tumbuh kembang sehingga asupan protein kualitas
tinggi yang memadai untuk kesehatan (Desthi, 2019).
3. Lemak

27
Lemak merupakan zat gizi makro, yang mencakup asam lemak dan
trigliserida. Lemak adalah zat gizi yang padat energi (9 kkal per gram)
sehingga lemak penting untuk menjaga keseimbangan energi dan
berat badan. Lemak menyediakan medium untuk penyerapan vitamin-
vitamin larut lemak (vitamin A, D, E, K). Di dalam makanan, lemak
berfungsi sebagai pelezat makanan sehingga orang cenderung lebih
menyukai makanan berlemak. Tubuh manusia tidak dapat membuat
asam lemak omega-6 dan omega-3 sehingga asam lemak ini adalah
zat yang esensial (Desthi, 2019).

2.2.2 Metode Deteksi Dini Masalah Gizi Akibat Kekurangan Zat Gizi
Makro

A. Kurang Energi Protein (KEP)


Kurang enrgi protein Disebut juga dengan istilah PEM (Protein Energy
Malnutrition) dan PMC (Protein Calori Malnutrition) yang menurut Jelliffe
adalah merupakan nama umum yang mencakup seluruh rentangan (range)
mulai dari PEM ringan sampai dengan PEM berat, baik yang
menivestasinya dapat diklasifikasikan maupun tidak, termasuk dua
syndrome/gejala klinik utama marasmus dan kwashiorkor (Suantara &
Suriaoka, 2018). Manifestasi dari kekurangan kalori dan protein ini sangat
tergantung pada beberapa faktor seperti :
a. Karakteristik individu : umur dan jenis kelamin (berkenaan dengan
keperluan dan cadangan nutrient)
b. Waktu dan berat tidaknya proses kekurangan gizi
c. Macam–macam makanan yang tersedia dan dikonsumsi (Nature of
causation factor)
d. Lingkungan : sanitasi lingkungan dan starvation.
Klasifikasi KEP :
 KEP ringan : Mild PEM
 KEP sedang : Moderate PEM
 KEP berat : Severe PEM, bisa berbentuk : marasmus, kwashiorkor
dan marasmic kwarshiorkor

28
Marasmus

Istilah Marasmus berasal dari kata Yunani yang berarti “Kurus”.


Marasmus pada anak ekuivalen dengan starvation pada orang dewasa.
Gejala yang menyolok adalah “old man face” (muka orang tua) atau disebut
juga monkey face (muka seperti monyet) dan tubuh tinggal tulang terbalut
kulit, disertai irritability oleh Cicely Williams pada tahun 1933, nama ini
diberikan oleh suku Ga di Ghana, yang artinya : the sickness the older child
gets when the nexts abby is born. Gejala yang menyolok adalah oedema dan
kesadaran apatis = seperti ngantuk, sering disertai kelainan rambut dan kulit
(Suantara & Suriaoka, 2018).
Marasmus kebanyakan terdapat pada anak umur kurang dari satu tahun
dan lebih sering terdapat diperkotaan (urban) sedangkan kwashiorkor
terutama terdapat pada perdesaan (rural) dan lebih sering terdapat pada
tahun kedua kehidupan. Jika seoran anak kekurangan makanan, maka
pertumbuhan akan segera terhenti, sebab keperluan energi tinggi diperlukan
untuk pembentukan protein. Anak tadi akan berkembang menjadi keadaan
seperti apa yang disebut kwashiorkor (Suantara & Suriaoka, 2018).
Kwasiorkor

29
Kwashiorkor sering juga diistilahkan sebagai busung lapar atau HO.
Penampilan anak-anak penderita HO umumnya sangat khas, terutama
bagian perut yang menonjol. Berat badannya jauh di bawah berat normal.
Edema stadium berat maupun ringan biasanya menyertai penderita ini
(Alifiana, 2016). Beberapa ciri lain yang menyertai di antaranya:
a. Perubahan mental menyolok. Banyak menangis, pada stadium lanjut
anak terlihat sangat pasif.
b. Penderita nampak lemah dan ingin selalu terbaring.
c. Anemia.
d. Diare dengan feses cair yang banyak mengandung asam laktat
karena berkurangnya produksi laktase dan enzim penting lainnya.
e. Kelainan kulit yang khas, dimulai dengan titik merah menyerupai
petechia ( perdarahan kecil yang timbul sebagai titik berwarna merah
keunguan, pada kulit maupun selaput lendir, Red. ), yang lambat
laun kemudian menghitam. Setelah mengelupas, terlihat kemerahan
dengan batas menghitam. Kelainan ini biasanya dijumpai di kulit
sekitar punggung, pantat, dan sebagainya.
f. Pembesaran hati. Bahkan saat rebahan, pembesaran ini dapat diraba
dari luar tubuh, terasa licin dan kenyal.
Gejala Klinik KEP

Gejala klinik KEP dapat digolongkan sebagai berikut :


a. Gejala – gejala utama : retardasi pertumbuhan dan perkembangan

30
b. Gejala–gejala yang bervariasi, tergantung pada : faktor–faktor
penyebab, lama dan beratnya penyakit ini berlangsung serta umur
penderita. Gejala gejala tersebut adalah :
 Pengurusan (wasting) jaringan lemak subcutant dan otot.
 Oedema pada kwashiorkor, tapi tidak pada marasmus
 Perubahan–perubahan mental
 Dan gejala–gejala klinik lainnya serta kelainan–kelainan
biokimia dan patologik yang bervariasi
KEP berat biasanya dirawat dirumah sakit dan menjadi perhatian para
klinikus (dokter), yang biasanya dipandang sebagai suatu puncak dari
gunung es (iceberg phenomenom). Pada daerah endemik KEP, kebanyakan
penderita yang dikirim ke rumah sakit memperlihatkan gejala–gejala klinik
campuran marasmus dan kwashiorkor. Ini disebabkan oleh variasi defisiensi
diet, faktor sosial dan penyakit infeksi yang memengaruhi (Suantara &
Suriaoka, 2018).
Tabel 4. Gejala-gejala pokok pada KEP

Sejalan dengan tabel diatas Komite ahli WHO mengklasifikasikan


gambaran klinik yang sering ditemukan pada masalah gizi kedalam 3
kelompok seperti berikut dibawah ini (Suantara & Suriaoka, 2018) :
 Kelompok 1 :

31
Gejala–gejala yang mempunyai nilai dalam penilaian keadaan gizi.
Gejala– gejala tersebut sering ditemukan pada status defisiensi gizi,
yang mungkin disebabkan oleh defisiensi dua atau lebih micronutrient.
 Kelompok 2 :
Gejala–gejala yang membutuhkan penelitian lebih lanjut. Gejala–gejala
ini mungkin mempunyai kaitan dengan masalah gizi sebagai pertanda
suatu tipe kronik yang ditemukan di negara–negara berkembang dimana
masalah–masalah kesehatan dan lingkungan seperti kemiskinan dan
rendahnya pendidikan/pengetahuan masih ditemukan.
 Kelompok 3 :
Termasuk didalamnya gejala – gejala yang tidak mempunyai hubungan
dengan mala gizi, walaupun mirip dengan gejala–gejala yang
ditemukan pada penderita malagizi dan harus membedakannya dengan
hati – hati. Hal ini membutuhkan kerja dari seorang dokter atau para
medis terlatih.
Klasifikasi tersebut juga sering digunakan dalam survey gizi seperti
pada tabel di berikut.
Tabel 5. Gambaran Klinis KEP pada masing-masing Kelompok

32
Interaksi antara Host, Agent, dan Environment Pada Masalah Gizi
KEP

 Agent
Agent adalah penyebab utama terjadinya suatu penyakit. Dalam
hal ini yang menjadi agent adalah zat-zat gizi yang terkandung
dalam makanan, akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan
infeksi, keluarga miskin, ketidaktahuan orang tua atas pemberian
gizi yang baik bagi anak, faktor penyakit bawaan pada anak, faktor
ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh masyarakat,
perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pengasuhan asuh
anak, serta pengelolaan yang buruk dan perawatan kesehatan yang
tidak memadai.
 Host
Host adalah manusia yang kemungkinan terpapar atau beresiko
terhadap suatu penyakit. Dalam gizi buruk manusia berperan sebagai
host atau pejamu. Dalam hal ini yang rentan terkena penyakit gizi
buruk adalah balita. Karena balita daya tahan tubuhnya masih rentan.
 Environment

33
Environment atau lingkungan meliputi lingkungan sosial,
lingkungan biologi, dan lingkungan fisik. Lingkungan sosial yang
mempengaruhi host adalah ekonomi rendah sehingga host tidak
mampu mengkonsumsi makanan yang bergizi. Lingkungan biologi
yang mempengaruhi adalah sanitasi atau air bersih yang tidak
memadai. Dan lingkungan fisik yang mempengaruhi adalah keadaan
rumah yang kurang baik.
Penyakit ini disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah
keluarga miskin.  Keluarga miskin sangat erat hubunganya dengan
ekonomi rendah, sehingga host dengan kondisi ekonomi rendah
untuk memenuhi kebutuhan pangan hanya seadanya tidak
memperhatikan zat-zat gizi yang terkandung dalam makanan
ditambah dengan sanitasi atau air bersih yang tidak memadahi dan
keadaan rumah yang kurang baik. Hal ini menyebabkan host rentan
terkena penyakit gizi buruk terutama balita, karena balita daya tahan
tubuhnya masih rentan (Alifiana, 2016).
Riwayat Alamiah Masalah Gizi KEP
1) Fase Rentan
Terjadi karena tidak adanya kesimbanganan antara host, agent, dan
environment. Misalnya host memakan makanan yang kurang zat
gizinya sehingga zat gizi didalam tubuh host lama kelamaan
berkurang.
2) Fase Presymtomatic
Saat zat gizi dalam tubuh host berkurang maka akan terjadi
perubahan faali dan metabolis.
3) Fase Klinik
 Kwashiorkor
 Marasmus
 Marasmus-Kwashiorkor
4) Fase Terminal

34
Penanggulangannya secara intensif dan hasilnya ada empat
kemungkinan yaitu sembuh, cacat, sakit kronis dan kematian
(Alifiana, 2016).
Penanggulangan Masalah Gizi KEP
Berikut merupakan beberpaa cara untuk mengatasi permasalahan KEP
yang terjadi pada balita, yaitu :
1) Asupan Gizi
Banyaknya produk suplemen vitamin yang kini beredar
secara bebas bisa berdampak baik sekaligus berdampak buruk.
Suatu produk suplemen harus menjalani uji klinis sebelum
dipasarkan. Di sisi lain produk suplemen yang memang bisa
dipercaya kebenarannya sangat berguna bagi kebanyakan orang
yang tidak sempat mendapatkan gizi tersebut dari makanan sehari-
hari.
Lebih baik kalau berbagai kebutuhan gizi didapat dari
makanan langsung, bukan asupan atau suplemen yang dijual bebas.
Anak usia 0-2 tahun sebaiknya mendapatkan Air Susu Ibu (ASI).
ASI mengandung semua zat yang dibutuhkan dalam perkembangan
otak anak. Air susu ibu baik untuk memenuhi kebutuhan bayi
dalam segala hal. ASI juga mengandung zat anti efeksi.
Untuk memulihkan kondisi Balita pada status normal,
dibutuhkan asupan susu formula yang mudah diserap tubuh dimana
dalam hitungan 90 hari berat badan anak kembali normal. Kriteria
yang dicantumkan antara lain: biasa makan beraneka ragam
makanan (makan 2-3 kali sehari dengan makanan pokok, sayur,
dan lauk pauk), selalu memantau kesehatan anggota keluarga,
biasanya menggunakan garam beryodium, dan khusus ibu hamil,
didukung untuk memenuhi kebutuhan ASI bayi minimal sampai 4
bulan setelah kelahiran. Selain itu, balita juga dapat diberikan PMT
sehingga kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi (Alifiana, 2016).
2) Langkah Pengobatan

35
Pengobatan pada penderita KEP tentu saja harus disesuaikan
dengan tingkatannya. Penderita KEP ringan, contohnya, diatasi
dengan perbaikan gizi. Dalam sehari anak-anak ini harus mendapat
masukan protein sekitar 2-3 gram atau setara dengan 100-150 Kkal.
Langkah penanganan harus didasarkan pada penyebab serta
kemungkinan pemecahnya.
Sedangkan pengobatan MEP berat cenderung lebih kompleks
karena masing-masing penyakit yang menyertai harus diobati satu
per satu. Penderita pun sebaiknya dirawat di rumah sakit untuk
mendapat perhatian medis secara penuh. Sejalan dengan pengobatan
penyakit penyerta maupun infeksinya, status gizi anak tersebut terus
diperbaiki hingga sembuh. Memulihkan keadaan gizinya dengan
cara mengobati penyakit penyerta, peningkatan taraf gizi, dan
mencegah gejala atau kekambuhan dari KEP (Alifiana, 2016).
B. Ibu Hamil dengan Kekurangan Energi Kronis (KEK)
Pengertian Kekurangan Energi Kronik (KEK)
Kekurangan Energi Kronik (KEK) adalah keadaan dimana ibu
mengalami malnutrisi yang disebabkan kekurangan satu atau lebih zat gizi
makanan yang berlangsung menahun (kronik) yang mengakibatkan
timbulnya gangguan kesehatan pada ibu secara relatif atau absolut.
Kekurangan Energi Kronik sering terjadi pada pada wanita usia
subur (WUS) dan pada ibu hamil (Arisman, 2010). Faktor–faktor yang
memengaruhi KEK pada ibu hamil terbagi menjadi dua, yaitu faktor
internal dan eksternal. Faktor internal (individu/keluarga) yaitu genetik,
obstetrik, dan seks. Sedangkan faktor eksternal adalah gizi, obat–obatan,
lingkungan, dan penyakit (Supariasa, Bakri dan Fajar, 2013) dalam
(Ningrum, 2020).
Faktor yang Mempengaruhi KEK pada Ibu Hamil
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan tubuh kekurangan zat
gizi antara lain: (1) jumlah zat gizi yang dikonsumsi kurang, (2) mutu zat
yang di konsumsi rendah atau (3) zat yang dikonsumsi gagal untuk diserap

36
dan digunakan didalam tubuh (Sipahutar, Aritonang dan Siregar, 2013)
dalam (Ningrum, 2020).
1) Jumlah asupan makanan
Kebutuhan makanan bagi ibu hamil lebih banyak dari pada
kebutuhan wanita yang tidak hamil. Hal ini disebabkan karena
adanya penyesuaian dari perbedaan fisiologi selama kehamilan, hal
inilah yang menyebabkan jumlah asupan makanan yang biasanya
di konsumsi ibu selama hamil tidak sesuai dengan kebutuhan yang
seharusnya. Akhirnya menyebabkan ibu hamil kekurangan nutrisi
yang adekuat yang menyebabkan faktor resiko terjadinya KEK
pada ibu hamil (Ningrum, 2020).
2) Mutu zat yang di konsumsi rendah
Mutu zat yang dikonsumsi rendah berhubungan dengan daya beli
keluarga untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini sesuai dengan
pernyatan bahwa kemiskinan dan rendahnya pendidikan dapat
mempengaruhi status gizi ibu hamil sehingga tingkat konsumsi
pangan dan gizi menjadi rendah. Selain itu buruknya sanitasi dan
hignine pada makanan dapat mampengaruhi mutu zat yang
dikonsumsi (Ningrum, 2020).
3) Zat yang Dikonsumsi Gagal untuk Diserap dan Digunakan Didalam
Tubuh
Zat gizi adalah suatu proses organisme menggunakan
makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses degesti,
absorpsi, transportasi (Supariasa, Bakri dan Fajar, 2013) dalam
(Ningrum, 2020).
Faktor lain yang mempengaruhi status gizi pada ibu hamil
yaitu keadaan sosial dan ekonomi, jarak kelahiran terlalu dekat
dimana jarak antara dua kelahiran yang terlalu dekat, paritas, usia
kehamilan pertama, dan tingkat pekerjaan fisik.
Dampak KEK
Akibat KEK saat kehamilan dapat berakibat pada ibu maupun janin yang
dikandungnya yaitu meliputi:

37
1) Akibat KEK pada Ibu Hamil
 Terus menerus merasa letih
 Kesemutan
 Muka tampak pucat
 Kesulitan sewaktu melahirkan
 Air susu yang keluar tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
bayi
2) Akibat KEK saat kehamilan terhadap janin yang dikandung antara
lain :
 Keguguran
 Pertumbuhan janin terganggu hingga bayi lahir dengan berat
lahir rendah (BBLR)
 Perkembangan otak janin terlambat, hingga kemungkinan
nantinya kecerdasaan anak kurang
 bayi lahir sebelum waktunya (Prematur)
 Kematian bayi
Penilaian Status Gizi Ibu Hamil dengan Kekurangan Energi Kronik
(KEK)
Menurut Kristiyanasari (2010) yang dikutip dalam buku Gizi Ibu
Hamil, ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui status
gizi ibu hamil, antara lain (1) memantau penambahan berat badan selama
hamil, (2) mengukur LILA untuk mengetahui apakah seseorang menderita
KEK dan (3) mengukur kadar Hb untuk mengetahui kondisi ibu apakah
menderita anemia yang merupkakan faktor resiko kekurang gizi
(Kristiyanasari, 2010) dalam (Ningrum, 2020).
1) Memantau Penambahan Berat Badan selama hamil
Seorang ibu yang sedang hamil mengalami kenaikan berat
badan sebanyak 10-12 kg. Selama trimester I kenaikan berat badan
seorang ibu bisa mencapai 1-2 kg, lalu setelah mencapai trimester
II pertambahan berat badan semakin banyak yaitu sekitar 3 kg dan
pada trimester III sekitar 6 kg.

38
Berat badan dilihat dari quatelet atau body massa index
(Index Masa Tubuh = IMT). Indeks massa tubuh merupakan alat
sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya
yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan.
Wanita dengan status gizi rendah atau biasa dikatakan IMT rendah,
memilik efek negatif pada hasil kehamilan, biasanya berat bayi
baru lahir rendah dan kelahiran preterm. Sedangkan wanita dengan
status gizi berlebihan atau IMT obesitas dikatakan memiliki risiko
tinggi terhadap kehamilan seperti keguguran, persalinan operatif,
preeklamsia, thromboemboli, kematian perinataldan makrosomia.
Berikut ini klasifikasi KEK berdasarkan IMT :
Tabel 6. Klasifikasi KEK berdasarkan IMT

IMT Derajat KEK

>18,5 Normal

17,0 – 18,4 Ringan

16,0 – 16,9 Sedang

< 16,0 Berat

Tetapi pada pengukuran ibu hamil tidak disarankan untuk


menggunakan pegukuran IMT di karenakan berat badan ibu
berubah-ubah selama kehamilan (Ningrum, 2020).
2) Mengukur Kadar Hemoglobin (Hb)
Ibu hamil umumnya mengalami defisiensi besi sehingga
hanya memberi sedikit besi kepada janin yang dibutuhkan untuk
metabolisme besi yang normal.
Selanjutnya mereka akan menjadi anemia pada saat kadar
hemoglobin ibu turun sampai di bawah 11 gr/dl selama trimester
III. Beberapa akibat anemia gizi pada wanita hamil akan
menyebabkan gangguan nutrisi dan oksigenasi utero plasenta. Hal
ini jelas menimbulkan gangguan pertumbuhan hasil konsepsi,

39
sering terjadi immaturitas, prematuritas, cacat bawaan, atau janin
lahir dengan BBLR.
3) Mengukur Lingkar Lengan Atas (LILA) Pengukuran

Pengukuran LILA dimaksudkan untuk mengetahui


prevalensi wanita usia subur usia 15–45 tahun dan ibu hamil yang
menderita kurang energi kronis (KEK).
Menurut WHO Collaborative Study menunjukkan bahwa
nilai cut off Mid Upper Arm Circumference (MUAC) atau Lingkar
Lengan Atas (LILA) < 21 cm - < 23 cm memiliki risiko signifikan
untuk Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) sebesar
95%.
Ambang batas LILA WUS dan Ibu Hamil dengan resiko
KEK adalah 23,5 cm. Dimana seseorang dikatakan KEK ketika
LILA < 23,5 cm artinya wanita tersebut mempunyai resiko KEK
dan diperkirakan akan melahirkan BBLR. BBLR mempunyai
resiko kematian, gizi kurang, gangguan pertumbuhan dan
gangguan perkembangan anak.
Pengukuran lingkar lengan atas (LILA) merupakan
pengukuran sederhana untuk menilai malnutrisi energi protein
karena massa otot merupakan indeks cadangan protein, serta
sensitif terhadap perubahan kecil pada otot yang terjadi, misalnya
bila jatuh sakit. Pengukuran LILA juga memberi gambaran tentang
keadaan jaringan otot dan lapisan lemak di bawah kulit.
Tabel 7. Klasifikasi Resiko KEK menurut LILA Wanita Usia Subur
(WUS) dan Ibu Hamil

40
Nilai Ambang Batas LILA (cm) KEK

< 23,5 cm Resiko

≥ 23,5 cm Tidak resiko

Penanggulangan KEK Pada Ibu Hamil


Penanganan KEK pada ibu hamil memerlukan perubahan
pada pola konsumsi makanan yang dilakukan selama ini dan bukan
merupakan hal yang instan. Upaya ini juga perlu dilakukan secara
berkesinambungan.
Beberapa penanganan KEK pada ibu hamil yang bisa
dilakukan dengan perubahan pola konsumsi makanan adalah:
 Pemberian makanan tambahan (PMT) pada ibu hamil
 Ketersediaan pangan yang memadai di rumah tangga
 Penyuluhan mengenai pentingnya memenuhi kebutuhan
nutrisi kehamilan
 Perubahan kebiasaan atau pola makan agar sesuai dengan
kebutuhan tubuh
 Mengatasi gangguan kehamilan yang menyebabkan
malnutrisi.

2.2.3 Metode Deteksi Dini Masalah Gizi Akibat Kelebihan Zat Gizi Makro

A. Penyakit Jantung Koroner (PJK)

41
Penyakit jantung koroner (PJK) yaitu penyakit yang timbul akibat
terdapat Flak menumpuk di dalam arteri koroner yang mensuplai
oksigen ke otot jantung (Wahidah & Harahap, 2021).
Gejala Klinis PJK
Adapun menurut Pedoman Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskuler Indonesia Tahun 2004 Gejala klini PJK yakni (Wahidah
& Harahap, 2021) :
1. Merasakan nyeri dan tidak naman bagian dada, substernal, dada
kiri hingga menjalar ke leher, bahu kiri serta tangan dan punggung.
2. Merasakan ada tekanan, remasan, terbakar hingga tertusuk.
3. Merasakan keringat dingin, mual, muntah, lemas pusing hingga
pingsan.
4. Merasakan secara tiba-tiba dengan kecepatan tinggi dan waktu
bervariasi.
Penyebab terjadinya Penyakit Jantung Koroner (PJK)
Awal mulai PJK terjadi akibat penyumbatan pembuluh darah
akibat plak. Plak ini tumbuh karena kadar kolesterol LDL yang relatif
tinggi serta menumpuk dibagian dinding arteri akan mengganggu aliran
darah serta merusak pembuluh darah. Penebalan dan pengerasan arteri
besar dan menengah di sebut Aterosklerosis. Lesi-lesi bagian arteri
menyumbat aliran darah ke jaringan dan organ-organ utama, yang di

42
manifestasikan sebagai Penyaki koroner arteri, infark miokard, penyakit
vaskuler Perifer, aneuresina dan kecelakaan serebravalvaskular (stroke).
Menurut Majid patologi PJK dapat dilihat sebagai berikut (Wahidah &
Harahap, 2021) :
a. Iskemia
Keadaan ini ditandai dengan kekurangan kesediaan oksigen
yang bersifat sementara dan reversibel. Hal ini menimbulkan
perubahan pada sel, jaringan dan fungsi miokardium. Kebutuhan
oksigen yang berlebihan oelh pembuluh yang terserang penyakit
menimbulkan Iskemia miokardium lokal.
b. Angina Pektoris
Adalah gejala disertai kelainan morfologis secara permanen
pada miokardium. Gejala yang menjadi ciri khas yaitu nyeri
bagian dada dengan tekanan berat, panas dan seperti diremas.
Rasa nyeri selalu menjalar kebagian lengan kiri, leher, daerah
maksila hingga dagu, punggu sampai ke lengan kanan.
Merasakan hal itu sekitar 1-5 menit dan akan hilang ketika
istirahat. Terjadinya angina dikarenakan meningkatnya
kebutuhan oksigen akan miokardium, latihan fisik, stress dan
udara dingin. Keadaan ini bis aterjadi berulang-ulang jika
ketersediaan dan keseimbangan oksigen terganggu.
c. Infark Miokardium
Infark miokardium biasanya menyerang ventrikel kiri. Infark
miokardium mempunyai fungsi bisa mengalami perubahan
bagian iskemia yakni terjadinya data kontraksu menurun, terjadi
gerakan abnormal menurun, terjadinya perubahan dinding
ventrikel kembang, fraksi ejeksi berkurang, curah sekuncup
berkurang dan volume akhir diastolik dan sistolik berkurang
bagian ventrikel dan tekanan akhir ventrikel kiri diatolik
menjngkat.
d. Payah Jantung

43
Keadaan ini diakibatkan terdapat beban volume darah secara
berlebihan dari bagian struktur jantung. Keadaan ini sering kali
didahului penyakit lain dan bisa menimbulkan penyakit jantung
koroner.kondisi ini bisa membuat sirkulasi darah menjadi gagal.
e. Penderita Mati Secara
Mendadak Dalam hal ini secara waktu yang cepat dapat
mengalami kematian dan 50% terjadi Kematian mendadak pada
PJK tanpa gejala, 20% berdasarkan iskemia miokardium
merasakan beberapa Minggu atau hari.

Interaksi Host, Agent, dan Eviroment Pada Penyakit Jantung Koroner


(PJK)

 Host
Adapun karakteristik Host yang beresiko terhadap Penyakit Jantung
Koroner yaitu (Wahidah & Harahap, 2021):
1. Usia : Usia yang berpotensi untuk menderita PJK untuk alki-
laki usia 45 tahun dan banyak penyandang hipertensi
sedangkan perempuan setelah umur 55 tahun beresiko
dibandingkan dengan laki-laki.
2. Pekerjaan : Tingkat pekerjaan dan pendidikan
mempengaruhi risiko PJK yaitu wanita yang memiliki
pekerjaan diluar rumah memiliki resiko yang minim PJK
daripada wanita ibu mengurus rumah tangga dikarenakan
aktivitas fisik rendah dan rendahnya tingkat pendidikan.
3. Jenis Kelamin : Jenis kelamin yang berpotensi menderita
PJK yaitu pada pria. Hal ini berhubungan dengan IMT dan
PJK jika wanita memiliki IMT yang besar maka berpeluang
kepada wanita. Di Australia PJK belum dapat informasi
valid diderita wanita.
4. Merokok : Pada pria yang merokok berat akan beresiko
menderita PJK 2 sampai 4 kali dan juga berpotensi pada

44
perempuan yang merokok berat atau jumlah dihisap 20
batang per hari.
5. DM : Penderita DM akan berpengaruh pada pembuluh darah
dan 1 dari 2 orang pasien DM bagian pembuluh darahnya
akan rusak. Kerusakan ini dapat terjadi Jika aktivitas kurang
dan pola makan yang tidak sehat yang berpengaruh pada
kerja jantung.
6. Penderita Hipertensi : Tekanan darah mempunyai hubungan
dengan semua bagian tubuh yang berperan penting seperti
jantung, ginjal, mata dan pembuluh darah. Komplikasi akan
terjadi dan disesuaikan dengan tingginya darah dan hjangka
waktu merasakannya.
7. Hiperlipidemia : yaitu tingginya kadar lemak dalam darah
(kolesterol, trigliserida maupun keduanya). Lemak atau lipid
yakni zat yang kaya energi, berfungsi sebagai sumber energi
untuk proses metabolisme tubuh. Orang yang mempunyai
kadar kolestrol >300 ml/dl mempunyai risiko 4 kali
menderita PJK.
8. Keturunan : Individu yang memiliki orangtua laki-laki
menderita PJK maka akan beresiko 2 kali bahkan lebih
untuk menderita PJK.
 Agent
Penyebab PJK yakni berkaitan dengan statsu sosial ekonomi
akhirnya membuat perilaku hidup kurang sehat dan bukan
merupakan penyakit disebabkan virus, bakteri ataupun parasite (IPD
Badan Litbangkes, 2009) dalam (Wahidah & Harahap, 2021).
 Enviroment
Lingkungan yang berpotensi dalam emnderita PJK adalah
lingkungan kerja yang berada dibawah tekanan sehingga
mengakibatkan stress dan mempengaruhi kerja jantung (Bustam,
M.N. 2002) dalam (Wahidah & Harahap, 2021).
Riwayat Alamiah Penyakit Jantung Koroner (PJK)

45
Dapat dilahat bahwa PJK itu terjadi dalam beberapa Tahap (Husyaini, A.
2010) dalam (Wahidah & Harahap, 2021).
1. Tahap Pre-patogenesis pada tahap ini tetliha ada faktor resiko yang
berkembang dalam hal-hal kehidupan seperti kadar kolesterol,
hipertensi, kebiasaan merokok, DM, obesitas dan riwayat keturunan
hingga stres dan kurangnya aktivitas fisik dikalangan masyarakat.
2. Pada tahan inkubasi penyakit ini tidak bisa ditentukan secara pasti
dapat terjadi dan menularkan ke orang lain akan tetapi waktu
inkubasi terjadinya PJK ditentukan dengan melihat faktor resiko
yang dialami seseorang dalam jangka waktu lama atau tidak.
3. Penyakit Dini : dapat terjadi dengan ditandai adanya rasa nyeri atau
tidak nyaman bagian dada dan terjadi dalam skala ringan jika
jantung mengalami kekurangan darah.
4. Lanjutan dapat berupa menjadi keadaan yang memburuk.
5. Tahap Akhir penyakit ini bisa sembuh dengan total yang dilihat dari
tidka terdapat penyumbatan pembuluh darah oleh flak. Dapat
bersifat kronis yakni tidak merujuk ke sehat dan berat namun masih
merasakan sakit dan meninggal dunia akibat tidak dapat
disembuhkan penyumbatan pembuluh darah akibat flak.

Pencegahan Penyakit Jantung Koroner (PJK)

1) Primary Prevention
Tujuan pencegahan ini untuk meningkatkan kesehatan dikalangan
masyarakat dan mengurangi faktor pemicu timbulnya PJK dengan
melakukan penyuluhan pada kelompok beresiko tinggi dan kalangan
anak muda dalam hal mengurnagi stress, aktif berolahraga serta
menjaga kadar lemak serta mengubah pola hidup yang sehat
(American Heart Association, 2012) dalam (Wahidah & Harahap,
2021).
2) Secondary Prevention
Pencegahan ini dilakukan pada sasaran orang yang sakit dengan
tujuan untuk tidak terjadinya kondisi yang semakin memburuk dan

46
menurunkan kejadian serangan berulang. Pencegahan ini dapat
dilakukan konsumsi obat yang rutin, gaya hidup Yangs what serta
mampu mengendalikan stress (Handayani, S, 2013 ) dalam
(Wahidah & Harahap, 2021).
Pencegahan ini memiliki prioritas dalam perubahan kebiasaan hidup
serta adanya rehabilitas setelah terjadinya serangan jantung. Tenaga
medis berperan penting dalam melakukan upaya ini. Tujuan ini
untuk mempertahankan kesehatan yang maksimal dalam mengurangi
terjadinya komplikasi yang buruk ataupun kematian. Dapat
dilakukan rehabilitas jantung pada penderita PJK dan yang pernah
mengalami serangan jantung atau setelah melakukan operasi jantung
(American Heart Association, 2012) dalam (Wahidah & Harahap,
2021).
3) Quartenery Prevention
Pencegahan ini dilakukan untuk memantau penanganan yang tidak
seharusnya diberikan atau berlebihan dalam sistem kesehatan
penyakit jantung coroner (Wahidah & Harahap, 2021).
B. Penyakit Obesitas

Menurut World Health Organization (WHO), obesitas


didefenisikan sebagai kumpulan lemak berlebih yang dapat mengganggu
kesehatan dengan Body Mass Index (BMI) ≥ 30 kg/m 2. Obesitas adalah
kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang
berlebihan. Obesitas adalah keadaan patologis sebagai akibat dari
konsumsi makanan yang jauh melebihi kebutuhannya sehingga terdapat
penimbunan lemak yang berlebihan dari yang diperlukan untuk fungsi
tubuh (Andi, 2013).

47
Konsep Penyebab Timbulnya Penyakit Obesitas
 Host
Host ialah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang dapat
mempengaruhi timbulnya serta perjalanan penyakit. Dalam hal ini,
yang berperan sebagai faktor pejamu dalam timbulnya serta perjalanan
penyakit obesitas yang timbul dipengaruhi oleh banyak faktor di
dalamnya, antara lain yaitu :
a. Factor Genetik
Obesitas cenderung diturunkan, sehingga diduga memiliki
penyebab genetik. Telah lama diamati bahwa anak-anak
obesitas umumnya berasal dari keluarga dengan orang tua
obesitas. Bila salah satu orang tua obesitas maka kira-kira 40%-
50% anak-anaknya akan menjadi obesitas, sedangkan bila kedua
orang tuanya obesitas, 80% anak-anaknya akan menjadi
obesitas. Tetapi obesitas terjadi tidak hanya ditimbulkan berbagi
gen, tetapi juga makanan dan kebiasaan gaya hidup, yang bisa
mendorong terjadinya obesitas. Seringkali sulit untuk
memisahkan faktor gaya hidup dengan faktor genetik. Hanya
saja penelitian di laboratorium gizi Dunia di Cambridge, Inggris
baru-baru ini menunjukkan peran faktor genetis. Penelitian
terbaru menunjukkan bahwa rata-rata factor genetik
memberikan pengaruh sebesar 33% terhadap berat badan
seseorang.
b. Umur
Obesitas dapat terjadi pada seluruh golongan umur, baik pada
anak-anak sampai pada orang dewasa. Obesitas dapat terjadi
ketika dalam tubuhnya trejadi ketidak seimbangan antara
konsumsi kalori dan kebutuhan energi, dimana konsumsi kalori
(energy intake) terlalu banyak dibandingkan dengan kebutuhan
atau pemakaian energy (energy expenditure). Dalam hal ini
asupan energy yang berlebihan tanpa diimbangi aktivitas fisik

48
rata-rata per hari yang seimbang maka akan mempermudah
terjaidnya kegemukan atau obesitas pada seseorang.
c. Kurangnya aktivitas fisik
Kurangnya aktivitas fisik merupakan salah satu penyebab utama
dari meningkatnya angka kejadian obesitas di tengah
masyarakat yang makmur. Orang-orang yang tidak aktif
memerlukan lebih sedikit kalori. Seseorang yang cenderung
mengkonsumsi makanan kaya lemak dan tidak melakukan
aktivitas fisik yang seimbang, akan mengalami obesitas.
Obesitas banyak dijumpai pada orang yang kurang melakukan
aktivitas fisik dan kebanyakan duduk. Seseorang yang sering
berolahraga atau beraktivitas maka lemak dalam tubuhnya akan
di bakar sedangkan seseorang yang tidak melakukan aktivitas
fisik akan semakin banyak timbunan lemak dalam tubuhnya
sehingga kemungkinan untuk menjadi obesitas jauh lebih besar.
d. Kebiasaan makan yang buruk
Kebiasaan konsumsi fast foods, minuman manis maupun
makanan kemasan, memiliki kecenderungan untuk memiliki
berat berlebih karena makanan tersebut merupakan makanan
yang tingi lemak dan kalori tetapi memiliki nilai gizi rendah.
e. Factor perkembangan
Penambahan ukuran atau jumlah sel-sel lemak (atau keduanya)
menyebabkan bertambahnya jumlah lemak yang di simpan
dalam tubuh. Penderita obesitas, terutama yang menjadi gemuk
pada masa kanak-kanak, bisa memiliki sel lemak sampai 5 kali
lebih banyak dibandingkan dengan orang yang berat badannya
normal. Jumlah sel-sel lemak tidak dapat dikurangi , karena itu
penurunan berat badan hanya dilakukan dengan cara
mengurangi jumlah lemak dalam setiap sel.
f. Faktor Fisik
Apa yang ada di dalam pikiran seseorang bisa mempengaruhi
kebiasaan makannya. Banyak orang yang memberikan reaksi

49
terhadap emosinya dengan makan. Faktor stabilitas emosi
diketahui berkaitan dengan obesitas. Keadaan obesitas dapat
merupakan dampak dari pemecahan masalah emosi yang dalam,
dan ini merupakan suatu pelindung penting bagi yang
bersangkutan. Dalam keadaan semacam ini menghilangkan
obesitas tanpa menyediakan pemecahan alternatif yang
memuaskan, justru akan memperberat masalah.
 Agent
Agent merupakan suatu substansi atau elemen tertentu yang kehadiran
atau ketidakhadirannya dapat menimbulkan atau mempengaruhi
perjalanan suatu penyakit. Adapun agent dalam penyakit obesitas
adalah factor nutrisi yaitu kelebihan kalori terutama karbohidrat dan
lemak.
 Lingkungan

Lingkungan yang mempengaruhi munculnya penyakit obesitas yaitu :

Fisik : iklim, musim- produksi makanan berlimpah

Ekonomi : kemampuan daya beli cukup

Sosial : keinginan orang tua memberi makan kepada anak melebihi


kebutuhan nutrisi.

Dalam lingkungan termasuk pula gaya hidup atau pola makan dalam
keluarga tersebut dapat memicu munculnya penyakit obesitas (Andi,
2013).

Riwayat Alamiah Penyakit

Riwayat alamiah penyakit (Natural History of Disease) adalah


perkembangan suatu penyakit tanpa adanya campur tangan medis atau
bentuk intervensi lainnya sehingga suatu penyakit berlangsung secara
natural. Pada umumnya secara umum RAP dibagi menjadi 3 tahap, yakni
tahap patogenesis, pre-patogenesis (masa inkubasi, penyakit dini dan

50
penyakit lanjut), dan tahap pasca patogenesis (penyakit akhir). Adapun
riwayat alamiah penyakit obesitas yaitu (Andi, 2013) :

 Periode prepathogenesis
Pada fase ini penyakit belum berkembang tapi kondisi yang melatar
belakangi untuk terjadinya penyakit telah ada.
Interaksi awal antara agent – host – environment menghasilkan
stimulus yang berupa kelebihan kalori.
 Periode pathogenesis
1) Interaksi lanjutan antara stimulus dengan host yang menghasilkan
respons berupa (a) akumulasi lemak jaringan, (b) meningkatnya
berat badan melebihi standard berdasarkan umur, sex dan tinggi
badan, (c) distribusi lemak secara menyeluruh pada tubuh. Fase
ini masih dalam clinical inapparent.
2) Bila reaksi antara stimulus dan host terus berlanjut dan telah
melibatkan system organ maka akan timbul gejala-gejala dan
tanda-tanda klinis sehingga terjadi hal-hal seperti: (a) penurunan
efisiensi kerja dan aktifitas fisik, (b) efek penurunan mortalitas
meningkat oleh karena aterosklerosis, hipertensi dan diabetes.
3) Akhir perjalanan penyakit dapat berupa:
- Sembuh     — normal kembali
- Defect      — hipertensi, diabetes
- Disabilitas — sulit bergerak
- Meninggal
Five Level Prevention

Adapun 5 tahap pencegahan penyakit obesitas adalah sebagai berikut (Andi,


2013) :

a) Peningkatan kesehatan (Health Promotion)


Pada tingkat ini dilakukan tindakan umum untuk menjaga
keseimbangan proses bibit penyakit-pejamu-lingkungan, sehingga
dapat menguntungkan manusia dengan cara meningkatkan daya
tahan tubuh dan memperbaiki lingkungan. Tindakan ini dilakukan

51
pada seseorang yang sehat. Untuk penyakit obesitas dapat dilakukan
melalui pendidikan kesehatan tentang bahaya obesitas dan
pengaturan pola makan yang baik serta melalui olahraga secara
teratur.
b) Perlindungan Khusus (Specific Protection)
Merupakan tindakan yang masih dimaksudkan untuk mencegah
penyakit, menghentikan proses interaksi bibit penyakit-pejamu-
lingkungan dalam tahap prepatogenesis, tetapi sudah terarah pada
penyakit tertentu. Tindakan ini dilakukan pada seseorang yang sehat
tetapi memiliki risiko terkena penyakit tertentu. Untuk penyakit
obesitas dapat dilakukan melalui aktivitas fisik yang cukup sehingga
terjadi pembakaran lemak dalam tubuh.
c) Penegakkan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan
tepat (early diagnosis and prompt treatment)
Merupakan tindakan menemukan penyakit sedini mungkin dan
melakukan penatalaksanaan segera dengan terapi yang tepat,
misalnya dengan melakukan olah raga dengan teratur karena
disamping mempercepat metabolisme, juga dapat membuat kondisi
tubuh lebih segar dan dapat menambah estetika. Olah raga
dimaksudkan agar jumlah kalori yang dikeluarkan tubuh lebih
banyak daripada jumlah kalori yang masuk. Dengan olah raga yang
baik akan terjadi peningkatan metabolisme.
d) Pembatasan Kecatatan (Dissability Limitation)
Merupakan tindakan penatalaksanaan terapi yang adekuat pada
pasien dengan penyakit yang telah lanjut untuk mencegah penyakit
menjadi lebih berat, menyembuhkan pasien, serta mengurangi
kemungkinan terjadinya kecacatan yang akan timbul. Bagi penderita
obesitas pembatasan kecatatan dapat dilakukan dengan diet rendah
kalori atau penggunaan obat-obatan untuk menurunkan berat badan.
Misalanya obat yang meningkatkan/mempercepat metabolisme
tubuh misalnya preparat tiroid, obat pemacu keluarnya cairan tubuh
misalnya diuretika; pencahar. Namun obat-obat tersebut bila

52
digunakan dalam jangka panjang akan menyebabkan efek samping
sangat merugikan tubuh. Oleh karena itu penggunaannya sebaiknya
disertai kontrol ketat.
e) Pemulihan Kesehatan (Rehabilitation)
Merupakan tindakan yang dimaksudkan untuk mengembalikan
pasien ke masyarakat agar mereka dapat hidup dan bekerja secara
wajar, atau agar tidak menjadi beban orang lain. Bagi penderita
obesitas tahap rehabilitasi dapat dilakukan melalui memberikan
peran sosial atau mengembalikan peran sosialnya seperti semula
sehingga dia merasa di terima oleh masyarakat.
Ciri Khas Penyakit Obesitas
Ciri khasnya bahwa obesitas merupakan keadaan patologis sebagai
akibat dari konsumsi makanan yang jauh melebihi kebutuhannya sehingga
terdapat penimbunan lemak yang berlebihan dari yang diperlukan untuk
fungsi tubuh. Obesitas dapat dibagi menjadi beberapa derajat berdasarkan
persen kelebihan, antara lain :
Dikatakan obesitas tingkat ringan bila kelebihan berat badan 20-40%
di atas berat badan ideal, dan dikatakan obesitas tingkat sedang apabila
kelebihan berat badan 41-100% di atas berat badan ideal. Dan yang terakhir
dikatkan obesitas tingkat berat dan membutuhkan kewaspadaan tinggi,
apabila mengalami kelebihan berat badan >100% diatas berat badan ideal.
Yang secara umum bahwa penderita obesitas adalah penderita yang
memiliki berat badan 120% diatas berat badan normal/idealnya (Andi,
2013).
C. Penyakit Diabetes Melitus

53
Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara
genetic dan klinis termasukheterogen dengan manifestasi berupa
hilangnya toleransi karbohidrat (Parammitha, 2014).
Diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai
berbagai keluhan metabolicakibat gangguan hormonal yang menimbulkan
berbagai komplikasi kronik pada berbagai organ dansystem tubuh seperti
mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, dan lain-lain.
Diabetes melitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang
ditandai oleh kenaikan kadarglukosa dalam darah atau hiperglikemia.
Penyakit DM sering menimbulkan komplikasi berupa stroke, gagal
ginjal, jantung,nefropati, kebutaan dan bahkan harus menjalani amputasi
jika anggota badan menderita luka gangren . Selain terjadi komplikasi, DM
juga dapat menimbulkan dampak sosioekonomi penderita, karena DM
menimbulkan beberapa kerugian yang digolongkan menjadikerugian
langsung dan kerugian tidak langsung. Kerugian langsung meliputi biaya
perawatangawat darurat, opname, pelayanan-pelayanan medis, rawat jalan
penderita, pembedahan, obat-obatan, uji laboratoris serta biaya peralatan.
Kerugian tidak langsung mencakup kematian prematur, kehilangan hari
kerja yang mengakibatkan hilangnya pendapatan dan penghasilan,
pembayaran asuransi, kerugian perorangan serta hal-hal yang tidak bisa
dihitung seperti rasanyeri dan penderitaan (Parammitha, 2014).

Klasifikasi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi 2, yaitu :

54
1. DM Tipe I
Pada Diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan pankreas
menghasilkan insulin karenahancurnya sel-sel beta pulau langerhans.
Dalam hal ini menimbulkan hiperglikemia puasadan hiperglikemia
post prandial.
Dengan tingginya konsentrasi glukosa dalam darah, maka akan
muncul glukosuria(glukosa dalam darah) dan ekskresi ini akan
disertai pengeluaran cairan dan elektrolityang berlebihan (diuresis
osmotic) sehingga pasien akan mengalami peningkatan dalam
berkemih (poliurra) dan rasa haus (polidipsia).
Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan
lemak sehingga terjadi penurunan berat badan akan muncul gejala
peningkatan selera makan (polifagia). Akibat yang lain yaitu
terjadinya proses glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan)
dan glukogeonesis tanpa hambatan sehingga efeknya berupa
pemecahan lemak dan terjadi peningkatan keton yang dapat
mengganggu keseimbangan asam basa dan mangarah terjadinya
ketoasidosis (Parammitha, 2014).
2. DM Tipe II
Terdapat dua masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi
insulin dan gangguansekresi insulin. Normalnya insulin akan
berkaitan pada reseptor kurang dan meskipunkadar insulin tinggi
dalam darah tetap saja glukosa tidak dapat masuk kedalam
selsehingga sel akan kekurangan glukosa.
Mekanisme inilah yang dikatakan sebagai resistensi insulin. Untuk
mengatasiresistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam
darah yang berlebihan makaharus terdapat peningkatan jumlah insulin
yang disekresikan. Namun demikian jika sel-sel beta tidak mampu
mengimbanginya maka kadar glukosa akan meningkat danterjadilah
DM tipe II (Parammitha, 2014).
Riwayat Alamiah Penyakit Diabetes Melitus

55
Terdapat 5 tahap Riwayat Alamiah Penyakit Diabetes Melitus,
yaitu (Parammitha, 2014):
1. Tahap Prepatogenesis
Pada kondisi ini, individu belum merasakan gejala (simptom) dan
belum dinyatakan diabetes.Tahap prepatogenesis dapat berpindah
menjadi pre diabetes dipengaruhi oleh faktor resikomasing-masing
individu.
2. Tahap Prediabetes
Pre-diabetes adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang
berada diantara kadar normaldan diabetes, lebih tinggi dari pada
normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikatagorikan kedalam
diabetes tipe 2. Pada masa pre-diabetes ini belum terdapat
abnormalitas dari metabolisme,tapi sudah membawa faktor genetik
(carriers).
Kondisi pra-diabetes merupakan faktor risiko untuk diabetes,
serangan jantung dan stroke.Apabila tidak dikontrol dengan baik,
kondisi pra-diabetes dapat meningkat menjadi diabetes tipe2 dalam
kurun waktu 5-10 tahun.Ada dua tipe kondisi pra-diabetes, yaitu :
a. Impaired Fasting Glucose (IFG), yaitu keadaan dimana kadar
glukosa darah puasaseseorang sekitar 100-125 mg/dl (kadar
glukosa darah puasa normal: <100 mg/dl).
b. Impaired Glucose Tolerance (IGT) atau Toleransi Glukosa
Terganggu (TGT), yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah
seseorang pada uji toleransi glukosa berada di atas normal tetapi
tidak cukup tinggi untuk dikategorikan ke dalam kondisi
diabetes.
3. Tahap Diabetes Kimiawi
Pasien masih bersifat asimptomatik (belum timbul gejala-gejala)
namun sudah terdapat abnormalitas metabolism pada pemeriksaan
laboratoris.
4. Tahap Klinis

56
Fase dimana penderita sudah menunjukkan gejala-gejala dan tanda-
tanda penyakit DM. Gejala-gejala DM yaitu Trias DM (Poliuria,
Polidispia, Polifagia).
5. Tahap Akhir Penyakit
Penyakit diabetes melitus adalah penyakit kronis yang belum dapat
disembuhkan. Penyakit ini hanya dapat dikontol dan diberi
pengawasan khusus. Penyakit komplikasi yang muncul dari penyakit
diabetes melitus dapat menimbulkan kecacatan atau kematian
misalnya katarak, ganggrene, stroke, PJK, dll. Apabila tidak muncul
komplikasi, individu tersebut tetap akan menjadi carier atau
pembawa sifat penyakit dan dapat menularkan kepada keturunannya.
Pencegahan Diabetes Melitus (DM)
Berikut ini merupakan 3 tahapan pencegahan penyakit Diabetes Melitus :
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah suatu upaya yang ditujukan pada orang-
orang yangtermasuk kelompok resiko tinggi, yakni mereka yang
belum menderita diabetes melitus, tetapi berpotensi untuk menderita
diabetes melitus.
Yang bertanggung jawab dalam upaya penecgahan ini bukan hanya
profesi tetapi semua pihak, untuk mempromosikan pola hidup sehat
dan menghindari pola hidup beresiko, seperti : kampanye makanan
sehat dengan pola tradisional yang mengandung lemak rendah atau
pola makan seimbang, menjaga berat badan agar tidak gemuk dengan
olah raga secara teratur. Cara tersebut merupakan alternatif terbaik
dan harus sudah ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak taman
kanak-kanak. Hal ini merupakan salah satu upaya pencegahan primer
yang sangat murah dan efektif (Parammitha, 2014).

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok


yang memilikifaktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi
berpotensi untuk mendapat DM dankelompok intoleransi glukosa.
2. Pencegahan Sekunder

57
Pencegahan penyakit diabetes secara sekunder bertujuan agar
penyakit diabetes mellitus yang sudah terlanjur timbul tidak
menimbulkan komplikasi penyakit lain,menghilangkan gejala dan
keluhan penyakit diabetes. Pencegahan penyakit diabetes secara
sekunder meliputi deteksi dini penderita diabetes mellitus, terutama
bagi kelompok yang beresiko tinggi terkena diabetes. Bagi yang
dicurigai terkena penyakit diabetes, perlu diteliti lebih lanjut untuk
memperkuat diagnose.
Penanganan diabetes mellitus dilakukan dengan berbeda-beda dan
khusus tergantungdari penyebab diabetes penderita. Saat ini telah
banyak cara menangani diabetes mellitusdengan metode medis
maupun alternatif. Kontrol gula darah secara rutin dan
operasimerupakan penanganan pada pencegahan sekunder.
Berikut adalah beberapa hal yang dpaat dilakukan dalam
pencegahan sekunder (Parammitha, 2014):
 Diet sehari-hari harus seimbang dan sehat
 Menjaga berat badan agar tetap dalam batas normal, bila
terlanjur melebihi normal usahakan untuk menurunkan berat
badan.
 Pantau gula darah harian.
 Olahraga teratur sesuai kemampuan fisik, kelamin dan usia.
 Pemberian suntikan insulin saat dibutuhkan.
 Cuci darah (hemodialisa).
 Penyuluhan kesehatan secara profesional dengan memberikan
materi mengenai diabetes mellitus.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah semua upaya untuk mencegah komplikasi
atau kecacatanakibat komplikasi itu. Pencegahan tersier ditujukan
pada kelompok penyandang diabetes yangtelah mengalami penyulit
dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut.
Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum
kecacatan menetap. Usaha ini meliputi:

58
a. Mencegah timbulnya komplikasi
b. Mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak
menjadi kegagalan organ
c. Mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena
kegagalan organ atau jaringan
d. Mendirikan pusat-pusat rehabilitasi medik
Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada
pasien dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi
yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitashidup yang optimal.
Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan holistik
danterintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit
rujukan (Parammitha, 2014).
Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin (jantung
dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi,
rehabilitasi medis, gizi, podiatris, dll.) sangat diperlukan dalam
menunjang keberhasilan pencegahan tersier (Parammitha, 2014).

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

59
Zat Gizi Makro adalah makanan utama yang membina tubuh dan memberi
energi. Zat gizi makro dibutuhkan dalam jumlah besar dengan satuan gram (g).
Zat gizi makro terdiri atas karbohidrat, lemak, dan protein. Zat gizi makro terdiri
atas karbohidrat, lemak, dan protein. Kebutuhan harian karbohidrat, lemak dna
protein berbeda-beda yang dipengaruhi beberapa faktor berdasarkan Angka
Kecukupan Gizi (AKG). Kekurangan maupun kelebihan zat gizi makro dapat
mengakibatkan malnutrisi. Malnutrisi akan memicu timbulnya berbagai masalah
gizi. Kekurangan zat gizi makro dapat mengakibatkan beberapa penyakit seperti
KEP dan KEK, sedangkan kelebihan asupan zat gizi makro dapat menyebaban
maslaah gizi lebih seperti PJK, Obesitas dan Diabetes Melitus.
Untuk menanggulangi malnutrisi tersebut maka perlu dilakukan upaya-upaya
pencegahan terjadinya malnutrisi akibat kekurangan atau kelebihana zat gizi
makro. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan memahami konsep penyebab
penyakit serta riwayat alamiah penyakit, dan mlekakukan metode deketsi dini
pada jenis penyakit tertentu terkait kekurangan atau kelebihan zat gizi makro.

3.2 Saran

Dalam penulisan makalah ini masih terdapat beberapa kekurangan dan


kesalahan, baik dari segi penulisan maupun dari segi penyusunan kalimatnya.
Dari segi isi juga masih perlu ditambahkan. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kepada para pembaca makalah ini agar dapat memberikan kritik,
saran ataupun masukan yang bersifat membangun.

60
DAFTAR PUSTAKA

Alifiana, D. (2016). Epidimiologi_Riwayat_Alamiah_Gizi_Buruk.

Andi. (2013). 190807415-PENYAKIT-OBESITAS.


https://www.scribd.com/document/190807415/PENYAKIT-OBESITAS

American Heart Association. 2012. My Heart and Stroke News. Coronary Artery
Disease-The ABCS of CAD.
Bustam, M.N. 2002. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Rineka Cipta,
Jakarta.
D I. Desthi. 2019. Bab II Tinjauan Pustaka. Poltekkes Kemenkes Jogjakarta.
Diakses melalui : http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1333/4/Chapter%202.pdf.
Pada tanggal 25 Agustus 2021.
Handayani, S. 2013. Gambaran Tindakan pencegahan sekunder pada klien
penyakit jantung koroner, Hal. 39–46.
Herman Pharamitha. 2014. Epidemiologi Penyakit Diabetes Melitus. Universitas
Airlanggga : Surabaya. Diakses melalui
https://www.scribd.com/doc/200099788/Kelompok-1-Epidemiologi-
Diabetes-Mellitus pada tanggal 25 Agustus 2021.

ISMAH, Z. (2018). Dasar Epidemiologi. Journal of Chemical Information and


Modeling, 53(9), 1689–1699. http://repository.uinsu.ac.id/5523/1/DIKTAT
DASAR EPID.pdf

Murti, B.2003. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Yogyakarta, Gadjah


Mada University Press.

Ningrum, G. S. (2020). Karakteristik Ibu Hamil dengan Kekurangan Energi


Kronis (KEK) di Wilayah Kerja Puskesmas Wonosari II Tahun 2020.
Repository Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/4132/

61
Nenti Resna. 2021. Memahami KEK pada Ibu Hamil dan Cara Mengatasinya.
Diakses melalui https://www.sehatq.com/artikel/memahami-kek-pada-ibu-
hamil-dan-cara-mengatasinya pada tanggal 25 Agustus 2021.

Suantara, I. M. R., & Suriaoka, I. P. (2018). Epidemiologi Gizi.


http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1429/1/Epidemiologi Gizi.pdf

Sunita Almatsier. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama :
Jakarta.

Wahidah, & Harahap, R. A. (2021). PJK (penyakit jantung koroner) dan SKA
(sindrome koroner akut) dari prespektif epidemiologi. Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 6(1), 54–65.

62

Anda mungkin juga menyukai