Anda di halaman 1dari 12

USHUL TAFSIR

Dosen Pengampu: Ust. Abdurohim, S.Pd., M.Ag.

Kelompok 5 : Muthia Khoirun Nisa

Sifa Astriyani

Metode Tafsir Terbaik

Para ulama sepakat bahwa siapa pun yang ingin menafsirkan Al-Qur’an: pertama-
tama ia harus mencarinya dari Al-Qur’an itu sendiri, sesuatu yang global di suatu tempat
telah dijelaskan di tempat lain, dan apa yamg telah diringkas di suatu tempat telah diperluas
di tempat lain.

Maka perlu untuk melihat Al-Qur’an dengan teliti dan cermat, serta mengumpulkan
ayat-ayat pada satu tempat. Kemudian membandingkan sebagiannya dengan sebagian yang
lain, maka jika dalam hal ini menafsirkan berdasarkan pandangannya maka termasuk
kedalam sabda Nabi SAW, yaitu: (Barang siapa yang berkata berdasarkan ra’yu
(pendapatnya) maka ia salah, walaupun pendapatnya benar), dan perilakunya termasuk
perilaku yang tercela.

Jika dia merasa lelah, maka carilah hal itu didalam sunnah; karena sesungguhnya
sunnah yang menjelaskan terhadap Al-Qur’an, dan sungguh imam Syafi’i berkata: (segala
sesuatu yang dihukumi oleh Rasulullah SAW, maka hal itu adalah apa yang dia pahami dari
Al-Qur’an), dan Rasulullah bersabda: (Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan
yang semisal bersamanya {As-Sunnah}). Yaitu sunnah yang disucikan, maka mesti
mengembalikan kepada sunnah disertai dengan perhatian baik dari sisi dhaif dan maudhu’
karena banyak sunnah yang seperti itu, dan membahas riwayat-riwayat yang shahih. Jika
meninggalkan sisi ini atau memperpendek pencariannya maka sungguh telah terjatuh
kedalam bencana yang tidak baik akibatnya.

Maka jika tidak menemukannya di dalam sunnah. Kembalilah kepada perkataan


sahabat, karena mereka lebih tahu terhadap hal itu dari apa yang telah mereka saksikan
(sunnah) dari hubungan-hubungan dan keadaan-keadaan Al-Qur’an ketika turunnya, maka
mesti mengambil dari apa-apa yang shahih (benar) dari para sahabat r.a dan sungguh telah
meriwayatkan Al-Hakim di dalam mustadrak bahwasannya tafsir para sahabat yang dimana
mereka menyaksikan wahyu dan penurunan hukum marfu’ kepada Nabi SAW; bahwasannya
beliau SAW menjelaskan kepada para sahabatnya makna-makna Al-Qur’an sebagaimana
telah menjelaskan kepada mereka lafadz-lafadznya, Allah Ta’ala berfirman: “agar engkau
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (Q.S An-
Nahl: 44), ia mengambil yang ini dan yang itu, maka dengan hal ini menjadikan perselisihan
diantara mereka dalam penafsiran Al-Qur’an sangat sedikit. Bahkan jika (penjelasan) diantara
para tabi’in lebih banyak, maka (penjelasan) yang memilki hubungan dengan orang yang
talaqqi seluruh tafsirnya dari Sahabat dan Tabi’in lebih sedikit, kemudian perbedaan
pendapat terjadi diantara para salaf tentang penafsiran yang bermacam-macam bukan
perbedaan yang bertentangan, seperti penafsiran kata ‫الصراط المستقيم‬, sebagian dari mereka
menafsirkannya dengan “Al-Qur’an” yaitu: mengikutinya, dan sebagian yang lain
menafsirkannya dengan “Islam”. Maka pendapat kedua yang disepakati karena agama Islam
itu mengikuti Al-Qur’an, akan tetapi masing-masing dari keduanya memuliakan sifat selain
sifat yang lain.

Maka jika tidak menemukannya didalam sabda Rasulullah SAW dan tidak juga di
dalam perkataan sahabat ataupun tabi’in, maka hendaklah mencarinya dari sisi bahasa karena
sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, akan tetapi para mufassir harus
berhati-hati dalam menerjemahkan ayat tersebut kedalam arti yang ditunjukkan oleh beberapa
kata-kata orang Arab; telah meriwayatkan Al-Baihaqi dalam Al-Syuab dari Malik r.a, bahwa
dia berkata: (Tidaklah didatangkan kepadaku seseorang yang menafsirkan Kitabullah padahal
tidak tahu bahasa Arab melainkan akan aku hukum dia dengan berat). Maka jika tidak
menemukannya dalam bahasa, hendaklah mencarinya sesuai dengan makna ucapan dan
sesuai dengan kekuatan syara’, hal ini disabdakan Nabi SAW kepada Ibnu Abbas dimana
beliau bersabda: (Ya Allah fahamkanlah ia dalam agama dan ajarkanlah Ta’wil kepadanya).

Resume:

Metode terbaik dalam penafsiran Al-Qur’an itu yang pertama adalah mencari dari
sumber utamanya terlebih dahulu yaitu Al-Qur’an sendiri, kedua dari As-Sunnah, ketiga yaitu
dari perkataan sahabat ataupun tabi’in, keempat melihat dari sisi bahasa yaitu bahasa Arab,
dan yang terakhir kelima sesuai dengan makna ucapan dan sesuai dengan kekuatan syara’.
Metode yang harus diikuti oleh Mufassir

Sebagaimana yang telah kita ketahui dari pembahasan sebelumnya -Metode Tafsir
Terbaik- orang akan mencari penafsiran pertama dari Kitab Allah, maka jika tidak
menemukannya carilah dari sunnah; karena sunnah merupakan penjelasan Al-Qur’an, maka
jika tidak menemukan didalamnya kembali kepada perkataan sahabat dan tabi’in karena
mereka lebih tahu tentang kitabullah, maka jika tidak menemukannya dari mereka dan tidak
memperoleh sesuatu dari pemeriksaan yang pertama terhadap penafsiran maka tidak ada
atasnya setelah hal itu kecuali untuk mengerjakan, memikirkan, dan memperluas dalam
mencari penjelasan dari maksud Allah SWT, mencatat dari asal-asal yang telah berlalu,
menjauh dari semua yang telah kami sebutkan tentang urusan-urusan yang menjadikan para
mufassir dalam penafsiran yang cocok dengan pendapat yang tercela. Setelah itu, ia harus
mengikuti suatu metode dalam penafsirannya yang mengikuti kaidah-kaidah berikut, agar ia
tidak menyimpang darinya dan tidak menyimpang dari ruang lingkupnya, kaidah-kaidah
tersebut adalah sebagai berikut:

1. Mencocokkan tafsir dan mufassir, tanpa mengurangi dari penjelasan makna, tidak ada
tambahan yang tidak sesuai dengan tujuan, disertai dengan kehati-hatian terhadap
keadaan tafsir yang didalamnya terdapat penyimpangan dari makna yang dimaksud.
2. Memperhatikan makna hakiki dan makna majazi, maka boleh jadi yang dimaksud adalah
makna majazi yang membawa perkataan kepada makna hakiki atau sebaliknya.
3. Memperhatikan penyusunan antara makna-makna dan tujuan yang mengantarnya kepada
perkataan dan hubungan antara kosa kata.
4. Memperhatikan hubungan antara ayat-ayat, lalu menjelaskan bentuk kesesuaian dan
mengikat antara yang terdahulu dan yang akan datang dari ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga
menjelaskan bahwa Al-Qur’an tidak cukup di dalamnya, dan sesungguhnya dia adalah
ayat-ayat yang saling berhubungan yang mengambil sebagiannya untuk membatasi
sebagian yang lain.
5. Pengamatan sebab-sebab turunnya Al-Qur’an, maka setiap ayat diturunkan dengan sebab
maka penyebutannya mesti setelah penjelasan munasabah (hubungan), dan sebelum
masuk ke penjelasan ayat. As-Suyuthi telah menyebutkan di dalam Al-Itqan, mengutip
dari kitab Al-Burhan. (Sudah menjadi kebiasaan para penafsir untuk memulai dengan
menyebutkan asbabun nuzul dan pembahasan itu terjadi pada: yang mana yang pertama
memulai, apakah dia dimulai dengan penyebutan sebab? Atau dengan munasabah karena
mengoreksi rangkaian kata, diturunkan terlebih dahulu? Ia berkata: dan bentuk
munasabah yang menghentikan sebab turun seperti ayat: “sesungguhnya Allah
memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”
(Q.S An-Nisa: 58), maka hal ini seharusnya mendahulukan penyebutan sebab, karena
pada waktu itu dalam bab mendahulukan perantara dari yang dimaksud dan jika tidak
berhenti atas hal itu maka yang pertama adalah mendahulukan munasabah).
6. Setelah selesai tentang penyebutan munasabah dan asbabun nuzul, memulai dengan apa
yang berhubungan dengan lafadz-lafadz mufrad dari bahasa, sharaf, dan isytiqaq (ilmu
tentang asal-usul kata), kemudian membicarakan tentang ketentuan penyusunan,
selanjutnya menjelaskan makna yang dimaksud, dan terakhir menyimpulkan apa-apa
yang memungkinkan mengeluarkannya dari ayat tentang batas-batas dan syara’.
7. Penafsir harus menghindari tuduhan pengulangan dalam Al-Qur’an sebanyak mungkin,
As-Suyuthi mengutip dari beberapa ulama bahwa dia berkata: Apa yang mendorong
gambaran pengulangan dalam ‘athaf 2 kata yang sama, contoh: “Ia (saqar itu) tidak
meninggalkan dan tidak membiarkan.” (Q.S Al-Muddatsir: 28) “Mereka itulah yang
memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya,” (Q.S Al-Baqarah: 157) dan
sejenisnya, untuk meyakini bahwa jumlah kata yang menghasilkan makna, dan tidak
akan didapat ketika salah satu dari keduanya berdiri sendiri, karena dengan beberapa
susunan (kombinasi) dapat menciptakan makna tambahan, dan apabila menggunakan
banyak huruf dapat menimbulkan makna tambahan, begitupula dengan banyaknya
lafadz. Dan bagi penafsir juga untuk menghindari segala sesuatu yang menggambarkan
tentang pengisi dalam penafsiran, seperti menggali penyebutan alasan-alasan tata bahasa,
dalil-dalil masalah ushul fiqh, dalil-dalil fiqh, dan dalil-dalil ushuluddin karena semua ini
telah ditetapkan dalam buku-buku khusus dan kita hanya menerima hal itu dalam ilmu
tafsir tanpa menarik kesimpulan padanya. Dan para penafsir juga harus menghindari apa-
apa yang tidak benar dari asbabun nuzul dan hadits-hasits keutamaan Al-Qur’an, kisah-
kisah palsu, dan berita-berita israiliyyat karena ini adalah sesuatu yang dapat
menghilangkan keindahan Al-Qur’an.
8. Setelah semua ini, keadaan penafsir harus seorang yang penuh kehati-hatian dan pintar,
mengetahui tentang aturan yang rajih, sehingga apabila keadaan ayat itu diambil untuk
lebih dari satu bentuk yang memungkinkannya untuk memilih.
9. Penafsir juga harus memperhitungkan, setelah memenuhi semua yang telah disebutkan
sebelumnya tentang makna perkataan dan ringkasan dari kekuatan hukum yang telah
disabdakan oleh Nabi SAW kepada Ibnu Abbas: Al-Qur’an diturunkan (dalam kata ‫نزول‬
dan ‫) تنزل‬, maka kata ‫ نزول‬itu telah berlalu, dan ‫ تنزل‬itu akan tetap hingga hari kiamat.
Dari sini terjadi perselisihan diantara para sahabat yang mulia tentang makna ayat, maka
setiap orang mengambil pendapatnya sesuai pandangannya masing-masing. Dan telah
meriwayatkan Imam Bukhari di dalam kitab jihad dalam shahihnya dari Ali r.a: (Apakah
Rasulullah mengkhususkan sesuatu atas kalian? Maka ia berkata: kami tidak memiliki
apa-apa selain apa yang ada di dalam lembaran ini atau pemahaman yang diberikan
kepada seorang pria) dan tidak boleh menfsirkan Al-Qur’an hanya dengan pendapat dan
ijtihad tanpa dasar, karena Allah SWT berfirman: “dan janganlah kamu mengikuti
sesuatu yang tidak kamu ketahui,” (Q.S Al-Isra: 36)
Resume:
Ada Sembilan metode yang harus digunakan mufassir dalam menafsirkan Al-
Qur’an yaitu, pertama mencocokkan tafsir dan mufassir, kedua memperhatikan makna
hakiki dan makna majazi, ketiga memperhatikan penyusunan antara makna dan tujuan,
keempat memperhatikan hubungan antara ayat-ayat, kelima pengamatan asbabun nuzul
dan munasabah, keenam memperhatikan lafadz-lafadz dalam ilmu bahasa Arab, ketujuh
menghindari tuduhan pengulangan dalam Al-Qur’an, kedelapan penafsir harus termasuk
orang yang berhati-hati dan pintar, kesembilan memperhitungkan tentang makna
perkataan dan ringkasan dari kekuatan hukum.

Sebab-sebab perbedaan dalam Tafsir


Kita wajib untuk mengetahui bahwa Nabi SAW menjelaskan kepada sahabatnya
makna-makna Al-Qur’an sebagaimana menjelaskan kepada mereka lafadz-lafadznya, maka
Allah SWT berfirman: “agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka”. (Q.S An-Nahl: 44). Mengambil penjelasannya secara lafadz dan
makna, dan keadaan para sahabat r.a apabila mempelajari dari Nabi SAW 10 ayat maka tidak
melewatinya sampai mempelajari apa yang ada didalamnya dari ilmu dan pengamalan,
mereka berkata kami akan mempelajari Al-Qur’an dengan ilmu dan amal semuanya.
Dan perselisihan diantara ulama salaf dalam hal penafsiran hanya sedikit dan
perselisihan mereka dalam urusan hukum lebih banyak daripada perselisihan tafsir,
perselisihan itu kembali kepada perselisihan yang berbeda-beda bukan perselisihan yang
bertolak belakang dan hal itu diklasifisikan kedalam dua macam, pertama: masing-masing
mengungkapkan apa yang dimaksud dengan frasa selain frasa pemiliknya yang menunjukkan
makna dalam penamaan (nama benda) selain makna yang lain beserta dengan penyatuan
penamaan (nama benda) dengan status padanan kata yang berada diantara sinonim dan
antonim, seperti pada kata “pedang” yang memiliki banyak padanan kata yaitu ‫السيف؛ الصارم؛‬
‫المهند‬
Dan kategori yang kedua: menyebutkan masing-masing dari nama umum mereka
dari sebagian jenisnya dengan cara perumpamaan dan mengingatkan pendengar tentang
jenisnya, bukan dengan cara pembatasan mutlak yang dibatasi dengan keumuman dan
kekhususannya, seperti orang asing yang bertanya tentang nama roti (‫)الخبز‬, lalu ditunjukkan
adonan roti (‫ )رغيف‬hal ini dikatakan kepadanya, jadi ini mengisyaratkan kepada bagian roti
bukan hanya sekedar adonan roti saja.
Hal itu dicontohkan dalam firman Allah Ta’ala: “Kemudian kitab itu Kami
wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu diantara
mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih
dahulu berbuat kebaikan” (Q.S Fatir: 32), maka yang diketahui bahwa yang mendzalimi
terhadap diri sendiri (‫ )ظ``الم لنفسه‬adalah yang meninggalkan kewajiban-kewajiban serta
melanggar hal-hal yang diharamkan, dan yang pertengahan (‫ )مقتصد‬adalah yang mengerjakan
kewajiban dan meninggalkan apa-apa yang diharamkan, dan yang lebih dahulu (‫)الس``ابق‬
termasuk didalamnya orang yang mengutamakan lalu mendekatkan diri dengan kebaikan
bersamaan dengan kewajiban. Maka mereka yang di pertengahan adalah kaum yang benar,
dan (‫ )الس``ابقون‬adalah orang-orang yang dekat, kemudian jika masing-masing dari mereka
disebutkan dalam bagian diantara bagian-bagian taat seperti ucapan orang yang berkata
bahwa (‫ )السابق‬adalah yang shalat di awal waktu, (‫ )مقتصد‬adalah yang shalat pada waktunya,
dan (‫ )ظالم لنفسه‬adalah yang mengakhirkan shalat ashar hingga langit menguning.
Kemudian perbedaan dalam tafsir ada dua jenis: diantaranya apa-apa yang
penyandarannya hanya dalam perpindahan saja, dan dari apa yang diketahui selain hal itu,
jika ilmu adakalanya sebagai perpindahan maka dibenarkan, dan jika dijadikan sebagai dalil
maka tidak diragukan lagi dan yang dipindahkan (‫ )المنقول‬adakalanya dari yang terjaga dan
tidak terjaga. Adapun jenis yang pertama memungkinkan darinya mengetahui yang shahih
dan dhaif, dan apa-apa yang tidak memungkinkan mengetahui hal itu didalamnya. Jenis yang
kedua ini dari (‫ )المنقول‬yaitu apa-apa yang tidak ada jalan bagi kami untuk membenarkannya,
maka pembahasannya dari apa-apa yang tidak ada faidah didalamnya. Adapun sesuatu yang
membutuhkan orang-orang muslim untuk mengetahuinya maka sesungguhnya Allah telah
menyediakan kebenaran didalamnya sebagai dalil.
Sebuah contoh yang tidak manfaat atau tidak ada dalil atas keshohihannya;
Perbedaan mereka perihal ahlul kahfi, dan sebagainya, hal-hal ini adalah proses pemindaha
pengetahuan, jadi apa pun yang dipindahkan dari penukilan keshohihan dari Nabi saw, itu
diterima, dan apa yang selain itu ditolak.
Adapun bagian pertama yang mungkin diketahui keshohihannya, maka ini ada di
dalamnya dan membutuhkan padanya, puji bagi Allah, dan banyak sekali di temukan di
dalam tafsir, hadits, hukum dan Al-Maghazi, hal-hal yang dikatakan dari Nabi kita
Muhammad saw, dengan penukilan yang shohih. Adapun perselisihan jenis kedua, yaitu yang
disebabkan Ikhtilaf, yang dapat diketahui dengan Istidlal bukan denagn penukilan, inilah
yang paling banyak kesalahan, dari dua aspek yang terjadi setelah penafsiran para sahabat
dan para pengikut. Penafsiran di mana kata-kata orang-orang ini disebutkan murni adalah
seperti penafsiran orang-orang setelah tabi’in; Orang-orang ini terbagi dalam dua kategori:
salah satunya adalah orang-orang yang percaya pada makna dan kemudian ingin membawa
kata-kata Al-Qur'an pada mereka. Kedua, sekelompok orang yang menafsirkan Al-Qur'an
hanya karena dibenarkan bahwa mereka yang berbicara bahasa Arab akan menginginkannya
dengan kata-katanya tanpa melihat pembicara Al-Qur'an, wahyu kepadanya, dan penerima.
Orang-orang pertama memperhitungkan makna yang mereka lihat tanpa melihat
apa arti dan penjelasan kata-kata Al-Qur'an. Yang lain memperhitungkan pengucapan belaka
dan apa yang mungkin mereka maksudkan oleh orang Arab tanpa melihat apa yang cocok
untuk pembicara dan konteks penjelasan. Kemudian orang-orang ini sering keliru dalam
kemungkinan pengucapan makna itu dalam bahasa, sama seperti orang-orang sebelum
mereka yang salah dalam hal itu. Juga, orang-orang dahulu sering keliru dalam kebenaran
makna yang mereka gunakan untuk menafsirkan Al-Qur'an, sebagaimana yang lain keliru,
bahkan jika pandangan yang pertama terhadap makna didahulukan, dan pandangan orang lain
tentang pengucapan didahulukan. Yang pertama ada dua jenis, kadang-kadang mereka
mengambil kata-kata Al-Qur'an untuk apa yang ditunjukkan dan dimaksudkan, dan kadang-
kadang mereka membawanya pada apa yang tidak ditunjukkan dan tidak dimaksudkan.
Dalam kedua kasus, apa yang mereka maksudkan untuk menyangkal atau membuktikan
maknanya mungkin salah, jadi kesalahan mereka ada dalam dalil dan madlul, dan itu
mungkin benar, jadi kesalahan mereka di dalamnya ada di bukti dan bukan di petanda.
Orang-orang yang sesat dalam dalil dan makna, seperti mazhab-mazhab bid'ah dan Al-
Ahwa’, meyakini suatu ajaran yang bertentangan dengan hak yang menjadi dasar bagi kaum
tengah yang tidak berkumpul dalam kesesatan, seperti para pendahulu umat dan para imam,
dan mereka bersandar Al-Qur'an dan menafsirkannya menurut pendapat mereka, kadang-
kadang mereka mengutip dengan ayat-ayat pada madzhab mereka dan tidak ada petunjuk di
dalamnya, dan kadang-kadang mereka menafsirkan apa yang bertentangan dengan madzhab
mereka dengan memutarbalikkan katakata dari penemptannya. Di antara mereka adalah
Khawarij, Rawafid, Jahmiyyah, Mu'tazilah, Qodariyyah, Murji'ah dan lain-lain, dan tidak ada
penafsiran dari penafsiran mereka yang salah kecuali bahwa kepalsuan itu muncul dalam
banyak cara, dan itu dari dua sisi, terkadang dari ilmu dengan kerusakan ucapan mereka, dan
terkadang dari pengetahuan dengan kerusakan dari apa yang mereka tafsirkan Al-Qur'an, baik
sebagai bukti ucapan mereka atau sebagai jawaban bagi orang-orang yang menentang
mereka, dan di antara mereka adalah orang-orang yang yang pandai berbicara dan fasih,
menyisipkan bid’ah (ajaran sesat) dalam pidato mereka, seperti pemilik pandu dan
sejenisnya, sejauh ia menyebarkan penciptaan banyak orang yang tidak percaya kepalsuan
dari penafsiran mereka yang salah.
Adapun orang-orang yang salah dalam pembuktian, bukan dalam arti, seperti
kebanyakan sufi, sebagian da'i, sebagian fuqaha dan lain-lain, mereka menafsirkan al-Qur'an
dengan arti yang benar, tetapi al-Qur'an tidak menunjukkannya, seperti kebanyakan dari apa
al-Salami disebutkan dalam fakta-fakta tafsir (1).
Di antara alasan ketidaksepakatan antara penafsir adalah: perbedaan Qiro’at,
perbedaan aspek I’rab, jika bacaannya disepakati, perbedaan ahli bahasa dalam arti kata,
pembagian kata dari dua makna atau lebih, kemungkinan mutlak dan pembatasan,
kemungkinan umum dan khusus, kemungkinan kebenaran dan metafora, kemungkinan
implikasi dan independensi, dan kemungkinan penambahan kata. Dan kemungkinan
berbicara - pengaturan, kemajuan atau penundaan - dan kemungkinan bahwa hukumnya
dibatalkan atau tetap, dan perbedaan riwayat dalam tafsir Nabi dan para pendahulu, semoga
Allah meridhoi mereka. Berikut adalah pernyataan rincinya, dengan bantuan Allah :
Pertama: Ikhtilaaful Qira’at (perbedaan bacaan-bacaan), yaitu bahwa dua tafsir
yang berbeda kadang berasal dari para sahabat dalam ayat yang sama, sehingga dianggap
adanya perbedaan, dan sebenarnya bukan perbedaan, pastinya masing-masing penafsiran
didasarkan pada bacaan, dan itu seperti perbedaan mereka dalam firman Allah ta’ala : ‫لَقَالُ ْٓوا اِنَّ َما‬
ْ ‫ ُس` ِّك َر‬maka dalam wewenang Ibn Abbas bahwa ‫ت‬
َ ‫ت اَب‬
َ‫ْص`ا ُرنَا بَ``لْ نَحْ نُ قَ`وْ ٌم َّم ْس`حُوْ رُوْ ن‬ ْ ‫ ُس` ِّك َر‬dengan
makna ‫ ُس َّدت‬, dan dari cara lain yang berarti ‫ُأخدت‬, dan dari Qatadah: “Barangsiapa membaca
ْ ‫ ُس ِّك َر‬dengan tasydid, itu berarti ‫ ُس َّدت‬, dan siapa pun yang membaca dengan mudah, itu berarti
‫ت‬
tersihir, dan itu adalah jamak yang indah dan berharga.” Dan sebagaimana mereka katakan
dalam tafsir sebuah ayat: “‫( ”أو ال مس``تُ ُم النس``اء‬QS. An-Nisa: 43), artinya bersetubuh. Atau
perabaan dengan tangan, karena yang pertama adalah tafsir qiro’at: (‫)المستم‬, dan yang kedua
untuk bacaan: (‫)لمستم‬, dan tidak ada perbedaan dalam hakikatnya.
Kedua: Ikhtilafu Wujuuhul I’rab (Perbedaan aspek I’rab), meskipun bacaannya
ٓ
setuju, seperti firman Yang Maha Kuasa: “ ‫`اب َعلَ ۡي ِه‌ؕ اِنَّهٗ هُ ` َو التَّوَّابُ ال ` َّر ِح ۡي ُم‬ ٍ ٰ‫”فَتَلَ ٰقّى ٰا َد ُم ِم ۡن َّرب ِّٖه َكلِم‬
َ `َ‫ت فَت‬
[Surat Al-Baqarah: 37], dengan meninggikan Adam dan mengatur kata-kata dan sebaliknya .
Maka yang pertama dalam arti bahwasannya dia menerimanya dengan penerimaan dan
penerimaan, dan yang kedua adalah pada makna bahwasannya saya menerimanya dan
memanggil dengannya.
Ketiga: Ikhtilaaful Lughawwiyiin fii Ma’na Al;Kalimah (perbedaan 2 bahasa
dalam arti kata), dan itu seperti kata yang diabadikan dari firman Allah ta’ala: “ ۡ‫يَطُ ۡوفُ َعلَ ۡي ِهم‬
ٌ ‫”و ۡلد‬
َ‫َان ُّمخَ لَّد ُۡو ۙن‬ ِ [QS. Al-Waqi’ah: 17]. Dikatakan bahwa maknanya tidak menua umurnya sama
sekali. Dikatakan kepada orang yang memiliki gigi dan tidak tumbuh seolah-olah dia abadi,
dan dikatakan bahwa itu berarti mereka berada pada satu gigi dan mereka tidak berubah.
Keempat: Kumpulan lafadz yang memiliki dua makna atau lebih, seperti: (‫)الصريم‬,
ِ ‫صبَ َح ۡت َكالص‬
dari firman Yang Mahakuasa: “‫َّر ۡي ۙ ِم‬ ۡ َ ‫[ ”فَا‬Surat Al-Qalam: 20], yang di dalamnya ada
empat ucapan. Pertama : Aku menjadi seperti malam; Karena menjadi hitam ketika
menabraknya, dan ‫ الصريم‬dalam bahasanya: malam. Yang kedua: Saya menjadi seperti siang
hari. Karena menjadi putih seperti al-Hasid, dan dikatakan: sultan malam dan siang. Dan
yang ketiga: ‫الص``ريم‬: abu hitam dalam bahasa sebagian orang Arab. Dan yang keempat:
menjadi seperti udang, seperti gumpalan. Dan menuju: membaca, adalah umum antara
punggung dan menstruasi.
Kelima: Pelepasan dan pembatasan secara menyeluruh, sebagaimana firman
Allah Ta’ala: “Barang siapa yang tidak menemukan, maka puasalah selama tiga hari” [Surat
Al-Ma'idah: 89]. Abu Hanifah dan Ats-sauri menjelaskan secara terus menerus keduanya,
bersumber atas sesuatu yang diriwayatkan oleh Abu Ibn Ka’ab dan Ibnu Mas’ud
sesungguhnya mereka membaca : “ Maka berpuasalah selama 3 hari secara terus-menerus ”
dan Imam Syafi’i membatasi terhadap perbedaan dan tidak melihat penyimpangan dalam
hujjah, dan mengambil dalam pembatasan : dan Lafadz : ( ) dari bacaan yang berbeda.
Keenam : Mencakup umum dan khusus, dan seperti Firman Allah ta’ala : ‫اَ ْم‬
ْ َ‫اس ع َٰلى َم```ٓا ٰا ٰتىهُ ُم هّٰللا ُ ِم ْن ف‬
‫ض```لِ ٖ ۚها‬ َ َّ‫( يَحْ ُس``` ُدوْ نَ الن‬Q.s An-Nisa : 54) dikatakan maksud diatas ‫اس‬
َ َّ‫الن‬
sebagaimana mereka hasad terhadap Muhammad atas pemberian Allah kepadanya berupa
َ َّ‫ الن‬seseorang yag diutus dari mereka atau
kenabian. Dan dikatakan maksud dari Lafadz ‫اس‬
keluarga dan sahabatnya. Dan yang pertama menjadi khusus, yang kedua jadi umum
Ketujuh : Mencakup Hakikat dan Majaz. Seperti firman Allah swt : ‫َوَأنَّهۥُ هُ َو‬
‫ك َوَأ ْب َك ٰى‬
َ ‫( َأضْ َح‬An-Najm : 43) tegasnya, Allah swt menciptakan dalam diri Anak Adam
tertawa yang diketahui dan menangis yang diketahui, maka ini menjadi bab Hakikat.
Tertawanya bumi karena tumbuhan dan menangisnya langit karena hujan, maka ini
merupakan majaz dan sesungguhnya ia diibaratkan dari kesenangan dan kesedihan.
Karena sesungguhnya tertawa menjadi ciri atas kesenangan dan kebahagiaan, seperti
halnya menangis menjadi ciri atas kesedihan.
Kedelapan : Mencakup Idhmar dan Istiqlaal, Seperti firman Allah swt :
‫هّٰللا‬
‫ ۚ ي ُٰخ ِد ُعوْ نَ َ َوالَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا‬, maka ( َ‫)ي ُٰخ ِد ُعوْ ن‬, dari penipuan yakni secara sembunyi-sembunyi
dan terang-terangan, dan para sahabat memperhatikan perbedaan dalam suatu perkara
yang dimaksud dari suatu yang disisipkan dari makruh. Dan seorang penipu itu
melakukan pertemuan dari dua belah pihak, Allah swt yang maha suci, atau dari
istiqlal dari tanpa idhmar dan penetapan : maka sesungguhnya gambaran yang dibuat
mereka bersama Allah ta’ala sebagaimana merka menjelaskan sebagai orang-orang
beriman padahal mereka kafir. Dan gambaran yang dibuat oleh Allah kepada mereka ,
sebagaimana Allah memerintahkan dengan balasan ganjaran terhadap orang-orang
muslim, dan bagi mereka berada dalam dasar dari neraka. Dan gambaran bagi orang-
orang mu’min terhadap mereka sebagaimana perumpaan peritah Allah Ta’la, terhadap
yang dikerjakan mereka, maka diganjar sesuai apa yang telah mereka kerjakan. Dan
ini diserupakan dengan gambara orang-orang penipu. Dan dalam kalam mungkin ini
merupakan isti’arah tabii’atin (mengikutu) atau yang menyerupai dalam satu jumlah.
Sesungguhnya kalimat mufa’ilah bukan pada babnya, maka sesngguhnya fa’il kadang
datang dengan makna fi’il, seperti lafadz ‫عافاني هللا‬, dan ‫قاتلهم هللا‬.

Kesembilan: Mencakup Ziyadatu al-kalimah, seperti Firman Allah swt ta’ala :


“Aku tidak bersumpah pada hari kiamat” [QS. Al-Qiyamah: 1]. (1) Untuk sopan santun
terhadap Kitab Allah SWT, dikatakan: Doa, bukan tambahan. Perkataan, seperti dalam
firman Yang Maha Kuasa: “Agar Ahli Kitab tidak mengetahuinya” [QS. Al-Hadid: 29], dan
dikatakan bahwa itu asli dan najis, dan pengingkarannya adalah apa yang diriwayatkan
tentang mereka. banyak mengingkari kiamat, atau bahwa ia adalah seorang dukun atau dukun
atau selain itu, dan dikatakan: Dibolehkan pengasingan Itu adalah tindakan sumpah yang saya
masukkan tidak, dan artinya: saya lakukan tidak bersumpah pada hari kiamat bahwa akan
terjadi kebangkitan, karena sudah jelas bahwa saya bersumpah dengan itu, dan maknanya
mungkin menafikan, yaitu: saya tidak membuat hari kiamat disumpah oleh kebangkitan dan
kejadiannya. ; Karena hari kiamat itu sendiri besar, dan tidak perlu dicatat kebesarannya
dengan bersumpah dengannya. dari
Kesepuluh: mencakup Kalam Tartiib (tersusun), Takdim atau Ta’khir.seperti
Firman Allah ta’ala untuk Sayyidina Isa a.s :

: Ayat itu untuk yang terkenal dan dinyatakan dalam ayat lain, yaitu: (Dan mereka
tidak membunuhnya dengan pasti * Sebaliknya, Tuhan mengangkatnya ke diri-Nya [Surat
An-Nisa: 157 dan 158], dan dalam hadits: “Isa tidak mati, dan dia akan kembali kepadamu
pada Hari Kebangkitan.” Dikatakan: Yang dimaksud adalah bahwa aku akan menangkapmu
dan memenuhi orangmu. Dari tanah, siapa pun yang membayar uang berarti dia
mengambilnya dan mengambilnya darinya, dan dikatakan: Yang dimaksud dengan kematian
di sini: tidur, karena mereka bersaudara dan masing-masing disebut yang lain, dan dikatakan
bahwa itu berarti saya membuat Anda seperti almarhum, karena dengan membesarkan dia
menyerupai dia.
Kesebelas: Mencakup bahwa hukum itu dicabut atau dihapus, seperti firman
Allah Ta’ala : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebagaimana
haknya.” [QS. Al-Imran: 102] Ketakutannya terhadap apa yang benar baginya. dan sesuai
dengan keagungan dan keagungan-Nya, dan itu tidak mungkin, “dan mereka tidak
menghargai Allah hak dari kotorannya” [Surat Al-An'am: 91], dan yang membatalkannya
adalah perkataannya: “Maka bertakwalah kepada Allah semampumu” [QS. Al-Taghabun:
16], diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari Saeed Ibn Jubayr berkata: Ketika saya
mengungkapkan: “Bertakwalah kepada Tuhan sebagaimana kamu harus takut kepada-Nya.”
Orang-orang bekerja keras, dan mereka berdiri sampai paha mereka bengkak, dan dahi
mereka sakit, maka Allah SWT menurunkan kelegaan kepada kaum muslimin: “Maka
bertakwalah kepada Allah sebanyak-banyaknya.” Maka ayat pertama dibatalkan. Siapa pun
yang mengatakan bahwa tidak ada pembatalan adalah pelanggaran ringan:
Keduabelas : Perbedaan riwayat dalam penafsiran dari Nabi SAW dan dari para
pendahulu (salaf) r.a, dan itu seperti perbedaan mereka dalam firman Allah SWT: ‫ٰه َذا ِن خَصْ مٰ ِن‬
‫َص ` ُموْ ا فِ ْي َربِّ ِه ْم‬ ْ [Surat Al-Hajj: 19]. Abbas dalam sabdanya: "Ini adalah dua lawan yang
َ ‫اخت‬
bertengkar karena Tuhan mereka." Dia berkata: "Mereka adalah Ahli Kitab. Mereka berkata
kepada orang-orang beriman, Kami lebih dekat kepada Allah dan lebih tua darimu dalam
sebuah Kitab dan seorang Nabi sebelum Nabimu, dan orang-orang mukmin berkata, Kami
lebih berhak kepada Allah. Yang lain berkata: Salah satu dari dua kelompok itu adalah orang-
orang yang beriman, dan kelompok yang lain adalah orang-orang yang kafir, dari apa pun
golongan mereka. Dan sebagai perbedaan mereka dalam mengatakan: Dan dia memberi
wewenang kepada orang-orang untuk melakukan haji ([Surat Al-Hajj: 27]), dikatakan bahwa
itu adalah pidato untuk tuan kita Ibrahim, dan dikatakan kepada tuan kita Muhammad, damai
dan sejahtera. shalawat atasnya, dan yang pertama adalah yang benar karena didukung dalam
banyak hal dalam al-Tabari dan lainnya.
(Haqq), dari hak sesuatu dalam arti bahwa itu wajib dan ditetapkan, dan itu
datang di bawah judul menambahkan kata sifat untuk deskripsi, dan prinsipnya adalah takut
kepada Allah secara benar, yaitu didirikan. dan wajib, demikian sabdanya: Bukan penyalin,
dan yang pertama adalah yang terkenal.
Akhirnya, di akhir penelitian yang cermat ini, sebutkan alasan perbedaan
penafsiran Al-Qur'an.” Apa yang diriwayatkan Al-Shawkani dalam pengantar tafsirnya “Fath
al-Qadir, vol. 12/1: On otoritas Saeed bin Mansour dalam Sunan-nya, dan Ibn al-Mundhir dan
al-Bayhaqi dalam kitab penglihatan tentang otoritas Sufyan mengatakan: “Itu tidak ada dalam
penafsiran Al-Qur'an.” Perbedaan - yaitu: perbedaan kontradiksi dan kontradiksi - adalah
pidato komprehensif dari mana ini dan ini dimaksudkan.
Diriwayatkan juga atas otoritas Ibn Saad: bahwa Ali, ra dengan dia, berkata
kepada Ibn Abbas: Pergilah kepada mereka - artinya orang Khawarij - dan jangan bertengkar
dengan mereka tentang Al-Qur'an, karena Al-Qur'an memiliki wajah. , tetapi dari mereka.
Dia berkata: Anda telah mengatakan yang sebenarnya, tetapi
Dia berdebat dengan mereka tentang Sunnah, dan dia berkata kepadanya: Saya
adalah yang paling mengetahui Kitab Allah, Al-Qur'an, porter dengan wajah?! .
Diriwayatkan juga dari Ibn Sa`d dalam al-Tabaqat dan Abu Na`im dalam al-
Hilyah atas otoritas Abu Qilabah yang berkata: Abu al-Darda' berkata: wajah Al-Qur'an.”

Anda mungkin juga menyukai