Ushul Tafsir Kel. 5 Revisi
Ushul Tafsir Kel. 5 Revisi
Sifa Astriyani
Para ulama sepakat bahwa siapa pun yang ingin menafsirkan Al-Qur’an: pertama-
tama ia harus mencarinya dari Al-Qur’an itu sendiri, sesuatu yang global di suatu tempat
telah dijelaskan di tempat lain, dan apa yamg telah diringkas di suatu tempat telah diperluas
di tempat lain.
Maka perlu untuk melihat Al-Qur’an dengan teliti dan cermat, serta mengumpulkan
ayat-ayat pada satu tempat. Kemudian membandingkan sebagiannya dengan sebagian yang
lain, maka jika dalam hal ini menafsirkan berdasarkan pandangannya maka termasuk
kedalam sabda Nabi SAW, yaitu: (Barang siapa yang berkata berdasarkan ra’yu
(pendapatnya) maka ia salah, walaupun pendapatnya benar), dan perilakunya termasuk
perilaku yang tercela.
Jika dia merasa lelah, maka carilah hal itu didalam sunnah; karena sesungguhnya
sunnah yang menjelaskan terhadap Al-Qur’an, dan sungguh imam Syafi’i berkata: (segala
sesuatu yang dihukumi oleh Rasulullah SAW, maka hal itu adalah apa yang dia pahami dari
Al-Qur’an), dan Rasulullah bersabda: (Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan
yang semisal bersamanya {As-Sunnah}). Yaitu sunnah yang disucikan, maka mesti
mengembalikan kepada sunnah disertai dengan perhatian baik dari sisi dhaif dan maudhu’
karena banyak sunnah yang seperti itu, dan membahas riwayat-riwayat yang shahih. Jika
meninggalkan sisi ini atau memperpendek pencariannya maka sungguh telah terjatuh
kedalam bencana yang tidak baik akibatnya.
Maka jika tidak menemukannya didalam sabda Rasulullah SAW dan tidak juga di
dalam perkataan sahabat ataupun tabi’in, maka hendaklah mencarinya dari sisi bahasa karena
sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, akan tetapi para mufassir harus
berhati-hati dalam menerjemahkan ayat tersebut kedalam arti yang ditunjukkan oleh beberapa
kata-kata orang Arab; telah meriwayatkan Al-Baihaqi dalam Al-Syuab dari Malik r.a, bahwa
dia berkata: (Tidaklah didatangkan kepadaku seseorang yang menafsirkan Kitabullah padahal
tidak tahu bahasa Arab melainkan akan aku hukum dia dengan berat). Maka jika tidak
menemukannya dalam bahasa, hendaklah mencarinya sesuai dengan makna ucapan dan
sesuai dengan kekuatan syara’, hal ini disabdakan Nabi SAW kepada Ibnu Abbas dimana
beliau bersabda: (Ya Allah fahamkanlah ia dalam agama dan ajarkanlah Ta’wil kepadanya).
Resume:
Metode terbaik dalam penafsiran Al-Qur’an itu yang pertama adalah mencari dari
sumber utamanya terlebih dahulu yaitu Al-Qur’an sendiri, kedua dari As-Sunnah, ketiga yaitu
dari perkataan sahabat ataupun tabi’in, keempat melihat dari sisi bahasa yaitu bahasa Arab,
dan yang terakhir kelima sesuai dengan makna ucapan dan sesuai dengan kekuatan syara’.
Metode yang harus diikuti oleh Mufassir
Sebagaimana yang telah kita ketahui dari pembahasan sebelumnya -Metode Tafsir
Terbaik- orang akan mencari penafsiran pertama dari Kitab Allah, maka jika tidak
menemukannya carilah dari sunnah; karena sunnah merupakan penjelasan Al-Qur’an, maka
jika tidak menemukan didalamnya kembali kepada perkataan sahabat dan tabi’in karena
mereka lebih tahu tentang kitabullah, maka jika tidak menemukannya dari mereka dan tidak
memperoleh sesuatu dari pemeriksaan yang pertama terhadap penafsiran maka tidak ada
atasnya setelah hal itu kecuali untuk mengerjakan, memikirkan, dan memperluas dalam
mencari penjelasan dari maksud Allah SWT, mencatat dari asal-asal yang telah berlalu,
menjauh dari semua yang telah kami sebutkan tentang urusan-urusan yang menjadikan para
mufassir dalam penafsiran yang cocok dengan pendapat yang tercela. Setelah itu, ia harus
mengikuti suatu metode dalam penafsirannya yang mengikuti kaidah-kaidah berikut, agar ia
tidak menyimpang darinya dan tidak menyimpang dari ruang lingkupnya, kaidah-kaidah
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mencocokkan tafsir dan mufassir, tanpa mengurangi dari penjelasan makna, tidak ada
tambahan yang tidak sesuai dengan tujuan, disertai dengan kehati-hatian terhadap
keadaan tafsir yang didalamnya terdapat penyimpangan dari makna yang dimaksud.
2. Memperhatikan makna hakiki dan makna majazi, maka boleh jadi yang dimaksud adalah
makna majazi yang membawa perkataan kepada makna hakiki atau sebaliknya.
3. Memperhatikan penyusunan antara makna-makna dan tujuan yang mengantarnya kepada
perkataan dan hubungan antara kosa kata.
4. Memperhatikan hubungan antara ayat-ayat, lalu menjelaskan bentuk kesesuaian dan
mengikat antara yang terdahulu dan yang akan datang dari ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga
menjelaskan bahwa Al-Qur’an tidak cukup di dalamnya, dan sesungguhnya dia adalah
ayat-ayat yang saling berhubungan yang mengambil sebagiannya untuk membatasi
sebagian yang lain.
5. Pengamatan sebab-sebab turunnya Al-Qur’an, maka setiap ayat diturunkan dengan sebab
maka penyebutannya mesti setelah penjelasan munasabah (hubungan), dan sebelum
masuk ke penjelasan ayat. As-Suyuthi telah menyebutkan di dalam Al-Itqan, mengutip
dari kitab Al-Burhan. (Sudah menjadi kebiasaan para penafsir untuk memulai dengan
menyebutkan asbabun nuzul dan pembahasan itu terjadi pada: yang mana yang pertama
memulai, apakah dia dimulai dengan penyebutan sebab? Atau dengan munasabah karena
mengoreksi rangkaian kata, diturunkan terlebih dahulu? Ia berkata: dan bentuk
munasabah yang menghentikan sebab turun seperti ayat: “sesungguhnya Allah
memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”
(Q.S An-Nisa: 58), maka hal ini seharusnya mendahulukan penyebutan sebab, karena
pada waktu itu dalam bab mendahulukan perantara dari yang dimaksud dan jika tidak
berhenti atas hal itu maka yang pertama adalah mendahulukan munasabah).
6. Setelah selesai tentang penyebutan munasabah dan asbabun nuzul, memulai dengan apa
yang berhubungan dengan lafadz-lafadz mufrad dari bahasa, sharaf, dan isytiqaq (ilmu
tentang asal-usul kata), kemudian membicarakan tentang ketentuan penyusunan,
selanjutnya menjelaskan makna yang dimaksud, dan terakhir menyimpulkan apa-apa
yang memungkinkan mengeluarkannya dari ayat tentang batas-batas dan syara’.
7. Penafsir harus menghindari tuduhan pengulangan dalam Al-Qur’an sebanyak mungkin,
As-Suyuthi mengutip dari beberapa ulama bahwa dia berkata: Apa yang mendorong
gambaran pengulangan dalam ‘athaf 2 kata yang sama, contoh: “Ia (saqar itu) tidak
meninggalkan dan tidak membiarkan.” (Q.S Al-Muddatsir: 28) “Mereka itulah yang
memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya,” (Q.S Al-Baqarah: 157) dan
sejenisnya, untuk meyakini bahwa jumlah kata yang menghasilkan makna, dan tidak
akan didapat ketika salah satu dari keduanya berdiri sendiri, karena dengan beberapa
susunan (kombinasi) dapat menciptakan makna tambahan, dan apabila menggunakan
banyak huruf dapat menimbulkan makna tambahan, begitupula dengan banyaknya
lafadz. Dan bagi penafsir juga untuk menghindari segala sesuatu yang menggambarkan
tentang pengisi dalam penafsiran, seperti menggali penyebutan alasan-alasan tata bahasa,
dalil-dalil masalah ushul fiqh, dalil-dalil fiqh, dan dalil-dalil ushuluddin karena semua ini
telah ditetapkan dalam buku-buku khusus dan kita hanya menerima hal itu dalam ilmu
tafsir tanpa menarik kesimpulan padanya. Dan para penafsir juga harus menghindari apa-
apa yang tidak benar dari asbabun nuzul dan hadits-hasits keutamaan Al-Qur’an, kisah-
kisah palsu, dan berita-berita israiliyyat karena ini adalah sesuatu yang dapat
menghilangkan keindahan Al-Qur’an.
8. Setelah semua ini, keadaan penafsir harus seorang yang penuh kehati-hatian dan pintar,
mengetahui tentang aturan yang rajih, sehingga apabila keadaan ayat itu diambil untuk
lebih dari satu bentuk yang memungkinkannya untuk memilih.
9. Penafsir juga harus memperhitungkan, setelah memenuhi semua yang telah disebutkan
sebelumnya tentang makna perkataan dan ringkasan dari kekuatan hukum yang telah
disabdakan oleh Nabi SAW kepada Ibnu Abbas: Al-Qur’an diturunkan (dalam kata نزول
dan ) تنزل, maka kata نزولitu telah berlalu, dan تنزلitu akan tetap hingga hari kiamat.
Dari sini terjadi perselisihan diantara para sahabat yang mulia tentang makna ayat, maka
setiap orang mengambil pendapatnya sesuai pandangannya masing-masing. Dan telah
meriwayatkan Imam Bukhari di dalam kitab jihad dalam shahihnya dari Ali r.a: (Apakah
Rasulullah mengkhususkan sesuatu atas kalian? Maka ia berkata: kami tidak memiliki
apa-apa selain apa yang ada di dalam lembaran ini atau pemahaman yang diberikan
kepada seorang pria) dan tidak boleh menfsirkan Al-Qur’an hanya dengan pendapat dan
ijtihad tanpa dasar, karena Allah SWT berfirman: “dan janganlah kamu mengikuti
sesuatu yang tidak kamu ketahui,” (Q.S Al-Isra: 36)
Resume:
Ada Sembilan metode yang harus digunakan mufassir dalam menafsirkan Al-
Qur’an yaitu, pertama mencocokkan tafsir dan mufassir, kedua memperhatikan makna
hakiki dan makna majazi, ketiga memperhatikan penyusunan antara makna dan tujuan,
keempat memperhatikan hubungan antara ayat-ayat, kelima pengamatan asbabun nuzul
dan munasabah, keenam memperhatikan lafadz-lafadz dalam ilmu bahasa Arab, ketujuh
menghindari tuduhan pengulangan dalam Al-Qur’an, kedelapan penafsir harus termasuk
orang yang berhati-hati dan pintar, kesembilan memperhitungkan tentang makna
perkataan dan ringkasan dari kekuatan hukum.
: Ayat itu untuk yang terkenal dan dinyatakan dalam ayat lain, yaitu: (Dan mereka
tidak membunuhnya dengan pasti * Sebaliknya, Tuhan mengangkatnya ke diri-Nya [Surat
An-Nisa: 157 dan 158], dan dalam hadits: “Isa tidak mati, dan dia akan kembali kepadamu
pada Hari Kebangkitan.” Dikatakan: Yang dimaksud adalah bahwa aku akan menangkapmu
dan memenuhi orangmu. Dari tanah, siapa pun yang membayar uang berarti dia
mengambilnya dan mengambilnya darinya, dan dikatakan: Yang dimaksud dengan kematian
di sini: tidur, karena mereka bersaudara dan masing-masing disebut yang lain, dan dikatakan
bahwa itu berarti saya membuat Anda seperti almarhum, karena dengan membesarkan dia
menyerupai dia.
Kesebelas: Mencakup bahwa hukum itu dicabut atau dihapus, seperti firman
Allah Ta’ala : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebagaimana
haknya.” [QS. Al-Imran: 102] Ketakutannya terhadap apa yang benar baginya. dan sesuai
dengan keagungan dan keagungan-Nya, dan itu tidak mungkin, “dan mereka tidak
menghargai Allah hak dari kotorannya” [Surat Al-An'am: 91], dan yang membatalkannya
adalah perkataannya: “Maka bertakwalah kepada Allah semampumu” [QS. Al-Taghabun:
16], diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari Saeed Ibn Jubayr berkata: Ketika saya
mengungkapkan: “Bertakwalah kepada Tuhan sebagaimana kamu harus takut kepada-Nya.”
Orang-orang bekerja keras, dan mereka berdiri sampai paha mereka bengkak, dan dahi
mereka sakit, maka Allah SWT menurunkan kelegaan kepada kaum muslimin: “Maka
bertakwalah kepada Allah sebanyak-banyaknya.” Maka ayat pertama dibatalkan. Siapa pun
yang mengatakan bahwa tidak ada pembatalan adalah pelanggaran ringan:
Keduabelas : Perbedaan riwayat dalam penafsiran dari Nabi SAW dan dari para
pendahulu (salaf) r.a, dan itu seperti perbedaan mereka dalam firman Allah SWT: ٰه َذا ِن خَصْ مٰ ِن
َص ` ُموْ ا فِ ْي َربِّ ِه ْم ْ [Surat Al-Hajj: 19]. Abbas dalam sabdanya: "Ini adalah dua lawan yang
َ اخت
bertengkar karena Tuhan mereka." Dia berkata: "Mereka adalah Ahli Kitab. Mereka berkata
kepada orang-orang beriman, Kami lebih dekat kepada Allah dan lebih tua darimu dalam
sebuah Kitab dan seorang Nabi sebelum Nabimu, dan orang-orang mukmin berkata, Kami
lebih berhak kepada Allah. Yang lain berkata: Salah satu dari dua kelompok itu adalah orang-
orang yang beriman, dan kelompok yang lain adalah orang-orang yang kafir, dari apa pun
golongan mereka. Dan sebagai perbedaan mereka dalam mengatakan: Dan dia memberi
wewenang kepada orang-orang untuk melakukan haji ([Surat Al-Hajj: 27]), dikatakan bahwa
itu adalah pidato untuk tuan kita Ibrahim, dan dikatakan kepada tuan kita Muhammad, damai
dan sejahtera. shalawat atasnya, dan yang pertama adalah yang benar karena didukung dalam
banyak hal dalam al-Tabari dan lainnya.
(Haqq), dari hak sesuatu dalam arti bahwa itu wajib dan ditetapkan, dan itu
datang di bawah judul menambahkan kata sifat untuk deskripsi, dan prinsipnya adalah takut
kepada Allah secara benar, yaitu didirikan. dan wajib, demikian sabdanya: Bukan penyalin,
dan yang pertama adalah yang terkenal.
Akhirnya, di akhir penelitian yang cermat ini, sebutkan alasan perbedaan
penafsiran Al-Qur'an.” Apa yang diriwayatkan Al-Shawkani dalam pengantar tafsirnya “Fath
al-Qadir, vol. 12/1: On otoritas Saeed bin Mansour dalam Sunan-nya, dan Ibn al-Mundhir dan
al-Bayhaqi dalam kitab penglihatan tentang otoritas Sufyan mengatakan: “Itu tidak ada dalam
penafsiran Al-Qur'an.” Perbedaan - yaitu: perbedaan kontradiksi dan kontradiksi - adalah
pidato komprehensif dari mana ini dan ini dimaksudkan.
Diriwayatkan juga atas otoritas Ibn Saad: bahwa Ali, ra dengan dia, berkata
kepada Ibn Abbas: Pergilah kepada mereka - artinya orang Khawarij - dan jangan bertengkar
dengan mereka tentang Al-Qur'an, karena Al-Qur'an memiliki wajah. , tetapi dari mereka.
Dia berkata: Anda telah mengatakan yang sebenarnya, tetapi
Dia berdebat dengan mereka tentang Sunnah, dan dia berkata kepadanya: Saya
adalah yang paling mengetahui Kitab Allah, Al-Qur'an, porter dengan wajah?! .
Diriwayatkan juga dari Ibn Sa`d dalam al-Tabaqat dan Abu Na`im dalam al-
Hilyah atas otoritas Abu Qilabah yang berkata: Abu al-Darda' berkata: wajah Al-Qur'an.”