Anda di halaman 1dari 7

Strategi Gerilya Udara: Membawa

Perang Asymmetric ke Udara


18 Mei 2014 oleh
Latar belakang

Dalam tinjauan aspek pertahanan, sebuah negara kepulauan seperti Indonesia


tentunya dihadapkan pada tantangan yang khas. Dengan pemahaman bahwa
luas wilayahnya sekitar 1.9 juta km2, jumlah pulaunya lebih dari 17 ribu dan
2/3 bagiannya adalah lautan haruslah menjadi dasar kerangka berpikir aspek
pertahanan. Hanya Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste yang berbatasan
darat dengan Indonesia; selebihnya, pagar terluar justru berada di lautan, dan
tentu saja di udara. Sudah sewajarnya
apabila Indonesia memiliki pertahanan laut (seapower) dan pertahanan udara
(airpower) yang kuat.

Namun, tampaknya masih diperlukan waktu yang cukup lama untuk


membentuk postur seapower dan airpower yang diinginkan. Bila mengacu
pada perkembangan kekuatan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara
(TNI AU), maka paling tidak, baru pada tahun 2025 kita dapat mencapai postur
TNI AU yang ideal. Ini artinya selama 15 tahun mendatang, seapower dan
khususnya airpower masih dalam keadaan lemah. Kelemahan ini tidak hanya
terhadap ancaman kekuatan militer negara maju di selatan, seperti Australia,
tapi juga negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Hal inilah
yang mendasari pemikiran perlunya sebuah strategi khusus untuk
menghadapi ancaman yang mungkin timbul dihadapkan pada airpower
Indonesia yang masih lemah.

Strategi ini bisa dikatakan sebagai pemikiran alternatif yang berjalan paralel


dengan pengembangan kekuatan TNI AU yang terarah, terencana, dan
terukur. Strategi ini secara aktif melibatkan masyarakat dirgantara Indonesia
dan sepenuhnya mengandalkan kekuatan nasional. Sehingga dapat dikatakan
strategi ini merupakan kartu truf dan sekaligus surprise element bagi setiap
negaranya yang mengancam NKRI melalui udara. Itulah sebabnya strategi ini
disebut dengan Strategi Gerilya Udara.

Pokok-pokok Gerilya Udara


Walau menggunakan kata gerilya, konsep gerilya udara memiliki banyak
perbedaan dengan pengertian gerilya yang selama ini kita kenal. Hal ini
terutama terkait dengan media udara yang digunakan, sehingga gerilya udara
tidak lepas dari teknologi. Tentu saja yang menjadi rakyat dalam konteks
ini adalah masyarakat Indonesia yang mencintai dunia kedirgantaraan. Pokok-
pokok Gerilya Udara adalah:

1. Gerilya udara adalah bentuk perang asimetris di udara.

Gerilya Udara sesungguhnya adalah upaya yang dilakukan insan udara,


manakala negara membutuhkan. Gerilya Udara dapat didefinisikan sebagai
perlawanan semesta masyarakat dirgantara terhadap ancaman dan serangan
lawan dengan memanfaatkan media udara. Konsep ini muncul untuk
mengantisipasi bila kekuatan udara nasional telah lumpuh sebagai akibat dari
airpower lawan lebih dominan. Secara prinsip, ketika alat utama sistem senjata
(alutsista) AU telah hancur, maka personil AU selanjutnya hanya akan
melakukan perlawanan tanpa kekuatan udara dan hanya mengandalkan
persenjataan seadanya. Dapat dikatakan pada saat itu, AU lumpuh dan
kembali menjadi infantri. Namun dengan konsep Gerilya Udara, maka para
insan udara tidak akan kehilangan jati dirinya. Mereka tetap dapat bertempur
menggunakan segala cara yang menggunakan media udara. Hal yang sama
berlaku pada kekuatan laut. Bila kekuatan laut lumpuh, maka Gerilya Laut
adalah hal yang harus dilakukan pada insan laut.

2.Gerilya Udara bertujuan untuk menghadapi kekuatan udara yang lebih


superior

Perang asimetris di udara ini sesungguhnya adalah cara yang digunakan oleh
si lemah untuk mengahadapi yang kuat, si kecil menghadapi si besar, David vs
Goliath. Mengingat konsepnya yang tidak lazim, maka ini bisa menjadi kartu
truf dalam rangka pertahanan udara nasional. Namun bila infrastruktur gerilya
udara telah terbentuk, bahkan strategi gerilya udara dapat ditingkatkan
perannya, dari kekuatan bertahan (defensive) menjadi menyerang (offensive).

3. Kekuatan inti Gerilya Udara bersumber dari kekuatan industri dan


masyarakat dirgantara Indonesia

 
Adanya prasyarat penguasaan teknologi, menjadikan Gerilya Udara amat
bergantung pada kekuatan industri dirgantara pada semua lini. Mulai
teknologi sederhana seperti pemanfaatan aero-modeling dengan remote
control hingga ke tactical unmanned aerial vehicle (UAV). Penguasaan
teknologi elektronika juga merupakan salah satu kunci Gerilya Udara. Dalam
kondisi kelumpuhan TNI AU dimana sebagian besar alutsistanya telah hancur,
maka insan TNI AU bergerak bersama masyarakat dirgantara untuk
melanjutkan perjuangan melalui media udara.

4. Infrastruktur Gerilya Udara,

 Organisasi. Bersifat dinamis, tergantung situasi di lapangan. Intinya


terdapat penanggungjawab dan bagian operasional sampai ke tingkat
nasional.
 Personil. Melibatkan seluruh personil yang aktif dalam komponen
airpower, seperti para pekerja di industri dirgantara, akademisi, TNI AU
hingga masyarakat pecinta dirgantara.
 Logistik. Penyusunan logistik awal didukung sepenuhnya oleh negara.
Dalam kondisi perang total, maka survivability masing-masing unit
tergantung sepenuhnya pada unit-unit itu sendiri. Diasumsikan bahwa
infrastruktur yang mendukung airpower telah hancur atau diambil alih
musuh.
 Doktrin Operasi.
1. Sebagai Kekuatan Defensif. Dilaksanakan pada fase awal serangan
lawan, melalui media darat, laut, dan udara. Kekuatan udara musuh yang
superior akan coba dihambat, dinetralisir dan dihancurkan sebelum
masuk ke wilayah udara nasional.
2. Sebagai Gerilya Udara. Dilaksanakan pada fase dimana musuh telah
masuk dan menguasai serta menduduki sebagian wilayah nasional.
Upaya yang dilakukan bermaksud untuk:  (A.) Memberikan perlawanan
sekeras mungkin, selama fase perang berlarut. Contohnya adalah
perlawanan yang dilakukan oleh macan Tamil yang menggunakan
pesawat swayasa untuk menghancurkan kekuatan udara pihak
pemerintah Srilanka. (B.) Membuat lawan lelah, dengan menggunakan
aset-aset udara yang ada. (C.) Berusaha merebut aset-aset udara lawan.
3. Sebagai Kekuatan Ofensif. Bila kekuatan udara musuh bisa dinetralisir,
maka kekuatan gerilya udar semula bersifat defensif dapat digunakan
untuk keperluan ofensif
4. Aset. Semua aset dirgantara yang memungkinkan untuk dimanfaatkan
dalam rangka gerilya udara. Aset merupakan kombinasi dari milik TNI,
TNI AU, industri, masyarakat dirgantara dan aset musuh yang berhasil
direbut.
5. Pembinaan Masyarakat Dirgantara. Tidak mudah untuk melibatkan
masyarakat terhadap masalah pertahanan. Untuk itu, upaya pembinaan
masyarakat dirgantara merupakan upaya yang terus berlanjut, baik ada
atau tidak strategi Gerilya Udara.
 

Ancaman dari udara

Pada era modern saat ini, kekuatan udara diyakini sebagai faktor dominan
untuk memenangkan peperangan. Pada perang Irak, jelas terlihat bagaimana
pentingnya kekuatan udara untuk melumpuhkan kekuatan Irak dan
selanjutnya kekuatan darat USA-Inggris dengan mudah menaklukan
penguasaan wilayah. Dalam perang Balkan, Serbia dipaksa takluk dengan
adanya serangan udara yang presisi terhadap pusa-pusat militer dan
pemerintahannya.

Di Afghanistan, hanya kekuatan udara koalisi yang mampu menekan Taliban.


Tanpa kekuatan udara, maka pasukan koalisi akan sangat kesulitan
menghadapi pejuang Taliban. Pasukan koalisi banyak mengandalkan Tactical
UAV untuk menyerang Taliban jauh di pedalaman. Tidak mengherankan bila di
banyak negara, pengembangan kekuatan militer, sama artinya dengan
pengembangan kekuatan udara. Hal ini tidak hanya berlaku pada negara-
negara maju, bahkan juga pada banyak negara berkembang seperti yang
terjadi di wilayah Asia Tenggara. Negara-negara seperti Malaysia, Singapura,
dan Thailand terus meningkatkan kekuatan udaranya. Indonesia jelas melihat
hal ini sebagai ancaman. TNI menyadari bahwa TNI AU secara head-to-head
saat ini jelas belum mampu menghadapi ancaman ini. Kohanudnas (Komando
Pertahanan Udara Nasional) yang merupakan satu-satunya Kotama (Komando
Taktis Utama) Operasional di bawah Mabes TNI hampir dapat dipastikan akan
lumpuh dalam beberapa jam setelah terjadinya serangan udara lawan.
Untuk mempersiapkan diri menghadapi ancaman serangan udara, maka baik
dalam perang Simetris maupun dalam perang Asimetris ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan:
1. Waktu datangnya ancaman Hal ini lebih terkait dengan kesiapan Indonesia
sendiri untuk menghadapi bahaya udara. Karena untuk menyiapkan
infrastruktur gerilya udara bukan perkara mudah. Sehingga waktu datangnya
ancaman sesungguhnya merupakan time frame kesiapan pertahanan udara
nasional itu sendiri dan dapat dibedakan sebagai berikut :
a) Pada fase ini, akan ada penambahan pesawat kelas sebagai pengganti F-5
(dan mungkin Hawk 100/200). Sistem senjata sudah mulai dilengkapi. Namun
perlu diingat, kekuatan udara lawan juga akan semakin meningkat. Sehingga
diperkirakan TNI AU tetap belum mampu mengatasi bila terjadi serangan
udara. Di sisi lain, infrastruktur gerilya udara sudah terbentuk dan dapat
dijadikan komplementer untuk upaya pertahanan udara nasional.

B) Jika tidak ada halangan setelah 15 tahun mendatang akselerasi


perkembangan TNI AU sudah mendekati postur ideal yang diharapkan.
Pesawat generasi 4.5 KFX yang merupakan joint production antara Indonesia
dan Korea Selatan mulai mengisi skadron-skadron udara TNI AU. Sehingga
gap dengan kekuatan udara negara-negara tetangga sudah mengecil.
Sementara kekuatan gerilya udara sudah tumbuh, tidak hanya berperan
sebagai kekuatan defensif bahkan dapat ditingkatkan sebagai kekuatan
offensif.

2. Arah datangnya ancaman Bila dilihat secara geografis, maka arah datangnya
ancaman udara akan datang dari:
a) Koridor Utara. Melalui Selat Malaka-Selat Karimata. Ancaman bisa datang
dari negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Namun juga dari negara
besar seperti, China dan USA.
b) Koridor Barat. Dari arah Samudra Hindia. Ancaman bisa datang dari
pesawat-pesawat tempur dan peluru kendali jelajah yang diluncurkan dari
kapal induk maupun armada perang USA.
c) Koridor Selatan. Dari arah Christmas Island maupun dari Australia. Dengan
mempengaruhi perkiraan arah datangnya ancaman, maka asset gerilya udara
terutama akan disebar pada ketiga wilayah ini.

3. Jenis ancaman Ancaman datang dari pesawat-pesawat tempur generasi ke-


4 ke atas :
F-15 dan F-16 C/D (Singapura)
F-18, Su-27/30, Mig-29 (Malaysia)
F-111, F-18, F-35 (Australia)
Peluru kendali jelajah, F-15, F-16, F-18, F-117, B-1, B-2 (USA)
JF-17, J-10, J-11 (China)
Ini artinya kekuatan gerilya udara diarahkan untuk mampu menghadapi
ancaman dari jenis pesawat dan senjata tersebut di atas.
Bentuk-bentuk Gerilya Udara

Menghadapi kekuatan udara yang superior, maka dibutuhkan cara-cara


inkonvensional karena cara konvensional hanya akan menjadi sitting duck saja.
Bentuk-bentuk gerilya udara yang dapat dilakukan antara lain:

1. Kombatan Wahana udara yang digunakan untuk perang antara lain :

a) Roket. Berupa roket darat ke udara, roket udara ke permukaan, roket


permukaan ke permukaan. Melibatkan roket dengan pemandu dan tanpa
pemandu.
b) UAV. Jenis UAV yang digunakan tidak perlu modern. Yang penting dibuat
dalam jumlah besar dan fungsinya adalah sebagai UAV Kamikaze. UAV
Kamikaze utamanya diarahkan untuk menghantam skadron-skadron fighter
lawan yang superior. Kekuatannya terletak pada jumlahnya yang ribuan dan
kesederhanaan dalam operasionalnya. Bagi UAV Kamikaze yang gagal
mencegat skadron Fighter lawan, langsung diarahkan untuk menyerang
negara lawan (bila jarak memungkinkan). Bila jarak tidak memungkinkan,
diarahkan untuk melaksanankan misi selanjutnya (pada fase perang berlanjut).
c) Pesawat Swayasa. Merupakan pesawat-pesawat rakitan yang digunakan
untuk memberikan kejutan dan kerusakan semaksimal mungkin pada
kekuatan lawan.

2. Reconnaissance Menggunakan pesawat aero-modeling yang dilengkapi


dengan kamera. Bila memungkinkan dapat diberikan payload tambahan
seperti bom.

3. Pemanfaatan Gelombang Elektromagnetik Digunakan untuk ‘memanipulasi’


aset airpower lawan. Pengalaman Iran melakukan intersepsi UAV milik Amerika
yang canggih, merupakan contoh yang menarik. Ada juga pemikiran untuk
mengganggu peralatan navigasi lawan, sehingga pesawat lawan menerima
data yang salah dan dapat mengacaukan bahkan menghancurkan misi yang
sedang dilaksanakan.
Perkiraan teknis
UAV Kamikaze yang digunakan, dirancang untuk memiliki kemampuan atau
spesifikasi sebagai berikut:
1. Kecepatan hingga 250 kts
2. Dilengkapi dengan bom yang mampu meledak secara terfragmentasi
3. Memiliki alat kendali, lincah
4. Dilengkapi sensor gerak/sensor panas
5. Radius action ± 200 nm
6. Endurance ± 2 jam
7. Full authority
8. Harga berkisar US$ 100,000

Prototipe PUNA Wulung

Perkiraan biaya
Untuk membentuk sebuah skadron Fighter baru sekelas Su-27/30 yang terdiri
dari 12 pesawat tempur, dibutuhkan anggaran sekitar USS 1 milyar. Dengan
anggaran yang sama maka untuk mendapatkan UAV Kamikaze seharga USS
100.000, akan didapat sebanyak 10.000 UAV Kamikaze! Tentunya
UAV Kamikaze ini adalah produk nasional, sehingga keberadaannya tidak
diketahui pihak lain.

Penutup
Pemikiran tentang Gerilya Udara sesungguhnya masih mentah dan layak
dikritisi di sana-sini. Namun hanya bentuk perlawanan seperti ini yang bisa
dilakukan oleh insan udara manakala berhadapan dengan kekuatan udara
lawan yang superior. Mau tidak mau, kita harus membawa perang asimetris
ke udara. Bentuk perang sebanyak ini sangat fleksibel dan mengikutsertakan
potensi masyarakat dirgantara Indonesia yang selama ini terabaikan. Efek
samping (positif) dari Strategi Gerilya Udara adalah menggairahkan industri
dirgantara nasional yang saat ini mati suri. Bahkan bisa mati sungguhan
bila tidak ada kepedulian dari kita semua.

catatan : Tulisan ini merupakan pemikiran pribadi dan tidak mewakili


institusi. Definisi ’musuh’ dalam tulisan ini juga merupakan penilaian
pribadi.

(Ditulis oleh :  Kolonel Pnb Ir. Novyan Samyoga adalah tokoh militer


Indonesia. )

Anda mungkin juga menyukai