Disusun Oleh :
Reza Erlina Cristy
A. Konsep dasar
1. Definisi
Gastroenteritis virus adalah penyakit dapat berlangsung self-limited berupa diare berair,
biasanya kurang dari 7 hari, disertai dengan gejala nausea, muntah, anoreksia, malaise,
demam, hingga dehidrasi berat bahkan dapat berakibat fatal (Widagdo, 2012).
Gastroenteritis didefinisikan sebagai inflamasi membrane mukosa lambung dan usus
halus. Gastroenteritis adalah salah satu penyakit yang masih menjadi masalah utama di
berbagai negara terutama di negara berkembang dan menjadi masalah utama urutan ke-3
pada angka kesakitan dan kematian anak khususnya balita di dunia. Anak-anak
merupakan suatu kelompok yang rentan terhadap penyakit gastroenteritis, salah satu
penyebabnya yakni karena infeksi. Jika gastroenteritis disertai dengan muntah yang
berlebihan akan menyebabkan dehidrasi atau kekurangan cairan (Kemenkes RI, 2013).
Gastroenteritis adalah suatu keadaan dimana seseorang buang air besar dengan konsisteni
lembek atau cair bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih sering (biasanya
tiga kali atau lebih) dalam satu hari (Depkes, 2016).
Dari beberapa definisi menurut para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa gastroenteritis
adalah peradangan pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh mikroorganisme
bakteri maupun virus yang ditandai oleh diare berair yang berlangsung kurang dari 7 hari,
dengan atau tanpa disertai gejala lain seperti muntah, anoreksia, demam, hingga dehidrasi
berat.
2. Etiologi
Penyebab gastroenteritis menurut Dewi Wulandari dan Meira Erawati (2016)
mengemukakan ada empat macam penyebab gastroenteritis, yaitu:
a. Faktor infeksi
Infeksi enternal yaitu infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan
penyebab utama gastroenteritis. Meliputi infeksi enteral sebagai berikut :
1) Infeksi bakteri : vibrio, e.coli, salmonella, compylobacler, tersinia, aeromonas,
dan sebagainya.
2) Infeksi virus: enterovirus, adenovirus, rotavirus, astrovirus, dan lain – lain.
3) Infeksi parasite: cacing (ascaris, trichuris, oxyuris, strongyloides), protozoa
(entamoeba, histolytica, giardia lamblia, trichomonas hominis), jamur (candida
albicans).
b. Infeksi parenteral
Infeksi parenteral merupakan infeksi di luar alat pencernaan makanan seperti Otitis
Media Akut (OMA), tonsillitis/tonsilofaringitis, bronkopneumonia ensefalitis, dan
sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak berumur di bawah 2
tahun
c. Faktor malabsorbsi
1) Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltase, dan sukrosa),
mosiosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa).
2) Pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering intoleransi laktosa.
3) Malabsorbsi lemak.
4) Malabsorbsi protein.
d. Faktor makanan
Makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.
e. Faktor psikologis
Rasa takut dan cemas.
3. Patofisiologi
Menurut Nurarif (2015) secara umum gastroenteritis disebabkan oleh masuknya
mikroorganisme hidup ke dalam usus setelah berhasil
melewati rintangan asam lambung. Organisme masuk pada mukosa epitel, berkembang
biak pada usus dan menempel pada mukosa usus serta melepaskan enterotoksin yang
dapat menstimulasi cairan dan elektrolit keluar dari sel mukosa. Infeksi virus ini
menyebabkan destruksi pada mukosa sel dari vili usus halus yang dapat menyebabkan
penurunan kapasitas absorbsi cairan dan elektrolit. Interaksi antara toksin dan epitel, usus
menstimulasi enzim Adenilsiklase dalam membrane sel dan mengubah cyclic AMP yang
menyebabkan peningkatan sekresi air dan elektrolit, sehingga timbul diare. Diare yang
terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan kerusakan integritas kulit pada daerah
perianal. Selain itu juga, Sekresi air dan elektrolit secara berlebihan ini dapat
menyebabkan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dan asidosis metabolik
sehingga dapat menimbulkan kekurangan volume cairan dalam tubuh serta gangguan
pertukaran gas akibat dari asidosis metabolik. Kekurangan volume cairan secara terus
menerus dapat menimbulkan syok hipovolemi. Selain itu juga, proses invasi dan
pengerusakan mukosa usus, organisme menyerang enterocytes (sel dalam epitelium)
sehingga menyebabkan peradangan (timbul mual muntah) dan kerusakan pada mukosa
usus. Hal ini menyebabkan penurunan nafsu makan, serta gangguan pada psikologi klien
yang dapat menyebabkan ansietas. Penurunan nafsu makan dapat mengakibatkan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada bagan di bawah ini
Pathways gastroenteritis
4. Manifestasi Klinis
Menurut Sodikin, 2011, manifestasi gastroenteritis adalah sebagai berikut : 1) Sering
buang air besar dengan konsistensi feses makin cair, mungkin mengandung darah dan
atau lender, dan warna feses berubah menjadi kehijau – hijauan karena bercampur cairan
empedu. 2) Suhu badan meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada. Mengubah
cyclic AMP Masuknya mikroorganisme ke usus Psikologi Berkembang biak di usus
Ansietas Peningkatan sekresi air & elektrolit Menempel pada mukosa usus Menyebabkan
peradangan pada usus Asidosis metabolik Diare Kerusakan integritas kulit perianal
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Nafsu makan menurun Timbul
mual muntah Sesak Gangguan pertukaran gas Gangguan keseimbangan cairan &
elektrolit Kekurangan volume cairan Resiko syok (hipovolemi) 19 19 3) Anus dan area
sekitarnya lecet karena seringnya defekasi, sementara tinja menjadi lebih asam akibat
banyaknya asam laktat. 4) Dapat disertai muntah sebelum dan sesudah diare. 5) Terdapat
tanda dan gejala dehidrasi, berat badan turun, tonus otot dan turgor kulit berkurang, dan
selaput lendir pada mulut dan bibir terlihat kering. Gejala klinis menyesuaikan dengan
derajat atau banyaknya kehilangan cairan. Berdasarkan kehilangan berat badan, dehidrasi
terbagi menjadi empat kategori yaitu tidak ada dehidrasi (bila terjadi penurunan berat
badan 2,5%), dehidrasi ringan (bila terjadi penurunan berat badan 2,5 – 5%), dehidrasi
sedang (bila terjadi penurunan berat badan 5 – 10%), dan dehidrasi berat (bila terjadi
penurunan berat badan 10%).
5. Komplikasi
Menurut Dewi Marmi dan Rahardjo (2016), sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit
secara mendadak dapat terjadi berbagai macam komplikasi, seperti :
a. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik, atau hipertonik.
b. Renjatan hipovolemik.
c. Hipokalemia (dengan gejala meterorismus, hipotoni otot, lemah, bradikardia perubahan
pada elektrokardiagram).
d. Hipoglikemia.
e. Intoleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim laktose karena kerusakan
vili mukosa usus halus.
f. Kejang, terutama pada dehidrasi hipotonik.
g. Malnutrisi energi protein karena selain diare dan muntah, penderita juga mengalami
kelaparan.
6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada gastroenteritis menurut Nurarif (2015) adalah :
a. Pemeriksaan tinja :
Makroskopis dan mikroskopis
pH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet
clinitest, bila diduga terdapat intoleransi gula.
Bila perlu dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi. 20 20
b. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah, dengan
menggunakan pH dan cadangan alkali atau lebih tepat lagi dengan
pemeriksaan analisa gas darah menurut astrup (suatu pemeriksaan analisa gas
darah yang dilakukan melalui darah arteri) bila memungkinkan.
c. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.
d. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar natrium, kalium, kalsium, dan fosfor
dalam serum (terutama pada penderita gastroenteritis yang disertai kejang).
Jalan pemberian cairan a) Per oral pada dehidrasi ringan, sedang dan tanpa
dehidrasi dan bila klien dapat minum serta kesadaran baik. b) Intragastritik
untuk dehidrasi ringan, sedang, atau tanpa dehidrasi, tetapi klien tidak dapat
minum atau kesadaran menurun. c) Intravena untuk dehidrasi berat.
c. Obat-obatan
Prinsip pengobatan diare adalah mengganti cairan yang hilang melalui tinja dengan /
tanpa muntah dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa / karbohidrat
lain (gula, air tajin, tepung beras, dsb).
1) Obat anti sekresi, asetosal, dosis 25 mg / ch dengan dosis minimum 30 mg.
Klorrpomozin dosis 0,5 – 1 mg / kg BB / hari.
2) Obat spasmolitik, umumnya obat spasmolitik seperti papaverin ekstrak
beladora, opium loperamia tidak di gunakan untuk mengatasi diare akut lagi,
obat pengeras tinja seperti kaolin, pectin, charcoal, tabonal, tidak ada
manfaatnya untuk mengatasi diare sehingga tidak diberikan lagi.
3) Antibiotik, umumnya antibiotik tidak diberikan bila tidak ada penyebab yang
jelas. Bila penyebabnya kolera, diberikan tetrasiklin 25 – 50 mg / kg BB / hari.
Antibiotik juga diberikan bila terdapat penyakit seperti OMA, faringitis,
bronchitis / bronkopeneumonia.
Penanganan diare lainya yaitu dengan rencana terapi A, B, dan C sebagai berikut:
a. Rencana terapi A, penanganan diarea rumah, dengan menjelaskan pada ibu tentang 4
aturan perawatan di rumah:
1) Beri cairan tambahan
a) Jelaskan pada ibu, untuk beri ASI lebih sering dan lebih lama pada setiap kali
pemberian. Jika anak memperoleh ASI Eksklusif, berikan oralit atau air
matang sebagai tambahan.
b) Jika anak tidak memperoleh ASI Eksklusif, berikan 1 atau lebih cairan
berikut ini: oralit, cairan makanan (kuah sayur, air tajin), atau air matang.
c) Ajari ibu cara mencampur dan memberikan oralit. Beri ibu 6 bungkus oralit
(200 ml) untuk digunakan dirumah. Tunjukkan kepada ibu beberapa banyak
oralit atau caian lain yang harus diberikan setiap kali anak buang air besar:
Sampai umur 1 tahun: 50 sampai 100 ml setiap kali BAB.
Umur 1 sampai 5 tahun: 100sampai 200 ml setiap kali BAB.
Katakan kepada ibu agar meminum sedikit-sedikit tapi sering dari
mangkuk/cairan/gelas, jika anak muntah, tunggu 10 menit. Kemudian
lanjutkan lagi lebih lambat, lanjutkan pemberian cairan tambahan sampai
diare berhenti.
2) Beri tablet Zinc selam 10 hari.
3) Lanjutkan pemberian makanan
4) Kapan harus kembali konseling bagi ibu.
1) Tentukan jumlah oralit untuk 3 jam pertama. Jika anak menginginkan, boleh
diberikan lebih banyak dari pedoman diatas. Untuk anak berumur kurang dari 6
bulan yang tidak menyusu, berikan juga 100-200 ml air matang selama periode
ini.
2) Tunjukan cara memberikan larutan oralit. Minumkan sedikit-sedikit tapi sering
dari cangkir/gelas. Jika anak muntah, tunggu 10 menit. Kemudian berikan lagi
lebih lambat. Lanjutkan ASI selama anak mau.
3) Berikan tablet Zinc selama 10 hari berturut-turut. Umur <6 bulan: 10 mg/hari.
Umur ≥6 bulan: 20 mg/hari
4) Setelah 3 jam, ulangi penilaian dan klasifikasi kembali derajat dehidrasinya.
Pilih rencana terapi yang sesuai untuk melanjutkan pengobatan. Mulai memberi
makan anak.
5) Jika ibu memaksa pulang sebelum pengobatan selesai. Tunjukan cara
menyiapkan cairan oralit di rumah. Tunjukan beberapa banyak oralit yang harus
diberikan dirumah untuk menyelesaikan 3 jam pengobatan. Beri oralit yang
cukup untuk dehidrasi dengan menambahkan 6 bungkus lagi. Jelas 4 aturan
perawatan diare dirumah (lihat rencana terapi A).
c. Rencana terapi C
Penanganan dehidrasi berat dengan cepat, yaitu dengan:
1) Memberikan cairan intravena secepatnya. Jika anak bisa minum, beri oralit
melalui mulut sementara infuse dipersipakan. Beri ml/kg cairan Ringer Laktat
atau jika tersedia, gunakan cairan NaCl yang dibagi sebagai berikut:
Ulangi sekali lagi jika denyut nadi sangatlah lemah atau tidak teraba
2) Periksa kembali anak setiap15-30 menit. Jika nadi belum teraba, beri tetesan
lebih cepat.
3) Beri oralit (kira-kira 5 m/kg/jam) segera setelah anak mau minum: biasanya
sesudah 3-4 jam (bayi) atau 1-2 jam (anak) dan beri juga tablet Zinc.
4) Periksa kembali bayi sesudah 6 jam atau anak sesudah 3 jam. Klasifikasi
dehidrasi dan pilih rencana terapi yang sesuai untuk melanjutkan pengobatan.
5) Rujuk segera untuk pengobatan intravena, jika tidak ada fasilitas untuk
pemebrian cairan intravena terdekat (dalam 30 menit).
6) Jika anak bisa minum, bekali ibu larutan oralit dan tunjukan cara meminumkan
pada anaknya sedikit demi sedikit selama dalam perjalanan menuju klinik.
7) Jika perawat sudah terlatih mengunakan pipa orogastik untuk rehidrasi,
mulailah melakukan rehidrasi dengan oralit melalui pipa nasogastrik atau mulut:
beri 20 ml/kg/jam selama 6 jam (total 120ml/kg).
8) Periksa kembali anak setiap1-2 jam: Jika anak muntah terus atau perut makin
kembung, beri cairan lebih lambat. Jika setelah 3 jam keadaan hidrasi tidak
membaik, rujuk anak untuk pengobatan intravena.
9) Sesudah 6 jam, periksa kembali anak. Klasifikasi dehidrasi. Kemudian tentukan
rencana terapi sesuai (A, B, atau C) untuk melanjutkan pengobatan.
c. Pemberian tablet Zinc untuk semua penderita diare. Pastikasn semua anak yang
menderita diare mendapatkan tablet Zinc sesuai dosis dan waktu yang telah
ditentukan. Dosis tablet Zinc (1 tablet – 20 mg). Berikan dosis tunggal selama 10
hari. Umur < 6 bulan: tablet, umur ≥ 6 bulan: 1 tablet. Cara pemberian tablet Zinc:
Larutan tablet dengan sedikit air atau ASI dalam sendok teh (tablet akan larut) 30
detik), segera berikan kepada anak. Apabila anak muntah sekitar setengah jam
setelah pemberian tablet Zinc, ulangi pemberian dengan cara memberikan potongan
lebih kecil dilarutkan beberapa kali hingga satu dosis penuh. Ingatkan ibu untuk
memberikan tablet Zinc setiap hari selama 10 hari penuh, meskipun diare sudah
berhenti, karena Zinc selain memberi pengobatan juga dapat memberikan
perlindungan terhadap diare selama 2-3 bulan ke depan.
Respon perilaku terhadap hospitalisasi meliputi tahap protes, pada tahap ini anak-anak
bereaksi secara agresif terhadap perpisahan dengan orang tua. Anak-anak menangis dan
berteriak memanggil orang tua mereka, menolak perhatian dari orang lain. Tahap putus
asa, pada tahap ini tangisan berhenti dan muncul depresi. Anak menjadi begitu aktif,
tidak tertarik bermain atau terhadap makanan, dan menarik diri dengan orang lain.
Tahap pelepasan, pada tahap ini disebut juga tahap penyangkalan. Anak akhirnya
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Anak menjadi lebih tertarik dengan lingkungan
sekitar, bermain dengan orang lain, dan tampak membina hubungan baru dengan orang
lain (Supartini, 2014).
Anak usia pra sekolah sering merasa terkekang selama dirawat di rumah sakit. Hal ini
disebabkan adanya pembatasan aktivitas anak sehingga anak merasa kehilangan
kekuatan diri. Perawatan di rumah sakit sering kali dipersepsikan sebagai hukuman
sehingga anak akan merasa malu, bersalah, dan cemas atau takut. Anak yang sangat
cemas dapat bereaksi agresif dengan marah dan berontak. Jika anak sangat ketakutan,
anak dapat menampilkan perilaku agresif, dari menggigit, menendang-nendang, hingga
berlari keluar ruangan. Ekspresi verbal yang ditampilkan seperti dengan mengucapkan
kata-kata marah, tidak mau bekerja sama dengan perawat, dan ketergantungan pada
orang tua.
6) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium penting artinya dalam meningkatkan diagnosis yang
tepat, sehingga dapat memberikan terapi yang tepat pula. Pemeriksaan yang
perlu dilakukan pada klien yang mengalami GE, yaitu:
a) Pemeriksaan tinja, baik secara mikroskopis maupun mikroskopi dengan
kultur
b) Test malabsrobsi yang meliputi karbohidrat dan lemak
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang biasa terjadi pada pasen dengan GE dalah yaitu:
a. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh berhubungan dengan output
berlebihan dengan intake yang kurang.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual dan
muntah.
c. Gangguan eliminasi berhubungan dengan BAB cair dengan peningkatan frekuensi
defekasi dari biasanya.
3. Intervensi
Diagnosa 1: Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan output
berlebihan dengan intake yang kurang.
Tujuan: Kebutuhan cairan terpenuhi
Kriteria hasil: Turgor kulit bagus, mukosa bibir basah
a) Monitor TTV
b) Kaji in / out cairan
c) Kaji status dehidrasi
d) Kolaborasi dengan medis
Diagnosa 2: Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual
dan muntah
Tujuan: Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil: BB klien kembali normal dan nafsu makan meningkat
a) Monitor in take nutrisi
b) Monitor muntahan klien
c) Monitor BB klien
d) Kolaborasi dengan medis untuk pemberian obat anti mual dan muntah
4. Implementasi
Diagnosa 1: Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan output
berlebihan dengan intake yang kurang
a. Mengkaji status dehidrasi: Mata, turgor kulit, mukosa bibir
b. Mengkaji output dan intake cairan klien
c. Memonitor TTV
d. Berkolaborasi dengan medis untuk pemberian obat anti diare
Diagnosa 2: Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual
dan muntah
a. Memonitor intake dan output
b. Menimbang BB setiap hari
c. Berkolaborasi dengan ahli gizi untuk program diet
d. Berkolaborasi dengan medis untuk terapi anti mual dan muntah
5. Evaluasi
a. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan output
berlebihan dengan intake yang kurang. Kriteria hasil yang telah di tetapkan dalam
tinjauan pustaka sebagai berikut: pasien tidak menunjukan tanda – tanda dehidrasi
ditandai denga mata tidak cekung, turgor baik, mukosa bibir basah.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungann dengan mual dan
muntah. Kriteria hasil yang telah ditetapkan dalam tinjauan pustaka yaitu pasien
mendapatkan kebutuhan nutrient sesuai dengan yang diperlukan tubuh ditandai
dengan berat badan stabil, porsi RS habis.
c. Gangguan eliminasi berhubungan dengan BAB encer atau cair dengan peningkatan
frekuensi defekasi dari biasanya. Kriteria yang telah ditentukan tinjauan pustaka
yaitu frekuensi defekasi kembali normal ditandai dengan feses padat tapi lunak.
E. Daftar pustaka
Arief, W. K. (2014). Neonatus dan Asuhan Keperawatan Anak. Yogyakarta: Nuha Medika.
Depkes, R. (2016). Buku Saku Petugas Kesehatan: Lintas Diare. Jakarta: Depkes RI.
Dewi, A.K. (2016). Penurunan Suhu Tubuh Antara Pemberian Kompres Hangat Dengan Tepid Sponge
Bath pada Anak Demam. Jurnal keperawatan Muhammadiyah, 1 (1). 63-71. Diaksesdari
http://journal.um-surabaya.ac.id pada 9 Januari 2018Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar.
Jakarta: Balitbang Kemenkes Ri.
Muttaqin, A. (2011). Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
Salemba Medika.
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
& NANDA NIC NOC Jilid 2. Jakarta:EGC
Sodikin. (2011). Asuhan Keperawatan Anak: Gangguan Sistem Gastrointestinal dan Hepatobilier. Jakarta:
Salemba Medika.
Soetjiningsih.(2016). Tumbuh Kembang Anak.Edisi 2.Jakarta:EGC.
Subagyo, B., & Santoso, N. (2010). Buku Ajar Gartroenterologi Hepatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Supartini. (2014). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.
Yuniarti, S. (2015). Asuhan Tumbuh Kembang Neonatus Bayi: Balita dan Anak Prasekolah.
Bandung: PT Refika Aditama.
Widagdo. 2012. Masalah dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Demam. Jakarta: Sagung Seto.
Yuniarti, Sri. (2015). Asuhan Tumbuh Kembang Neonatus Bayi: Balita dan Anak Prasekolah. Bandung :
PT Refika Aditama.