Anda di halaman 1dari 27

TUGAS MATA KULIAH

VIKTIMOLOGI

PERLINDUNGAN KORBAN DALAM KASUS KEJAHATAN TERHADAP


KEMANUSIAAN TIMOR TIMUR TAHUN 1999

Dosen Pengampu:
Dr. Ni Nyoman Juwita Arsawati, S.H., M.Hum.

Oleh:
Putu Nadya Tasya Putri 8.18.2.1664
Shella Monika Shalsadilla 8.18.2.1678
Anak Agung Ayu Prami Utami 8.18.2.1706
Fadilah Rizki Maharani 8.18.2.1708
I Nyoman Gede Sedana Kasmariadi 8.18.2.1716
Gede Axel Adin Ivantara 8.18.2.1717
Gde Putra Mahendra Junior 8.18.2.1718

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN NASIONAL (UNDIKNAS) DENPASAR

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
kami kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Viktimologi.

Sekaligus rasa terima kasih juga kami sampaikan sebanyak-


banyaknya untuk Ibu Dr. Ni Nyoman Juwita Arsawati, S.H., M.Hum. selaku
dosen pengampu mata kuliah Viktimologi semester 6 di Universitas
Pendidikan Nasional (UNDIKNAS) Denpasar yang telah menyerahkan
kepercayaannya kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Kelompok
kami tentu mengharapkan kritik serta saran dari pembaca, supaya makalah
ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, semoga
makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Denpasar, 3 Mei 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

1.1 Latar Belakang......................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................... 6

1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................. 8

BAB III PEMBAHASAN .................................................................... 18

3.1 Pemberian Perlindungan Korban Kasus

Timor Timur 1999 .................................................................. 18

3.1.1 Tidak Dicantumkannya Pemberian Kompensasi

Bagi Korban Kasus Timor Timur 1999 pada

Amar Putusan Pengadilan .......................................... 19

BAB IV PENUTUP ........................................................................... 23

4.1 Kesimpulan ............................................................................ 23

4.2 Saran ..................................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pernyataan HAM di dalam Pancasila mengandung pemikiran bahwa


manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan menyandang dua
aspek yakni, aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosialitas
(bermasyarakat). Oleh karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak
asasi orang lain.1 Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak Asasi
Manusia merupakan hak yang melekat pada individu saat ia dilahrikan di
dunia. Hak asasi manusia bersifat universal dan dilindungi oleh Negara
sepenuhnya, dalam internasional HAM dilindungi oleh Statuta Roma,
sedangkan Indonesia meratifikasi statuta roma menjadi UU No. 26 Tahun
2000 tentang Hak asasi Manusia.

Pelanggaran HAM sering terjadi di Indonesia, beberapa kasus


terindikasi merupakan kejahatan HAM berat, namun ada yang sudah di
putus dan masih dalam proses. Pengertian pelanggaran HAM berat yang
dimaksud dalam UU nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam
UU tersebut dijelaskan pelanggaran HAM berat meliputi genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7). Uraian pengertian dari kedua
hal tersebut terdapat dalam pasal 8 dan 9.

Pasal 8 menyatakan genosida adalah:

1 Bambang Heri Supriyanto. 2014. Penegakan Hukum Mengenai Hak Asasi

Manusia (HAM) Menurut Hukum Positif di Indonesia. Jurnal AL-AZHAR INDONESIA


SERI PRANATA SOSIAL, Vol . 2, No. 3, hlm. 153

3
4

Setiap perbuatan yang dinyatakan dengan maksud untuk menghancurkan


atau memusnahkan sebagian atau seluruh kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok bangsa.

Pasal 9 menyatakan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah:

Kejahatan HAM berat pernah terjadi di Timor Timur yang sekarang


menjadi Timor Leste. Sejarah panjang Timor-Timur dengan Indonesia
dibuka pada 28 November 1975 ketika Timor Leste resmi mendeklarasikan
kemerdekaannya atas Portugal, dengan invasi militer yang hanya berjarak
9 hari sejak deklarasi tersebut, Indonesia di bawah pimpinan Soeharto
melakukan invasi militer yang berujung dengan aneksasi wilayah Timor
Leste melalui Operasi Seroja, wilayah ini kemudian dideklarasikan pada 27
Juli 1976 sebagai provinsi baru Indonesia. Pasca berakhirnya rezim
Soeharto, Presiden Indonesia B.J. Habibie akhirnya mengamini kehendak
rakyat Timor-Timur untuk melaksanakan referendum melalui surat resmi
kepada Sekretaris Jenderal PBB pada 27 Januari 1999. Referendum
dilaksanakan pada 30 Agustus 1999 dengan dua opsi yaitu menerima
otonomi khusus atau memisahkan diri dari Indonesia, hasil dari referendum
tersebut adalah Timor-Timur memisahkan diri dari Indonesia.

Sejak referendum dilaksanakan, terlebih setelah diumumkannya


hasil referendum tersebut, berkembang tindak kekerasan yang luas,
pembumihangusan, penjarahan, dan pengungsian secara besar-besaran di
wilayah Timor Timur. Pertikaian ini terjadi antara kelompok anti integrasi
dan pro integrasi yang termasuk di dalamnya adalah TNI. Desakan kuat
masyarakat internasional dan PBB terhadap pemerintah untuk bertanggung
jawab atas peristiwa tersebut, mendorong Komnas HAM sebagai
pemangku kewenangan penyelidikan, membentuk Komisi Penyelidikan
(KPP) HAM Timor Timur pada 23 September 1999 berdasarkan Undang-
Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Perppu No. 1
Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM yang kini telah dicabut oleh UU No.
26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
5

Kemudian berdasarkan laporan KPP-HAM Timor Timur pada tanggal


31 Januari 2000, yang diserahkan kepada Kejaksaan Agung oleh Komnas
HAM, laporan tersebut membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM
berat yang berdasarkan bentuk dan sifat kejahatannya merupakan suatu
kejahatan kemanusiaan (Crimes Against Humanity) yang dilakukan secara
terencana dan sistematik serta dalam skala besar dan luas. Telah terbukti
terjadi pelanggaran HAM berat di Timor Timur yang meliputi pembunuhan,
pemusnahan, perbudakan, pengusiran dan pemindahan paksa serta
tindakan tidak manusiawi lainnya terhadap penduduk sipil. Semua tindaan
tersebut pada hakikatnya adalah bentuk pelanggaran berat atas hak hidup,
hak kebebasan dan kehidupan yang layak.

KPP HAM Timor-Timur sebagai perwujudan kewenangan


penyelidikan Komnas HAM menyerahkan berkas penyelidikan KPP HAM
Timor-Timur kepada Kejaksaan Agung untuk dilanjutkan ke tingkat
penyidikan. Pemerintah akhirnya mensahkan Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan dibentuk
Pengadilan HAM Ad hoc berdasarkan Keputusan Presiden No. 96 Tahun
2001. Sampai dengan saat ini persidangan kasus pelanggaran HAM berat
di Timor-timur telah memutuskan 6 berkas perkara. Pada tahap pertama
terdakwa Abilio Soares (mantan Gubernur Timor-timur) telah dinyatakan
bersalah dan dijatuhi hukuman 3 tahun penjara, sedangkan terdakwa
Brigjend (Pol). Drs. Timbul Silaen (mantan Kapolda Timor-timur) dan
terdakwa Herman Sedyono Dkk (untuk kasus penyerangan terhadap gereja
Ave Maria Suai) dinyatakan tidak bersalah terhadap pelanggaran HAM
berat yang terjadi di Timor-timur.

Kemudian pada tahap kedua ini yang sudah diputus yaitu untuk
terdakwa Eurico Guterres (mantan wakil Panglima PPI/Komandan Aitarak)
yang dinyatakan bersalah dan dipidana 10 tahun penjara, sedangkan
terdakwa Endar priyanto (mantan Dandim 1627 Dili), Asep Kuswani
(mantan Dandim 1638 Liquica), Adios Salova (mantan Kapolres Liquica)
6

dan Leonito Martins (mantan Bupati Liquica) dinyatakan tidak bersalah dan
dibebaskan dari segala tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum
ad hoc.2 Eurico Barros Guterres adalah salah seorang terdakwa yang
dijatuhi pidana mulai dalam pemeriksaan tingkat pertama sampai pada
pemeriksaan tingkat kasasi. Guterres baru dibebaskan dalam pemeriksaan
peninjauan kembali. Kasus Posisi dan Dakwaan Jaksa Penuntut Umum:
Pada pengadilan HAM ad-hoc tingkat pertama, Guterres dijatuhi pidana 10
tahun penjara. Putusan pengadilan tingkat pertama selanjutnya diringankan
dalam pemeriksaan banding yang menjatuhkan pidana 5 tahun penjara
terhadap Guterres. Akan tetapi, dalam pemeriksaan kasasi, Mahkamah
Agung membatalkan putusan pengadilan banding dan kembali
mengukuhkan putusan pengadilan tingkat pertama yang menjatuhkan
pidana penjara 10 tahun terhadap Guterres. Pada tahun 2008, Mahkamah
Agung membebaskan Guterres dalam pemeriksaan peninjauan kembali.3

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat ditarik suatu


rumusan masalah yaitu bagaimana perlindungan yang diberikan kepada
korban pada kasus Timor Timur 1999?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka


penulisan ini dilakukan dengan tujuan:

2 Progress Report V : Pemantauan Pengadilan HAM Ad hoc Perkara


Pelanggaran HAM berat di Timor-timur. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Tim
Monitoring Pengadilan HAM Ad hoc
3 Sumaryo Suryokusumo. “Aspek Moral dan Etika dalam Penegakan Hukum

Internasional”. Jurnal Hukum Internasional Vol. 2 No. 2 Agustus 2003. Jakarta: Lembaga
Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 104-105
7

1. Mendeskripsikan pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam Kasus


Timor Timur 1999
2. Menjelaskan perlindungan korban yang diberikan dalam Kasus
Timor Timur 1999
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Korban

Pengertian korban menurut beberapa para ahli atau yang bersumber


dari konvensi internasional mengenai korban tindak pidana yang menimpa
dirinya,antara lain bisa kita lihat dari pengertian mengenai korban dari para
ahli yaitu :

a. Arief Gosita, sebagaiman korban yang menderita jasmani dan rohani


yang di akibtkan dari tindakan orang lain yang mencari kepentingan
diri sendiri dan yang berkepentingan hak asasi yang di rugikan 4.
b. Menurut Bambang Waluyo dalam bukunya yang berjudul Victimologi
Perlindungan Korban dan Saksi, bahwa yang dimaksud dengan
korban adalah “orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau
penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati
atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh
pelaku tindak pidana dan lainnya”. Disini jelas yang dimaksud “orang
yang mendapat penderitaan fisik dan seterusnya” itu adalah korban
dari pelanggaran atau tindak pidana.5
c. Muladi, korban (victim) adalah orang-orang yang baik secara individu
maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik
atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial
terhadap hakhaknya yang fundamental melalui perbuatn atau komisi
yang melanggar hukum pidana di masing-masing Negara, termasuk
penyalahgunaan kekuasaan.6

4 Arief Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan. Jakarta. Akademika, Presindo,


hlm. 63
5 Bambang Waluyo, 2011, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Kejahatan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm 9


6 Muladi, 2005, Ham dalam Persepektif Sistem Peradilan Pidana, Bandung:

Refika Aditama, hlm. 108

8
9

Sedangkan menurut UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran Dan


Rekonsiliasi. Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang
yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional.
Kerugian ekonomi atau mengalmi pengabdian, pengurangan atau
perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya. Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap
Korban dan Saksi Pelanggaran Hak AsasiManusia yang Berat. Korban
adalah orang perseoranganatau kelompok orang mengalami
penderitaansebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror,
dan kekerasan pihak manapun.

Perlindungan Korban

Bicara masalah korban memang tidak mudah, karena dalam


pengaturan hukum Indonesia, korban selalu menjadi pihak yang paling
dirugikan. Bagaimana tidak, selain korban telah menderita kerugian akibat
kejahatan yang menimpa dirinya, baik secara fisik, mental, materiil dan
psikologis, korban harus menderita ganda karena tanpa disadari sering
diperlakukan hanya sebagai sarana demi terwujudnya sebuah kepastian
hukum. Keberpihakan hukum terhadap korban yang terkesan timpang, jika
dibandingkan dengan tersangkanya (terdakwa), karena terlihat dari adanya
beberapa peraturan perundang-undangan yang lebih banyak memberikan
”hak istimewa” kepada tersangka dibanding kepada korban.7 Dalam
konsteks perlindungan korban adanya upaya preventif maupun represif
yang dilakukan baik oleh masyarakat maupun pemerintah (melalui aparat
penegak hukumnya) seperti pemberian perlindungan atau pengawasan dari

7Dikdik M. Arief, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara Norma


Dan Realitas, Jakarta: Raja Grafindo, hlm. 79
10

berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian


bantuan medis, maupun hukum secara memadai, proses pemeriksaan dan
peradilan yang fair terhadap pelaku seperti yang diungkapkan oleh Muladi
perlunya korban dilindungi karena ”pertama” masyarakat dianggap sebagai
perwujudan sistem kepercayaan yang melembaga ”kedua” adanya
argumen kontrak sosial dan solidaritas sosial ”ketiga” perlindungan korban
yang biasanya dikaitkan dengan salah satu pemindahan yaitu penyelesaian
konflik.
Maka dalam perlindungan korban terdapat beberapa teori antara
lain:
1. Teori Utilitas, yang menitikberatkan pada kemanfaatan yang
terbesar dari jumlah yang terbesar.
2. Teori Tanggung Jawab, yang pada hakekatnya subjek hukum (orang
maupun kelompok) bertanggung jawab terhadap segala perbuatan
hukum yang dilakukannya.
3. Teori Ganti Kerugian, yakni sebagai perwujudan tanggung jawab
karena kesalahannya terhadap orang lain pelaku dibebani kewajiban
untuk memberikan ganti rugi.8

Pada konteks perlindungan hukum korban terkandung beberapa asas


hukum diantaranya adalah:

1. Asas Manfaat, yakni perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi


tercapainya manfaat bagi kaum korban kejahatan, tetapi
kemanfaatan bagi masyarakat luas.
2. Asas Keadilan, penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi
tidak tersifat mutlak karena dibatasi oleh rasa keadilan yang harus
diberikan juga pada pelaku.
3. Asas Keseimbangan, yakni pemulihan keseimbangan tatanan
masyarakat yang terganggu menuju pada keadaan yang semula.

8 Ibid, hlm. 163


11

4. Asas Kepastian Hukum, asas ini dapat memberikan dasar pijakan


hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum pada saat
melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan
hukum pada korban.9

Perlindungan hukum korban dapat diwujdukan dalam berbagai bentuk


seperti pemberian retretusi, kompensasi, pelayanan medis dan bantuan
hukum.

Pengadilan HAM

Pengadilan HAM ini merupakan jenis pengadilan yang khusus untuk


mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pengadilan ini dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk
pengadilannya sudah secara spesifik menggunakan istilah pengadilan HAM
dan kewenangan pengadilan ini juga mengadili perkara-perkara tertentu.
Pengadilan HAM pada hakekatnya kejahatan yang merupakan
kewenangan pengadilan HAM juga merupakan perbuatan pidana. Pada
tanggal 6 November 2000 disahkannya Undang-undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia dan kemudian diundangkan tanggal 23 November 2000.
Undang-undang ini merupakan undang-undang yang secara tegas
menyatakan sebagai undang-undang yang mendasari adanya pengadilan
HAM di Indonesia yang akan berwenang untuk mengadili para pelaku
pelanggaran HAM berat. Undangundang ini juga mengatur tentang adanya
pengadilan HAM ad hoc yang akan berwenang untuk mengadili
pelanggaran HAM berat.10

9
Ibid, hlm 164
10
Soedjono Dirdjosisworo, 2002, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia,
CITRA ADITYA BAKTI
12

Pengaturan yang berbeda atau khusus ini mulai sejak tahap


penyelidikan dimana yang berwenang adalah Komnas HAM sampai
pengaturan tentang majelis hakim dimana komposisinya berbeda dengan
pengadilan pidana biasa. Dalam pengadilan HAM ini komposisi hakim
adalah lima orang yang mewajibkan tiga orang diantaranya adalah hakim
ad hoc. Dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM telah
dijalankan dengan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc untuk kasus
pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-timur. Dalam
prakteknya, pengadilan HAM ad hoc ini mengalami banyak kendala
terutama berkaitan dengan lemahnya atau kurang memadainya instumen
hukum. UU No. 26 Tahun 2000 ternyata belum memberikan aturan yang
jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang diatur dan tidak adanya
mekanisme hukum acara secara khusus. Dari kondisi ini, pemahaman atau
penerapan tentang UU No. 26 Tahun 2000 lebih banyak didasarkan atas
penafsiran hakim ketika melakukan pemeriksaan di pengadilan.
Pembentukan dari Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000, Tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia memiliki tujuan antara lain:11

A. Tujuan idiil:
1) Untuk ikut memelihara perdamaian dunia
2) Menjamin pelaksanaan Hak Asasi Manusia
3) Memberi perlindungan, kepastian, keadilan dan perasaan
perorangan ataupun masyarakat.
B. Tujuan praktis
Untuk menyelesaikan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat karena extra ordinary crimes dan berdampak luas, pada tingkat
nasional mapun internasional. Perkara yang diadili dalam
Pengadilan Hak Asasi Manusia bukan merpakan tindak pidana yang
diatur dalam KUHP, melainkan perbatan yang menimbulkan korban

11 Binsar Gultom, 2010, Pelanggaran HAM Dalam Hukum Keadaan Darurat Di

Indonesia, Jakarta: Gramedia, hlm. 237


13

dan kerugian yang sangat besar, dan mengakibatkan perasaan tidak


aman, baik terhadap perseorangan maupun masyarakat. Oleh
karena itu, keadaan perlu dipulihkan ntuk mewujudkan supremasi
hukum untuk mencapai kedamaian, ketentraman, keadilan, dan
kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia mulai digelar untuk


pertama kalinya pada tanggal 14 Maret 2002 yang mengadili perkara
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat di Timor Timur pasca-
jajak pendapat, yang menghasilkan Timor Timur Merdeka. Namun,
berbagai kekerasan meningkat hampir di seluruh wilayah Timor Timur
berupa pembunuhan, penculikan, pemerkosaan, pengrusakan, penjarahan
harta benda dan tempat tinggal, pembakaran dan penghancuran instalasi
militer, perkantoran dan rumah penduduk serta pengungsian secara paksa.
Situasi yang tidak menentu pasca jajak pendapat di Timor Timur, memaksa
Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 1264 pada tanggal
15 September 1999. Resolusi ini mendesak pemerintah Indonesia agar
segera mengadili mereka yang bertanggung jawab terhadap terjadinya
kekerasan di Timor Timur, yang secara umum terjadi pada 4 tempat yakni
di kediaman pastor Rafael/Komplek Gereja Lequica, Dili, Desa Aileu di
selatan Dili dan Lakmanan. Resolusi ini memberikan kewajiban
internasional secara mandatory kepada pemerintah Indonesia untuk
mengadili pelaku pelanggaran HAM berat di Timor Timur melalui
pengadilan ad hoc. Berdasarkan Pasal 25 Piagam PBB, Indonesia terikat
secara hukum terhadap resolusi DK. Jika Indonesia tidak melaksanakan
kewajibannya, DK PBB dapat menjatuhkan sanksi penangguhan hak-hak
dan keistimewaan sebagai anggota PBB (Pasal 5), mengeluarkan
Indonesia dari keanggotaan PBB (Pasal 6) dan membentuk pengadilan ad
hoc internasional (Pasal 29). Resolusi Dewan Keamanan PBB selanjutnya
ditindaklanjuti dengan penyelenggaraan special session oleh Komisi Hak
Asasi Manusia PBB Pada tanggal 23-27 September 1999 yang
menghasilkan Resolusi 1999/S-4/1. Resolusi tersebut menuntut
14

Pemerintah Republik Indonesia bekerja sama dengan Komisi Nasional


HAM menjamin bahwa orang-orang yang bertanggung jawab atas tindak
kekerasan dan pelanggaran sistematis terhadap HAM diadili.

Pelanggaran HAM

Pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan


baik yang dilakukan oleh individu maupun institusi negara atau institusi
lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa dasar atau alasan yuridis dan
alasan rasional yang menjadi pijakannya.12 Menurut Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Penjelasan Pasal 104
ayat (1), menentukan bahwa: “pelanggaran Hak Asasi Manusia berat
adalah pembunuhan massal atau genocide, pembunuhan sewenang-
wenang atau diluar putusan pengadilan (arbitrary/extrajudicial killing),
penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau
diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimation)”.
Sedangkan Menurut UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM,
pelanggaran hak asasi manusia perbuatan seseorang atau kelompok orang
termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau
kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan
atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang
dijamin oleh undang-undang, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan
tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Pelanggaran terhadap hak
asasi manusia dapat dilakukan baik oleh aparatur negara (state actor)
maupun bukan aparatur negara (non state actor).

Pelanggaran HAM berat menurut Theo Van Boven kata “berat”


menerangkan kata “pelanggara, yaitu menunjukkan betapa parahnya akibat

12 Yumna Sabila. 2018. Landasan Teori Hak Asasi Manusia Dan Pelanggaran

Hak Asasi Manusia. Vol. 3, No. 2, hlm 206


15

pelanggaran yang dilakukan. Kata “berat”juga berhubungan dengan jenis


hak asasi manusia yang dilanggar. Sesuai Statuta Roma yang menjadi
dasar pendiria Mahkamah Internasional tindak pidana yang menjadi
yurisdiksi mahkamah itu adalah tindak yang bersumber pada HAM yaitu:

a Kejahatan Genosida

b Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

c Kejahatan Perang

d Kejahatan Agresi

Kekerasan di Timor Timur terjadi setelah pemerintah RI mengeluarkan dua


opsi pada tanggal 27 Januari 1999 menyangkut masa depan Timor Timur,
yaitu menerima atau menolak otonomi khusus. Sejak opsi diberikan,
terlebih setelah diumumkannya hasil jajak pendapat, berkembang berbagai
bentuk tindak kekerasan yang diduga merupakan pelanggaran HAM berat.
Berkaitan dengan hal itu, pada tanggal 15 September 1999 DK PBB
mengeluarkan Resolusi 1264. Resolusi ini mengutuk tindakan kekerasan
pasca jajak pendapat di Timor Timur. Resolusi juga mendesak pemerintah
Indonesia agar mengadili mereka yang bertanggungjawab atas terjadinya
kekerasan.13

Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi


Manusia, Penjelasan Pasal 104 ayat (1), menentukan bahwa: “pelanggaran
Hak Asasi Manusia berat adalah pembunuhan massal atau genocide,
pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan pengadilan
(arbitrary/extrajudicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara

13
Zunnuraeni. 2013. Politik Hukum Penegakan Hak Asasi Manusia Di Indonesia
Dalam Kasus Pelanggaran Ham Berat.Vol.1. No.2, hlm.358
16

paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis


(systematic discrimation)”. Kemudian pada Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000,
menentukan bahwa: “Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan
sistematis yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

a) Pembunuhan;
b) Pemusnahan;
c) Perbudakan;
d) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e) Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain
secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan
pokok hukum internasional;
f) Penyiksaan;
g) Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa,
atau bentuk- bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan
yang didasari persamaan paham politik, ras kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui
secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
i) Penghilangan orang secara paksa;
j) Kejahatan apartheid.”

Dengan demikian Perlindungan korban pelanggaran yang berat


terhadap HAM telah dijamin oleh Negara. Sebagaimana yang diatur dalam
berbagai peraturan Perundang-Undangan yang berlaku serta yang tertuang
dalam berbagai instrumen hukum Internasional, yaitu salah satunya Statuta
Roma yang menjadi tonggah sejarah dalam penegakan hukum
pelanggaran HAM berat di Indonesia merupakan suatu bentuk penegasan
17

terhada perlindungan terhadap HAM. Dengan diundangkannya UU No. 26


Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang diundangkan pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 23 November
tahun 2000, merupakan pengadilan khusus terhadap pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang berat, yang kedudukannya berada di lingkungan
peradilan umum. Indonesia mempunyai mekanisme untuk melakukan
penuntutan kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan
genosida.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pemberian Perlindungan Korban Kasus Timor Timur 1999

Sebelum membahas perlindungan yang diberikan kepada korban


kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur tahun 1999, hendaknya kita
kembali melihat pada beberapa putusan pengadilan, yakni hanya 2
terdakwa yang dinyatakan bersalah dimana keduanya berasal dari
kalangan sipil (Abilio Soares dan Eurico Gutteres), semakin meneguhkan
asumsi bahwa pengadilan ini secara keseluruhan telah gagal untuk
menentukan siapa yang harus bertanggungjawab atas terjadinya
pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor-timur. Tidak adanya terdakwa
dari kalangan TNI dan Polri yang dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman
telah menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai bagaimana fakta
diungkap di persidangan.

Metode atau sistem pembuktian yang digunakan dalam proses


peradilan pidana biasa dalam menyimpulkan fakta hukum pada dasarnya
terikat pada ketentuan pada Pasal 183 KUHAP, yaitu dengan syarat
terdapat dua alat bukti yang sah. Sedangkan, kejahatan terhadap
kemanusiaan merupakan extra ordinary crime yang sudah seharusnya
memerlukan metode atau sistem pembuktian yang berbeda yaitu dengan
mengacu yurisprudensi pada praktek-praktek dalam peradilan internasional
yang mengadili pelanggaran HAM berat sebagai acuan yang relevan,
termasuk juga menempatkan kesaksian para korban terhadap saksi-saksi
yang bukan korban. Konsep extra ordinary crime merupakan konsep yang
umum di Indonesia. Diadopsi dari konsep kejahatan paling serius yang
terdapat dalam Statuta Roma yang kemudian disesuaikan dengan sistem
hukum Indonesia. Kemudian berkembang lebih luas dan diperkenalkan ke
terorisme, korupsi, pelanggaran penyalahgunaan narkoba, dan pelecehan

18
19

seksual terhadap anak dalam peraturan perundang-undangan dan putusan


Mahkamah Konstitusi. Penerapan konsep ini menimbulkan konsekuensi
dalam penyusunan dan perumusan peraturan perundang-undangan
sebagai bagian dari kebijakan pemasyarakatan.14

Terdakwa Eurico Guterres, Endar Priyanto dan Asep Kuswani dkk


yang diadili atas kedua kasus pelanggaran HAM Berat yakni penyerangan
kediaman Manuel Viegas Carascalao dan penyerangan ke kediaman
pastor Rafael menyatakan bahwa peristiwa tersebut berhasil dibuktikan
oleh hakim bahwa itu merupakan peristiwa pelanggaran HAM berat yang
didasarkan Pasal 9 huruf a dan 9 huruf h UU No 26 tahun 2000 yakni
kejahatan terhadap kemanusian dalam bentuk serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya serangan tersebut ditujukan kepada
penduduk sipil dengan cara pembunuh dan penganiayaan. Kemudian dari
ketiga berkas tersebut, hanya dalam kasus Eurico Guterres majelis hakim
memutuskan bahwa pelaku penyerangan adalah anggota TNI sesuai
dengan apa yang ada dalam dakwakan JPU, sedangkan untuk kasus Endar
Priyanto dan asep Kuswani Majelis hakim berpendapat tidak ada bukti yang
menunjukkan anggota TNI yang terlibat. Di dalam kasus Eurico Guterres
Majelis hakim tidak hanya menyatakan bahwa telah terjadi penyerangan
oleh anggota TNI tetapi juga pembiaran oleh aparat terkait.15

3.1.1 Tidak Dicantumkannya Pemberian Kompensasi Bagi Korban


Kasus Timor Timur 1999 pada Amar Putusan Pengadilan

Mengenai perlindungan korban pelanggaran HAM berat terkhusus


pada hak kompensasi bagi korban, Pemberian Kompensasi, Restitusi

14 Vidya Prahassacitta, “The Concept of Extraordinary Crime in Indonesia Legal


System: is The Concept An Effective Criminal Policy?”, Vol. 7, No. 4, hlm. 1
(Humaniora:2016)
15 PROGRESS REPORT IX : Pemantauan Pengadilan HAM Ad hoc Perkara

Pelanggaran HAM berat di Timor-timur. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Tim
Monitoring Pengadilan HAM Ad hoc, hlm. 6-7
20

dan Rehabilitasi bagi para korban pelanggaran HAM berat di Timor Timur
seharusnya diumumkan dalam amar putusan hakim, hal ini sesuai
dengan PP No 3 Tahun 1999 mengenai Kompensasi, Restitusi dan
Rehabilitasi bagi korban pengadilan HAM di Timor Timur. Namun, dalam
kenyataannya Majelis Hakim yang mengadili ketiga berkas ini, bahkan
dalam tuntutan JPU tidak menyebutkan hak-hak korban yang sepatutnya
dapat diberikan sebagai bentuk perlindungan terhadap korban, dengan
kata lain tidak ada satupun yang mencantumkan mengenai hak-hak para
korban tersebut. Padahal dalam pembahasan mengenai peristiwa
pelanggaran HAM berat, seluruh majelis hakim telah memutuskan
bahwa telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat.

Tidak dicantumkannya pemberian hak korban atas kompensasi ini


sangat mengherankan karena majelis hakim telah sepakat mengenai
adanya peristiwa pelanggaran HAM berat yang menimbulkan korban.
Dengan tidak dicantumkannya hak korban ini dalam amar putusan
majelis hakim, telah menyimpangi dan mematikan hak-hak korban atas
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang seharusnya diterima oleh
korban. Menyimpangi PP No 3 Tahun 1999 mengenai kompensasi
restitusi dan rehabilitasi bagi korban, dan menyimpangi prinsip-prinsip
Internasional mengenai hak ini yang tercantum dalam Boven Principle. 16
The Van Boven/Bassiouni Principles adalah Prinsip dan Pedoman Dasar
Hak atas Pemulihan dan Reparasi bagi Korban Pelanggaran Berat
Hukum Hak Asasi Manusia Internasional dan Pelanggaran Berat Hukum
Humaniter Internasional yang dianut oleh PBB.17 Tidak dicantumkannya
pemberian perlindungan berupa kompensasi kepada korban maka dapat
diketahui bahwa Pengadilan juga telah gagal untuk memberikan keadilan
bagi para korban pelanggaran HAM berat di Timor-timur dengan tidak

16 Ibid, hlm. 11
17 Marten, Zwanenburg, “The Van Boven/Bassiouni Principles: An Appraisal”,
hlm. 1, https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/016934410602400405
21

diperhatikannya hak-hak reparasi bagi para korban, yaitu hak


kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam putusan pengadilan ini.

Selain faktor-faktor yang telah diuraikan sebelumnya, salah satu


faktor yang juga menjadi penyebab tidak adanya pemenuhan ganti
kerugian bagi korban adalah kurangnya pemahaman dan pengetahuan
masyarakat (khususnya korban itu sendiri) terhadap hak-haknya dalam
sistem peradilan pidana terutama mengenai tuntutan ganti rugi. Karena
ketidak tahuannya mengenai adanya tuntutan ganti kerugian tersebut
maka korban tidak mengajukan tuntutan ganti kerugian kepengadilan.18
Berdasarkan skema mekanisme pengajuan permohonan kompensasi
terhadap pelanggaran HAM berat, diketahui bahwa korban baru akan
mendapatkan kompensasi ketika sudah ada putusan pengadilan HAM
yang berkekuatan hukum tetap, yaitu ketika tidak ada lagi upaya hukum
lain yang dapat ditempuh atau semua upaya hukum sudah ditempuh
mulai dari banding, kasasi dan peninjauan kembali. Dengan demikian,
putusan kompensasi tidak bisa segera dieksekusi atau dilaksanakan dan
mengakibatkan korban tidak dapat segera melakukan pemulihan serta
semakin panjang jalan yang harus ditempuh korban untuk mendapatkan
hak- haknya, terutama hak atas kompensasi. Seharusnya pengajuan
kompensasi ini tidak harus menunggu sampai putusan berkekuatan
hukum tetap Karena hal ini bertentangan dengan tujuan kompensasi itu
sendiri yaitu memulihkan hak korban ke keadaan semula dan prinsip
yang menyatakan bahwa pemberian kompensasi harus dilaksanakan
secara tepat, cepat dan layak.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka perlindungan yang


diberikan kepada korban kasus kejahatan kemanusiaan Timor Timur
tahun 1999 belum terlaksana dengan baik sesuai yang diamanatkan

18 Ahmad Sayadi, Skripsi: Analisis Juridis Perlindungan Hukum Dalam Bentuk

Kompensasi Bagi Korban Pelanggaran Ham Berat Dari Perspektif Uu No 26 Tahun 2000,
hlm. 76
22

dalam PP No 3 Tahun 1999 mengenai Kompensasi, Restitusi dan


Rehabilitasi bagi korban. Tidak diperhatikannya hak-hak reparasi bagi
korban ini menunjukan bahwa pengadilan ad hoc belum menuntaskan
secara keseluruhan dan belum memberikan keadilan dan kemanfaatan
bagi para korban. Kegagalan-kegagalan tersebut juga tidak lepas dari
kegagalan jaksa penuntut umum untuk menjalankan tugas dan fungsinya
secara efektif dalam membuktikan dakwaannya dan juga menunjukkan
ketidakseriusan jaksa penuntut umum dalam dalam menjalankan
tugasnya.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pada putusan pengadilan, hanya 2 terdakwa yang dinyatakan bersalah


dimana keduanya berasal dari kalangan sipil (Abilio Soares dan Eurico
Gutteres), semakin meneguhkan asumsi bahwa pengadilan ini secara
keseluruhan telah gagal untuk menentukan siapa yang harus
bertanggungjawab atas terjadinya pelanggaran HAM berat yang terjadi di
Timor-timur. Terdakwa Eurico Guterres, Endar Priyanto dan Asep Kuswani
dkk yang diadili atas kedua kasus pelanggaran HAM Berat yakni
penyerangan kediaman Manuel Viegas Carascalao dan penyerangan ke
kediaman pastor Rafael menyatakan bahwa peristiwa tersebut berhasil
dibuktikan oleh hakim bahwa itu merupakan peristiwa pelanggaran HAM
berat yang didasarkan Pasal 9 huruf a dan 9 huruf h UU No 26 tahun 2000
tentang Pengadilan HAM. Namun hanya dalam kasus Eurico Guterres
majelis hakim memutuskan bahwa pelaku penyerangan adalah anggota
TNI sesuai dengan apa yang ada dalam dakwakan JPU, dan Eurico
Gutteres dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.

Kemudian mengenai perlindungan yang diberikan kepada korban


kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur, pada pemeriksaan
pengadilan sekaligus amar putusan pengadilan tidak diperhatikan sama
sekali mengenai pemberian hak reparasi berupa kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi. Di dalam tuntutannya JPU tidak menyebutkan hak-hak korban
yang sepatutnya dapat diberikan sebagai bentuk perlindungan terhadap
korban, dengan kata lain tidak ada satupun yang mencantumkan mengenai
hak-hak para korban tersebut. Padahal dalam pembahasan mengenai
peristiwa pelanggaran HAM berat, seluruh majelis hakim telah memutuskan
bahwa telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat. Pada amar putusan

23
24

majelis hakim juga tidak diperhatikan mengenai kompensasi yang


seharusnya diberikan kepada korban, dengan begitu maka pengadilan ini
juga telah gagal untuk memberikan keadilan bagi para korban pelanggaran
HAM berat di Timor-timur dengan tidak diperhatikannya hak-hak reparasi
bagi para korban, yaitu hak kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam
putusan pengadilan ini. Kegagalan-kegagalan tersebut juga tidak lepas dari
kegagalan jaksa penuntut umum untuk menjalankan tugas dan fungsinya
secara efektif dalam membuktikan dakwaannya dan juga menunjukkan
ketidakseriusan jaksa penuntut umum dalam menjalankan tugasnya.

4.2 Saran

Sebaiknya dibuatkan perumusan secara jelas terkait besar ganti


keruagian terhadap setiap bentuk pelanggaran HAM berat, sehingga dapat
menjadi panduan terhadap korban pelanggaran HAM berat maupun
terhadap praktisi hukum dalam menuntukan bersar bentuk kompensasi
yang harus di bayar terhadap korban pelanggaran HAM berat. Kemudian
untuk para praktisi hukum, agar kompensasi terhadap pelanggaran HAM
berat sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000, dapat efektif
dalam tingkat impelementasinya, sehingga hak-hak korban pelanggaran
HAM berat dapat di peroleh melalui kompensasi oleh karena pelaku tidak
sanggup membayar maka negara yang melakukan pembayaran. Perlu
dillakukannya perbaikan prosedur terhadap mekanisme dalam pengajuan
permohonan kompensasi, sehingga korban secepat mungkin dapat
memproleh hak-haknya sebagai korban, serta tidak di beratkan dengan
berbagai persyaratan yang menjadikan hak-hak korban akhirnya di
terlantarkan.
DAFTAR PUSTAKA

A. Kumpulan Buku

Arief, Dikdik M. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara Norma


Dan Realitas. 2007. Jakarta: Raja Grafindo
Dirdjosisworo, Soedjono. Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia. 2002.
Bandung: Citra Aditya Bakti
Gosita, Arief. Masalah Korban Kejahatan. 1993. Jakarta: Akademika,
Presindo
Gultom, Binsar. Pelanggaran HAM Dalam Hukum Keadaan Darurat Di
Indonesia. 2010. Jakarta: Gramedia
Muladi. HAM dalam Persepektif Sistem Peradilan Pidana. 2005. Bandung:
Refika Aditama
Waluyo, Bambang. Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Kejahatan, 2011. Jakarta: Sinar Grafika

B. Kumpulan Undang-Undang
KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1999 tentang Kompensasi, Restitusi
dan Rehabilitasi
Piagam PBB (UN Charter)

C. Kumpulan Jurnal
Jurnal Internasional:
Sumaryo Suryokusumo. 2003. “Aspek Moral dan Etika dalam Penegakan
Hukum Internasional”. Vol. 2, No. 2. Jurnal Hukum Internasional.
Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas
Hukum Universitas Indonesia
Vidya Prahassacitta. 2016. “The Concept of Extraordinary Crime in
Indonesia Legal System: is The Concept An Effective Criminal
Policy?”. Vol. 7, No. 4, Humaniora Journal
Jurnal Nasional:
Bambang Heri Supriyanto. 2014. “Penegakan Hukum Mengenai Hak
Asasi Manusia (HAM) Menurut Hukum Positif di Indonesia”. Vol. 2,
No. 3. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial
Yumna Sabila. 2018. “Landasan Teori Hak Asasi Manusia Dan
Pelanggaran Hak Asasi Manusia”. Vol. 3, No. 2
Zunnuraeni. 2013. “Politik Hukum Penegakan Hak Asasi Manusia Di
Indonesia Dalam Kasus Pelanggaran Ham Berat”. Vol.1, No.2

D. SKRIPSI
Ahmad Sayadi, Skripsi: Analisis Juridis Perlindungan Hukum Dalam
Bentuk Kompensasi Bagi Korban Pelanggaran Ham Berat Dari
Perspektif Uu No 26 Tahun 2000. 2020. Universitas Sumatera
Utara: Fakultas Hukum

E. INTERNET
Marten, Zwanenburg, Article: “The Van Boven/Bassiouni Principles: An
Appraisal”,
https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0169344106024004
05

Progress Report V: Pemantauan Pengadilan HAM Ad hoc Perkara


Pelanggaran HAM berat di Timor-timur. Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat Tim Monitoring Pengadilan HAM Ad hoc,
www.elsam.or.id
Progress Report IX: Pemantauan Pengadilan HAM Ad hoc Perkara
Pelanggaran HAM berat di Timor-timur. Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat Tim Monitoring Pengadilan HAM Ad hoc,
www.eslam.or.id

Anda mungkin juga menyukai