Anda di halaman 1dari 6

Memaknai Silaturahmi

Februari 12, 2016

Alhamdulillâhi wahdah, wash shalalâtu was salâm ‘alâ rasûlillâh.

· Makna silaturrahim

Silaturrahmi tersusun dari dua kosa kata Arab; shilah yang berarti menyambungdan
rahim yang berarti rahim wanita, dan dipakai bahasa kiasan untuk makna hubungan
kerabat.Jadi silaturrahim bermakna: menyambung hubungan dengan kerabat. Dari
keterangan ini, bisa disimpulkan bahwa secara bahasa Arab dan istilah syar’i,
penggunaan kata silaturrahim untuk makna sembarang pertemuan atau kunjungan
dengan orang-orang yang tidak memiliki hubungan kerabat, sebenarnya kurang pas.

· Motivasi untuk bersilaturrahim

Silaturrahim bukanlah murni adat istiadat, namun ia merupakan bagian dari syariat.
Amat bervariasi cara agama kita dalam memotivasi umatnya untuk memperhatikan
silaturrahim. Terkadang dengan bentuk perintah secara gamblang, janji ganjaran
menarik, atau juga dengan cara ancaman bagi mereka yang tidak menjalankannya.

Allah ta’ala memerintahkan berbuat baik pada kaum kerabat,

ِ َ ْ َ ‫اﻟﻘﺮﺑﻰ‬
“ ‫واﻟﺠﺎر‬ َ ْ ُ ْ ‫واﻟﺠﺎر ِذي‬
ِ َ ْ َ ‫واﻟﻤﺴﺎﻛﯿﻦ‬
ِ ِ َ َ ْ َ ‫واﻟﯿﺘﺎﻣﻰ‬
َ َ َ ْ َ ‫اﻟﻘﺮﺑﻰ‬
َ ْ ُ ْ ‫وﺑﺬي‬ِ ِ َ ً ‫إﺣﺴﺎﻧﺎ‬
َ ْ ِ ‫ﻮاﻟﺪﯾﻦ‬ ْ ِ َ ً ‫ﺑﮫ ﺷ َْﯿﺌﺎ‬
ِ ْ َ ِ َ ‫وﺑﺎﻟ‬ ِ ِ ْ‫ﺗﺸﺮﻛﻮا‬ ّ ْ‫واﻋﺒﺪوا‬
ُ ِ ْ ُ َ‫اَ َوﻻ‬ ُُْ َ
ً‫ﻓﺨﻮرا‬
ُ َ ً‫ﻣﺨﺘﺎﻻ‬
َ ْ ُ ‫ﻛﺎن‬ ‫اَ ﻻَ ُ ِ ﱡ‬
َ َ ‫ﯾﺤﺐ َﻣﻦ‬ ّ ‫إن‬ ُْ ُ َ ْ َ ‫ﻣﻠﻜﺖ‬
‫أﯾﻤﺎﻧﻜﻢ ِ ﱠ‬ ْ َ َ َ ‫وﻣﺎ‬ ‫اﻟﺴﺒﯿﻞ‬
َ َ ِ ِ ‫ﱠ‬ ‫واﺑﻦ‬ْ ‫ﺑﺎﻟﺠﻨﺐ‬
ِ َ ِ َ ِ ِ ‫ِ َ ﱠ‬ ‫واﻟﺼﺎﺣﺐ‬
ِ ُ
‫اﻟﺠﻨﺐ‬ ُ ْ ”.

Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan


sesuatu apa pun. Serta berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib-kerabat, anak-
anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman, musafir
dan hamba sahaya yang kalian miliki. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang
sombong dan membanggakan diri”. QS. An-Nisa’: 36.

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menerangkan bahwa silaturrahim


merupakan pertanda keimanan seorang hamba kepada Allah dan hari akhir,

“‫رﺣﻤﮫ‬ ْ ِ َ ْ َ ‫اﻵﺧﺮ؛‬
َ ِ َ ‫ﻓﻠﯿﺼﻞ‬ ِ ْ َ ْ َ ِ‫ﺑﺎ‬
ِ ِ ْ ‫واﻟﯿﻮم‬ ُ ِ ْ‫ﻛﺎن ُﯾﺆ‬
‫ﻣﻦ ِ ﱠ‬ ْ َ”
َ َ ‫ﻣﻦ‬

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir; hendaklah ia bersilaturrahim”.
HR. Bukhari dari Abu Hurairah.

Beliau jugamenjanjikan bahwa di antara buah dari silaturrahim adalah keluasan


rizki dan umur yang panjang,

ْ ِ َ ْ َ ‫أﺛﺮه؛‬
ُ َ ِ َ ‫ﻓﻠﯿﺼﻞ‬
“‫رﺣﻤﮫ‬ ِ ِ َ َ ‫وﯾﻨﺴﺄ َ َﻟﮫُ ِﻓﻲ‬ ِ ِ ْ ِ ‫ﯾﺒﺴﻂ َﻟﮫُ ِﻓﻲ‬
َ ْ ُ َ ‫رزﻗﮫ‬ ْ َ ‫أﺣﺐ‬
َ َ ْ ُ ‫أن‬ ‫ﻣﻦ َ َ ﱠ‬
ْ َ ”.

“Barang siapa menginginkan untuk diluaskan rizkinya serta diundur ajalnya;


hendaklah ia bersilaturrahim”. HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik.
Catatan: Hadits tadi seakan kontradiktif dengan firman Allah ta’ala,

َ ُ ِ ْ َ ْ َ َ‫ﺳﺎﻋﺔً َوﻻ‬
“‫ﯾﺴﺘﻘﺪﻣﻮن‬ َ ُ ِ ْ َ ْ َ َ‫أﺟﻠﮭﻢ ﻻ‬
َ َ ‫ﯾﺴﺘﺄﺧﺮون‬ ْ ُ ُ َ َ ‫ﻓﺈذا َﺟﺎء‬ ٍ ‫وﻟﻜﻞ ُ ﱠ‬
ٌ َ َ ‫أﻣﺔ‬
َ ِ َ ‫أﺟﻞ‬ ِّ ُ ِ َ ”.

Artinya: “Setiap umat mempunyai ajal. Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat
meminta penundaan atau percepatan sesaat pun”. QS. Al-A’raf: 34.

Ada beberapa alternatif penafsiran yang ditawarkan para ulama untuk memadukan
antara dua nas di atas. Antara lain:

Pertama: Pengunduran ajal merupakan kiasan dari keberkahan umur. Atau dengan
kata lain, silaturrahmi menjadikan seseorang meraih taufik untuk berbuat ketaatan dan
menjauhi maksiat; sehingga namanya tetap harum, walaupun telah meninggal dunia.
Sehingga seakan-akan ia belum mati.

Kedua: Silaturrahim memang nyata benar-benar menambah umur dan mengundur


ajal seseorang. Dan waktu ajal yang dimaksud dalam hadits di atas adalah apa yang
tertulis dalam ‘catatan’ malaikat penganggung jawab umur. Sedangkan waktu ajal
yang dimaksud dalam ayat adalah apa yang ada dalam ilmu Allah (lauh al-mahfuzh).

Misalnya: malaikat mendapat berita dari Allah bahwa umur fulan 100 tahun jika ia
bersilaturrahim dan 60 tahun jika ia tidak bersilaturrahim. Dan Allah telah mengetahui
apakah fulan tadi akan bersilaturrahim atau tidak. Waktu ajal yang ada dalam ilmu
Allah inilah yang tidak akan ditunda maupun dipercepat, adapun waktu ajal yang ada
di ilmu malaikat ini bisa diundur maupun diajukan.

Keterangan tersebut diisyaratkan dalam firman Allah ta’ala,

“‫اﻟﻜﺘﺎب‬ ‫وﻋﻨﺪهُ ُ ﱡ‬
ِ َ ِ ْ ‫أم‬ ُ ِ ْ ُ ‫َﺎء َو‬
َ ِ َ ‫ﯾﺜﺒﺖ‬ ّ ‫ﯾﻤﺤﻮ‬
ُ ‫اُ َﻣﺎ َﯾﺸ‬ ُ ْ َ ”.

Artinya: “Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan di sisi-
Nya terdapat ummul kitab (Lauh al-Mahfuzh)”. QS. Ar-Ra’du: 39.

Takdir yang masih berpeluang untuk dihapus dan ditetapkan adalah apa yang ada
dalam ‘catatan’ malaikat. Adapun takdir yang termaktub dalam lauh al-mahfuzh di
sisi Allah maka ini sama sekali tidak akan ada perubahan.

Kembali kepada pembahasan tentang silaturrahmi. Orang yang tidak menjaga tali
persaudaraan dia terancam dengan hukuman di dunia maupun di akhirat. Di antara
kerugian duniawi yang akan menimpa pemutus tali silaturrahim: dia akan terputus
dari kasih sayang Allah, sebagaimana firman-Nya dalam hadits qudsi,

ُ ُ ْ َ َ ‫ﻗﻄﻌﻚ‬
“‫ﻗﻄﻌﺘﮫ‬ ِ َ َ َ ‫وﻣﻦ‬ ُ ُ ْ َ َ ‫وﺻﻠﻚ‬
ْ َ َ ،‫وﺻﻠﺘﮫ‬ ِ َ َ َ ‫ﻣﻦ‬
ْ َ ”.

“Barang siapa menyambungmu (silaturrahmi) maka Aku akan bersambung


dengannya, dan barang siapa memutusmu (silaturrahmi); maka Aku akan
memutuskan (hubungan)Ku dengannya”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah.

Ganjaran di akhirat bagi pemutus tali silaturrahim lebih mengerikan lagi! Terhalang
untuk masuk surga! Na’udzubillahi min dzalik…
Dari Jubair bin Muth’im bahwa Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

“‫ﻗﺎطﻊ‬ ‫ﯾﺪﺧﻞ ْ َ ﱠ‬
ٌ ِ َ َ‫اﻟﺠﻨﺔ‬ ُ ُ ْ َ ‫” َﻻ‬.

“Tidak akan masuk surga pemutus (silaturrahim)”. HR. Bukhari dan Muslim.

· Hakikat silaturrahim

Ganjaran menarik yang dijanjikan untuk orang-orang yang bersilaturrahim tersebut di


atas tentu amat menggiurkan, sebaliknya ancaman bagi mereka yang enggan
bersilaturrahim juga mengerikan, sehingga tidak mengherankan jika kita dapatkan
banyak kaum muslimin yang gemar bersilaturrahim, apalagi di tanah air kita yang
adat ketimurannya masih cukup kental. Hanya saja ada sebagian orang merasa bahwa
ia telah mempraktekkan silaturrahim, padahal sebenarnya belum. Hal itu bersumber
dari kekurangpahaman mereka akan hakikat silaturrahmi. Rasulullah
shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,

َ َ َ َ ُ‫رﺣﻤﮫ‬
“‫وﺻﻠﮭﺎ‬ ْ َ ِ ُ ‫إذا‬
ُ ِ َ ‫ﻗﻄﻌﺖ‬ َ ِ ‫اﻟﺬي‬ ُ ِ َ ْ ‫وﻟﻜﻦ‬
ِ ‫اﻟﻮاﺻﻞ ﱠ‬ ِ ِ َ ُ ْ ِ ‫اﻟﻮاﺻﻞ‬
ْ ِ َ َ ،‫ﺑﺎﻟﻤﻜﺎﻓﺊ‬ ُ ِ َ ْ ‫ﻟﯿﺲ‬
َ ْ َ ”.

“Penyambung silaturrahmi (yang hakiki) bukanlah orang yang menyambung


hubungan dengan kerabat manakala mereka menyambungnya. Namun penyambung
hakiki adalah orang yang jika hubungan kerabatnya diputus maka ia akan
menyambungnya”. HR. Bukhari dari Abdullah bin ‘Amr.

Sebab kata menyambung mengandung makna menyambungkan sesuatu yang telah


putus. Adapun orang yang menjaga hubungan kaum kerabat manakala mereka
menjaganya, pada hakikatnya dia bukanlah sedang menyambung hubungan, namun ia
hanya mengimbangi atau membalas kebaikan kerabat dengan kebaikan serupa.

Membumikan sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam tersebut di atas dalam


kehidupan sehari-hari kita, tentunya bukan suatu hal yang ringan; sebab kita harus
mengorbankan perasaan. Bagaimana tidak, sedangkan kita tertuntut untuk berbuat
baik terhadap orang yang menyakiti kita, tersenyum pada orang yang cemberut pada
kita, memuji orang yang mencela kita, memberi orang yang enggan memberi kita, dan
sifat-sifat mulia berat lainnya. Karena itulah ganjaran yang dijanjikan Allah pun
besar. Abu Hurairah bercerita,

َ ُ َ ْ َ َ ‫ﻋﻨﮭﻢ‬
‫وﯾﺠﮭﻠﻮن‬ ُ ُ ْ َ َ ،‫إﻟﻲ‬
ْ ُ ْ َ ‫وأﺣﻠﻢ‬ ‫وﯾﺴﯿﺌﻮن ِ َ ﱠ‬ ُ ِ ْ ُ َ ،‫وﯾﻘﻄﻌﻮﻧﻲ‬
ْ ِ ْ َ ِ ‫وأﺣﺴﻦ‬
َ ُ ِ ُ َ ‫إﻟﯿﮭﻢ‬ ْ ُ ُ ِ َ ً‫ﻗﺮاﺑﺔ‬
ِ ُ َ ْ َ َ ‫أﺻﻠﮭﻢ‬ َ َ َ ‫إن ِﻟﻲ‬‫ ِ ﱠ‬،‫ا‬ َ ُ َ ‫ “ َﯾﺎ‬:‫رﺟﻼ َﻗﺎَل‬
ِ ‫رﺳﻮل ﱠ‬ ‫َﱠ‬
ً ُ َ ‫أن‬
‫ذﻟﻚ‬َ َ
َ ِ ‫دﻣﺖ َﻋﻠﻰ‬ َ ْ ُ ‫ﻋﻠﯿﮭﻢ َﻣﺎ‬ َ
ْ ِ ْ َ ‫ظﮭﯿﺮ‬ َ
ٌ ِ ِ‫ا‬ ‫ﻣﻌﻚ ِﻣ ْﻦ ﱠ‬
َ َ َ ‫ﯾﺰال‬ َ ْ
‫ﺗﺴﻔﮭﻢ َ ﱠ‬
ُ َ َ ‫اﻟﻤﻞ َوﻻ‬ ‫ﱡ‬ ُ
ْ ُ ِ ‫ﻓﻜﺄﻧﻤﺎ‬ ‫ﱠ‬ َ َ
َ َ ،‫ﻗﻠﺖ‬ ْ ُ
َ ‫ﻛﻤﺎ‬ َ َ ‫ﻛﻨﺖ‬ ْ ُ
َ ‫ﻟﺌﻦ‬ َ َ
ْ ِ “ :‫ﻓﻘﺎل‬َ
َ .”!‫ﻋﻠﻲ‬ َ
‫” َ ﱠ‬

Pernah ada seseorang yang mengadu kepada Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam,


“Wahai Rasul, saya memiliki kerabat yang berusaha untuk kusambung namun
mereka memutus (hubungan dengan)ku, aku berusaha berbuat baik padanya namun
mereka menyakitiku, aku mengasihi mereka namun mereka berbuat jahat padaku!”.

“Andaikan kenyataannya sebagaimana yang kau katakan, maka sejatinya engkau


bagaikan sedang memberinya makan abu panas. Dan selama sikapmu seperti itu;
niscaya engkau akan senantiasa mendapatkan pertolongan Allah dalam menghadapi
mereka”. HR. Muslim.

Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, dalam menyikapi silaturrahim, manusia terbagi menjadi
tiga tingkatan:

• Penyambung hakiki silaturrahim. Yakni mereka yang tetap menyambung


silaturrahim manakala diputus.
• Pembalas ‘jasa’. Yakni mereka yang bersilaturrahmi dengan kerabat yang mau
bersilaturrahim padanya dan berbuat baik manakala ia dibaiki.
• Pemutus silaturrahim.

· Konsekwensi silaturrahim

Silaturrahim bukan hanya diwujudkan dalam bentuk berkunjung ke rumah kerabat


atau mengadakan arisan keluarga, namun ia memiliki makna yang lebih dalam dari
itu. Silaturrahim memiliki berbagai konsekwensi yang harus dipenuhi seorang insan,
di antaranya:

1. Mendakwahi kerabat

Dalam Islam, kerabat mendapatkan prioritas utama untuk didakwahi. Allah ta’ala
memerintahkan Nabi-Nya shallallahu’alaihiwasallam di awal masa dakwah beliau,

َ ِ َ ْ َ ْ ‫ﻋﺸﯿﺮﺗﻚ‬
“‫اﻷﻗﺮﺑﯿﻦ‬ ْ ِ َ َ ”.
َ َ َ ِ َ ‫وأﻧﺬر‬

Artinya: “Berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang


terdekat”. QS. Asy-Syu’ara’: 214.

Dengan bahasa yang santun, ingatkanlah kerabat kita yang masih percaya dengan
jimat, yang masih gemar pergi ke dukun, yang shalatnya masih bolong-bolong, yang
belum berpuasa Ramadhan, yang masih enggan mengeluarkan zakat dan yang
semisal. Berbagai nasehat tadi bisa disampaikan kepada yang bersangkutan secara
langsung, atau bisa pula ditransfer melalui siraman rohani yang biasa diletakkan di
awal rentetan acara arisan atau pertemuan berkala keluarga.

Persaudaraan yang dibumbui dengan budaya saling menasehati inilah yang akan
‘abadi’ hingga di alam akhirat kelak. Adapun persaudaraan yang berkonsekwensi
mengorbankan prinsip ini; maka itu hanyalah persaudaraan semu, yang justru di hari
akhir nanti akan berbalik menjadi permusuhan. Sebagaimana diisyaratkan dalam
firman Allah ta’ala,

َ ِ ‫ﻋﺪو ِ ﱠإﻻ ْ ُ ﱠ‬
“‫اﻟﻤﺘﻘﯿﻦ‬ ‫ﻟﺒﻌﺾ َ ُ ﱞ‬
ٍ ْ َ ِ ‫ﺑﻌﻀﮭﻢ‬ ‫” ْ َ ِ ﱠ‬.
ٍ ِ َ ْ َ ‫اﻷﺧﻼء‬
ْ ُ ُ ْ َ ‫ﯾﻮﻣﺌﺬ‬

Artinya: “Teman-teman karib pada hari itu (hari kiamat) saling bermusuhan satu
sama lain, kecuali mereka yang bertakwa”. QS. Az-Zukhruf: 67. 2. Saling bantu-
membantu
Orang yang membantu kerabat akan mendapat pahala dobel; pahala sedekah dan
pahala silaturrahim. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

“ٌ‫وﺻﻠﺔ‬
َ ِ َ ٌ‫ﺻﺪﻗﺔ‬
َ َ َ ‫ﺛﻨﺘﺎن؛‬ ِ ِ ‫وھﻲ َﻋ َﻠﻰ ِذي ﱠ‬
ِ َ ْ ِ ‫اﻟﺮﺣﻢ‬ ٌ َ َ َ ‫اﻟﻤﺴﻜﯿﻦ‬
َ ِ َ ،‫ﺻﺪﻗﺔ‬ ِ ِ ْ ِ ْ ‫ﻋﻠﻰ‬
َ َ ُ‫اﻟﺼﺪﻗﺔ‬
َ َ ‫” ﱠ‬.

“Sedekah terhadap kaum miskin (berpahala) sedekah. Sedangkan sedekah terhadap


kaum kerabat (berpahala) dobel; pahala sedekah dan pahala silaturrahim”. HR.
Tirmidzi dari Salman bin ‘Amir. At-Tirmidzi menilai hadits ini hasan.

Berbuat baik terhadap kerabat, selain berpahala besar, juga merupakan sarana manjur
untuk mendakwahi mereka. Andaikan kita rajin menyambung silaturrahim, gemar
memberi dan berbagi dengan kerabat, selalu menanyakan kondisi dan kabar mereka,
menyertai kebahagiaan dan kesedihan mereka; tentu mereka akan berkenan
mendengar omongan kita serta menerima nasehat kita; sebab mereka merasakan kasih
sayang dan perhatian ekstra kita pada mereka. 3. Saling memaafkan kesalahan

Dalam kehidupan interaksi sesama kerabat, timbulnya gesekan dan riak-riak kecil
antar anggota keluarga merupakan suatu hal yang amat wajar. Sebab manusia
merupakan sosok yang tidak lepas dari salah dan alpa. Namun fenomena itu akan
berubah menjadi tidak wajar manakala luka yang muncul akibat kekeliruan tersebut
tetap dipelihara dan tidak segera diobati dengan saling memaafkan.

Betapa banyak keluarga besar yang terbelah menjadi dua, hanya akibat merasa gengsi
untuk memaafkan kesalahan-kesalahan sepele. Padahal karakter pemaaf merupakan
salah satu sifat mulia yang amat dianjurkan dalam Islam.

Allah ta’ala berfirman,

َ ِ ِ َ ْ ‫ﻋﻦ‬
“‫اﻟﺠﺎھﻠﯿﻦ‬ ْ ِ ْ َ َ ‫ﺑﺎﻟﻌﺮف‬
ِ َ ‫وأﻋﺮض‬ ْ ُ ْ َ ‫اﻟﻌﻔﻮ‬
ِ ْ ُ ْ ِ ‫وأﻣﺮ‬ َ ْ َ ْ ‫ﺧﺬ‬
ِ ُ ”.

Artinya: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan, serta jangan
pedulikan orang-orang jahil”. QS. Al-A’raf: 199.

Namun ada suatu praktek keliru dalam mengamalkan sifat mulia ini yang perlu
diluruskan. Yaitu: mengkhususkan hari raya Idhul Fitri sebagai momen untuk saling
memaafkan. Jika minta maaf tidak dilakukan di hari lebaran seakan-akan menjadi
tidak sah, atau minimal kurang afdhal. Sehingga maraklah acara ‘halal bihalal’ di
bulan Syawal. Padahal kita diperintahkan untuk saling memaafkan sepanjang tahun
dan tidak menumpuk-numpuk kesalahan setahun penuh, lalu minta maafnya baru
di’rapel’ di hari lebaran. Jika belum sempat berjumpa dengan idhul fitri, lalu keburu
dipanggil Allah, alangkah malangnya nasib dia di akherat!

Keyakinan tersebut juga berimbas pada ucapan selamat idhul fitri yang serasa kurang
jika tidak dibumbui kalimat “mohon maaf lahir batin”. Padahal dahulu para sahabat
Nabi shallallahu’alaihiwasallam manakala saling mengucapkan selamat di hari raya,
redaksi yang diucapkan adalah: “taqabbalallah minna wa minkum”. Dan kalimat ini
jelas lebih sempurna; sebab tidak semata-mata bermuatan ucapan selamat, namun
juga mengandung doa agar Allah menerima amalan orang yang mengucapkan selamat
maupun yang diberi selamat. · Ranjau-ranjau ‘silaturrahim’
Sebelum munculnya agama Islam, dalam adat istiadat komunitas Arab telah dikenal
persaudaraan antar kerabat, dan itu juga mereka anggap sebagai salah satu akhlak
mulia. Kemudian Islam datang dengan membawa ajaran ‘serupa’ yang diistilahkan
dengan silaturrahmi, namun dengan format dan aturan yang lebih sempurna. Sisi-sisi
kekurangan dalam ‘silaturrahmi’ versi adat jahiliyah dibenahi, sehingga karakter
mulia tersebut semakin terlihat indah dan menarik.

Kita hidup di tanah air yang menjunjung tinggi adat ketimuran. Dalam budaya kita
pun menjalin hubungan persaudaraan dikenal sebagai perilaku mulia. Hanya saja
praktek sebagian kalangan terkadang menodai ‘kesucian’ silaturrahmi. Sisi-sisi
negatif dalam ‘silaturrahmi’ mereka inilah yang penulis istilahkan dengan ‘ranjau
silaturrahim’.

Di antara perilaku yang seharusnya dihindari dalam menjalin silaturrahim:

1. Fanatisme

Salah satu musibah besar yang menimpa umat Islam dewasa ini adalah: perpecahan di
antara mereka. Di antara faktor terbesar yang menimbulkan perpecahan adalah adanya
‘rumah-rumah’ lain di dalam ‘rumah besar’ Islam. Apalagi manakala hal itu diiringi
dengan fanatisme buta sesama anggota rumah-rumah kecil tersebut. Sehingga seakan
kebenaran hanyalah ada dalam diri mereka. Padahal sebagai umat Islam kita tidak
boleh bersikap fanatik kecuali kepada kebenaran; yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasul
shallalahu’alaihiwasallam dengan pemahaman para sahabat Nabi
shallallahu’alaihiwasallam.

Paguyuban keluarga juga berpeluang menimbulkan fanatisme tercela, jika tidak


senantiasa disuntik arahan agama dan dipoles sentuhan islami.

2. Lunturnya sikap adil.

Perasaan pakewuh terhadap saudara terkadang menjerumuskan seseorang untuk segan


mengucapkan yang haq. Apalagi manakala hal itu ‘merugikan’ saudara sendiri.
Contoh nyatanya manakala kita dihadapkan untuk menjadi saksi dalam suatu kasus,
yang pelakunya adalah saudara kita sendiri. Manakala kita menyampaikan fakta
sebenarnya, hal itu akan mengakibatkan dia mendekam di hotel prodeo dan kerabat
lainnya menjauhi kita, namun insyaAllah buahnya kita akan disayang Allah.
Sebaliknya jika kita menyembunyikan kebenaran, mungkin saudara kita akan selamat,
kita akan disanjung kaum kerabat, namun akibatnya dimurkai Allah.

Anda mungkin juga menyukai