Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH QOWA’IDUL FIQIH

Disusun untuk memenuhi tuhas mata kuliah QOWA’IDUL FIQIH

Diampu Oleh:

A. QOMARUDIN, M. Pd. I

Disusun oleh:

MOCHAMMAD IN’AM
ISMAIL SANUDIN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA

ISLAM STAI MA’HAD ALY AL-HIKAM

MALANG

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya yang tidak pernah putus sehingga pada kesempatan kali
ini kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah “QOWA’IDUL FIQIH”
dalam rangka memenuhi salah satu nilai tugas matakuliah Pendidikan Agama
Islam.
Makalah ini, diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada para
mahasiswa yang sedang mempelajari mata kuliah strategi pembelajaran agar lebih
mudah dalam belajar bab ini. Karena proses pendidikan yang baik merupakan hal
penting dalam kegiatan belajar dan mengajar.
Semoga makalah ini dapat membantu semua teman mahasiswa dalam
mempelajari dan memahami mata kuliah strategi pembelajaran.
Wasalam’ualaikum wr.wb.

Malang, 20 Oktober 2021

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................


DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ........................................................................
B. RUMUSAN MASALAH ....................................................................
C. TUJUAN .............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
1. ‫االصل براءة الذمة‬......................................................................................
2. ‫االصل العدم‬..............................................................................................
3. ‫االصل فى الكالم الحقيقة‬...............................................................................
4. ‫اذا تعذرت الحقيقة يصار الى المجاز‬................................................................
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN...................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang mengelompokkan


masalah-masalah fiqih spesifik menjadi beberapa kelompok, juga merupakan pedoman yang
memudahkan penyimpulan hukum bagi suatu masalah, yaitu dengan cara menggolongkan
masalah-masalah yang serupa dibawah satu kaidah. Berhubung hukum fiqih lapangannya
luas, meliputi berbagai peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia
dengan khaliknya, dan hubungan manusia dengan sesama manusia. Yang dalam
pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi tertentu, maka ilmu pengetahuan-kaidah yang
juga berfungsi sebagai pedoman berfikir dalam menentukan hukum suatu masalah yang
tidak ada nashnya, adalah perlu sekali.Qawaid sebagian lain mengatakan metode ini sebagai
Qaidah secara bahasa berarti prinsip – prinsip dasar atau beberapa asas dari segala sesuatu.
Sedangkan Fiqhiyyah berarti pemahaman yang mendalam dalam suatu masalah. Secara
istilah Qawaid Fiqhiyyah merupakan prinsip – prinsip umum terhadap suatu hukum yang
didapat melalui pemikiran yang mendalam dari dalil – dalil yang mencangkup keseluruhan.

Dalam Islam, banyak sekali hukum mengenai kehidupan kita sehari-hari. Dimana
dalam hukum itu terdapat suatu kaidah baik mengenai fiqih maupun dasar hukum.

Yang dimaksud dengan kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum,
yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih spesifik menjadi beberapa kelompok, juga
merupakan pedoman yang memudahkan penyimpulan hukum bagi suatu masalah, yaitu
dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dibawah satu kaidah.1

B. Rumusan Masalah
Bagaimana implementasi dari kaidah-kaidah tersebut?

C. Tujuan Pembahasan
Dapat mengimplementasikan dan memahami kandungan dari kaidah-kaidah tersebut.

1
Rosyidin. Buku Pengantar Ushul Fiqih dan Qawa’idul fiqhiyyah
2
BAB II

PEMBAHASA

1. Kaidah ‫ ( االصل براءة الذمة‬Pada Dasarnya Tanggungan Itu Bebas)

A. Pengertian

kaidah ini menandaskan bahwa, patokan dasar manusia dalam relasi sosial maupun
indifidualnya adalah keterlepasannya dari tanggung jawab hak orang lain (dzimmah) ketika hak itu
belum pasti. Secara bahasa, dzimmah memiliki beberapa arti perjanjian, jaminan, perlindungan
dan sumpah. Namun dalam kaidah ini, dzimmah diartikan sebagai tanggung jawab manusia
terhadap suatu barang, atau tanggung jawab berupa hak indifidu dengan hak indifidu lainnya. Dari
sini dapat diambil pemahaman bahwa, pada dasarnya setiap manusia terbebas dari tanggungan
yang berupa kewajiban melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sebaliknya, bila seseorang
memiliki tanggungan, maka ia telah berada dalam posisi yang tidak sesuai dengan kondisi asal.

Kontruksi kaidah ini berasal dari hadis Nabi saw, yang berbunyi:
‫ رواه و مسلم و أبو داود و الترمذى والنسائ و ابن ماجه و أحمد‬. ‫ا لبينة على المدعي واليمين على المدعى عليه‬
Mendatangkan bukti wajib atas orang yang mendakwa, sedangkan sumpah wajib atas orang yang
didakwa. (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad).[1]

B. Indikasi Dalil

Dengan hadis ini, menjadi jelas bahwa, tuntutan seorang pendakwa (mudda’i) terhadap terdakwa
(mudda’a alaih) tidak dibenarkan selama pendakwa tidak mampu menunjukkan bukti dan
menghadirkan saksi. Karena itu, jika bukti dan saksi tidak ada, maka pihak yang dibenarkan
ucapannya adalah terdakwa beserta sumpahnya. Sebab jika menilik hukum asal, terdakwa adalah
pihak yang bebas dari tanggungan apapun.

Sementara kewajiban bersumpah bagi terdakwa didasarkan pada argumen pokok bahwa dia adalah
pihak yang “meniadakan” (menafikan tuntutan pendakwa). Sementara orang yang meniadakan
3
suatu hal tidak dapat dituntut untuk mendatangkan saksi ataupun bukti. Karenanya, terdakwa
hanya diwajibkan bersumpah saja. Berbeda dengan pihak penuntut, ia harus mendatangkan saksi
dan bukti karena ia berposisi sebagai pendakwa yang ingin mendapat legitimasi hukum atas
dakwaannya.

Kewajiban mendatangkan saksi bagi pendakwa dan keharusan bersumpah bagi terdakwa diatas,
berlaku selama tidak bertentangan denagn kenyataan yang tampak (al-zhahir). Al-zhahir, dalam
persoalan ini bisa dilihat atau difahami dari makna eksplisit maupun implisit. Misalkan ada
seorang lelaki bernama Zaini yang mendakwa Aisyah yang telah dewasa, bahwa orang tua Aisyah
telah menikahkannya dengan Zaini sebelum meminta izin kepada Aisyah. Pada awalnya, Zaini
memang telah meminang Aisyah dan pinangan itu diterima oleh orang tua Aisyah, bahkan orang
tuanya langsung mengikatnya melalui tali pernikahan. Ketika orang tua Aisyah menyampaikan
perihal pernikahannya itu, wanita pemalu ini hanya diam saja. Padahal diamnya Aisyah bukan
karena ia menerima pernikahan sepihak itu, melainkan lebih disebabkan oleh karakter pribadinya
yang memang pendiam.

Tak lama berselang, datanglah Zaini yang mendakwa kesediaan Aisyah untuk menjadi istrinya.
Padahal hati Aisya sama sekali tidak tertarik pada pemuda ini. Karena itulah, Aisyah akhirnya
memberanikan diri untuk menjawab sebagai dakwaan atas dakwaan Zaini. Dia secara tegas
mengatakan: “Aku menolaknya”. Nah, dalam kasus ini, yang dibenarkan adalah ucapan Aisyah.
Sebab, sekalipuin Zaini berpegang pada hukum asal berupa tiadanya penolakan Aisyah, namun
karena ucapan Aisyah sesuai dengan realitas yang tampak (zhahir), yakni, bahwa diri Aisyah
belum dimiliki oleh siapapun yang juga merupakan hukum asal, maka yang dibenarkan adalah
ucapan Aisyah. [2]

2. Kaidah ‫ ( االصل العدم‬Pada Dasarnya Hak Atas Sesuatu Itu Tidak ada)
Sub-kaidah ini menandaskan, bahwa, pada dasarnya setiap orang mukallaf dinilai tidak
memiliki hak apa-apa, sebelum hak tersebut sudah benar-benar wujud secara nyata dan diyakini
keberadaannya. Banyak persoalan-persoalan fiqhiyyah yang termasuk cakupan kaidah ini,
diantaranya adalah:

a.Seorang yang menjalankan modal melaporkan tentang perkembangannya kepada pemilik modal,
bahwa ia belum memperoleh keuntungan atau sudah mendapat keuntungan tetapi sedikit, maka
laporannya itu yang dibenarkan karena dari awal adanya ikatan mudlarabah memang belum
4
diperoleh laba dan keadaan ini yang sudah nyata, sedang keuntungan yang diharap-harapkan itu
hal yang belum terjadi (belum ada).

b.Seseorang makan makanan milik orang lain, ia mengatakan bahwa pemiliknya telah
mengizinkan, padahal pemilik makanan itu mengingkarinya. Dalam kasus ini yang dibenarkan
adalah pemilik makanan, sebab menurut hukum yang asal, makan makanan orang lain itu tidak
boleh.

c.Usman berhutang kepada Umar dan mengaku telah membayar, sebaliknya Umar mengatakan
bahwa, hutang itu belum dilunasi. Dalam hal ini keingkaran Umar yang dibenarkan, sebab
menurut asalnya, memang belum adanya pelunasan. [3]

3. Kaidah ‫( االصل فى الكالم الحقيقة‬Pada Dasarnya Ucapan Adalah Makna Hakiki).

Definisi:
Dalam bahasa Arab dikenal istilah haqiqah dan majaz, yang memiliki kemiripan dengan
makna hakiki dan makna kiasan dalam bahasa Indonesia, walaupun tidak sama persis. Haqiqah
adalah sebuah kata yang mempunyai makna sesuai dengan makna aslinya tanpa ada pembiasaan.
Sedangkan majaz adalah kata-kata yang mempunyai arti yang sudah membias atau ambigu (makna
kedua). Tema ini akan sangat penting untuk dikaji karena berkaitan dengan hukum formal,
terutama bagi mereka yang tahu betul tentang bahasa Arab, walaupun tema kita ini tidak berkutat
pada orang Arab atau yang berbahasa Arab saja.

Dalam bahasa Arab, kata-kata selamanya tidak akan berubah dari makna haqiqah menjadi makna
majaz, selama tidak ada hal-hal yang menuntut kearah perubahan itu. Diantara hal-hal yang
mengantarkan sebuah kata pada makna majaz-nya adalah apabila hati seseorang akan lebih cepat
menangkap makna majaz dibandingkan makna haqiqahnya. Contoh kemudahan penangkapan
makna majaz adalah seperti halnya orang yang bersumpah tidak akan makan pohon. Ucapan
seperti ini secara spontan akan dapat dipahami sesuai dengan makna majaz-nya, yakni memakan
buah yang dihasilkan oleh pohon itu. Sehingga orang tersebut tidak akan dianggap melanggar
sumpah kecuali memakan buahnya.

Sedangkan contoh-contoh pemaknaan kata yang belum membias ke makna majaz (masih dalam
lingkup haqiqah) adalah sebagai berikut:
5
Orang yang besumpah tidak akan membeli dan tidak akan melakukan penjualan apapun. Dengan
sumpahnya ini, ia tidak akan dianggap sebagai orang yang melanggar sumpah ketika mewakilkan
penjualan dan pembeliannya itu pada orang lain. Menurut Al Suyuthi, hal ini karena ucapan
tersebut diberlakukan sesuai dengan makna haqiqah-nya, yaitu penjualan dan pembelian yang
hanya dilakukan oleh diri sendiri.
Ungkapan seseorang yang akan mewakafkan hartanya pada orang yang hafal Al Quran, maka
ucapan ini tidak memasukkan orang yang hafal Al Quran dan pada akhirnya lupa.karena orang
yang pernah hafal Al Quran lalu lupa, tidak termasuk dalam “wilayah kata” orang hafal dalam
makna hakikinya, kecuali harus merambah pada tinjauan majaz, dalam hal ini adalah majaz
mursal.[4]

4. Kaidah ‫( اذا تعذرت الحقيقة يصار الى المجاز‬Apabila Suatu Kalimat Tidak Bisa Diartikan Secara
Hakiki, Maka Dapat Diartikan Secara Majazi)

Hakikat adalah pendapat mu’tabar yang diunggulkan dan merupakan asal, sedangkan
majaz merupakan cabang dari hakikat, dan posisi majaz berada pada urutan kedua setelah hakikat.
Sebagai contoh makna hakiki pada lafad nikah menurut Abu Hanifah adalah bersetubuh, bukan
bermakna majazi yaitu akad, berdasarkan dalil Al Quran yang berbunyi: “Janganlah kamu kawini
wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu” (QS. Al Nisa’: 22). namun jika mengalami
kesulitan untuk berpegang terhadap hakikat, maka berpegang pada majaz merupakan alternatif
kedua.[5] kaidah ini mempunyai beberapa contoh antara lain:

Seseorang bersumpah tidak makan pohon, sumpah tersebut tidak berarti ia makan batang kayunya,
tetapi menurut makna majaz (kiasan) adalah makan buahnya.
Seseorang yang berjanji tidak akan menginjakkan telapak kakinya dirumah itu, maksud dari
sumpah itu menurut kebiasaan adalah masuk. Seandainya dia meletakkan telapak kakinya ke
dalam rumah itu tanpa memasukkan badannya, maka dia tidak termasuk melanggar sumpah. Dan
jika dia masuk kedalam rumah itu dengan berkendaraan meskipun dia tidak meletakkan telapak
kakinya, maka dia dianggap melanggar sumpahnya.[6]

6
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Demikianlah, dengan memahami berbagai macam perbedaan yang telah kita paparkan
dimuka dapat kami simpulkan:

Sebenarnya setiap manusia terbebas dari tanggungan yang berupa kawajiban melakukan dan tidak
melakukan sesuatu.
Sebenarnya pada diri manusia tidak hak apa-apa terhadap terhadap sesamanya, dan seseorang tidak
dapat menuduh orang lain kecuali ada indikasi kuat dan jelas.
Bila suatu ucapan bisa diartikan secara hakiki dan bisa jadi pula diartikan secara majazi, maka arti
hakiki yang harus dipegang.
Jika mengalami kesulitan untuk berpegang terhadap hakikat, maka berpegang pada majaz
merupakan alternatif kedua

7
DAFTAR PUSTKA

1. KAKI LIMA Lirboyo, Formulasi Nalar Fiqih Telaah Kaidah Fiqih Konseptual, vol.1, cet. II
(Surabaya; Khalista, 2006)

2. Mujib, Abdul , Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, cet. V (Jakarta; Kalam Mulia, 2001)

3. Bisri, Moch. Adib, Terjamah Al Faraidul Bahiyyah, cet.I (Kudus; Menara Kudus, 1977)

4. Al Burnu, Moch. Sidqi bin Ahmad, Al Wajiz Fi Idhohi Qowa’idi Al Fiqhi Al Kulliyyati, vol I
(tt, Muassah Al Risalah, 1983)

5. Rizqa, Mustafa Ahmad, Syarh Qawaid Al Fiqhiyyah, vol. I ( Damasqus, Dar Al Qalam, 1996)

6. Al Suyuti, Abi Al Fadl Jalal Al Din Abd Al Rahman, Al Asybah wa Al Nadhair, vol III (Beirut-
Libanon; Muassasah Al Kutub Al Tsaqofiyyah, 1999)

8
9

Anda mungkin juga menyukai