Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

HAMBATAN DAN TANTANGAN BUDAYA MELAYU DI ERA GLOBALISASI 4.0


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Budaya Melayu Jambi

OLEH :

KELOMPOK 2

1. NISA MELIANA / 2100861201111


2. RAUDA TUNNUR / 2100861201155
3. REZKI ASRILIDYA AGUSTIN / 2100861201088
4. ZIKI RAHMANDA / 2100861201206

DOSEN PENGAMPU : Dr. ABDOEL GAFAR, M.Pd.

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS BATANGHARI
JAMBI
2022
KATA PENGANTAR

Assalmmu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirobbil Alamin, puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, atas
limpahan rahmat serta karunia-Nya, sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah ini.

Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Abdoel Gafar, M.Pd. Selaku dosen mata
kuliah Budaya Melayu Jambi, serta kepada teman - teman yang telah membantu untuk
menyelesaikan makalah ini.

Kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata, dengan demikian kami sangat menyadari makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penyusun mengharapakan kritik dan saran yang
bersifat konstruktif (membangun).

Akhirnya melalui sebuah do’a dan harapan, semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat
khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya, Jazzakumullah khoiron katsir.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jambi, 14 Mei
2022
Penyusun,

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................................................. ii

BAB I ............................................................................................................................................ 1

PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................. 1

1.3 Tujuan ............................................................................................................................... 2

BAB II ........................................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN ........................................................................................................................... 3

2.1 Pengertian Kebudayaan Melayu ....................................................................................... 3

2.2 Konsep Globalisasi............................................................................................................ 4

2.3 Hambatan dan Tantangan Mempertahankan Identitas Kebudayaan Melayu .................... 5

BAB III ......................................................................................................................................... 10

KESIMPULAN ............................................................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kebudayaan Melayu sebagai salah satu dari berbagai macam kebudayaan yang hidup,
tumbuh dan berkembang di muka bumi ini. Kebudayaan Melayu merupakan kebudayaan secara
turun-temurun dilakukan oleh masyarakat. Kebudayaan Melayu merupakan salah satu pilar
penopang kebudayaan nasional Indonesia khususnya dan kebudayaan dunia umumnya, di samping
aneka budaya lainnya. Budaya Melayu tumbuh subur dan kental di tengah-tengah masyarakat
Indonesia. Budaya Melayu identik dengan agama, bahasa, dan adat-istiadat merupakan integritas
yang solid. Adat Melayu merupakan konsep yang menjelaskan satu keseluruhan cara hidup
Melayu di alam Melayu. Orang Melayu di mana juga berada akan menyebut fenomena budaya
mereka sebagai “ini adat kaum” masyarakat Melayu mengatur kehidupan mereka dengan adat agar
setiap anggota adat hidup beradat, seperti adat alam, hukum adat, adat beraja, adat bernegeri, adat
berkampung, adat memerintah, adat berlaki-bini, adat bercakap, dan sebagainya. Adat adalah
fenomena keserumpunan yang mendasari kebudayaan Melayu.

Namun semakin berkembangnya zaman seperti di era globalisasi sekarang, banyak juga
masyarakat yang kurang peduli bahkan lupa akan budaya melayu tersebut. Di era globalisasi ini
banyak sekali pengaruh-pengaruh budaya lain yang berasal dari luar. Selain itu, hambatan dan
tantangan yang berasal dari dalam juga muncul. Oleh sebab itu, kita sebagai mahasiswa ataupun
generasi penerus haruslah mampu untuk menghadapi atau bahkan mengatasi hambatan dan
tantangan terhadap Kebudayaan Melayu di era globalisasi saat ini.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu Kebudayaan Melayu?

2. Bagaimanakah konsep globalisasi?

3. Bagaimanakah hambatan dan tantangan mempertahankan identitas kebudayaan Melayu?

1
1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengertian dari kebudayaan Melayu.

2. Mengetahui konsep dari globalisasi.

3. Mengetahui hambatan dan tantangan dalam mempertahankan identitas kebudayaan Melayu.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kebudayaan Melayu

Melayu merupakan sesuatu konsep yang unik. Keunikan tersebut bisa dilihat misalnya
ketika orang-orang Melayu itu sendiri ditanya tentang Melayu akan mengalami kebingungan. Kata
Melayu itu sendiri memang kata yang memiliki berbagai macam pengertian. Muchtar Luthfi
mengemukan beberapa pengertian Melayu yakni pengertian pertama, Melayu adalah salah satu ras
di antara ras yang lainnya. Ras Melayu adalah ras yang kulitnya berwarna cokelat, yang merupakan
campuran ras Mongol, Dravida dan Aria. Jika konsep ini diikuti maka tentu semua orang di
Nusantara (Asia Tenggara) adalah Melayu. Orang yang dianggap non Melayu adalah selain itu.

Pengertian kedua dari Melayu adalah sebagai suku Bangsa. Perkembangan sejarah dan
politik telah menyebabkan ras Melayu yang tersebar di seluruh Nusantara dari Madagaskar sampai
Lautan Teduh sekarang terbagi dalam beberapa Negara, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura,
Brunei Darussalam, Philipina, dan Thailand dalam kesatuan bangsa masing-masing, Melayu tidak
dipandang sebagai ras, tetapi sebagai suku bangsa. Namun, sesuatu yang harus diingat bahwa suku
bangsa Melayu di Indonesia berbeda pengertiannya dengan yang di Malaysia, Singapura atau
Negara lain. Di Indonesia yang dimaksud dengan Suku bangsa Melayu adalah orang-orang yang
mempunyai adat istiadat Melayu, terutama yang bermukim di sepanjang pantai Timur Sumatera,
di Kepulauan Riau dan Kalimantan Barat. Dalam konteks ini, sukubangsa-sukubangsa lain tentu
dianggap non-Melayu. Perbedaan sukubangsa tidak lagi berdasarkan ras, tetapi berdasarkan adat
istiadat atau budayanya. Ini akan berbeda dengan Sukubangsa Melayu Malaysia dan Melayu
Singapura. Pengertian sukubangsa Melayu di sana adalah semua orang dari ras Melayu,
sehingganya orang non-Melayu adalah sukubangsa Malaysia atau Singapura dan ras lainnya,
seperti Cina, India, Eropa dan lainnya.

Melayu dalam pengertian ketiga ialah yang terdapat dalam konteks adat suku bangsa
Melayu itu sendiri, yakni Melayu yang diartikan sebagi suku. Menurut adat, orang Melayu di
Pesisir Timur Pulau Sumatera misalnya Kampar dan Kuantan terdiri dari berbagai suku, yaitu

3
Chaniago, Piliang, Tiga Kampung, Lima Kampung, Cermin, Melayu, Bodi, dan lain-lain. Yang
dimaksud dengan Melayu di sini adalah orang yang bersuku Melayu, dan yang non-Melayu adalah
yang bukan suku Melayu.

Pengertian Melayu yang lain adalah terutama di Malaysia dan Singapura adalah Islam
(Agama Islam). Apabila seseorang non-Islam melepaskan agamanya, kemudian masuk Islam
disebut menjadi Melayu. Ini beranjak dari teori bahwa adat dan agama telah menjadi satu kesatuan
dalam budaya Melayu, sehingga semua aspek kehidupan itu menyatu. Budaya Melayu adalah
Budaya Islam. Misalnya, konteks Indonesia, di Medan orang yang masuk Melayu itu dikatakan
masuk Islam. Orang Batak Karo, Simalungun, atau Cina yang masuk Islam dikatakan sebagai
orang yang masuk Melayu. Secara kultur, mereka memang memelayukan diri dengan
meninggalkan marga Batak, hidup dalam adat Resam Melayu dan dalam kehidupan sehari-hari
memakai bahasa Melayu. Kondisi dan proses ini oleh antropolog Nagata, disebut sebagai proses
Islam yang universal ke Islam yang partikularistik.

Selanjutnya kata budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta,
karsa, dan rasa. Kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta budhayah yaitu bentuk jamak dari kata
buddhi yang berarti budi atau akal. Dalam bahasa inggris, kata budaya berasal dari kata culture,
dalam bahasa Belanda diistilahkan dengan kata cultur, dalam bahasa Latin, berasal dari kata colera.
Colera berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, mengembangkan tanah (bertani) (Setiadi,
dkk, 2009: 27). Oleh karena itu, apabila kedua kata tersebut digabungkan menjadi kebudayaan
Melayu tentunya akan memiliki pengertian sebagai kebudayaan yang secara turun-temurun
dilakukan oleh masyarakat. Kebudayaan Melayu merupakan salah satu pilar penopang kebudayaan
nasional di Indonesia khususnya dan kebudayaan dunia umumnya, di samping berbagai macam
budaya lainnya. Budaya Melayu tumbuh subur dan kental di tengah-tengah masyarakat seperti di
Indonesia. Budaya Melayu yang identik dengan agama, bahasa, dan adat-istiadat merupakan
integritas yang solid.

2.2 Konsep Globalisasi

Globalisasi merupakan istilah yang dikaitkan dengan kajian ekonomi, sosiologi, serta
budaya dan merupakan barisan di hadapan pembuatan banyak dasar di Hemisfera Barat bagi tempo
dua abad yang lalu. Perkataan globalisasi berasal daripada perkataan global, yang berarti universal.

4
UNESCO mendefinisikan globalisasi sebagai satu struktur dan proses ekonomi, sosial, teknologi,
politik dan budaya yang terhasil daripada ciri-ciri dalam pengeluaran, penggunaan, dan
perdagangan barangan serta aset yang merangkum asas ekonomi dan politik antarabangsa.
Menurut Mittleman (1996) mentakrifkan globalisasi sebagai transformasi sejarah yang
mengembang dan mempercepat interaksi melintasi masa dan ruang dengan implikasi yang besar
dari segi perhubungan pertukaran kuasa, selain menambah daya kemampuan komuniti untuk
menentukan nasib sendiri. Manakala Waters (1995) juga menyatakan globalisasi ialah proses
sosial yang memperlihatkan kekangan geografi yang semakin berkurang terhadap hal-hal
kemasyarakatan dan budaya, dan manusia sedar bahwa kekangan tersebut semakin berkurang.

Menurut kamus dewan, globalisasi didefinisikan sebagai fenomena yang menjadikan dunia
mengecil dari segi perhubungan manusia disebabkan kepantasan perkembangan teknologi
maklumat. Manakala cendekiawan barat mentakrifkan globalisasi ini sebagai satu proses
kehidupan yang serba luas dan tak terbatas mencakupi segala aspek kehidupan. Seperti politik,
sosial, dan ekonomi yang dirasakan oleh seluruh umat manusia di dunia ini. Hal ini bermaksud
segala perkara menjadi milik bersama dalam konsep langit terbuka. Globalisasi ini juga merujuk
kepada perpindahan nilai, terutamanya cara berfikir dan gaya bertindak dari satu daerah dunia ke
daerah dunia yang lain. Hakikatnya globalisasi ini sudah berwujud sebelum istilah globalisasi itu
diperkenalkan lagi. Fenomena globalisasi bisa dikiaskan sebagai gelombang besar yang sedang
melanda dunia saat ini.

2.3 Hambatan dan Tantangan Dalam Mempertahankan Identitas Kebudayaan


Melayu

Menurut Bambang Purwanto, ketika globalisasi menjadi salah satu kosa kata utama dalam
kehidupan sehari-hari, pada saat yang sama, kata kearifan lokal dalam hal budaya Melayu hadir
sebagai budaya tandingan untuk membangun keseimbangan agar tidak terjadi goncangan dalam
kehidupan. Globalisasi yang cenderung diartikan sebagai intervensi asing atau elemen luar
kekinian yang mengancam masa depan, sementara budaya lokal merupakan representasi warisan
masa lalu dari dalam, yang diposisikan sebagai benteng yang dapat menjaga dan menetralisir yang
dapat ditimbulkan oleh keberadaan globalisasi.

5
Fenomena globalisasi pada budaya Melayu ini setidaknya ditandai oleh beberapa hal
diantaranya, telah menyebarnya orang-orang Melayu ke segala penjuru dunia, sehingga mereka
juga membawa nilai-nilai ke-Melayu-annya. Produk dari hal ini tentu bisa dilihat dan ditemukan
misalnya adanya Melayu Riau, Melayu Jambi, Melayu Malaysia, Melayu Philipina, Melayu
Singapura dan lain-lain. Selanjutnya, bisa juga dilihat keberadaan geografis Melayu itu sendiri.
Wilayah geografis Melayu itu sendiri merupakan daerah tujuan dari luar wilayah Melayu.
Kedatangan orang-orang dengan berbagai etnis tersebut ke wilayah Melayu secara langsung atau
tidak telah berperan memperkaya kebudayaan Melayu. Misalnya, budaya tulis menulis yang ada
pada dunia Melayu hari ini pada dasarnya adalah hasil dari kedatangan orang-orang Arab (Islam)
ke dunia Melayu.

Hal lain, yang tentunya perlu dipahami, bahwa dalam arus globaliasi ini, budaya Melayu
bukan hanya tempat transformasi bagi setiap orang, tetapi budaya Melayu juga tempat terjadinya
pertarungan informasi. Berkat Kemajuan teknologi, masyarakat Melayu mempunyai akses yang
lebih luas terhadap berbagai sumber informasi. Dampak dari semua hal itu terjadilah perubahan
mindset (pola pikir dan cara pandang) terhadap dunia. Dalam konteks di atas dapat dilihat
bagaimana peran yang bisa dilakukan oleh orang Melayu dalam era globalisasi agar bisa
mempertahankan identitas kebudayaan Melayu. Budaya Melayu perlu dilestarikan karena di
dalamnya terdapat nilai-nilai yang tinggi, sabagaimana juga ada dalam budaya lain, apalagi dalam
era modern ini.

Sampai pada batas ini jika melihat budaya Melayu di era globalisasi, ada tantangan besar
yang dihadapi oleh komunitas Melayu, yakni sedang merosotnya budaya tersebut karena
diskontekstualisasi, misrepresentasi, dan menurunnya kebiasaan umum Melayu. Kondisi ini dapat
dilihat dari beberapa gejala yaitu bahasa, sastra dan budaya mengalami diskontekstualisasi, bahasa
dianggap kuno, sastra kurang berkembang dan tidak dipakai, budaya dikembangkan hanya pada
tataran luar tanpa filosofi.

1. Misrepresentasi, kekuatan-kekuatan budaya/ filosofi Melayu tidak direpresentasikan


dengan baik karena kurangnya penggalian naskah secara kontekstual, lemahnya posisi
Melayu dalam struktur politik, serta kearifan dan kecerdasan yang terlupakan yang mana
tidak lebih hanya dijadikan sebagai dongeng.

6
2. Menurunnya kebiasaan umum, Melayu tidak menjadi arus utama (salah satu dari arus
global dan Jawa), Melayu bersifat diasporic yakni tersebar tidak memusat sehingga tidak
memiliki kekuatan Bersama atau kolektif, Melayu tidak memiliki kesadaran kolektif,
dimana tidak ada marga, misalnya tidak ada “alasan kultural” yang menyatukan Melayu
Kampar, Melayu Deli, Barus, Melayu Sambas, dan lain-lain. Melayu telah berubah
menjadi Indonesia, sehingga Melayu menjadi hilang. Misalnya kalau disebut bahasa
Indonesia berdasar pada diri (sumber), tetapi kenyataannya sekarang bukan Bahasa
Melayu. Akhirnya adalah hilangnya identitas Melayu. Namun, jika ditelusuri dalam
spektrum sejarah, identitas Melayu (ke-Melayu-an) itu menjadi hilang sudah sejak dari
awal sejarahnya, terutama terjadi karena adanya identitas ganda dengan Jawa pada masa
itu, yaitu ketika memudarnya kerajaan Sriwijaya, dan masuk pengaruh Pajang dan juga
Majapahit (dalam batas-batas tertentu).

Spektrum globalisasi sebagai proses dalam batas-batas tertentu bertujuan untuk


menghomogenisasi segala bidang, termasuk budaya Melayu. Penyebaran secara luas dari proses
globalisasi adalah melalui instrumen teknologi informasi, yang secara prinsip dikendalikan
negara-negara maju. Sehingganya, negara-negara berkembang seperti Indonesia dengan
komponen Melayu-nya menjadi pihak yang dipengaruhi dibanding mempengaruhi.
Konsekuensinya, identitas negara-negara maju mendominasi negara berkembang secara cepat dan
mudah di Indonesia. Sampai batas ini terlihat secara jelas bahwa globalisasi sesungguhnya
mengancam identitas budaya Melayu padahal secara sadar, harus diakui bahwa Melayu itu sendiri
dalam proses dan spektrum sejarahnya sampai hari adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
globalisasi itu sendiri. Dapat dilihat bahwa sesuatu yang mendesak ini dapat diselesaikan
permasalahannya dengan dilakukannya revitalisasi identitas kultural Melayu di Indonesia.

Dalam perpektif lain, karena Melayu merupakan suatu entitas dan identitas yang tidak
tunggal, kerjasama dari berbagai Negara yang terikat dalam berbagai rumpun Melayu, sangatlah
perlu dipertimbangkan sebagai kekuatan yang tidak dapat diremehkan. Melayu yang mendiami
kawasan Asia Tenggara dengan kemelayuan yang apabila dikelola dengan baik akan membawa
perbaikan dan kemajuan dalam berbagai sektor kehidupan. Namun, dalam kerjasama tersebut
harus ada prinsip dasar yang melandasinya, dan itu bisa dijadikan komitmen bersama rumpun
Melayu Nusantara. Misalnya, dalam menjalin kerjasama antar rumpun melayu itu perlu diberi

7
basis prinsip kesetaraan, bersifat mutualistik, kesediaan untuk saling menerima dan saling
memberi, dan yang tidak kalah penting adalah menjaga eksitensi dan independensi masing-masing
bagian dari masyarakat dunia.

Dalam konteks medernitas yang sedang meng-global, langkah identifikasi dan perwujudan
yang di dalamnya juga terjadi globalisasi Melayu akan berimplikasi secara timbal balik, guna
terciptanya berbagai peluang dan sekaligus tantangan untuk mempertahankan identitas
kemelayuan dan kebudayaan Melayu. Perpektif peluang utama sesunguhnya bisa dilihat dari
kerangka Islam sebagai domain penting Melayu. Islam sebagai sebuah peradaban universal
sebenarnya di masa lalu pernah berjaya sekaligus menghegemoni, sebelum Eropa bangun dari tidur
panjangnya lewat renaissance pada abad ke-13, dan sampai sekarang Islam tetap menjadi
peradaban universal.

Peluang lain adalah bahwa di dunia Melayu saat ini, mulai muncul semacam kesadaran
terutama tentu dari kalangan intelektual, bahwa dunia Barat sekarang berhasil mendominasi dunia
Melayu terutama terkait dengan dominasi kekayaan material dan ekonomi. Dalam perspektif ini
dunia Melayu punya peluang mengambil pembelajaran dari peradaban dunia yang besar yang
mengitarinya. Dengan itu mereka kembali membangun identisanya dari dalam. Maka disini
dibutuhkann, selain rakyat yang cerdas, juga kepemimpinan yang kuat dan solid, yang terjaga
integritasnya dalam menyatukan umat (budaya Melayu).

Dalam konteks ini, membangun identitas Melayu dan budaya Melayu untuk menuju jalan
pulang, kembali ke masa depan ke-Melayu-an yang lebih menjanjikan Irwan Abdullah
berpendapat berdasarkan pemetaannya yang mengemukakan bahwa ada beberapa hal yang harus
dilakukan:

1. Pertama, secara teoritis filosofis, Melayu harus bisa membebaskan diri dunia luar dalam
mengembangkan potensi kearifan dan kecerdasan lokalnya. Adanya suatu unsur politik
bagi penggalian dan penguatan serta pembelaan sumber-sumber lokal dan pelatihan terbaik
lokal Melayu. Adanya regulasi budaya untuk mainstreaming atau membiasakan diri
terhadap budaya Melayu, Langkah alternatif untuk menajga budaya Melayu, dan membela
yang harus dibela. Kemudian perlunya identifikasi daerah teritorial dalam kerangka
hubungan teritori Melayu satu dengan yang lain. Terakhir, membangkitkankan ke-Melayu-
an, bagi kebanggaan Melayu.

8
2. Kedua, langkah kebijakan dan operasionalnya, yang terbagi ke dalam tiga tahapan, yaitu:
• Tahap pertama, melakukan pemetaan kearifan lokal Melayu dalam berbagai bentuk
yang tersebar di berbagai tempat melalui penelitian dan penggalian yang
melibatkan berbagai disiplin ilmu. Pendekatan arkeologi atas situs-situs Melayu,
pendekatan bahasa dan sastra atas naskah-naskah dan bahasa yang dipakai sehari-
hari baik dulu maupun sekarang, Sampai kepada pendekatan antropologis atas
simbol-simbol yang terwujud dalam berbagai bentuk dan kegiatan. Usaha ini
melibatkan proses reinvensi tradisi sekaligus revitalisasi budaya yang akan
menegaskan apa saja sumber yang tersedia bagi perubahan dan pengembangan
masyarakat Melayu sebagai bagian dari negara bangsa Indonesia.
• Tahap kedua, yaitu kegiatan aktif dan sekaligus mensosialisasikan praktik-praktik
kearifan lokal Melayu tersebut dan mengubahnya menjadi pengalaman kolektif
sehingga memungkinkan masyarakat secara luas mendapatkan kecerdasan dari
berbagai masyarakat lain yang dapat diintegrasikan ke dalam pengalaman mereka
masing-masing. Usaha ini dimulai dari peningkatan pengetahuan dan kesadaran
masyarakat luas tentang adanya sumber-sumber yang kaya bagi kehidupan bersama
yang lebih baik. Kesadaran ini akan memunculkan empati yang kemudian mulai
dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.
• Tahap ketiga, melakukan kajian dan analisis pengalaman kolektif menjadi ilmu
pengetahuan dengan prinsip-prinsip keilmuan dan terdokumentasi dengan baik
serta mudah untuk diakses dalam berbagai bentuk. Pengalaman kolektif
diwujudkan dalam berbagai bentuk penterjemahan naskah, interpretasi naskah ke
dalam konteks kekinian, hingga pada formulasi kearifan dan kecerdasan yang perlu
diketahui dan dibagi ke dalam masyarakat sebagai sumber dan pedoman bagi
tingkah laku dan kebijakan. Keterlibatan para pihak pada tahap ini sangat
diperlukan untuk melahirkan dukungan dari publik dalam rangka mencapai
kesepahaman dan kesepakatan bersama atas posisi dan peran penting nilai-nilai
kebudayaan dan filsafat Melayu dalam kehidupan masyarakat.

9
BAB III

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari permasalahan yang dibahas yaitu, sudah saatnya orang Melayu
secara kolektif membenahi pandangannya tentang kebudayaan Melayu dengan cara membangun
paradigma yang berbeda dalam tataran horizontal melalui perspektif yang tidak sempit, karena
melayu itu adalah sesuatu yang tidak tunggal (heterogen). Inilah yang akan menjadikan Melayu
bisa mengidentifikasi dirinya sendiri dan memberikan sumbangan yang signifikan bagi kancah
peradaban global. Selanjutnya dalam kerangka identifikasi dan revitalisasi melayu ataupun
kebudayaannya, dibutuhkan dukungan dari berbagai komponen, baik intelektual dan ahli, maupun
para pemegang dan pengambil kebijakan di beberapa Negara rumpun melayu. Lalu konsekuensi
dari kedua hal tersebut adalah diharapkan lahirnya semacam aliansi strategis antara Melayu dalam
rangka mengembangkan Iptek, politik, ekonomi, budaya, pendidikan dan lain-lain. Dan yang
terakhir, peradaban Melayu yang telah menemukan jati dirinya akan menjadi lebih maju sekaligus
akan mampu mempengaruhi peradaban besar dunia apabila bisa membalikkan kedaan dari yang
ter-hegemoni menjadi budaya yang meng-hegemoni.

10
DAFTAR PUSTAKA

Faisal, Muhammad. 2019. Etika Melayu, Pemikiran Moral Raja Ali Haji. Bintan: STAIN
SULTAN ABDURRAHMAN PRESS.

Salam, Noor Efni. 2017. MASYARAKAT DAN BUDAYA MELAYU, Revitalisasi, Strategi dan
Pelestariannya. Pekanbaru: Alaf Riau.

Sanusi, Ihsan. (2017). GLOBALISAI MELAYU: Peluang dan Tantangan Membangun Identitas
Melayu dalam Konteks Modernitas, 01(1), 40-55.

Zubir, dkk. (2012). Bahasa Melayu Dalam Arus Globalisasi: Keutuhan Jati Diri dan Ketakatan
Budaya Melayu, 1, 129-135.

11

Anda mungkin juga menyukai