Anda di halaman 1dari 2

DISKUSI 3 (SEM.

4)

PENGANTAR ILMU EKONOMI

Dalam analisis permintaan dianggap bahwa “permintaan suatu barang terutama sangat dipengaruhi
oleh tingkat harganya”. Oleh sebab itu, dalam teori permintaan yang terutama dianalisis adalah
hubungan antara jumlah permintaan suatu barang dengan harga barang tersebut. Bila harga suatu
barang meningkat, maka kuantitas (jumlah) barang yang diminta akan berkurang atau menurun, dengan
asumsi ceteris paribus berlaku. Munculah hukum permintaan, yaitu makin tinggi harga suatu barang,
makin sedikit jumlah barang yang diminta, demikian sebaliknya, makin rendah harga suatu barang makin
banyak jumlah barang yang diminta.

Alasan hubungan negatif antara kuantitas dan harga, salah satunya, dijelaskan melalui konsep utilitas
marginal yang menurun. Hal itu memberitahu bahwa harga bersedia membayar lebih rendah untuk
setiap tambahan konsumsi yang konsumen lakukan. Alasannya adalah, konsumen mendapatkan
kepuasan yang menurun setiap kali mengkonsumsi satu lagi barang. Namun hukum permintaan tidak
berlaku untuk semua barang dan jasa. Dua pengecualian untuk hukum adalah barang Giffen dan barang
Veblen.

Barang Giffen adalah kuantitas barang Giffen yang diminta turun ketika harga mereka turun. Konsumen
lebih tidak menginginkan mereka ketika harga lebih rendah karena menganggap itu mengindikasikan
kualitas yang buruk. Contohnya seperti pakaian bekas atau produk berkualitas rendah. Jika harganya
turun, konsumen akan berpikir dua kali untuk membelinya karena kemungkinan kualitas juga lebih
buruk. Yang kedua barang Veblen. Kuantitas barang Veblen yang diminta meningkat ketika harga
mereka naik. Semakin tinggi harganya, semakin konsumen menginginkannya. Barang mewah adalah
contoh bagus. Konsumen menganggap harta tidak hanya sebagai biaya tapi juga utilitas ekstra.
Sehingga, ketika harga naik, mereka mendapatkan utilitas atau kepuasan yang lebih banyak. Harga yang
lebih tinggi memberikan prestise atau citra yang lebih tinggi.

ADMINISTRASI KEUANGAN

1. Menurut Adolph Wagner terhadap negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang pada abad ke-
19 menunjukkan bahwa aktivitas pemerintah dalam perekonomian cenderung semakin meningkat.
Wagner mengukur dari perbandingan pengeluaran pemerintah terhadap produk nasional. Menurut
Wagner ada lima faktor yang menyebabkan pengeluaran pemerintah selalu meningkat yaitu pertama;
tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan, kedua; kenaikan tingkat pendapatan
masyarakat, ketiga ;urbanisasi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi, keempat; perkembangan
demokrasi dan yang kelima yaitu ketidakefisienan birokrasi yang mengiringi perkembangan pemerintah.
Menurut saya, hukum Adolph Wagner ini belum bisa berlaku untuk kondisi di Indonesia saat ini. Hal ini
dilihat dari kriteria penilaian kebijakan pemerintah baik atau buruk yang di buat oleh pemerintah yaitu
salah satunya Paternalistik, dimana kebijakan Negara harus mampu memenuhi semua kebutuhan
masyarakat, baik barang maupun jasa, terutama kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan.
Dan yang kita lihat sekarang ketercapaian hasil kebijakan pemerintah belum menunjukkan tingkat
kepuasan kebutuhan masyarakat dan belum dapat memecahkan masalah dan keluhan yang dirasakan
oleh masyarakat Indonesia. Dilihat dari hukum Wagner bahwa adanya kegiatan pengeluaran pemerintah
yang meningkat sedangkan di Indonesia sendiri belum terlihat dan terwujudnya peningkatan kegiatan
pemerintah tersebut. Sebagai contoh, menyediakan kesempatan kerja lebih banyakdan penyebaran
tenaga beli yang lebih luas, pengeluaran pemerintah belum memberikankesejahteraan dan kegembiraan
bagi masyarakat. Dari contoh tersebut, pencapaian pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat belum tewujud, terlihat dari masih banyaknya pengangguran di Indonesia, kurangnya
kualitas SDM karena rendahnya pendidikan, tingkat penghasilan masyarakat yang rendah serta menurut
saya pemerintah hanya terfokus pada pembangunan infrastruktur saja yang hanya dirasakan oleh
sebagian masyarakat terutama masyarakat golongan atas, tidak lebih memfokuskan pada masyarakat
kecil atau rendah yang lebih menginginkan kesejahteraan dan kemerataan pemberdayaan serta
peningkatan kebutuhan.

2. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah mempersiapkan perubahan pada sistem penganggaran


belanja negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tujuannya menyelaraskan
instrumen fiskal pada program-program prioritas yang telah dirancang oleh pemerintah. Reformasi
anggaran belanja diperlukan lantaran selama ini alokasi di setiap institusi maupun daerah bersifat
rutinitas semata padahal tantangan dan prioritas pemerintah berubah. Reformasi APBN bisa ditempuh
dengan beberapa pendekatan. Pertama, tentunya utang harus dikurangi secara bertahap. Alternatif
untuk menambal utang tersebut bisa dengan mengoptimalkan setoran pendapatan dari BUMN. Selama
ini, BUMN banyak mendapat sumber pembiayaan dari negara namun kontribusi terhadap APBN masih
kecil. Deviden yang disetorkan BUMN ini belum maksimal yang diakibatkan masih banyak kebocoran dan
performa kinerja yang masih buruk atau merugi. Oleh karena itu, kinerja BUMN ini harus didorong dan
kemanfaatannya bisa dirasakan oleh rakyat, baik dalam bentuk kontribusi ke APBN ataupun
memberikan kualitas layanan yang baik. Kedua, mengurangi pengeluaran belanja pegawai dan barang.
Meski sulit, belanja pegawai bisa efisien kalau jumlah aparatur sipil negara (ASN) dipangkas, yang
tentunya akan berdampak juga terhadap penurunan belanja barang. Ketiga, mengefektifkan
pemungutan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Bagaimanapun, pemungutan pajak juga
tetap perlu memperhatikan dampaknya terhadap daya beli masyarakat biasa dan investasi bisnis.

https://www.kemenkeu.go.id/dataapbn

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/tiga-reformasi-mendasar-pada-apbn-indonesia/

Anda mungkin juga menyukai