Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


Makalah ini membahas tentang equity dan efisiensi. Dalam hal masalah ekonomi adalah
masalah sehari-hari yang dihadapi semua orang atau masyarakat, baik sebagai individu,
kelompok, pemerintah atau oengusaha swasta maupun pejabat publik
Masalah ekonomi pada prinsipnya adalah masalah pemerintah dan keinginan manusia
dalam kehidupan meliputi masalah-masalah ekonomi dengan berbagai latar belakang dan
profesi yang menuntut keadilan (equity) setiap mekanisme pekerjaan. Dalam hali ini
berkaitan dengan perilaku atau tindakan ekonomis ( efisiensi), juga dalam hal pemenuhan
kebutuhan dan keinginan masing-masing baik individu maupun perusahaan membutuhkan
yang namanya ilmu ekonomi.
Didalam ekonomi islam keadilan sangat dijunjung tinggi karna menyangkut
kemaslahatan, adil dalam ekonomi islam tidak menzalimi dan tidak dizalimi, suka sama suka.
Lain hal nya dengan efisiensi, dalam ekonomi islam efisiensi upaya penghematan untuk
kepentiangan bersama bukan untuk kepentingan sesaat atau pribadi.

B.     Rumusan Masalah


1. Pengertian efisiensi.
2. Pengertian equity(keadilan).
3. Prinsip-Prinsip efisiensi dan equity(keadilan) dalam ekonomi islam.

C.     Tujuan Penulisan Makalah


1. Untuk Mengetahui Apa itu Pengertian efisiensi.
2. Untuk Mengetahui Apa itu Pengertian equity(keadilan).
3. Untuk Mengetahui Apa itu Prinsip-Prinsip efisiensi dan equity(keadilan) dalam ekonomi
islam.
4. Untuk memenuhi tugas mata kuliah sejarah pemikiran ekonomi islam.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Efisiensi
Efisiensi (efficiency)  menurut kamus besar bahasa Indonesia yaitu tepat atau sesuai untuk
mengerjakan (menghasilkan) sesuatu (dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga, biaya),  mampu
menjalankan tugas dengan tepat dan cermat,  berdaya guna, bertepat guna.
Sedangkan menurut definisi yang lain efisiensi adalah penggunaan sumber daya secara minimum
guna pencapaian hasil yang optimum. Efisiensi menganggap bahwa tujuan-tujuan yang benar telah
ditentukan dan berusaha untuk mencari cara-cara yang paling baik untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Efisiensi hanya dapat dievaluasi dengan penilaian-penilaian relatif, membandingkan antara masukan dan
keluaran yang diterima.terdapat 4 kondisi yang dapat digolongkan sebagai efisien :
 Menghasilkan output yang lebih besar dengan menggunakan input tertentu.
 Menghasilkan output tetap untuk input yang lebih rendah dari yang seharusnya.
 Menghasilkan produksi yang lebih besar dari penggunaan sumber dayanya.
 Mencapai hasil dengan biaya serendah mungkin.

B. Pengertian Equity (Keadilan)


Sedangkan pengertian equity sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata adil berarti
tidak berat sebelah atau tidak memihak atau sewenang-wenang, sehingga keadilan mengandung
pengertian sebagai suatu hal yang tidak berat sebelah atau tidak memihak atau sewenang-wenang
Menurut Frans Magnis Suseno dalam bukunya Etika Politik menyatakan bahwa keadilan sebagai
suatu keadaan di mana orang dalam situasi yang sama diperlakukan secara sama.
Sedangkan menurut Aristoteles dalam tulisannya Retorica membedakan keadilan dalam dua
macam :
a. Keadilan distributif atau justitia distributiva;
Suatu keadilan yang memberikan kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian
menurut haknya masing-masing. Keadilan distributif berperan dalam hubungan antara masyarakat dengan
perorangan.
b. Keadilan kumulatif atau justitia cummulativa;
Suatu keadilan yang diterima oleh masing-masing anggota tanpa mempedulikan jasa masing-masing.
Keadilan ini didasarkan pada transaksi baik yang sukarela atau tidak. Keadilan ini terjadi pada lapangan
hukum perdata, misalnya dalam perjanjian tukar-menukar.
Terdapat dua masalah yang ditimbulkan dari trade off ini yaitu, untuk menurunkan ketidakadilan,
seberapa besar efisiensi yang dikorbankan dan adanya ketidaksepakatan mengenai nilai relatif yang harus
diberikan atas penurunan nilai ketidakadilan dibandingkan nilai efisiensi. Sebagian berpendapat bahwa
keadilan adalah masalah utama yang ada di masyarakat sehingga untuk memaksimalkannya harus
mengorbankan efisiensi, begitu pula sebaliknya pandangan orang yang menyatakan bahwa efisiensi
adalah masalah utama. Inilah mengapa antara efisiensi dan keadilan tidak bisa berjala bersama, harus ada
salah satu yang dikorbankan. Efisiensi terjadi ketika kondisi kesejahteraan tidak dapat ditingkatkan lagi
tanpa mengorbankan tingkat kesejahteraan pihak lain (Pareto). Kalau dalam suatu komunitas ada A (50),
B (100), dan C (1000) dengan angka di dalam kurung mewakili tingkat kesejahteraan hipotetis, maka
menaikkan kesejahteraan A tanpa mengorbankan kesejahteraan B atau C adalah kondisi dimana terjadi
perbaikan efisiensi (Pareto improvement); tetapi jika untuk menaikkan tingkat kesejahteraan salah satu
anggota harus menurunkan kesejahteraan anggota lain, maka kondisi awal ini sudah menunjukkan Pareto
efficient.
Di lain sisi, keadilan adalah suatu istilah yang batasannya tidak tegas dan sangat relatif. Adil bagi C
belum tentu dianggap adil bagi A atau B. Kita tidak bisa memuaskan semua pihak sekaligus. Subsidi
BBM secara massal tidak efisien karena memicu over-consumption dan dinikmati golongan yang tidak
seharusnya menerima subsidi. Tetapi dengan struktur ekonomi dan bisnis kita yang memang tidak efisien,
menghilangkan subsidi sekaligus akan membuat kehidupan lapisan miskin semakin menderita. Di sini
kita lihat ada trade-off antara efficiency dan equity. Saya tidak hendak membahas mana yang terbaik
tetapi hanya ingin menunjukkan bahwa dalam hampir semua hal efficiency itu bekerja berlawanan arah
dengan equity.

2
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pada kenyataannya, efisiensi dan keadilan sering
sekali tidak dapat sejalan. Untuk mencapai efisiensi maka harus mengorbankan keadilan, begitu pula
sebaliknya. Kaedilan dapat dicapai tetapi konsekuensinya adalah menurunnya efisiensi. First fundamental
theorem of welfare economics menyatakan bahwa ekuilibrium yang kompetitif dapat mencapai pareto
optimum dalam pasar yang sempurna. Dalam kenyataannya, terjadi kegagalan pasar (market failure),
sehingga lahirlah second fundamental theorem of welfare economics yang menyatakan bahwa dalam
konteks terjadi kegagalan pasar, ekuilibrium yang kompetitif dan memiliki properti pareto yang optimal
dapat dicapai melalui lumpsum transfer. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar intervensi pemerintah
untuk mengatasi trade-off antara efisiensi dan pemerataan melalui kebijakan redistribusi dalam bentuk
pajak, subsidi, dan pengeluaran publik pemerintah.

C. Efisiensi Dan Keadilan


Efisiensi alokasi hanya menjelaskan bahwa bila semua sumber daya yang ada habis teralokasi,
maka alokasi yang efesien tercapai. Tetapi tidak mengatakan apapun perihal apakah alokasi tersebut adil.
Para ekonom konvensioanal berbeda pendapat tentang distribusi yang adil.
1. Konsep egalitarian: setiap orang dalam kelompok masyarakt menerima barang sejumlah yang sama.
2. Konsep rawlisan: maksimalkan utility orang paling miskin
3. Konsep utilitarian: makismalkan toatal utility dari setiap kelompok masyarakt
4. Konsep market oriented: hasil pertukaran melalui mekanisme pasar adalah yang paling adil
5. Dalam konsep ekonomi islam, adil adalah tidak menzalimi dan tidak dizalimi. Bisa jadi sama rasa
sama rata. Tidak adil dalam pandangan islam karena tidak memberikan insentif bagi orang yang
bekerja keras.

D. Prinsip-Prinsip Efisiensi dan Equity dalam Ekonomi Islam


Al-Qur’an sebagai manifestasi kalam Tuhan merupakan kitab petunjuk Moral yang komprehensif
dan sempurna, datang dari Alam Ghaib untuk kebaikan manusia dan alam semesta (QS. al-Baqarah [2] :
2, 97 dan 185). Fitrah (suci) dan Hanif (lurus dan benar) merupakan dasar konstitusi kepribadian manusia,
yang karena itu, ia merindukan tatanan kehidupan yang ramah dan damai, berdiri di atas prinsip-prinsip
keadilan.
Puncak kasih sayang Tuhan atas manusia, terbukti dengan diutusnya para Nabi, yang di satu sisi
mempunyi misi menyeru manusia kepada penyerahan diri, patuh-tunduk pada Tuhan Yang Maha Esa
(Faham Tauhid) (QS. al-Ahzab [33]: 45-46), juga di sisi lain, berkaitan dengan semua Nabi, Tuhan
menegaskan dalam Surah al-Hadid [57]: 25 yang berbunyi:

Artinya: “Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah
kami turunkan bersma mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia bisa melaksanakan keadilan” (QS.
al-Hadid [57] : 25).
Ayat tersebut menegaskan bahwa menegakan keadilan adalah tujuan dan misi utama kenabian.
Dengan demikian terdapat dua tujuan utama misi kenabian, yaitu, mengajak manusia untuk menyembah
Allah, sekaligus memberantas kemusyrikan, dan menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat,
sekaligus memberantas kedlaliman.
Merujuk pada ayat 25 surat al-Haadid tersebut, Murtadha Mutahari menegaskan bahwa keadilan,
dengan konsepsi sosialnya, merupakan tujuan kenabian (nubuwwah). Nasehat Imam ‘Ali as. Kepada
Gubernur Mesir, Muhammad Ibnu Abi Bakar; Para duta Illahi adalah para penegak keadilan yang
sesungguhnya dalam masyarakat. Mereka adalah orang-orang yang telah merencanakan jalan
kesempurnaan manusia bagi umat manusia.
Dengan kata lain, kesatuan umat, persaudaraan dan prinsip keadilan sosial ekonomi adalah unsur-
unsur keadilan sebagian pengejawantahan dari sistem kepercayaan pada satu Tuhan (tauhidullah). Dalam
al-Qur’an Allah dikatakan Maha Adil, dan bahwa dia menegakan keadilan atas dasar bahwa keadilan
adalah sifat positif yang dimilikinya. Ditegaskan dalam al-Qur’an :
3
ِ ‫َش ِه َد هللاُ َأنَّهُ الَ ِإلَهَ ِإالَّ هُ َو َو ْال َملِئ َكةُ َوُأولُو ْال ِع ْل ِم قَاِئ ًما بِ ْالقِس‬
‫ْط الَ ِإلَهَ ِإالَّ هُ َو ْال َع ِزي ُز ْال َح ِكي ُم‬
Artinya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang
menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada
Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Ali Imran [3]:
14).
Ayat tersebut dengan jelas menegaskan bahwa Allah menyuruh berbuat adil atau bahwa Dia
adalah Pelaku keadilan. Pernyataan ini merupakan persoalan asasi yang diatasnya agama-agama samawi
membangun hubungan manusia dengan Allah. Kemudian, perintah Tuhan untuk mendirikan keadilan
yang didasarkan atas kualitas monoteistik prinsip keesaan Tuhan yang sesuai dengan ajaran Islam
(tauhid).Penegakan keadilan adalah merupakan manifestasi perbuatan yang paling mendekati taqwa atau
keinsyafan ketuhanan dalam diri manusia. Seperti ditegaskan dalam al-Qur’an :

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menjalankan
(keadilan) karena Allah menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian mu terhadap suatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan
bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnay Allah Maha mengeahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. al-Maidah [5] :
8).
Kesamaan derajat manusia yang dilandaskan atas kualitas ketaqwaan, telah begitu kuatnya
mengikat mereka dalam kesadaran moralitas persaudaraan secara masif dan universal. Seperti ditegaskan
oleh Wahbah Zuhaily bahwa persaudaraan kemanusiaan, mewujudkan saling mengasihi manusia,
perasaan cinta kebaikan, yaitu taqwa kepada Allah, melaksanakan hukum-hukumnya dan menjauhi
larangannya, mendukung pertumbuhan secara menyeluruh bagi kemanusiaan.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat ditegaskan bahwa di satu sisi pengertian
keadilan sosial erat sekali hubungannya dengan ajaran persamaan, dan perbedaan di sisi lain. Hal yang
sedemikian itu karena dalam pandangan al-Qur’an perbedaan sesama manusia adalah suatu hal yang
alami, juga sekaligus mengandung banyak manfaat. Sekalipun demikian manusia tetap tergolong ke
dalam umat yang satu. Agama berfungsi untuk mengingatkan akan kesamaanya, sebagai landasan
persahabatan, persaudaraan, dan tolong menolong dalam mewujudkan keadilan sosial.
Begitulah, penekanan Islam pada penegakkan keadilan sosial ekonomi. Maka, sangatlah keliru
klaim kapitalis maupun sosialis yang menyatakan, “Hanya ideologi kami yang berbicara dan bertindak
tegas dalam masalah keadilan. “Setidaknya hanya kamilah yang mempunyai komitmen kuat tentang
nilai-nilai keadilan”. Itulah klaim yang dilontarkan berbagai komponen masyarakat dunia dalam
kerangka memperlihatkan keunggulan ideologi atau kepercayaan yang mereka anut.
Harus kita bedakan bahwa konsep kapitalis tentang keadilan sosial ekonomi dan pemerataan
pendapatan, tidak didasarkan pada komitmen spiritual dan persaudaraan (ukhuwah) sesama manusia.
Komitmen penegakkan keadilan sosial ekonomi lebih merupakan akibat dari tekanan kelompok.
Karenanya, sistem kapitalisme terutama yang berkaitan dengan uang dan perbankan, tidak dimaksudkan
untuk mencapai tujuan – tujuan keadilan sosiol ekonomi yang berdasarkan nilai transendental (spritual)
dan persaudaraan  universal. Sehingga, tidak aneh, apabila uang masyarakat yang ditarik oleh bank
konvensional (kapitalis) dominan hanya digunakan oleh para pengusaha besar (konglomerat). Lembaga
perbankan tidak dinikmati oleh rakyat kecil yang menjadi mayoritas penduduk sebuah negara. Fenomena
ini semakin jelas terjadi di Indonesia. Akibatnya yang kaya semakin kaya dan miskin makin miskin.
Ketidakadilan pun semakin lebar.
Sebagaimana disebut di atas, konversi ekonomi Barat (terutama kapitalisme) kepada penegakan
keadilan sosiol ekonomi, merupakan akibat tekanan-tekanan kelompok masyarakat dan tekanan-tekanan
politik. Untuk mewujudkan keadilan sosiol ekonomi itu mereka mengambil beberapa langkah, terutama
melalui pajak dan transfer payment. Meskipun ada usaha melalui instrumen pajak, namun langkah-
langkah ini menurut Milton Friedman, terbukti tidak cukup efektif untuk mengatasi ketidakadilan, karena
nyatanya pajak selalu menguntungkan pengusaha, dan para penjabat pajak bersama kelompok-
kelompoknya.

4
Jadi, konsep keadilan sosial ekonomi dalam Islam berbeda secara mendasar dengan konsep
keadilan dalam kapitalisme dan sosialisme. Keadilan sosial ekonomi dalam Islam, selain didasarkan pada
komitmen spritual, juga didasarkan atas konsep persaudaraan universal sesama manusia. Al-Quran secara
eksplisit menekankan pentingnya keadilan dan persaudaraan tersebut. Menurut M. Umer Chapra, sebuah
masyarakat Islam yang ideal mesti mengaktualisasikan keduanya secara bersamaan, karena keduanya
merupakan dua sisi yang sama yang tak bisa dipisahkan. Dengan demikian, kedua tujuan ini terintegrasi
sangat kuat ke dalam ajaran Islam sehingga realisasinya menjadi komitmen spritual (ibadah) bagi
masyarakat Islam.
Komitmen Islam yang besar pada persaudaraan dan keadilan, menuntut agar semua sumber daya
yang menjadi amanat suci Tuhan, digunakan untuk mewujudkan maqashid syari’ah, yakni pemenuhan
kebutuhan hidup manusia, terutama kebutuhan dasar (primer), seperti sandang, pangan, papan,
pendidikan dan kesehatan. Persaudaraan dan keadilan juga menuntut agar sumberdaya didistribusikan
secara adil kepada seluruh rakyat melalui kebijakan yang adil dan instrumen zakat, infaq, sedekah, pajak,
kharaj, jizyah, cukai ekspor-impor dan sebagainya.

Prinsip-prinsip Keadilan dalam Ekonomi Islam


1. Berbasis Tauhid
Tauhid menjadi fondasi utama ekonomi Islam, mempunyai hubungan kuat dengan konsep
keadilan sosial ekonomi dan persaudaraan. Ekonomi Tauhid yang mengajarkan bahwa Allah sebagai
pemilik mutlak dan manusia hanyalah sebagai pemegang amanah, mempunyai konsekuensi, bahwa di
dalam harta yang dimiliki setiap individu terdapat hak-hak orang lain yang harus dikeluarkan sesuai
dengan perintah Allah, berupa zakat, infaq dan sedekah dan cara-cara lain guna melaksanakan
pendistribusian pendapatan yang sesuai dengan konsep persaudaraan umat manusia.
Sistem keuangan dan perbankan serta kebijakan moneter, misalnya, dirancang semuanya secara
organis dan terkait satu sama lain untuk memberikan sumbangan yang positif bagi pengurangan ketidak-
adilan dalam ekonomi dalam bentuk pengucuran pembiayaan (kredit) bagi masyarakat dan memberikan
pinjaman lunak bagi masyarakat ekonomi lemah melalui produk qardhul hasan.
2. Distribusi kesejahteraan yang merata (Justified Distribution of Welfare)
Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan cita-cita keadilan sosial ekonomi, Islam secara tegas
mengecam konsentrasi asset kekayaan pada sekelompok tertentu dan menawarkan konsep zakat, infaq,
sedekah, waqaf dan institusi lainnya, seperti pajak, jizyah, dharibah, dan sebagainya. Al-Quran dengan
tegas mengatakan, “Supaya harta itu tidak beredar di kalangan orang kaya saja di antara kamu” (QS.
59:7), “Di antara harta mereka terdapat hak fakir miskin, baik peminta-minta maupun yang orang miskin
malu meminta-minta” (QS. 70:24).
Berdasarkan prinsip ini, maka konsep pertumbuhan ekonomi dalam Islam berbeda dengan konsep
pertumbuhan ekonomi kepitalisme yang selalu menggunakan indikator PDB (Produk Dosmetik Bruto)
dan perkapita. Dalam Islam, pertumbuhan harus seiring dengan pemerataan. Tujuan kegiatan ekonomi,
bukanlah meningkatkan pertumbuhan sebagaimana dalam konsep ekonomi kapitalisme. Tujuan ekonomi
Islam lebih memprioritaskan pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran. Karena itu, Islam
menekankan keseimbangan antara petumbuhan dan pemerataan. Pertumbuhan bukan menjadi tujuan
utama, kecuali dibarengi dengan pemerataan. Dalam konsep Islam, pertumbuhan dan pemerataan
merupakan dua sisi dari sebuah entitas yang tak terpisahkan, karena itu keduanya tak boleh dipisahkan.
Berdasarkan prinsip ini, maka paradigma tricle down effect, yang dikembangkan kapitalisme dan
pernah diterapkan di Indonesia selama rezim orde baru, bertentangan dengan konsep keadilan ekonomi
menurut Islam. Selanjutnya, sistem ekonomi kapitalis dicirikan oleh menonjolnya peran perusahaan
swasta (private ownership) dengan motivasi mencari keuntungan maksimum, harga pasar akan mengatur
alokasi sumberdaya, dan efisiensi. Namun sistem ini selalu gagal dalam membuat pertumbuhan dan
pemerataan berjalan dengan seiring.
Sistem ekonomi kapitalis telah menggoyahkan fondasi moral manusia, karena sistem ini telah
menghasilkan manusia yang tamak, boros dan angkuh. Sistem kapitalis juga telah melahirkan sejumlah
bankir hebat, beberapa industriawan yang kaya raya, sejumlah pengusaha yang sukses. Namun di pihak
lain, telah muncul banyak konsumen yang tidak mampu memenuhi kebutuhan minimumnya. Kesenjangan
terjadi secara tajam. Perusahaan-perusahaan yang lemah akan tersingkir dan tersungkur.
Perlu ditegaskan, bahwa melekatnya hak orang lain pada harta seseorang bukanlah dimaksudkan
untuk mematahkan semangat karya pada setiap individu atau menimbulkan rasa malas bagi sebagian
orang. Juga tidak di maksudkan untuk menciptakan kerataan pemilikan kekayaan secara kaku. Dalam
perspektif ekonomi Islam, proporsi pemerataan yang betul-betul sama rata, sebagaimana dalam
5
sosialisme, bukanlah keadilan, malah justru dipandang sebagai ketidakadilan. Sebab Islam menghargai
prestasi, etos kerja dan kemampuan seseorang dibanding orang yang malas.
Dasar dari sikap yang koperatif ini tidak terlepas dari prinsip Islam yang menilai perbedaan
pendapatan sebagai sebuah sunnatullah. Landasannya, antara lain bahwa etos kerja dan kemampuan
seseorang harus dihargai dibanding seorang pemalas atau yang tidak mampu berusaha. Bentuk
penghargaannya adalah sikap Islam yang memperkenankan pendapatan seseorang berbeda dengan orang
lain, karena usaha dan ikhtiarnya. Firman Allah dalam surah an-Nahl [16]:71 yang berbunyi:

Artinya: “Dan Allah melebihkan rezeki sebagian kamu atas sebagian lain”. (QS. An-Nahl [16]:71).
Namun, orang yang diberi kelebihan rezeki, harus mengeluarkan sebagian hartanya untuk
kelompok masyarakat yang tidak mampu (dhu’afa). Sehingga seluruh masyarakat terlepas dari
kemisikinan absolut. Konsep keadilan sosial ekonomi yang diajarkan Islam menginginkan adanya
pemerataan pendapatan secara proporsional. Dalam tataran ini, dapat pula dikatakan bahwa ekonomi
Islam adalah ekonomi yang dilandaskan pada kebersamaan. Karena itu tidak aneh, bila anggapan yang
menyatakan bahwa prinsip keadilan social ekonomi Islam mempunyai kemiripan dengan sistem
sosialisme. Bahkan pernah ada pendapat yang menyatakan bahwa sistem sosialisme itu jika ditambahkan
dan dimasukkan unsur-unsur Islam ke dalamnya, maka ia menjadi islami.
Dengan demikian, pendapat dan pandangan yang menyatakan kemiripan  sistem keadilan sosial
Islam dengan sosialisme tidak sepenuhnya benar, malah lebih banyak keliruannya. Prinsip ekonomi
sosialisme, yang menolak kepemilikan individu dan menginginkan pemerataan pendapatan, jelas berbeda
dengan prinsip ekonomi Islam. Sosialisme sama sekali tidak mengakui hak milik individu. Reaksi
masxisme dibungkus secara politis revolusioner dalam paham komunis yang intinya mengajarkan bahwa
seluruh unit ekonomi dikuasakan kepada negara yang selanjutnya didistribusikan kepada seluruh
masyarakat secara merata. Hal ini didasarkan semangat pertentangan terhadap pemilikan individu.
Sedangkan dalam ekonomi Islam, penegakkan keadilan sosial ekonomi dilandasi oleh rasa
persaudaraan (ukhuwah), saling mencintai (mahabbah), bahu membahu (takaful)dan saling tolong
menolong (ta’awun), baik antara si kaya dan si miskin maupun antara penguasa dan rakyat.
3.  Prinsip Jaminan sosial (Social Security)
Dalam sistem ekonomi Islam, keadilan sosial dipandang tidak akan mungkin tercapai tanpa
adanya prinsip ini. Prinsip Jaminan sosial atau at Takaful ijtima’i yang dimaksud dalam hal ini adalah
keadaan dimana setiap orang dalam masyarakat saling menjamin dan menanggung beban kemaslahatan
sesama. Prinsip ini banyak disebutkan dalam al Qur’an maupun Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam, diantaranya, “Tidakkah Kamu melihat orang yang mendustakan agama? Mereka adalah
orang-orang yang membiarkan anak yatim dan mereka juga tidak member makan orang-orang miskin”
(QS. Al-Ma’un [107]:1-3). Rasulullah juga bersabda, “perumpamaan orang-orang beriman itu dalam
kasih sayang, sebagaimana batang tubuh, jika salah satu anggota tubuh itu sakit, maka anggota tubuh
yang lain juga merasakan demam” (HR. Bukhori dan Muslim).
Namun begitu, Menurut Chapra mengutip pendapat Imam Ghazali, sekalipun ilmu ekonomi Islam
tetap berkonsentrasi pada aspek alokasi dan distribusi sumber-sumber daya, seperti halnya pada ilmu
ekonomi konvensional, namun tujuan utama ekonomi Islam adalah harus tetap merealisasikan maqashid,
sebab  tujuan utama syari’ah adalah mendorong kesejahteraan manusia, yang terletak dalam perlindungan
terhadap agama mereka (diin), diri (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), harta benda (maal). Apa saja yang
menjamin terlindungnya lima perkara tersebut berarti melindungi kepentingan dan kemaslahatan umum.
Tentang kaitan antara hukum-hukum syariah dengan kemaslahatan manusia banyak dibahas oleh para
ulama diantaranya Imam Al-Izz bin Abdul Salam, dalam kitab beliau Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-
Anam.

6
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Efisiensi adalah penggunaan sumber daya secara minimum guna pencapaian hasil yang
optimum. Efisiensi menganggap bahwa tujuan-tujuan yang benar telah ditentukan dan berusaha
untuk mencari cara-cara yang paling baik untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Efisiensi hanya
dapat dievaluasi dengan penilaian-penilaian relatif, membandingkan antara masukan dan
keluaran yang diterima.terdapat 4 kondisi yang dapat digolongkan sebagai efisien :
 Menghasilkan output yang lebih besar dengan menggunakan input tertentu.
 Menghasilkan output tetap untuk input yang lebih rendah dari yang seharusnya.
 Menghasilkan produksi yang lebih besar dari penggunaan sumber dayanya.
 Mencapai hasil dengan biaya serendah mungkin.

Keadilan adalah  pengakuan dan  perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban.


Ada empat nilai utama yang bisa ditarik dari sistem ekonomi Islam dalam membentuk keadilan
sosial yaitu:
 Tauhid dan Maslahah Syari’yyah sebagai landasan pemikiran dan tujuan aplikasi dari
ekonomi Islam untuk mewujudkan keadilan sosial dari semua aspek kehidupan.
 Moralitas menjadi pembatas atas kebebasan yang dimiliki, sehingga setiap individu dalam
melakukan aktivitasnya selalu mempertimbangkan dampaknya bagi orang lain.
 Kesetaraan (equality) kewajiban dan hak, hal ini mampu menyeimbangkan antara hak yang
diterima dan kewajiban yang harus dilaksanakan.
 Peranan positif dari negara, sebagai regulator yang mampu memastikan kegiatan ekonomi
berjalan dengan baik sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain.
Berusaha untuk selalu bermusyawarah , bekerja sama, dan saling menyokong sebab hal ini
menjadi salah satu fokus utama dalam ekonomi Islam.

B. Saran
Setelah kita mempelajari dan mengetahui tentang ekuitas dan efisiensi dalam ekonomi islam,
diharapkan agar kita dapat mengamalkan dan merealisasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari
untuk meningkatkan perekonomian. Semoga lebih bermamfaat bagi kita semua. Amin!

7
DAFTAR PUSTAKA

Sayyid Qutb, Keadilan Sosial dalam Islam, alih bahasa Afif Muhamad, cet. II, Bandung:
Pustaka, 1994.
Halwani, Hendra R. Ekonomi Internasional dan globalisasi Ekonomi, Bogor Selatan: Ghalia
Indonesia. 2005.
http://www.agustiantocentre.com/?p=759. diakses tanggal 24 Desember 2018, pukul 11.13 wib
http://ibnuanwarudin.blogspot.com/2010/11/konsep-keadilan-dalam islam.html. diakses tanggal
24 Desember 2018, pukul 11.13 wib
Muhammad, Ekonomi Syari’ah, cet. I, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008.
http://puzzleminds.com/ekonomi-islam-dan-keadilan-sosial/. diakses tanggal 24 Desember 2018,
pukul 11.13 wib

8
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh


Syukur Alhamdulillah kami ucapkan kehadirat Allah SWT. Tuhan semesta alam.
Shalawat serta salam kita hanturkan ke baginda Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga (ahlubait), sahabat (ahlusunah wal jamaah) serta para pengikutnya hingga
akhir zaman. Amien.
Pada kesempatan kali ini kami akan berusaha mencoba membahas suatu masalah,
yaitu pembahasan mengenai Ekuitas dan Efisiensi dalam Ekonomi Islam dalam Mata Kuliah
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Kami berusaha seobjektif mungkin meskipun pembahasan
kami hanya sebatas pada kajian pustaka, tidak melakukan investigasi atau penelitian
langsung. Namun hal itu tidak mengurangi pembahasan kami.
Demikianlah pengantar singkat tentang makalah kami, tidak ada kesempurnaan dalam
diri manusia kecuali Allah SWT semata. Masukan serta kritikan berguna bagi kami, guna
penyempurnaan pembahasan yang telah kami lakukan, terima kasih.

Simp. Benar, Desember 2018

Penyusun

9
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
A. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................... 1
C. Tujuan......................................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 2


A. Pengertian Efisiensi..................................................................................................... 2
B. Pengertian Equtiy (Keadilan)....................................................................................... 2
C. Efisiensi dan Keadilan................................................................................................. 3
D. Prinsip-Prinsip Efisiensi dan Equity Dalam Ekonomi Islam ....................................... 3

BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 7


A.Kesimpulan ................................................................................................................ 7
B.Saran ........................................................................................................................... 7

DAFTAR PUSTAKA

ii
10

Anda mungkin juga menyukai