PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Efisiensi
Efisiensi (efficiency) menurut kamus besar bahasa Indonesia yaitu tepat atau sesuai untuk
mengerjakan (menghasilkan) sesuatu (dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga, biaya), mampu
menjalankan tugas dengan tepat dan cermat, berdaya guna, bertepat guna.
Sedangkan menurut definisi yang lain efisiensi adalah penggunaan sumber daya secara minimum
guna pencapaian hasil yang optimum. Efisiensi menganggap bahwa tujuan-tujuan yang benar telah
ditentukan dan berusaha untuk mencari cara-cara yang paling baik untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Efisiensi hanya dapat dievaluasi dengan penilaian-penilaian relatif, membandingkan antara masukan dan
keluaran yang diterima.terdapat 4 kondisi yang dapat digolongkan sebagai efisien :
Menghasilkan output yang lebih besar dengan menggunakan input tertentu.
Menghasilkan output tetap untuk input yang lebih rendah dari yang seharusnya.
Menghasilkan produksi yang lebih besar dari penggunaan sumber dayanya.
Mencapai hasil dengan biaya serendah mungkin.
2
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pada kenyataannya, efisiensi dan keadilan sering
sekali tidak dapat sejalan. Untuk mencapai efisiensi maka harus mengorbankan keadilan, begitu pula
sebaliknya. Kaedilan dapat dicapai tetapi konsekuensinya adalah menurunnya efisiensi. First fundamental
theorem of welfare economics menyatakan bahwa ekuilibrium yang kompetitif dapat mencapai pareto
optimum dalam pasar yang sempurna. Dalam kenyataannya, terjadi kegagalan pasar (market failure),
sehingga lahirlah second fundamental theorem of welfare economics yang menyatakan bahwa dalam
konteks terjadi kegagalan pasar, ekuilibrium yang kompetitif dan memiliki properti pareto yang optimal
dapat dicapai melalui lumpsum transfer. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar intervensi pemerintah
untuk mengatasi trade-off antara efisiensi dan pemerataan melalui kebijakan redistribusi dalam bentuk
pajak, subsidi, dan pengeluaran publik pemerintah.
Artinya: “Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah
kami turunkan bersma mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia bisa melaksanakan keadilan” (QS.
al-Hadid [57] : 25).
Ayat tersebut menegaskan bahwa menegakan keadilan adalah tujuan dan misi utama kenabian.
Dengan demikian terdapat dua tujuan utama misi kenabian, yaitu, mengajak manusia untuk menyembah
Allah, sekaligus memberantas kemusyrikan, dan menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat,
sekaligus memberantas kedlaliman.
Merujuk pada ayat 25 surat al-Haadid tersebut, Murtadha Mutahari menegaskan bahwa keadilan,
dengan konsepsi sosialnya, merupakan tujuan kenabian (nubuwwah). Nasehat Imam ‘Ali as. Kepada
Gubernur Mesir, Muhammad Ibnu Abi Bakar; Para duta Illahi adalah para penegak keadilan yang
sesungguhnya dalam masyarakat. Mereka adalah orang-orang yang telah merencanakan jalan
kesempurnaan manusia bagi umat manusia.
Dengan kata lain, kesatuan umat, persaudaraan dan prinsip keadilan sosial ekonomi adalah unsur-
unsur keadilan sebagian pengejawantahan dari sistem kepercayaan pada satu Tuhan (tauhidullah). Dalam
al-Qur’an Allah dikatakan Maha Adil, dan bahwa dia menegakan keadilan atas dasar bahwa keadilan
adalah sifat positif yang dimilikinya. Ditegaskan dalam al-Qur’an :
3
ِ َش ِه َد هللاُ َأنَّهُ الَ ِإلَهَ ِإالَّ هُ َو َو ْال َملِئ َكةُ َوُأولُو ْال ِع ْل ِم قَاِئ ًما بِ ْالقِس
ْط الَ ِإلَهَ ِإالَّ هُ َو ْال َع ِزي ُز ْال َح ِكي ُم
Artinya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang
menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada
Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Ali Imran [3]:
14).
Ayat tersebut dengan jelas menegaskan bahwa Allah menyuruh berbuat adil atau bahwa Dia
adalah Pelaku keadilan. Pernyataan ini merupakan persoalan asasi yang diatasnya agama-agama samawi
membangun hubungan manusia dengan Allah. Kemudian, perintah Tuhan untuk mendirikan keadilan
yang didasarkan atas kualitas monoteistik prinsip keesaan Tuhan yang sesuai dengan ajaran Islam
(tauhid).Penegakan keadilan adalah merupakan manifestasi perbuatan yang paling mendekati taqwa atau
keinsyafan ketuhanan dalam diri manusia. Seperti ditegaskan dalam al-Qur’an :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menjalankan
(keadilan) karena Allah menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian mu terhadap suatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan
bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnay Allah Maha mengeahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. al-Maidah [5] :
8).
Kesamaan derajat manusia yang dilandaskan atas kualitas ketaqwaan, telah begitu kuatnya
mengikat mereka dalam kesadaran moralitas persaudaraan secara masif dan universal. Seperti ditegaskan
oleh Wahbah Zuhaily bahwa persaudaraan kemanusiaan, mewujudkan saling mengasihi manusia,
perasaan cinta kebaikan, yaitu taqwa kepada Allah, melaksanakan hukum-hukumnya dan menjauhi
larangannya, mendukung pertumbuhan secara menyeluruh bagi kemanusiaan.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat ditegaskan bahwa di satu sisi pengertian
keadilan sosial erat sekali hubungannya dengan ajaran persamaan, dan perbedaan di sisi lain. Hal yang
sedemikian itu karena dalam pandangan al-Qur’an perbedaan sesama manusia adalah suatu hal yang
alami, juga sekaligus mengandung banyak manfaat. Sekalipun demikian manusia tetap tergolong ke
dalam umat yang satu. Agama berfungsi untuk mengingatkan akan kesamaanya, sebagai landasan
persahabatan, persaudaraan, dan tolong menolong dalam mewujudkan keadilan sosial.
Begitulah, penekanan Islam pada penegakkan keadilan sosial ekonomi. Maka, sangatlah keliru
klaim kapitalis maupun sosialis yang menyatakan, “Hanya ideologi kami yang berbicara dan bertindak
tegas dalam masalah keadilan. “Setidaknya hanya kamilah yang mempunyai komitmen kuat tentang
nilai-nilai keadilan”. Itulah klaim yang dilontarkan berbagai komponen masyarakat dunia dalam
kerangka memperlihatkan keunggulan ideologi atau kepercayaan yang mereka anut.
Harus kita bedakan bahwa konsep kapitalis tentang keadilan sosial ekonomi dan pemerataan
pendapatan, tidak didasarkan pada komitmen spiritual dan persaudaraan (ukhuwah) sesama manusia.
Komitmen penegakkan keadilan sosial ekonomi lebih merupakan akibat dari tekanan kelompok.
Karenanya, sistem kapitalisme terutama yang berkaitan dengan uang dan perbankan, tidak dimaksudkan
untuk mencapai tujuan – tujuan keadilan sosiol ekonomi yang berdasarkan nilai transendental (spritual)
dan persaudaraan universal. Sehingga, tidak aneh, apabila uang masyarakat yang ditarik oleh bank
konvensional (kapitalis) dominan hanya digunakan oleh para pengusaha besar (konglomerat). Lembaga
perbankan tidak dinikmati oleh rakyat kecil yang menjadi mayoritas penduduk sebuah negara. Fenomena
ini semakin jelas terjadi di Indonesia. Akibatnya yang kaya semakin kaya dan miskin makin miskin.
Ketidakadilan pun semakin lebar.
Sebagaimana disebut di atas, konversi ekonomi Barat (terutama kapitalisme) kepada penegakan
keadilan sosiol ekonomi, merupakan akibat tekanan-tekanan kelompok masyarakat dan tekanan-tekanan
politik. Untuk mewujudkan keadilan sosiol ekonomi itu mereka mengambil beberapa langkah, terutama
melalui pajak dan transfer payment. Meskipun ada usaha melalui instrumen pajak, namun langkah-
langkah ini menurut Milton Friedman, terbukti tidak cukup efektif untuk mengatasi ketidakadilan, karena
nyatanya pajak selalu menguntungkan pengusaha, dan para penjabat pajak bersama kelompok-
kelompoknya.
4
Jadi, konsep keadilan sosial ekonomi dalam Islam berbeda secara mendasar dengan konsep
keadilan dalam kapitalisme dan sosialisme. Keadilan sosial ekonomi dalam Islam, selain didasarkan pada
komitmen spritual, juga didasarkan atas konsep persaudaraan universal sesama manusia. Al-Quran secara
eksplisit menekankan pentingnya keadilan dan persaudaraan tersebut. Menurut M. Umer Chapra, sebuah
masyarakat Islam yang ideal mesti mengaktualisasikan keduanya secara bersamaan, karena keduanya
merupakan dua sisi yang sama yang tak bisa dipisahkan. Dengan demikian, kedua tujuan ini terintegrasi
sangat kuat ke dalam ajaran Islam sehingga realisasinya menjadi komitmen spritual (ibadah) bagi
masyarakat Islam.
Komitmen Islam yang besar pada persaudaraan dan keadilan, menuntut agar semua sumber daya
yang menjadi amanat suci Tuhan, digunakan untuk mewujudkan maqashid syari’ah, yakni pemenuhan
kebutuhan hidup manusia, terutama kebutuhan dasar (primer), seperti sandang, pangan, papan,
pendidikan dan kesehatan. Persaudaraan dan keadilan juga menuntut agar sumberdaya didistribusikan
secara adil kepada seluruh rakyat melalui kebijakan yang adil dan instrumen zakat, infaq, sedekah, pajak,
kharaj, jizyah, cukai ekspor-impor dan sebagainya.
Artinya: “Dan Allah melebihkan rezeki sebagian kamu atas sebagian lain”. (QS. An-Nahl [16]:71).
Namun, orang yang diberi kelebihan rezeki, harus mengeluarkan sebagian hartanya untuk
kelompok masyarakat yang tidak mampu (dhu’afa). Sehingga seluruh masyarakat terlepas dari
kemisikinan absolut. Konsep keadilan sosial ekonomi yang diajarkan Islam menginginkan adanya
pemerataan pendapatan secara proporsional. Dalam tataran ini, dapat pula dikatakan bahwa ekonomi
Islam adalah ekonomi yang dilandaskan pada kebersamaan. Karena itu tidak aneh, bila anggapan yang
menyatakan bahwa prinsip keadilan social ekonomi Islam mempunyai kemiripan dengan sistem
sosialisme. Bahkan pernah ada pendapat yang menyatakan bahwa sistem sosialisme itu jika ditambahkan
dan dimasukkan unsur-unsur Islam ke dalamnya, maka ia menjadi islami.
Dengan demikian, pendapat dan pandangan yang menyatakan kemiripan sistem keadilan sosial
Islam dengan sosialisme tidak sepenuhnya benar, malah lebih banyak keliruannya. Prinsip ekonomi
sosialisme, yang menolak kepemilikan individu dan menginginkan pemerataan pendapatan, jelas berbeda
dengan prinsip ekonomi Islam. Sosialisme sama sekali tidak mengakui hak milik individu. Reaksi
masxisme dibungkus secara politis revolusioner dalam paham komunis yang intinya mengajarkan bahwa
seluruh unit ekonomi dikuasakan kepada negara yang selanjutnya didistribusikan kepada seluruh
masyarakat secara merata. Hal ini didasarkan semangat pertentangan terhadap pemilikan individu.
Sedangkan dalam ekonomi Islam, penegakkan keadilan sosial ekonomi dilandasi oleh rasa
persaudaraan (ukhuwah), saling mencintai (mahabbah), bahu membahu (takaful)dan saling tolong
menolong (ta’awun), baik antara si kaya dan si miskin maupun antara penguasa dan rakyat.
3. Prinsip Jaminan sosial (Social Security)
Dalam sistem ekonomi Islam, keadilan sosial dipandang tidak akan mungkin tercapai tanpa
adanya prinsip ini. Prinsip Jaminan sosial atau at Takaful ijtima’i yang dimaksud dalam hal ini adalah
keadaan dimana setiap orang dalam masyarakat saling menjamin dan menanggung beban kemaslahatan
sesama. Prinsip ini banyak disebutkan dalam al Qur’an maupun Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam, diantaranya, “Tidakkah Kamu melihat orang yang mendustakan agama? Mereka adalah
orang-orang yang membiarkan anak yatim dan mereka juga tidak member makan orang-orang miskin”
(QS. Al-Ma’un [107]:1-3). Rasulullah juga bersabda, “perumpamaan orang-orang beriman itu dalam
kasih sayang, sebagaimana batang tubuh, jika salah satu anggota tubuh itu sakit, maka anggota tubuh
yang lain juga merasakan demam” (HR. Bukhori dan Muslim).
Namun begitu, Menurut Chapra mengutip pendapat Imam Ghazali, sekalipun ilmu ekonomi Islam
tetap berkonsentrasi pada aspek alokasi dan distribusi sumber-sumber daya, seperti halnya pada ilmu
ekonomi konvensional, namun tujuan utama ekonomi Islam adalah harus tetap merealisasikan maqashid,
sebab tujuan utama syari’ah adalah mendorong kesejahteraan manusia, yang terletak dalam perlindungan
terhadap agama mereka (diin), diri (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), harta benda (maal). Apa saja yang
menjamin terlindungnya lima perkara tersebut berarti melindungi kepentingan dan kemaslahatan umum.
Tentang kaitan antara hukum-hukum syariah dengan kemaslahatan manusia banyak dibahas oleh para
ulama diantaranya Imam Al-Izz bin Abdul Salam, dalam kitab beliau Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-
Anam.
6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Efisiensi adalah penggunaan sumber daya secara minimum guna pencapaian hasil yang
optimum. Efisiensi menganggap bahwa tujuan-tujuan yang benar telah ditentukan dan berusaha
untuk mencari cara-cara yang paling baik untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Efisiensi hanya
dapat dievaluasi dengan penilaian-penilaian relatif, membandingkan antara masukan dan
keluaran yang diterima.terdapat 4 kondisi yang dapat digolongkan sebagai efisien :
Menghasilkan output yang lebih besar dengan menggunakan input tertentu.
Menghasilkan output tetap untuk input yang lebih rendah dari yang seharusnya.
Menghasilkan produksi yang lebih besar dari penggunaan sumber dayanya.
Mencapai hasil dengan biaya serendah mungkin.
B. Saran
Setelah kita mempelajari dan mengetahui tentang ekuitas dan efisiensi dalam ekonomi islam,
diharapkan agar kita dapat mengamalkan dan merealisasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari
untuk meningkatkan perekonomian. Semoga lebih bermamfaat bagi kita semua. Amin!
7
DAFTAR PUSTAKA
Sayyid Qutb, Keadilan Sosial dalam Islam, alih bahasa Afif Muhamad, cet. II, Bandung:
Pustaka, 1994.
Halwani, Hendra R. Ekonomi Internasional dan globalisasi Ekonomi, Bogor Selatan: Ghalia
Indonesia. 2005.
http://www.agustiantocentre.com/?p=759. diakses tanggal 24 Desember 2018, pukul 11.13 wib
http://ibnuanwarudin.blogspot.com/2010/11/konsep-keadilan-dalam islam.html. diakses tanggal
24 Desember 2018, pukul 11.13 wib
Muhammad, Ekonomi Syari’ah, cet. I, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008.
http://puzzleminds.com/ekonomi-islam-dan-keadilan-sosial/. diakses tanggal 24 Desember 2018,
pukul 11.13 wib
8
KATA PENGANTAR
Penyusun
9
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
ii
10