Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN PRAKTIK KLINIK KEBIDANAN

ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI BARU LAHIR / NEONATUS

BAYI NY.S USIA 5 HARI LAHIR SPONTAN DENGAN HIPERBILIRUBINEMIA

DI RSUD WONOSARI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Praktik Klinik Kebidanan II

Semester V

GALIH YULIANA PUTRI

P07124119019

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA

PRODI DIII KEBIDANAN

2021

i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Laporan Praktik Klinik Kebidanan II

Asuhan Kebidanan Pada Neonatus / Bayi Baru Lahir

Bayi Ny.S Usia 5 Hari Lahir Spontan Dengan Hiperbilirubinemia

di RSUD Wonosari

Tahun 2021

Disusun oleh:

Galih Yuliana Putri

NIM. P07124119019

Telah disetujui oleh pembimbing pada tanggal:

......................................................

Menyetujui,

Pembimbing Pendidikan Pembimbing Lahan

Chatirene Aprilia H, S.Tr.Keb, Bdn Dwi Yuliati, S.Kep

ii
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING

LAPORAN PRAKTIK KLINIK KEBIDANAN SEMESTER V

ASUHAN KEBIDANAN PADA NEONATUS / BAYI BARU LAHIR

Bayi Ny.S Usia 5 Hari Lahir Spontan dengan Hiperbilirubinemia

di RSUD Wonosari

Tahun 2021

Disusun oleh:

Galih Yuliana Putri

NIM. P07124119019

Telah disahkan oleh pembimbing pada

Tanggal:

Mengesahkan,

Pembimbing Pendidikan Pembimbing Lahan

Chatirene Aprilia H, S.Tr.Keb, Bdn Dwi Yuliati, S.Kep

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktik
Lahan Semester V. Laporan ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan mahasiswa serta pembaca.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih atas bimbingan
dan dukungan yang diberikan dalam penyusunan laporan ini kepada:
1. Dr. Yuni Kusmiyati, SST, Bdn, MPH., selaku Ketua Jurusan Kebidanan
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta,yang telah memberikan kesempatan
menyusun Laporan Seminar Kasus Praktik Asuhan Kebidanan Patologis.
2. Munica Rita Hernayanti, S.SiT, Bdn, M.Kes., selaku Ketua Program Studi
DIII Kebidanan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta yang telah memberikan
kesempatan menyusun Laporan Seminar Kasus Praktik Asuhan
Kebidanan Patologis.
3. Chatirene Aprilia H, S.Tr.Keb, Bdn selaku Pembimbing Akademik yang
telah memberikan bimbingan dan arahan dalam meyusun Laporan
Seminar Kasus Praktik Asuhan Kebidanan Patologis.
4. dr. Heru Sulistiyowati selaku Direktur RSUD Wonosari yang telah
memberikan kesempatan menyusun Laporan Seminar Kasus Praktik
Asuhan Kebidanan Patologis.
5. Dwi Yuliati, S.Kep selaku pembimbing lahan Ruang Melati yang telah
memberikan bimbingan dalam mengikuti praktik di Ruang Melati dan juga
memberikan arahan dalam menyusun Laporan Seminar Kasus Praktik
Kebidanan Patologis.
6. Teman-teman maupun sahabat yang telah banyak membantu penulis
dalam menyelesaikan Laporan Seminar Kasus Praktik Asuhan
Kebidanan Patologis.

iv
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun guna sempurnanya laporan ini. Penulis juga berharap
semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan khususnya bagi penulis
sebagai penyusun.

Yogyakarta, 21 September 2021

Penulis

v
DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................................ii


HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING........................................................iii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iv
DAFTAR ISI........................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Tujuan...............................................................................................................3
C. Manfaat.............................................................................................................4
BAB II TINJAUAN TEORI....................................................................................6
A. Konsep Neonatus............................................................................................6
B. Pengertian Hiperbilirubinemia dan Ikterus...................................................8
C. Klasifikasi Ikterus...........................................................................................10
D. Etiologi Ikterus................................................................................................14
E. Patofisiologi Ikterus...........................................................................................15
F. Faktor Predisposisi............................................................................................16
G. Faktor Resiko Ikterus Neonatorum..............................................................17
H. Diagnosis Ikterus...........................................................................................21
I. Penatalaksanaan Ikterus..................................................................................24
J. Pemeriksaan Penunjang..................................................................................33
K. Manifestasi Klinis...........................................................................................33
L. Pencegahan Ikterus..........................................................................................34
BAB III TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN............................................35
A. Tinjauan Kasus..............................................................................................35
B. Pembahasan..................................................................................................45
BAB IV PENUTUP.............................................................................................51
A. Kesimpulan.....................................................................................................51
B. Saran...............................................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................53

vi
vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Riset Kesehatan Dasar (2018) risiko gangguan
kesehatan paling tinggi terjadi pada masa neonatus.Dalam masa
tersebut, terjadi perubahan yang sangat besar dari awal kehidupan yang
awalnya di rahim yang serba bergantung pada ibu menjadi di luar rahim
yang harus hidup secara mandiri.Pada masa ini terjadi pematangan organ
hampir pada semua sistem sehingga berbagai masalah kesehatan dapat
muncul.Tanpa adanya penanganan yang tepat, gangguan kesehatan
pada neonatus dapat berakibat fatal bahkan menyebabkan kematian
pada neonates
Angka kematian bayi atau Infant Mortality Rate atau yang sering
disingkat dengan AKB merupakan salah satu indikator penting dalam
menentukan tingkat kesehatan masyarakat karena dapat memberikan
gambaran kesehatan masyarakat secara umum. Angka ini sangat sensitif
terhadap perubahan tingkat kesehatan dan kesejahteraan. AKB tersebut
dapat didefinisikan sebagai kematian yang terjadi setelah bayi lahir
sampai bayi belum genap berusia satu tahun. AKB merupakan salah satu
target Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs menargetkan
setiap negara yang telah berkomitmen di dalam SDGs harus mampu
mengakhiri kematian bayi dan balita yang dapat dicegah, dengan
menurunkan Angka Kematian Neonatal (AKN) hingga 12 per 1.000
kehariran hidup dan Angka Kematian Balita (AKABA) 25 per 1.000
kelahiran hidup pada tahun 2030.
Perhatian terhadap upaya penurunan angka kematian neonatal (0-
28 hari) menjadi penting karena kematian neonatal memberikan
kontribusi terhadap 59% kematian bayi.1 Berdasarkan hasil Survey
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017 15 per 1.000
kelahiran hidup sedangkan SDKI 2012 yaitu 20 per 1.000 kelahiran
hidup.5 Penyebab kematian neonatal 0-6 hari adalah gangguan
pernapaan (37%), prematuritas (34%), sepsis (12%), hipotermi (7%),

1
ikterus (6%) dan kelainan kongenital (1%). Ikterus menyumbangkan 6%
dari angka kematian neonatal memberikan gambaran permasalahan di
Indonesia.
Sebanyak 57% kematian bayi disumbang pada masa bayi baru
lahir (usia dibawah 1 bulan). Penyebab kematian yang terbanyak
disebabkan oleh bayi berat lahir rendah, asfiksia, trauma lahir, ikterus
neonatorum, infeksi lain dan kelainan kongenital. Menurut laporan dari
organisasi kesehatan dunia (WHO), setiap tahunnya kira-kira 3% (3,6
juta) dari 120 juta bayi baru lahir mengalami ikterus neonatorum dan
hampir 1 juta bayi ini kemudian meninggal.
Salah satu penyakit yang dapat mengakibatkan kematian pada
neonatus yaitu hiperbilirubinemia. Hiperbilirubinemia pada neonatus
disebabkan oleh penimbunan bilirubin di dalam jaringan tubuh.Hal ini
menyebabkan perubahan warna pada kulit, mukosa, dan sklera menjadi
berwarna kuning (Nike, 2014).Peningkatankadar bilirubin pada neonatus
terjadi pada hari ke-2 atau hari ke-3 lalu mencapai puncaknya pada hari
ke-5 sampai hari ke-7 kemudian kembali pada hari ke-10 sampai hari ke-
14 (Dewi, 2014).
Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas 2018) faktor
yang menyebabkan bilirubinemia antara lain asfiksia, berat bayi lahir
rendah (BBLR), bayi prematur, kelainan kongenital, dan sepsis.
Hiperbilirubinemia pada sebagian bayi dapat bersifat fisiologis dan pada
sebagian lagi mungkin bersifat patologis. Hiperbilirubinemia patologis
dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan
kematian. Oleh karena itu, setiap bayi dengan hiperbilirubinemia harus
Apabila hiperbilirubin pada neonatus tidak diatasi maka akan
menyebabkan kern ikterus, yaitu suatu kerusakan pada otak yang
disebabkan oleh perlengketan bilirubin indirek pada otak. Tanda-tanda
terjadinya karena ikterus yaitu bayi tidak mau menghisap, letargi, gerakan
tidak menentu, kejang, tonus otot kaku, leher kaku dan dapat
mengakibatkan kematian pada bayi (Wijayaningsih, 2013).
Hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh bilirubin tak terkonjugasi
merupakan neurotoksik dan dapat menyebabkan kern ikterus. Kern
iketrus merupakan komplikasi dari hiperbilirubinemia yang paling berat.

2
Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, kern ikterus juga dapat
menyebabkan cerebal palsy, tuli sensorineural, paralisis, dan
dysplasiadental yang sangat memperngahuri kualitas hidup neonatus (Wu
et al., 2018). Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan kadar bilirubin
secara klinis sebagai langkah awal untuk melanjutkan intervensi
selanjutnya, apakah neonatus ada indikasi untuk dilakukan fototerapi atau
tidak (Azlin, 2011).
Salah satu cara untuk mengatasi hiperbilirubinemia pada
neonatus dengan terapi sinar atau fototerapi. Di Amerika Serikat, sekita
10 % neonatus mendapatkan fototerapi (Azlin, 2011). Fototerapi dinilai
efektif dalam menurunkan insiden kerusakan otak (kern ikterus) akibat
hiperbilirubinemia pada neonatus. Keuntngan fototerapi yaitu tidak invasif
efektif, tidak mahal, dan mudah digunakan (Dewi et al, 2016).
Tingkat pembentukan foto-produk bilirubin tergantung pada
intensitas dan panjang gelombang cahaya yang digunakan untuk
fototerapi serta luasnya permukaan tubuh yang terkena cahaya.Fototerapi
bekerja dengan mengubah bilirubin yang tertimbun dalam kapiler
superfisial serta interstisial pada kulit dan jaringan subkutan menjadi
isomer yang larut dalam air sehingga dapat dikeluarkan dari tubuh tanpa
metabolisme lebih lanjut dari hati (Stokowski, 2011). Akan tetapi, perlu
diketahui beberapa efek samping dari fototerapi yaitu dehidrasi,
hipertermi, diare, timbulnya eritema, dan kerusakan retina (Dewi et al.,
(2016).
Dengan demikian, penulis tertarik dengan judul “Bayi Ny.S Usia
5 Hari Lahir Spontan dengan Hiperbilirubinemia di RSUD Wonosari”

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menjelaskan dan menigimplementasikan asuhan
kebidanan patologis pada neonatus dengan menggunakan pola pikir
managemen kebidanan dan mendokumentasikan hasil asuhannya.
2. Tujuan Khusus

3
a. Mampu membuat asuhan kebidanan pada neonatus pada Bayi
Ny.S Usia 5 Hari Lahir Spontan dengan Hiperbilirubinemia di
RSUD Wonosari, berdasarkan pengkajian dam pemeriksaan fisik.
b. Mampu melakukan identifikasi diagnosis kebidanan yaitu
neonatus pada Bayi Ny.S Usia 5 Hari Lahir Spontan dengan
Hiperbilirubinemia di RSUD Wonosari
c. Mampu mengidentifikasi diagnosis dan masalah potensial
neonatus pada Bayi Ny.S Usia 5 Hari Lahir Spontan dengan
Hiperbilirubinemia di RSUD Wonosari.
d. Mampu menentukan kebutuhan segera ibu neonatus pada Bayi
Ny.S Usia 5 Hari Lahir Spontan dengan Hiperbilirubinemia di
RSUD Wonosari.
e. Mampu membuat rencana tindakan neonatus pada Bayi Ny.S
Usia 5 Hari Lahir Spontan dengan Hiperbilirubinemia di RSUD
Wonosari.
f. Mampu melaksanakan tindakan neonatus pada Bayi Ny.S Usia 5
Hari Lahir Spontan dengan Hiperbilirubinemia di RSUD Wonosari.
g. Mampu membuat evaluasi dari tindakan yang telah dilakukan
neonatus pada Bayi Ny.S Usia 5 Hari Lahir Spontan dengan
Hiperbilirubinemia di RSUD Wonosari.
h. Mampu melakukan pendokumentasian sesuai kondisi pasien
secara SOAP asuhan neonatus pada Bayi Ny.S Usia 5 Hari Lahir
Spontan dengan Hiperbilirubinemia di RSUD Wonosari.

C. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman,
sekaligus penanganan dalam menerapkan ilmu yang diperoleh
selama pendidikan. Selain itu, menambah wawasan dalam
menerapkan asuhan kebidanan pada neonatus.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Mahasiswa
Dapat memahami teori, memperdalam ilmu, menangani kasus,
mengobservasi kasus dilahan dan menerapkan asuhan yang akan

4
diberikan serta membandingkan tentang pelaksananaan asuhan
pada neonatus.
b. Bagi Perawat Pelaksana
Dapat memberikan informasi tambahan bagi perawat pelaksana di
RSUD dalam upaya ptomotif dan preventif untuk mengantisipasi
terjadinya keluhan dan ketidaknyamanan pada kasus neonatus

c. Bagi Ibu Bayi


Dapat memberikan informasi bagi ibu bayi untuk meningkatkan
pengetahuan dan wawasan mengenai bayi baru lahir atau
neonatus.

BAB II

TINJAUAN TEORI
A. Konsep Neonatus
1. Pengertian Bayi Baru Lahir
Bayi baru lahir (Neonatus) adalah bayi yang baru lahir mengalami
proses kelahiran, berusia 0 - 28 hari, BBL memerlukan penyesuaian
fisiologis berupa maturase, adaptasi (menyesuaikan diri dari kehidupan intra
uterin ke kehidupan (ekstrauterain) dan toleransi bagi BBL utuk dapat hidup
dengan baik (Marmi dkk, 2015).
Menurut Departeman Kesehatan Republik Indonesia (2016) neonatus
adalah bayi baru lahir sampai dengan usia 28 hari, pada masa tersebut
terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan di dalam rahim dan
terjadi pematangan organ hampir pada semua sistem.
Bayi baru lahir (Neonatus) merupakan bayi yang baru lahir sampai
usia28 hari (0-28 hari). Periode neonatus yang berlangsung sejak bayi baru
lahir sampai usia 28 hari merupakan waktu berlangsungnya perubahan fisik
yang dramatis pada bayi baru lahir. Bayi baru lahir (Neonatus) merupakan
suatu keadaan dimana bayi baru lahir dengan umur kehamilan 38-40
minggu, lahir secara spontan tanpa gangguan, menangis kuat, bernafas
secara spontan dan teratur berat badan antara 2500-4000 gram.
2. Ciri-ciri Bayi Baru Lahir
a. Berat badan 2.500-4.000 gram

5
b. Panjang badan 48-52 cm
c. Lingkar dada 30-38 cm
d. Lingkar kepala 33-35 cm
e. Frekuensi jantung 120-160 kali/menit
f. Pernapasan ±40-60 kali/menit
g. Kulit kemerah-merahan dan licin karena jaringan subkutan cukup
h. Rambut lanugo tidak terlihat, rambut kepala baisanya telah sempurna
i. Kuku agak panjang dan lemas
j. Genitalia pada perempuan labia mayora sudah menutupi labia minora,
dan pada laki-laki, testis sudah turun dan skrotum sudah ada
k. Refleks isap dan menelan sudah terbentuk dengan baik
l. Refleks Moro atau gerak memeluk jikadikagetkan sudah baik
m. Refleks graps atau menggenggam sudah baik
n. Eliminasi baik, mekonium keluar dalam 24 jam pertama, mekonium
berwarna hitam kecoklatan (Tando,2016).
3. Klasifikasi Neonatus
Bayi baru lahir (neonatus) dibagi dalam bebrapa klasifikasi menurut
Marmi (2015) yaitu :
a. Neonatus menurut masa gestasinya ;
1) Kurang bulan (infant preterm) : <259 hari (37 minggu)
2) Cukup bulan (term infant) : 259-294 hari (37-42 minggu)
3) Lebih bulan (postterm infant) : >294 hari (42 minggu atau lebih)
b. Neonatus menurut berat badan lahir :
1) Berat lahir rendah : <2500 gram
2) Berat lahir cukup : 2500-4000 gram c. Berat lahir lebih : >4000
gram
c. Neonatus menurut berat lahir terhadap masa gestasi (massa gestasi
dan ukuran berat lahir yang sesuai untuk masa kehamilan:
1) Neonatus cukup/kurang/lebih bulan (NCB/NKB/NLB)
2) Sesuai/kecil/besar untuk masa kehamilan (SMK/KMK/BMK)
4. Perubahan Fisiologi Bayi Baru Lahir
a. Perubahan Pada Sistem Pernapasan
Pernapasan pertama pada bayi normal terjadi dalam 30 detik sesudah
kelahiran. Pernapasan ini timbul sebagai akibat aktivitas normal sistem

6
saraf pusat dan perifer yang dibantu oleh beberapa rangsangan lainnya.
Frekuensi pernapasan bayi baru lahir berkisar 30-60 kali/menit.
b. Perubahan sistem Kardiovaskuler
Dengan berkembangnya paru-paru, pada alveoli akan terjadi
peningkatan tekanan oksigen. Sebaliknya, tekanan karbon dioksida
akan mengalami penurunan. Hal ini mengakibatkan terjadinya
penurunan resistansi pembuluh darah dari arteri pulmonalis mengalir
keparu-paru dan ductus arteriosus tertutup.
c. Perubahan termoregulasi dan metabolic
Sesaat sesudah lahir, bila bayi dibiarkan dalam suhu ruangan 25 ºC,
maka bayi akan kehilangan panas melalui evaporasi, konveksi,
konduksi, dan radiasi. Suhu lingkungan yang tidak baik
akanmenyebabkan bayi menderita hipotermi dan trauma dingin (cold
injury).
d. Perubahan Sistem Neurologis
Sistem neurologis bayi secara anatomik atau fisiologis belum
berkembang sempurna. Bayi baru lahir menunjukkan gerakan-gerakan
tidak terkoordinasi, pengaturan suhu yang labil, kontrol otot yang buruk,
mudah terkejut, dan tremor pada ekstremitas.
e. Perubahan Gastrointestinal
Kadar gula darah tali pusat 65mg/100mL akan menurun menjadi
50mg/100 mL dalam waktu 2 jam sesudah lahir, energi tambahan yang
diperlukan neonatus pada jam-jam pertama sesudah lahir diambil dari
hasil metabolisme asam lemak sehingga kadar gula akan mencapai
120mg/100mL.
f. Perubahan Ginjal
Sebagian besar bayi berkemih dalam 24 jam pertama setelah lahir dan
2-6 kali sehari pada 1-2 hari pertama, setelah itu mereka berkemih 5-20
kali dalam 24 jam.
g. Perubahan Hati
Dan selama periode neontaus, hati memproduksi zat yang essensial
untuk pembekuan darah. Hati juga mengontrol jumlah bilirubin tak
terkonjugasi yang bersirkulasi, pigmeberasal dari hemoglobin dan
dilepaskan bersamaan dengan pemecahan sel-sel darah merah.

7
h. Perubahan Imun
Bayi baru lahir tidak dapat membatasi organisme penyerang dipintu
masuk. Imaturitas jumlah sistem pelindung secara signifikan
meningkatkan resiko infeksi pada periode bayi baru lahir.

B. Pengertian Hiperbilirubinemia dan Ikterus


1. Pengertian Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan kadar bilirubin serum total
yang lebih dari 10 mg/dl pada 24 jam pertama yang ditandai dengan
tampaknya ikterik pada kulit, sklera, dan organ lain (Ridha, 2014).
Hyperbilirubinemia adalah suatu keadaan pada bayi baru lahir dimana kadar
bilirubin serum total lebih dari 10 mg/dl pada 24 jam pertama kehidupan
dengan ditandai adanya ikterik, keadaan ini terjadi pada bayi baru lahir yang
disebut ikterik neonatus yang bersifat patologis atau yang lebih dikenal
dengan hyperbilirubinemia yang merupakan suatu keadaan meningkatnya
kadar bilirubindi dalam jaringan ekstra vaskuler sehingga konjungtiva, kulit,
dan mukosa akan berwarna kuning. Keadaan tersebut juga berpotensi besar
terjadi kern ikterus yang merupakan kerusakan otak akibat perlekatan
bilirubin indirek pada otak.
Hyperbilirubinemia adalah kadar bilirubin yang dapat menimbulkan
efek patologi. Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek
patologi pada setiap bayi berbeda-beda. Dapat juga diartikan sebagai ikterik
dengan konsentrasi bilirubin, yang serumnya menjurus kearah terjadinya
kern ikterus bila kadar bilirubin tidak dikendalikan (Marmi, 2015).
2. Pengertian Ikterus
Ikterus atau jaundice atau sakit kuning adalah warna kuning pada
sklera mata, mukosa dan kulit karena peningkatan kadar bilirubin dalam
darah. Istilah jaundice berasal dari Bahasa Perancis yakni jaune yang
artinya kuning. Dalam keadaan normal kadar bilirubin dalam darah tidak
melebihi 1 mg/dL (17 µmol/L) dan bila kadar bilirubin dalam darah melebihi
1.8 mg/dL (30 µmol/L) akan menimbulkan ikterus.
Ikterus adalah warna kuning yang dapat terlihat pada sklera,
selaput lender, kulit atau organ lain akibat penumpukan bilirubin. Bila kadar
bilirubin darah melebihi 2 mg%, maka ikterus akan terlihat, namun pada

8
neonatus ikterus masih belum terlihat meskipun kadar bilirubin darah sudah
melampaui 5 mg%. Ikterus terjadi karena peninggian kadar bilirubin indirek
(unconjugated) dan atau kadar bilirubin direk (conjugated).
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai
dengan pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi
bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis mulai tampak
pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ikterus adalah kondisi dimana
bilirubin dalam darah mengalami peningkatan yang mencapai kadar tertentu
dan menimbulkan efek patologis pada neonatus yang ditandai dengan
pewarnaan kuning pada sklera mata, kulit, membran mukosa dan cairan
tubuh serta kelainan bawaan juga dapat menyebabkan ikterus.

C. Klasifikasi Ikterus
Ikterus diklasifikasikan menjadi beberapa klasifikasi yaitu sebagai berikut :
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis adalah ikterus yang timbul pada hari ke dua dan
hari ke tiga yang tidak mempunyai dasar patologik, kadarnya tidak
melewati kadar yang membahayakan atau yang mempunyai potensi
menjadi kern ikterus dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.
Ikterus fisiologis ini juga dapat dikarenakan organ hati bayi belum
matang atau disebabkan kadar penguraian sel darah merah yang cepat.
Ikterus fisiologis ini umumnya terjadi pada bayi baru lahir dengan
kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL. Pada
bayi cukup bulan yang mendapatkan susu formula kadar bilirubin
akan mencapai puncaknya sekitar 8 mg/dL pada hari ke tiga kehidupan
dan kemudian akan menurun secara cepat selama 2-3 hari diikuti
dengan penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama satu sampai dua
minggu. Sedangkan pada bayi cukup bulan yang diberikan air susu ibu
(ASI) kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi yaitu 7-
14 mg/dL dan penurunan akan lebih lambat. Bisa terjadi dalam waktu 2-4
minggu, bahkan sampai 6 minggu.
2. Ikterus Patologis

9
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologi atau kadar
bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Ikterus
yang kemungkinan menjadi patologik atau dapat dianggap sebagai
hiperbilirubinemia sebagai berikut
a. Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran
b. Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam
c. Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus kurang
bulan dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan
d. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah,
defisiensi enzim C6PD dan sepsis)
e. Ikterus yang disebabkan oleh bayi baru lahir kurang dari 200 gram yang
disebbakan karena usia ibu dibawah 20 tahun atau diatas 35 tahun dan
kehamilan pada remaja, masa gestasi kurang dari 35 minggu,
asfiksia, hipoksia, syndrome gangguan pernapasan, infeksi,
hipoglikemia, hiperkopnia, hiperosmolitas.
3. Kern Ikterus
Kern ikterus adalah sindrom neurologik akibat dari akumulasi bilirubin
indirek di ganglia basalis dan nuklei di batang otak. Faktor yang terkait
dengan terjadinya sindrom ini adalah kompleks yaitu termasuk adanya
interaksi antara besaran kadar bilirubin indirek, pengikatan albumin, kadar
bilirubin bebas, pasase melewati sawar darah-otak, dna suseptibilitas
neuron terhadap injuri.
4. Ikterus Hemolitik
Ikterus hemolitik atau ikterus prahepatik adalah kelainan yang terjadi
sebelum hepar yakni disebbakan oleh berbagai hal disertai meningkatnya
proses hemolisis (pecahnya sel darah merah) yaitu terdapat pada
inkontabilitas golongan darah ibu- bayi, talasemia, sferositosis, malaria,
sindrom hemolitikuremik, sindrom Gilbert, dan sindrom Crigler-Najjar.
Pada ikterus hemolitik terdapat peningkatan produksi bilirubin diikuti
dengan peningkatan urobilinogen dalam urin tetapi bilirubin tidak
ditemukan di urin karena bilirubin tidak terkonjugasi tidak larut dalam air.
Pada neonatus dapat terjadi ikterus neonatorum karena enzim hepar
masih belum mampu melaksanakan konjugasi dan ekskresi bilirubin
secara semestinya sampai ± umur 2 minggu. Temuan laboratorium adalah

10
pada urin didapatkan urobilinogen, sedangkan bilirubin adalah negatif, dan
dalam serum didapatkan peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi, dan
keadaan ini dapat mengakibatkan hiperbilirubinemia dan kernikterus
(ensefalopati bilirubin).
a. Inkompatibilitas Rhesus
Bayi dengan Rh positif dari ibu Rh negatif tidak selamanya
menunjukkan gejala-gejala klinik pada waktu lahir (15-20%). Gejala
klinik yang dapat terlihat adalah ikterus tersebut semakin lama semakin
berat, disertai dengan anemia yang semakin lama semakin berat
juga. Bilamana sebelum kelahiran terdapat hemolisis yang berat,
maka bayi dapat lahir dengan edema umum disertai ikterus dan
pembesaran hepar dan lien (hidropsfoetalis). Terapi ditunjukkan untuk
memperbaiki anemia dan mengeluarkan biliruin yang berlebihan dalam
serum agar tidak terjadi kern ikterus.
b. Inkompatibilitas ABO
Ikterus dapat terjadi pada hari pertama dan kedua dan biasanya
bersifat ringan. Bayi tidak tampak skait, anemia ringan, hepar dan lien
tidak membesar. Kalau hemolisisnya berat, seringkali diperlukan juga
transfuse tukar untuk mencegah terjadinya kernikterus. Pemeriksaan
yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan kadar bilirubin serum
sewaktu.
c. Inkompatibilitas Golongan Darah
Ikterus hemolitik karena inkompatibilitas golongan darah lain, pada
neonatus dengan ikterus hemolitik dimana pemeriksaan kearah
inkompatibilitas Rh dan ABO hasilnya negatif sedangkan coombs
test positif, kemungkinan ikterus akibat hemolisis inkompatibilitas
golongan darah lain harus dipikirkan.
d. Kelainan Eritosit Congenital
Golongan penyakit ini dapat menimbulkan gambaran klinik yang
menyerupai eritroblastisis fetalis akibat iso-imunitas. Pada penyakit
ini biasanya coombs testnya negative.
e. Defisiensi Enzim G6PD
G6PD (glukosa 6 phosphate dehidrogenase) adalah enzim yang
menolong memperkuat dinding sel darah merah, ketika mengalami

11
kekurangan maka sel darah merah akan lebih mudah pecah dan
memproduksi bilirubin lebih banyak. Defisiensi G6PD ini merupakan
salah satu penyebab utama ikterus neonatorum yang memerlukan
tranfuse tukar. Ikterus yang berlebihan dapat terjadi pada defisiensi
G6PD akibat hemolisis eritrosit walaupun tidak terdapat faktor
eksogen misalnya obat-obatan sebagai faktor lain yang ikut
berperan, misalnya faktor kematangan hepar.
5. Ikterus Hepatik
Ikterus hepatik atau ikterus hepatoseluler disebabkan karena
adanya kelainan pada sel hepar (nekrosis) maka terjadi penurunan
kemampuan metabolisme dan sekresi bilirubin sehingga kadar bilirubin
tidak terkonjugasi dalam darah menjadi meningkat. Terdapat pula
gangguan sekresi dari bilirubin terkonjugasi dan garam empedu ke dalam
saluran empedu hingga dalma darah terjadi peningkatan bilirubin
terkonjugasi dan garam empedu yang kemudian diekskresikan ke urin
melalui ginjal. Transportasi bilirubin tersebut menjadi lebih terganggu
karena adanya pembengkakan sel hepar dan edema karena reaksi
inflamasi yang mengakibatkan obstruksi pada saluran empedu
intrahepatik. Pada ikterus hepatik terjadi gangguan pada semua tingkat
proses metabolisme bilirubin, yaitu mulai dari uptake, konjugasi, dan
kemudian ekskresi. Temuan laboratorium urin ialah bilirubin terkonjugasi
adalah positif karena larut dalam air, dan urobilinogen juga positif > 2 U
karena hemolisis menyebabkan meningkatnya metabolisme heme.
Peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam serum tidak mengakibatkan
kernikterus.
6. Ikterus Obstruktif
Ikterus obstruktif atau ikterus pasca hepatik adalah ikterus yang
disebabkan oleh gangguan aliran empedu dalam sistem biliaris. Penyebab
utamanya yaitu batu empedu dan karsinoma pankreas dan sebab yang
lain yakni infeksi cacing Fasciola hepatica, penyempitan duktus biliaris
komunis, atresia biliaris, kolangiokarsinoma, pankreatitis, kista
pankreas, dan sebab yang jarang yaitu sindrom Mirizzi. Bila obstruktif
bersifat total maka pada urin tidak terdapat urobilinogen, karena bilirubin
tidak terdapat di usus tempat bilirubin diubah menjadi urobilinogen yang

12
kemudian masuk ke sirkulasi. Kecurigaan adanya ikterus obstruktif
intrahepatik atau pascahepatik yaitu bila dalam urin terdapat bilirubin
sedang urobilinogen adalah negatif. Pada ikterus obstruktif juga
didapatkan tinja berwarna pucat atau seperti dempul serta urin berwarna
gelap, dan keadaan tersebut dapat juga ditemukan pada banyak kelainan
intrahepatik. Untuk menetapkan diagnosis dari tiga jenis ikterus
tersebut selain pemeriksaan di atas perlu juga dilakukan uji fungsi hati,
antara lain adalah alakli fosfatase, alanin transferase, dan aspartat
transferase.
7. Ikterus Retensi
Ikterus retensi terjadi karena sel hepar tidak merubah bilirubin menjadi
bilirubin glukuronida sehingga menimbulkan akumulasi bilirubin tidak
terkonjugasi di dalam darah dan bilirubin tidak terdapat di urin.
8. Ikterus Regurgitasi
Ikterus regurgitasi adalah ikterus yang disebabkan oleh bilirubin setelah
konversi menjadi bilirubin glukuronida mengalir kembali ke dalam darah
dan bilirubin juga dijumpai di dalam urin.
D. Etiologi Ikterus
Etiologi ikterus pada bayi baru lahir dapa berdiri sendiri ataupun disebabkan
oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi itu dapat dibagi sebagai
berikut :
1. Produksi yang berlebihan, lebih daripada kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya, misalnyahemolisi yang meningkat pada
inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim
C6PD, pyruvate kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar gangguan ini dapat
disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi
bilirubin, gangguan fungsi hepar akibat asidosis, hipoksia,dan infeksi
atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase (criggler najjar
syndrome). Penyebab lain ialah defisiensi protein Y dalam hepar yang
berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel-sel heapar.
3. Gangguan dalam transportasi bilirubin dalam darah terikat oleh albumin
kemudian diangkut ke hepar, ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat
dipengaruhi oleh obat-obatan misalnya salisilat, sulfatfurazole. Defisiensi

13
albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang
bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam sekresi, gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam
hepar atau diluar hepar, biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh
penyebab lain.
5. Obstruksi saluran pencernaan (fungsional atau struktural) dapat
mengakibatkan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi akibat penambahan
dari bilirubin yang berasal dari sirkulais enterahepatik.
6. Ikterus akibat air susu ibu (ASI) merupakan hiperbilirubinemia tidak
terkonjugasi yang mencapai puncaknya terlambat (biasanya menjelang
hari ke 6-14). Dapat dibedakan dari penyebab lain dengan reduksi kadar
bilirubin yang cepat bila disubstitusi dengan susu formula selama 1-2 hari.
Hal ini untuk membedakan ikterus pada bayi yang disusui ASI selama
minggu pertama kehidupan. Sebagian bahan yang terkandung dalam ASI
(beta glucoronidase) akan memecah bilirubin menjadi bentuk yang larut
dalam lemak sehingga bilirubin indirek akan meningkat dan kemudian
akan diresorbsi oleh usus. Bayi yang mendapat ASI bila dibandingkan
dengan bayi yang mendapat susu formula, mempunyai kadar bilirubin yang
lebih tinggi berkaitan dengan penurunan asupan pada beberapa hari
pertama kehidupan. Pengobatannya bukan dengan menghentikan
pemberian ASI melainkan dengan meningkatkan frekuensi pemberian.

E. Patofisiologi Ikterus
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan
bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi
oksidasi-reduksi. Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang
dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu
enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ lain. Pada
reaksi tersebut juga terbentuk besi yang digunakan kembali untuk
pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida (CO yan dieksresikan
kedalam paru. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh
enzim biliverdin reduktase.

14
Gambar 1. Metabolisme Bilirubin
Sumber: Mac Mahon dkk dalam Buku Ajar Neonatologi

Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan diubah
menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan
biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada
pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengekskresikan, diperlukan
mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari
katabolisme heme haemmoglobin dari eritrosit sirkulasi. Satu gram
hemoglobin akan menghasilkan 34 mg bilirubin dan sisanya (25%) disebut
early labelled bilirubin yang berasal dadi pelepasan hemoglobin karena
eritropoesis yang tidak efektif didalam sumsum tulang, jaringan yang
mengandung protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase) dan
heme bebas.
Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10
mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari.
Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan masa hidup
eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa
(120 hari), peningkatan degradasi heme, turn oversitokrom yang meningkat
dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat (sirkulasi
enterohepatik)..

15
F. Faktor Predisposisi
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dapat disebabkan atau diperberat
oleh setiap faktor yang menambah beban bilirubin untuk dimetabolisme oleh
hati (anemia hemolitik, wkatu hidup sel darah menjadi pendek akibat
imaturitas atau akibat sel yang ditransfusikan, penambahan sirkulasi
interohepatik, dan infeksi), dapat menciderai atau mengurangi aktivitas enzim
transferase (hipoksia, infeksi, kemungkinan hipotermi dan defisiensi tiroid)
dapat berkompetisi dengan atau memblokade enzim transferase (obat-obat
dan bahan-bahan lain yang memerlukan konjugasi asam glukuronat untuk
ekskresi) atau dapat menyebabkan tidak adanya atau berkurangnya jumlah
enzim yang diambil atau menyebabkan pengurangan reduksi bilirubin oleh
sel hepar (cacat genetik dan prematuritas).
Risiko pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak
terkonjugasi dalam serum menjadi bertambah dengan adanya faktor-faktor
yang mengurangi retensi bilirubin dalam sirkulasi (hipoproteinemia,
perpindahan bilirubin dari tempat ikatannya pada albumin karena ikatan
kompetitif obat-obatan, seperti sulfisoksazole dan moksalaktam, asidosis,
kenaikan sekunder kadar asam lemak bebas akibat hipoglikemia, kelaparan
atau hipotermia) atau oleh faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas
sawar darah otak atau membran sel saraf terhadap bilirubin atau kerentanan
sel otak terhadap toksisitasnya, seperti asfiksia, prematuritas, hiperosmolalitas
dan infeksi. Pemberian amakan yang awal menurunkan kadar bilirubin serum,
sedangkan dehidrasi menaikkan kadar bilirubin serum. Mekonium
mengandung 1 mg bilirubin/dl dan dapat turut menyebabkan ikterus melalui
sirkulasi enterohepatik pasca konjugasi oleh glukoronidase usus. Obat-obat
seperti oksitosin dan bahan kimia yang dalam ruang perawatan seperti
detergen fenol dapat juga menyebabkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi

G. Faktor Resiko Ikterus Neonatorum


Faktor risiko timbulnya ikterus neonatorum adalah
1. Faktor Maternal
a. Ras atau kelompok etnik tertentu

16
Ras atau kelompok etnik tertentu seperti Asia, Timur Tengah, Afrika, dan
area Mediterania berkaitan dengan defisiensi glukosa 6 fosfat
dehydrogenase (G6PD), karena sintesis dari G6PD eritrosit ditentukan
oleh gen yang terletak di kromosom X dengan lokus q28, oleh karena itu
kelainan terkait enzim ini lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan
b. Komplikasi kehamilan
1) Diabetes Melitus
Bayi yang lahir dari ibu hamil dengan diabetes melitus (DM)
yang kadar gula darahnya tinggi seringkali lebih besar dari bayi yang
lainnya. Bila DM ibu tersebut tidak terkontrol maka lebih sering
mengalami abortus atau lahir mati. Persalinan yang terjadi lebih
sulit dan lebih sering terjadi trauma lahir.
Manifestasi klinis pada bayi yang terlahir dari ibu DM adalah
bayi terlihat besar untuk masa gestasinya, wajah bulat, bercak
kebiruan pada kulit, takikardi, takipneu, menangis lemah karena
hipoglikemia berat, ikterus, amlas minum, letargi, tremor segera
setelah lahir.
2) Inkompatibilitas ABO dan Rh
Bayi dengan Rh positif dari ibu Rh negatif tidak selamanya
menunjukkan gejala-gejala klinis pada waktu lahir (15-20%). Gejala
klinik yang dapat terlihat ialah ikterus tersebut semakin lama
semakin berat, disertai dengan anemia yang semakin lama
semakin berat juga. Bilamana sebelum kelahiran terdapat hemolisis
yang berat, maka bayi dapat lahir dengan edema umum disertai
ikterus dan pembesaran hepar dan lien (hidropsfoetalis). Terapi
ditunjukkan untuk memperbaiki anemia dan mengeluarkan biliruin
yang berlebihan dalam serum agar tidak terjadi kern ikterus.
Ikterus hemolitik karena inkompatibilitas golongan darah lain, pada
neonatus dengan ikterus hemolitik dimana pemeriksaan kearah
inkompatibilitas Rh dan ABO hasilnya negatif sedangkan coombs
test positif kemungkinan ikterus akibat hemolisis inkompatibilitas
golongan darah lain harus dipikirkan.
c. Penggunaan Infus Oksitosin dalam Larutan Hipotonik

17
Pemberian oksitosin pada ibu selain untuk induksi persalinan,
merangsang kontraksi otot polos di payudara sewaktu bayi menyusu,
juga dapat berakibat peningkatan penghancuran eritrosit dan
terjadinya hiperbilirubinemia pada bayi. Hiperbilirubinemia jarang terjadi
bila dosis oksitosin yang diberikan kepada ibu sebanyak 10 IU namun
bila dosisnya hingga 20 IU maka sepertiga dari bayi tersebut akan
mengalami hiperbilirubinemia. Hemolisis dan hiperbilirubinemia juga
tidak didapatkan bila induksi oksitosin dilakukan tanpa pemberian
cairan natrium dalma jumlah banyak secara intravena.
d. Air Susu Ibu (ASI)
Ikterus akibat air susu ibu (ASI) merupakan hiperbilirubinemia tidak
terkonjugasi yang mencapai puncaknya terlambat (biasanya menjelang
hari ke 6-14). Dapat dibedakan dari penyebab lain dengan reduksi kadar
bilirubin yang cepat bila disubstitusi dengan susu formula selama 1-2
hari. Hal ini untuk membedakan ikterus pada bayi yang disusui ASI
selama minggu pertama kehidupan. Sebagian bahan yang terkandung
dalam ASI (beta glucoronidase) akan memecah bilirubin menjadi
bentuk yang larut dalam lemak sehingga bilirubin indirek akan meningkat
dan kemudian akan diresorbsi oleh usus. Bayi yang mendapat ASI bila
dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu formula, mempunyai
kadar bilirubin yang lebih tinggi berkaitan dengan penurunan asupan
pada beberapa hari pertama kehidupan. Pengobatannya bukan dengan
menghentikan pemberian ASI melainkan dengan meningkatkan frekuensi
pemberian.
e. Jenis Persalinan
Persalinan sectio caesarea (SC) menimbulkan risiko distress
pernapasan sekunder sampai takipneu transien, defisiensi surfaktan, dan
hipertensi pulmonal dapat meningkat. Hal tersebut dapat berakibat
terjadinya hipoperfusi hepar dan menyebabkan proses konjugasi bilirubin
terhambat. Bayi yang lahir dengan SC juga tidak memperoleh bakteri-
bakteri menguntungkan yang terdapat pada jalan lahir ibu yang
berpengaruh pada pematangan sistem daya tahan tubuh, sehingga bayi
lebih mudah terinfeksi. Ibu yang melahirkan SC biasanya jarang
menyusui langsung bayinya karena ketidaknyamanan pasca operasi,

18
dimana diketahui ASI ikut berperan untuk menghambat terjadinya
sirkulasi enterohepatik bilirubin pada neonates.
2. Faktor Perinatal
a. Trauma lahir
Trauma lahir adalah suatu tanda yang timbul akibat proses persalinan,
trauma lahir yang sering terjadi pada umumnya tidak memerlukan
tindakan khusus salah satnya cephal hematoma yaitu lebab yang terjadi
karena penumpukan darah beku di bawah kulit kepala. Secara
alamiah tubuh akan menghancurkan bekuan ini, sehingga bilirubin
juga akan keluar, yang mungkin saja terlalu banyak untuk dapat
ditangani oleh hati sehingga timbul kuning.
b. Infeksi
Pada neonatus yang mengidap toxoplasmosis kongenital, ditemukan
infiltrasi sel limfosit pada traktus portal dan sinusoid. Sel hepatosit juga
mengalami nekrosis sehingga sel hepatosit kehilangan fungsinya
untuk mengkonjugasikan bilirubin.
3. Faktor Neonatus
a. Prematuritas
Pada bayi yang baru lahir kurang bulan, masalahnya adalah
peningkatan beban bilirubin yang disertai dengan produksi
albumin yang rendah. Konsentrasi molekuler albumin serum harus
lebih besar daripada konsentrasi molekuler bilirubin agar terjadi
pengikatan. Pada bayi imatur, albumin dan bilirubin juga tidak
berikatan dengan efektif. Pada bayi yang tidak cukup bulan ada
peningkatan potensi menderita efek-efek hipoksia, asidosis, hipoglikemi
dan sepsis, selain itu karena pengobatan yang diberikan dapat juga
berkompetensi untuk daerah yang mengikat albumin sedangkan sakit
kuning pada bayi baru lahir cukup bulan kadar bilirubin tak terkonjugasi
cukup tinggi untuk menyebabkan gangguan pendengaran sementara
dan kerusakan neurologi permanen yang jarang terjadi.
b. Faktor genetik
Salah satu yang berhubungan dengan faktor genetik adalah penyakit
spherocytosis herediter yaitu penyakit genetik dominan autosomal yang
menyebabkan sel darah merah berbentuk bulat dan bukan bicincave

19
(cekung ganda), yang dapat mengakibatkan hemolisis parah dan sakit
kuning yang dapat terjadi dengan tiba- tiba ketika sistem imun
mengenali sel-sel yang abnormal. Biasanya terdapat riwayat
keluarga yang posistif. Pemeriksaan laboratorium atau tes darah akan
menunjukkan adanya spherocytes.
c. Obat-obatan
Salah satu obat yang memiliki faktor resiko meningkatkan bilirubin pada
neonatus adalah Atazanavir (ATV), ATV merupakan obat anti viral yang
digunakan oleh ibu hamil yang mengidap HIV, neonatus dari ibu yang
menggunakan ATV harus dipantau kadar bilirubinnya karena
melalui plasenta bilirubin tak terkonjugasi milik ibu bisa beralih ke dalam
janin atau ATV masuk dalam metabolisme bilirubin pada janin.
d. Rendahnya ASI
Pada ASI terdapat kandungan enzim inhibitor glukoronil transferase,
enzim glukoronil transferase ini berfungsi mengubah bilirubin tak
terkonjugasi menjadi bilirubin terkonjugasi dengan menambahkan
molekul asam glukuronat. Dengan demikian, terdapatnya banyak
bilirubin yang tak terkonjugasi dalam darah akibat terhambatnya
proses tersebut. Akan tetapi, Pada beberapa neonatus asupan ASI
yang kurang akan menyebabkan peningkatan siklus enterohepatik
karena berkurangnya bakteri usus yang memecah bilirubin.
e. Asfiksia
Asfiksia merupakan faktor yang mempermudah terjadinya infeksi
sistemik. Cidera sel akibat hipoksia akan memacu respon peradangan
dan terjadi perubahan pada sistem limfatik, yaitu peregangan sel
pembatas pembuluh limfe terkecil, dengan demikian akan
mempermudah mikroorganisme masuk kedalam pembuluh limfe dan
diteruskan kealiran pembuluh darah, menyebar ketempat lain. Aktifitas
kemotaksis lekosit dan mekanisme mikrobisidal sel polimorfonuklear
terhambat mengakibatkan mudahnya kuman berkembang biak.
Beberapa kuman dapat menyebabkan kegagalan hati untuk
mengkonjugasikan bilirubin, seperti toxoplasma.

H. Diagnosis Ikterus

20
Pengamatan ikterus kadang-kadang agak sulit dalam cahaya buatan. Paling
baik pengamatan dilakukan dalam cahaya matahari dan dengan menekan
sedikit kulit yang akan diamati untuk menghilangkan warna karena pengaruh
sirkulasi darah. Ada beberapa cara untuk menentukan derajat ikterus yang
merupakan risiko terjadinya kern-ikterus, misalnya kadar bilirubin bebas; kadar
bilirubin 1 dan 2 atau secara klinis dilakukan di bawah sinar matahari biasa
(day-light). Sebaiknya penilaian ikterus dilakukan secara laboratoris, apabila
fasilitas tidak memungkinkan dapat dilakukan secara klinis. Beberapa cara
yang dapat digunakan untuk penengakan diagnosa ikterus yaitu:
1. Visual
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus
secara visual, yaitu sebagai berikut :
a. Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang
hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah
bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan biasanya tidak terlihat pada
pencahayaan yang kurang.
b. Tekan kulit bayi dengan lembut menggunakan jari untuk mengetahui
warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.
c. Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian
tubuh yang tampak kuning.
Daerah kulit bayi yang berwarna kuning ditentukan menggunakan rmus
Kremer, seperti di bawah ini:

21
Gambar 2. Rumus Kremer
Daerah kulit yang berwarna kuning sesuai rumus Kramer dan dijelaskan
pada tabel berikut:

Daerah (Lihat Luas Ikterus Kadar Bilirubin (mg%)


Gambar)

1 Kepala dan leher 5

2 Daerah 1 (+) Badan 9


bagian atas

3 Daerah 1,2 (+) Badan 11


bagian bawah dan
tungkai

4 Daerah 1,2,3 (+) 12


Lengan dan kaki di
bawah dengkul

5 Daerah 1,2,3,4 (+) 16


Tangan dan kaki

22
Pada kern-ikterus, gejala klinik pada permulaan tidak jelas antaralain,
bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputar, gerakan tidak
menentu (involuntary movement), kejang, tonus oto meninggi, leher
kaku, dan akhirnya epistotonus.

2. Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis
ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan
serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakna invasif yang
dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang
diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya
dengan aluminium foil. Beberapa senter menyarankan pemeriksaan
bilirubin direk, bila kadar bilirubin total >20 mg/dl atau usia bayi >2 minggu.
3. Bilirubinometer Transkutan
Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan
prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang
gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi
warna kulit neonatus yang sedang diperiksa. Pemeriksaan bilirubin
transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi pigmen
kulit. Saat ini yang dipakai alat menggunakan multiwavelength spectral
reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin
transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.
4. Pemeriksaan Bilirubin Bebas dan Co
Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini
menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi
bilirubin serum yang rendah. Beberapa metode digunakan untuk mencoba
mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya dengan metode oksidase-
peroksidase. Prinsip dari metode ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi
peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak
berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas tata laksana ikterus
neonatorum akan lebih terarah. Seperti telah diketahui bahwa pada
pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang
ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang

23
dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi
bilirubin.

I. Penatalaksanaan Ikterus
Penanganan ikterus pada bayi baru lahir yang ditandai dengan warna kuning
pada kulit dan sklera mata tanpa adanya hepatomegali, perdarahan kulit
dan kejang-kejang, yaitu:
1. Ikterus Fisiologis
a. Ikterus fisiologis yang mmpunyai warna kuning di daerah 1 dan 2
(menurut rumus Kremer), dan timbul pada hari ke 3 atau lebih serta
memiliki kadar bilirubin sebesar 5-9 mg% maka penanganan yang dapat
dilakukan yaitu bayi dijemur di bawah sinar matahari pagi sekitar pukul
7-9 pagi selama 10 menit dengan keadaan bayi telanjang dan mata
ditutup. Kemudian bayi tetap diberikan ASI lebih sering dari biasanya.
b. Ikterus fisiologis yang memiliki warna kuning di daerah 1 sampai 4
(berdasarkan rumus Kremer) yang timbulnya pada hari ke 3 atau lebih
dan memiliki kadar bilirubin 11-15 mg% maka penanganan yang dapat
dilakukan bila di bidan atau puskesmas yaitu menjemur bayi dengan cara
telanjang dan mata ditutup di bawah sinar matahari sekitar jam 7-9 pagi
selama 10 menit, memberikan ASI lebih sering dibandingkan biasanya.
Bila dirawat di rumah sakit maka penanganan yang dapat dilakukan
yaitu terapi sinar, melakukan pemeriksaan golongan darah ibu dan bayi
serta melakukan pemeriksaan kadar bilirubin.
2. Ikterus Patologis
a. Ikterus patologis yang memiliki warna kuning di daerah 1 sampai 5
yang timbul nya pada hari ke 3 atau lebih dan kadar bilirubin >5-20
mg% maka penanganan yang dapat dilakukan bila di bidan atau
puskesmas yaitu menjemur bayi dengan cara telanjang dan mata
ditutup di bawah sinar matahari sekitar jam 7-9 pagi selama 10 menit,
memberikan ASI lebih sering dibandingkan biasanya. Bila dirawat di
rumah sakit maka penanganan yang dapat dilakukan yaitu terapi sinar,
melakukan pemeriksaan golongan darah ibu dan bayi serta
melakukan pemeriksaan kadar bilirubin, waspadai bila kadar bilirubin
nail > 0,5 mg/jam, coomb’s test.

24
b. Ikterus patologis yang memiliki warna kuning di daerah 1 sampai 5
yang timbul nya pada hari ke 3 atau lebih dan kadar bilirubin >20 mg
% maka penanganan yang dapat dilakukan bila bidan atau puskesmas
yaitu rujuk ke rumah sakit dan anjurkan untuk tetap memberikan
ASI lebih sering dibandingkan biasanya. Bila dirawat di rumah sakit
maka penanganan yang dapat dilakukan yaitu melakukan pemeriksaan
golongan darah ibu dan bayi serta melakukan pemeriksaan kadar
bilirubin, tukar darah.

Penatalaksanaan medis pada ikterik neonatus menurut (Marmi, 2015)


antaralain:
1. Mempercepat metabolisme dan pengeluaran bilirubin
a. Menyusui bayi denga ASI, bilirubin dapat pecah jika bayi banyak
mengeluarkan feses dan urine, untuk itu bayi harus mendapatkan
cukup ASI. Seperti yang diketahui ASi memiliki zat zat terbaik yang
dapat memperlancar BAB dan BAK
b. Pemberian fenobarbital, fenobarbital berfungsi untuk mengadakan
induksi enzim mikrosoma, sehingga konjungsi bilirubin berlangsung
dengan cepat.
2. Fototerapi
Fototerapi merupakan modalitas terapi dengan
menggunakan sinar yang dapat diamati dan bertujuan untuk
pengobatan hiperbilirubinemia pada neonatus. Di Amerika serikat,
sekitar 10% neonatus mendapat fototerapi (Azlina, 2011). Fototerapi
(light Therapy) bertujuan untuk memecah bilirubin menjadi senyawa
dipirol yang nontoksik dan dikeluarkan melalui urine dan feses.
Indikasinya adalah kadar bilrubin darah ≥10 mg% dan setelah atau
sebelum dilakukannya tranfusi tukar (Dewi, 2010). Perlu diperhatikan
juga efek samping dari fototerapi tersebut, antara lain, dapat timbul
eritema, terdapat ruam pada kulit/gangguan integritas kulit,
dehidrasi, hipertermi, diare, dan kerusakan retina (Dewi, et al,
2016). Tingkat pembentukan foto produk bilirubin tergantung pada
intensitas dan panjang gelombang cahaya yang digunakan dan
jumlah luas permukaan tubuh yang terkena sumber cahaya.

25
Fototerapi bekerja dengan cara mengkonversi bilirubun yang
tertimbun dalam kapiler superficial, ruang interstisial pada kulit dan
jaringan subkutan berubah menjadi isomer larut dalam air yang
dapat diekskresikan tanpa metabolisme lebih lanjut oleh hati
(Stokowski, 2011). Fototerapi merupakan metode yang efektif dan aman
untuk mengurangi kadar bilirubin indirek, terutama jika dimulai kadar
bilirubin belum tinggi dan menyebabkan kern ikterus. Pada bayi cukup
bulan, fototerapi akan dimulai bila kadar bilirubin indirek berada diantara
16 dan 18 mg/dL. Fototerapi dilakukan pada bayi premature dengan
kadar bilirubin yang lebih rendah untuk mencegah konsentrasinya tinggi
sehingga membutuhkan tranfusi tukar. Lampu sinar biru dan putih efektif
mengurangi kadar bilirubin (Marcdante, Kliegman, Jenson, & Behrman,
2014).
Penurunan kadar bilirubin total terjadi pada bayi usia
kehamilan 35-<37 minggu dengan rata-rata penurunan kadar bilirubin
2,25-0,69 mg/dL/24 jam, dan pada usia 37-42 minggu dengan kadar 2,6-
0,86 mg/dL/24 jam. Penurunan kadar bilirubin pada bayi kurang bulan
lebih sedikit karena hiperbilirubinemia lebih sering terjadi pada bayi
premature, lebih berat, dan lebih lama karena jumlah eritrosit lebih
banyak, usia eritrosit itu sangat singkat, sel hati yang masih imatur,
uptake dan konjugasi lebih lambat dan sirkulasi enterohepatik akan
mengalami peningkatan (masukan oral yang tertunda dan kolonisasi
bakteri yang terhambat) (Dewi, dkk, 2016).
Fototerapi diberikan jika kadar bilirubin dari suatu senyawa
tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah
larut dalam air, dan dikeluarkan melalui urine, tinja, sehingga kadar
bilirubin menurun.

26
a. Indikasi untuk fototerapi

Usia Fototerapi
Dalam
Resiko Tinggi Resiko Resiko Rendah
Jam
Menengah

24 jam >8 >10 >12


mg/Dl mg/dL mg/dL
(137Mikromol/L) (171 (205Mikromol/L)
Mikromol/L)

48 jam >11 mg/dL (188 >13 mg/dL (222 >15 mg/dL (257
Mikromol/L) Mikromol/L) Mikromol/L)

72 jam >13 >15 > 18


mg/dL mg/dL mg/dL
(222Mikromol/L) (257 (308Mikromol/L)
Mikromol/L)

96 jam >14 >17 >20


mg/dL mg/dL mg/dL
(239Mikromol/L) (291 (342Mikromol/L)
Mikromol/L)

Untuk mengoptimalkan efikasi membutuhkan :

1) Sumber sinar efektif yang maksimal


2) Radiasi level tinggi (periksa secara teratur)
3) Koreksi jarak antara sinar dan bayi
4) Perluasan pajanan kulit

27
Agar fototerapi intensif, digunakan sinar overhead optimal (dua jika
perlu), dikombinasikan dengan selimut secara optik.

b. Mekanisme Kerja Fototerapi


Bilirubin tidak larut dalam air, cara kerja terapi sinar yaitu
dengan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam
air untuk diekskresikan melalui empedu atau urine. Pada saat
bilirubin mengabsorbsi cahaya, maka terjadi reaksi fotokimia yaitu
Isomerisasi. Juga terdapat konversi irreversibel menjadi isomer
kimia lainnya yaitu yang disebut dengan lumirubin dan dengan
cepat akan dibersihkan dari plasma melalui empedu. Lumirubin
merupakan produk terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi sinar
pada manusia. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonjugasi akan
diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang diekskresikan melalui
urine. Foto isomer bilirubin lebih polar dibandungkan bentuk asalnya
dan secara langsung bisa diekskresikan melalui empedu.
1) Jenis lampu yang diguankan dalam fototerapi
Beberapa studi menunjukkan bahwa lampu flouresen
biru lebih efektif dalam menurukan kadar bilirubin. Akan tetapi
karena cahaya biru dapat mengubah warna bayi, maka
yanglebih disukau adalah jenis lampu flouresen cahaya lampu
normal dengan spectrum 420-460 nm sehingga kulit bayi bisa
dioservasi baik itu dari waran kulit (jaundice, palor, sianosis)
atau kondisi lainnya. Agar fototerapi bisa berikan secara
efektif maka kulit bayi harus terpajan penuh dengan cahaya
dengan jumlah yang adekuat. Bila kadar bilirubin serum
meningkat sangat cepat dan drastis dianjurkan untuk
menggunakan fototerapi dosis ganda atau intensif, teknik ini
melibatkan dengan menggunakan lampu overhead
konvensional sementara itu bayi berbaring dalam selimut fiber
optik. Warna kulit pada bayi tidak mempengaruhi efisiensi
pemberian fototerapi. Hasil terbaik akan terlihat setelah 24
sampai 48 jam petama dalam pemberian fototerapi. Fototerapi
intensif yaitu fototerapi yang menggunakan sinar bluegreen

28
spectrum (panjang gelombang 430-490 nm) dengan kekuatan ≤
30 uW/cm² (diperiksa dengan radiometer, atau atau diperkiran
dengan menempatkan bayi langsung dibawah sumber sinar dan
kulit bayi yang terpajan lebih luas. Apabila konsentrasi bilirubin
tidak menurun atau cenderung naik pada bayi-bayi yang
mendapat fototerapi intensif, kemungkinan besar terjadi proses
hemolisis (Kosim, dkk, 2012).
Jenis-jenis lampu yang dapat digunakan untuk fototerapi
menurut Judarwanto (2012) yaitu :
a) Tabung neon biru, dapat bekerja secara baik jika
digunakan untuk fototerapi namun dapat menyebabkan
ketidaknyamanan pada anggota staf rumah sakit.
b) Tabung neon putih, kurang maksimal dari pada lampu
warana biru, namun dapat mengurangi jarak antara bayi dan
lampu dapat mengkompensasai efisiensi yang lebih rendah.
c) Lampu kuarsa putih merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari beberapa penghangat cerah dan inkubator.
Mereka memiliki komponen biru yang signifikan dalam
spectrum cahaya.
d) Lampu kuarsa ganda, lampu 3-4 melekat pada sumber
panas overhead dari beberapa penghangat bercahaya
e) Light-emitting Diode (LED), konsumsi daya rendah, produksi
panas rendah, dan masa hidup yang cukup lama.
f)Cahaya serat optic, memberikan tingkat energi yang tinggi,
tetapi luas permukaan terbatas
2) Jarak
Dosis dan kemanjuran fototerapi biasanya dipengaruhi
oleh jarak antara lampu (semakin dekat sumber cahaya,
semakin besar juga irradiasinya) permukaan kulit bayi yang
terkena cahaya, oleh karena itu dibutuhkan sumber cahaya
dibawah bayi pada fototerapi intensif. Jarak antara kulit bayi
dan sumber cahaya. Dengan lampu neon, jarak tidak harus
lebih besar dari 50 cm (20 in). Jarak ini dpat dikurangi anatar

29
10-20 cm jika homeostasis suhu dipantau untuk mengurangi
resiko overheating (Judarwanto, 2012).
3) Berat badan dan usia
Untuk bayi dengan berat lahir ≤ 1000 gram, memulai
fototerapi sebesar 5-6 mg/dL pada usia 24 jam, kemudian
meningkat secara bertahap samapi usia 4 hari. Efisiensi
fototerapi tergantung pada jumlah bilirubin yang diradiasi.
Penyinaran area kulit permukaan besar dan lebih efisien
dari pada penyinaran pada daerah yang kecil, dan efisiensi
meningkat fototerapi dengan konsentrasi bilirubin serum.
c. Cara kerja fototerapi
Foto terapi dapat menimbulkan dekomposisi bilirubin dari
suatu senyawa tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi senyawa
dipirol yang mudah larut dalam air dan cairan empedu duodenum
dan menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu
kedalam usus sehingga peristaltic usus menngkat dan bilirubin akan
keluar dalam feses.
d. Cara melakukan fototerapi
1) Bayi telanjang, kedua mata ditutup dengan penutup mata/kain
berwarna gelap supaya cahaya tidak tembus dan tidak
merusak retina, dan posisi bayi diubah setiap 6 jam sekali.
2) Suhu tubuh bayi dipertahankan sekitar 36,5-37˚C
3) Perhatikan keseimbangan elektrolit
4) Pemeriksaan Hb secara teratur yang dilakukan setiap hari
5) Pemeriksaan bilirubin darah setiap hari atau dua hari, setelah
terapi sebanyak 3 kali dalam sehari
6) Mungkin akan timbul skin rush yang sifatnya semenatar dan
tidak berbahay bagi bayi (Bronze Baby)
7) Lama terapi 100 menit atau bila kadar bilirubin darah sudah
mencapai ≤7,5 mg% (Dewi, 2010).
Dalam perawatan bayi dengan fototerapi perhatikan sebagai berikut:
1) Suhu bayi diukur berakala setiap 4-6 jam untuk mencegah
atau mengantisipasi adanya hipertermi pada bayi

30
2) Perhatikan kecukupan cairan tubuh bayi.Bila perlu konsumsi
cairan bayi dinaikkan (Manggiasih & Jaya, 2016 ).
Tindakan yang dilakukan pada bayi hiperbilirubinemia
yaitu sinar fototerapi. Sinar yang digunakan pada fototerapi adalah
suatu sinar tampak yang merupakan suatu gelombang
elektromagnetik bervariasi menurut frekuensi dan panjang
gelombang. Spektrum dari sinar tampak ini terdiri dari sinar merah,
oranye, kuning, hijau, biru, dan uangu. Masing-masing dari sinar
memiliki panjang gelombang yang berbeda-beda. Dan pada saat
dilakukan fototerapi semua pakaian yang dikenakan bayi dilepas dan
bayi diletakkan di dalam tempat yang telah diberi sinar biru sehingga
bayi tidak beresiko terkena hipotermia, tetapi apabila bayi terlalu
lama terpapar sinar fototerapi dan tidak dilakukan pengaturan
jarak pada lampu dan tidak dirubah posisi bayi setiap 6 jam sekali
maka bayi bisa mengalami hipertermi.
e. Efek Samping Fototerapi
Efek samping ringan yang harus diwaspadai perawat yaitu
Hipertermi. Untuk mencegah atau meminimalkan efek tersebut,
suhu dipantau untuk mendeteksi tanda awal dari hipertermia,
sehingga kita bisa meminimalkan efek samping dari fototerapi
tersebut.
Komplikasi terapi sinar umumnya ringan, sangat jarang
terjadi dan reversible. Komplikasi fototerapi meliputi:
1) Hipertermi
Karena pada bayi penderita hiperbilirubin sebagian besar
mendapatkan terapi sinar sehingga bisa memicu kenaikan suhu
tubuh pada bayi, hipertermi bisa terjadi karena jarak sinar
dengan bayi yang berjarak 30 cm, sedangkan penelitian lain
dengan jarak 13 cm. Paparan sinar fototerapi dan kurangnya
asupan air susu ibu (ASI) yang menyebabkan hipertermi..
2) Diare/ feses encer
3) Dehidrasi
4) Ruam pada kulit/ gangguan integritas kulit

31
5) Sumbatan hidung oleh penutup mata dan potensi kerusakan
retina.
Pada bayi-bayi yang mengalami hiperbilirubinemia sebagian besar
dapat tertangani/tertolong dengan fototerapi, namun harus dilakukan
pemantauan terhadap timbulnya anemia yang muncul kemudian
akibat hemolisis yang masih berlangsung
f. Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan fototerapi
Alat – alat yang diperlukan dalam melakukan fototerapi sebagai
berikut:
1) Lampu Fluoresensi 10 buah masing-masng 20 watt
dengan gelombang sinar 425-475 nm, seperti pada sinar cool
white, daylight, vita jite blue, dan special blue.
2) Jarak antara sumber cahaya dengan bayi ≤ 45 cm, di
antaranya diberi kaca pleksi setebal 0,5 inci untuk menahan
sinar ultraviolet
3) Lampu diganti setiap 200-400 jam
g. Komplikasi fototerapi
1) Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan
mengakibatkan peningkatan Insensible Water Loss (penguapan
cairan). Pada BBLR kehilangan cairan dapat meningkat 2-3 kali
lebih besar.
2) Frekuensi defekasi meningkat sebagai akibat meningkatnya
bilirubin indirek dalam cairan empedu dan meningkatkan
peristaltic usus.
3) Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena sinar
(berupa kulit kemerahan) tetapi akan hilang jika fototerapi
selesai.
4) Gangguan pada retina jika mata tidak ditutup.
5) Kenaikan suhu akibat sinar lampu, jika hal ini terjadi sebagian
lampu dimatikan, tetapi diteruskan dan jika suhu terus naik,
lampu semua dimatikan sementara, dan berikan ekstra minum
kepada bayi.
3. Tranfusi tukar

32
Transfuse tukar dilakukan pada keadaan hyperbilirubinemia yang tidak
dapat diatasi dengan tindakan lain, misalnya telah diberikan fototerapi
kadar bilirubin tetap tinggi. Pada umumnya transfuse tukar dilakukan
pada ikterus yang disebabkan hemolisis yang terdapat pada
ketidakselarasan rhesus ABO, defisiensi enzim glukuronil transferase G-
6-PD, infeksi toksoplasmosis dan sebagainya. Indikasi untuk melakukan
transfusi tukar adalah kadar bilirubin indirek lebih dari
20 mg%, peningkatan kadar bilirubin indirek cepat yaitu 0,3-1 mg% per-
jam, anemia berat pada neunatus dengan gejala gagal jantung, bayi
dengan kadar hemoglobin tali pusat kurang dari 14 mg% dan uji comb
positif. Tujuan transfuse tukar adalah mengganti eritrosit yang dapat
menjadi hemolisis membuang antibodi yang menyebabkanhemolisis,
menurunkan kadar bilirubin indirek dan memperbaiki anemia.
J. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada ikterik neonatus
adalah(Huda, 2015) :
1. Kadar bilirubin serum (total).
Pemeriksaan bilirubin serum total pada bayi merupakan penegakan
diagnose ikterus neonatorum dan juga untuk menentukan adanya intervensi
lebih lanjut. Pemeriksaan serum bilirubin total perlu dipertimbangkan karena
hal tersebut merupakan tindakan invasif dan dianggap bisa meningkatkan
morbiditas neonatus (Mathindas, Wilar& Wahani, 2013). Kadar bilirubin
serum direk dianjurkan untuk diperiksa, bila dijumpai bayi kuning dengan
usia kurang lebih dari 10 hari dan tau dicurigai adanya suatu kolestatis.
2. Darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat
morfologi eritrosit dan hitumg retikulosit
3. Penentuan golongan darah dan factor Rh dari ibu dan bayi. Bayi yang
berasal dari ibu dengan Rh negative harus dilakukan pemeriksaan golongan
darah, faktor Rh uji coombs pada saat bayi dilahirkan, kadar hemoglobin dan
bilirubin tali pusat juga diperiksa (Normal bila Hb >14mg/dl dan bilirubin Tali
Pusat , < 4 mg/dl )
4. Pemeriksaan enzim G-6-PD (glukuronil transferase ).

33
5. Pada Ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati (dapat dilanjutkan dengan
USG hati, sintigrafi system hepatobiliary, uji fungsi tiroid, uji urine terhadap
galaktosemia.
6. Bila secaa klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah dan
pemeriksaan C reaktif protein (CRP).

K. Manifestasi Klinis
Dikatakanh hyperbilirubinemia apabila ada tanda-tanda sebagai berikut (Ridha,
2014):
1. Warna kuning yang dapat terlihat pada sklera, selaput lender, kulit atau
organ lain akibat penumpukan bilirubin
2. Ikterik terjadi pada 24 jam pertama
3. Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam
4. Konsentrasi bilirubin serum 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan 12,5
mg% pada neonatus kurang bulan
5. Ikterik yang disertai proses hemolisis
6. Ikterik yang disertai dengan beat badan lahir kurang dari 2000 gram, masa
esfasu kurang 36 mg, defikasi hipoksia sindrom gangguan pernafasan
infeksi tauma lahir kepala, hipoglikemia, hiperkarbia.

L. Pencegahan Ikterus
Ada empat cara yang bisa dilakukan dalam rangka pencegahan terhadap
ikterus yaitu:
1. Mempercepat proses konjugasi, misalnya pemberian fenobarbital.
Fenobarbital dapat bekerja sebagai perangsang enzim sehingga konjugai
dapat dipercepat. Pengobatan dengan cara ini tidak begitu efektif dan
membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi penurunan bilirubin yang berarti,
mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu 2 hari sebelum kelahiran
bayi.
2. Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi.
Contohnya ialah pemberian albumin untuk meningkatkan bilirubin bebas.
Albumin dapat diganti dengan plasma yang dosisnya 30 ml/kgBB.
Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi.

34
3. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi, ini ternyata setelah
dicoba dengan bantuan alat dapat menurunkan kadar bilirubin dengan
cepat. Walaupun demikian fototerapi tidak dapat menggantikna tranfusi
tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra
dan pasca tranfusi tukar, alat fototerapi dapat dibuat sendiri.
4. Ikterus dapat dicegah sejak masa kehamilan, dengan cra pengawasan
kehamilan dengan baik dan teratur, untuk mencegah sendiri mungkin
infeksi pada janin dan hipoksia (kekurangan oksigen)pada janin di dalma
rahim. Pada masa persalinan, jika terjadi hipoksia, misalnya karena
kesulitan lahir, lilitan tali pusat dan lain-lain, segera diatasi dengan cepat
dan tepat. Sebaiknya, sejak lahir biasakan anak dijemur di bawah sinar
matahari pagi sekitar jam 7-8 pagi selama 15 menit dengan membuka
pakaian.

BAB III

TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN

A. Tinjauan Kasus

ASUHAN KEBIDANAN PADA NEONATUS/ BAYI BARU LAHIR


BAYI NY. S USIA 5 HARI LAHIR SPONTAN SESUAI MASA KEHAMILAN
DENGAN HIPERBILIRUBINEMIA DI RSUD WONOSARI

NO. REGISTER : 00683326


MASUK RS TANGGAL, JAM : 08 September 2021 / 07.30 WIB
PENGKAJIAN TANGGAL, JAM : 13 September 2021 / 13.00 WIB

OLEH : Bidan dan Mahasiswa


DIRAWAT DI RUANG : Ruang Melati Level 2
Ibu Suami

Nama : Ny. S Tn. T


Umur : 35 Tahun 38 Tahun

35
Suku/ Bangsa : Jawa / Indonesia Jawa / Indonesia
Agama : Islam Islam
Pendidikan : SMA SMA
Pekerjaan : Petani Petani
Macan Mati RT 003 RW 006 Macan Mati RT 003 RW 006
Alamat : Girimulyo Panggang Gunung Girimulyo Panggang Gunung
Kidul Kidul
No.Telp/Hp : 08211******* 08211*******

DATA SUBJEKTIF

1. Riwayat Antenatal
G 3 P 2 Ab 0 Ah 3 Umur Kehamilan 37 minggu
Riwayat ANC : Teratur 11 kali, di Puskesmas Panggang
oleh : Bidan
Imunisasi TT : 5 kali.
TT 1: bayi
TT 2 : bayi
TT 3 : SD
TT 4 : Sebelum hamil anak pertama
TT 5 : Sebelum hamil anak kedua
Kenaikan BB saat hamil : 6 kg
Keluhan saat hamil : Mual muntah pada Trimester 1
Penyakit selama hamil : Hipertensi dan tidak ada penyakit
jantung,diabetes melitus, gagal ginjal,
hepatitis B, tuberkulosis, HIV
Positif,trauma/penganiayaan
Kebiasaan makan : Ibu mengatakan makan 3x dalam sehari
dengan menu makanan bervariasi (nasi,
sayur, lauk)
Obat/ Jamu : Ibu tidak minum obat selain yang
diresepkan bidan di puskesmas

36
Merokok : Ibu mengatakan keluarga tidak ada yang
merokok
Komplikasi ibu : Terdapat hipertensi dan tidak ada
komplikasi hiperemesis, abortus,
perdarahan, eklamsia, diabetes
gestasional, infeksi
Janin : Tidak ada komplikasi IUGR,
Polihidramnion
/ Oligohidramnion, Gemeli
2. Riwayat Intranatal
Lahir tanggal : 08 September 2021 Pukul 05.10 WIB
Jenis persalinan : Spontan
Riwayat induksi atas indikasi preeklamsi
berat
Penolong : Bidan di RSUD Wonosari
Lama persalinan : Kala I : 14 jam 45 menit
Kala II – jam 15 menit

Kala III :-jam 5 menit


Kala IV : 2 jam -
Komplikasi
 Ibu :Terdapat komplikasi hipertensi/ Hipotensi, dan
tidak terdapat partus lama, penggunaan obat,
infeksi/suhu badan naik, KPD perdarahan
 Janin :Tidak ada komplikasi Prematur/postmatur,
malposisi/malpresentasi, gawat janin, ketuban
campur mekonium, prolaps tali pusat
3. Keadaan bayi baru lahir
BB / PB Lahir : 2830 gram / 47 cm
Nilai APGAR : 1 menit / 5 menit / 10 menit : 6 / 9 / 10

No Kriteria 1 menit 5 menit 10 menit

1 Denyut Jantung 2 2 2

37
2 Usaha nafas 1 2 2

3 Tonus otot 1 2 2

4 Reflek 1 2 2

5 Warna kulit 1 1 2

TOTAL 6 9 10

Caput succedaneum : Tidak Ada

Cephal hematom : Tidak Ada

Cacat bawaan : Tidak Ada

Resusitasi : Rangsangan : tidak

Penghisapan lendir : tidak

Ambu bag : tidak

Masase jantung : tidak

Intubasi Endotrakheal : tidak

O2 : ya 2 liter/ menit

DATA OBJEKTIF

1. Pemeriksaan Umum
a. Pernafasan : 40 kali / menit
b. Warna kulit : kemerahan, tidak ada sianosis ekstremitas
c. Nadi : 137 kali/menit
d. Suhu aksiler : 36,4 ºC
e. Respirasi : 54 kali/menit
f. SpO2 : 98% on NK 2 lpm
g. Postur dan gerakan : postur simetris, gerakan kurang aktif
h. Tonus otot / tingkat kesadaran : tonus otot aktif dan composmentis
i. Ekstremitas : jari tangan dan kaki lengkap
j. Kulit : terdapat lanugo dan warna kemerahan
k. Tali pusat : masih basah, tidak ada tanda infeksi, tidak berbau

38
l. BB sekarang : 2880 gram
2. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala : tidak ada caput succedaneum, tidak ada cephal
hematoma
rambut hitam lebat, tidak ada moulase
b. Muka : tidak ada edema, bersih, tampak kemerahan
c. Mata : simetris, tidak ada tanda-tanda infeksi, reflek cahaya (+),
sklera putih, konjungtiva merah muda
d. Telinga : simetris, lubang telinga paten, tidak ada secret
e. Hidung : septum ditengah, ada pergerakan cuping hidung setelah
diberikan nasal kanul 2 liter / menit tidak ada cuping
hidung
f. Mulut : lembab, tidak ada oral trush, tidak ada kelainan bibir
sumbing, refleks menghisap lemah
g. Leher : tidak ada pembengkakan kelenjar tiroid dan kelenjar limfe
h. Klavikula : lengkap dan tidak ada fraktur
i. Lengan dan tangan : lengkap, gerak aktif dan tidak ada fraktur
j. Dada : puting susu sejajar, simetris, ada retraksi dan wheezing
k. Abdomen : normal, tidak ada massa, tidak ada distensi, tidak ada
perdarahan disekitar tali pusat, tali pusat masih basah,
tidak berbau, dan tidak ada omphalistis
l. Genetalia : ukuran normal, bentuk penis, testis, tidak terdapat
kelainan/perdagangan
m.Tungkai dan kaki : tungkai kanan dan kiri sama panjang, jumlah jari
lengkap, pergerakan kurang aktif, terpasang infus DS ¼
NJ 8 tpm mikro
n. Anus : lubang anus paten
o. Punggung : rata, terdapat lanugo dan tidak ada spina bifida
3. Reflek :
a. Moro : positif, baik yaitu membuat hentakan tiba-tiba pada bayi,
bayi kaget
b. Rooting : positif, baik yaitu meletakkan jari didekat mulut bayi, bayi
mencari
c. Walking : negatif: bayi belum dapat melakukan gerakan seperti

39
melangkah saat menyentuh permukaan datar
d. Graphs : positif, baik yaitu meletakkan jari ditelapak tangan bayi,
bayi menggenggam
e. Sucking : positif, baik yaitu melihat bayi saat menyusu puting ibu,
bayi dapat menyusu
f. Tonicneck : negatif, baik yaitu menelentangkan bayi, menarik bayi
kearah perut, bayi mempertahankan
4. Antropometri: BB : 2880 gram
PB : 47 cm

LK : 32 cm

LD : 32 cm

LLA : 10 cm

5. Eliminasi Miksi : Sudah sehari 8-10 kali


Mekonium : Sudah sehari 4-6 kali, warna kuning dempul,
konsistensi lembek

6. Pemeriksaan Penunjang
( Tanggal 08 September 2021 pukul 06.10 )

Waktu Hasil Pemeriksaan GDS

06.10 WIB 36 mg/dl

10.10 WIB 82 mg/dl

13.00 WIB 108 mg/dl

15.00 WIB 82 mg/dl

( Tanggal 08 September 2021 pukul 11.33 )

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

40
Hemoglobin 19,9 L.k 14-18 gr%

Pr. 12-16 gr%

A.Leukosit 17.000 Lk. 4700-10300 /µL

Pr. 4300-11400 /µL

E.Eritrosit 6,8 4-5 jt /µL

4,4 – 5,5 jt / µL

Hemogram Eos 1 2-4%

Bas 0 0–1%

Stab 5

Seg 50 50 – 75 %

Limp 43 25 – 40 %

Mon 1 3–7%

Trombosit 155.000 150.000 – 450.000 /µL

HCT / HMT 59 Lk. 44 %

Pr. 37 %

Bill.Total 8,0 ‹ 1.1mg/dL

Bill. Direx 0,1 ‹ 0,2 mg/dL

Bill. Indirex 7,9

( Tanggal 08 September 2021 pukul 15.00 )


GDS : 82 mg/dl

( Tanggal 09 September 2021 pukul 06.00 )


GDS : 97 mg/dl

41
( Tanggal 13 September 2021 pukul 09.53 )

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Hemoglobin 18,8 L.k 14-18 gr%

Pr. 12-16 gr%

A.Leukosit 12.500 Lk. 4700-10300 /µL

Pr. 4300-11400 /µL

E.Eritrosit 6,4 4-5 jt /µL

4,4 – 5,5 jt / µL

Hemogram Eos 1 2-4%

Bas 0 0–1%

Stab 5

Seg 50 50 – 75 %

Limp 43 25 – 40 %

Mon 1 3–7%

Trombosit 109.000 150.000 – 450.000 /µL

HCT / HMT 59 Lk. 44 %

Pr. 37 %

Bill.Total 13,2 ‹ 1.1mg/dL

Bill. Direx 0,2 ‹ 0,2 mg/dL

Bill. Indirex 13

7. Terapi Obat

42
Pemberian cairan melalui intravena dextrose 10%, sebanyak 2 ml/kgBB
secara bolus dalam 5 menit.

ANALISIA

1. Diagnosa
Bayi Ny.S usia 5 hari lahir spontan cukup bulan sesuai masa kehamilan
dengan hiperbilirubinemia.
2. Masalah Kebidanan
Bayi Ny.S usia 5 hari lahir spontan kurang bulan sesuai masa kehamilan
mengalami hiperbilirubinemia.
3. Diagnosa Potensial
Kern ikterus
4. Antisipasi Kebutuhan Segera
Fototerapi 36 jam

PENATALAKSANAAN

Tanggal : 13 September 2021 pukul 07.30 – 13.30 WIB

1. Memandikan bayi
a. Membersihkan mata bayi dengan kapas DTT lembab dengan cara
menghapus mulai dari bagian dalam mengarah keluar. Setiap kali
usapan kapas harus diganti
b. Membersihkan telinga menggunakan kapas DTT dengan gerakan
memutar, mengganti kapas setiap kali usapan
c. Membersihkan pantat dari faeces sebelum dimandikan agar air mandi
tetap bersih
d. Membersihkan genetalia bayi dengan hati-hati dari bagian depan
menuju bagian belakang untuk mencegah kontaminasi kotoran

43
e. Membasuh muka dengan waslap tanpa menggunakan sabun, setelah
bersih kemudian mengeringkan muka dengan handuk
f. Menyeka bayi dengan waslap basah dari kepala, leher, dada,
perut(tali pusat dari ujung ke pangkal), lengan, dilanjutkan ke bagian
kaki, alat kelamin, dan punggung bayi
g. Membasahi waslap kemudian mengusap waslap mulai dari kepala,
leher, dada, perut, lengan, dilanjutkan ke bagian kaki, alat kelamin,
dan punggung bayi
h. Mengeringkan tali pusat dengan kassa steril dan mempertahankan tali
pusat dalam keadaan terbuka terkena udara
i. Mengenakan pakaian bayi lengkap (popok dilipat dibawah tali pusat)
j. Membereskan semua peralatan
E: Telah dilakukan
2. Memastikan bayi dirawat dalam infant warmer 31°C dengan terpasang
IUFD PPN 8 tpm mikro
E: Telah dilakukan
3. Memastikan terpasangnya O2 dengan menggunakan nasal kanul 0,5 liter/
menit
E: Telah dilakukan.
4. Memberikan intake ASI kepada bayi
E: Telah diberikan intake ASI 30 cc per 3 jam melalui mulut dengan spuit
5. Melakukan observasi dengan dokter mengenai pola nafas dan refleks
hisap bayi
E: Pola nafas tidak efektif dan refleks hisap bagus
6. Melakukan TTV (nadi, respirasi, dan suhu) setiap 8 jam sekali
Suhu :36,5°C
Nadi : 144 kali/ menit
Respirasi : 42 kali/menit
E: Telah dilakukan
7. Melakukan pemantauan BAK dan BAB bayi
E: Telah dilakukan
8. Memberitahu ibu untuk menjaga kehangatan bayi dengan cara
membedong atau membungkus bayi dengan kain besih dan yang hangat
serta kain yang terbuat dari bahan katun

44
E: Ibu bersedia untuk melakukannya
9. Memberitahu ibu untuk menjaga kehangatan bayinya dengan menutup
kepala bayi meng gunakan topi
E: Ibu bersedia untuk melakukannya
10. Melaporkan hasil laboratorium
Hb :18,8 g/dl
Leukosit : 25.000 µL
Trombosit : 109.000 µL
HCT / HMT : 54 %
Hemogram : 1 / 0 / 5 / 50 / 43 / 1
Eritrosit : 6,4 µL
Bill.Total : 13,2 mg/dL
Bill.Direx : 0,2 mg/dL
Bill.Indirex :13 mg/dL
E: Dari hasil laboratorium menunjukkan hiperbilirubimenia
11. Memberikan informasi dan penjelasan tentang hasil pemeriksaan pada
ibu bayi tentang kondisi saat ini
E: Ibu mengerti dengan penjelasan yang diberikan
12. Melakukan foto throrax 36 jam dimulai pukul 11. 00 WIB
E: Telah dilakukan bayi diletakkan tanpa mengenakan pakaian di bawah
sinar fototerapi, dengan ditutup matanya menggnakan kassa dan alat
kelamin bayi menggunakan diapers.
13. Memberikan terapi injeksi Cefotaxime 145 gr / 12 jam yang berfungsi
sebagai antibiotik yang bekerja dengan cara membunuh bakteri dan
menghambat pertumbhan bakteri, Amikacin 42 mg / 24 jam yang
berfungsi untuk menghambat dan menghentikan pertumbuhan bakteri
penyeba infeksi.
E : Telah dilakukan
14. Melakukan dokumentasi secara SOAP pada rekam medis
E : Telah dilakukan

B. Pembahasan
Setelah dilakukan asuhan kebidanan pada neonatus dengan bayi
usia 5 hari lahir spontan cukup bulan sesuai masa kehamilan dengan

45
hiperbilirubinemia di RSUD Wonosari pada tanggal 13 September 2021
maka pada bab pembahasan ini saya akan menjabarkan adanya
kesesuaian maupun kesenjangan yang terdapat pada pasien antara teori
dengan kasus. Pada bab ini juga diuraikan pembahasan kasus sesuai
dengan manajemen kebidanan SOAP mulai dari pengkajian sampai
dengan evaluasi penatalaksanaan.
Pengkajian merupakan tahap awal yang digunakan sebagai
landasan dalam proses pemberian asuhan kebidanan. Tahap ini
mencakup kegiatan pengumpulan, pengolahan dan analisa data atau
fakta yang dikumpulkan dari beberapa data subjektif dan objektif. Data
tersebut diperoleh dengan wawancara, observasi, studi dokumentasi dan
studi kepustakaan. Pengkajian ini dibuat teliti dan sistematis, sehingga
dapat diketahui diagnosa kebidanan, masalah dan kebutuhan yang ada
dan akhirnya dapat diberikan asuhan kebidanan terhadap masalah
tersebut.
1. Subjektif
Dilakukan pengumpulan data dasar untuk mengumpulkan
semua data yang diperlukan guna mengevaluasi keadaan klien
secara lengkap. Data terdiri atas data subjektif dan data objektif. Data
subjektif dapat diperoleh melalui anamnesa langsung, maupun
meninjau catatan dokumentasi asuhan sebelumnya (Kepmenkes,
2013). Pada kasus Bayi Ny.S pengumpulan data subjektif dilakukan
dengan bertanya langsung kepada ibu bayi.
Berdasarkan hasil anamnesa ibu mengatakan kulit bayinya terlihat
kuning dan ASInya masih kurang lancar.
Bayi Ny.S umur 5 hari dari G3P3Ab0 Ah3 usia kehamilan 37
minggu melakukan ANC sebanyak 11 kali di Puskesmas Panggang
oleh bidan. Status imunisasi TT Ny.S yaitu TT 5 terakhir diberikan
imnisasi TT saat hamil anak ketiga. Ny.S mengalami kenaikan berat
badan saat hamil sebanyak 6 kg. Ny.S terdapat keluhan saat hamil
pada trimester 1 yaitu mengalami mual dan muntah. Ny.S mengalami
penyakit saat hamil yaitu mengalami hipertensi dan tidak ada penyakit
jantung , diabetes melitus, gagal ginjal, hepatitis B, tuberkolosis, HIV
positif, dan trauma atau penganiyaan. Ny.S mempunyai kebiasaan

46
makan 3 kali dalam sehari dengan menu makanan bervariasi (nasi,
lauk, sayur).
Ny.S tidak minum obat selain yang diresepkan bidan di
puskesmas. Ny.S mengatakan keluarga tidak ada yang merokok.
Ny.S terdapat komplikasi yaitu hipertensi dan tidak ada komplikasi
hiperemesis, abortus, perdarahan, eklamsia, diabetes gestasional,
infeksi. Janin Ny.S tidak ada komplikasi IUGR,
polihidramnion/oligohidramnion, gemelli.
Ny. S melahirkan secara spontan dengan riwayat induksi atas
indikasi preeklamsia berat pada 08 September 2021 pukul 05.10
dengan ditolong oleh bidan dengan berat badan bayi 2830 gram dan
panjang badan 47 cm dengan nilai APGAR 6 / 9 /10. Ny.S mengalami
lama persalianan kala 1 sejumlah 14 jam 45 menit, kala 2 sejumlah 15
menit, kala 3 sejumlah 5 menit, dan kala 4 sejumlah 2 jam. Ny. S
terdapat komplikasi hipertensi/ hipotensi, dan tidak terdapat partus
lama, penggunaan obat, infeksi/suhu badan naik, KPD perdarahan.
Bayi Ny.S tidak ada komplikasi Prematur/postmatur,
malposisi/malpresentasi, gawat janin,ketuban campur mekonium,
prolaps tali pusat.
Berdasarkan data diatas tidak ditemukan adanya kesenjangan
antara kasus dan teori dalam pengumpulan data dan apa yang
dikeluhakan ibu.
2. Objektif
Data objektif didapatkan dari pemeriksaan langsung pada
pasien (Kepmenkes, 2013). Pada kasus Bayi Ny.S dilakukan
pemeriksaan fisik head to toe.
Berdasarkan pemeriksaan berikut tanda-tanda vital didapatkan
hasil pemeriksaan Bayi Ny.S yaitu pernafasan 40 kali / menit, nadi
137 kali / menit, suhu aksiler 36,4°C, SpO2 98 % on Nk 2 lpm.
Hasil pemeriksaan antropometri dalam batas normal dengan
berat badan lahir 2850 gram, yang mana normalnya pada bayi aterm
diantara 2.500-4.000 gram. Karena pada bayi berat badan lahir
rendah dapat menjadi faktor meningkatnya kadar bilirubin.

47
Saat dilakukan pemeriksaan bayi hasil pemeriksaan tubuh bayi
tampak kuning termasuk sklera matanya, sesuai dengan teori tanda
dan gejala hiperbilirubin adalah warna kuning yang terlihat jelas pada
kulit, mukosa, sklera, urin, serta organ lain. Kemudian dilakukan
pemeriksaan bilirubin, dari rekam medis didapatkan data bahwa pukul
09.53 WIB hasil bilirubin 13,2 mg/dL, sesuai dengan teori bahwa bayi
dengan hiperbilirubinemia terjadi peningkatan kadar bilirubin dalam
darah hingga hasil laboratorium menunjukkan kadar bilirubin serum
lebih dari 12 mg/dL untuk bayi cukup bulan dan lebih dari 10 mg/dL
untuk bayi kurang bulan.
Dalam pemeriksaan fisik didapati tubuh bayi sampai dengan
extremitas bayi tampak kuning, begitu juga dengan bagian sklera
yang tampak kuning. Jika dinilai dengan derajat Kramer ini sudah
termasuk derajat keempat yaitu tampak kuning yaitu tampak kuning
sampai lengan dan kaki di bawah dengkul. Pemeriksaan Kramer
adalah suatu pemeriksaan dalam menilai derajat ikterus yang
merupakan risiko terjadinya kern-ikterus. Derajat Kramer 4 perkiraan
kadar bilirubin dalam tubuh mencapai 12 mg%
Berdasarkan data diatas tidak ditemukan adanya kesenjangan
antara kasus dan teori pada pengumpulan data objektif dan keadaan
bayi.
3. Analisa
Pengkajian data dasar yang berasal dari data subjektif dan data
objektif Bayi Ny.S yang sudah dikumpulkan diinterpretasikan sehingga
ditemukan diagnosis yang spesifik (sesuai dengan “nomenklatur
standar diagnosa”) dan atau masalah yang menyertai (Kepmenkes,
2013).
Berdasarkan hasil pengkajian yang telah diperoleh dapat dibuat
kesimpulan dalam bentuk analisa. Diagnosis kasus asuhan kebidanan
patologis pada bayi baru atau neonatus yait Bayi Ny.S usia 5 hari lahir
spontan cukup bulan sesuai masa kehamilan dengan
hiperbilirubinemia. Diagnosa tersebut dikatakan patologis dikarenakan
saat pemeriksaan fisik ditemukan tubuh bayi tampak kuning sampai
dengan lengan dan kaki di bawah dengkul termasuk sklera matanya

48
dan didukung dengan data penunjang dengan hasil bilirubin total 13,2
mg/dL yang mana normalnya kadar bilirubin serum kurang dari 12
mg/dL untuk bayi cukup bulan dan kurang dari 10 mg/dL untuk bayi
kurang bulan. Masalah kebidanan yaitu bayi Ny.S neonatus cukup
bulan sesuai masa kehamilan usia 5 hari dengan hiperbilirubin.
Kemudian masalah potensial yang dapat terjadi adalah kern ikterus.
Kern ikterus menyebabkan kompikasi berupa kerusakan otak pada
bayi. Antisipasi kebutuhan segera dengan melakukan foto terapi
selama 36 jam.
4. Penatalaksanaan
Berdasakan analisa data penatalaksanaan dipeoleh
perencanaan, implementasi (pelaksanaan asuhan), dan evaluasi pada
kasus Bayi Ny.S umur 5 hari lahir spontan cukup bulan sesuai masa
kehamilan dengan hyperbilirubinemia.
Memandikan bayi dan mengajarkan bagimana perawatan tali pusat
bayi, memastikan bayi dirawat dalam infant warmer 31°C dengan
terpasang IUFD PPN 8 tpm mikro, memastikan terpasangnya O2
dengan menggunakan nasal kanul 0,5 liter/ menit, memberikan intake
ASI 30 cc per 3 jam kepada bayi, melakukan observasi dengan dokter
mengenai pola nafas dan refleks hisap bayi, melakukan TTV (nadi,
respirasi, dan suhu) setiap 8 jam sekali, melakukan pemantauan BAK
dan BAB bayi, memberitahu ibu untuk menjaga kehangatan bayi
dengan cara membedong atau membungkus bayi dengan kain besih
dan yang hangat serta kain yang terbuat dari bahan katun,
memberitahu ibu untuk menjaga kehangatan bayinya dengan
menutup kepala bayi meng gunakan topi, melaporkan hasil
laboratorium denganhasil laboratorium menunjukkan
hiperbilirubimenia, memberikan informasi dan penjelasan tentang
hasil pemeriksaan pada ibu bayi tentang kondisi saat ini, melakukan
foto throrax 36 jam dimulai pukul 11. 00 WIB dengan bayi diletakkan
tanpa mengenakan pakaian di bawah sinar fototerapi, dengan ditutup
matanya menggnakan kassa dan alat kelamin bayi menggunakan
diapers, memberikan terapi injeksi Cefotaxime 145 gr / 12 jam yang
berfungsi sebagai antibiotik yang bekerja dengan cara membunuh

49
bakteri dan menghambat pertumbhan bakteri, Amikacin 42 mg / 24
jam yang berfungsi untuk menghambat dan menghentikan
pertumbuhan bakteri penyeba infeksi, melakukan dokumentasi secara
SOAP pada rekam medis.
Sesuai dengan asuhan yang telah diberikan ibu mengerti atas
penjelasan yang disampaikan dan akan melaksanakan anjuran yang
diberikan. Berdasarkan data diatas tidak ditemukan kesenjangan
antara teori dan kasus dalam penatalaksanaan dan evaluasi.
Setelah melakukan asuhan kebidanan pada bayi Ny.S umur 5
hari lahir spontan cukup bulan sesuai masa kehamilan dengan
hyperbilirubinemia sesuai dengan standa pelayanan bayi baru lahir /
neonatus ditemukan bahwa bayi sekarang dalam masa neonatus
dengan hasil pemeriksaan didapat mengalami hiperbilirubinemia.
Pemeriksaan fisik ditemukan tubuh bayi tampak kuning sampai
dengan lengan dan kaki di bawah dengkul termasuk sklera matanya
dan didukung dengan data penunjang dengan hasil bilirubin total 13,2
mg/dL yang mana normalnya kadar bilirubin serum kurang dari 12
mg/dL untuk bayi cukup bulan dan kurang dari 10 mg/dL untuk bayi
kurang bulan.
Setelah melakukan pengkajian dari data subyektif dan obyektif
melalui tahap pengumpulan data, wawancara, observasi,
pemeriksaan umum dan pemeriksaan fisik dapat ditegakkan diagnosa
yaitu bayi Ny.S umur 5 hari lahir spontan cukup bulan sesuai masa
kehamilan dengan hyperbilirubinemia, bayi baru lahir / neonatus
patologis tidak ada kesenjangan teori dengan prakteknya, terbukti
semua anamnesa sudah terkaji dengan baik.
Dalam identifikasi masalah ditemukan masalah
hiperbilirubinemia. Pada masalah potensial ditemukan suatu masalah
bayi tampak kuning sampai dengan lengan dan kaki di bawah dengkul
termasuk sklera matanya dan didukung dengan data penunjang
dengan hasil bilirubin total 13,2 mg/dL pada rumus kremer yaitu
sampai derajat 4 sehingga dalam identifikasi kebutuhan segera
memerlukan tindakan segera yaitu melakukan fototerapi 36 jam.
Intervensi didapatkan penulis mengintervensi sesuai apa yang

50
dibutuhkan klien, pada dasarnya intervensi yang disusun sesuai
dengan penatalaksanaan pada umumnya. Pada langkah ini penulis
tidak menemukan adanya kesenjangan antara teori dan praktek.
Setelah merencanakan dalam langkah berikutnya yaitu
implementasi telah dilakukan tindakan sesuai protap dan kebutuhan
klien serta senantiasa menghargai klien sehingga hubungan antara
petugas dan klien terjalin dengan baik, dan tidak ditemukan
kesenjangan antara teori dan praktek. Pada langkah terakhir yaitu
evaluasi petugas melakukan penilaian kembali dengan wawancara
serta observasi keadaan klien dan tidak ditemukan kesenjangan
antara teori dan praktek.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam kasus kasus ini, penulis memahami tentang asuhan yang diberikan
pada masa nifas. Asuhan kebidanan yang diberikan pada Bayi Ny.S umur 5
hari berjalan sesuai teori. Selain itu, dari penatalaksanaan kasus ini kami
dapat:
1. Asuhan kebidanan pada Bayi Ny.S Usia 5 Hari Lahir Spontan dengan
hiperbilirubinemia dilakukan berdasarkan pengkajian dan pemeriksaan
fisik, sehingga penanganan yang diberikan berdasarkan kebutuhan di
RSUD Wonosari.

51
2. Asuhan kebidanan pada dapat diidentifikasi diagnosis kebidanan yaitu
kasus bayi baru lahir atau neonatus hari ke-5 Bayi Ny.S dan masalah
kebidanan yaitu Bayi Ny.S mengalami hiperbilirubinemia di RSUD
Wonosari.
3. Asuhan kebidanan pada bayi baru lahir atau neonatus hari ke-5 Bayi Ny.S
dapat diidentifikasi masalah potensial yaitu kern ikterus di RSUD
Wonosari.
4. Asuhan kebidanan pada bayi baru lahir atau neonatus hari ke-5 Bayi Ny.S
dapat menentukan kebutuhan segera yaitu fototerapi 36 jam di RSUD
Wonosari.
5. Asuhan kebidanan pada bayi baru lahir atau neonatus dengan membuat
rencana tindakan yaitu melakukan fototerapi 36 jam di RSUD Wonosari.
6. Asuhan kebidanan pada bayi baru lahir atau neonatus hari ke-5 dengan
melaksanakan tindakan yaitu memberikan tindakan fototerapi 36 jam di
RSUD Wonosari.
7. Asuhan kebidanan pada bayi baru lahir atau neonatus hari ke-5 Bayi Ny.S
dengan pasien mengalami hiperbilirubinemia dan dilakukan fototerapi 36
jam di RSUD Wonosari.
8. Asuhan kebidanan pada bayi bary lahir atau neonatus hari ke-5 Bayi Ny.S
dengan melakukan pendokumentasian sesuai keadaan pasien secara
SOAP di RSUD Wonosari.

B. Saran
1. Bagi Perawat RSUD Wonosari
RSUD Wonosari diharapkan dapat memberikan pelayanan yang
maksimal dengan cara meningkatkan mutu pelayanan dengan
manajemen keperawatan secara tepat dan professional, sehingga
keluarga pasien merasa puas dan nyaman dengan hasil pelayanan
yang diberikan khususnya pada bayi baru lahir atau neonatu. Selain
itu juga diharapkan dapat terus mempertahankan dan melakukan
penatalaksanaan kasus tersebut meski dalam pandemi covid-19
dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.
2. Bagi Mahasiswa

52
Diharapkan lebih memperdalam/mengusai ilmu dan teori tentang bayi
baru lahir atau neonatus patologis. Mahasiswa diharapkan semakin
menguatkan teori yang telah dipelajari dan dapat mengobservasi
kasus dilahan. Selain itu mahasiswa mampu mengaplikasikannya
sehingga ketika terjadi masalah diharapkan dapat mengkaji setiap
informasi yang dapat menunjang analisa dengan rinci sehingga
pendokumentasian dapat dilakukan sesuai dengan manajemen
langkah varney dan dapat memberikan asuhan yang sesuai
kebutuhan pasien sesuai standar asuhan pelayanan.

DAFTAR PUSTAKA

Kartini B. Indikator Kesehatan SDGs di Indonesia. 2017;


Kesehatan D. 2017 Survei Demografi dan. 2017.
Marmi dan KR. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Pra
Sekolah.Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2015.
Roselina, Elsa D. Hubungan Jenis Persalinan dan Prematuritas dengan
Hiperbilirubinemia di RS Persahabatan.
Rohani, Siti dan RW. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Ikterus
Neonatus.

53
Widagdo. Tatalaksana Masalah Penyakit Anak dengan Ikterus. Jakarta:CV.
Agung Seto; hal. 2012.
Kosim MS. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2014.
Arvin KB. Nelson Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: EGC; 2012.
Manggiasih VA dan PJ. Buku Ajar Asuhan Kebidanan pada Neonatus, Bayi,
Balita dan Anak Pra Sekolah. Jakarta: Trans Media Info; 2016.
Tazami R. Gambaran Faktor Risiko Ikterus Neonatorum di Ruang Perinatologi
RSUD Mattaher Jambi.
Maryunani A dan EP. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: CV Trans Info Media; 2013. .
Bahar, Ika Nurfitri. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Ikterus pada
Neonatus di RSKDIA Siti Fatimah Makassar. 2017;
Dewi, V.L.N. (2014). Asuhan Neonatus Bayi Dan Anak Balita. Jakarta: EGC.
Wijayaningsih, K.S. (2013). Asuhan Keperawatan Anak. Jakarta: Trans Info
Media.
Azlin, E. 2011. Efektivitas Fototerapi Ganda Dan Fototerapi Tunggal Dengan
Tiraii Pemantul Sinar Pada Neonatus yang Mengalami Jaundice. Medan:
FIK USU.
Teacher T. Asuhan Kebidanan pada Bayi Baru Lahir. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar; 2012.

54

Anda mungkin juga menyukai