RESUME
Di Susun Oleh :
1
TAKHRIJ HADITS
Takhrij secara bahasa merupakan bentuk masdar dari kata kata kerja KHARRAJA-
YUKHARRIJU-
TAKHRIJAN, Yang berarti nampak dan jelas. Dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah
disebutkan, takhrij
Adalah: "menjadikan sesuatu keluar dari sesuatu tempat ; atau menjelaskan suatu
masalah [1]"
Jadi, ada dua hal yang dikaji dalam takhrij hadits. Pertama, menunjukkan letak
hadits dalam kitab-
kitab primer hadits. Kedua, menilai derajat hadits tersebut jika diperlukan.
2
Tujuan pertama dari takhrij hadits adalah mengetahui derajat suatu hadits, apakah
maqbul atau
mardud. Sebenarnya takhrij tidak hanya untuk hadits saja, tetapi juga kepada
perkataan yang di-
2. Dapat diketahui suatu hadits, apakah shahih li dzatih atau shahih li ghairih, hasan li
dzatih, atau
hasan li ghairih. Demikian juga akan dapat diketahui istilah hadits mutawatir,
masyhur, aziz, dan
gharib-nya.
4. Dapat diketahui pula hadits yang semula dhaif dari satu jalur, ternyata ada jalur lain
yang hasan atau
shahih.
1. Taghliq at- Ta'lia, karya: al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asqalani ( w. 852 H).
Kitab ini menerang
kan tentang hadits-hadits yang disinyalir mu'allah dalam kitab Shahih Bukhari yang
jumlahnya sekitar
3
2. Al-'ujan fi Takhrij ma yaqulu fihi at- Tirmidizi, karya al-Hafidz Ahmad bin Ali bin
Hajar al- Asqalani
3. Nushbu ar- Payah Li Ahadits al- Hidayah, karya: Abdullah bin Yusuf az- Zailaghi ( w.
726 H). Kitab ini
merupakan takhrij dari kitab al-Hidayah karya Ali bin Abu Bakar al- Marghinani (
w. 593 H).
4. Al-Badru al-Munir, karya: Sirajuddin in al-Mulaqqan (w. 804 H). Kitab ini mentakhrij
hadits-hadits yang
ada di kitab as- Syarhu al-Kabir atau Fatih al- Aziz bi Syarhi al-Wajiz karya Abdul
Karir ar-Rafi'i
(w. 623 H). Kitab as-Syarhu al-Kabir ini merupakan syariah dari kitab al-Wajiz karya
imam Abu Hamid
5. At-Talkhish al-Habir, al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani ( w. 852). Kitab
ini juga mentakhrij
hadits-hadits yang ada di kitab as-Syarhu al-Kabir atau Fathu al- Aziz bi Syarhi al-
Wajiz karya Abdul
Kitab ini mentakhrij kitab ihya' Ulum ad-Din karya Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505
H).
Syamsuddin as-Sakhawi ( w. 902 H). Kitab ini mentakhrij hadits-hadits masyhur dalam
masyarakat.
4
E. Kitab-kitab Yang Membicarakan Teori Takhrij
Muhammad Abdullatif.
3. Thuruq Takhrij Haditsi Rasulillah, karya: Abdul Maaf bin Abdul Qadir.
Ilmu apa saja yang harus dikuasai jika ingin melakukan takhrij ?
📌 Pertama yang j elas adalah Bahasa Arab. Karena literatur yang dipakai dalam
takhrij hadits
adalah Kitab-kitab yang berbahasa Arab. Kedua, adalah ilmu Ushul al-Hadits atau
lebih dikenal
dengan ilmu Mushthalah Hadits. Ketiga, lebih spesifik lagi adalah ilmu at -
Tarajum dan ilmu
al- Jarhi wa at- Ta'dil. Ilmu ini berkaitan dengan rawi dari setiap hadits yang akan
kita takhrij,
masa hidupnya dan penilaian ulama terhadapnya. Itulah kualifikasi dasar yang
harus dimiliki
Seseorang jika ingin mentakhrij hadits Nabi[3].
Apakah takhrij hadits termasuk ilmu baru dalam islam?
📌 Bisa dikata kan iya, bisa tidak. Dikatakan ilmu baru karena memang ilmu ini
belum berkembang
pada masa awal islam. Tetapi bisa dikatakan tidak baru, karena semangat dasar
takhrij sudah ada
5
Apakah benar dari Nabi Muhammad atau palsu.
Bisa dikatakan Abu Bakar as- Shiddiq adalah orang pertama dari shahabat Nabi
yang selektif
dalam menerima informasi hadits dari Nabi, jika beliau tidak langsung
mendengarnya. Hal itu
(Abu Bakar as- Shiddiq) adalah orang pertama yang berhati-hati dalam menerima
kabar dari
Nabi. Sampai akhirnya takhrij hadits ini berkembang pesat pada abad ke-8 dan
ke-9
Hijriyyah.[5]
6
DAFTAR PUSTAKA
[1] Louis Ma'luf, al- Munjid fi al- A'lam, (Beirut: Dar al-Masyariq. 1986), h. 172.
[2] Mahmud al- Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasah Al- Asanid, (Riyadh: Martabah al-
Maarif,1991), h.10.
[3] Hatim bin Arif al-Auni, at-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, (Maktabah Syamilah ), h. 2.
[4] Syamsuddin ad-Dzahabi, Tadzkirat al-Huffadz, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1419),
juz 1, h.9
[5] Muhammad bin Dhafir as-Syahri, Ilmu at-Takhrij wa Dsuruh fi Hifdzi as-Sunnah an-
Nabawiyyah, h. 6
7
8