Anda di halaman 1dari 232

MENGENAL HUKUM KETENAGAKERJAAN INDONESIA

OLEH:
GEDE ARYA WIRYANA, SH., MH., MHRM

DITERBITKAN:

DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KOTA MOJOKERTO

2015

1
UCAPAN TERIMA KASIH

Penyusunan Buku Mengenal Hukum Ketenagakerjaan Indonesia yang diterbitkan oleh Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Mojokerto tahun 2015 ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
positif guna pemahaman ketenagakerjaan bagi para pelaku hubungan industrial serta menambah
khazanah ilmu pengetahuan ketenagakerjaan di Indonesia.

Buku Mengenal Hukum Ketenagakerjaan Indonesia ini akan menjabarkan berbagai peraturan
perundangan tentang ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia termasuk peraturan utama
ketenagakerjaan Indonesia yaitu Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terutama
yang berkaitan dengan perlindungan ketenagakerjaan.

Untuk penjabaran ini sendiri menggunakan sumber utama dari ketentuan yang berlaku tersebut
termasuk dari Penjelasan setiap Pasal yang kemudian disusun ulang oleh Penyusun mulai dari tema yang
menarik bagi para pelaku hubungan industrial.

Pada Bab I Buku Mengenal Hukum Ketenagakerjaan Indonesia ini akan membahas tentang
konsep ketenagakerjaan di Indonesia. Bab II akan menjabarkan tentang pengupahan. Pada Bab III sarana
hubungan industrial. Sedangkan pada Bab IV mendiskusikan perihal syarat kerja pada peraturan
perusahaan. Pada Bab V tentang pengetahuan ketenagakerjaan secara umum yang disusun berdasarkan
Himpunan Pertanyaan Seputar Ketenagakerjaan. Ketentuan tentang pengaturan ketenagakerjaan bagi
penyandang disabilitas akan dijabarkan pada BAB VI.

Lampiran Buku Mengenal Hukum Ketenagakerjaan Indonesia ini akan berisi tentang definisi
penting pada hukum ketenagakerjaan di Indonesia serta beberapa lampiran lainnya yaitu peraturan
perundangan ketenagakerjaan di Indonesia.

Penyusunan ini memang belum mencakup keseluruhan dan masih banyak kekurangannya,
untuk itu saran dan masukan yang membangun dari para pihak sangat diperlukan.

Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada:

2
1. Bapak Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Mojokerto beserta jajarannya
yang memberikan dorongan semangat serta petunjuk untuk penyelesaian buku ini;

2. Istriku Ratih Maria Dhewi yang disela kesibukan penyusunan desertasi S3 bidang Human
Resource Management pada University of Canberra, Australia tidak hentinya
memberikan inspirasi dan motivasi dalam penyusunan buku ini;

3. Civitas akademisi University of Canberra, Australia yang telah memberikan pengetahuan


mendasar kepada Penyusun tentang pengelolaan sumber daya manusia secara teori dan
praktek;

4. Para pelaku hubungan industrial di Kota Mojokerto;

5. Semua pihak terkait yang telah memberikan saran dan masukkan terhadap
pembentukan buku ini.

Akhir kata semoga penyusunan buku ini dapat bermanfaat guna pencapaian hubungan industrial
yang harmonis di Indonesia serta dapat menjadi referensi pengembangan konseptual sekaligus
operasional di bidang ketenagakerjaan yang dinamis dimasa depan.

Surabaya, 3 November 2015

ttd

Gede Arya Wiryana, SH., MH., MHRM

Mediator Hubungan Industrial pada Disnakertrans Kota Mojokerto

3
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman sampul depan ...................................................... 1

Halaman Ucapan Terima Kasih ……………………………………………………. 2

Halaman Daftar Isi ...................................................... 4

BAB I KONSEP KETENAGAKERJAAN INDONESIA ....................................... 5

BAB II PENGUPAHAN ………………………………………………. 15

BAB III SARANA HUBUNGAN INDUSTRIAL ……………………. ........................... 32

BAB IV SYARAT KERJA PADA PERATURAN PERUSAHAAN ……………………….. 62

BAB V HIMPUNAN PERTANYAAN SEPUTAR KETENAGAKERJAAN …………… 127

BAB VI PENGATURAN KETENAGAKERJAAN BAGI

PENYANDANG DISABILITAS ………………………………………………… 193

Definisi

Daftar Pustaka

Riwayat Hidup Penulis

Lampiran Perundangan

4
BAB I

KONSEP KETENAGAKERJAAN INDONESIA

Riwayat ketenagakerjaan Indonesia telah mengalami proses pembentukkan yang sangat

panjang dimulai pada masa penjajahan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda. Saat itu sistem

ketenagakerjaan yang berlaku mengijinkan mekanisme pola perbudakaan oleh Pemberi Kerja.

Berdasarkan catatan sejarah ketenagakerjaan di Indonesia tercatat pada tahun 1817

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda secara resmi untuk pertamakalinya mengeluarkan sebuah

aturan khusus yang mengatur ketenagakerjaan di Indonesia yaitu berupa aturan tentang

pelarangan memasukkan budak ke Pulau Jawa guna membatasi perkembangan budak di Pulau

Jawa.

Menyusul tahun 1819 terbit peraturan tentang pendaftaran budak, kemudian berturut-

turut pada tahun 1829 tentang perlindungan terhadap budak yang masih kanak-kanak dengan

larangan mengangkut mereka untuk dipindahkan dengan kapal ke tempat lain. Setelah itu

melalui Regreling Reglement (RR) tahun 1830 Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan

ketentuan yang memberikan hak kepada Pemerintah untuk menjalankan kerja rodi di bidang

perkebunan guna peningkatan hasil. Pada tahun 1848 kembali Pemerintah Kolonial Belanda

mengeluarkan aturan ketenagakerjaan tentang pembebasan perbudakan bagi pelaut yang

dijadikan budak.

5
Pada tahun 1854 dalam Regeringsreglement 1854 Pasal 115 sampai 117, mengikuti

perkembangan di wilayah jajahan Inggris dan Prancis, Pemerintah Kolonial Belanda kemudian

merubah arah sistem ketenagakerjaan di Indonesia dengan menyebutkan bahwa perbudakan

dihapuskan paling lambat 1 Januari 1860. Aturan ini diperkuat kembali pada Pasal 169 sampai

Pasal 171 Indische Staatsregeling 1926 bahwa sudah tidak boleh lagi ada perbudakan dalam

bentuk apapun juga diwilayah Hindia Belanda.

Sesaat setelah aturan tahun 1854 diberlakukan, dimana perbudakan dihapuskan

terhitung sejak 1 Januari 1860, istilah budak untuk tenaga kerja Indonesia berubah menjadi kuli

atau dalam bahasa Belanda yaitu koeli. Para koeli ini memiliki hak atas upah dan kebebasan

sebagai orang merdeka. Meskipun demikian para kuli masih dapat dipaksa bekerja paksa

sewaktu-waktu jika diperlukan dan tidak boleh meninggalkan tempat kerja paksa yang telah

ditentukan. Algemene Politie Strafreglement tahun 1872 Nomor 111 menentukan bahwa

apabila jika seseorang di tanah Hindia Belanda tanpa alasan menolak melaksanakan

pekerjaannya dapat dipidana berat.

Pada saat Algemene Politie Strafreglement pada tahun 1872 diberlakukan, jauh dari

Hindia Belanda tepatnya di belahan bumi Amerika Utara, kaum pekerja/buruh seluruh dunia

sedang bergiat menuntut tentang perbaikan upah dan jam kerja. Dibawah pimpinan Peter J.

McGuire, pekerja/buruh menuntut hak kerja yang lebih baik yaitu delapan jam bekerja, delapan

jam istrahat dan delapan jam rekreasi untuk keluarga.

Menyikapi perkembangan hubungan kerja di dunia saat itu serta untuk meredam aksi

serupa diwilayah Hindia Belanda, maka pada tahun 1880 kembali Pemerintah Kolonial Belanda

6
mengeluarkan aturan Koeli Ordonantie guna memperkuat ketentuan Algemene Politie

Strafreglement tahun 1872 . Dua tahun setelah Koeli Ordonantie diberlakukan pada saat yang

sama di Negara Amerika Serikat, tepatnya Kota New York ,pada 5 September 1882, para kaum

pekerja/buruh berhasil melakukan parade terbesar menuntut perbaikan jam kerja menjadi

delapan jam sehari.

Hukum ketenagakerjaan pada masa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda ini berakhir

saat Belanda dikalahkan oleh Jepang pada tahun 1942. Setelah Indonesia merdeka pada 17

Agustus 1945, secara jelas Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan

penghapusan perbudaan dari seluruh tumpah darah Indonesia dan setiap warga negara berhak

atas penghidupan dan pekerjaan yang layak.

Pada masa saat ini pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia dilaksanakan dalam

rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia

seluruhnya sebagai bagian integral dari pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat

yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Konsep dasar pembangunan ketenagakerjaan ini sendiri bertujuan untuk

memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi,

mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan

kebutuhan pembangunan nasional dan daerah, memberikan perlindungan kepada tenaga kerja

dalam mewujudkan kesejahteraan, dan meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan

keluarganya.

7
Penyelenggaraan pembangunan ketenagakerjaan ini oleh Pemerintah diselenggarakan

atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral antara Pusat dan

Daerah mengingat Indonesia menganut konsep otonomi daerah dalam pembagian kewenangan

pembangunan.

Dalam upaya pencapaian tujuan pembangunan ketenagakerjaan dimaksud sebagaimana

dijelaskan sebelumnya Pemerintah Republik Indonesia memahami tenaga kerja mempunyai

peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Sesuai

dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja ini maka Pemerintah Repulik Indonesia kemudian

mengambil kebijakan diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas

tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan.

Upaya strategis untuk mewujudkan hal tersebut yaitu melalui peningkatan perlindungan

tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan melalui

berbagai peraturan perundangan. Perlindungan terhadap tenaga kerja ini dimaksudkan untuk

menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan

tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan

keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Ini berarti

Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan

perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang

bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Selain

itu kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah harus mampu pula menjamin setiap tenaga

kerja di Indonesia memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh

8
pekerjaan guna peningkatan kesejahteraan serta berhak memperoleh perlakukan yang sama

tanpa diskriminasi dari pengusaha.

Mengingat banyak dimensi dan keterkaitan dalam Pembangunan ketenagakerjaan,

maka untuk itu diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain

mencakup pengembangan sumberdaya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing

tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga

kerja, dan pembinaan hubungan industrial.

Pembinaan hubungan industrial sebagai bagian dari pembangunan ketenagakerjaan

harus diarahkan untuk terus mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan

berkeadilan. Mengingat hal tersebut pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia

sebagaimana yang dituangkan dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 harus diwujudkan.

Dalam bidang ketenagakerjaan, ketetapan MPR ini merupakan tonggak utama dalam

menegakkan demokrasi di tempat kerja.

Penegakkan demokrasi di tempat kerja ini diharapkan oleh Pemerintah dapat

mendorong partisipasi yang optimal dari seluruh tenaga kerja dan pekerja/buruh Indonesia

untuk membangun negara Indonesia yang dicita-citakan.

Sejalan dengan hal tersebut Pemerintah Republik Indonesia menyadari pula bahwa

beberapa peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan yang berlaku selama ini,

termasuk sebagian yang merupakan produk kolonial, menempatkan pekerja pada posisi yang

kurang menguntungkan dalam pelayanan penempatan tenaga kerja dan sistem hubungan

9
industrial yang menonjolkan perbedaan kedudukan dan kepentingan sehingga dipandang sudah

tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini dan tuntutan masa yang akan datang.

Peraturan perundang-undangan tersebut adalah :

a. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar

Indonesia (Staatsblad tahun 1887 No. 8);

b. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak

Dan Kerja Malam bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);

c. Ordonansi Tahun 1926 Peraturan Mengenai Kerja Anak-anak dan Orang Muda Di

Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);

d. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan-kegiatan

Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);

e. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh yang Diterima atau Dikerahkan Dari Luar

Indonesia (Staatsblad tahun 1939 Nomor 545);

f. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak- anak (Staatsblad

Tahun 1949 Nomor 8);

g. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-

undang Kerja tahun 1948 Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk Seluruh

Indonesia (Lembaran Negara tahun 1951 Nomor 2);

h. Undang-undang Nomor 21 tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat

Buruh dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 598 a);

10
i. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran

Negara Tahun 1958 Nomor 8);

j. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran

Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);

k. Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan

dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan dan Badan yang Vital

(Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);

l. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 2912);

m. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara

Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);

n. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-

undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara 1998

Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791); dan

o. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-

undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang

Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang (Lembaran

Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042).

Peraturan perundang-undangan tersebut di atas oleh Pemerintah Republik Indonesia

dipandang perlu untuk dicabut dan diganti dengan Undang-undang yang baru. Tentunya

11
ketentuan-ketentuan yang masih relevan dari peraturan perundang-undangan yang lama

kemudian ditampung oleh Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Adapun

peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang telah dicabut masih dinyatakan tetap berlaku

sebelum ditetapkannya peraturan baru sebagai pengganti.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 disamping untuk mencabut ketentuan yang

tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan zaman, dimaksudkan juga untuk

menampung perubahan yang sangat mendasar di segala aspek kehidupan bangsa Indonesia

dengan dimulainya era reformasi tahun 1998 dan mengikuti perkembangan hukum

ketenagakerjaan international.

Di bidang ketenagakerjaan internasional, penghargaan terhadap hak asasi manusia di

tempat kerja dikenal melalui 8 (delapan) konvensi dasar International Labour Organization

(ILO). Konvensi dasar ini terdiri atas 4 (empat) kelompok yaitu:

a. kebebasan berserikat (Konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98);

b. diskriminasi (Konvensi ILO Nomor 100, dan Nomor 111);

c. kerja paksa (Konvensi ILO Nomor 29, dan Nomor 105); dan

d. perlindungan anak (Konvensi ILO Nomor 138 dan Nomor 182 ).

Komitmen bangsa Indonesia terhadap penghargaan pada hak asasi manusia di tempat

kerja antara lain diwujudkan dengan meratifikasi kedelapan konvensi dasar tersebut. Sejalan

dengan ratifikasi konvensi mengenai hak dasar tersebut oleh Pemerintah Republik Indonesia,

maka Undang-undang ketenagakerjaan yang disusun oleh Pemerintah kemudian selalu

mencerminkan ketaatan dan penghargaan pada ketujuh prinsip dasar tersebut.

12
Dalam pembentukan hukum ketenagakerjaan di Indonesia terdapat berbagai hal yang

diatur pada berbagai peraturan ketenagakerjaan guna mewujudkan prinsip dasar

ketenagakerjaan dan ketentuan hukum ketenagakerjaan international yang telah diratifikasi.

Undang-Undang 13 Tahun 2003 yang dianggap sebagai peraturan utama ketenakerjaan di

Indonesia misalnya mengatur banyak hal guna perwujudan prinsip dasar ketenagakerjaan di

Indonesia. Hal yang diatur oleh ketentuan ini yaitu:

1. Landasan, asas, dan tujuan pembangunan ketenagakerjaan;

2. Perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan;

3. Pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi tenaga kerja dan

pekerja/buruh;

4. Pelatihan kerja yang diarahkan untuk meningkatkan dan mengembangkan

keterampilan serta keahlian tenaga kerja guna meningkatkan produktivitas kerja

dan produktivitas perusahaan;

5. Pelayanan penempatan tenaga kerja dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja

secara optimal dan penempatan tenaga kerja pada pekerjaan yang sesuai dengan

harkat dan martabat kemanusiaan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dan

masyarakat dalam upaya perluasan kesempatan kerja;

6. Penggunaan tenaga kerja asing yang tepat sesuai dengan kompetensi yang

diperlukan;

7. Pembinaan hubungan industrial yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila diarahkan

untuk menumbuhkembangkan hubungan yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan

antar para pelaku proses produksi;

13
8. Pembinaan kelembagaan dan sarana hubungan industrial, termasuk Perjanjian Kerja

Bersama, lembaga kerja sama bipartit, lembaga kerja sama tripartit,

pemasyarakatan hubungan industrial dan penyelesaian perselisihan hubungan

industrial;

9. Perlindungan pekerja/buruh, termasuk perlindungan atas hak-hak dasar

pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha, perlindungan keselamatan, dan

kesehatan kerja, perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan

penyandang cacat, serta perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan

sosial tenaga kerja;

10. Pengawasan ketenagakerjaan dengan maksud agar dalam peraturan perundang-

undangan di bidang ketenagakerjaan ini benar-benar dilaksanakan sebagaimana

mestinya.

14
BAB II

PENGUPAHAN

Pembahasan tentang upah ditempatkan oleh Penyusun pada pokok bahasan berikutnya

Mengenal Hukum Ketenagakerjaan Indonesia mengingat kebijakan pengupahan telah menjadi

salah satu perhatian utama para pelaku hubungan industrial di Indonesia.

Dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2015

tentang Pengupahan menjelasakan Upah merupakan salah satu aspek yang paling utama di

dalam Hubungan Kerja. Berbagai pihak yang terkait melihat Upah dari pandangan yang

berbeda. Pekerja/Buruh melihat Upah sebagai sumber penghasilan guna memenuhi kebutuhan

hidup Pekerja/Buruh dan keluarganya. Secara psikologis dan teori peningkatan Sumber Daya

Manusia Upah dipandang dapat menciptakan kepuasan bagi Pekerja/Buruh. Di lain pihak,

Pengusaha melihat Upah sebagai salah satu bagian biaya produksi. Pemerintah sendiri melihat

Upah, di satu pihak selain untuk tetap dapat menjamin terpenuhinya kehidupan yang layak bagi

Pekerja/Buruh dan keluarganya, berusaha pula agar dapat meningkatkan produktivitas

Pekerja/Buruh, dan meningkatkan daya beli masyarakat serta keberlangsungan dunia usaha.

Dengan melihat berbagai kepentingan yang berbeda tersebut, pemahaman sistem

pengupahan serta pengaturannya sangat diperlukan untuk memperoleh kesatuan pengertian

dan penafsiran terutama antara Pekerja/Buruh dan Pengusaha. Tentunya agar terpenuhinya

kehidupan yang layak, penghasilan Pekerja/Buruh harus dapat memenuhi kebutuhan fisik, non

15
fisik dan sosial, yang meliputi makanan, minuman, sandang, perumahan, pendidikan,

kesehatan, jaminan hari tua, dan rekreasi. Sementara kebijakan pengupahan harus pula

mengakomodasi investasi dan keberlangsungan dunia usaha termasuk kesejahteraan

Pengusaha.

Definisi Upah secara ketentuan peraturan perundangan ketenagakerjaan Indonesia

dijelaskan bahwa Upah adalah hak Pekerja/Buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk

uang sebagai imbalan dari Pengusaha atau Pemberi Kerja kepada Pekerja/Buruh yang

ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan

perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi Pekerja/Buruh dan keluarganya atas suatu

pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

Adapun Komponen Upah terdiri atas komponen:

a. upah tanpa tunjangan;

b. upah pokok dan tunjangan tetap; atau

c. upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap.

Yang dimaksud dengan “tunjangan tidak tetap” adalah suatu pembayaran yang secara

langsung atau tidak langsung berkaitan dengan Pekerja/Buruh, yang diberikan secara tidak

tetap untuk Pekerja/Buruh dan keluarganya serta dibayarkan menurut satuan waktu yang tidak

sama dengan waktu pembayaran Upah pokok, seperti tunjangan transport dan/atau tunjangan

makan yang didasarkan pada kehadiran.

16
Sedangkan yang dimaksud dengan “Upah pokok” sendiri adalah imbalan dasar yang

dibayarkan kepada Pekerja/Buruh menurut tingkat atau jenis pekerjaan yang besarnya

ditetapkan berdasarkan kesepakatan.

“Tunjangan tetap” adalah pembayaran kepada Pekerja/Buruh yang dilakukan secara

teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran Pekerja/Buruh atau pencapaian prestasi kerja

tertentu.

Dalam hal komponen Upah terdiri dari Upah pokok dan tunjangan tetap besarnya Upah

pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah Upah pokok dan tunjangan

tetap. Dalam hal komponen Upah terdiri dari Upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak

tetap, besarnya Upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah Upah

pokok dan tunjangan tetap. Ketentuan pokok komponen Upah ini dapat pada diatur dalam

Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

Selain Komponen Upah diatas, Pengusaha dapat memberikan Pendapatan Non Upah

kepada Pekerja/Buruh sebagaimana yang ditentukan oleh peraturan perundangan. Pendapatan

non Upah merupakan penerimaan Pekerja/Buruh dari pemberi kerja dalam bentuk uang untuk

pemenuhan kebutuhan keagamaan, memotivasi peningkatan produktivitas, atau peningkatan

kesejahteraan Pekerja/Buruh dan keluarganya.

Pendapatan Non Upah ini dapat berupa tunjangan hari raya keagamaan. Tunjangan hari

raya keagamaan wajib diberikan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh. Tunjangan hari raya

keagamaan wajib dibayarkan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari raya keagamaan.

17
Selain tunjangan hari raya keagamaan, Pengusaha dapat memberikan pendapatan Non

Upah yang lainnya berupa:

a. bonus. Bonus dapat diberikan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh atas

keuntungan Perusahaan. Penetapan perolehan bonus untuk masing-masing

Pekerja/Buruh diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian

Kerja Bersama;

b. uang pengganti fasilitas kerja. Perusahaan dapat menyediakan fasilitas kerja bagi

Pekerja/Buruh dalam jabatan/pekerjaan tertentu atau untuk seluruh Pekerja/Buruh.

Dalam hal fasilitas kerja bagi Pekerja/Buruh tidak tersedia atau tidak mencukupi,

Perusahaan dapat memberikan uang pengganti fasilitas kerja. Penyediaan fasilitas

kerja dan pemberian uang pengganti fasilitas kerja ini diatur dalam Perjanjian Kerja,

Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama;

c. uang servis pada usaha tertentu. Uang servis pada usaha tertentu. Uang servis pada

usaha tertentu wajib dibagikan kepada Pekerja/Buruh setelah dikurangi risiko

kehilangan atau kerusakan dan pendayagunaan peningkatan kualitas sumber daya

manusia.

Untuk Penetapan Upah sendiri ditetapkan berdasarkan:

a. satuan waktu. Upah berdasarkan satuan waktu ditetapkan secara harian,

mingguan, atau bulanan. Dalam hal Upah ditetapkan secara harian, perhitungan

Upah sehari sebagai berikut: bagi Perusahaan dengan sistem waktu kerja 6

(enam) hari dalam seminggu, Upah sebulan dibagi 25 (dua puluh lima) atau bagi

18
Perusahaan dengan sistem waktu kerja 5 (lima) hari dalam seminggu, Upah

sebulan dibagi 21 (dua puluh satu). Penetapan besarnya Upah berdasarkan

satuan waktu dilakukan dengan berpedoman pada struktur dan skala Upah;

dan/atau berpedoman pada:

b. satuan hasil. Upah berdasarkan satuan hasil ditetapkan sesuai dengan hasil

pekerjaan yang telah disepakati. Penetapan besarnya Upah dilakukan oleh

Pengusaha berdasarkan hasil kesepakatan antara Pekerja/Buruh dengan

Pengusaha. Penetapan Upah sebulan berdasarkan satuan hasil dalam untuk

pemenuhan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan ditetapkan

berdasarkan Upah rata-rata 3 (tiga) bulan terakhir yang diterima oleh

Pekerja/Buruh.

Sedangkan untuk cara Pembayaran Upah sebagaimana juga telah ditentukan oleh

ketentuan peraturan perundangan yaitu wajib dibayarkan langsung kepada Pekerja/Buruh yang

bersangkutan. Pada saat pembayaran ini Pengusaha wajib memberikan bukti pembayaran Upah

yang memuat rincian Upah yang diterima oleh Pekerja/Buruh. Pengecualian ini dapat berlaku

dengan ketentuan Upah dapat dibayarkan kepada pihak ketiga dengan surat kuasa dari

Pekerja/Buruh yang bersangkutan. Pelu diingat bahwa surat kuasa ini hanya berlaku untuk 1

(satu) kali pembayaran Upah.

Pengusaha memiliki kewajiban pula membayar Upah harus dilakukan dengan mata uang

Rupiah Negara Republik Indonesia guna menjamin penguatan nilai tukar mata uang Indonesia

dan dilakukan pada waktu yang telah diperjanjikan antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh. Ini

19
berarti Upah Pekerja/Buruh harus dibayarkan seluruhnya pada setiap periode dan per tanggal

pembayaran Upah dalam bentuk Rupiah.

Dalam hal hari atau tanggal yang telah disepakati jatuh pada hari libur atau hari yang

diliburkan, atau hari istirahat mingguan, maka pelaksanaan pembayaran Upah dapat diatur

dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama yang disepakati.

Dalam hal tempat pembayaran Upah tidak diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan

Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud diatas, maka pembayaran

Upah dilakukan di tempat Pekerja/Buruh biasanya bekerja dan Upah dapat dibayarkan secara

langsung atau melalui bank.

Dalam hal Upah dibayarkan melalui bank, maka Upah harus sudah dapat diuangkan oleh

Pekerja/Buruh pada tanggal pembayaran Upah yang disepakati kedua belah pihak sehingga

tidak ada hak yang timbul atas pengupahan ini terabaikan.

Segala ketentuan pembayaran Upah yang dilakukan oleh Pengusaha ini hanya dapat

dilakukan dalam jangka waktu paling cepat seminggu 1 (satu) kali atau paling lambat sebulan 1

(satu) kali kecuali bila Perjanjian Kerja untuk waktu kurang dari satu minggu.

Penentuan segala bentuk pengupahan sebagaimana dijelaskan diatas ini guna menjamin

Pengusaha memenuhi kewajibannya dalam hal pengupahan. Secara teori ketenagakerjaan pada

dasarnya hak Pekerja/Buruh atas upah timbul pada saat terjadi hubungan kerja antara

Pekerja/Buruh dengan Pengusaha dan berakhir pada saat Putusnya Hubungan Kerja (PHK).

20
Aturan dasar perihal pengupahan yang diberlakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia ini

guna penjamin hak Pekerja/Buruh.

Perihal pengupahan ini Pemerintah mengatur lebih jauh pula bahwa Pengusaha wajib

membayar Upah apabila Pekerja/Buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan

tetapi Pengusaha tidak mempekerjakannya, karena kesalahan sendiri atau kendala yang

seharusnya dapat dihindari Pengusaha.

Yang dimaksud disini dengan “Pekerja/Buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah

dijanjikan tetapi Pengusaha tidak mempekerjakannya” misalnya Pekerja/Buruh yang

diperintahkan untuk membongkar muatan kapal akan tetapi karena sesuatu hal kapal tersebut

tidak datang, maka Pengusaha harus membayar Upah Pekerja/Buruh.

Untuk ketentuan yang lain tentang pengupahan ini berbunyi Upah tidak dibayar apabila

pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. Ketentuan ini tidak berlaku, dan Pengusaha wajib

membayar upah apabila:

a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa

haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan,

mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran

kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau

mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;

21
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan

kewajiban terhadap negara;

e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah

yang diperintahkan agamanya;

f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi

pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun

halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;

g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;

h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas

persetujuan pengusaha; dan

i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

Kewajiban yang ditentukan oleh peraturan perundangan dalam bentuk pengupahan

sebagaimana yang dijelaskan diatas pada pelaksanaannya dapat diatur lebih lanjut selain yang

tercantum dalam peraturan perundangan melalui penetapan pada perjanjian kerja, Peraturan

Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

Untuk pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara Pengusaha

dan Pekerja/Buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh tentunya tidak boleh lebih rendah dari

ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam hal kesepakatan lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan Pengusaha wajib membayar

upah Pekerja/Buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

22
Ketentuan Pemerintah yang melakukan pelarangan perjanjian pengupahan dibawah

ketentuan peraturan perundangan oleh para pihak, meskipun dengan dalih suatu perjanjian

adalah hukum bagi para pihak, mengingat upah adalah salah satu hal yang termasuk dalam

ranah perlindungan oleh Negara. Negara Republik Indonesia sendiri telah tegas menentukan

setiap Pekerja/Buruh di Indonesia berhak memperoleh upah yang sama untuk pekerjaan yang

sama nilainya dan memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan. Penghasilan yang layak merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan

Pekerja/Buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup

Pekerja/Buruh dan keluarganya secara wajar.

Guna mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan tersebut Pemerintah Republik Indonesia kemudian menetapkan kebijakan

pengupahan yang melindungi pekerja/buruh. Pada hukum ketenagakerjaan Indonesia kebijakan

pengupahan yang melindungi pekerja/buruh meliputi:

a. upah minimum;

b. upah kerja lembur;

c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;

d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;

e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;

f. bentuk dan cara pembayaran upah;

23
g. denda dan potongan upah;

h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;

i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;

j. upah untuk pembayaran pesangon; dan

k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Khusus untuk penetapan Upah Minimum sebagai salah satu ranah kebijakan

perlindungan Negara sebagaimana dijelaskan diatas pada huruf a berfungsi sebagai jaring

pengaman (safety net) agar Upah tidak dibayar lebih rendah dari Upah minimum yang

ditetapkan oleh pemerintah dan juga agar Upah tidak merosot sampai pada tingkat yang

membahayakan gizi Pekerja/Buruh sehingga tidak mengganggu kemampuan kerja.

Penetapan Upah minimum ini dilakukan setiap tahun dan Pemerintah memiliki

kewajiban menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan

memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Kebutuhan hidup layak merupakan standar kebutuhan seorang Pekerja/Buruh lajang

untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan. Kebutuhan hidup layak

terdiri atas beberapa komponen. Komponen dan jenis kebutuhan hidup ini diamanatkan oleh

ketentuan perundangan untuk ditinjau setiap jangka waktu 5 (lima) tahun.

Adapun peninjauan komponen dan jenis kebutuhan hidup layak setiap 5 (lima) tahun

dilakukan oleh Menteri yang bertanggungjwab dibidang ketenagakerjaan ini harus dengan

24
mempertimbangkan hasil kajian yang dilaksanakan oleh Dewan Pengupahan Nasional. Kajian

yang dilaksanakan oleh Dewan Pengupahan Nasional wajib menggunakan data dan informasi

yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.

Pemberlakukan peraturan pengupahan yang baru pada tahun 2015 kemudian

menggariskan pula untuk ketentuann Upah minimum bahwa Penetapan Upah minimum

dihitung dengan menggunakan formula perhitungan Upah minimum. Formula perhitungan

Upah minimum sebagai berikut:

UMn = UMt + {UMt x (Inflasit + % ∆ PDBt)}

Formula ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

UMn : Upah minimum yang akan ditetapkan.

UMt : Upah minimum tahun berjalan.

Inflasit : Inflasi yang dihitung dari periode September tahun yang lalu sampai dengan periode

September tahun berjalan.

∆ PDBt : Pertumbuhan Produk Domestik Bruto yang dihitung dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto yang

mencakup periode kwartal III dan IV tahun sebelumnya dan periode kwartal I dan II tahun berjalan.

Formula perhitungan Upah minimum ini adalah Upah minimum tahun berjalan ditambah dengan hasil perkalian

antara Upah minimum tahun berjalan dengan penjumlahan tingkat inflasi nasional tahun berjalan dan tingkat

pertumbuhan Produk Domestik Bruto tahun berjalan.

Contoh: UMt : Rp. 2.000.000,00 Inflasit : 5% ∆ PDBt : 6% UMn = UMt + {UMt x (Inflasit + % ∆ PDBt)} UMn = Rp.

2.000.000,00 + {Rp. 2.000.000,00 x (5% + 6%)} = Rp. 2.000.000,00 + {Rp. 2.000.000,00 x 11%} = Rp.

2.000.000,00 + Rp. 220.000,00 = Rp. 2.220.000,00

25
Upah minimum tahun berjalan sebagai dasar perhitungan Upah minimum yang akan ditetapkan dalam formula

perhitungan Upah minimum, sudah berdasarkan kebutuhan hidup layak.

Penyesuaian nilai kebutuhan hidup layak pada Upah minimum yang akan ditetapkan tersebut secara langsung

terkoreksi melalui perkalian antara Upah minimum tahun berjalan dengan inflasi tahun berjalan. Upah minimum

yang dikalikan dengan inflasi ini akan memastikan daya beli dari Upah minimum tidak akan berkurang. Hal ini

didasarkan jenis-jenis kebutuhan yang ada dalam kebutuhan hidup layak juga merupakan jenis-jenis kebutuhan

untuk menentukan inflasi. Dengan demikian penggunaan tingkat inflasi dalam perhitungan Upah minimum pada

dasarnya sama dengan nilai kebutuhan hidup layak. Penyesuaian Upah minimum dengan menggunakan nilai

pertumbuhan ekonomi pada dasarnya untuk menghargai peningkatan produktivitas secara keseluruhan. Dalam

pertumbuhan ekonomi terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain peningkatan produktivitas,

pertumbuhan tenaga kerja, dan pertumbuhan modal. Dalam formula ini, seluruh bagian dari pertumbuhan

ekonomi dipergunakan dalam rangka peningkatan Upah minimum. Dalam hal ini yang dimaksud dengan

pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan Produk Domestik Bruto.

Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan Upah minimum dengan menggunakan

formula Upah tersebut akan diatur dengan Peraturan Menteri.

Hal yang terpenting lain untuk diketahui pada Upah minimum ini adalah bahwa Upah

minimum yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai jaring pengamanan sebagaimana dijelaskan

diatas dapat terdiri atas upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota atau

upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota. Upah minimum

dalam penetapannya ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari

Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.

Sebagai pihak yang memiliki kewenangan penetapan Upah minimum, Gubernur sebagai

kepala daerah tingkat Propinsi memiliki kewajiban menetapkan Upah minimum Provinsi

26
berdasarkan ketentuan formula tersebut diatas. Gubernur wajib pula menetapkan Upah

minimum kabupaten/kota. Upah minimum kabupaten/kota pada harus lebih besar dari Upah

minimum provinsi di provinsi yang bersangkutan. Penetapan Upah minimum kabupaten/kota

ini juga dihitung berdasarkan formula perhitungan Upah minimum.

Kewenangan lebih lanjut untuk Gubernur adalah dapat menetapkan Upah minimum

sektoral provinsi dan/atau kabupaten/kota dengan berdasarkan hasil kesepakatan asosiasi

pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh pada sektor yang bersangkutan.

Penetapan Upah minimum sektoral dilakukan setelah mendapat saran dan

pertimbangan mengenai sektor unggulan dari dewan pengupahan provinsi atau dewan

pengupahan kabupaten/kota sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Upah minimum

sektoral provinsi harus lebih besar dari Upah minimum provinsi di provinsi yang bersangkutan.

Upah minimum sektoral kabupaten/kota harus lebih besar dari Upah minimum kabupaten/kota

di kabupaten/kota yang bersangkutan.

Setelah pemberlakukan Upah minimum yang ditetapkan oleh Gubenur maka ada

kewajiban Pengusaha untuk mentaatinya. Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah

dari upah minimum. Meskipun demikian terdapat pengecualian bagi pengusaha yang tidak

mampu membayar upah minimum.

Pengusaha dapat memohon untuk dilakukan penangguhan sesuai dengan persyaratan

yang diatur dengan Keputusan Menteri. Opsi penangguhan ini disebutkan dalam ketentuan

peraturan perundangan ketenagakerjaan Indonesia selain untuk meminimalkan pelanggaran

atas pembayaran upah minimum juga untuk memberikan kelonggaran bagi perusahaan yang

27
memang terbukti berdasarkan syarat yang ditetapkan tidak mampu untuk membayar upah

minimum bagi Pekerja/Buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun.

Jika tidak ada penangguhan maka Pengusaha dianggap mampu untuk melaksanakan

ketentuan Upah minimum untuk Pekerja/Buruh yang masa kerjanya kurang dari 1 (satu) tahun.

Sebagai jaring pengamanan upah kembali perlu digarisbawahi disini adalah upah minimum

hanya berlaku untuk Pekerja/Buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun.

Upah minimum tidak dapat diberlakukan untuk Pekerja/Buruh yang telah memiliki masa

kerja lebih dari 1 (satu) tahun. Untuk Pekerja/Buruh yang melebih masa kerja tersebut maka

Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan

perusahaan dan produktivitas.

Ini berarti peninjauan yang dilakukan oleh Pengusaha secara berkala untuk penyesuaian

harga kebutuhan hidup dan/atau peningkatan produktivitas kerja dengan mempertimbangkan

kemampuan Perusahaan. Peninjauan Upah diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan

Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

Selain melakukan peninjuan Upah, Pengusaha memiliki kewajiban untuk membuat

struktur dan skala upah sehingga Upah Pekerja/Buruh yang telah melebihi masa kerja 1 (satu)

tahun dapat terakomodasi dengan baik. Struktur dan skala Upah wajib disusun oleh Pengusaha

dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.

Struktur dan skala Upah ini wajib diberitahukan kepada seluruh Pekerja/Buruh. Struktur

dan skala Upah harus dilampirkan oleh Perusahaan pada saat permohonan pengesahan dan

28
pembaruan Peraturan Perusahaan atau pendaftaran, perpanjangan, dan pembaruan Perjanjian

Kerja Bersama.

Pokok bahasan selanjutnya hal terpenting lainnya dalam ketentuan perlindungan

pengupahan oleh Negara yang sering terlewatkan para pelaku hubungan industrial adalah Hal-

hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah terdiri atas:

a. denda. Pengenaan denda Pengusaha atau Pekerja/Buruh yang melanggar

ketentuan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja

Bersama karena kesengajaan atau kelalaiannya dikenakan denda apabila diatur

secara tegas dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja

Bersama. Denda kepada Pengusaha atau Pekerja/Buruh dipergunakan hanya

untuk kepentingan Pekerja/Buruh. Jenis-jenis pelanggaran yang dapat dikenakan

denda, besaran denda dan penggunaan uang denda diatur dalam Perjanjian

Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Pengusaha yang

terlambat membayar dan/atau tidak membayar Upah dikenai denda, dengan

ketentuan: mulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung tanggal

seharusnya Upah dibayar, dikenakan denda sebesar 5% (lima persen) untuk

setiap hari keterlambatan dari Upah yang seharusnya dibayarkan; sesudah hari

kedelapan, apabila Upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan

sebelumnya ditambah 1% (satu persen) untuk setiap hari keterlambatan dengan

ketentuan 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi 5% (lima puluh persen) dari Upah

yang seharusnya dibayarkan; dan sesudah sebulan, apabila Upah masih belum

29
dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebelumnya ditambah bunga sebesar

suku bunga yang berlaku pada bank pemerintah. Pengenaan denda tidak

menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap membayar Upah kepada

Pekerja/Buruh. Pengusaha yang terlambat membayar tunjangan hari raya

keagamaan kepada Pekerja/Buruh dikenai denda sebesar 5% (lima persen) dari

total tunjangan hari raya keagamaan yang harus dibayar sejak berakhirnya batas

waktu kewajiban Pengusaha untuk membayar. Pengenaan denda tidak

menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap membayar tunjangan hari raya

keagamaan kepada Pekerja/Buruh;

b. ganti rugi;

c. pemotongan Upah untuk pihak ketiga. Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk

pihak ketiga hanya dapat dilakukan apabila ada surat kuasa dari Pekerja/Buruh.

Surat kuasa tersebut setiap saat dapat ditarik kembali. Surat kuasa dari

Pekerja/Buruh dikecualikan untuk semua kewajiban pembayaran oleh

Pekerja/Buruh terhadap negara atau iuran sebagai peserta pada suatu dana yang

menyelenggarakan jaminan sosial yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk: a.

pembayaran hutang atau cicilan hutang Pekerja/Buruh; dan/atau b. sewa rumah

dan/atau sewa barang-barang milik Perusahaan yang disewakan oleh Pengusaha

kepada Pekerja/Buruh, harus dilakukan berdasarkan kesepakatan tertulis atau

perjanjian tertulis. Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk kelebihan

pembayaran Upah kepada Pekerja/Buruh dilakukan tanpa persetujuan

30
Pekerja/Buruh. Jumlah keseluruhan pemotongan Upah paling banyak 5% (lima

puluh persen) dari setiap pembayaran Upah yang diterima Pekerja/Buruh.

d. uang muka Upah;

e. sewa rumah dan/atau sewa barang-barang milik Perusahaan yang disewakan

oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh;

f. hutang. hutang atau cicilan hutang Pekerja/Buruh kepada Pengusaha; dan/atau

g. kelebihan pembayaran Upah.

Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah pada a, b, dan d, dilaksanakan sesuai

dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

Selain ketentuan diatas, dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, hal-hal yang

dapat diperhitungkan dengan Upah yang menjadi kewajiban Pekerja/Buruh yang belum

dipenuhi dan/atau piutang Pekerja/Buruh yang menjadi hak Pekerja/Buruh yang belum

terpenuhi dapat diperhitungkan dengan semua hak yang diterima sebagai akibat Pemutusan

Hubungan Kerja.

31
BAB III

SARANA HUBUNGAN INDUSTRIAL

Secara definisi Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk

antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur

pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Tujuan dari hubungan industrial adalah menciptakan keharmonisan diantara para

pelaku hubungan industrial sehingga tercapailah peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh,

pengusaha dan Pemerintah. Upaya pencapaian tujuan tersebut dilaksanakan melalui 8

(delapan) sarana hubungan industrial.

Kedelapan sarana hubungan industrial dimaksud tersebut adalah sebagai berikut:

1. serikat pekerja/serikat buruh;

2. organisasi pengusaha;

3. lembaga kerjasama bipartit;

4. lembaga kerjasama tripartit;

5. Peraturan Perusahaan;

6. Perjanjian Kerja Bersama;

32
7. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;

8. lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Dalam melaksanakan hubungan industrial, Pemerintah mempunyai fungsi sebagai

berikut:

1. menetapkan kebijakan. Ini berarti mengeluarkan rangkaian aturan-aturan yang

dapat menciptakan dan mengarahkan menuju pada harmonisasi hubungan

industrial;

2. memberikan pelayanan. Dalam artian adalah berusaha melayani sekaligus

mengayomi para pihak-pihak pelaku hubungan industrial dalam menjalankan

kegiatannya;

3. melaksanakan pengawasan. Pengawasan disini adalah pengawasan agar

semuanya berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau koridor hukum

yang telah disepakati bersama;

4. melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundangan-undangan

ketenagakerjaan. Penindakan ini dapat berupa sanksi administrasi maupun

pidana. Penindakan merupakan sebuah upaya paksa yang dilakukan demi

mencegah dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu bentuk pelanggaran.

Sebelum penindakan dilakukan Pemerintah memiliki kewajiban mengutamakan

pembinaan terlebih dahulu. Tahapan pembinaan ini merupakan bagian

33
terpenting sebelum diambil penindakan mengingat hukum ketenagakerjaan

pada dasarnya bagian dari hukum perdata.

Adapun pekerja dan serikat pekerja/serikat buruh dalam melaksanakan hubungan

industrial mempunyai fungsi yaitu:

1. menjalankan tugas serta fungsi serikat pekerja/serikat buruh sesuai dengan

kewajibannya;

2. menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi;

3. menyalurkan aspirasi secara demokratis;

4. mengembangkan ketrampilan, dan keahlihannya serta ikut memajukan perusahaan

dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.

Pengusaha dan organisasi pengusaha memiliki fungsi dan peran yang dapat dijabarkan

sebagai berikut:

1. menciptakan kemitraan;

2. mengembangkan usaha;

3. memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja secara

terbuka, demokratis, dan berkeadilan.

Guna pencapaian nilai positif secara maksimal dari masing-masing pelaku hubungan

industrial tersebut maka dibutuhkan sebuah kesamaan pemahaman dikalangan para pelaku

hubungan industrial tersebut termasuk bagi pihak Pemerintah.

34
Kesamaan pemahaman ini dapat dilakukan melalui metode-metode pendidikan

hubungan industrial yaitu melalui seminar, diskusi, ataupun sosialisasi yang berjenjang dan

berkelanjutan bagi para pelaku hubungan industrial.

Selain metode-metode pendidikan hubungan industrial juga perlu dilakukan melalui

pemasyarakatan hubungan industrial. Konsepnya sama seperti pada bidang lainnya, contoh

pada bidang olahraga misalnya, dimana terdapat pengistilahan memasyarakatkan olahraga dan

mengolahragakan masyarakat. Ini berarti mengenalkan olahraga pada masyarakat agar

masyarakat mau untuk berolahraga.

Dari contoh sederhana tersebut berarti dengan pemasyarakatan hubungan industrial

adalah merupakan tindakan mengenalkan kepada masyarakat secara luas mengenai pentingnya

dan betapa bermanfaatnya fungsi sekaligus sarana hubungan industrial dalam mencapai

hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan guna mencapai kesejahteraan

bersama yang pada akhirnya menuju masyarakat adil dan makmur sebagaimana yang dicita-

citakan oleh bangsa ini.

Pemasyarakatan hubungan industrial tentunya bukan hanya kewajiban dari pemerintah,

dalam hal ini instansi yang menangani masalah ketenagakerjaan, tetapi lebih dari itu

merupakan tugas bagi semua pihak baik itu pekerja, pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh

atau organisasi pengusaha maupun masyarakat luas itu sendiri.

35
A. SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

Salah satu sarana hubungan industrial dari 8 (delapan) sarana hubungan industrial selain

organisasi pengusaha adalah serikat pekerja/serikat buruh.

Perihal pentingnya peran serikat pekerja/serikat buruh ini diatur tersendiri dalam suatu

bentuk peraturan perundangan-undangan yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21

Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan diatur pula pada berbagai peraturan

pelaksana lainnya.

Secara pengertian maka serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk

dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan yang

bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,

membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan

kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.

Pada pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa serikat pekerja/serikat buruh

bersifat sebagai berikut ini yaitu:

1. bebas. Bersifat bebas adalah bahwa sebagai organisasi dalam melaksanakan hak

dan kewajibannya, serikat pekerja/serikat buruh tidak dibawah pengaruh atau

tekanan dari pihak lain.

36
2. terbuka. Maksudnya adalah serikat pekerja/serikat buruh dalam menerima

anggota dan/atau memperjuangkan kepentingan pekerja/buruh tidak

membedakan aliran politik, agama, suku bangsa dan jenis kelamin;

3. mandiri. Bersifat mandiri ialah bahwa dalam mendirikan, menjalankan, dan

mengembangkan organisasi ditentukan oleh kekuatan sendiri tidak dikendalikan

oleh pihak lain diluar oganisasi;

4. demokratis. Dalam pembentukan organisasi, pemilihan pengurus,

memperjuangkan, dan melaksanakan hak dan kewajiban organisasi dilakukan

secara demokrasi;

5. bertanggung jawab. Bertanggung jawab ialah bahwa dalam mencapai tujuan dan

melaksanakan hak dan kewajibannya, serikat pekerja/serikat buruh bertanggung

jawab kepada anggota, masyarakat, dan negara.

Sedangkan tujuan dari serikat pekerja/serikat buruh bertujuan sebagai berikut ini yaitu :

1. memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh dan keluarganya;

2. pembelaan hak dan kepentingan bagi pekerja/buruh dan keluarganya;

3. meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya.

Guna mencapai tujuan tersebut maka serikat pekerja/serikat buruh memiliki fungsi

sebagai berikut ini yaitu:

37
1. sebagai pihak dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama dan penyelesaian

perselisihan hubungan industrial;

2. sebagai wakil pekerja buruh/buruh dalam lembaga kerjasama dibidang

ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya;

3. sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan

berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

4. sebagai sarana menyalurkan aspirasi dalam memperjuangkan hak dan

kepentingan anggotanya;

5. sebagai perencana, pelaksana dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh

sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku;

6. sebagai wakil pekerja buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di

perusahaan.

Mengenai pembentukan serikat pekerja/serikat buruh dapat dijelaskan bahwa setiap

pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

Hak membentuk atau menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh ini merupakan hak

asasi pekerja/buruh yang selain dijamin oleh peraturan perundangan ketenagakerjaan juga

dijamin pula oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Hak berserikat bagi pekerja/buruh diatur pula dalam Konvensi International Labour

Organization (ILO) Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan perlindungan Hak Untuk

Berorganisasi, dan Konvensi ILO nomor 98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar daripada hak

38
Untuk Berorganisasi dan Untuk Berunding Bersama yang sudah diratifikasi oleh Indonesia

menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan nasional kita.

Oleh karena itulah guna mewujudkan hak tersebut maka seyogyanya setiap

pekerja/buruh diberikan kesempatan yang seluas-luasnya mendirikan dan menjadi anggota

serikat pekerja/serikat buruh.

Serikat pekerja/serikat buruh sendiri dapat dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10

(sepuluh) orang pekerja/buruh. Kemudian serikat pekerja/serikat buruh berhak untuk

membentuk dan menjadi anggota federasi serikat pekerja/serikat buruh. Federasi serikat

pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 5 (lima) serikat pekerja/serikat buruh.

Dari federasi serikat pekerja/serikat buruh kemudian berhak membentuk dan menjadi

anggota konfederasi serikat pekerja/serikat buruh. Konfederasi serikat pekerja/serikat buruh

dibentuk oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) federasi serikat pekerja/serikat buruh.

Apabila suatu serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat

pekerja/serikat buruh telah terbentuk maka memberitahukan secara tertulis kepada instansi

pemerintah yang bertangung jawab dibidang ketenagakerjaan setempat untuk dicatat.

Perlu diperhatikan adalah bahwa pemberitahuan yang dimaksud dilampiri:

1. daftar nama anggota pembentuk;

2. anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;

3. susunan dan nama pengurus.

39
Instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan terhadap serikat

pekerja/serikat buruh, federasi, dan konfedarsi pekerja/buruh yang telah memenuhi ketentuan

kemudian memberikan nomor bukti pencatatan.

Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh

yang telah memperoleh nomor bukti pencatatan berhak atas:

1. membuat Perjanjian Kerja Bersama dengan pengusaha;

2. mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial;

3. mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan;

4. membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha

peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh;

5. melakukan kegiatan lainnya dibidang ketenagakerjaan yang tidak bertentangan

dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Dengan adanya hak yang dijamin oleh peraturan perundangan sebagaimana yang

dijelaskan diatas maka hak tersebut menimbulkan kewajiban. Serikat pekerja/serikat buruh,

federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah memperoleh nomor bukti

pencatatan berkewajiban:

1. melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan

kepentingannya;

2. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya;

40
3. mempertanggung jawabkan kegiatan organisasi kepada anggotanya sesuai dengan

anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.

Untuk masalah pendanaan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi

serikat pekerja/serikat buruh ketentuan hukum ketenagakerjaan menyebutkan dapat

bersumber dari:

1. iuran anggota yang besarnya ditetapkan dalam anggaran dasar atau anggaran rumah

tangga;

2. hasil usaha yang sah; dan

3. bantuan anggota atau pihak lainnya.

Selain mengatur tentangn masalah pendanaan ketentuan hukum ketenagakerjaan di

Indonesia untuk serikat pekerja/serikat buruh juga mengatur tentang pembubaran. Untuk

pembubaran maka serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfedari serikat pekerja/serikat

buruh bubar dalam hal:

1. dinyatakan oleh anggotanya menurut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;

2. perusahaan tutup atau menghentikan kegiatannya untuk selama-lamanya yang

mengakibatkan putusnya hubungan kerja bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan

setelah seluruh kewajiban pengusaha terhadap pekerja/buruh diselesaikan

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;

3. dinyatakan dengan putusan pengadilan.

41
Putusan pengadilan sebagaimana yang dimaksud dapat membubarkan serikat

pekerja/serikat buruh dalam hal:

1. serikat pekerja/serikat buruh, federasi, dan konfederasi serikat pekerja/serikat

buruh mempunyai asas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;

2. pengurus dan/atau anggota atas nama serikat pekerja/serikat buruh, federasi, dan

konfederasi serikat pekerja/serikat buruh terbukti melakukan kejahatan terhadap

keamanan negara dan dijatuhi pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Guna menjamin hak pekerja/buruh berorganisasi dan hak dari serikat pekerja/serikat

buruh dalam melaksanakan kegiatannya, maka peraturan perundangan memberikan

kewenangan kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan untuk melakukan pengawasan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku guna penegakan ketentuan peraturan

perundangan tentang serikat pekerja/serikat buruh.

Selain kepada penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pejabat

pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan

tanggungjawabnya di bidang ketenagakerjaan diberi wewenang pula yaitu wewenang khusus

sebagai penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan

penyidikan tindak pidana.

42
B. LKS BIPARTIT DAN LKS TRIPARTIT

Pada penjelasan diatas telah dipahami perihal serikat pekerja/serikat buruh mulai dari

pengertian, tujuan, fungsi, hak dan kewajibannya. Pendalaman selanjutnya yang terpenting

perihal sarana hubungan industrial adalah mengenai Lembaga Kerja Sama (LKS) bipartit dan

Lembaga Kerja Sama (LKS) tripartit yang selanjutnya disingkat LKS bipartit dan LKS tripartit yang

juga merupakan sarana hubungan industrial. Perlu digaris bawahi disini bahwa LKS ini bukan

merupakan pengganti dari fungsi dan tugas dari serikat pekerja/serikat buruh.

Pembentukan kedua lembaga komunikasi ini bertujuan sebagai sarana para pelaku

hubungan industrial untuk saling berkomunikasi terhadap segala permasalahan

ketenagakerjaan yang mungkin timbul. Selain itu dapat dijadikan sebagai sarana untuk

peningkatan kesejahteraan.

Untuk LKS bipartit pada tingkat perusahaan tentunya akan sangat bermanfaat jika

terdapat suatu perselisihan hubungan industrial. Pada tingkat perusahaan seringkali terdengar

ketika antara pihak buruh dengan pihak pengusaha terjadi perselisihan hubungan industrial,

maka masing-masing pihak saling memiliki pembenaran jika dilihat dari sudut pandang

kacamata peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Kondisi semacam ini pada akhirnya

tidak mampu untuk menyelesaikan permasalah. Pembentukan LKS bipartit tingkat perusahaan

sebagai upaya guna untuk memecahkan masalah kebuntuan ini melalui jalur komunikasi yaitu

dialog bersama.

43
Pentingnya dialog ini pada akhirnya oleh Pemerintah disarankan dilakukan dalam

bentuk lembaga yaitu LKS bipartit. Pemerintah sendiri cukup serius dalam upayanya untuk

mensosialisasikan pentingnya LKS bipartite. Pelembagakan dalam bentuk lembaga formal ini

telah difasilitasi oleh Pemerintah dengan dikeluarkannya berbagai peraturan tentang

kelembagaan lembaga bipartit ditingkat perusahaan.

Dalam ketentuan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia secara jelas menyebutkan

bahwa LKS bipartit merupakan suatu forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang

berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari

pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung

jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.

Secara resmi fungsi LKS bipartit adalah sebagai forum komunikasi, konsultasi, dan

musyawarah antara pengusaha dan wakil serikat pkerja/serikat buruh atau pekerja/buruh pada

tingkat perusahaan.

Fungsi lainnya adalah sebagai forum untuk membahas masalah hubungan industrial di

perusahaan guna meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan pkerja/buruh yang

menjamin kelangsungan usaha dan menciptakan ketenangan kerja.

Peran LKS bipartit pula bukan hanya untuk pembahasan mengenai ketenagakerjaan,

namun forum komunikasi atau dialog ini dapat pula digunakan untuk hal-hal yang ringan tetapi

membawa kesejahteraan atau paling tidak kegembiraan kerja. Misalkan anggota LKS bipartit

dapat mengambil inisiatif penyelenggaraan kegiatan hari besar kemerdekaan di perusahaan

atau merencanakan kegiatan wisata bersama antara pekerja/buruh dan pengusaha sehingga

44
terjalin rasa memiliki perusahaan dan pada akhirnya meningkatkan produktivitas kerja maupun

keuntungan.

Berbagai keuntungan yang bisa dipetik dari LKS bipartit ini membuat Pemerintah bukan

hanya sekedar memfasilitasi pembentukkannya namun juga memikirkan pengembangan fungsi

dari LKS bipartite yaitu LKS Tripartit. Dua tahun setelah dikeluarkan aturan Peraturan

Pemerintah tentang LKS Tripartit, tepatnya tahun 2005, Pemerintah kembali mengeluarkan

kebijakan tentang pentingnya komunikasi dan dialog para pelaku ketenagakerjaan yaitu melalui

Peraturan Pemerintah Nomor 8 tentang Tata Kerja dan Susunan Organisasi Lembaga Kerjasama

Tripartit. Aturan ini kemudian diperbaruhi dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 46 Tahun 2008 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2005

tentang Tata Cara Kerja dan Susunan Organisasi Lembaga Kerjasama Tripartit.

Pada Penjelasannya ketentuan baru ini menyebutkan upaya yang ditempuh untuk

menyelenggarakan pemerintahan yang baik adalah memberikan kesempatan kepada

masyarakat luas dalam penyusunan kebijakan pemerintahan. Dengan upaya tersebut, maka

kebijakannya yang ditetapkan pemerintah dapat lebih akomodatif terhadap aspirasi dan

kepentingan masyarakat. Dalam dunia ketenagakerjaan pelibatan masyarakat dalam

mengambil keputusan diwujudkan dalam prinsip tripartisme, suatu prinsip yang bertumpu pada

semangat bahwa kepentingan masing-masing unsur pelaku proses produksi yaitu pengusaha,

pekerja/buruh dan pemerintah menjadi kepentingan bersama. Sejalan dengan prinsip

kebersamaan maka keseimbangan peran masingmasing unsur dalam LKS Tripartit perlu

diwujudkan dalam bentuk keterwakilan masing-masing unsur dalam komposisi keanggotaan.

45
Oleh karena itu maka ketentuan komposisi perbandingan yang semula 2:1:1 diubah menjadi

1:1:1. Dalam rangka meningkatkan efektifitas, peran dan fungsi LKS Tripartit maka dibutuhkan

jumlah keanggotaan yang cukup, sehingga jumlah keanggotaan LKS Tripartit perlu ditambah

dengan tetap memperhatikan karakteristik perekonomian serta kemampuan pengganggaran.

Dalam kenyataannya tidak semua unsur dapat memenuhi persyaratan administrasi

keanggotaan khususnya persyaratan pendidikan, sehingga diubah menjadi serendah-rendahnya

Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sederajat. Dengan perubahan Peraturan Pemerintah ini, maka

diharapkan LKS Tripartit dapat melaksanakan peran dan fungsinya secara efektif dan optimal.

Peraturan Pemerintah ini antara lain memuat:

a. perubahan komposisi dan jumlah keterwakilan keanggotaan LKS Tripartit;

b. perubahan persyaratan keanggotaan LKS Tripartit;

c. penambahan Bab Ketentuan Peralihan.

Forum ini juga merupakan forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang

masalah ketenagakerjaan seperti LKS bipartite namun keanggotaannya adalah organisasi

pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh ditambah dari unsur Pemerintah dengan skala yang

lebih luas.

Penambahan unsur dari Pemerintah ini diharapkan ketika unsur organisasi pengusaha

dan serikat pekerja/serikat buruh menemui kebuntuan guna mencapai mufakat maka

Pemerintah dapat menjadi penengah. Selain itu agar dapat terjalin dengan baik antara

Pemerintah sebagai anggota dengan serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha.

46
Secara definisi detail LKS tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah

tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari organisasi pengusaha, serikat

pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.

Jadi perlu ditekankan kembali faktor pembeda antara LKS bipartit dan LKS tripartit yang

paling utama adalah keanggotaannya. Kalau LKS tripartit adalah organisasinya pengusaha,

serikat pekerja/serikat buruh, dan didalamnya ada unsur pemerintahnya.

Faktor pembeda lainnya yang perlu diingat adalah bahwa LKS bipartit berbeda pula

dengan perundingan bipartit. Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh

atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan

hubungan industrial. Berarti LKS bipartit berbentuk lembaga sedangkan perundingan bipartit

adalah sebuah cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Sebagai catatan tambahan, pengaturan mengenai LKS bipartit dan LKS tripartit juga

diatur dalam Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaaan pada Pasal 106 untuk

LKS bipartit dan Pasal 107 untuk LKS tripartit.

Melihat fungsi dan tujuan dari LKS bipartit dan LKS tripartit sesungguhnya sangatlah baik

dan bermanfaat. Kita tahu bahwa sebuah aturan memang selalu bertujuan mencapai hal-hal

ideal. Sesuatu yang indah untuk dicita-citakan namun dalam pelaksanaannya terkadang

menemui kegagalan atau kendala serius.

Kendala utama LKS bipartit dan LKS tripartit terutama pada LKS bipartit di tingkat

perusahaan yang sering ditemui adalah banyaknya keengganaan baik dari kalangan serikat

47
pekerja/serikat buruh maupun dari kalangan pengusahanya untuk membuat forum komunikasi

atau dialog semacam ini.

Keengganan itu bisa karena beberapa faktor antara lain yaitu kurangnya pemahaman

tentang fungsi dan tujuan forum komunikasi atau dialog, tidak adanya dana pendukung untuk

kelancaran jalannya lembaga ini dan forum komunikasi atau dialog ini terkadang dianggap

dapat menimbulkan masalah baru daripada memecahkan masalah lama.

Dengan demikian tentunya merupakan tugas pemerintah untuk lebih mensosialisasikan

tentang fungsi dan tujuan dari LKS bipartit maupun LKS tripartit termasuk mencarikan solusi

pendanaan lembaga ini sehingga perusahaan dan serikat buruh/serikat pekerja beramai-ramai

membentuk forum komunikasi atau dialog semacam ini apapun namanya mengingat dapat

digunakan untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Dengan kata lain, forum atau dialog semacam ini sebenarnya merupakan sarana agar

buruh dapat memetik keuntungan, pengusaha meraih keuntungan dan pemerintah pun

menerima keuntungan pula karena negara akhirnya sejahtera jika rakyatnya sejahtera. Satu

mufakat untuk sejahtera.

48
C. PERATURAN PERUSAHAAN DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA

Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama merupakan salah satu dari sarana

hubungan industrial. Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh

pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Masa berlakunya

Peraturan Perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbarui setelah habis masa

berlakunya

Sedangkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah perjanjian yang merupakan hasil

perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang

bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha

atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah

pihak. Batas waktu berlakunya Perjanjian Kerja Bersama paling lama 2 (dua) tahun

Berdasarkan ketentuan yang berlaku mensyaratkan bahwa pengusaha yang

memperkerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat

Peraturan Perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh menteri atau pejabat yang

ditunjuk.

Peraturan Perusahaan ini disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha

yang bersangkutan. Penyusunan haruslah memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil

pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.

49
Setelah saran dan pertimbangan tersebut kemudian pengusaha harus mengajukan

permohonan pengesahan Peraturan Perusahan kepada pejabat yang bertanggung jawab

dibidang ketenagakerjaan dalam hal ini kepala instansi dalam wilayah kabupaten/kota.

Perlu diingat disini adalah bahwa segala ketentuan dalam Peraturan Perusahaan tidak

boleh bertentangan dengan perundangan yang berlaku. Maksudnya ialah peraturan tersebut

tidak boleh lebih rendah kualitas maupun kuantitasnya dari peraturan perundangan yang

berlaku, dan apabila ternyata bertentangan, maka yang berlaku adalah ketentuan peraturan

perundangan yang berlaku.

Sebagai saran, seharusnya Peraturan Perusahaan memuat hal-hal yang belum diatur

atau lebih tinggi dari perundangan bukan menulis ulang atau mengatur ulang yang sudah ada

dalam peraturan perundangan.

Adapun isi minimal dari Peraturan Perusahaan sekurang-kurangnya memuat sebagai

berikut:

1. hak dan kewajiban pengusaha;

2. hak dan kewajiban pekerja.buruh;

3. syarat kerja;

4. tata tertib perusahaan; dan

5. jangka waktu berlakunya Peraturan Perusahaan.

50
Dalam hal perusahaan yang bersangkutan memiliki cabang, dibuat Peraturan

Perusahaan induk yang berlaku di semua cabang perusahaan serta dapat dibuat Peraturan

Perusahaan turunan yang berlaku di masing-masing cabang perusahaan.

Menginjak pada Perjanjian Kerja Bersama. Diawal-awal alenia ini telah diberikan definisi

Perjanjian Kerja Bersama. Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama dirundingkan oleh serikat

pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada

instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa

pengusaha. Perundingan ini didasari itikad baik dan kemauan bebas kedua belah pihak

Jika ternyata perundingan tersebut gagal maka dapat menjadwalkan kembali

perundingan dengan waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah perundingan gagal.

Jika masih gagal maka dilaporkan ke instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan. Jika masih gagal pula maka menggunakan mekanisme penyelesaian

perselisihan hubungan industrial yang diatur dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia

Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Perjanjian Kerja Bersama paling sedikit memuat:

1. hak dan kewajiban pengusaha;

2. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;

3. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya Perjanjian Kerja Bersama; dan

4. tanda tangan para pihak pembuat Perjanjian Kerja Bersama.

51
D. PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Bagian kedelapan dari 8 (delapan) sarana hubungan industrial adalah lembaga

penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Sarana ini timbul berawal dari pemikiran bahwa

hubungan kerja yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang/jasa yang

terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh termasuk pemerintah berpotensi untuk

menimbulkan konflik ketenagakerjaan.

Dalam peraturan perundangan konflik akibat hubungan kerja ini ini disebut dengan

perselisihan hubungan industrial. Apakah perselisihan hubungan industrial itu sendiri?

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356) Perselisihan Hubungan Industrial dapat di

definisikan sebagai perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha

atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh karena adanya

perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja

dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ini hanya

membatasi 4 (empat) hal yang dapat menjadi materi perselisihan diantara para pihak yaitu:

1. Perselisihan hak;

2. Perselisihan kepentingan;

3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan

52
4. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Meskipun hanya mencakup 4 (empat) hal yang dapat diperselisihkan, keempat hal

tersebut telah mencakup segala potensi konflik yang timbul diantara para pihak dalam

hubungan kerja mengingat luasnya definisi keempat jenis perselisihan tersebut.

Adapun keempat jenis perselisihan tersebut dapat diterangkan sebagai berikut:

1. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya

hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap

ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, Peraturan

Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama;

2. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan

kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan

dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian

kerja atau Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama;

3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul

karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan

kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak;

4. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara

serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lainnya

dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai

keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan.

53
Penyelesaian keempat perselisihan tersebut wajib diupayakan terlebih dahulu melalui

perundingan bipartit antara pihak-pihak yang berselisih paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak

tanggal dimulainya perundingan.

Dalam perundingan tersebut harus menyertakan risalah perundingan. Apabila dalam

jangka waktu tersebut salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan

perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.

Salah satu pihak atau kedua belah pihak kemudian mencatatkan perselisihannya kepada

instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan setempat.

Sebaliknya jika tercapai suatu kesepakatan maka dibuat Perjanjian Bersama. Perjanjian

Bersama ini bersifat mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan kedua belah pihak.

Perjanjian bersama wajib pula untuk didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial pada

Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama

Hal yang perlu digarisbawahi dalam cakupan materi perselisihan hubungan industrial

yang dapat diperselisihkan menurut Penjelasan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004

tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah bahwa hak yang dimaksud dalam

perselisihan hubungan industrial adalah kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para

dalam melaksanakan ketentuan normatif yang telah diatur oleh peraturan perundangan,

perjanjian kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama.

54
Ini berarti jika hak salah satu pihak yang sudah bersifat ketentuan normatif tidak

diwujudkan maka dapat dimintakan pemenuhan hak tersebut melalui prosedur penyelesaian

perselisihan hubungan industrial.

Perselisihan hak yang kemudian berujung kepada pemutusan hubungan kerja

merupakan perselisihan hubungan kerja yang sering terjadi di wilayah Kabupaten/Kota.

Berdasarkan data penyelesaian perselisihan hubungan industrial pada Dinas Tenaga Kerja dan

Transmigrasi dari 15 (lima belas) kasus pada tahun 2014, semuanya berawal dari tidak

dipenuhinya hak salah satu pihak yang pada akhirnya berujung pada pemutusan hubungan

kerja.

Pemutusan hubungan kerja pada dasarnya sangat disesalkan mengingat kebijakan

Negara Republik Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003

Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) menyebutkan agar

para pihak dengan segala upaya harus mengusahkan agar jangan terjadi pemutusan hubungan

kerja. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat

dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja tersebut wajib dirundingkan terlebih

dahulu.

Kembali pada proses setelah pencatatan perselisihan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan kemudian mengamanatkan jika hal perundingan tersebut

mengalami kebuntuan maka diselesaikan melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

industrial. Penyelesaian melalui mekanisme lembaga penyelesaian hubungan industrial ini

55
sejalan dengan perintah pada pengaturan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang menjelaskan tatacara penyelesaian

perselisihan hubungan industrial diantara para pihak pada lembaga penyelesaian perselisihan

hubungan industrial.

Terdapat 3 (tiga) cara penyelesaian yaitu melalui konsilator, mediator dan arbiter.

1. konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai

konsiliator yang ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi

dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk

menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan

kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu

perusahaan;

2. arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari

daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan

mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat

pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan

penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan

bersifat final;

3. mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang

ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang

ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan dan mempunyai

kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk

56
menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan

pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh

hanya dalam satu perusahaan.

Disini yang dimaksud dengan penyelesaian konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan

kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat

pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh

seorang atau lebih konsiliator netral.

Untuk penyelesaian mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan

kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat

pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh

seorang atau lebih mediator yang netral.

Sedangkan arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan

perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan diluar Pengadilan

Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk

menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak

dan bersifat final

Untuk penunjukan konsiliator honorarium/imbalan jasa dibebankan kepada negara

melalui penetapan Menteri. Penunjukan konsiliator dilakukan oleh para pihak yang mengajukan

permintaan secara tertulis dan disepakati oleh para pihak

57
Untuk penunjukan arbiter maka biaya arbitrase dan honorarium arbiter dituangkan ke

dalam perjanjian Penunjukan arbiter. Penunjukan arbiter dilakukan atas dasar kesepakatan

para pihak yang berselisih dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase, dibuat

rangkap 3 (tiga) dan masing-masing pihak mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan

hukum sama.

Pada mediator karena Aparatur Sipil Negara (ASN) maka secara otomatis tidak perlu

diberikan honorarium/imbalan jasa.

Mediator dan konsiliator menyelesaikan tugasnya selambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja

terhitung sejak menerima pelimpahan perselisihan dan mengeluarkan anjuran tertulis

selambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama yang tertuang dalam Risalah

Perundingan.

Untuk arbiter menyelesaikan tugasnya sama dengan mediator dan konsiliator yaitu 30

(tiga puluh) hari kerja tetapi arbiter tidak mengeluarkan anjuran tertulis.

Dalam hal penyelesaian melalui konsiliator dan mediator tidak mencapai kesepakatan

maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.

Sedangkan perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah diselesaikan melalui

arbiter tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Pihak yang merasa dirugikan

dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan kepada Mahkamah Agung dalam waktu

selambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkan putusan oleh arbiter.

58
Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan

pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap

perselisihan hubungan industrial. Pengadilan Hubungan Industrial dibentuk di Pengadilan

Negeri Kabupaten/Kota yang berada disetiap Ibukota Propinsi yang daerah hukumnya meliputi

propinsi yang bersangkutan tetapi karena masih baru maka pembentukannya secara bertahap.

Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwewenang memeriksa dan memutus

tentang :

1. ditingkat pertama mengenai perselisihan hak;

2. ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;

3. ditingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;

4. ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat

buruh dalam satu perusahaan.

Hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan

dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Indutrial.

Pihak-pihak yang berpekara tidak dikenakan biaya termasuk tidak dikenakan biaya untuk

biaya eksekusi yang nilai gugatannya dibawah Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta

rupiah).

59
Majelis Hakim yang menangani pekara wajib memberikan putusan penyelesaian

hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak

sidang pertama.

Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan putusan yang

dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi.

Untuk putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai

perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu

perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap

Untuk putusan mengenai perselisihan hak dan pemutusan hubungan kerja dapat

diajukan permohonan kasasi selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja. Jika tidak

diajukan kasasi maka mempunyai kekuatan hukum tetap

Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada

Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal

penerimaan permohonan kasasi

Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa

hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya

Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau

konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada

penggugat.

60
Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan

jawaban. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, maka pencabutan

akan dikabulkan apabila disetujui tergugat.

Berdasarkan Surat edaran Ketua Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan

Negeri Surabaya Nomor 560/44A/112.01/2006 Tanggal 03 Januari 2006 Perihal Pemberlakuan

Undang-undang 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang

ditujukan kepada Bupati/Walikota se-Jawa Timur yang membawahi instansi bertanggung jawab

bidang ketenagakerjaan menyebutkan bahwa agar dapatnya perselisihan tersebut tidak

ditingkatkan dan diharapkan bisa diselesaikan ditingkat lokal/bipartit.

61
BAB IV

SYARAT KERJA PADA PERATURAN PERUSAHAAN

A. PEMBENTUKAN SYARAT KERJA

Syarat Kerja adalah hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh yang

belum diatur dalam peraturan perundangan. Pembentukan syarat kerja ini dapat

dicantumkan dalam perjanjian kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja

Bersama.

Peraturan Perusahaan yang proses penyusunan dan pembentukannya menjadi

tanggung jawab pengusaha ini bertujuan untuk memberikan kejelasan aturan yang

berlaku dalam perusahaan diluar ketentuan perundangan sehingga terdapat kepastian

hukum pada perusahaan.

Mengingat begitu pentingnya Peraturan Perusahaan pada perusahaan, maka

peraturan perundang-undangan mensyaratkan sebagai salah satu kewajiban yang harus

dipenuhi oleh pengusaha yang memperkerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10

(sepuluh) orang.

Kewajiban ini diikuti pula oleh pengenaan sanksi bagi pengusaha yang tidak

melaksanakan kewajibannya. Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

mengenakan ancaman sanksi pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000,00 (lima juta

62
rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Tindak pidana

sebagaimana yang dimaksud merupakan tindak pidana pelanggaran.

Pembahasan pada Bab ini akan terfokus pada tatacara pembuatan Peraturan

Perusahaan mengingat syarat kerja dapat tercantum dalam Peraturan Perusahaan.

Pengertian Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis

oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Ketentuan

dalam Peraturan Perusahaan sekurang-kurangnya memuat yaitu hak dan kewajiban

pengusaha, hak dan kewajiban pekerja/buruh, syarat kerja, tata tertib perusahaan dan

jangka waktu berlakunya Peraturan Perusahaan.

Aturan dalam Peraturan Perusahaan tidak boleh bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan. Apabila mengatur ulang hal yang sudah diatur oleh

peraturan perundang-undangan maka pengaturannya harus lebih baik.

Peraturan Perusahaan berbeda dengan Perjanjian Kerja Bersama atau disingkat

PKB. PKB adalah perjanjian kerja yang merupakan hasil perundingan antara serikat

pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada

instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau

beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja,

hak dan kewajiban kedua belah pihak. Ini berarti dalam proses pembentukannya

Peraturan Perusahaan dibuat dan menjadi tanggungjwab pengusaha, sedangkan PKB

merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa

serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggungjawab di

63
bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau

perkumpulan pengusaha. Adapun hal yang termuat dalam Peraturan Perusahaan dan

PKB pada prinsipnya adalah sama.

Peraturan Perusahaan walaupun dalam pembentukannya dilakukan dan dibuat

oleh pengusaha namun dalam proses penyusunannya sebelum mendapatkan

pengesahan dari instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan harus

memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh diperusahaan.

Saran pertimbangan ini diperlukan agar Peraturan Perusahaan yang disusun ini

dapat menampung aspirasi dari pekerja/buruh melalui perwakilan yang ada. Perwakilan

pekerja yang dimaksud adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh jika terdapat

serikat pekerja/serikat buruh dalam perusahaan atau perwakilan pekerja/buruh yang

dipilih secara demokratis oleh pekerja/buruh untuk mewakili mereka.

Peraturan Perusahaan yang telah mendapatkan saran dan pertimbangan ini

kemudian didaftarkan ke instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan

untuk mendapatkan pengesahan. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak naskah

Peraturan Perusahaan diterima oleh instansi yang bertanggungjawab dibidang

ketenagakerjaan maka pejabat yang ditunjuk wajib untuk memproses pengesahan.

Pengesahan Peraturan Perusahaan ini disahkan dalam bentuk surat keputusan yang

ditandatangani oleh pejabat yang ditunjuk untuk itu, dalam hal ini adalah kepala instansi

yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan.

64
Dalam hal Peraturan Perusahaan belum memenuhi persyaratan dan

bertentantang dengan peraturan perundang-undangan maka pejabat yang ditunjuk

dalam pengesahan Peraturan Perusahaan akan memberitahukan secara tertulis

perbaikan Peraturan Perusahaan. Pengusaha dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari

sejak menerima pemberitahuan perbaikan Peraturan Perusahaan ini wajib untuk

menyampaikan kembali Peraturan Perusahaan yang telah diperbaiki.

Peraturan Perusahaan yang mendapatkan pengesahan berlaku paling lama 2

(dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya. Selama masa

berlakunya Peraturan Perusahaan, apabila dalam perusahaan telah dan/atau terbentuk

serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh tersebut menghendaki

perundingan pembuatan PKB, maka pengusaha wajib melayani. Perundingan

pembuatan PKB ini jika tidak mencapai kesepakatan maka Peraturan Perusahaan

dinyatakan tetap berlaku sampai habis jangka waktu berlakunya.

Sedangkan jika saat masa berlakunya Peraturan Perusahaan pengusaha hendak

melakukan perubahan isi Peraturan Perusahaan maka hanya dapat dilakukan atas dasar

kesepakatan antara pengusaha dan perwakilan pekerja/buruh. Peraturan Perusahaan

yang telah disepakati ini tetap harus kembali mendapatkan pengesahan dari pejabat

yang ditunjuk pada instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan.

Peraturan Perusahaan yang mendapatkan pengesahan oleh pengusaha wajib

dijelaskan dan berikan ke pekerja/buruh oleh pengusaha. Segala biaya untuk

65
pembuatan dan pengedaran Peraturan Perusahaan ini menjadi tanggungjawab dari

pengusaha.

Pengusaha dalam penyusunan naskah Peraturan Perusahaan seyogyanya semua

kalimat yang digunakan harus padat, jelas dan sesuai dengan kaidah penulisan bahasa

Indonesia yang baik dan benar. Hal ini agar aturan yang termuat dalam pasal Peraturan

Perusahaan dapat dipahami dengan mudah, terdapat kepastian hukum, tidak

menimbulkan multi penafsiraan serta tidak mengatur hal-hal secara terselubung yang

bersifat aturan menjebak.

Berikut ini adalah hal-hal yang dapat digunakan dalam panduan penggunan

penulisan Peraturan Perusahaan:

1. Kerangka Peraturan Perusahaan pada umumnya adalah:

a. judul

Hal terpenting dalam judul ditulis dengan huruf kapital semua yang

diletakkan ditengah marijin tanpa diakhir tanda baca dan tidak boleh

ditambahkan dengan singkatan atau akronim, mencantumkan nama

perusahaan serta tahun berlaku peraturan perusahan tersebut;

b. batang tubuh

Batang tubuh dalam Peraturan Perusahaan memuat semua materi

muatan Peraturan Perusahaan yang dirumuskan dalam pasal atau

66
beberapa pasal. Pada umumnya materi muatan dalam batang tubuh

dikelompokkan kedalam:

1. ketentuan umum;

2. materi pokok yang diatur;

3. sanksi;

4. ketentuan peralihan; dan

5. ketentuan penutup.

Perlu dicatat disini adalah bahwa ketentuan umum berisi batasan pengertian

atau definisi, singkatan atau akronim yang dituangkan atau hal-hal bersifat umum.

Sedangkan materi pokok muatan dirumuskan secara lengkap sesuai dengan kesamaan

materi yang bersangkutan jika terdapat materi muatan yang diperlukan tetapi tidak

dapat dikelompokkan maka materi tersebut dimuat dalam bab ketentuan lain-lain.

Adapun substansi yang berupa sanksi administratif dirumuskan menjadi satu norma

yang memberikan sanksi administratif. Pergunakan frasa setiap orang jika sanksi

tersebut berlaku untuk seluruh pekerja/karyawan. Ketentuan peralihan memuat

penyesuaian pengaturan yang sudah ada atau lama dengan peraturan baru. Untuk

ketentuan penutup ditempatkan pada bagian akhir. Pada umumnya ketentuan penutup

memuat penunjukkan organ sebagai pelaksana Peraturan Perusahaan, nama singkat

dari Peraturan Perusahaan, status peraturan yang sudah ada atau saat mulai berlakunya

Peraturan Perusahaan. Peraturan Perusahaan dapat diberi penjelasan. Penjelasan

67
adalah penjelasan tiap-tiap pasal yang diletakkan setelah tanda tangan pimpinan

perusahaan pada lembar tersendiri dan diatasnya diberi tulisan penjelasan. Penjelasan

dibagi menjadi dua yaitu penjelasan umum dan penjelasan per pasal. Penjelasan umum

berisi pokok-pokok pikiran yang menjadi landasan filosofis, sosiologis dan hukum. Pada

penjelasan per pasal jika dirasa jelas maka tidak perlu dijelaskan lebih lanjut dan hanya

ditulis Cukup jelas.

Pengelompokkan materi muatan Peraturan Perusahaan dapat disusun secara

sistimatis dalam buku, bab, bagian dan paragraph. Urutan pengelompokkannya adalah

bab dengan pasal atau beberapa pasal tanpa bagian atau paragraph, bab dengan bagian

dan pasal atau beberapa pasal tanpa paragraph atau bab dengan bagian dan paragraph

yang berisi pasal atau beberapa pasal. Pasal dapat dirinci dalam beberapa ayat. Ayat

diberi nomor urut dengan angka Arab diantara tanda baca kurung tanpa diakhiri tanda

baca titik. Satu ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam satu

kalimat utuh. Jika satu ayat memuat rincian unsur, selain dalam bentuk kalimat dengan

rincian, juga dapat berbentuk tabulasi. Tiap rincian ditandai dengan huruf a, huruf b,

dan seterusnya. Kata “dan”, “atau”, “dan/atau” tidak perlu diulang pada akhir kalimat

cukup diberi tanda ; dan pada kalimat sebelum rincian akhir diberi kata “dan”, “atau”,

“dan/atau”.

2. Pemilihan Bahasa:

68
a. tidak menggunakan kata atau frasa yang artinya tidak menentu, tidak

baku atau konteks kalimatnya tidak jelas, panjang, rancu, tidak cermat

dan bersifat emosional.

b. penulisan kata yang bermakna tunggal atau jamak dirumuskan dalam

bentuk tunggal, contoh karyawan-karyawan ditulis karyawan;

c. gunakan kata paling lambat atau paling cepat, paling singkat atau paling

lama, maksimum atau minimum untuk menyatakan batasan sesuatu;

d. untuk menyatakan tidak termasuk, gunakan kata kecuali;

e. untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata selain;

f. untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, digunakan

kata jika, apabila, atau frasa dalam hal;

g. untuk menyatakan kejadian yang pasti terjadi pada masa depan, gunakan

kata pada saat;

h. untuk menyatakan sifat kumulatif, gunakan kata dan;

i. untuk menyatakan kalimat alternatif, gunakan kata atau;

j. untuk menyatakan sifat kumulatif dan alternatif, gunakan frasa dan/atau;

k. untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak;

69
l. untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan,

gunakan kata wajib;

m. untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu,

gunakan kata harus;

n. untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau

lembaga, gunakan kata berwenang.

3. Untuk teknik pengacuan maka gunakan frasa sebagaimana dimaksud dalam

Pasal … atau sebagaimana dimaksud pada ayat … Hindari pengacuan setelah

Pasal atau ayat yang diacu.

70
B. Contoh Peraturan Perusahaan

Berikut ini adalah contoh naskah rancangan Peraturan Perusahaan beserta

dokumen surat kelengkapan yang dapat digunakan sebagai bahan acuan atau pedoman

dalam pembuatan Peraturan Perusahaan

71
Contoh Peraturan Perusahaan

PERATURAN PERUSAHAAN

PT. ……….

TAHUN 20……-20……

72
PERATURAN PERUSAHAAN

PT. ......................... TAHUN 20...-20...

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PIMPINAN PERUSAHAAN,

Menimbang: a. bahwa pengusaha dan pekerja/karyawan memiliki hak dan kewajiban ditempat

kerja dalam rangka menciptakan hubungan industrial yang harmonis guna

mencapai kesejahteraan bersama;

b. bahwa dalam pelaksanaan hubungan kerja di perusahaan, masih terdapat

syarat kerja dan tata tertib perusahaan yang perlu diatur;

c. bahwa dalam rangka untuk menjamin kepastian hukum dalam hubungan kerja

diperlukan dasar hukum sebagai pelaksana ketentuan perundangan-undangan

yang lebih tinggi;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Perusahaan PT. ................

Tahun 20...-20...;

73
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran

Negara Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara nomor 2918);

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan

di Perusahaan (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 39, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 3201);

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3670);

3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 121, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989);

4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4279);

5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004

Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356);

6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Jaminan Sosial (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4456);

74
7. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 104, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5029);

8. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan

Pengupahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 8,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3190);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1988 tentang Upaya Peningkatan

Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1988 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3754);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 Tentang Sistem Pelatihan Kerja

Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 67,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4937);

12. Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1999 tentang Lembaga Koordinasi dan

Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat;

13. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 tentang

Pengawasan Ketenagakerjaan;

75
14. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-04/MEN/1994 tentang Tunjangan

Hari Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan;

15. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor

PER.16/MEN/XI/2011 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan

Peraturan Perusahan serta Pembuatan dan Pedaftaran Perjanjian Kerja

Bersama (Berita Negara Tahun 2011 Nomor 710);

16. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012

tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada

Perusahaan Lain (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1138);

17. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013

tentang Upah Minimum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor

1239);

76
Dengan Mempertimbangkan Saran

PERWAKILAN PEKERJA/KARYAWAN

Maka

PIMPINAN PERUSAHAAN PT. ........................

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PERUSAHAAN PT. .........

TAHUN 20...-20....

77
Contoh Peraturan Perusahaan

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Perusahaan ini yang dimaksud dengan:

1. Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh

pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.

2. Hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara

para pelaku proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur

pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang

mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha

dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya

perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan

kerja dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu

perusahaan.

78
4. Sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja adalah bagian dari sistem

manajamen perusahaan secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi,

perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses, dan sumber

daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian,

pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja

dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna

terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif

5. Syarat kerja adalah hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh yang

belum diatur dalam peraturan perundangan-undangan.

6. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah badan hukum yang dibentuk

untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.

7. Perusahaan adalah PT. …… yang berlokasi di Jalan ……, Kabupaten/Kota.

8. Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka,

bergerak atau tetap dimana pekerja/karyawan bekerja, atau yang dimasuki

pekerja/karyawan untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber-

sumber bahaya yang harus dikelola oleh pihak pengusaha agar tidak

menimbulkan suatu dampak yang membahayakan bagi pekerja/karyawan.

9. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang

digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik

promotif dan preventif yang diselenggarakan oleh perusahaan.

79
10. Aksesibilitas adalah kemudahan dan fasilitas khusus yang disediakan bagi

penyandang disabilitas dan lanjut usia guna mewujudkan kesamaan

kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.

11. Pengusaha adalah:

a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan

suatu perusahaaan milik sendiri;

b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri

sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di

Kabupaten/Kota mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam

huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

12. Pekerja/karyawan PT. …… adalah setiap pekerja/karyawan yang bekerja pada

perusahaan berdasarkan hubungan kerja dengan menerima upah.

13. Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang memiliki keterbatasan fisik,

mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam

berinteraksi ditempat kerja, lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat

menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif

berdasarkan persamaan hak, kewajiban, peran dan kedudukan yang sama.

14. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan

untuk pekerja/buruh baik diperusahaan maupun diluar perusahaan, yang

80
bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggungjawab guna

memperjuangkan, membela, serta melindungi hak dan kepentingan

pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan

keluarganya;

15. Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha

atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para

pihak dan kewajiban para pihak.

16. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,

meningkatkan serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas,

disiplin, sikap, dan etos pekerja pada tingkat ketrampilan dan keahlihan

tertentu sesuai dengan jenjang kualifikasi jabatan atau pekerjaan, dan

pendidikan.

17. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan

secara terpadu antara pelatihan dilembaga pelatihan dengan bekerja secara

langsung dibawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh

yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang/jasa di perusahaan,

dalam rangka menguasai ketrampilan atau keahlihan tertentu bagi

pekerja/karyawan.

18. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup

aspek pengetahuan, ketrampilan dan/atau keahlihan serta sikap kerja yang

sesuai dengan standard yang ditetapkan.

81
19. Skala upah adalah kisaran nominal upah untuk setiap kelompok jabatan.

20. Jabatan adalah sekumpulan pekerjaan dalam organisasi perusahaan.

82
Contoh Peraturan Perusahaan

BAB II

MAKSUD DAN TUJUAN

Pasal 2

1. Peraturan Perusahaan ini bermaksud untuk menghimpun semua syarat kerja dan

tata tertib pada perusahaan.

2. Peraturan Perusahaan ini bertujuan untuk :

a. menciptakan hubungan industrial yang harmonis;

b. mewujudkan suatu perlindungan, ketenteraman usaha dan ketenangan

kerja;

c. mencapai peningkatan produksi dan produktivitas;

d. meningkatkan kesejahteraan pekerja.

83
Contoh Peraturan Perusahaan

BAB III

PENERIMAAN PEKERJA/KARYAWAN

Bagian Kesatu

Syarat Penerimaan Calon Pekerja/Karyawan

Pasal 3

1. Perusahan merekrut dan/atau menerima pekerja baru guna memenuhi

kebutuhan tenaga kerja yang berketrampilan dan/atau memiliki kompetensi

yang sesuai kebutuhan perusahaan.

2. Perekrutan pekerja sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan

melalui:

a. pengumuman pada surat kabar;

b. penempelan lowongan di lingkungan perusahaan; dan/atau

c. bekerjasama dengan instansi yang bertanggungjawab dibidang

ketenagakerjaan melalui bursa lowongan kerja.

84
3. Penerimaan pekerja sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan

berdasarkan kepentingan perusahaan dan disesuaikan dengan kebutuhan serta

dilakukan setelah pekerja/karyawan memenuhi persyaratan yang ditentukan

antara lain:

a. memiliki kemampuan bekerja atas dasar pengalaman;

b. sesuai dengan persyaratan untuk jabatan pekerjaan yang ditawarkan;

c. berkelakuan baik; dan/atau

d. lulus hasil seleksi yang ditentukan oleh perusahaan.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara penerimaan pekerja/karyawan diatur

dengan peraturan personalia.

Bagian Kedua

Training atau Percobaan Kerja

Pasal 4

1. Setiap calon pekerja/karyawan dapat diwajibkan menjalani masa training atau

percobaan kerja selama 3 (tiga) bulan, kecuali pekerja/karyawan yang telah

mempunyai keahlian tertentu.

85
2. Training sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) untuk melatih ketrampilan

calon pekerja/karyawan dibidang pekerjaan yang diperlukan dan untuk adaptasi

dengan tempat kerja diperusahaan.

3. Perusahaan melakukan penilaian bagi pekerja/karyawan yang sedang melakukan

training atau percobaan kerja melalui mekanisme penilaian yang berlaku dalam

perusahaan.

4. Tatacara mengenai penilaian sebagaimana yang dimaksud ayat (3) diatur dengan

peraturan personalia.

5. Perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja bagi pekerja masa

percobaan yang tidak memenuhi standar minimal penilaian sebagaimana yang

dimaksud pada ayat (3).

6. Pemutusan hubungan kerja sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) dilakukan

sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Bagian Ketiga

Perjanjian Kerja

Pasal 5

1. Perjanjian kerja dapat Waktu Tertentu dan Waktu Tidak Tertentu.

86
2. Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya

rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta

pekerja/karyawan masing-masing mendapatkan 1 (satu) perjanjian kerja.

3. Setiap perjanjian kerja sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) akan

dicatatkan kepada instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan.

4. Tatacara pembuatan perjanjian kerja dilakukan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

87
Contoh Peraturan Perusahaan

BAB IV

KETENTUAN KERJA

Bagian Kesatu

Waktu Kerja dan Libur

Pasal 6

1. Waktu kerja dan jam kerja pada perusahaan adalah sebagai berikut:

a. Pekerja/karyawan bekerja selama …… (……) hari kerja dalam seminggu dari hari

Senin sampai dengan hari …..;

b. Waktu kerja sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dibagi dalam:.

(1) Shift I :

Senin sampai dengn …… :

Masuk kerja : Pukul …… - Pukul ……

Istirahat : Pukul …… - Pukul ……

Istirahat Jum’at : Pukul 11.30 - Pukul 13.00

88
Sabtu : Pukul …… - Pukul …..

Istirahat : Pukul …. – Pukul ……

(2) Shift II :

(Jika ada)

Pasal 7

1. Pada hari yang telah ditetapkan sebagai hari libur, pekerja/karyawan dibebaskan

dari kewajibannya untuk bekerja dengan tetap menerima upah.

2. Hari yang ditetapkan sebagai hari libur sebagaimana yang dimaksud pada ayat

(1) adalah :

a. hari istirahat mingguan yang ditetapkan dan/atau terkadang tidak harus hari

minggu;

b. hari libur yang ditetapkan oleh perusahaan melalui peraturan personalia;

c. hari libur resmi yang ditetapkan pemerintah.

Bagian Kedua

Cuti

Pasal 8

89
1. Pelaksanaan cuti tahunan ditentukan oleh pimpinan perusahaaan agar tidak

mengganggu jalannya operasional perusahaan dengan tetap memperhatikan

kepentingan pekerja/karyawan.

2. Hak cuti tahunan menjadi gugur apabila jangka waktu 6 (enam) bulan setelah

lahirnya hak cuti tidak dipergunakan oleh pekerja/karyawan dan hal ini bukan

karena alasan yang diberikan oleh pimpinan perusahaan.

Pasal 9

1. Perusahaan memberikan ijin cuti sakit.

2. Ijin cuti sakit sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) harus disertai surat

keterangan dokter.

3. Jika pekerja/karyawan tidak masuk kerja melebihi istirahat sakit, yang telah

ditetapkan oleh dokter dan pihak pekerja/karyawan tidak minta perpanjangan

ijin cuti sakit, maka pada hari tersebut pekerja/karyawan dianggap mangkir.

4. Ketentuan mengenai mangkir sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3)

dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Perpanjangan ijin cuti sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan

secara lisan jika pekerja/karyawan masih sakit melewati jangka waktu yang

ditetapkan oleh dokter.

90
6. Perpanjangan ijin cuti sakit secara lisan sebagaimana yang dimaksud pada ayat

(5) dapat diberikan atas dasar kebijaksanaan pimpinan perusahaan.

7. Jika pekerja/karyawan terlalu sering meminta ijin cuti sakit dalam jangka waktu 3

(tiga) bulan, perusahaan dapat mewajibkan pekerja/karyawan tersebut diperiksa

dokter yang ditunjuk oleh perusahaan dengan biaya ditanggung perusahaan.

8. Hasil pemeriksaan dokter sebagaimana yang dimaksud pada ayat (6) akan

dijadikan dasar untuk mengambil kebijaksanaan pimpinan perusahaan terhadap

pekerja yang bersangkutan.

Pasal 10

1. Pekerja/karyawan perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan

memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan

kedua pada waktu haid.

2. Cuti haid tidak berlaku bagi pekerja/karyawan perempuan yang sedang hamil.

3. Jika pekerja/karyawan perempuan yang sedang mengambil cuti haid sejak

kehamilannya maka akan diperhitungkan dengan hak cuti hamilnya.

4. Pekerja/karyawan perempuan yang hamil berhak mendapat cuti hamil dan

melahirkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Pekerja/karyawan dalam menggunakan haknya sebagaimana yang dimaksud

pada ayat (4) harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada pimpinan

91
perusahaan dengan melampirkan surat keterangan dokter atau Rumah Sakit

Bersalin yang merawatnya.

Bagian Ketiga

Ijin Meninggalkan Pekerjaan

Pasal 11

1. Setiap pekerja/karyawan saat meninggalkan pekerjaan ditempat kerja wajib

mendapatkan ijin meninggalkan pekerjaan yang dikeluarkan oleh pimpinan

perusahaan dalam bentuk tertulis.

2. Tatacara dan formulir pengisian ijin meninggalkan pekerjaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan personalia.

3. Ijin meninggalkan pekerjaan diberikan sesuai kebijaksanaan pimpinan

perusahaan dengan memperhatikan:

a. kepentingan perusahaan;

b. kepentingan pekerja/karyawan yang bersangkutan;

c. ketentuan peraturan perundang-undangan.

92
4. Atas permintaan tertulis dari pekerja/karyawan dan disertai keterangan yang

dibenarkan maka kepada pekerja/karyawan dapat diberikan ijin meninggalkan

pekerjaan dengan diberikan upah penuh.

5. Dalam keadaan memaksa maka ijin meninggalkan pekerjaan dapat dilakukan

secara lisan dan diberikan ijin secara lisan;

6. Setiap pekerja/karyawan yang tidak masuk kerja tanpa mendapatkan ijin

meninggalkan pekerjaan tidak mendapatkan upah dan dianggap mangkir.

7. Ijin meninggalkan pekerjaan saat pekerja/karyawan bekerja hanya diijinkan

sesudah jam 12.00 (jam istirahat) dan dibayar upah penuh.

8. Pekerja/karyawan yang meninggalkan pekerjaan sesudah jam 12.00 (jam

istirahat) tanpa ijin dianggap mangkir dan upah tidak dibayar.

9. Bagi pengurus organisasi tingkat perusahaan yang mengadakan kegiatan di luar

perusahaan pada jam kerja harus disertai bukti surat undangan resmi paling

lambat 1 (hari) hari sebelum kegiatan dilaksanakan.

10. Pekerja/karyawan yang mendapatkan ijin meninggalkan pekerjaan untuk

melakukan perjalanan dinas keluar kota untuk kepentingan perusahaan

diberikan biaya perjalanan dinas yang besarnya diatur dalam peraturan

personalia.

93
Contoh Peraturan Perusahaan

BAB V

HAK DAN KEWAJIBAN PENGUSAHA

Bagian Kesatu

Pengupahan dan Tunjangan

Pasal 12

1. Pengusaha memberikan imbalan atau upah yang layak bagi pekerja/karyawan

sesuai dengan prestasi.

2. Upah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diberikan berbentuk uang dan

ditetapkan tanpa melihat susunan keluarga atau clean wage.

3. Upah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan sistem upah

bulanan dan/atau harian.

4. Besarnya upah borongan diberikan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh

pimpinan perusahaan.

Pasal 13

1. Pengusaha berhak mewajibkan lembur dan memberikan upah lembur.

94
2. Upah lembur sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan

ketentuan peraturan perudang-undangan.

3. Kerja lembur sebagaimana yang pada ayat (1) pada dasarnya dilakukan atas dasar

sukarela kecuali terdapat hal sebagai berikut:

a. jika terdapat pekerjaan harus dilakukan dengan segera;

b. jika pada suatu waktu tertentu terdapat pekerjaan yang tertimbun dan

harus segera diselesaikan; dan/atau

c. jika terdapat pekerjaan yang harus segera diselesaikan karena membahayakan

kesehatan serta keselamatan orang lain seperti kebakaran, gempa bumi,

banjir dan hal sejenisnya.

4. Pekerjaan lembur yang sifat dan jenisnya dilakukan terus menerus dalam jangka

waktu 1 (satu) bulan akan dilaporkan ke instansi yang bertanggungjawab dibidang

ketenagakerjaan.

Pasal 14

1. Pengusaha berkewajiban memberikan tunjangan hari raya keagamaan bagi

pekerja.

2. Besarnya tunjangan hari raya keagamaan diberikan sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan.

Pasal 15

95
1. Pengusaha memberikan tunjangan berupa:

a. …….

b. ……

2. Syarat dan ketentuan pemberian tunjangan sebagaimana yang dimaksud pada

ayat (1) diatur dalam peraturan personalia.

Pasal 16

Pengusaha memberikan bantuan uang duka apabila pekerja meninggal dunia serta

memberikan hak-haknya yang belum diterima kepada ahli waris.

Bagian Kedua

Promosi, Demosi, dan Mutasi

Pasal 17

1. Pengusaha berhak untuk melakukan promosi atau peningkatan jabatan, demosi atau

penurunan jabatan dan mutasi atau perpindahan jabatan.

2. Hak pengusaha sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan

kepentingan perusahaan dan pekerja/karyawan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

96
3. Promosi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diikuti oleh:

a. kenaikan jabatan lebih tinggi; dan/atau

b. kenaikan upah dan tunjangan beserta fasilitas.

4. Demosi atau penurunan jabatan dilakukan dengan berdasarkan:

a. pertimbangan kebijaksanaan perusahaan;

b. bagian dari sanksi yang diberikan oleh perusahaan.

5. Demosi atau penurunan pangkat yang merupakan bagian dari sanksi sebagaimana

yang dimaksud pada ayat (4) huruf b hanya dapat dilakukan jika ancaman demosi

atau penurunan pangkat terhadap suatu pelanggaran tercantum dalam:

a. Peraturan Perusahaan;

b. ketentuan peraturan perundang-undangan;

6. Dasar pemberian sanksi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4) huruf b wajib

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

7. Setiap keputusan demosi atau penurunan demosi sebagaimana yang dimaksud pada

ayat (4) huruf b wajib dibuatkan surat tertulis berupa Surat Keputusan Demosi;

8. Surat Keputusan Demosi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (7) akan

diberitahukan ke instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan

selambatnya 6 (enam) hari setelah surat keputusan ditetapkan;

97
9. Pengusaha berhak dan dapat memindahkan atau mutasi dan/atau

memperbantukan sementara pekerja/karyawan ke pekerjaan atau bagian yang lain

dalam lingkungan group.

10. Perbantuan bersifat sementara sebagaimana yang dimaksud pada ayat (9)

berdasarkan penilaian perusahaan yang luas dan obyektif dan/atau apabila

kebutuhan perusahaan menghendaki dengan surat pemberitahuan dalam waktu 24

(dua puluh empat) jam.

11. Bersifat sementara sebagaimana yang dimaksud pada ayat (10) dilakukan dalam

jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.

12. Untuk pemindahan atau mutasi pekerja/karyawan sebagaimana yang dimaksud

pada ayat (9) dapat dikategorikan sebagai berikut :

a. pemindahan atau mutasi karena promosi atau peningkatan jabatan;

b. pemindahan atau mutasi karena demosi atau penurunan jabatan

c. pemindahan atau mutasi karena kebutuhan untuk bagian lain;

d. pemindahan atau mutasi karena bagian dari sanksi pelanggaran.

13. Ketentuan mengenai pemindahan akan diatur lebih lanjut dalam peraturan

personalia sesuai ketentuan perundang-undangan.

Bagian Ketiga

98
Kebebasan Beragama dan Beribadah

Pasal 18

Perusahaan menjamin kebebasan beragama dan menjalankan ibadah bagi setiap

pekerja/karyawan.

Bagian Keempat

Fasilitas

Pasal 19

1. Perusahaan memberikan …….

2. Perusahaan menyediakan …….

Pasal 20

Pengusaha mengikutsertakan dan mendaftarkan kepesertaan pekerja/karyawan pada

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Pasal 21

99
Pengusaha menyelenggarakan sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja

dilingkungan tempat kerja sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 22

Pengusaha akan senantiasa mengupayakan terwujudnya lingkungan kerja yang sehat

dan aman serta lingkungan hidup yang harmonis di dalam maupun disekitar

perusahaan.

Pasal 23

Pengusaha mendorong para pekerja/karyawan untuk mendirikan suatu koperasi pekerja

dan/atau upaya lain guna peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh.

Pasal 24

Pengusaha menyelenggarakan fasilitas kesehatan ditempat kerja sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

100
Contoh Peraturan Perusahaan

BAB VI

HAK DAN KEWAJIBAN PEKERJA/KARYAWAN

Bagian Kesatu

Hak Pekerja/Karyawan

Pasal 25

1. Setiap pekerja/karyawan berhak atas perlakuan tanpa diskriminasi dan

mendapatkan kesetaraan.

2. Setiap pekerja/karyawan berhak atas pekerjaan yang layak sesuai dengan

kemanusiaan.

3. Setiap pekerja/karyawan berhak untuk mendapatkan kebebasan beragama dan

menjalankan ibadah agama.

4. Setiap pekerja/karyawan berhak atas bentuk pengupahan yang layak sesuai dengan

struktur dan skala upah.

101
5. Setiap pekerja/karyawan berhak untuk diikutsertakan kepesertaan dalam program

jaminan sosial yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

6. Setiap pekerja/karyawan berhak untuk mendapatkan promosi jabatan sesuai dengan

kebijaksanaan pimpinan perusahaan;

7. Setiap pekerja/karyawan berhak untuk mendapatkan tempat kerja yang aman, sehat

dan harmonis.

8. Setiap pekerja/karyawan berhak untuk menyampaikan pendapat secara lisan

maupun tertulis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

9. Setiap pekerja/karyawan berhak untuk mendirikan dan/atau menjadi anggota

serikat pekerja/serikat buruh.

10. Setiap pekerja/karyawan berhak untuk mendapatkan cuti dan ijin meninggalkan

pekerjaan.

11. Setiap pekerja/karyawan berhak mendapatkan segala hak sebagaimana yang

tercantum dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua

Kewajiban Pekerja/Karyawan

Pasal 26

102
Setiap pekerja berkewajiban sebagai berikut:

a. wajib masuk kerja sesuai dengan jam kerja yang ditetapkan;

b. wajib mencatatkan kartu absen pada waktu datang, setelah istirahat dan pulang

kerja serta dilarang untuk diwakilkan;

c. wajib menggunakan tanda pengenal saat masuk dilingkungan perusahaan;

d. wajib memakai sepatu dan celana panjang serta baju dengan krah leher dan

karyawan wanita di departemen produksi memakai celana panjang;

e. wajib menggunakan alat pengaman dan keselamatan kerja yang ditentukan;

f. wajib menjaga rahasia perusahaan;

g. wajib bersikap sopan, disiplin, rajin dan patuh pada ketentuan kerja yang berlaku

dilingkungan perusahaan;

h. wajib memperlakukan barang milik perusahaan dengan baik dan bertanggung jawab

serta mencegah terjadinya pemborosan bahan baku dan waktu;

i. wajib melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya dan secara bertanggungjawab;

j. wajib mematuhi dan melaksanakan perintah atau instruksi yang layak yang

diberikan oleh atasan dalam rangka pelaksanaan tugas pekerjaan;

k. wajib menggunakan wewenangnya sesuai dengan maksud dan tujuan dalam

ketentuan yang digariskan oleh manajemen perusahaan;

103
l. wajib memelihara suasana kerja yang harmonis;

m. wajib menjaga dan merawat mesin produksi dengan baik;

n. wajib menjaga kebersihan lingkungan kerja dan sekitarnya;

o. wajib untuk bersedia diperiksa dirinya dan barang bawaannya oleh petugas

keamanan atau satpam.

p. wajib .....

104
Contoh Peraturan Perusahaan

BAB VII

TATA TERTIB PERUSAHAAN

Pasal 27

Setiap pekerja dilarang untuk:

a. dilarang tidak masuk kerja tanpa ijin pimpinan perusahaan melalui atasan

langsung dan prosedur yang telah ditetapkan;

b. dilarang menyimpan atau membawa ke luar barang milik perusahaan tanpa ijin

dan/atau surat pengantar dari perusahaan.;

c. dilarang secara langsung maupun tidak langsung melakukan pekerjaan untuk

kepentingan pribadi;

d. dilarang untuk melakukan pekerjaan pihak ketiga tanpa seijin perusahaan;

e. dilarang memikat pimpinan perusahaan, atau keluarga pimpinan perusahaan, atasan

atau teman sekerja untuk berbuat sesuatu yang melanggar hukum dan kesusilaan;

f. dilarang menganiaya, berbicara kasar dan/atau tidak sopan kepada pimpinan

perusahaan, keluarga pimpinan perusahaan, atasan atau teman sekerja;

105
g. dilarang meninggalkan atau menyerahkan pekerjaannya kepada orang lain tanpa ijin

dari atasan pada saat jam kerja berlangsung;

h. dilarang berada ditempat yang bukan bagiannya, kecuali ada perintah untuk

melakukan pekerjaan ditempat atau bagian tersebut;

i. dilarang membuat keramaian atau kegaduan dilingkungan perusahaan;

j. dilarang terlibat perkelahian di dalam perusahaan apapun alasannya;

k. dilarang menerima tamu atau telepon yang tidak berhubungan dengan pekerjaan

pada saat jam kerja, kecuali ada ijin dari atasan;

l. dilarang mengantar atau membawa keluarga atau temannya masuk dalam lokasi

perusahaan tanpa seijin pimpinan perusahaan;

m. dilarang membawa senjata api atau senjata tajam dan/atau minuman keras dan

semacamnya masuk dalam lokasi perusahaan;

n. dilarang merokok atau menyalakan api dalam lingkungan perusahaan;

o. dilarang melakukan perbuatan yang melanggar kesopanan dan kesusilaan;

p. dilarang melakukan pekerjaan yang sifatnya mencoba, khususnya yang

berhubungan dengan mesin dan alat perusahaan;

q. dilarang mengadakan pertemuan atau rapat didalam lokasi perusahaan tanpa seijin

pimpinan perusahaan.

106
r. dilarang membawa masuk kelokasi pabrik atau perusahaan barang yang ditentukan

oleh perusahaan dilarang untuk dibawa masuk kelingkungan perusahaan dan/atau

tempat kerja. Barang dimaksud dapat dititipkan ke pos keamanan perusahaan;

s. dilarang …..

107
Contoh Peraturan Perusahaan

BAB VIII

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

Pasal 28

1. Pemutusan hubungan kerja dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan.

2. Perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja karena bagian dari

pemberian sanksi.

3. Pekerja/karyawan yang mempunyai masa kerja tertentu apabila mengundurkan diri

atau berhenti secara baik dari perusahaan atas permintaan sendiri dapat diberikan

uang tali asih sesuai kebijaksanaan pimpinan perusahaan, dengan ketentuan:

a. Pekerja/karyawan harus mengajukan permohonan secara tertulis satu bulan

sebelum pekerja yang bersangkutan berhenti dan dibubuhi materai secukupnya;

b. sebelum pekerja/karyawan berhenti dari perusahaan harus menyelesaikan

pekerjaannya yang merupakan tanggung jawabnya;

108
c. sebelum pekerja/karyawan tersebut berhenti harus menyerahkan tugasnya

kepada yang akan menggantikannya;

d. apabila pekerja/karyawan tersebut mempunyai hutang, berbentuk uang

dan/atau barang, wajib diselesaikan terlebih dahulu sebelum pekerja/karyawan

tersebut berhenti.

109
Contoh Peraturan Perusahaan

BAB IX

KESETARAAN PENYANDANG DISABILITAS

Pasal 29

1. Perusahaan menerima pekerja penyandang disabilitas sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

2. Perusahaan menjamin hak dan kewajiban yang sama bagi pekerja penyandang

disabilitas.

3. Perusahaan menyediakan sarana aksesibilitas di lingkungan perusahaan.

4. Penyediaan sarana aksesibilitas sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

110
Contoh Peraturan Perusahaan

BAB X

SANKSI

Pasal 30

1. Setiap pekerja/karyawan yang melanggar ketentuan perusahaan ini dapat dijatuhi

sanksi.

2. Penjatuhan sanksi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Sanksi yang dimaksudkan pada ayat (1) dapat berupa :

a. dipindahkan ke tempat pekerjaan yang baru atau mutasi karena sanksi;

b. demosi atau penurunan pangkat karena sanksi;

c. membayar kerugian perusahaan akibat pelanggaran dimaksud;

d. diberhentikan sementara atau skorsing;

e. diputuskan hubungan kerja.

4. Sanksi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dijatuhkan kepada

pekerja/karyawan yang sebelumnya mendapat peringatan sebagai berikut:

111
a. peringatan tertulis pertama sebagai peringatan pertama

b. peringatan tertulis kedua sebagai peringatan kedua.

c. peringatan tertulis ketiga sebagai peringatan terakhir.

Peringatan tertulis menjadi gugur setelah 3 (tiga) bulan jika pekerja/karyawan tidak

melakukan kesalahan yang sama.

4. Peringatan tertulis pertama dan kedua dapat diberikan sekaligus apabila derajad

kesalahannya dinilai sangat berat.

5. Terhadap pekerja yang melakukan kesalahan yang derajadnya berat atau telah

melakukan suatu tindakan kejahatan dapat dijatuhi sanksi tanpa terlebih dahulu

diberikan suatu peringatan.

Pasal 31

Setiap pekerja/karyawan yang melanggar ketentuan Pasal 26 dan Pasal 27 dapat

dikenakan ancaman sanksi demosi atau penurunan jabatan.

112
Contoh Peraturan Perusahaan

BAB XI

PENYELESAIAN KELUH KESAH PEKERJA

Pasal 32

Pekerja/karyawan yang ingin menyampaikan persoalan atau pengaduan yang dipandang

harus mendapatkan perhatian dan penyelesaian dari pimpinan perusahaan wajib

menyampaikan dengan prosedur sebagai berikut:

a. setiap persoalan, pengaduan atau perselisihan harus disampaikan,

dimusyawarahkan dan diselesaikan dengan atasan langsung untuk pertama kalinya;

b. jika tidak terdapat penyelesaian, maka dengan sepengetahuan atasan langsung,

dapat menyampaikan kepada atasan yang lebih tinggi dan atasan yang lebih tinggi

tersebut harus bersedia menyelesaikan persoalan, pengaduan atau perselisihan

tersebut;

c. jika tetap tidak terdapat penyelesaian maka penyelesaian persoalan, pengaduan dan

perselisihan akan dilakukan melalui mekanisme mediasi guna mendapatkan

penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh Mediator Hubungan Industrial

113
pada instansi yang berwenang dibidang ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

114
Contoh Peraturan Perusahaan

BAB XII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 33

Hal-hal lain yang belum diatur dalam Peraturan Perusahaan ini akan diatur kemudian

berdasarkan petunjuk atau persetujuan dari instansi yang bertanggungjawab dibidang

ketenagakerjaan.

115
Contoh Peraturan Perusahaan

BAB XIII

PENUTUP

Pasal 34

1. Peraturan Perusahaan ini berlaku selama 2 (dua) tahun sejak disahkan sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan.

2. Dengan dikeluarkannya Peraturan Perusahaan ini, maka semua peraturan yang

terdahulu sepanjang telah diatur dalam Peraturan Perusahaan ini dinyatakan tidak

berlaku lagi dan selanjutnya harus mengikuti Peraturan Perusahaan ini.

3. Dengan dikeluarkannya Peraturan Perusahaan ini, maka semua peraturan yang

terdahulu sepanjang belum diatur dan tidak bertentangan dengan Peraturan

Perusahaan ini dinyatakan tetap berlaku.

4. Peraturan Perusahaan ini ditempelkan ditempat pengumuman yang mudah dibaca

oleh semua pekerja/karyawan dan/atau dibagikan kepada semua pekerja/karyawan.

5. Bila terjadi perubahan terhadap isi Peraturan Perusahaan wajib mendapat

pengesahan terlebih dahulu dari instansi yang bertanggungjawab dibidang

ketenagakerjaan.
116
Ditetapkan di : Mojokerto

Pada :

Pimpinan Perusahaan

……..

Ttd dan Stempel Perusahaan

(Nama jelas)

117
Contoh Kelengkapan Berkas Dokumen Peraturan Perusahaan

FORMAT PERMOHONAN PENGESAHAN

PERATURAN PERUSAHAAN

KOP PERUSAHAAN

......, ............... (kota dan tanggal)

No : Kepada Yth:

Hal : Permohonan Pengesahan ..............................

Peraturan Perusahaan ..............................

Di ......................................

118
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dengan ini

kami sampaikan permohonan pengesahan Pengaturan Perusahaan sebanyak 3 (tiga) eksempla,

yaitu :

1. Nama Perusahaan :

2. Alamat Perusahaan :

3. Nomor Telepon :

4. Jenis/Bidang Usaha : (diisi sesuai KLUI)

5. Status Perusahaan : PT/CV/Firma/Perusahaan Perseorangan/Badan

Usaha Negara/Persero/PMA/PMDN/Joint

Venture (coret yang tidak perlu)

6. Surat Keputusan Izin Usaha : Nomor :

Tanggal :

7. Nama-nama Serikat :

Di Perusahaan (apabila ada)

8. Nomor Kepesertaan :

Jamsostek

119
9. Jumlah Pekerja Pusat : Laki-laki : ........... orang

Wanita : ........... orang

10. Jumlah Pekerja di cabang : Laki-laki : ........... orang

Wanita : ........... orang

11. Konsep Peraturan : Baru/Pembaharuan yang ke ..... kali (sebutkan)

Perusahaan (coret yang tidak perlu)

12. Tanggal berlakunya :

Peraturan Perusahaan yang

Baru

13. Upah Pekerja Bulanan : Minimum Rp. ...................

Maximum Rp. ...................

Upah Pekerja Harian : Minimum Rp. ....................

120
Maximum Rp. ...................

14. Sistem Hubungan Kerja :

a. Untuk Waktu Tertentu .......................... orang

b. Untuk Waktu Tidak .......................... orang

Tertentu

121
Contoh Kelengkapan Berkas Dokumen Peraturan Perusahaan

Lampiran :

1. Nama-nama cabang perusahaan masing-masing beserta alamat, jenis usaha dan jumlah

pekerja.

2. Konsep Peraturan Perusahaan yang akan disahkan (3 eksemplar)

3. Peraturan Perusahaan yang lama/terakhir beserta Surat Keputusannya.

4. Surat usul perbaikan/percobaan yang akan diadakan dengan memberi penjelasan-

penjelasannya bagi Peraturan Perusahaan yang akan diperbaharui.

5. Surat persetujuan dari Pimpinan Serikat Pekerja yang menyatakan belum siap/mampu

meningkatkan menjadi Perjanjian Kerja Bersama (jika sudah ada Serikat Pekerja).

6. Fotocopy tanda Keanggotaan dan fotocopy pembayaran terakhir Jamsostek.

Pimpinan Perusahaan

..................................

Catatan : Setiap berkas Peraturan Perusahaan diparaf disetiap lembarnya oleh manajemen.

122
Contoh Kelengkapan Berkas Dokumen Peraturan Perusahaan

FORMAT SURAT PERNYATAAN 1

KOP PERUSAHAAN

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini, kami yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan sebagai berikut :

1. Perusahaan telah menyampaikan naskah Rancangan Peraturan Perusahaan PT. .............

dengan surat tanggal ..........., nomor ............ kepada Serikat Pekerja/Serikat Buruh

dan/atau wakil pekerja/buruh dari setiap unit kerja di perusahaan.

2. Untuk itu, kami telah memberikan saran dan pertimbangan terhadap naskah Rancangan

Peraturan Perusahaan tanggal ...................... sebagaimana diatur dalam peraturan

perundang-undang ketenagakerjaan.

123
3. Pengusaha dalam rangka menyusun naskah Peraturan Perusahaan, telah

memperhatikan saran dan pertimbangan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan/atau wakil

pekerja/buruh dan tidak lebih rendah dari Peraturan Perusahaan lama.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sesungguhnya.

..............., .............. (kota dan tanggal)

Pihak-Pihak yang menyatakan,

Pengusaha, Wakil Pekerja/Buruh,

PT. ...........................

NO NAMA UNIT/DIVI TANDA

SI TANGAN

SERIKAT

PEKERJA/

SERIKAT

124
BURUH*)

1 1.

Materai Rp. 6000,- ..............

2 2.

................................ ...............

3 3.

...............

4 4.

...............

dst

Keterangan *):

- Apabila di perusahaan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka yang

memberikan saran dan pertimbangan adalah wakil pekerja/buruh dari unit/divisi.

- Apabila di perusahaan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka yang

memberikan saran dan pertimbangan adalah serikat pekerja/serikat buruh.

125
- Contoh Kelengkapan Berkas Dokumen Peraturan Perusahaan

FORMAT SURAT PERNYATAAN 2

KOP PERUSAHAAN

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ............................................

Alamat : ............................................

............................................

Jabatan : ............................................

Dengan ini menyatakan bahwa sampai saat ini di perusahaan kami PT. .................................

tidak ada Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

.........., ............(kota dan tanggal)

Materai Rp. 6000,-

.....................................

Pimpinan Perusahaan

126
BAB V

HIMPUNAN PERTANYAAN SEPUTAR KETENAGAKERJAAN

Pada Bab ini guna untuk memantapkan pemahaman serta lebih mengenal hukum

ketenagakerjaan di Indonesia maka dibuat berdasarkan Tanya Jawab.

PERTANYAAN DASAR I

UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004

TENTANG PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Apakah Perselisihan Hubungan Industrial itu?

Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan

pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau

serikat pekerja/buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan

kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat

pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan (Ps. 1).

Apakah maksud perselisihan hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja dan antar serikat

pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan?

127
1. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat

adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan

perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja

bersama (Ps. 1);

2. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena

tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan/atau perubahan syarat-

syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau

perjanjian kerja bersama (Ps. 1);

3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak

adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan

oleh salah satu pihak (Ps.1);

4. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat

pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lainnya dalam satu

perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan,

pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan (Ps.1).

Bagaimana tata cara penyelesaian PHI melalui perundingan bipartit?

Penyelesaian PHI memang wajib diupayakan terlebih dahulu melalui perundingan

bipartite antara pihak-pihak yang berselisih paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak

tanggal dimulainya perundingan (Ps. 3). Dalam perundingan tersebut harus

menyertakan risalah perundingan (Ps. 6). Apabila dalam jangka waktu tersebut salah

128
satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak

mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartite dianggap gagal (Ps. 3).

Sebaliknya jika tercapai kesepakatan maka dibuat Perjanjian Bersama (Ps. 7). Perjanjian

Bersama ini bersifat mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan kedua belah

pihak (Ps. 7).

Apakah Perjanjian Bersama ini wajib didaftarkan?

Agar memiliki kekuatan hukum tetap maka tentunya wajib didaftarkan pada Pengadilan

Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan

Perjanjian Bersama (Ps. 7).

Bagaimana jika Perjanjian Bersama ini dilanggar?

Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada

Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama

didaftar untuk mendapatkan penetapan eksekusi (Ps. 7).

Bagaimana tata cara penyelesaian PHI apabila perundingan bipartit gagal?

Salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi

yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan setempat (untuk selanjutnya disebut

129
dinas tenaga kerja setempat). Apabila tidak dilampiri bukti maka harus dilengkapi

selambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian

berkas tersebut. Selanjutnya pihak dinas tenaga kerja setempat wajib menawarkan

kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi oleh

konsiliator atau arbitrase oleh arbiter. Jika dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja pihak yang

berselisih tidak menetapkan pilihannya maka oleh dinas tenaga kerja setempat secara

otomatis melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator (Ps. 4). Disini yang

dimaksud dengan penyelesaian konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan,

perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat

buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang

atau lebih konsiliator netral. Untuk penyelesaian mediasi adalah penyelesaian

perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan

perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui

musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Sedangkan

arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar

serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan diluar Pengadilan Hubungan

Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk

menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para

pihak dan bersifat final (Ps. 1).

Apakah konsiliator, arbiter dan mediator itu?

130
1. Konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator

yang ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib

memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan

perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan

antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan (Ps. 1);

2. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar

arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan

kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu

perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya

mengikat para pihak dan bersifat final (Ps. 1);

3. Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang

ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh

Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan dan mempunyai kewajiban

memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan

perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan

perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan (Ps. 1).

Apakah penunjukan konsiliator, arbiter atau mediator ini dikenakan biaya?

Untuk penunjukan konsiliator honorarium/imbalan jasa dibebankan kepada Negara

melalui penetapan Menteri (Ps. 26). Untuk penunjukan arbiter maka biaya arbitrase dan

honorarium arbiter dituangkan ke dalam perjanjian Penunjukan arbiter (Ps. 34).

131
Sedangkan mediator karena Pegawai Negeri Sipil maka secara otomatis tidak perlu

diberikan honorarium/imbalan jasa.

Apakah penunjukan kosiliator atau arbiter ini harus berdasarkan kesepakatan kedua belah

pihak yang berselisih?

Ya. Penunjukan konsiliator dilakukan oleh para pihak yang mengajukan permintaan

secara tertulis dan disepakati oleh para pihak (Ps. 18). Demikian pula dengan

penunjukan arbiter dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih

dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase, dibuat rangkap 3 (tiga) dan

masing-masing pihak mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum sama.

Bagaimana jika salah satu pihak tidak menemui kesepakatan dalam penunjukan konsiliator

atau arbiter?

Secara umum dan singkat dapat dijelaskan sebagai berikut, jika tidak menemui

kesepakatan penunjukan dalam jangka waktu 7 (hari) kerja maka dinas tenaga kerja

setempat segera melimpahkan penyelesaian perselisihan tersebut kepada mediator (Ps.

4).

132
Bagaimana misalkan saat ditengah-tengah perundingan dan pihak yang berselisih berubah

pikiran ingin mengganti penyelesaian perselisihan dari konsiliator kepada arbiter atau

konsiliator kepada mediator atau sebaliknya?

Secara jelas memang tidak disebutkan dalam peraturan perundangan yang ada sehingga

tidak dapat dijelaskan secara mendetail dalam jawaban untuk kali ini.

Bagaimana kekuatan hukum anjuran tertulis yang dikeluarkan oleh konsiliator atau mediator

dan arbiter dengan putusannya?

Dalam hal penyelesaian melalui konsiliator dan mediator tidak mencapai kesepakatan

maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan

Industrial (Ps. 5). Sedangkan perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah

diselesaikan melalui arbiter tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial (Ps.

53). Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan

kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak

ditetapkan putusan oleh arbiter (Ps. 52).

Berapa lamakah penyelesaian perselisihan melalui mediator, konsiliator dan arbiter?

Mediator dan konsiliator menyelesaikan tugasnya selambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja

terhitung sejak menerima pelimpahan perselisihan (Ps. 15 dan Ps. 23) dan

mengeluarkan anjuran tertulis selambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi

133
pertama (Ps. 13 dan Ps. 25). Anjuran tertulis ini dituangkan dalam Risalah Perundingan.

Untuk arbiter menyelesaikan tugasnya sama dengan mediator dan konsiliator yaitu 30

(tiga puluh) hari kerja tetapi arbiter tidak mengeluarkan anjuran tertulis.

Tadi telah disebutkan mengenai Pengadilan Hubungan Industrial. Apakah Pengadilan

Hubungan Industrial itu?

Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan

pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan

terhadap perselisihan hubungan industrial (Ps. 1).

Dimanakah Pengadilan Hubungan Industrial ini?

Pengadilan Hubungan Industrial dibentuk di Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang

berada disetiap Ibukota Propinsi yang daerah hukumnya meliputi propinsi yang

bersangkutan (Ps. 59) tetapi karena masih baru maka pembentukannya masih secara

bertahap.

Apakakah tugas dan wewenang Pengadilan Hubungan Industrial?

Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwewenang memeriksa dan memutus

tentang (Ps. 56) :

134
1. Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;

2. Ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;

3. Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;

4. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat

buruh dalam satu perusahaan.

Jika suatu kasus termasuk dalam tugas dan wewenang Pengadilan Hubungan Industrial ini,

apakah dapat diajukan ke Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum?

Tidak dapat. Karena tugas dan wewenangnya telah diatur oleh peraturan perundang-

undangan yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang PHI. Hal ini secara

otomatis Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum akan menolak dan menyerahkan ke

Pengadilan Hubungan Industrial.

Hukum Acara apakah yang berlaku di Pengadilan Hubungan Industrial?

Hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan

dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-

Undang Nomor 02 Tahun 2004 Tentang PHI (Ps. 57).

135
Apakah dikenakan biaya dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial?

Pihak-pihak yang berpekara tidak dikenakan biaya termasuk tidak dikenakan biaya untuk

biaya eksekusi yang nilai gugatannya dibawah Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh

juta rupiah) (Ps. 58)

Pihak manakah yang mengajukan gugatan dan ditujukan kemana?

Pihak-pihak yang merasa dirugikan dan menolak anjuran tertulis baik dari mediator

maupun konsiliator yang dapat mengajukan gugatan (Ps. 14 dan Ps. 24). Sedangkan

untuk putusan arbiter tidak dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Indutrial

(Ps. 53). Hanya dapat dilakukan pembatalan kepada Mahkamah Agung (Ps. 52). Gugatan

ditujukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah

hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja (Ps. 81).

Bagaimana jika pihak-pihak yang berselisih tidak mengetahui prosedur untuk mengajukan

gugatan ini?

Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa

hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya

(Ps. 87).

136
Gugatan apakah yang dikembalikan oleh Pengadilan Hubungan Industrial di pemeriksaan

pertama kalinya?

Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau

konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan

kepada penggugat (Ps. 83).

Jika pada saat gugatan sudah masuk di Pengadilan Hubungan Industrial dapatkah gugatan

tersebut dicabut?

Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan

jawaban. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, maka

pencabutan akan dikabulkan apabila disetujui tergugat.

Berapa lamakah putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial?

Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian hubungan industrial dalam

waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama

(Ps. 103) .

Bagaimana kekuatan putusan Pengadilan Hubungan Industrial ini?

137
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan putusan yang

dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi

(Ps. 108). Untuk putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri

mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh

dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap (Ps. 109).

Bagaimana jika salah satu pihak tidak menerima putusan Pengadilan Hubungan Industrial?

Untuk putusan mengenai perselisihan hak dan pemutusan hubungan kerja dapat

diajukan permohonan kasasi selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja. Jika tidak

diajukan kasasi maka mempunyai kekuatan hukum tetap (Ps. 110).

Berapa lamakah penyelesaian di tingkat Mahkamah Agung ini?

Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada

Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal

penerimaan permohonan kasasi (Ps. 115).

Apakah jalur penyelesaian perselisihan pada Pengadilan Hubungan Industrial merupakan

pilihan yang paling diutamakan saat berselisih?

138
Berdasarkan Surat edaran Ketua Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan

Negeri Surabaya Nomor 560/44A/112.01/2006 Tanggal 03 Januari 2006 Perihal

Pemberlakuan Undang-undang 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial yang ditujukan kepada Bupati/Walikota se-Jawa Timur yang

membawahi instansi bertanggung jawab bidang ketenagakerjaan menyebutkan bahwa

agar dapatnya perselisihan tersebut tidak ditingkatkan dan diharapkan bisa diselesaikan

ditingkat lokal/bipartite.

139
PERTANYAAN DASAR II

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003

TENTANG KETENAGAKERJAAN

A. PERIHAL PERJANJIAN KERJA

Ada berapakah bentuk perjanjian kerja yang diatur sesuai peraturan perundang-undangan?

Terdapat 2 (dua) macam (Ps. 56) yaitu :

1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT);

2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Sebagai keterangan maka untuk PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu

yang menurut jenis dan sifatnya atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu

tertentu (Ps. 59) yaitu :

- Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

- Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak

terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

- Pekerjaan yang bersifat musiman; atau

- Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau

produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

140
Apakah perbedaan perjanjian kerja dengan perjanjian kerja bersama dan peraturan

perusahaan? Bolehkah pasal-pasal dalam perjanjian kerja bertentangan dengan peraturan

perusahaan atau perjanjian kerja bersama?

Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau

pemberi kerja yang menuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.

Sedangkan perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil

perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat

buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan

dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang

memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. Sedangkan

peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha

yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan (Ps. 1).

Untuk pertanyaan selanjutnya maka jawabnya adalah tidak boleh bertentangan (Ps. 54).

Bagaimana jika perjanjian kerja itu PKWT tetapi sesungguhnya bukan merupakan pekerjaan

yang dapat dikategorikan pekerjaan waktu tertentu?

Perjanjian untuk waktu tertentu tidak dapat diadakannya untuk pekerjaan yang bersifat

tetap dan apabila tidak sesuai maka dapat dibatalkan dan menjadi PKWTT (Ps. 59). Disini

yang dimaksudkan pekerjaan yang bersifat tetap adalah pekerjaan yang sifatnya terus

141
menerus, tidak terputus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari proses

produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman (Penjelasan Ps.

59).

Berapa lamakah jangka waktu PKWT?

PKWT dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1

(satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Pengusaha yang bermaksud

memperpanjang PKWT tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum PKWT berakhir telah

memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.

Pembaruan PKWT hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang 30 (tiga puluh)

hari berakhirnya PKWT yang lama, pembaruan ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali

dan paling lama 2 (dua) tahun. Apabila ketentuan ini dilanggar maka demi hukum

menjadi PKWTT (Ps. 59).

Apakah isi minimal dalam perjanjian kerja tersebut?

Setidaknya memuat (Ps. 54) :

1. Nama, alamat, perusahaan, dan jenis usaha;

2. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;

3. Jabatan atau jenis pekerjaan;

142
4. Tempat pekerjaan;

5. Besarnya upah dan cara pembayarannya;

6. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan

pekerja/buruh;

7. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;

8. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan

9. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Apakah pihak pekerja mendapatkan surat perjanjian tersebut?

Ya. Perjanjian kerja dibuat sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua) yang mempunyai

kekuatan hukum yang sama serta pekerja/buruh dan pengusaha masing-masing

mendapatkan 1 (satu) perjanjian kerja (Ps. 54).

Apakah perjanjian kerja wajib didaftarkan ke dinas tenaga kerja setempat?

Ya. PKWT wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada instansi yang bertanggung jawab

dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat selambatnya 7 (tujuh) hari sejak

penandatangan.

143
Apakah perjanjian kerja dapat dilakukan dengan cara lisan?

Ya. PKWT jika dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan

bagi pekerja/buruh yang bersangkutan (Ps. 63).

Apakah perjanjian kerja itu dapat diubah, ditarik atau dinyatakan batal demi hukum?

Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan

para pihak (Ps. 55). Sedangkan untuk perjanjian kerja yang bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan secara otomatis batal demi hukum (Ps. 54).

Bilamanakah suatu perjanjian kerja itu berakhir?

Perjanjian kerja berakhir apabila (Ps. 61) :

1. Pekerja meninggal dunia;

2. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;

3. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan

lembaga penyelesaian hubungan industrial yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap; atau

144
4. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama

yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Jika perjanjian kerja itu berbentuk PKWT dan salah satu pihak melanggar kontrak dengan

berhenti bekerja, apakah akibat hukumnya? Bagaimana pula dengan berbentuk PKWTT,

apakah berakibat hukum yang sama?

Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu

yang ditetapkan PKWT maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan

membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas

waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja (Ps. 62). Sedangkan untuk PKWTT tidak

diatur oleh peraturan perundang-undangan. Apabila pihak pekerja/buruh ingin

mengakhiri hubungan kerja maka dapat melalui prosedur pengunduran diri dan tidak

mengganti ganti rugi.

Bagaimana jika pekerja/buruh mengundurkan diri?

Pekerja/buruh yang mengundurkan diri diatur dalam Pasal 162. Adapun ketentuannya

yang sesuai perundangan harus memenuhi syarat sebagai berikut yaitu :

145
1. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis

selambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran

diri;

2. Tidak terikat dalam ikatan dinas;

3. Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal pengunduran diri.

Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri memperoleh uang

penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). Untuk yang tugas dan fungsinya

tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung ditambah dengan uang pisah

yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan

atau perjanjian kerja bersama Pemutusan ini dilakukan tanpa penetapan lembaga

penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Bagaimana peraturan mengenai masa percobaan dalam perjanjian kerja?

PKWT tidak dapat mensyaratkan percobaan. Jika disyaratkan percobaan maka batal

demi hukum (Ps. 58). Masa percobaan paling lama 3 (tiga) bulan dan dilarang membayar

upah dibawah upah minimum yang berlaku (Ps. 60).

Adakah perbedaan hak antara pekerja masa percobaan dengan yang sudah melewati masa

percobaan?

146
Pengusaha dalam menetapkan pemutusan hubungan kerja untuk pekerja/buruh maka

tidak perlu meminta permohonan penetapan secara tertulis kepada lembaga

penyelesaian perselisihan hubungan industrial, bilamana telah dipersyaratkan secara

tertulis sebelumnya (Ps. 154). Dalam masa percobaan kerja pengusaha dilarang

membayar upah dibawah upah minimum yang berlaku (Ps. 60).

Bagaimana jika suatu pekerjaan magang tetapi tidak melalui perjanjian pemagangan?

Pemagangan tersebut tidak sah dan berubah menjadi pekerja perusahaan yang

bersangkutan (Ps. 22).

Apakah perbedaan antara pemagangan dengan masa percobaan dalam perjanjian kerja?

Setelah berakhirnya masa percobaan maka menjadi pekerja/buruh tetap. Sedangkan

untuk pemagangan dilakukan dengan perjanjian pemagangan dan dibuat secara tertulis.

Apabila tidak dibuat perjanjian tertulis maka peserta pemagangan berubah statusnya

menjadi pekerja/buruh tetap di perusahaan bersangkutan. Hak peserta pemagangan

antara lain mendapatkan uang saku dan/atau uang transport, memperoleh jaminan

sosial tenaga kerja dan memperoleh sertifikat apabila lulus diakhir program (Ps. 22 dan

Penjelasan Ps. 22).

147
Bolehkah dalam perjanjian kerja mencantumkan ikatan dinas? Apakah sangsi pelanggaran

ikatan dinas?

Boleh. Disebutkan kalimat tentang ikatan dinas dalam Pasal 162 meski tanpa penjelasan

lebih lanjut. Ikatan dinas diperbolehkan senyampang tidak bertentangan dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berdasarkan kesepakatan

kedua belah pihak karena dalam Undang-Undang No. 13 Th. 2003 Tentang

Ketenagakerjaan tidak diatur dengan jelas maka dapat diatur diperjanjian kerja,

perjanjian kerja bersama atau dalam dalam perjanjian kerja bersama dengan syarat

pihak yang menjalani ikatan dinas harus diberitahukan akibat hukumnya dan mengikuti

sahnya perjanjian dalam hukum perdata.

Bolekah dalam perjanjian kerja mensyaratkan ketentuan bahwa pekerja untuk jangka waktu

tertentu tidak boleh menikah, hamil, menikah dengan pekerja yang satu tempat kerja?Apa

sangsinya jika dilanggar?

Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan (Ps. 153)

sebagai berikut :

1. Pekerja/buruh menikah;

2. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau

menyusui;

148
3. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah atau ikatan perkawinan

dengan pekerja/buruh lainnya didalam satu perusahaan, kecuali telah

diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian

kerja bersama.

Untuk pengusaha yang melanggar ketentuan ini maka batal demi hukum dan wajib

memperkerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.

Apakah yang harus dilakukan jika pekerja/buruh berselisih dengan pengusaha mengenai

perjanjian kerja atau ingin mendapatkan pengetahuan mengenai perjanjian kerja?

Dapat diperselisihkan melalui mekanisme Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004

Tentang Perselisihan Hubungan Industrial. Untuk tahap awal pihak yang dirugikan dapat

melakukan konsultasi kepada instansi yang bertangggung jawab di bidang

ketenagakerjaan dalam hal ini adalah dinas tenaga kerja setempat.

149
B. PERIHAL PERLINDUNGAN PEREMPUAN

Bagaimana ketentuan pengusaha yang memperkerjakan pekerja/buruh perempuan antara

pukul 23.00 sampai dengan 07.00?

Berdasarkan Kepmen Nomor 224/MEN/2003 sebagai pelaksanaan UU No. 13 Th. 2004

pasal 76 ayat (3) dan (4) maka pengusaha wajib memberikan makanan dan minuman

bergizi sekurang-kurangnya memenuhi 1.400 kalori dan diberikan pada waktu istirahat

jam kerja. Pemberian ini tidak bisa diganti dengan uang. Selain itu pengusaha wajib

menjaga kesusilaan, keamanan selama ditempat kerja dan menyediakan fasilitas antar

jemput.

Bagaimana ketentuan mengenai cuti haid dan melahirkan?

Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan

kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.

Mengenai pengaturan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Ps. 81). Sedangkan istirahat melahirkan

diberikan selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum dan sesudah melahirkan jadi total

sebanyak 3 (tiga) bulan (Ps. 81). Sedangkan yang mengalami keguguran kandungan

berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat

keterangan dokter kandungan atau bidan. Selama waktu istirahat semua itu berhak

mendapatkan upah penuh.

150
Bagaimana ketentuan untuk pekerja/buruh perempuan yang masih menyusui bayi?

Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan

sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja (Ps.

83).

151
C. PERIHAL WAKTU KERJA, LEMBUR, CUTI DAN HARI LIBUR RESMI

Berapa lama waktu pekerja/buruh untuk bekerja?

Ketentuan waktu kerja adalah sebagai berikut (Ps. 77) :

1. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu

untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau

2. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu

untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Ketentuan diatas tidak berlaku pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu yang diatur

dengan Keputusan Menteri.

Bagaimana jika waktu kerja tersebut lebih dari yang diatas?

Pengusaha yang memperkerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana

yang tersebut diatas maka harus memenuhi sebagai berikut (Ps. 78) :

1. Adanya persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan

2. Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam

dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

Bagaimana menjalankan ibadah agama diwaktu kerja?

152
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh

untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya (Ps. 80).

Apakah pengertian lembur?

Waktu Kerja Lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40

(empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau

8 (delapan) jam sehari, dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari

kerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan/atau

pada hari libur resmi yang ditetapkan oleh pemerintah.

Apakah lembur mendapat upah?

Pengusaha yang memperkerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja, wajib membayar

upah lembur.

Apakah ketentuan ini berlaku untuk semuanya?

Bagi pekerja/buruh yang termasuk dalam golongan jabatan tertentu tidak berhak atas

upah kerja lembur tetapi mendapat upah yang lebih tinggi. Yang termasuk dalam

golongan jabatan tertentu adalah mereka yang memiliki tanggung jawab sebagai

pemikir, perencana, pelaksana dan pengendali jalannya perusahaan yang waktu

153
kerjanya tidak dibatasi menurut waktu kerja yang ditetapkan perusahaan sesuai

peraturan perundangan yang berlaku.

Apakah kerja lembur harus ada perintah tertulis?

Tepat sekali. Harus ada perintah tertulis dari pengusaha dan persetujuan tertulis dari

pekerja/buruh yang bersangkutan. Perintah dan persetujuan tersebut untuk

memudahkan dapat dibuat dalam bentuk daftar pekerja/buruh yang bersedia bekerja

lembur dan memuat nama sekaligus lamanya bekerja.

Apakah kewajiban pengusaha saat memperkerjakan lembur?

Ada 3 (tiga) hal yaitu :

1. Membayar upah kerja lembur;

2. Memberikan kesempatan untuk istirahat secukupnya;

3. Memberikan makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1.400

kalori apabila kerja lembur dilakukan selama 3 (tiga) jam atau lebih.

Untuk pemberian makan dan minum tidak boleh diganti uang.

Bagaimana penghitungan upah lembur secara umumnya?

154
Perhitungan upah lembur yang didasarkan pada upah bulanan. Cara menghitung upah

sejam adalah 1/173 kali upah sebulan. Dalam hal upah terdiri dari upah pokok dan

tunjangan tetap maka dasar perhitungan upah lembur adalah 100% (seratus perseratus)

dari upah. Dalam hal terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap,

apabila upah pokok tambah tunjangan tetap lebih kecil dari 75% (tujuh puluh lima

perseratus) keseluruhan upah, maka dasar perhitungan upah lembur 75 % (tujuh puluh

lima perseratus) dari keseluruhan upah.

Cara penghitungan upah kerja lembur sebagai berikut :

1. Untuk jam kerja lembur pertama harus dibayar upah sebesar 1,5 (satu

setengah) kali upah sejam;

2. Untuk setiap jam kerja lembur berikutnya harus dibayar upah sebesar

2 (dua) kali upah sejam.

Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi

waktu kerja 6 (enam) hari kerja 40 (empat puluh) jam seminggu maka :

1. Perhitungan upah kerja lembur untuk 7 (tujuh) jam pertama dibayar 2

(dua) kali upah sejam, dan jam kedelapan dibayar 3 (tiga) kali upah

sejam dan jam lembur kesembilan dan kesepuluh 4 (empat) kali upah

sejam;

2. Apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek penghitungan

upah lembur 5 (lima) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam,

155
jam keenam 3 (tiga) kali upah sejam dan jam lembur ketujuh dan

kedelapan 4 (empat) kali upah sejam;

3. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau

hari libur resmi untuk waktu kerja 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat

puluh) jam seminggu, maka perhitungan upah kerja lembur untuk 8

(delapan) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam

kesembilan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam kesepuluh dan

kesebelas 4 (empat) kali upah sejam.

Bagaimana jika upah dibayar harian?

Dalam hal upah pekerja/buruh dibayar secara harian, maka penghitungan besarnya

upah sebulan adalah upah sehari dikalikan 25 (dua puluh lima) bagi pekerja/buruh yang

bekerja 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau dikalikan 21 (dua puluh satu)

bagi pekerja/buruh yang bekerja 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Bagaimana jika upah dibayar berdasarkan satuan hasil?

Maka upah sebulan sebagai dasar perhitungan lembur adalah upah rata-rata 12 (dua

belas) bulan terakhir. Apabila kurang dari 12 (dua belas) bulan maka upah sebulan

dihitung berdasarkan upah rata-rata selama bekerja dengan ketentuan tidak boleh lebih

rendah dari upah minimum setempat.

156
Apakah security atau satpam mendapatkan lembur?

Pengusaha dapat memperkerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi untuk pekerjaan

yang menurut jenis dan sifatnya harus dilaksanakan dan dijalankan secara terus

menerus. Pekerjaan yang dimaksud tersebut salah satunya pekerjaan dibidang

pengamanan. Dalam hal tertentu ini dapat memperkerjakan pada hari libur resmi

berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Pengusaha tersebut

wajib membayar upah kerja lembur kepada pekerja/buruh (Kep. 233/MEN/2003

Tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan Yang Dijalankan Secara Terus Menerus).

Dalam Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja RI dan Kepala Kepolisian RI Nomor

KEP. 275/Men/1989 NO. POL. Kep/04/V/1989 disebutkan bahwa memberlakukan

aturan jam kerja termasuk waktu istirahat bagi Tenaga Kerja Satpam dilingkungan

perusahaan dan Badan Hukum lainnya menjadi tiga shift dimana setiap shift bertugas

delapan jam sehari dengan jumlah jam kerja akumulatif tidak lebih dari 40 jam. Apabila

melebihi maka harus sepengetahuan dan dengan Surat Perintah Tertulis dari Pimpinan

Perusahaan dan Badan Hukum lainnya yang diperhitungkan sebagai jam kerja lembur.

Bagaimana jika terjadi perselisihan nilai nominal perhitungan lembur?

Kewenangan untuk menetapkan besarnya upah lebur adalah Pengawas

ketenagakerjaan kabupaten/kota.

157
Ada berapakah cuti?

Pada dasarnya pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada

pekerja/buruh. Waktu istirahat dan cuti itu meliputi (Ps. 79) :

1. Istirahat antara jam kerja sekurang-kurangnya setengah jam setelah

bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat

tersebut tidak termasuk jam kerja;

2. Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1

(satu) minggu;

3. Cuti Tahunan sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah

pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas)

bulan secara terus menerus; dan

4. Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan

pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi

pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus

menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan

pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunnya

dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap

kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun. Hak ini hanya berlaku bagi

pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.

158
Apakah cuti bisa diganti dengan uang?

Karena cuti harus istirahat badan maka tidak dapat diganti berupa uang.

Siapakah yang berwenang mengatur cuti dalam sebuah perusahaan?

Pelaksanaan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja

bersama (Ps. 79)

Apakah saat menjalankan cuti tetap mendapatkan gaji penuh?

Ya. Berhak mendapat upah penuh (Ps. 84)

Apakah hari libur resmi atau hari libur nasional itu?

Hari libur nasional adalah hari libur yang ditetapkan oleh menteri. Biasanya yang

menetapkan ada tiga menteri yaitu Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja Dan

Trasmigrasi dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dalam bentuk keputusan

bersama.

Apakah wajib bekerja di hari libur resmi dan mendapatkan upah?

159
Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi. Pengusaha dapat

memperkerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari tersebut apabila jenis dan sifat

pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau pada

keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Untuk

ini wajib dibayar upah kerja lembur.

160
D. PERIHAL PENGUPAHAN

Apakah pengertian upah?

Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang

sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang

ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan

perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas

suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan

Berapakah upah minimum yang wajib dibayar oleh pengusaha?

Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum yang ditetapkan

oleh Gubenur (Ps. 90)

Berapa lamakah pekerja/buruh dibayar upah minimum?

Upah minimum hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja kurang

dari 1 (satu) tahun

Bagaimana saran yang baik dalam hal pengaturan upah?

161
Dianjurkan menggunakan pedoman Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Republik Indonesia Nomor KEP-49/MEN/IV/2004 Tentang Ketentuan Struktur dan Skala

Upah. Didalam ketentuan ini diatur mengenai struktur skala upah sesuai dengan jabatan

dan masa kerja.

Apakah struktur dan skala upah ini wajib dilaksanakan oleh pengusaha?

Pengusaha wajib melakukan penyusunan struktur dan skala upah yang dilakukan sesuai

dengan kondisi perusahaan.

Apakah upah dibayarkan jika pekerja/buruh tidak bekerja?

Upah tidak dibayarkan apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan (Ps. 93).

Ketentuan tersebut tidak berlaku dan pengusaha wajib membayar upah apabila :

1. Pekerja/buruh sakit sehingga tidak melakukan pekerjaan. Sakit ini

dinyatakan oleh dokter (Penjelasan Ps. 93);

2. Pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua

masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

3. Pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah,

menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan ananknya, istrinya

melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak

162
atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga

dalam satu rumah meninggal dunia;

4. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena

menjalankan kewajiban terhadap negara;

5. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena

menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

6. Pekerja/buruh yang bersedia melakukan pekerjaan yang telah

dijanjikan tetapi pengusaha tidak memperkerjakan, baik karena

kesalahannya sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat

dihindari pengusaha;

7. Pekerja/buruh melaksanakan hak istirahatnya;

8. Pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas

persetujuan pengusaha; dan

9. Pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

Bagaimana perhitungan upah untuk pekerja/buruh yang sakit?

Perhitungannya (Ps. 93) adalah sebagai berikut :

1. Untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus)

dari upah;

163
2. Untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima

perseratus) dari upah;

3. Untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus)

dari upah; dan

4. Untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari

upah sebelum pemutusan hubungan dilakukan oleh pengusaha.

Apakah diperbolehkan pengenaan denda dalam upah?

Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelaliannya

dapat dikenakan denda. Keterlambatan pembayaran upah oleh pengusaha juga dapat

dikenakan denda. Pengaturan mengenai denda diatur oleh pemerintah (Ps. 95)

Bagaimana perhitungan upah pokok?

Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya

upah pokok sedikit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok

dan tunjangan tetap (Ps. 94).

Apakah tunjangan Hari Raya Keagamaan itu?

164
Tunjangan Hari Raya Keagamaan yang selanjutnya THR adalah pendapatan pekerja non

upah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atau keluarganya

menjelang Hari Raya Keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain.

Apakah tunjangan Hari Raya Keagamaan wajib dibayar?

Pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerja.

Kapankah batas waktu tuntutan mengenai upah?

Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari

hubungan kerja menjadi tidak tak terbatas.

165
E. PERIHAL PERATURAN PERUSAHAAN DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA

Apakah Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama itu?

Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha

yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Sedangkan Perjanjian Kerja

Bersama (PKB) adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat

pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggungjawab di bidang

ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan

pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak (Ps.

1)

Apakah Peraturan Perusahaan wajib dibuat?

Pengusaha yang memperkerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)

orang wajib membuat Peraturan Perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh

Menteri atau pejabat yang ditunjuk (Ps. 108).

Siapakah yang menyusun Peraturan Perusahaan ini?

166
Peraturan Perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang

bersangkutan (Ps. 109). Penyusunan ini memperhatikan saran dan pertimbangan dari

wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan (Ps. 110).

Jika wakil pekerja/buruh tidak setuju apakah dapat diperselisihkan Peraturan Perusahaan

tersebut?

Masukan yang disampaikan oleh serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil

pekerja/buruh bersifat saran dan pertimbangan, sehingga pembuatan peraturan

perusahaan tidak dapat diperselisihkan.

Bagaimana jika Peraturan Perusahaan tersebut bertentangan dengan peraturan

perundangan?

Ketentuan dalam Peraturan Perusahaan tidak boleh bertentangan dengan perundangan

yang berlaku (Ps. 111). Disini yang dimaksud bahwa peraturan tersebut tidak boleh lebih

rendah kualitas maupun kuantitasnya dari peraturan perundangan yang berlaku, dan

apabila ternyata bertentangan, maka yang berlaku adalah ketentuan peraturan

perundangan yang berlaku (Penjelasan).

Apakah yang sebaiknya dimuat dalam Peraturan Perusahaan itu?

167
Terdapat banyak kesalahan persepsi tentang isi Peraturan Perusahaan. Seharusnya

Peraturan Perusahaan memuat hal-hal yang belum diatur oleh bukan menulis

ulang/mengatur ulang yang sudah ada dalam peraturan perundangan. Peraturan

Perusahaan sekurang-kurangnya memuat sebagai berikut (Ps. 111)

1. Hak dan kewajiban pengusaha;

2. Hak dan kewajiban pekerja.buruh;

3. Syarat kerja;

4. Tata tertib perusahaan; dan

5. Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.

Sebagai saran maka disarankan kembali agar suatu Peraturan Perusahaan itu tidak

terlalu panjang maka hal-hal yang bersifat sudah diatur oleh peraturan perundangan

tidak perlu lagi diatur dalam Peraturan Perusahaan karena ketentuan tersebut sudah

pasti harus dipatuhi oleh setiap warga Negara Indonesia. Justru hal-hal yang tidak diatur

oleh peraturan perundangan yang dicantumkan dalam Peraturan Perusahaan misalkan

setiap karyawan harus mengenakan seragam yang ditentukan dan lain sebagainya.

Apabila mengatur kembali materi dari peraturan perundangan maka ketentuan dalam

peraturan perusahaan tersebut harus lebih baik dari ketentuan dalam peraturan

perundangan-undangan.

168
Bagiamana jika perusahaan tersebut memiliki cabang?

Dalam hal perusahaan yang bersangkutan memiliki cabang, dibuat peraturan

perusahaan induk yang berlaku di semua cabang perusahaan serta dapat dibuat

peraturan perusahaan turunan yang berlaku di masing-masing cabang perusahaan.

Berapa lamakah jangka waktu berlakunya Peraturan Perusahaan?

Masa berlakunya peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbarui

setelah habis masa berlakunya (Ps. 11)

Apakah Peraturan Perusahaan wajib disahkan?

Ya. Pengusaha harus mengajukan permohonan pengesahan peraturan perusahan

kepada pejabat yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan dalam hal ini kepala

instansi tersebut dalam wilayah kabupaten/kota.

Siapakah yang membuat Perjanjian Kerja Bersama?

Perjanjian Kerja Bersama dirundingkan oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa

serikat pekerja.serikat buruh yang telah tercata pada instansi yang bertanggung jawab

dibidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha. Perundingan

ini didasari itikad baik dan kemauan bebas kedua belah pihak.

169
Bagaimana jika pembuatan ini tidak menemui kesepakatan?

Jika perundingan gagal maka dapat menjadualkan kembali perundingan dengan waktu

paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah perundingan gagal. Jika masih gagal maka

dilaporkan ke instansi yang bertanggung jawab. Jika masih gagal maka menggunakan

mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2004.

Apakah isi minimal dari Perjanjian Kerja Bersama ini?

Perjanjian Kerja Bersama (Ps. 124) paling sedikit memuat :

1. Hak dan kewajiban pengusaha;

2. Hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;

3. Jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya Perjanjian Kerja Bersama;

dan

4. Tanda tangan para pihak pembuat Perjanjian Kerja Bersama.

Berapa lamakah batas waktu Perjanjian Kerja Bersama ini?

Batas waktu berlakunya Perjanjian Kerja Bersama paling lama 2 (dua) tahun (Ps. 123).

170
F. PERIHAL SERIKAT BURUH DAN MOGOK KERJA

Apakah yang dimaksud dengan serikat pekerja/serikat buruh?

Pengertiannya adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/ buruh

baik diperusahaan maupun diluar perusahaan yang bersifat bebas, terbuka, mandiri,

demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela, serta melindungi

hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh

dan keluarganya (Ps. 1).

Apakah wajib untuk mengikuti menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh?

Tidak wajib. Kebebasan membentuk, masuk atau tidak masuk menjadi anggota serikat

pekerja/serikat buruh merupakan salah satu hak dasar pekerja/buruh (Ps. 104)

Apakah mogok kerja itu?

Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara

bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan

pekerjaan (Ps. 1)

Bagaimana prosedur untuk melakukan mogok kerja?

171
Pelaksanaan mogok kerja harus tidak mengganggu kepentingan umum dan /atau

membahayakan keselamatan orang lain (Ps. 139). Sekurang-kurangnya dalam waktu 7

(tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat

pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan

instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat (Ps. 140). Jika

tidak memenuhi hal tersebut maka dianggap mogok kerja tidak sah (Ps. 142).

Apakah penjelasan mogok kerja yang tidak sah itu secara mendetail?

Sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Trasmigrasi RI Nomor : KEP.

232/MEN/2003 Tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Tidak Sah menyebutkan bahwa

mogok kerja tidak sah karena bukan akibat gagalnya perundingan. Maksud dari gagal

perundingan adalah tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan

industrial yang disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan

walaupun serikat pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh telah meminta secara

tertulis kepada pengusaha 2 (dua) kali dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari

kerja atau perundingan yang dilakukan mengalami jalan buntu yang dinyatakan oleh

para pihak dalam risalah perundingan.

Apakah akibat hukum dari mogok kerja tidak sah itu?

172
Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah maka dikualifikasikan sebagai mangkir.

Pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok dilakukan oleh pengusaha 2

(dua) kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dalam bentuk

pemanggilan secara patut dan tertulis. Pekerja yang tidak memenuhi panggilan maka

dianggap mengundurkan diri. Apabila mogok kerja mengakibatkan hilangnya nyawa

manusia yang berhubungan dengan pekerjaannya dikualifikasikan sebagai kesalahan

berat (Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Trasmigrasi RI Nomor : KEP.

232/MEN/2003).

Apakah saat mogok kerja yang sah upah tetap dibayarkan?

Apabila pekerja/buruh melakukan karena tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh

dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah (Ps. 145).

Apakah pengusaha dapat mengenakan sanksi terhadap pekerja/buruh yang melakukan

mogok kerja?

Terhadap mogok kerja yang sah sesuai ketentuan maka pengusaha dilarang (Ps. 144)

untuk melakukan tindakan sebagai berikut :

1. Mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh

lain dari luar perusahaan; atau

173
2. Memberikan sanksi atau tidakan balasan dalam bentuk apapun

kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh

selama dan sesudah melakukan mogok kerja.

174
G. PERIHAL PHK DAN PESANGON

Apakah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) itu?

Pengertian disini adalah pengakhiran hubungan kerja karena sesuatu hal tertentu yang

mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja.buruh dan pengusaha.

Bagaimana PHK yang dilarang itu?

Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dan wajib mmeperkerjakan

kembali pekerja/buruh yang bersangkutan dengan alasan :

1. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut

keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas)

bulan secara terus menerus;

2. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena

memenuhi kewajiban terhadap Negara sesuai dengan ketentuan

peraturan perundangan yang berlaku;

3. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

4. Pekerja/buruh menikah;

5. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau

menyusui bayinya;

175
6. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan

perkawinan dengan pekerja.buruh lainnya di dalam satu perusahaan,

kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,

atau perjanjian kerja bersama sebelumnya;

7. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus

serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan

serikat pekerja/serikat buruh diluar jam kerja, atau di dalam jam kerja

atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur

dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja

bersama;

8. Pekerja/buruh mengadukan pengusaha kepada yang berwajib

mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana

kejahatan;

9. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,

golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;

10. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan

kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat

keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat

dipastikan.

176
Bagaimana perhitungan yang diterima apabila terjadi PHK?

Dalam hal terjadi PHK, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang

penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (Ps. 156).

Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud paling sedikit sebagai berikut

1. Masa kerja kurang dari 1 (satu) atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua)

tahun, 2 (dua) bulan upah;

2. Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun,

3 (tiga) bulan upah;

3. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat)

tahun, 4 (empat) bulan upah;

4. Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima)

tahun, 5 (lima) bulan upah;

5. Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam)

tahun, 6 (enam) bulan upah;

6. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh)

tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

7. Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan)

tahun, 8 (delapan) bulan upah;

177
8. Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

Perhitungan uang penghargaan masa kerja ditetapkan sebagai berikut

1. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam)

tahun, 2 (bulan upah;

2. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan)

tahun, 3 (tiga) bulan upah;

3. Masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua

belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;

4. Masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima

belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;

5. Masa kerja 15 (lima belas) tahu atau lebih tetapi kurang dari 18

(delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;

6. Masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21

(dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

7. Masa kerja 21 (dua puluh satu) satu atau lebih tetapi kurang dari 24

(dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

8. Masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan

upah.

178
Uang Penggantian hak yang seharusnya diterima meliputi :

1. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

2. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja.buruh dan keluarganya

ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;

3. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan

15 % (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan atau uang

penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;

4. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Bagaimana PHK karena Surat Peringatan?

Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat

melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang

bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-

turut. Masa berlaku masing-masing Surat Peringatan ini paling lama 6 (enam) bulan

kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian

kerja bersama. Pekerja buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan

179
alasan sebagaimana yang dimaksud memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali

ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat

(4) (Ps. 161)

Bagaimana PHK karena mangkir?

Pekerja buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa

keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil

oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya

karena dikualifikasikan mengundurkan diri. Keterangan tertulis dengan bukti yang sah

harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja.buruh masuk bekerja. PHK

tersebut berhak menerima uang penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat (4) dan

diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja,

peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Bagaimana PHK karena kesalahan berat?

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh

dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut (Ps. 158)

1. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau

uang milik perusahaan;

180
2. Memberikan keterangan palsu atau dipalsukan sehingga merugikan

perusahaan;

3. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai

dan/atau, mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif

lainnya dilingkungan kerja;

4. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman

kerja atau pengusaha dilingkungan kerja;

5. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan;

6. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam

keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan

kerugiaan bagi perusahaan;

7. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau

pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;

8. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang

seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan Negara; atau;

9. Melakukan perbuatan lainnya dilingkungan perusahaan yang diancam

pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

Semua kesalahan berat yang disebut diatas harus didukung bukti sebagai berikut :

181
1. Pekerja/buruh tertangkap tangan;

2. Adanya pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau;

3. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang

berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh

sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan kesalahan berat

maka memperoleh uang penggantian hak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 156

ayat (4). Bagi pekerja.buruh yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan

pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156

ayat (4) maka diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perlu diingat

pula dalam hal ini adalah Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik

Indonesia Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materiil Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa sehubungan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU/1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 Tentang Hak

Uji Materiil Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap

Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah di muat dalam

Berita Negara Nomor 92 Tahun 2004 tanggal 17 November 2004 sebagai berikut :

1. Mahkamah Konstitusi menyatakan bawah Undang–Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan , khusus Pasal 158 : Pasal 159 :

182
Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat ”… bukan atas

pengaduan pengusaha” Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat

”…Pasal 158 ayat (1) …” ; Pasal 171 sepanjang menyangkut anak

kalimat ”… Pasal 158 ayat (1) … ; Pasal 186 sepanjang mengenai anak

kalimat ”… Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) … ” ; tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat.

2. Sehubungan hal tersebut butir 1 maka pasal–pasal Undang– Undang

Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang dinyatakan

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; tidak digunakan lagi

sebagai dasar/acuan dalam menyelesaikan hubungan industrial.

3. Sehubungan dengan hal tersebut butir 1 dan 2 diatas , maka

penyelesaian kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena

pekerja/buruh melakukan kesalahan berat perlu memperhatikan hal–

hal sebagai berikut :

a. Pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan

pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (eks Pasal 158 ayat (1) ,

maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

b. Apabila pekerja ditahan oleh pihak barwajib dan pekerja/buruh

tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagai mana mestinya

183
maka berlaku ketentuan Pasal 160 Undang– Undang Nomor 13

Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan .

4. Dalam hal terdapat ’’alasan mendesak” yang mengakibatkan tidak

memungkinkan hubungan kerja dilanjutkan, maka pengusaha dapat

menempuh upaya. Penyelesaian melalui lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial.

5.

Bagaimana PHK karena terjadi perubahan status, peleburan dan perubahan kepemilikan

perusahaan?

Dapat menggunakan ketentuan Pasal 163. Pengusaha dapat melakukan pemutusan

hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status,

penggabungan, peleburan, dan atau perubahan kepemilikan perusahaan dan

pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak

atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang

penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian

hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). Pengusaha dapat melakukan pemutusan

hubungan kerja terhadap pekerja/.buruh karena perubahan status, penggabungan, atau

peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di

perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali

ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal

156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).

184
Bagaimana PHK karena memasuki usia pensiun?

Berdasarkan ketentuan Pasal 167 maka dapat diuraikan sebagai berikut bahwa

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh

karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh

pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka

pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156

ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap

berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). Ketentuan ini

dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja

bersama selama tidak melanggar ketentuan perundangan.

Bagaimana PHK karena perusahaan melakukan efisiensi terhadap karyawan?

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh

karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-

turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan

efisiensi dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua)

kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali

ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat

(4); (Ps. 164).

185
Bagaimana perhitungan komponen upah yang digunakan dalam perhitungan uang pesangon?

Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang

penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang

tertunda, terdiri atas :

1. Upah pokok;

2. Segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan

kepada pekerja/buruh dan keluarganya termasuk harga pembelian

dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma,

yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka

sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga

yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.

Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka

penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 (tiga puluh) kali penghasilan sehari. Dalam

hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil,

potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan

pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan

tidak boleh kurang dari upah minimum provinsi atau kabupaten/kota. Dalam hal

pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah

186
borongan maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas)

bulan terakhir.

Apakah yang harus dilakukan jika terjadi perselisihan mengenai PHK?

Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja, pekerja/buruh yang

bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan

hubungan industrial. Untuk lebih jelasnya dapat menghubungi dinas tenaga kerja

setempat.

187
KETENTUAN PIDANA

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003

TENTANG KETENAGAKERJAAN

1. Pasal 74 : Mengenai perlindungan anak;


2. Pasal 68 : Mengenai perlindungan anak;
3. Pasal 69 ayat (2) : Mengenai perlindungan anak;
4. Pasal 71 ayat (2) : Mengenai perlindungan anak;
5. Pasal 76 : Mengenai perlindungan tenaga perempuan;
6. Pasal 82 : Mengenai cuti melahirkan;
7. Pasal 67 ayat (1) : Mengenai perlindungan tenaga cacat;
8. Pasal 42 ayat (1) dan (2) : Mengenai tenaga asing;
9. Pasal 44 ayat (1) : Mengenai tenaga asing;
10. Pasal 45 ayat (1) : Mengenai tenaga asing;
11. Pasal 37 ayat (2) : Mengenai penempatan tenaga kerja;
12. Pasal 38 ayat (2) : Mengenai lembaga penempatan kerja;
13. Pasal 35 ayat (2) dan (3 ) : Mengenai penempatan tenaga kerja;
14. Pasal 14 ayat (2) : Mengenai lembaga pelatihan;
15. Pasal 137 : Mengenai mogok kerja;
16. Pasal 138 ayat (1) : Mengenai mogok kerja;
17. Pasal 143 : Mengenai mogok kerja;
18. Pasal 144 : Mengenai mogok kerja;
19. Pasal 108 ayat (1) : Mengenai kewajiban Peraturan Perusahaan;
20. Pasal 111 ayat (3) : Mengenai berlakunya Peraturan Perusahaan;
21. Pasal 114 : Mengenai pengedaran Peraturan Perusahaan;
22. Pasal 90 ayat (1) : Mengenai UMK;
23. Pasal 78 ayat (1) : Mengenai waktu kerja lembur;
24. Pasal 78 ayat (2) : Mengenai upah lembur;
25. Pasal 93 ayat (2) : Mengenai perlindungan upah;
26. Pasal 85 ayat (3) : Mengenai upah lembur hari libur resmi;
27. Pasal 160 ayat (4) dan (7) : Mengenai pesangon tenaga kerja terpidana;
28. Pasal 167 ayat (5) : Mengenai program pensiun;
29. Pasal 80 : Mengenai kesempatan ibadah;
30. Pasal 79 ayat (1) dan (2) : Mengenai waktu istirahat dan cuti;
31. Pasal 63 ayat (1) : Mengenai perjanjian kerja waktu tidak tertentu;
32. Pasal 148 : Mengenai penutupan perusahaan (lock out);

Catatan:

188
Ketentuan Pidana berupa pidana penjara, kurungan dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban
pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian pada tenaga kerja atau pekerja/buruh.

189
KETENTUAN SANKSI ADMINISTRATIF

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003

TENTANG KETENAGAKERJAAN

1. Pasal 5 : Mengenai pelarangan diskriminasi;


2. Pasal 6 : Mengenai pelarangan diskriminasi;
3. Pasal 15 : Mengenai syarat penyelenggara pelatihan;
4. Pasal 25 : Mengenai pemagangan ke luar negeri;
5. Pasal 38 ayat (2) : Mengenai jasa penempatan tenaga kerja;
6. Pasal 45 ayat (1) : Mengenai pendamping tenaga kerja asing;
7. Pasal 47 ayat (1) : Mengenai kompensasi tenaga kerja asing;
8. Pasal 48 : Mengenai pemulangan tenaga kerja asing;
9. Pasal 87 : Mengenai manajemen K-3
10. Pasal 106 : Mengenai lembaga kerja bipartite;
11. Pasal 126 ayat (3) : Mengenai Perjanjian Kerja Bersama;
12. Pasal 160 ayat (1) dan (2) : Mengenai pekerja/buruh yang terpidana.

Catatan :

Ketentuan sanksi administratif berupa

a. Teguran;
b. Peringatan tertulis;
c. Pembatasan kegiatan usaha;
d. Pembekuan kegiatan usaha;
e. Pembatalan persetujuan;
f. Pembatalan pendaftaran;
g. Penghentian sementara sebagian atau seluruhnya alat produksi;
h. Pencabutan ijin.

190
KETENTUAN PIDANA

UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004

TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

1. Pasal 12 ayat (1) : Mengenai wewenang mediator;


2. Pasal 22 ayat (1) dan (3) : Mengenai wewenang konsiliator;
3. Pasal 47 ayat (1) dan (3) : Mengenai wewenang arbiter;
4. Pasal 90 ayat (2) : Mengenai saksi;
5. Pasal 91 ayat (1) dan (3) : Mengenai wewenang majelis hakim.

Catatan :

Perbuatan yang dimaksud tersebut merupakan ketentuan tindak pidana pelanggaran

191
KETENTUAN SANKSI ADMINISTRATIF

UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004

TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

1. Pasal 15 : Mengenai penyelesaian tugas mediator;


2. Pasal 106 : Mengenai penyelesaian tugas panitera;
3. Pasal 107 : Mengenai penyelesaian tugas panitera;
13. Pasal 23 ayat (2) b dan e : Mengenai tugas konsiliator;
14. Pasal 117 ayat (2) : Mengenai sanksi konsiliator;
15. Pasal 22 ayat (3) : Mengenai wewenang konsiliator;
16. Pasal 40 ayat (1) dan (3) : Mengenai tugas arbiter;
17. Pasal 48 : Mengenai berita acara arbiter;
18. Pasal 52 ayat (1) d dan e : Mengenai putusan arbiter;
19. Pasal 119 ayat (2) : Mengenai legitimasi konsiliator;
20. Pasal 118 : Mengenai sanksi konsiliator;
21. Pasal 120 ayat (1) dan (2) : Mengenai sanksi arbiter.

Catatan :

Tatacara pemberian dan pencabutan sanksi diatur dalam Keputusan Menteri.

192
BAB VI

PENGATURAN KETENAGAKERJAAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS

Kesempatan bekerja dan mendapatkan kehidupan yang layak merupakan hak dasar

setiap manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang diadopsi melalui Sidang Umum

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948 dengan jelas menyebutkan

dan menjamin tentang hak untuk bekerja bagi setiap individu ini.

Penjaminan kepada setiap umat manusia sebagaimana yang tercantum pada deklarasi

universal tersebut berdasar atas pilihan bebas serta kesetaraan untuk memilih jenis pekerjaan

layak sesuai dengan prinsip perikemanusiaan.

Deklarasi ini lebih jauh menerangkan bahwa hak untuk dapat bekerja merupakan hak

paling hakiki manusia yang tidak dapat terpisahkan dari hak asasi manusia lainnya seperti hak

untuk hidup, hak kebebasan pribadi atau hak persamaan kedudukan dalam hukum.

Sejalan dengan deklarasi tersebut, Negara Republik Indonesia pada dasarnya juga

menjamin hak bekerja bagi setiap orang dengan tanpa pembedaan. Hak ini oleh para pendiri

bangsa telah dicantumkan dalam konstitusi Negara Republik Indonesia sejak tahun 1945.

Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia Pasal 27 ayat (2) secara tegas menjamin

bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Penjaminan hak dasar untuk bekerja bagi setiap warga negara oleh Negara Republik

Indonesia ini merefleksikan bahwa semua individu berhak untuk memberikan kontribusi positif

193
guna menghasilkan barang dan/atau jasa. Selain itu, penjaminan hak untuk bekerja merupakan

salah satu penghormatan dan pemahaman dari negara bahwa bekerja merupakan sarana bagi

setiap warga negara untuk turut berpartisipasi aktif dalam pembangunan diberbagai bidang

guna mencapai masyarakat adil dan makmur sebagaimana yang menjadi dasar dan cita-cita

negara.

Hingga saat ini terdapat kekosongan hukum ditingkat daerah maupun nasional tentang

pengaturan ketenagakerjaan bagi penyandang disabilitas ditempat kerja. Belum ada satu aturan

hukum di Republik Indonesia yang mengatur dengan jelas dan menyeluruh tentang hak dan

kewajiban untuk para pemberi kerja, serikat pekerja/serikat buruh, pemerintah ataupun tenaga

kerja penyandang disabilitas di tempat kerja.

Padahal Deklarasi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas pada Sidang Umum PBB

tanggal 10 Desember 1971 telah memandatkan setiap negara anggota agar berkomitmen untuk

menjamin hak bekerja bagi penyandang disabilitas yang disesuaikan dengan jenis dan derajad

kedisabilitasannya. Penjaminan hak bekerja ini diamanatkan kembali pada Resolusi Nomor

3447 pada Sidang Umum PBB tanggal 9 Desember 1975.

Perlunya penjaminan hak bekerja bagi penyandang disabilitas ini telah lama pula

menjadi perhatian bagi masyarakat internasional termasuk badan-badan khusus dibawah

naungan PBB. International Labour Organization (ILO) sebagai badan resmi dibawah naungan

PBB sejak tahun 1944 telah menyebutkan dalam rekomendasinya bahwa setiap penyandang

disabilitas berhak untuk mendapatkan kesetaraan dalam bekerja melalui kesempatan kerja dan

penerimaan upah yang sama. Latar belakang sejarah dari timbulnya rekomendasi ini mengingat

194
pada waktu itu terdapat banyak sekali penyandang disabilitas akibat terjadinya Perang Dunia I

dan Perang Dunia II.

Rekomendasi ini kemudian ditindaklanjuti dengan berbagai konvensi ILO pada beberapa

tahun berikutnya, salah satunya adalah Konvensi ILO Nomor 142 tentang Pengembangan

Sumber Daya Manusia pada tahun 1975. Konvensi ini meminta kepada semua anggota

penandatangan konvensi untuk membentuk suatu sistem yang dapat memberikan kesempatan

kerja dan peluang pelatihan kerja yang luas termasuk penyediaan sarana aksesibilitas di tempat

kerja melalui pengaturan ketentuan peraturan perundangan pada negaranya masing-masing.

Pada bulan Oktober tahun 2001 di Jenewa, ILO kemudian menerbitkan Pedoman

Pengelolaan Penyandang Disabilitas di Tempat Kerja. Kode yang disusun oleh para pakar yang

bersifat tripartit (perwakilan pemerintah, organisasi pengusaha dan pekerja/buruh) dari

berbagai negara ini bertujuan untuk memberikan pedoman praktis bagi pemberi kerja dalam

hal mempekerjakan penyandang disabilitas (ILO, 2002). Pedoman ini bertujuan pula agar

tenaga kerja penyandang disabilitas dapat bekerja semaksimal mungkin dengan mengetahui

hak serta kewajibannya di tempat kerja.

Upaya penyusunan pedoman oleh ILO ini terlihat jelas sebagai salah satu bentuk nyata

pelaksanaan serta penjabaran Resolusi PBB Nomor A/61/106 pada tempat kerja. Resolusi PBB

Nomor A/61/106 adalah sebuah Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention

on the Rights of Persons with Disabilities). Konvensi ini ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada

tanggal 13 Desember 2006. Dalam konvensi ini termuat hak-hak dasar penyandang disabilitas

dan menyatakan akan diambil langkah strategis guna menjamin pelaksanaan konvensi ini.

195
Kewajiban negara yang meratifikasi konvensi ini yaitu berkewajiban melakukan

penyesuaian peraturan perundang-undangan, hukum serta administrasi di negaranya untuk

menjamin partisipasi aktif penyandang disabilitas dalam berbagai aspek kehidupan sosial.

Lebih jauh PBB dalam Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas ini juga

merekomendasikan setiap negara untuk membangun sarana dan prasarana aksesibilitas bagi

penyandang disabilitas.

Adapun perihal pengaturan ketenagakerjaan bagi penyandang disabilitas dalam

konvensi ini diatur pada Pasal 27. Pasal ini menyebutkan bahwa negara peratifikasi harus

berusaha memajukan pemenuhan hak untuk bekerja bagi penyandang disabilitas serta terdapat

kewajiban untuk melarang diskriminasi atas dasar disabilitas seseorang di tempat kerja.

Diskriminasi yang dimaksud adalah segala bentuk pembedaan dalam pekerjaan termasuk

didalamnya adalah saat proses perekrutan tenaga kerja. Konvensi ini juga mengatur kondisi

kerja yang adil bagi tenaga kerja penyandang disabilitas di tempat kerja.

Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas ini menyoroti pula bahwa mayoritas

penyandang disabilitas hidup dalam kondisi kemiskinan berkaitan dengan minimnya peluang

kesempatan kerja. Menurut O’Reilly (2013, hal.35) rendahnya peluang kerja di pasar kerja ini

berkaitan erat dengan rendahnya tingkat dan kesempatan pendidikan penyandang disabilitas.

Kondisi semacam ini juga terjadi dibanyak negara dan menjadi masalah utama setiap negara

(Gabriel dan Liimataien, 2000).

Konvensi yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 13 Desember 2006 ini 5

(lima) tahun kemudian oleh Pemerintah Indonesia secara resmi diratifikasi pada tanggal 10

196
November 2011 melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang

Pengesahan Convention on The Rights of Person with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak

Penyandang Disabilitas) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 107,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5251).

Setelah peratifikasian ini Pemerintah Indonesia mulai berupaya menyusun Rancangan

Undang-Undang tentang Disabilitas yang disesuaikan dengan konvensi yang telah diratifikasi

tersebut.

197
A. KAJIAN TEORITIS

Definisi penyandang disabilitas berdasarkan Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang

Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities) yang ditetapkan oleh PBB

pada tahun 2006 adalah setiap orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau

sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan berbagai hambatannya

itu dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif dalam melaksanakan perannya di

masyarakat.

Definisi ini mengacu pada pengertian disabilitas itu sendiri yaitu suatu kondisi

disebabkan oleh pembawaan waktu lahir, kecelakaan kerja, sebab kesehatan atau suatu

peristiwa yang mengakibatkan keterbatasan fisik, mental, inteletual, dan/atau sensorik

seseorang dalam jangka waktu yang lama atau sementara.

Sedangkan definisi sarana aksesibilitas adalah kemudahan dan fasilitas khusus yang

disediakan bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia guna mewujudkan kesamaan

kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.

Berbagai negara dari belbagai penjuru belahan dunia, mulai dari negara di benua Afrika

seperti Afrika Selatan, benua Eropa misalnya Federasi Jerman atau benua Asia contohnya India,

juga memberikan definisi tentang penyandang disabilitas yang hampir bermiripan atau boleh

diakatan sama dengan yang dirumuskan oleh PBB. Pembedaan hanya terletak pada jangka

waktu persyaratan dapat digolongkan sebagai penyandang disabilitas.

198
Negara Afrika Selatan dalam peraturan perundangan tentang kesetaraan pekerjaan

mendefinisikan penyandang disabilitas adalah setiap orang yang memiliki hambatan fisik atau

mental jangka panjang yang berulang-ulang dan dapat membatasi kesempatan untuk

memasuki atau meningkatkan karir di dunia kerja (ILO, 2013, hal. 11). Menarik untuk dicermati

bahwa Afrika Selatan mengadakan pembatasan seseorang baru dapat didefinisikan sebagai

penyandang disabilitas apabila telah menyandang disabilitas dalam jangka waktu yang panjang

serta berulang-ulang.

Berbeda dengan Negara Afrika Selatan yang menyebutkan konsep dasar seorang

penyandang disabilitas jika dilihat berdasarkan waktu harus berjangka panjang serta berulang-

ulang tanpa memberikan batasan waktu pasti, maka Negara Federasi Jerman membuat

pengaturan yang lebih jelas dengan menekankan pada setiap orang yang fungsi fisik, kapasitas

mental atau kesehatan psikologinya sangat mungkin telah menyimpang selama lebih dari 6

(enam) bulan (ILO, 2013, hal. 11).

Sementara Negara India pada peraturan tentang penyandang disabilitas tahun 1995

tidak menentukan jangka waktu disabilitas. Disabilitas seseorang di Negara India ditentukan

berdasarkan surat keterangan otoritas medis (ILO, 2013, hal. 11).

Negara Republik Indonesia dalam peraturan perundang-undangan tentang penyandang

disabilitas sedikit berbeda dengan negara lain. Negara Indonesia tidak menyebutkan perihal

batasan waktu atau berdasarkan otoritas kedokteran saat seseorang dapat digolongkan sebagai

penyandang disabilitas. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang

Penyandang Cacat, yang segera diganti dengan undang-undang baru dalam waktu dekat ini,

199
misalnya, mendefinisikan setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang

dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara

layak yang terdiri dari:

a. penyandang cacat fisik;

b. penyandang cacat mental;

c. penyandang cacat fisik dan mental.

Menjadi catatan khusus untuk Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang

Penyandang Cacat adalah bahwa pengaturan dalam undang-undang ini telah banyak

ketidaksesuaian dengan situasi dan kondisi yang ada saat ini di Indonesia. Definisi, penyebutan

dan pemakaian kata Cacat sebagai contoh, yang secara kaidah norma bahasa berdasarkan Ejaan

Yang Disempurnakan (EYD) berarti tidak atau kurang sempurna, merupakan salah satu bentuk

diskriminasi kata yang sangat nyata dan sangat bertentangan dengan piagam universal PBB

tentang hak asasi manusia.

Disabilitas jelas bukan sebuah ketidaksempurnaan fungsi tubuh atau mental (cacat).

Disabilitas lebih merujuk kepada keterbatasan fisik dan mental. Mengingat telah banyak

ketidaksesuaian tersebut, sebuah peraturan perundangan pengganti tentang penyandang

disabilitas telah disiapkan oleh Pemerintah Pusat dan masuk dalam prioritas program legislasi

nasional saat ini.

Sebuah Peraturan perundangan baru tentang ketenagakerjaan bagi penyandang

disabilitas ini oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah terutama Pemerintah

200
Kabupaten/Kota sangatlah diperlukan walaupun pada dasarnya tenaga kerja penyandang

disabilitas termasuk tenaga kerja secara umum tidak membutuhkan perlindungan khusus,

namun tentunya negara memiliki kewajiban untuk memfasilitasi semua hak dan kewajiban

setiap tenaga kerja termasuk hak pemberi kerja melalui hukum yang tertulis sehingga

menghapus segala bentuk diskriminasi.

Hasil kajian penelitian menunjukkan serta melaporkan penyandang disabilitas sering kali

mengalami diskriminasi di tempat kerja dibandingkan tenaga kerja secara umum diberbagai

belahan dunia (Reynolds dkk., 1997; Duckworth dkk., 1988).

Menurut data dari The World Health Organization (WHO, 2011) memperkirakan sekitar

15% persen dari populasi dunia hidup saat ini hidup dengan keterbatasan fisik dan 2 (dua)

hingga 4 (empat) persen diantaranya kesulitan dalam melakukan kegiatan sehari-harinya.

Angka ini semakin tahun diperkirakan akan terus meningkat dengan bertambahnya

individu yang mengalami lanjut usia. Lanjut usia merupakan masa yang sangat rentan untuk

mengalami disabilitas fisik dan mental seiring dengan faktor usia yang mengurangi kekuatan

fisik dan mental secara bertahap.

Di Indonesia sendiri tidak terdapat suatu data yang pasti mengenai jumlah penduduk

penyandang disabilitas. Minimnya data ini tentunya menjadi penghambat yang nyata bagi

penyusunan dan pelaksanaan program serta penentuan arah kebijakan yang akan ditetapkan

oleh Pemerintah dalam rangka untuk mewujudkan kesejahteraan bagi penyandang disabilitas di

Indonesia.

201
Menurut Mont (2004) merupakan sebuah kewajaran pada banyak negara berkembang

data jumlah penyandang disabilitas tidak tersedia dan tidak pasti. Ketidakpastian data ini

disebabkan oleh buruknya pencatatan dan sensus penduduk (Irwanto dkk, 2011). Irwanto dkk

(2011) juga membuat perkiraan pada tahun 2010 berdasarkan analisa data yang ada bahwa dari

keseluruhan jumlah penyandang disabilitas terdapat tidak kurang 2 (dua) hingga 3 (tiga) persen

disabilitas yang dapat menyebabkan penghambat serius menjalankan fungsi dan aktivitas

sehari.

WHO (2013) mencatat, merujuk pada World Report on Disability, diperkirakan sekitar

21.3 persen dari total populasi penduduk Indonesia pada tahun 2006 sebagai penyandang

disabilitas. Pada tahun yang sama berdasarkan Data Pusdatin Kemensos RI tahun 2002-2009

(Irwanto dkk, 2011) jumlah penyandang disabilitas dalam rumah tangga miskin hanya 2.364.000

(dua juta tiga ratus enam puluh empat ribu) orang. Pada tahun 2010, Data Pusdatin Kemensos

menunjukkan kenaikan angka penyandang disabilitas di Indonesia menjadi 11.580.117 (sebelas

juta lima ratus delapan puluh ribu ribu seratus tujuh belas) orang jumlah penyandang disabilitas

di Indonesia (ILO, nd). Data ini berbeda dengan data Kementerian Ketenagakerjaan pada tahun

yang sama menyebutkan jumlah penyandang disabilitas adalah 7.126.409 (tujuh juta seratus

dua puluh enam ribu empat ratus sembilan) (ILO, nd). Angka ini jauh lebih kecil dari perkiraan

WHO yang menyebutkan sekitar 24 (dua puluh empat) juta orang penduduk Indonesia adalah

penyandang disabilitas (ILO, nd).

Ketidakakuratan serta kesimpangsiuran data tenaga kerja penyandang disabilitas bukan

hanya terjadi pada tingkat Pemerintah Pusat, namun hampir pada setiap Kabupaten/Kota

202
diseluruh Indonesia. Permasalahan yang sama juga di hadapi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota,

hingga saat ini belum terdapat suatu angka yang pasti tentang jumlah angkatan kerja

penyandang disabilitas di Kabupaten/Kota berdasarkan sebuah survey yang mendalam dan

teliti khusus untuk tenaga kerja penyandang disabilitas yang menjadi tanggung jawab Badan

Statistik.

203
B. PRAKTEK EMPIRIS

Tenaga kerja penyandang disabilitas secara nyata memiliki permasalahan dalam upaya

kesempatan kerja. Upaya promosi pekerjaan layak bagi tenaga kerja penyandang disabilitas ini

seyogyanya tidak hanya dalam bentuk pelatihan kerja dengan penyediaan balai latihan kerja

khusus bagi penyandang disabilitas dan peningkatan taraf pendidikan penyandang disabilitas

namun juga harus melibatkan pula pemberi kerja termasuk serikat pekerja/serikat buruh dalam

rangkaian menyeluruh berbentuk aturan hukum bersifat normative dan dapat menjadi sarana

pedoman.

Secara teori dan praktek pemberi kerja selayaknya diberikan suatu pedoman

pengelolaan tenaga kerja penyandang disabilitas mulai dari sebelum bekerja, saat bekerja

hingga setelah bekerja oleh Pemerintah mengingat pemberi kerja memegang peranan penting

dalam penyerapan angkatan kerja penyandang disabilitas.

Pada banyak negara dan lembaga kerjasama antar negara telah dilakukan berbagai

upaya dalam promosi pekerjaan yang layak bagi tenaga kerja penyandang disabilitas yang turut

melibatkan peranan pemberi kerja. Upaya ini dilakukan mengingat tingkat pengangguran

angkatan kerja penyandang disabilitas sangat tinggi dan penyerapan tenaga kerja penyandang

disabilitas oleh pemberi kerja sangat rendah.

Banyak negara yang cemas dengan semakin rendahnya keikutsertaan penyandang

disabilitas di pasar kerja dan penyerapan oleh pemberi kerja (O’Reilly, 2013, hal. 35). Lebih jauh

O’Reilly menjelaskan bahwa tingkat ketenagakerjaan rendah dikalangan penyandang disabilitas

disebabkan oleh berbagai faktor antara lain:

204
a. kurangnya kesadaran pemberi kerja tentang kebutuhan dan kemampuan tenaga

kerja penyandang disabilitas;

b. kurangnya informasi akan peluang kerja bagi penyandang disabilitas; dan/atau

c. dukungan teknis dalam hal pengelolaan pengembangan sumber daya manusia bagi

penyandang disabilitas yang tidak memadai oleh para pemangku kepentingan dalam

hal ini termasuk Pemerintah selaku regulator.

Bagi perempuan penyandang disabilitas maka angkatan kerja yang bekerja ditingkat

perusahaan jauh lebih rendah lagi. Perempuan penyandang disabilitas lebih banyak bekerja

disektor informal (Messel, 1997). Jika bekerja diperusahaan maka perempuan penyandang

disabilitas mendapatkan tunjangan yang lebih rendah serta tidak mendapatkan akses dukungan

atau program untuk bekerja dari publik (Mudrick, 1988). Menurut kajian oleh Depouy (1993,

hal. 20) tidak ada bahan pustaka sama sekali mengenai permasalahan khusus yang dihadapi

oleh tenaga kerja perempuan penyandang disabilitas. Banyak negara yang tidak melaporkan

atau memasukkan data perempuan penyandang disabilitas dalam laporan mereka (Quinn dan

Degener, 2002).

Guna mengurangi rendahnya partisipasi angkatan kerja penyandang disabilitas tersebut

berbagai rencana aksi bersama yang melibatkan banyak negara mulai diprogramkan. Rencana

Aksi Dewan Eropa untuk tahun 2006-2015 menyebutkan akan melakukan upaya promosi untuk

penyandang disabilitas pada pasar kerja pada setiap negara anggotanya.

205
Sementara Liga Arab pada KTT di Tunis tahun 2004 meminta Pemerintah pada Negara-

Negara Arab untuk mendorong pemberi kerja memperkerjakan tenaga kerja penyandang

disabilitas.

Di benua Afrika, Dekade Penyandang Disabilitas di Afrika telah di deklarasikan oleh

Organisasi Kesatuan Afrika yang anggotanya terdiri dari negara-negara Afrika. Deklarasi ini

ditandatangani bersama pada tahun 2000. Inti dari deklarasi ini menyebutkan pada dasarnya

setiap negara anggota akan berusaha untuk meningkatkan akses pekerjaan bagi penyandang

Disabilitas.

Upaya nyata lain yang dilakukan oleh banyak negara untuk mendorong pemberi kerja

memperkerjakan penyandang disabilitas adalah penerapan kewajiban untuk memperkerjakan

angkatan kerja penyandang disabailitas melalui sistem kuota.

Penentuan kuota ditentukan serta dibentuk oleh negara melalui peraturan perundang-

undangan. Negara-negara di Asia Pasifik seperti Australia, Jepang, Thailand, Filipina, Sri Langka,

India dan Tiongkok telah menerapkan sistem ini.

Sementara beberapa negara di Eropa, sejak tahun 1923, seperti Austria Prancis, Jerman,

Italia dan Polandia telah mengadopsi system ini (O’Reilly, 2013, hal. 50). Di belahan benua

Afrika negara seperti Tanzania dan Mauritius juga mengadopsi sistem kuota.

Berdasarkan skema kuota, pemberi kerja yang memperkerjakan sejumlah pekerja dalam

jumlah tertentu wajib memperkerjakan tenaga kerja penyandang disabilitas. Sistem kuota

terbagi dalam tiga pengaturan mendasar (ILO, 2013; Waddingtong, 1996) yaitu:

206
a. kuota yang mengikat disertai sanksi. Pemberi kerja yang tidak memenuhi kuota yang

telah ditentukan oleh Pemerintah akan diberikan sanksi berupa pembayaran denda

atau retribusi dalam jumlah nilai nominal dan waktu tertentu. Hasil dari denda atau

retribusi ini kemudian disalurkan kepada lembaga yang mendukung peningkatan

kesejahteraan tenaga kerja penyandang disabilitas;

b. kuota yang mengikat tanpa sanksi. Pemerintah dalam membentuk suatu peraturan

menyebutkan tentang kewajiban pemberi kerja untuk melaksanakan kuota dan

pemberian kewajiban ini tidak disertai sanksi yang mengikat;

c. kuota tidak mengikat berdasarkan rekomendasi. Sifat dari sistem ini berdasar

kepada etikad baik dan kesukarelaan dari pemberi kerja. Pemerintah hanya

mengeluarkan saran dan rekomendasi agar pemberi kerja memperkerjakan tenaga

kerja penyandang disabilitas.

Berikut adalah kajian negara-negara yang telah melaksanakan sistem kuota di negaranya

antara lain:

a. Australia. Setiap pemberi kerja yang memperkerjakan 25 (dua puluh lima) orang

maka wajib merekrut 1 (satu) orang tenaga kerja penyandang disabilitas. Pemberi

kerja yang tidak melaksanakan ketentuan ini wajib membayar dana kompensasi ke

Kantor Sosial Federal setiap bulan (O’Reilly, 2013, hal. 52).

b. Tiongkok. Pemberi kerja yang gagal memenuhi kuota yang telah ditetapkan akan

dikenakan denda harian (ILO, 2013, hal. 24).

207
c. Jepang. Negara ini sejak tahun 1976 menerapkan kuota yang mengikat disertai

sanksi.

d. Belanda. Pemerintah Belanda yang menerapkan kuota berbasis rekomendasi pada

era 80-an kemudian menilai bahwa skema ini tidak efektif dan kemudian pada era

tahun 90-an mulai diperkenalkan kuota yang mengikat disertai sanksi (ILO, 2013, hal.

26).

e. Inggris Raya. Serupa dengan Belanda, pada tahun 1993 terdapat kurang dari 20%

pemberi kerja yang memenuhi kuota 3% tenaga kerja penyandang disabilitas. Sistem

kuota yang diterapkan oleh Pemerintah Inggris saat itu adalah kuota yang mengikat

tanpa sanksi. Guna menjamin kepatuhan pemberi kerja kemudian Pemerintah

Inggris pada tahun 1995 menerapkan kuota yang mengikat disertai sanksi. (ILO,

2013, hal. 25).

Berdasarkan pengalaman berbagai negara pembentukan aturan ketenagakerjaan bagi

penyandang disabilitas yang disertai kuota mengikat disertai sanksi merupakan alternatif

terbaik dalam penentuan suatu sistem kuota yang hendak diberlakukan pada suatu peraturan

perundang-undangan. Hal ini untuk menjamin taat azas bagi setiap pemberi serta pelaku

hubungan industrial.

208
C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT DI INDONESIA

Sebelum dan sesudah peratifikasian konvensi tentang disabilitas, Pemerintah Republik

Indonesia sebenarnya telah membentuk berbagai perundang-undangan yang mengatur tentang

hak dan kewajiban penyandang disabilitas secara umum. Pengaturan ini tercantum serta

betebaran dalam berbagai produk peraturan perundang-undangan, antara lain terdapat pada:

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3670);

2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No.

111 Concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation

(Konvensi ILO Mengenai Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan) (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3836);

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3886);

4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4247);

209
5. Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4279)

6. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4444);

7. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Jaminan Sosial (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4456);

8. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025);

9. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5038);

10. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5029);

210
11. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5072);

Pengaturan semua ketentuan tentang peningkatan kesejahteraan bagi penyandang

disabilitas sebagaimana yang tersebut diatas memiliki kelemahan mendasar yaitu tidak

mengatur perihal ketenagakerjaan bagi penyandang disabilitas di tempat kerja dengan jelas,

menyeluruh dan berkesinambungan.

Hal menarik yang penting untuk ditelaah lebih jauh adalah bahwa Undang-Undang 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai peraturan perundang-undangan yang secara

khusus mengatur segala hal mengenai ketenagakerjaan dan menjadi hukum dasar

ketenagakerjaan di Indonesia, hanya memiliki satu pasal yang mengatur tentang pengaturan

ketenagakerjaan bagi penyandang disabilitas dari keseluruhan 193 Pasal yang tersedia.

Pada Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya

menyebutkan bahwa pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang disabilitas

wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajad disabilitasnya.

Pada ayat (2) Pasal 67 Undang-Undang 13 Tahun 2003 kemudian menjelaskan lebih

lanjut bahwa pemberian perlindungan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Penjelasan untuk pasal ini menjelaskan bahwa untuk perlindungan yang

dimaksud misalnya berupa penyediaan aksesibilitas, pemberian alat kerja, dan alat pelindung

diri yang disesuaikan dengan jenis dan derajad disabilitasnya.

211
Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga tidak mengamanatkan

untuk diatur lebih lanjut dengan peraturan pelaksanaan lainnya sehingga tertutup kemungkinan

untuk pengaturan lebih jauh tentang hal-hal secara khusus yang perlu diatur bagi tenaga kerja

penyandang disabilitas di tempat kerja.

Padahal pengaturan yang menyeluruh mengenai ketenagakerjaan bagi tenaga kerja

penyandang disabilitas di tempat kerja sangatlah diperlukan mengingat banyak sekali aspek

ketenagakerjaan terkait yang membutuhkan pengaturan khusus untuk itu. Pengaturan khusus

itu yaitu:

1. pengaturan sebelum bekerja bagi tenaga kerja penyandang disabilitas;

2. pengaturan saat bekerja bagi tenaga kerja penyandang disabilitas;

3. pengaturan setelah bekerja bagi tenaga kerja penyandang disabilitas;

dan/atau

4. sarana aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.

212
DEFINISI-DEFINISI PENTING

PADA PERATURAN KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA

1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu

sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.

2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan

barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk

masyarakat.

3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan

dalam bentuk lain.

4. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan

lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam

bentuk lain.

5. Pengusaha adalah:

a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan

suatu perusahaan milik sendiri;

b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri

sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di

Indonesia mewakili perusahaan dalam a dan b yang berkedudukan di

luar wilayah Indonesia.

213
6. Perusahaan adalah :

a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,

milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik

negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau

imbalan dalam bentuk lain;

b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan

mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk

lain.

7. Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap,

dimana tenaga kerja bekerda, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu

usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya, termasuk tempat kerja

ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian

atau yang berhubungan dengan tempat kerja tersebut.

8. Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu adalah perusahaan yang memenuhi kriteria

industri padat karya sebagaimana diatur oleh Menteri Perindustrian.

9. Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara

sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan

pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.

214
10. Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rian, dan analisis data yang berbentuk yang

telah diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti, nilai dan makna tertentu

mengenai ketenagakerjaan.

11. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek

pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.

12. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan,

serta mengembn kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada

tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan

atau pekerjaan.

13. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara

terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah

bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman,

dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam r menguasai

keterampilan atau keahlian tertentu.

14. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk mempertemukan tenaga kerja

dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai

dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan pemberi kerja dapat memperoleh tenaga

kerja yang sesuai dengan kebutuhannya.

15. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di

wilayah Indonesia.

16. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi

kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.

215
17. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan

perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.

18. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku

dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,

pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

19. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk

pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas,

terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjun, membela serta

melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan

pekerja/buruh dan keluarganya.

20. Serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh yang

didirikan oleh para pekerja/buruh di satu perusahaan atau di beberapa perusahaan.

21. Serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh yang

didirikan oleh para pekerja/buruh yang tidak bekerja di perusahaan.

22. Federasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan serikat pekerja/serikat buruh.

23. Konfederasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan federasi serikat pekerja/serikat

buruh.

24. Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal

yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri

dari pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat di instansi yang

bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.

216
25. Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah

tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi

pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.

26. Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang

memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.

27. Perjanjian Kerja Bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara

serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat

pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau

beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak

dan kewajiban kedua belah pihak.

28. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara

bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau

memperlambat pekerjaan.

29. Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak

pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.

30. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu

yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.

31. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.

32. Siang hari adalah waktu antara pukul 6. sampai dengan pukul 18..

33. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.

34. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.

217
35. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai

imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan

dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-

undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan

dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

36. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan

yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja,

yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam

lingkungan kerja yang aman dan sehat.

37. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan

pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau

serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan

kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat

pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

38. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat

adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-

undangan, perjanjian kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

39. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena

tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-

syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau Peraturan Perusahaan, atau

Perjanjian Kerja Bersama.

218
40. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak

adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh

salah satu pihak.

41. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat

pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu

perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan

hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.

42. Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat

buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.

43. Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian

perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan

perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui

musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.

44. Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi

pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-

syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi

dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih

untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan

hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu

perusahaan.

45. Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian

perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar

219
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang

ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.

46. Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau

lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang

bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak

yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan

hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu

perusahaan.

47. Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian

suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya

dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan

tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan

kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.

48. Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau lebih

yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh

Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan

antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan

penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.

49. Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan

pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap

perselisihan hubungan industrial.

220
50. Hakim adalah Hakim Karier Pengadilan Negeri yang ditugasi pada Pengadilan Hubungan

Industrial.

51. Hakim Ad-Hoc adalah Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-

Hoc pada Mahkamah Agung yang pengtannya atas usul serikat pekerja/serikat buruh dan

organisasi pengusaha.

52. Hakim Kasasi adalah Hakim Agung dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang

berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan

industrial.

53. Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh

rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.

54. Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan

sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial.

55. Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang

berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang

menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya.

56. Tabungan wajib adalah simpanan yang bersifat wajib bagi peserta program jaminan sosial.

57. Bantuan iuran adalah iuran yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir miskin dan orang tidak

mampu sebagai peserta program jaminan sosial.

58. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah badan hukum yang dibentuk untuk

menyelenggarakan program jaminan sosial.

59. Dana Jaminan Sosial adalah dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan

iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan

221
Sosial untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional

penyelenggaraan program jaminan sosial.

60. Peserta jaminan sosial adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling

singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.

61. Manfaat jaminan sosial adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak peserta dan/atau

anggota keluarganya.

62. Iuran jaminan soaial adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh peserta,

pemberi kerja, dan/atau Pemerintah.

63. Bantuan Iuran adalah Iuran yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir miskin dan orang tidak

mampu sebagai Peserta program Jaminan Sosial.

64. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum

yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.

65. Dewan Jaminan Sosial Nasional yang selanjutnya disingkat DJSN adalah dewan yang

berfungsi untuk membantu Presiden dalam perumusan kebijakan umum dan sinkronisasi

penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional.

66. Dewan Pengawas BPJS adalah organ BPJS yang bertugas melakukan pengawasan atas

pelaksanaan pengurusan BPJS oleh direksi dan memberikan nasihat kepada direksi dalam

penyelenggaraan program Jaminan Sosial.

67. Direksi BPJS adalah organ BPJS yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas

pengurusan BPJS untuk kepentingan BPJS, sesuai dengan asas, tujuan, dan prinsip BPJS,

serta mewakili BPJS, baik di dalam maupun di luar pengadilan, sesuai dengan ketentuan

Undang-Undang ini.

222
68. Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja, termasuk

kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya,

dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.

69. Cacat adalah keadaan berkurang atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota

badan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya

kemampuan pekerja untuk menjalankan pekerjaannya.

70. Cacat total tetap adalah cacat yang mengakibatkan ketidakmampuan seseorang untuk

melakukan pekerjaan.

71. Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap warga negara

Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk

j waktu tertentu dengan menerima upah.

72. Calon Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut calon TKI adalah setiap warga

negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar

negeri dan terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di

bidang ketenagakerjaan.

73. Penempatan TKI adalah kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI sesuai bakat,

minat, dan kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan

proses perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan,

persiapan pembertan, pembertan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara

tujuan.

223
74. Perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI/TKI dalam

mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-

undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja.

75. Pelaksana penempatan TKI swasta adalah badan hukum yang telah memperoleh izin

tertulis dari Pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan TKI di luar

negeri.

76. Mitra Usaha TKI adalah instansi atau badan usaha berbentuk badan hukum di negara

tujuan yang bertanggung jawab menempatkan TKI pada Pengguna.

77. Pengguna Jasa TKI yang selanjutnya disebut dengan Pengguna adalah instansi Pemerintah,

Badan Hukum Pemerintah, Badan Hukum Swasta, dan/atau Perseorangan di negara tujuan

yang mempekerjakan TKI.

78. Perjanjian Kerja Sama Penempatan adalah perjanjian tertulis antara pelaksana

penempatan TKI swasta dengan Mitra Usaha atau Pengguna yang memuat hak dan

kewajiban masing-masing pihak dalam r penempatan serta perlindungan TKI di negara

tujuan.

79. Perjanjian Penempatan TKI adalah perjanjian tertulis antara pelaksana penempatan TKI

swasta dengan calon TKI yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam r

penempatan TKI di negara tujuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

80. Perjanjian Kerja TKI adalah perjanjian tertulis antara TKI dengan Pengguna yang memuat

syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban masing-masing pihak.

81. Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri yang selanjutnya disebut dengan KTKLN adalah kartu

identitas bagi TKI yang memenuhi persyaratan dan prosedur untuk bekerja di luar negeri.

224
82. Visa Kerja adalah izin tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang pada perwakilan

suatu negara yang memuat persetujuan untuk masuk dan melakukan pekerjaan di negara

yang bersangkutan.

83. Surat Izin Pelaksana Penempatan TKI yang selanjutnya disebut SIPPTKI adalah izin tertulis

yang diberikan oleh Menteri kepada perusahaan yang akan menjadi pelaksana

penempatan TKI swasta.

84. Surat Izin Pengerahan yang selanjutnya disebut SIP adalah izin yang diberikan Pemerintah

kepada pelaksana penempatan TKI swasta untuk merekrut calon TKI dari daerah tertentu,

untuk jabatan tertentu, dan untuk dipekerjakan pada calon Pengguna tertentu dalam j

waktu tertentu.

85. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan

peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

86. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat SMK3

adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam r

pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja

yang aman, efisien dan produktif.

87. Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat K3 adalah segala kegiatan

untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya

pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.

88. Audit SMK3 adalah pemeriksaan secara sistematis dan independen terhadap pemenuhan

kriteria yang telah ditetapkan untuk mengukur suatu hasil kegiatan yang telah

direncanakan dan dilaksanakan dalam penerapan SMK3 di perusahaan.

225
89. Dewan Pengupahan adalah suatu lembaga non struktural yang bersifat tripartit.

90. Organisasi pengusaha adalah organisasi pengusaha yang ditunjuk oleh Kamar Dagang dan

Industri untuk menangani masalah ketenagakerjaan.

91. Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri atas upah pokok termasuk

tunjangan tetap yang ditetapkan oleh gubernur sebagai jaring pengaman.

92. Upah Minimum Provinsi yang selanjutnya disingkat UMP adalah Upah Minimum yang

berlaku untuk seluruh kabupaten/kota di satu provinsi.

93. Upah Minimum Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat UMK adalah Upah Minimum

yang berlaku di wilayah kabupaten/kota.

94. Upah Minimum Sektoral Provinsi yang selanjutnya disingkat UMSP adalah Upah Minimum

yang berlaku secara sektoral di satu provinsi.

95. Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat UMSK adalah Upah

Minimum yang berlaku secara sektoral di wilayah kabupaten/kota.

96. Sektoral adalah kelompok lapangan usaha beserta pembagiannya menurut Klasifikasi Baku

Lapangan usaha Indonesia (KBLI).

97. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik

Indonesia dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

98. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

226
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

Depouy, L., 1993, Human rights and disabled person, UN, New York.

Degener, T., 2004, Executive summary on employment directive: State of play in Germany. (Mar); Quinn,
G., 2000, A survey of international, comparative and regional disability law reform, paper presented at
the “From principles to practise”, Symposium, Washington, DC, 22-26 October.

Duckworth, S., McGeer, P., Kearns, D. and Thornton, P. (1998), International Research Project on Job
Retention and Return to Work Strategies for Disabled Workers, ILO, Geneva.

Gabriel, P., Liimatainen, M.R., 2000, Mental health in the workplace, introduction and Executive
Summaries for Finland, Germany, Poland, United Kingdom and United States, ILO, Geneva.

ILO, nd, Inklusi Penyandang Disabilitas di Indonesia, ILO, Jakarta

ILO, 2002, Managing disability in the workplace, ILO code practise, ILO, Geneva.

ILO, 2013, Mewujudkan Peluang Kerja Yang Setara Bagi Penyandang Disabilitas Melalui Perundang-
Undangan, ILO, Jakarta.

Irwanto, Lusli, M., Kasim, E., Fransiska, A., Okta, S., 2011, Analisis situasi orang dengan disabilitas di
Indonesia, Pusat Kajian Disabilitas Universitas Indonesia

Japan International Cooperation Agency (JICA), 2002, Country Profile on Disability Republic Indonesia.

227
Messel, E., 1997, Employment strategies for women with disabilities, Paper presented at the
International Leadership Forum for Women With Disabilities, Washingthon, DC., 15-20 June, ILO,
Geneva.

Mudrick, N., 1988, “Disabled women and public policies for income support” (a study on the influence of
income support on the live of women with disabilities), in M. Fine and A. Asch (eds): Women with
disabilities: Essay in psychology, culture and politics, Temple University Press, Philadelphia.

Mont, D., 2004, Disability Employment Policy, Sosial Protection Discussion Paper Series, The World Bank.

O’Reilly , A., 2013, Hak Atas Pekerjaan Yang Layak Bagi Penyandang Disabilitas, ILO, Jakarta.

Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Reynolds, G., Alferoff, C. and Nicholls, P. (1997), Disabled People and Employment in Staffordshire,
Staffordshire University, Stoke-on-Trent.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 111 Concerning
Discrimination in Respect of Employment and Occupation (Konvensi ILO Mengenai Diskriminasi Dalam
Pekerjaan dan Jabatan) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor57, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3836).

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886).

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 121, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3989).

228
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279).

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4356).

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4234).

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights of Persons With
Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5251).

Waddington, L., 1996, “Reassing the employment of people with disabilities in Europe: From quotas to
discrimination law”, in Comparative Labour Journal, Vol. 18, No. 62, pp. 62-101.

WHO, 2013, Disability in The South-East Asia Region.

WHO, 2011, World Report on Disability, Geneva.

229
TENTANG PENYUSUN

Berselisih adalah kewajaran fenomena, namun berdamai adalah sebuah


pilihan. Dengan prinsip semacam itu, Gede Arya Wiryana, SH., MH., MHRM
yang merupakan Mediator Hubungan Industrial pada Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kota Mojokerto ini, berusaha menyelesaikan setiap perselisihan
hubungan industrial yang ditanganinya menuju pada kesepakatan bersama
secara musyawarah untuk mufakat guna menciptakan hubungan industrial
yang harmonis dan pencapaian keadilan yang sesungguhnya bagi para pihak.

Sebagai pemerhati masalah ketenagakerjaan Indonesia, Gede telah menghasilkan beberapa


karya buku panduan ketenagakerjaan yang diterbitkan oleh Dinasnya dan juga aktif menulis
dimedia massa untuk edukasi hukum ketenagkerjaan.

Gede yang memiliki latar belakang pendidikan bidang hukum sangat tertarik pada
ketenagakerjaan, hingga ia memutuskan untuk menempuh pendidikan pascasarjana - Master of
Human Resource Management pada University of Canberra di Australia dengan beasiswa
Australian Awards.

Selama menempuh pendidikan pascasarjana di Canberra, Gede juga aktif dalam kegiatan
Perhimpunan Pelajar Indonesia – Australia (PPIA) tingkat Pusat sebagai seketaris organisasi.
Selama di Ibukota Australia ini pula Gede dimintai saran serta respon untuk Pemerintah
Australia (melalui Australian White Paper Century - Australian Department of Foreign Affair and
Trade invitation) perihal hubungan industrial dan ketenagakerjaan di Indonesia.

Sejak lulus dan kembali ke Indonesia, Gede aktif menggiat kesetaraan perlakuan dan
pengaturan ketenagakerjaan bagi penyandang disabilitas di tanah air. Keahliannya dalam
bidang hukum ketenagakerjaan selama lebih dari 10 tahun dan ketrampilan hubungan
industrial serta ketenagakerjaan yang dimilikinya membuatnya ditunjuk sebagai pegawai
perancang Peraturan Daerah (Perda) perihal pengaturan ketenagakerjaan bagi penyandang
disabilitas oleh Dinasnya.

Rancangan Perda yang telah mendapatkan dukungan serta saran dari Kepala Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Kota Mojokerto ini pada akhirnya mendapatkan apresiasi dari berbagai

230
pihak termasuk Kementerian Ketenagakerjaan RI, International Labour Organization (ILO),
UNESCO dan Organisasi Penyandang Disabilitas di tanah air.

Gede sendiri meyakini bahwa Negara perlu mengawal realisasi dukungan bagi warganya untuk
mendapatkan hak-haknya yang berimbang dengan kewajibannya ditempat kerja guna
pencapaian kesejahteraan bersama.

Untuk setiap kiprah dan kontribusinya ini, Universitas Canberra – Australia pada tahun 2015
menganugerahkannya penghargaan sebagai finalis alumni terbaik yang berhasil
mengimplementasikan ilmu dan ekspertisenya untuk kemaslahatan masyarakat.

Gede Arya Wiryana, SH., MH., MHRM dapat dihubungi melalui email gd.kronik@gmail.com.

231
232

Anda mungkin juga menyukai