Disusun Oleh :
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2021
DAFTAR ISI
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Evaluasi Penggunaan
Obat di Puskesmas” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini
adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Farmasi Komunitas. Selain itu, makalah ini
juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Evaluasi Penggunaan Obat di Puskesmas
bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu apt. Dina Ratna Juwita,
S.Farm.,M.Farm.Klin selaku dosen pada mata kuliah Farmasi Komunitas yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan
bidang studi yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.
Penulis
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Evaluasi pelayanan obat pada pasien dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
dan berdampak pada kesembuhan pasien. Salah satu pelayanan kesehatan yang berpengaruh
terhadap kesembuhan pasien adalah pelayanan obat. World Health organization (WHO) dalam
upaya meningkatkan kualitas pelayanan obat pada pasien menetapkan indikator utama yang
berperan dalam menentukan terdapat kesalahan dalam pola penggunaan obat oleh tenaga
kesehatan atau fasilitas kesehatan. Pelayanan pasien merupakan salah satu indikator utama
WHO yang dapat digunakan untuk mengevaluasi pelayanan obat pada pasien di puskesmas
yang terdiri dari beberapa parameter, antara lain yaitu waktu penyerahan obat atau dispensing
time, obat yang terlayani, obat dengan etiket yang memadai, serta pengetahuan pasien tentang
obat yang baik (WHO, 1993).
Pelayanan obat yang tepat oleh apoteker kepada pasien sangat penting untuk penggunaan
obat yang rasional dan dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk pengalaman apoteker dalam
proses penyiapan obat. Interaksi antara apoteker dengan pasien saat penyerahan obat dapat
mempengaruhi pengetahuan pasien mengenai obat yang diterima. Terdapat faktor-faktor yang
dapat berhubungan dengan tingkat pengetahuan pasien seperti karakteristik pasien (Hirko and
Edessa, 2017). Pengetahuan pasien mengenai penggunaan obat yang didapat merupakan peran
dari apoteker, pengetahuan pasien yang kurang dapat berdampak pada kesalahan pengobatan
(Ameh et al., 2014). Perlu dilakukan evaluasi pelayanan obat pada pasien di Puskesmas untuk
mengetahui bagaimana pelayanan pasien yang diberikan oleh fasilitas kefarmasian kepada
pasien.
Penelitian yang dilakukan di Primary Health Care Centers di Provinsi Eastern, Arab Saudi
tentang indikator pelayanan pasien, diperoleh hasil rata-rata dispensing time yaitu 100 detik,
persentase obat yang terlayani 99.6%, persentase obat yang diberi etiket yang memadai 10.0%
dan persentase pengetahuan pasien mengenai obat yang baik 79,3% (Ameh et al., 2014).
Penelitian di Ethiopia Timur 2 pada tahun 2017 diperoleh hasil rata-rata dispensing time 61,12
detik, persentase obat yang terlayani 75,77%, persentase obat dengan etiket yang memadai
3,3%, dan persentase pengetahuan pasien mengenai obat yang baik 75,7% (Sisay et al., 2017).
Hasil tersebut menjadi dasar untuk penelitian pelayanan obat pada pasien di Puskesmas.
Penelitian yang dilakukan oleh Noverdiany (2016), disalah satu puskesmas di Kabupaten
Sleman yaitu di Puskesmas Mlati 2 tentang evaluasi pelayanan obat pada pasien berdasarkan
indikator WHO dan diperoleh hasil rata-rata dispensing time obat 30,69 detik, persentase obat
yang terlayani 99,77%, persentase obat yang diberi etiket dengan lengkap dan benar 0%, dan
persentase pengetahuan pasien tentang obat yang baik 27,72%. Penelitian yang sama diperoleh
hasil tidak adahubungan karakteristik jenis kelamin terhadap pengetahuan pasien, dan terlihat
adanya hubungan karakteristik usia dan pedidikan terhadap pengetahuan pasien.
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dan tujuan dari puskesmas serta bagaimana pelayanan kefarmasian di
puskesmas?
2. Apakah definisi dan peran apoteker pada evaluasi penggunaan obat di puskesmas?
3. Bagaimana definisi, tujuan, sasaran dan manfaat evaluasi penggunaan obat di
puskesmas?
4. Apasaja jenis-jenis EPO di puskesmas?
5. Bagaimana prosedur melakukan EPO di Puskesmas?
6. Bagaimana kategori obat yang perlu dilakukan EPO di puskesmas?
7. Apakah definisi dan tujuan dari metode ATC/DDD?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dan tujuan dari puskesmas serta bagaimana pelayanan
kefarmasian di puskesmas?
2. Untuk mengetahui definisi dan peran apoteker pada evaluasi penggunaan obat di
puskesmas?
3. Untuk mengetahui definisi, tujuan, sasaran dan manfaat evaluasi penggunaan obat di
puskesmas?
4. Untuk mengetahui apasaja jenis-jenis EPO di puskesmas?
5. Untuk mengetahui bagaimana prosedur melakukan EPO di Puskesmas?
6. Untuk mengetahui bagaimana kategori obat yang perlu dilakukan EPO di puskesmas?
7. Untuk mengetahui definisi dan tujuan dari metode ATC/DDD?
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Puskesmas, Tujuan Puskesmas, Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
1. Definisi Puskesmas
Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah
fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan
upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya
promotif dan preventif di wilayah kerjanya. (PMK No 43 Tahun 2019)
2. Tujuan Puskesmas
Puskesmas bertujuan untuk mewujudkan wilayah kerja Puskesmas yang sehat,
dengan masyarakat yang memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan,
dan kemampuan hidup sehat; mampu menjangkau Pelayanan Kesehatan bermutu;
hidup dalam lingkungan sehat; dan memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik
individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. (PMK No 43 Tahun 2019)
3. Pelayanan Kefarmasian Dipuskesmas
Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dari pelaksanaan upaya kesehatan, yang berperan penting dalam
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas harus mendukung tiga fungsi pokok Puskesmas, yaitu sebagai pusat
penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, dan
pusat pelayanan kesehatan strata pertama yang meliputi pelayanan kesehatan
perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat. (PMK No 74 Tahun 2016)
Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk
mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah Obat dan masalah yang
berhubungan dengan kesehatan. Tuntutan pasien dan masyarakat akan peningkatan
mutu Pelayanan Kefarmasian, mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama
yang berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang
berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian
(pharmaceutical care). (PMK No 74 Tahun 2016). Standar Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas meliputi : (PMK No 74 Tahun 2016)
a. pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai;
b. pelayanan farmasi klinik.
3
Kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi:
4
Kefarmasian wajib melakukan pengecekan terhadap Sediaan Farmasi dan Bahan
Medis Habis Pakai yang diserahkan, mencakup jumlah kemasan/peti, jenis dan
jumlah Sediaan Farmasi, bentuk Sediaan Farmasi sesuai dengan isi dokumen
LPLPO ditandatangani oleh Tenaga Kefarmasian, dan diketahui oleh Kepala
Puskesmas. Bila tidak memenuhi syarat, maka Tenaga Kefarmasian dapat
mengajukan keberatan. Masa kedaluwarsa minimal dari Sediaan Farmasi yang
diterima disesuaikan dengan periode pengelolaan di Puskesmas ditambah satu
bulan.
d. Penyimpanan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
Penyimpanan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan
suatu kegiatan pengaturan terhadap Sediaan Farmasi yang diterima agar aman
(tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya tetap
terjamin, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Tujuannya adalah agar mutu
Sediaan Farmasi yang tersedia di puskesmas dapat dipertahankan sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan.
Penyimpanan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai dengan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1) bentuk dan jenis sediaan;
2) kondisi yang dipersyaratkan dalam penandaan di kemasan Sediaan Farmasi,
seperti suhu penyimpanan, cahaya, dan kelembaban;
3) mudah atau tidaknya meledak/terbakar;
4) narkotika dan psikotropika disimpan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
5) tempat penyimpanan Sediaan Farmasi tidak dipergunakan untuk penyimpanan
barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi.
e. Pendistribusian Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
Pendistribusian Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan
kegiatan pengeluaran dan penyerahan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis
Pakai secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub unit/satelit farmasi
Puskesmas dan jaringannya. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan Sediaan
Farmasi sub unit pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas dengan
jenis, mutu, jumlah dan waktu yang tepat. Sub unit pelayanan kesehatan di dalam
lingkungan Puskesmas yaitu Puskesmas Pembantu; Puskesmas Keliling; Posyandu;
dan Polindes. Pendistribusian ke sub unit (ruang rawat inap, UGD, dan lain-lain)
dilakukan dengan cara pemberian Obat sesuai resep yang diterima (floor stock),
pemberian Obat per sekali minum (dispensing dosis unit) atau kombinasi,
sedangkan pendistribusian ke jaringan Puskesmas dilakukan dengan cara
penyerahan Obat sesuai dengan kebutuhan (floor stock).
f. Pemusnahan dan penarikan
Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, dan Bahan Medis Habis Pakai
yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Penarikan sediaan farmasi yang tidak
memenuhi standar/ketentuan peraturan perundang- undangan dilakukan oleh
pemilik izin edar berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM (mandatory recall)
5
atau berdasarkan inisiasi sukarela oleh pemilik izin edar (voluntary recall) dengan
tetap mem berikan laporan kepada Kepala BPOM.
Penarikan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan terhadap produk yang izin
edarnya dicabut oleh Menteri. Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi dan
Bahan Medis Habis Pakai bila:
1) produk tidak memenuhi persyaratan mutu;
2) telah kadaluwarsa;
3) tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan atau
kepentingan ilmu pengetahuan; dan/atau
4) dicabut izin edarnya.
1) membuat daftar Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang akan
dimusnahkan;
2) menyiapkan Berita Acara Pemusnahan
3) mengoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan kepada pihak
terkait;
4) menyiapkan tempat pemusnahan; dan
5) melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan serta
peraturan yang berlaku.
g. Pengendalian Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
Pengendalian Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai adalah suatu
kegiatan untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan
strategi dan program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan
kekurangan/kekosongan Obat di unit pelayanan kesehatan dasar. Tujuannya adalah
agar tidak terjadi kelebihan dan kekosongan Obat di unit pelayanan kesehatan dasar.
Pengendalian Sediaan Farmasi terdiri dari:
1) Pengendalian persediaan;
2) Pengendalian penggunaan; dan
3) Penanganan Sediaan Farmasi hilang, rusak, dan kadaluwarsa.
h. Administrasi
Administrasi meliputi pencatatan dan pelaporan terhadap seluruh rangkaian
kegiatan dalam pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai, baik
Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang diterima, disimpan,
didistribusikan dan digunakan di Puskesmas atau unit pelayanan lainnya. Tujuan
pencatatan dan pelaporan adalah:
1) Bukti bahwa pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai telah
dilakukan;
2) Sumber data untuk melakukan pengaturan dan pengendalian; dan
3) Sumber data untuk pembuatan laporan.
6
i. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis
Habis Pakai
Pemantauan dan evaluasi pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis
Pakai dilakukan secara periodik dengan tujuan untuk:
1) Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara pro aktif dan
pasif.
2) Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon,
surat atau tatap muka.
3) Membuat buletin, leaflet, label Obat, poster, majalah dinding dan lain-lain.
4) Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap, serta
masyarakat.
5) melakukan pendidikan dan/atau pelatihan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga
kesehatan lainnya terkait dengan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai.
6) Mengoordinasikan penelitian terkait Obat dan kegiatan Pelayanan Kefarmasian.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:
1) Kriteria pasien:
a) Pasien rujukan dokter.
b) Pasien dengan penyakit kronis.
c) Pasien dengan Obat yang berindeks terapetik sempit dan polifarmasi.
d) Pasien geriatrik.
e) Pasien pediatrik.
f) Pasien pulang sesuai dengan kriteria di atas.
2) Sarana dan prasarana:
a) Ruangan khusus.
b) Kartu pasien/catatan konseling.
d. Ronde/Visite Pasien
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan secara
mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya terdiri dari dokter, perawat,
ahli gizi, dan lain-lain. Tujuan:
1) Memeriksa Obat pasien.
2) Memberikan rekomendasi kepada dokter dalam pemilihan Obat dengan
mempertimbangkan diagnosis dan kondisi klinis pasien.
9
3) Memantau perkembangan klinis pasien yang terkait dengan penggunaan Obat.
4) Berperan aktif dalam pengambilan keputusan tim profesi kesehatan dalam
terapi pasien. Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan, pelaksanaan,
pembuatan dokumentasi dan rekomendasi.
Kegiatan visite mandiri
10
e. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang
merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan
pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi
fungsi fisiologis. Tujuan:
1) Menemukan efek samping Obat sedini mungkin terutama yang berat, tidak
dikenal dan frekuensinya jarang.
2) Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping Obat yang sudah sangat
dikenal atau yang baru saja ditemukan.
Kegiatan:
Faktor yang perlu diperhatikan yaitu Kerja sama dengan tim kesehatan lain dan
ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.
11
klinik, harus dilaksanakan sesuai standar prosedur operasional. Standar Prosedur
Operasional (SPO) ditetapkan oleh Kepala Puskesmas.
12
k. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian, yaitu apotek, instalasi farmasi rumah sakit,
puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama.
l. Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki
izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran perbekalan farmasi dalam jumlah
besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
m. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian
oleh Apoteker.
n. Toko Obat adalah sarana yang memiliki izin untuk menyimpan obat-obat bebas dan
obat-obat bebas terbatas untuk dijual secara eceran.
o. Standar Profesi adalah pedoman untuk menjalankan praktik profesi kefarmasian secara
baik.
p. Standar Prosedur Operasional adalah prosedur tertulis berupa petunjuk operasional
tentang Pekerjaan Kefarmasian.
q. Standar Kefarmasian adalah pedoman untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada
fasilitas produksi, distribusi atau penyaluran, dan pelayanan kefarmasian.
r. Asosiasi adalah perhimpunan dari perguruan tinggi farmasi yang ada di Indonesia.
s. Organisasi Profesi adalah organisasi tempat berhimpun para Apoteker di Indonesia.
t. Surat Tanda Registrasi Apoteker selanjutnya disingkat STRA adalah bukti tertulis
yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yang telah diregistrasi.
u. Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian selanjutnya disingkat STRTTK
adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Tenaga Teknis Kefarmasian
yang telah diregistrasi.
v. Surat Izin Praktik Apoteker selanjutnya disingkat SIPA adalah surat izin yang
diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian pada
Apotek atau Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
w. Surat Izin Kerja selanjutnya disingkat SIK adalah surat izin yang diberikan kepada
Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian untuk dapat melaksanakan Pekerjaan
Kefarmasian pada fasilitas produksi dan fasilitas distribusi atau penyaluran.
x. Rahasia Kedokteran adalah sesuatu yang berkaitan dengan praktek kedokteran yang
tidak boleh diketahui oleh umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
y. Rahasia Kefarmasian adalah Pekerjaan Kefarmasian yang menyangkut proses
produksi, proses penyaluran dan proses pelayanan dari Sediaan Farmasi yang tidak
boleh diketahui oleh umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
z. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan.
PUSKESMAS
1. Pengertian Puskesmas
Puskesmas adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu
wilayahkerja.Secara nasional standar wilayah kerja Puskesmas adalah satu
kecamatan.Apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu Puskesmas, maka
13
tanggungjawab wilayah kerja dibagi antar Puskesmas dengan memperhatikan
keutuhankonsep wilayah yaitu desa/ kelurahan atau dusun/rukun warga (RW).
2. Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah berubah paradigmanya dari orientasi
obat kepada pasien yang mengacu pada asuhan kefarmasian (Pharmaceutical
Care).Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker/asisten apoteker
sebagaitenaga farmasi dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan
perilakuagar dapat berinteraksi langsung dengan pasien. Pelayanan kefarmasian
meliputi pengelolaan sumber daya (SDM, sarana prasarana, sediaan farmasi dan
perbekalan kesehatan serta administrasi) dan pelayanan farmasiklinik
(penerimaan resep, peracikan obat, penyerahan obat, informasi obat
danpencatatan/penyimpanan resep) dengan memanfaatkan tenaga, dana,
prasarana,sarana dan metode tatalaksana yang sesuai dalam upaya mencapai tujuan
yangditetapkan.
3. Rangkaian Tugas Apoteker di Puskesmas
a. Administrasi
Administrasi adalah rangkaian aktivitas pencatatan, pelaporan, pengarsipan
dalam rangka penatalaksanaan pelayanan kefarmasian yang tertib baik untuk
sediaanfarmasi dan perbekalan kesehatan maupun pengelolaan resep supaya lebih
mudahdimonitor dan dievaluasi.
Administrasi untuk sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan meliputi
semua tahap pengelolaan dan pelayanan kefarmasian, yaitu :
1) Perencanaan
2) Permintaan obat ke instalasi farmasi kabupaten/ kota
3) Penerimaan
4) Penyimpanan mengunakan kartu stok atau computer
5) Pendistribusian dan pelaporan
14
Penerimaan Resep
Setelah menerima resep dari pasien, dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a) Pemeriksaan kelengkapan administratif resep, yaitu : nama dokter, nomor
surat izin praktek (SIP), alamat praktek dokter, paraf dokter,
tanggal,penulisan resep, nama obat, jumlah obat, cara penggunaan, nama
pasien,umur pasien, dan jenis kelamin pasien
b) Pemeriksaan kesesuaian farmasetik, yaitu bentuk sediaan, dosis, potensi,
stabilitas, cara dan lama penggunaan obat.
c) Pertimbangkan klinik, seperti alergi, efek samping, interaksi dan
kesesuaian dosis.
d) Konsultasikan dengan dokter apabila ditemukan keraguan pada resep atau
obatnya tidak tersedia
Peracikan Obat
Setelah memeriksa resep, dilakukan hal-hal sebagai berikut :
a) Pengambilan obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan menggunakan
alat, dengan memperhatikan nama obat, tanggal kadaluwarsa dan
keadaanfisik obat
b) Peracikan obat
c) Pemberian etiket warna putih untuk obat dalam/oral dan etiket warna biru
untuk obat luar, serta menempelkan label “kocok dahulu” pada
sediaanobat dalam bentuk larutan
d) Memasukkan obat ke dalam wadah yang sesuai dan terpisah untuk obat
yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan penggunaan yang salah
Penyerahan Obat
Setelah peracikan obat, dilakukan hal-hal sebagai berikut :
a) Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan
kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara
penggunaanserta jenis dan jumlah obat
b) Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang
baik dan sopan, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat
mungkinemosinya kurang stabil.
c) Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau keluarganya
d) Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal lain yang terkait
dengan obat tersebut, antara lain manfaat obat, makanan danminuman
yang harus dihindari, kemungkinan efek samping, carapenyimpanan obat,
dll.
c. Pelayanan Informasi Obat
Pelayanan Informasi obat harus benar, jelas, mudah dimengerti, akurat, tidak
biasa,etis, bijaksana dan terkini sangat diperlukan dalam upaya penggunaan obat
yangrasional oleh pasien.Sumber informasi obat adalah Buku Farmakope
Indonesia,Informasi Spesialite Obat Indonesia (ISO), Informasi Obat Nasional
Indonesia(IONI), Farmakologi dan Terapi, serta buku-buku lainnya.Informasi obat
jugadapat diperoleh dari setiap kemasan atau brosur obat yang berisi :
1) Nama dagang obat jadi
15
2) Komposisi
3) Bobot, isi atau jumlah tiap wadah
4) Dosis pemakaian
5) Cara pemakaian
6) Khasiat atau kegunaan
7) Kontra indikasi (bila ada)
8) Tanggal kadaluarsa
9) Nomor ijin edar/nomor registrasi
10) Nomor kode produksi
11) Nama dan alamat industry
Informasi obat yang diperlukan pasien adalah :
1) Waktu penggunaan obat, misalnya berapa kali obat digunakan dalam sehari,
apakah di waktu pagi, siang, sore, atau malam. Dalam hal ini termasuk
apakah obat diminum sebelum atau sesudah makan.
2) Lama penggunaan obat, apakah selama keluhan masih ada atau harus
dihabiskan meskipun sudah terasa sembuh. Obat antibiotika harus
dihabiskan untuk mencegah timbulnya resistensi.
3) Cara penggunaan obat yang benar akan menentukan keberhasilan
pengobatan. Oleh karena itu pasien harus mendapat penjelasan mengenai
cara penggunaan obat yang benar terutama untuk sediaan farmasi tertentu
seperti obat oral obat tetes mata, salep mata, obat tetes hidung, obat semprot
hidung, tetes telinga, suppositoria dan krim/salep rektal dan tablet vagina.
d. Penyimpanan (Kondisi Penyimpanan Khusus)
Beberapa obat perlu disimpan pada tempat khusus untuk memudahkan
pengawasan, yaitu.
1) Obat golongan narkotika dan psikotropika masing-masing disimpan dalam
lemari khusus dan terkunci.
2) Obat-obat seperti vaksin dan supositoria harus disimpan dalam lemari
pendingin untuk menjamin stabilitas sediaan.
3) Beberapa cairan mudah terbakar seperti aseton, eter dan alkohol disimpan
dalam lemari yang berventilasi baik, jauh dari bahan yang mudah terbakar
dan peralatan elektronik. Cairan ini disimpan terpisah dari obat-obatan.
e. Monitoring dan Evaluasi
Sebagai tindak lanjut terhadap pelayanan kefarmasian di Puskesmas perlu
dilakukan monitoring dan evaluasi kegiatan secara berkala. Monitoring merupakan
kegiatan pemantauan terhadap pelayanan kefarmasian dan evaluasi merupakan
proses penilaiankinerja pelayanan kefarmasian itu sendiri.
Monitoring dan evaluasi dilaksanakan dengan memantau seluruh kegiatan
pelayanan kefarmasian mulai dari pelayanan resep sampai kepada pelayanan
informasi obat kepadapasien sehingga diperoleh gambaran mutu pelayanan
kefarmasian sebagai dasar perbaikan pelayanan kefarmasian di Puskesmas
selanjutnya.
16
Hal-hal yang perlu dimonitor dan dievaluasi dalam pelayanan kefarmasian
di Puskesmas, antara lain:
1) Sumber daya manusia (SDM)
2) Pengelolaan sediaan farmasi (perencanaan, dasar perencanaan,
pengadaan,penerimaan dan distribusi)
3) Pelayanan farmasi klinik (pemeriksaan kelengkapan resep, skrining
resep,penyiapan sediaan, pengecekan hasil peracikan dan penyerahan obat
yangdisertai informasinya serta pemantauan pemakaian obat bagi penderita
penyakittertentu seperti TB, Malaria dan Diare)
4) Mutu pelayanan (tingkat kepuasan konsumen)
1. Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia yang melakukan pekerjaan kefarmasian
di puskesmas adalah apoteker, sedangkan asisten apoteker dapat membantu pekerjaan
apoteker dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian.
17
2. Bidang pengelolaan obat Pengelolaan obat mencakup perencanaan obat, permintaan
obat, penerimaan obat, penyimpanan, pendistribusian, pelayanan serta
pencatatan/pelaporan obat.
a. Perencanaan kebutuhan obat untuk puskesmas dilaksanakan setiap tahun oleh
pengelola obat berdasarkan data pemakaian obat tahun sebelumnya.
b. Permintaan obat adalah upaya memenuhi kebutuhan obat di masing-masing
unit puskesmas sesuai dengan pola penyakit yang ada di wilayah kerjanya.
c. Penerimaan obat adalah suatu kegiatan dalam menerima obat yang diserahkan
dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota kepada puskesmas dengan persetujuan
dari Kepala Dinkes Kabupaten/Kota atau pejabat lain yang berwewenang.
d. Penyimpanan obat adalah suatu kegiatan pengamanan terhadap obat yang
diterima agar aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia
dan mutunya tetap terjamin.
e. Pendistribusian obat bertujuan untuk memenuhi kebutuhan obat sub unit
pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas dengan jenis, mutu,
jumlah dan tepat waktu.
f. Pelayanan obat resep adalah proses kegiatan yang meliputi aspek teknis dan
non teknis yang harus dikerjakan mulai dari penerimaan resep dokter sampai
penyerahan obat kepada pasien.
g. Pencatatan dan pelaporan data obat di puskesmas merupakan kegiatan
penatalaksanaan obat secara tertib terhadap obat yang diterima, disimpan,
didistribusikan dan digunakan di puskesmas yang dilakukan secara periodik
setiap awal bulan menggunakan lembar permintaan-lembar penggunaan obat
(LP-LPO).
3. Bidang pelayanan kefarmasian
a. Pelayanan Informasi Obat (PIO) Pelayanan Informasi obat harus benar, jelas,
mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini diperlukan
dalam upaya penggunaan obat yang rasional oleh pasien. Informasi yang perlu
diberikan kepada pasien adalah kapan obat digunakan dan berapa banyak;
lama pemakaian obat yang dianjurkan; cara penggunaan obat; dosis obat; efek
samping obat; obat yang berinteraksi dengan kontrasepsi oral; dan cara
menyimpan obat.
b. Pelayanan konseling obat Konseling obat adalah suatu proses komunikasi dua
arah yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan
memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan obat. Apoteker perlu
memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan
kesehatan lainnya, sehingga yang bersangkutan terhindar dari bahaya
penyalahgunaanatau penggunaan obat yang salah, terutama untuk penderita
penyakit kronis seperti kardiovaskular, diabetes, tuberkulosis dan asma.
c. Home care Pelayanan Residensial (home care) adalah pelayanan apoteker
sebagai care giver dalam pelayanan kefarmasian di rumah pasien, khususnya
untuk kelompok lansia, pasien kardiovaskular, diabetes, tuberkulosis, asma,
dan penyakit kronis lainnya. Untuk kegiatan ini apoteker harus membuat
catatan pengobatan pasien (patient medication record).
18
Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 tahun 2009 disebutkan pelayanan resep atau
penyerahan obat resep dokter di pelayanan kefarmasian (salah satunya puskesmas) harus
dilakukan oleh apoteker. Menurut Uyung Pramudiarja (2011) hanya 10% puskesmas yang
memiliki apoteker.
2.4 Definisi, Tujuan, Sasaran, dan Manfaat Evaluasi Penggunaan Obat di Puskesmas
1. Definisi
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan kegiatan untuk mengevaluasi
penggunaan obat secara terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat yang
digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau (rasional) (KemenKes RI,
2019). EPO disusun untuk menilai proses peresepan, pengeluaran, atau pemberian obat.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam EPO yaitu indikator peresepan, indikator
pelayanan dan indikator fasilitas (Permenkes RI, 2017).
2. Tujuan
Tujuan EPO adalah mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan
obat, membandingkan pola penggunaan obat pada periode waktu tertentu, memberikan
masukan untuk perbaikan penggunaan obat, dan menilai pengaruh intervensi atas pola
penggunaan obat. Tujuan tersebut dapat dicapai sesuai rekomendasi WHO yaitu:
a. Membuat pedoman kriteria untuk pemanfaatan penggunaan obat dengan tepat.
b. Evaluasi efektivitas terapi obat.
c. Mengendalikan biaya pengobatan
d. Mencegah masalah terkait obat misalnya yang merugikan seperti kegagalan
pengobatan, peggunaan berlebih, dosis yang salah dan penggunaan obat non
formularium (Holloway, 2003).
Setiap kegiatan pelayanan farmasi klinik, harus dilaksanakan sesuai standar
prosedur operasional. Standar Prosedur Operasional (SPO) ditetapkan oleh Kepala
Puskesmas. SPO tersebut diletakkan di tempat yang mudah dilihat.
3. Sasaran dan Manfaat
Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab
kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi, serta meningkatkan mutu
kehidupan pasien. Manfaatnya sendiri yaitu untuk perbaikan pola penggunaan obat
secara berkelanjutan berdasarkan bukti.
2.5 Jenis-Jenis Evaluasi Penggunaan Obat
Evaluasi penggunaan obat evaluasi secara kuantitatif adalah penggunaan obat yang
didasarkan pada jumlah terbanyak, jumlah penggunaan golongan obat terbanyak, dan jumlah
penyakit terbanyak. Evaluasi penggunaan obat kuantitatif yaitu dengan menggunakan metode
ATC/DDD, (ATC = Anatomical Therapeutic Chemical, DDD = Defined Daily Dose)
merupakan sistem klasifikasi dan evaluasi penggunaan obat yang saat ini menjadi salah satu
pusat perhatian dalam pengembangan penelitian penggunaan obat. Metode ATC/DDD dapat
digunakan untuk membandingkan hasil evaluasi penggunaan obat dengan mudah. Hal ini dapat
bermanfaat untuk mendeteksi adanya perbedaan substansial. Sehingga dapat dilakukan
evaluasi lebih lanjut ketika ditemukan adanya perbedaan bermakna yang mengarah pada
identifikasi masalah dan perbaikan sistem penggunaan obat. Defined Daily Dose (DDD)
19
diasumsikan sebagai dosis pemeliharaan rata – rata perhari yang diperkirakan dengan indikasi
utama orang dewasa, Jumlah unit Defined Daily Dose (DDD)
Direkomendasikan pada pengobatan dalam satuan milligram untuk sediaan padat oral
dan satuan mililiter untuk sediaan cair oral dan injeksi. Perubahan data penggunaan dapat
diperoleh dari data statistik penjualan yang menunjukkan nilai DDD secara umum untuki
mengidentifikasi efektivitas terapi harian dari pengobatan. Penggunaan obat dapat
dibandingkan dengan menggunakan unit sebagai :
1. Jumlah DDD per 1000 populasi per hari, untuk total penggunaan
2. Jumlah DDD per 100 hari rawat untuk total penggunaan di rumah sakit
b. Mencari referensi ilmiah Evaluasi penggunaan obat harus berbasis pada bukti
ilmiah terbaru
1) Original research papers
2) Review articles
3) Evidence-based guidelines
Kadang memerlukan bantuan PIO untuk mendapatkan artikel yg memenuhi
syarat melalui critical appraisal.
20
c. Tentukan kriteria EPO
Tentukan kriteria berdasar hasil evaluasi literatur
1) Indikator proses
a) Tentukan dengan seksama indikasi penggunaan, dosis, rute, durasi,
kadar obat
b) contoh indikasi ondansetron: mual atau muntah yang tidak mampu
dikendalikan oleh antiemetika konvensional
2) Indikator “outcome”
Contoh target tekanan darah untuk obat antihipertensi
d. Study design
Menetapkan pengambilan data secara:
1) Retrospective atau concurrent / prospective
2) Retrospective
a) Keuntungan
Lebih cepat, lebih sedikit sumber daya, didapat data dl periode
panjang (contoh bulan-tahun)
b) Kerugian
Kemungkinan kesulitan dalam interpretasi atau mencari data yang
tidak lengkap karena keterbatasan dokumentasi
3) Concurrent / prospective review
a) Keuntungan
Kelengkapan data lebih baik karena mudah mencari yang tidak
terdokumentasi
b) Kerugian
Memerlukan waktu dan sumberdaya, proses audit memungkinkan
dipengaruhi oleh data bias
2. Desain Formulir pengambilan data
a. Pertimbangkan data yang diperlukan untuk evaluasi
1) Pastikan formulir mengakomodasi semua data yang diperlukan oleh satu
pasien
2) Hindari pengambilan data yang tidak akan digunakan Analisa
b. Ciptakan formulir sesederhana mungkin
Untuk memastikan pengambilan data cepat dan akurat
c. Lakukan uji coba untuk beberapa pasien sebagai uji formulir dan melakukan
perubahan formulir jika diperlukan
3. Pengumpulan data
Sumber data:
a. Data resep and klinik
1) Grafik pengobatan/resep
2) Catatan pelayanan farmasi
3) Catatan medik, sejarah pasien, catatan kemajuan pasien - Catatan penyakit
pasien
4) Grafik pemantauan (TD, suhu, nadi, dll)
5) Dokter, apoteker, perawat, pasien (prospektif)
21
b. Data Administratif
1) Pembelian farmasi
2) Pengeluaran gudang
4. Evaluasi data
a. Tabulasi data
Gunakan kertas kerja atau database
b. Analisa data
1) Bandingkan realita dan standar kriteria
2) Identifikasi variabilitas praktis
3) Evaluasi alasan timbulanya variasi: Beda populasi pasien, Lemahnya
pengetahuan penulis resep, Pemasaran pabrik farmasi/salah informasi,
Kesulitan akses “guidelines”, Kekurangan sumberdaya (tes laboratorium),
Umpan balik hasil.
5. Umpan Balik Hasil
a. Penulis resep
b. Apoteker
c. Pimpinan
Umpan balik dapat disajikan bervariasi
1) Laporan tertulis
2) Presentasi
6. Tindak Lanjut
Tipe tindakan
a. Umpan balik ke penulis resep
Bandingkan antara realita dan ‘best practice’
b. Kampanye Pendidikan
1) Presentasi
2) Poster
3) Bulletin
c. Mengembangkan pedoman peresepan lokal
1) Evidence and consensus-based
2) Opinion-leaders
d. Pengaturan formularium
Pembatasan ketersediaan obat yang tidak jelas.
Evaluasi Pelaksanaan DUE minimal sekali dalam setahun.
22
penggunaan obat. Dengan modifikasi dan pengembangan sistem klasifikasi The
European Pharmaceutical Market Research Association (EPhMRA), para peneliti
Norwegian mengembangkan sistem yang dikenal sebagai sistem Anatomical
Therapeutic Chemical (ATC) (WHO, 2010).
3. Definisi
Defined Daily Dose (DDD) merupakan suatu unit pengukuran yang diciptakan
untuk digunakan bersama-sama dengan klasifikasi sistem ATC dari WHO. DDD
diasumsikan sebagai dosis pemeliharaan rata-rata per hari yang diperkirakan untuk
indikasi utama orang dewasa. DDD hanya ditetapkan untuk obat yang mempunyai ATC
(WHO, 2010). Data penggunaan obat yang dipresentasikan pada DDD hanya
memberikanperkiraan penggunaan dan tidak memberikan gambaran penggunaan yang
pasti. DDD merupakan unit pengukuran tetap yang tidak tergantung pada harga dan
bentuk sediaan untuk mengakses trend penggunaan obat dan untuk melakukan
perbandingan antar kelompok populasi (WHO, 2010).
1) Prinsip Penetapan DDD (Defined Daily Dose)
23
a) Dosis rata-rata orang dewasa yang digunakan untuk indikasi utama yang
direfleksikan dengan kode ATC. Ketika direkomendasikan dosis ke berat badan,
seorang dewasa dianggap 70Kg, pada keadaan khusus, terutama untuk anak-anak
(seperti mixture, suppositoria) digunakan DDD untuk orang dewasa. Kecuali
yang dibuat khusus untuk anak-anak seperti hormon pertumbuhan dan tablet
fluorid.
b) Dosis pemeliharaan. Beberapa obat digunakan dalam dosis yang berbeda tetapi
tidak direfleksikan dalam DDD.
c) Dosis terapi yang biasa digunakan.
b) Dinyatakan dalam unit dose (UD), contoh 1 tablet atau kapsul atau
suppositoria ekuivalen dengan 1 UD (WHO, 2010).
4) Perhitungan DDD, dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a) Mengelompokkan data total penggunaan obat dalam unit; tablet, vial dan
kekuatan; disesuaikan dengan ATC.
b) Menghitung total kuantitas yang dikonsumsi.
c) Mengalikan unit dengan kekuatan sediaan.
d) Membagi total kuantitas dengan DDD yang ditetapkan.
e) Membagi kuantitas total DDD dengan jumlah hari rawat pasien (WHO,2010).
Perhitungan DDD untuk obat tunggal sesuai dengan cara perhitungan DDD
diatas, sedangkan perhitungan DDD untuk obat kombinasi memiliki ketentuan
tersendiri.
Contoh perhitungan DDD untuk obat kombinasi:
a) Pengobatan dengan dua produk, masing-masing berisi satu bahan aktif: Produk
A: Tablet yang mengandung 20mg zat X (DDD=20mg) Produk B: Tablet
24
yang mengandung 25mg zat Y (DDD=25mg). Penghitungan DDD dari produk
kombinasi ini adalah 1 tablet A ditambah dengan 1 tablet B, sehingga akan
dihitung menjadi konsumsi 2 DDDs.
b. Belum lengkap untuk semua obat: topikal, vaksin, anestesi lokal atau umum, media
kontras dan ekstrak alergen.
c. Obat dengan lebih dari satu ATC/DDD sulit untuk diterapkan.
Sistem ATC digunakan untuk mengklasifikasi obat dimana senyawa aktif yang
berbeda berdasarkan karakteristik farmakologi, terapetik dan kimia. Berikut ini
adalah data pengklasifikasian obat berdasarkan ATC :
Daftar Kelompok Keterangan
Pengklasifikasian
Kode ATC Level
25
1 Kode yang berdasarkan anatomi utama dan terdiri
dari satu huruf
A Alimentary tract and metabolism
B Blood and blood forming organs
C Cardiovaskular system
D Dermatologicals
G Genito urinary system and sex hormones
H Systemic hormonal preparations,
exel. Sexhomrones and insulins
J Antiinfectives for systemic use
L Antineoplastic and immunomodulating agents
M Musculo-skeletas system
N Nervous system
P Antiparasitic products, insecticides and repellents
R Respiratory system
S Sensory organs
V Various
2 Sub kelompok farmakologi/terapetik dan terdiri dari 2
digit
3 Sub kelompok farmakologis/terapetik/kimia dan terdiri
dari satu huruf
4 Sub kelompok farmakologis/terapetik/kimia dan terdiri
dari satu huruf
5 Kelompok zat kimia dan terdiri dari dua digit
Obat-obatan yang termasuk area studi EPO
1. Obat yang diketahui menyebabkan reaksi efek samping atau interaksi dengan obat
lain, makanan atau prosedur diagnostic yang secara nyata berisiko mempengaruhi
kesehatan.
2. Obat yang mempunyai toksisitas tinggi jika peresepan tidak tepat atau tidak optimal
dilakukan monitoring.
3. Obat yang memerlukan petunjuk khusus dalam penggunaan.
4. Obat yang digunakan dalam pengobatan pasien yang berisiko tinggi menyebabkan
reaksi efek samping.
5. Obat dengan indeks terapi sempit.
6. Obat yang paling efektif dan aman ketika digunakan dengan petunjuk atau perhatian
khusus.
7. Obat yang sangat sering diresepkan atau yang harganya mahal.
8. Obat yang lebih mahal dibandingkan dengan obat yang tersedia tanpa bukti manfaat
klinis yang berarti.
9. Obat baru yang ditambahkan dalam formularium atau obat yang sedang dilakukan
evaluasi pembatasan penggunaan atau penghapusan obat dari formularium.
10. Obat yang telah diidentifikasi sebagai control penanganan infeksi yang menyebabkan
perubahan pola sensitifitas microorganisms.
26
DAFTAR PUSTAKA
Direktoral Jendral Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2019. Petunjuk Teknis Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI. 2019. Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas. Jakarta:
Kemenkes RI
Kementerian Kesehatan RI. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
74 Tahun 2017 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI
Kementerian Kesehatan. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan. 2019. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 tahun 2019 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Uyung Pramudiardja, 2011. Apoteker Berlimpah Tapi yang Kerja di Puskesmas Sangat Sedikit.
http://www.detikhealth.com/read/2011/08/22/1 10159/ 1708053 /763/ apoteker-
berlimpah - tapi-yang-kerja-di-puskesmas-sangat-sedikit.
27