Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

MANAJEMEN BENCANA

“Indikator Kesehatan Dalam Kedaruratan”

OLEH
KELOMPOK 1

Adisty Fadhilah Pohan 2011211044 Lieona Fibra Asha 2011211038


Andama Rizky Maulana 2011211024 Mardiah Putri Al Ghani 2011212022
Asha Firnandia 2011212030 Muhammad David Ewaldo 2011212018
Caesar Rani Batavia 2011211042 Rahmat Al Ikram 2011211040
Dela Desmita Sari 2011212064 Rd Aldifa Taufiqurrahman 2011212038
Farhan Fadhil 2011212012 Robi Tri Nanda 2011212042
Fina Rahma Aulia 2011211022 Saidati ‘Ashfi Dzakiya H. 2011211020
Gina Syakila Intania 2011211012 Shabrina Erika 2011211014
Zil Mahendra 2011212058

KELAS A2

DOSEN PENGAMPU MATA KULIAH :


Azyyati Ridha Alfian, S.K.M., M.K.M.

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ANDALAS
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur Kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia dan hidayah-Nya Kami dapat menyelesaikan makalah tentang
”Indikator Kesehatan Dalam Kedaruratan” ini dengan baik meskipun banyak
kekurangan didalamnya. Kelompok satu mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini khususnya
kepada dosen mata kuliah Manajemen Bencana Universitas Andalas yaitu Ibu
Azyyati Ridha Alfian, S.K.M.,M.K.M. yang bersedia mengampu kelompok dalam
penyusunan makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai “Indikator Kesehatan
Dalam Kedaruratan”. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah
ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, Kami
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah
Kami buat di masa yang akan datang.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami dan berguna bagi siapapun
yang membacanya. Sebelumnya Kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan
kata-kata yang kurang berkenan. Atas perhatian Ibu Kami ucapkan terima kasih.

Padang, 22 Mei 2022

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................i
Daftar Isi..................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. Latar Belakang..................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.............................................................................................2
1.3. Tujuan Penulisan...............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1. Definisi Indikator Kesehatan dalam Kedaruratan.............................................3
2.2. Fungsi Indikator Dalam Kedaruratan................................................................3
2.3. Data Indikator Kesehatan..................................................................................3
2.4. Standar Minimal Dalam Indikator Kesehatan Kedaruratan..............................6
2.5. Hal - Hal yang Berkaitan dengan Kebutuhan Dasar Kesehatan......................22
2.6. Masalah Umum Kesehatan di Pengungsian....................................................24
2.7. Studi Kasus......................................................................................................31

BAB III PENUTUP..............................................................................................34


3.1. Kesimpulan...............................................................................................34
3.2. Saran.........................................................................................................34

Daftar Pustaka........................................................................................................35

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Bencana dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Berbagai hal dapat
menjadi penyebab bencana seperti kondisi alam, atau perbuatan manusia.
Bencana yang terjadi akan mengakibatkan kerugian material, kecacatan
bahkan kehilangan nyawa. Oleh karena itu, untukmencegah timbulnya
bencana ataupun dampak buruk akibat terjadinya bencana, diperlukan
pemahaman tentang manajemen bencana.
Bencana alam merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa
bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor. Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa
non-alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi,
epidemi, dan wabah penyakit. Bencana karena peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial
antarkelompok atau antarkomunitas.
Berbagai jenis bencana ini dapat menimbulkan krisis kesehatan, seperti
timbulnya korban massal, masalah pengungsi, masalah pangan dan gizi,
masalah ketersediaan air bersih, masalah sanitasi lingkungan, penyebaran
vektor penyakit, penyebaran penyakit menular. Penyakit yang dapat terjadi
setelah bencana antara lain infeksi saluran pernafasan (ISPA), diare,
penyakit kulit seperti gatalgatal, dan lain sebagainya.
Pada saat terjadi bencana jumlah korban menjadi banyak (massal), ada
yang mengalami luka-luka, kecacatan bahkan kematian. Korban bencana
yang selamat sementara tinggal di pengungsian. Karena bencana pelayanan
kesehatan lumpuh, angka kesakitan dan kematian meningkat, balita dengan
gizi kurang bertambah. Bencana mengakibatkan rusaknya sarana dan
prasarana kesehatan, gedung rumah sakit dan puskesmas rusak, alat
kesehatan dan stok obat rusak atau hilang.

1
Penanggulangan penderita korban masal dengan berbagai tingkat
kegawat-daruratannya harus melalui suatu sistem yang menjamin
kecepatan, ketepatan pertolongan baik di tingkat pra rumah sakit maupun di
tingkat rumah sakit. Dalam pelaksanaannya diperlukan suatu pengaturan
yang jelas mengenai organisasi, tatalaksana, koordinasi penyiapan tenaga
dan fasilitas, komunikasi dan pola operasionalterpadu antar semua unsur
terkait.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa defenisi dari indikator dan kedaruratan?
2. Apa definisi dari indikator kesehatan dalam kedaruratan?
3. Apa fungsi dari indikator kesehatan dalam kedaruratan?
4. Bagaimana indikator demografi dan Indikator status kesehatan?
5. Bagaimana indikator proses program dan indikator masukan program?
6. Bagaimana standar minimal pelayanan kesehatan masyarakat dan
pelayanan kesehatan jiwa?
7. Bagaimana pencegahan dan pemberantasan penyakit menular?
8. Bagaimana indikator gizi dan pangan pada saat darurat?
9. Bagaimana indikator lingkungan pada saat situasi darurat?
10. Hal-hal apa saja yang berkaitan dengan kebutuhan dasar kesehatan?
11. Apa saja masalah umum kesehatan di pengungsian?
12. Apa contoh studi kasus dari pada indikator kesehatan dalam kedaruratan
ini?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui defenisi dari indikator dan kedaruratan.
2. Untuk mengetahui definisi dari indikator kesehatan dalam kedaruratan.
3. Untuk mengetahui fungsi dari indikator kesehatan dalam kedaruratan.
4. Untuk mengetahui indikator demografi dan Indikator status kesehatan.
5. Untuk mengetahui indikator proses program dan indikator masukan
program

2
6. Untuk mengetahui standar minimal pelayanan kesehatan masyarakat
dan pelayanan kesehatan jiwa.
7. Untuk mengetahui pencegahan dan pemberantasan penyakit menular.
8. Untuk mengetahui indikator gizi dan pangan pada saat darurat
9. Untuk mengetahui indikator lingkungan pada saat situasi darurat.
10. Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan dasar
kesehatan.
11. Untuk mengetahui masalah umum kesehatan di pengungsian.
12. Untuk mengetahui contoh studi kasus dari pada indikator kesehatan
dalam kedaruratan ini.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi Indikator Kesehatan dalam Kedaruratan


Indikator adalah ukuran yang mencerminkan keadaan populasi dalam hal
kesehatan, status sosial ekonomi, dan juga dapat mencerminkan proses dan
hasil layanan yang ada. Kedaruratan adalah suatu keadaan kritis yang terjadi
secara cepat yang mengancam kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam rangka merencanakan dan melaksanakan bantuan dalam keadaan
darurat, penting untuk mengetahui status keschatan penduduk yang terkena
dampak dan untuk menilai kebutuhan vitalnya. Informasi yang perlu
dikumpulkan: demografi, mortalitas, morbiditas, status gizi, imunisasi,
kebutuhan vital: makanan, air dan sanitasi.

2.2. Fungsi Indikator Dalam Kedaruratan


Fungsi indikator kesehatan dalam kedaruratan yaitu :
1. Mengukur dan menggambarkan efek dari bencana pada populasi
2. Menyediakan dasar pengukuran, yang membantu menentukan hasil dari
penanganan.
Indikator-indikator dapat didefenisikan dari survei atau sistem informasi
kesehatan yang ada. Indikator dapat berupa indikator kuantitatif atau
kualitatif. Indikator kuantitatif seperti : Insidens, Prevalensi, Morbidity rate,
Mortality rate, dsb. Sedangkan, indikator kualitatif seperti : Kesadaran
melakukan imunisasi, kepatuhan terhadap pengawasan, dan sebagainya.

2.3. Data Indikator Kesehatan


2.3.1. Indikator Demografi
1. Tujuan
a. Menilai struktur populasi.

4
b. Memperkirakan total populasi untuk menentukan perkiraan
populasi sub-kelompok ketika data ketika data dari populasi
pengungsi yang kurang atau tidak dapat diandalkan.
c. Memperkirakan penduduk rentan. Misalnya, wanita hamil dan
anak-anak.
2. Poin Indikator
a. Total Populasi
b. Struktur Populasi. Misal, proporsi (%) dari anak-anak, proporsi
(%) perempuan hamil dan/atau menyusui, lansia, dll.

2.3.2. Indikator Status Kesehatan


1. Mortalitas
Indikator kematian yang utama adalah :
a. Angka kematian kasar, untuk semua umur.
b. Infant Mortality Rate (IMR).
c. Angka kematian kelompok 1-4 tahun.
d. Maternal Mortality Rate (MMR).
e. Angka harapan hidup.
f. Angka kematian spesifik penyakit.
2. Morbiditas
Berisi informasi umum mengenai penyakit, faktor risiko,
potensi yang mengancam nyawa, dsb. Indikator-indikator
kesakitan: berdasarkan angka insidens & prevalensi dari penyakit
spesifik, seperti malaria, diare, lepra.
3. Status Gizi
Status gizi dari populai pengungi dapat diproyekikan dari status
gizi anak-anak kurang dari lima tahun. Dua jenis indikator yang
dapat digunakan yaitu :
a. Indikator klinis gizi buruk termasuk deteksi edema, perubahan
kulit, perubahan rambut atau tanda-tanda kekurangan zat gizi

5
mikro. Gangguan indikator klinis harus ditafsirkan terhadap
indikator antrhopometric.
b. Indikator Anthropometric, didasarkan pada pengukuran usia,
jenis kelamin, berat badan, dan tinggi. Ada beberapa indikator
antropometri, tapi yang paling umum digunakan untuk
mengukur kekurangan gizi pada anak-anak adalah berat/tinggi
(WFH) dan (LILA).

2.3.3. Indikator Proses Program


Indikator proses program berfungsi untuk mengidentifikasi
kesenjangan dalam cakupan dan kualitas layanan yang diberikan
(pelayanan kesehatan, suplai makanan, imunisasi, air bersih, sanitasi,
dll). Contohnya yaitu untuk mengidentifikasi mana praktek atau
cakupan imunisasi rendah dari apa yang ditargetkan.

2.3.4. Indikator Masukan Program


1. Tujuan
a. Untuk menilai kecukupan sumber daya/masukan.
b. Untuk menilai ketersediaan sumber daya/input.
2. Poin Indikator
a. Water resource : untuk menilai akses dan ketersediaan sumber
air.
b. Vital need : untuk menilai ketersediaan sumber makanan.

2.4. Standar Minimal Dalam Indikator Kesehatan Kedaruratan


Standar Pelayanan Minimal adalah ketentuan mengenai jenis dan mutu
pelayanan dasar yang merupakan urusan pemerintahan wajib yang berhak
diperoleh setiap warga negara secara minimal.
SPM dengan konsep baru ini mengalami perubahan yang cukup mendasar
dari konsep SPM sebelumnya. Bila pada SPM yang lalu pencapaian target-
target SPM lebih merupakan kinerja program kesehatan maka pada SPM ini

6
pencapaian target-target tersebut lebih diarahkan kepada kinerja Pemda.
Pencapaian target SPM, bersama-sama dengan program prioritas lain, menjadi
indikator apakah kinerja Kepala Daerah dinilai baik atau tidak dan
sebagaimana telah diatur dalam UU 23 Tahun 2014 maka ada konsekuensi
tertentu atas tercapai/tidaknya indikator-indikator ini, SPM juga akan
berfungsi sebagai instrumen untuk memperkuat pelaksanaan Performance
Based Budgeting. UU 23 Tahun 2014 juga mengamanatkan pada Pemda
untuk benar-benar memprioritaskan belanja daerah untuk mendanai urusan
pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar yang ditetapkan dengan
SPM (pasal 298).
Kedepannya nanti pengalokasian DAK ke daerah akan berdasar pada
kemampuan daerah untuk pencapaian target-target SPM, daerah dengan
kemampuan sumber daya yang kurang akan menjadi prioritas dalam
pengalokasian DAK.
Sasaran dari Petunjuk Teknis ini adalah untuk memberikan pemahaman
kepada pemerintah daerah terkait penerapan SPM Bidang Kesehatan dan
kebijakan pelaksanaan urusan pemerintahan bidang kesehatan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta
peraturan pelaksanaannya. SPM merupakan hal minimal yang harus
dilaksanakan oleh Pemda untuk rakyatnya, maka target SPM harus 100%
setiap tahunnya. Untuk itu dalam penetapan indikator SPM,
Kementerian/Lembaga Pemerintahan Non Kementerian agar melakukan
pentahapan pada jenis pelayanan, mutu pelayanan dan/atau sasaran/lokus
tertentu.
SPM merupakan salah satu program strategis nasional, Pada Pasal 68 UU
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa
Kepala Daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional akan
dikenai sanksi yaitu sanksi administratif, diberhentikan sementara selama 3
(tiga) bulan, sampai dengan diberhentikan sebagai kepala daerah.

7
2.4.1. Standar Minimal Pelayanan Kesehatan Masyarakat dan Kesehatan
Jiwa
1. Standar Minimal Pelayanan Kesehatan Masyarakat
a. Setiap ibu hamil mendapatkan pelayanan antenatal sesuai
standar;
b. Setiap ibu bersalin mendapatkan pelayanan persalinan sesuai
standar;
c. Setiap bayi baru lahir mendapatkan pelayanankesehatan sesuai
standar;
d. Setiap balita mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar;
e. Setiap anak pada usia pendidikan dasar mendapatkan skrining
kesehatan sesuai standar;
f. Setiap warga negara Indonesia usia 15 s.d. 59 tahun
mendapatkan skrining kesehatan sesuai standar;
g. Setiap warga negara Indonesia usia 60 tahun ke atas
mendapatkan skrining kesehatan sesuai standar;
h. Setiap penderita hipertensi mendapatkan pelayanan kesehatan
sesuai standar;
i. Setiap penderita Diabetes Melitus mendapatkan pelayanan
kesehatan sesuai standar;
j. Setiap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) mendapatkan
pelayanan kesehatan sesuai standar;
k. Setiap orang dengan TB mendapatkan pelayanan TB sesuai
standar; dan
l. Setiap orang berisiko terinfeksi HIV (ibu hamil, pasien TB,
pasien IMS, waria/transgender, pengguna napza, dan warga
binaan lembaga pemasyarakatan) mendapatkan pemeriksaan
HIV sesuai standar.
2. Standar Minimal Pelayanan Kesehatan Jiwa
a. Penatalaksanaan terhadap ODGJ dengan cara lain di luar ilmu
kedokteran hanya dapat dilakukan apabila dapat

8
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak
bertentangan dengan norma agama.
b. Penatalaksanaan yang dapat dipertanggungjawabkan manfaaat
dan keamanannya, mencakup penggunaan produk, modalitas
terapi, dan kompetensi pemberi pelayanan yang sesuai dengan
produk dan modalitas terapi.
c. ODGJ dibina dan diawasi oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah.

2.4.2. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular


1. Vaksinasi
Vaksinasi campak harus dijadikan prioritas sedini mungkin
dalam kekeadaan darurat. Program vaksinasi harus segera dimulai
begitu tenaga kesehatan, vaksin, peralatan dan perlengkapan lain
sudah tersedia, tanpa menunda–nunda lagi. Tidak perlu menunggu
sampai vaksin – vaksin lain tersedia, atau sampai sudah muncul
laporan adanya penderita campak dilokasi, Mungkin (namum
sangat jarang terjadi) tim penilai situasi awal memutuskan bahwa
vaksinasi campak tidak perlu dilakukan. Bila demikian keputusan
ini haruslah di dasari oleh faktor - factor epidemiologis, misalnya
pelaksanaan kampanye vaksinasi sebelumnya didaerah itu, tingkat
cangkupan vaksinasi yang sudah dijalankan, serta perkiraan jumlah
penduduk yang paling rentan terkena campak. Dampak kondisi
lain, tim penilai situasi awal mungkin merekomendasikan agar
setiap orang yang telah berusia lebih dari 15 tahun harus pula
divaksin, dengan alasan kuat bahwa nampak terbukti tingkat usia
ini pun rawan terkena campak.
Tolok ukur kunci :
a. Bila muncul satu kasus campak (yang baru dalam tahap diduga
ataupun sudah dipastikan) ini berarti harus diadakan

9
pemantauan dilokasi termasuk mengenai status vaksinasi dan
usia pasien.
b. Dalam pengendalian wabah campak pemberian vaksin kepada
anak usia 6 bulan sampai 15 tahun atau lebih dan pemberian
dosis vit A yang tepat adalah kuncinya.
c. Cacar air (10% dari penduduk berusia 6 bulan sampai 5 tahun
belum diimunisasi.
d. Penyakit infeksi pernafasan (ada kecenderungan peningkatan
kasus).
e. Diare (ada kecenderungan peningkatan kasus).
Bila yang dihadapi di lapangan adalah situasi pengungsian,
para pendatang baru ke lokasi/kamp/penampungan/pemukiman
sementara secara sistematis harus divaksin. Semua anak usia 6
bulan hingga 15 tahun menerima vaksin campak dan vitamin A
dengan dosis yang tepat. Tolok ukur kunci :
a. Dilaksanakan oleh Puskesmas dibawah koordinasi Dinas
Kesehatan Kabupaten dan bekerja sama dengan instansi terkait.
b. Sampai 100% dari semua anak dalam kelompok sasaran
(termasuk para pendatang baru di kamp pengungsian ) sudah
divaksin.
c. Pasokan vaksin di lokasi setara dengan 14% kelompok sasaran,
termasuk 15% untuk kemungkinan terbuang/tidak terpakai dan
25% cadangan : kebutuhan bagi pendatang baru diproyeksikan :
bila belum tersedia vaksin harus didatangkan.
d. Yang digunakan hanyalah vaksin dan jarum–jarum suntik
sekali pakai yang memenuhi ketentuan WHO.
e. Rantai pasokan harus terus dipantau sejak pembuatannya
sampai kelokasi pemberian vaksin untuk menjamin
kelayakannya.
f. Persediaan jarum suntik di lokasi setara dengan 125%
kelompok sasaran, termasuk 25% cadangan jarum–jarum suntik

10
berkapasitas 5 mililiter untuk melarutkan dosis–dosis jamak
tersedia. Diperlukan satu jarum suntik untuk setiap zat yang
akan dilarutkan bersama.
g. Kotak pengaman yang sesuai dengan rekomendasi WHO
tersedia untuk masing–masing jarum suntik sebelum dibuang
sesudah digunakan. Kotak– kotak dibuang sesuai ketentuan
WHO.
h. Pasokan vitamin A setara dengan 125% kelompok sasaran
termasuk 25% cadangan bila akan digunakan bersamaan
dengan kampanye vaksinasi campak.
i. Kepala Puskesmas merencanakan kebutuhan vaksin, KMS.
Buku induk khusus penanganan kesehatan pengungsi, peralatan
dan tenaga kesehatan (juru imunisasi) dengan
memperhitungkan jumlah sasaran sekaligus pemberian vitamin
A.
j. Tanggal pemberian vaksin dicatat setiap catatan kesehatan anak
(memakai buku induk). Bila mungkin disediakan juga catatan
kesehatan.
k. Bayi yang divaksin sebelum usia 9 bulan memerlukan
revaksinasi bila usianya mencapai 9 bulan.
l. Puskesmas melaksanakan memastikan vaksinasi
berkesinambungan yang rutin terhadapa setiap pendatang baru
di kamp pengungsian, dan mengidentivikasi anak–anak yang
butuh vaksinasi–kedua (bayi yang mencapai usia 9 bulan).
m. Pesan – pesan yang relevan dalam bahasa daerah etempat
disebarluaskan kepada kelompok – kelompok ibu atau
pengasuh anak yang tengah menunggu giliran mencakup antara
lain manfaat vaksin, apa kemungkinan efek sampingnya, kapan
harus kembali untuk memperoleh revaksinasi, dan mengapa
harus menyimpan Kartu Menuju Sehat (KMS).

11
2. Manajemen Kasus
Semua anak yang terkena penyakit menular dirawat selayaknya
agar risiko– risiko lebih jauh terhindarkan, termasuk kematian.
Tolok ukur Kunci :
a. Sistem pelacakan yang meliputi seluruh penduduk dengan
menggunakan definisi kasus standar dan merujuk kepada
kasus–kasus campak, yang dicurigai maupun yang sudah
dikonfirmasi, dijalankan.
b. Setiap pasien menerima vitamin A dan perawatan untuk
komplikasi seperti misalnya pneumonia, gastroenteritis,
kekurangan gizi yang parah, dan miningoencephalitis, yang
dapat mengakibatkan kematian.
c. Status anak penderita campak dipantau, dan bila perlu
dimasukkan dalam program pemberian bantuan pangan/gizi.
3. Surveilans
Surveilans dilakukan terhadap beberapa penyakit menular.
Tolok Ukur Kunci :
a. Puskesmas dibawah koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten
bertanggung jawab atas pemantauan dan pengendalian secara
jelas ditetapkan (Protap penaggulangan Masalah Kesehatan
akibat bencana dan penanganan Pengungsi), dan seluruh LSM
kemanusiaan di lokasi mengetahui kemana harus mengirimkan
laporan bila menjumpai kasus penyakit menular, baik yang baru
dalam tahap dicurigai ataupun sudah dikonfirmasikan.
b. Pemantauan dilangsungkan sepanjang waktu agar bisa
secepatnya melacak dan mengambil tindakan jika didapati
kasus penyakit menular sedini mungkin.
4. Ketenagaan
Jumlah kebutuhan tenaga kesehatan untuk penanganan
pengungsi antara 10.000 – 20.000 :

12
a. Pekerja kesehatan lingkungan : 10 – 20 orang.
b. Bidan : 5 – 10 orang.
c. Para medis : 4 – 5 orang.
d. Dokter : 1 orang.
e. Asisten Apoteker : 1 orang.
f. Teknisi Laboratorium : 1 orang.
g. Pembantu Umum : 5 – 10 orang.
h. Pengawas Sanitasi : 2 – 4 orang.
i. Asisten Pengawas Sanitasi : 10 –20 orang.

2.4.3. Gizi dan Pangan


1. Standar Minimum Gizi
Berikut tabel kadar gizi yang bisa dipakai untuk tujuan-tujuan
perencanaan dalam proses penilaian situasi awal.

a. Penanganan Gizi Kelompok Rentan


1) Bayi Usia 0-5 bulan
a) Bayi tetap diberi ASI.
b) Bila bayi piatu, bayi terpisah dari ibunya atau ibu
tidak dapat memberikan ASI, upayakan bayi
mendapat bantuan ibu susu/donor, dengan
persyaratan : permintaan ibu kandung atau keluarga

13
bayi yang bersangkutan ; identitas agama dan alamat
pendonor ASI diketahui dengan jelas oleh keluarga
bayi ; persetujuan pendonor setelah mengetahui
identitas bayi yang di beri ASI ; Pendonor ASI dalam
kondisi kesehatan baik dan tidak mempunyai indikasi
medis ; dan ASI donor tidak diperjualbelikan.
c) Bila tidak memungkinkan bayi mendapat ibu
susu/donor, bayi diberikan susu formula dengan
pengawasan atau didampingi oleh petugas kesehatan.
2) Bayi Usia 6-23 bulan
a) Baduta tetap diberi ASI. 
b) Pemberian MP-ASI yang difortifikasi dengan zat gizi
makro, pabrikan atau makanan lokal.
c) Pemberian makanan olahan yang berasal dari
bantuan ransum umum yang mempunyai nilai gizi
tinggi.
d) Pemberian kapsul vitamin A biru (100.000 IU) bagi
yang berusia 6-11 bulan; dan kapsul vitamin A
merah (200.000 IU) bagi anak berusia 12-59 bulan
dengan ketentuan, “Bila bencana terjadi dalam
waktu kurang dari 30 hari setelah pemberian kapsul
vitamin A (Februari dan Agustus) maka balita
tersebut tidak dianjurkan lagi mendapat kapsul
vitamin A”.
e) Dapur umum sebaiknya menyediakan makanan
untuk anak usia 6-23 bulan.
f) Air minum dalam kemasan diupayakan selalu
tersedia di tempat pengungsian
3) Balita 24-59 bulan
a) Hindari penggunaan susu dan makanan lain yang
penyiapannya menggunakan air, penyimpanan yang

14
tidak higienis, karena berisiko terjadinya diare,
infeksi dan keracunan. 
b) Keragaman menu makanan dan jadwal pemberian
makanan disesuaikan dengan kemampuan tenaga
pelaksana. Daftar menu harian ditempel di tempat
yang mudah dilihat oleh pelaksana pengolahan
makanan. 
c) Pemberian kapsul vitamin A.
d) Makanan utama yang diberikan sebaiknya berasal
dari makanan keluarga yang tinggi energi, vitamin
dan mineral. Makanan pokok yang dapat diberikan
seperti nasi, ubi, singkong, jagung, lauk pauk, sayur
dan buah. Bantuan pangan yang dapat diberikan
berupa makanan pokok, kacang-kacangan dan
minyak sayur.
4) Ibu Hamil dan Menyusui
Memberikan tambahan energi perlu penambahan
energi sebanyak 300 kkal dan 17 g protein pada Ibu
hamil dan menyusui, sedangkan pada ibu menyusui perlu
penambahan energi 500 kkal dan 17 g protein. Serta ibu
hamil dan ibu menyusui juga perlu diberikan kegiatan
konseling menyusui dan konseling MP-ASI serta
pendistribusian Tablet Tambah Darah (TTD) bagi ibu
hamil. Berikut contoh Pembagian porsi menu makanan
sehari pada ibu hamil dan menyusui sebagai berikut :

15
5) Lanjut Usia
Pada Usia lanjut, memerlukan makanan dalam porsi
kecil tetapi padat gizi dan mudah dicerna. Dalam
pemberian makanannya tetap harus memperhatikan
faktor psikologis dan fisiologis agar makanan yang
disajikan dapat dihabiskan. Dalam kondisi tertentu,
kelompok usia lanjut dapat diberikan bubur atau biskuit.
b. Penanganan Gizi Kelompok Dewasa
1) Pemilihan bahan makanan disesuaikan dengan ketersediaan
bahan makanan.
2) Keragaman menu makanan dan jadwal pemberian
disesuaikan dengan kemampuan tenaga pelaksana. Daftar
Menu Harian ditempel di tempat yang mudah dilihat oleh
pelaksana pengolahan makanan.
3) Pemberian makanan/minuman suplemen harus didasarkan
pada anjuran petugas kesehatan yang berwewenang.
4) Perhitungan kebutuhan gizi korban bencana disusun
dengan mengacu pada rata-rata Angka Kecukupan Gizi
yang dianjurkan.

16
5) Menyediakan paket bantuan pangan (ransum) yang cukup
untuk semua pengungsi dengan standar minimal 2.100
kkal, 50 g protein dan 40 g lemak per orang per hari. Menu
makanan disesuaikan dengan kebiasaan makan setempat,
mudah diangkut, disimpan dan didistribusikan serta
memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral.
2. Standar Minimum Pangan
a. Kualitas dan Keamanan Pangan
Tolok ukur Kunci :
1) Tidak ditemukan persebaran penyakit akibat pangan yang
dibagikan.
2) Tidak ada keluhan mengenai mutu bahan pangan yang
dibagikan, baik dari penerima bantuan maupun dari
petugas.
3) Para pemasok melaksanakan pengendalian mutu secara
teratur, dan memasok koditas yang memenuhi standar–
standar resmi pemerintah (sehubungan dengan masalah
pengemasan, pelabelan, tanggal kadaluarsa, dan
sebagainya).
4) Dilakukan Pengecekan seluruh bahan pangan sebelum
dipasok ke lokasi secara sistimatis oleh Badan Pengawasan
Obat dan Makanan (POM) setempat.
5) Batas kadaluarsa minimum hingga 6 bulan sudah diterima
(Kecuali bahan–bahan seperti sayur–sayur dan buah–
buahan segar, dan jagung pipilan).
6) Bahan pangan harus sudah dibagikan jauh sebelum batas
kadaluarsa.
7) Adanya tempat penyimpanan yang memadai dan dikelola
dengan baik.
8) Staf memberikan pengetahuan yang cukup mengenai
ancaman–ancaman potensial bagi kesehatan dari

17
pembagian makanan, yakni risiko–risiko dari pengelolahan
yang kurang baik, penyimpanan yang tidak memenuhi
syarat dan pembagian yang terlambat.
b. Penerimaan Terhadap Bahan Pangan
Tolak ukur yaitu:
1) Melakukan konsultasi dengan masyarakat untuk
mengetahui kebutuhannya sehingga bantuan yang diberikan
dapat sesuai dengan standar kelayakan dan kepantasan.
2) Bahan-bahan yang dibagikan tidak bertentangan dengan
agama dan kebiasaan atau adat istiadat yang ada di
lingkungan setempat.
3) Bahan pangan pokok yang dibagikan harus sesuai dengan
yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat penerimanya.
4) Makanan tambahan bagi anak–anak balita memenuhi syarat
dalam hal rasa dan sesuai dengan kemampuan pencernaan
mereka.
5) Masyarakat memiliki akses untuk mendapatkan bahan–
bahan pangan tertentu yang dianggap termasuk bahan
pokok merurut kebudayaan mereka seperti cabe dan atau
gula pasir.

2.4.4. Lingkungan
1. Pengadaan Air
Semua orang didunia memerlukan air untuk minum, memasak
dan menjaga kebersihan pribadi. Dalam situasi bencana mungkin
saja air untuk keperluan minumpun tidak cukup, dan dalam hal ini
pengadaan air yang layak dikunsumsi menjadi paling mendesak.
Namun biasanya problema–problema kesehatan yang berkaitan
dengan air muncul akibat kurangnya persediaan dan akibat kondisi
air yang sudah tercemar sampai tingkat tertentu.
Tolok ukur kunci :

18
a. Persediaan air harus cukup untuk memberi sedikit–dikitnya 15
liter per orang per hari.
b. Volume aliran air ditiap sumber sedikitnya 0,125 liter perdetik.
c. Jarak pemukiman terjauh dari sumber air tidak lebih dari 500
meter.
d. 1 (satu) kran air untuk 80 – 100 orang.
2. Kualitas Air
Air di sumber–sumber harus layak diminum dan cukup
volumenya untuk keperluan keperluan dasar (minum, memasak,
menjaga kebersihan pribadi dan rumah tangga) tanpa
menyebabakan timbulnya risiko–risiko besar terhadap kesehatan
akibat penyakit–penyakitmaupun pencemaran kimiawi atu
radiologis dari penggunaan jangka pendek.
Tolok ukur kunci :
a. Disumber air yang tidak terdisinvektan (belum bebas kuman),
kandungan bakteri dari pencemaran kotoran manusia tidak
lebih dari 10 coliform per 100 ml.
b. Hasil penelitian kebersihan menunjukkan bahawa resiko
pencemaran semacam itu sangat rendah.
c. Untuk air yang disalurkan melalui pipa–pipa kepada penduduk
yang jumlahnya lebih dari 10.000 orang, atau bagi semua
pasokan air pada waktu ada resiko atau sudah ada kejadian
perjangkitan penyakit diare, air harus didisinfektan lebih dahulu
sebelum digunakan sehingga mencapai standar yang bias
diterima (yakni residu klorin pada kran air 0,2–0,5 miligram
perliter dan kejenuhan dibawah 5 NTU).
d. Konduksi tidak lebih dari 2000 jS / cm dan airnya biasa
diminum.
e. Tidak terdapat dampak negatif yang signifikan terhadap
kesehatan pengguna air, akibat pencemaran kimiawi atau
radiologis dari pemakaian jangka pendek, atau dari pemakain

19
air dari sumbernya dalam jangka waktu yang telah
direncanakan, menurut penelitian yang juga meliputi penelitian
tentang kadar endapan bahan–bahan kimiawi yang digunakan
untuk mengetes air itu sendiri. Sedangkan menurut penilaian
situasi nampak tidak ada peluang yang cukup besar untuk
terjadinya masalah kesehatan akibat konsumsi air itu.
3. Prasarana dan Perlengkapan
Tolok ukur kunci :
a. Setiap keluarga mempunyai dua alat pengambil air yang
berkapasitas 10–20 liter, dan tempat penyimpan air
berkapasitas 20 liter. Alat–alat ini sebaiknya berbentuk wadah
yang berleher sempit dan/bertutup.
b. Setiap orang mendapat sabun ukuran 250 gram per bulan.
c. Bila kamar mandi umum harus disediakan, maka prasarana ini
harus cukup banyak untuk semua orang yang mandi secara
teratur setiap hari pada jam– jam tertentu. Pisahkan petak–petak
untuk perempuan dari yang untuk laki– laki. Bila harus ada
prasarana pencucian pakaian dan peralatan rumah tangga untuk
umum, satu bak air paling banyak dipakai oleh 100 orang.
4. Pembuangan Kotoran Manusia
Jumlah jamban dan akses masyarakat korban bencana harus
memiliki jumlah jamban yang cukup dan jaraknya tidak jauh dari
pemukiman mereka, supaya bisa diakses secara mudah dan cepat
kapan saja diperlukan, siang ataupun malam.
Tolok ukur kunci :
a. Tiap jamban digunakan paling banyak 20 orang.
b. Penggunaan jamban diatur perumah tangga dan/menurut
pembedaan jenis kelamin (misalnya jamban persekian KK atau
jamban laki–laki dan jamban permpuan).
c. Jarak jamban tidak lebih dari 50 meter dari pemukiman (rumah
atau barak di kamp pengungsian). Atau bila dihitung dalam jam

20
perjalanan ke jamban hanya memakan waktu tidak lebih dari 1
menit saja dengan berjalan kaki.
d. Jamban umum tersedia di tempat–tempat seperti pasar, titik–
titik pembagian sembako, pusat – pusat layanan kesehatan dsb.
e. Letak jamban dan penampung kotoran harus sekurang–
kurangnya berjarak 30 meter dari sumber air bawah tanah.
Dasar penampung kotoran sedikitnya 1,5 meter di atasair tanah.
Pembuangan limbah cair dari jamban tidak merembes ke
sumber air mana pun, baik sumur maupun mata air, suangai,
dan sebagainya.
f. 1 (satu) Latrin/jaga untuk 6–10 orang.
5. Pengelolaan Limbah Padat
Pengumpulan dan Pembuangan Limbah Padat Masyarakat
harus memiliki lingkungan yang cukup bebas dari pencemaran
akibat limbah padat, termasuk limbah medis.
a. Sampah rumah tangga dibuang dari pemukiman atau dikubur di
sana sebelum sempat menimbulkan ancaman bagi kesehatan.
b. Tidak terdapat limbah medis yang tercemar atau berbahaya
(jarum suntik bekas pakai, perban–perban kotor, obat–obatan
kadaluarsa,dsb) di daerah pemukiman atau tempat–tempat
umum.
c. Dalam batas–batas lokasi setiap pusat pelayanan kesehatan,
terdapat tempat pembakaran limbah padat yang dirancang,
dibangun, dan dioperasikan secara benar dan aman, dengan
lubang abu yang dalam.
d. Terdapat lubang–lubang sampah, keranjang/tong sampah, atau
tempat– tempat khusus untukmembuang sampah di pasar–pasar
dan pejagalan, dengan system pengumpulan sampah secara
harian.

21
e. Tempat pembuangan akhir untuk sampah padat berada dilokasi
tertentu sedemikian rupa sehingga problema–problema
kesehatan dan lingkungan hidup dapatterhindarkan.
f. 2 ( dua ) drum sampah untu 80 – 100 orang.

2.5. Hal - Hal yang Berkaitan dengan Kebutuhan Dasar Kesehatan


2.5.1. Penampungan Keluarga
Pada saat keadaan darurat berawal, warga memperoleh ruang
tertutup yang cukup untuk melindungi mereka dari dampak–dampak
iklim yang dapat membahayakan mereka. Mereka memperoleh papan
yang cukup memenuhi syarat kesehatan (hangat, berudara segar, aman
dan memberi keleluasaan pribadi) demi menjamin martabat dan
kesejahteraan mereka.
Tolok ukur kunci :
1. Ruang tertutup yang tersedia per orang rata–rata berukuran 3,5
hingga 4,5 meter persegi.
2. Dalam iklim yang hangat dan lembap, ruang–ruang itu
memungkinkan aliran udara optimal dan melindungi penghuninya
dari terik matahari secara langsung.
3. Bila iklim panas dan kering, bahan–bahan bangunannya cukup
berat untuk memastikan kapasitas pelepasan panas yang maksimal.
Kalau yang tersedia hanya tenda–tenda atau lembaran–lembaran
plastik saja, pertimbangkan penyediaan atap berganda atau lapisan
pelepas panas.
4. Dalam udara dingin, bahan dan kontruksi ruang memastikan
pengaturan udara yang optimal. Suhu yang nyaman bagi para
pengguni diperoleh dengan cara penyekatan dipadukan dengan
pakain hangat, selimut, tempat tidur, dan konsumsi kalori yang
cukup.

22
2.5.2. Sandang
Para pengungsi, termasuk masyarakat setempat, memiliki cukup
selimut, pakaian, dan alas kaki untuk melindungi mereka dari iklim dan
menjamin martabat serta kesejahteraan mereka.
Tolok ukur kunci :
1. Para pengungsi dan penduduk setempat memiliki akses guna
memperoleh selimut yang cukup.
2. Laki–laki dan anak–anak lelaki usia 14 tahun ke atas memiliki satu
set sandang lengkap, dengan ukuran yang cukup pas, cocok dengan
budaya, cuaca, dan iklim setempat.
3. Perempuan serta anak–anak perempuan usia 14 tahun ke atas
memiliki 2 set pakaian lengkap, termasuk pakaian dalam yang baru,
dengan ukuran yang cukup pas, cocok dengan budaya, iklim, dan
cuaca setempat. Mereka memperoleh pembalut yang cukup secara
teratur setiap bulan.
4. Anak – anak usia 2 sampai 14 tahun memiliki satu set pakaian
dengan ukuran yang cukup pas, cocok dengan budaya, iklim, dan
cuaca setempat, menurut jenis kelamin masing–masing.
5. Anak –anak sampai usia 2 tahun memiliki 1 handuk badan, 1
handuk muka, 1 syal bayi, 2 set pakaian lengkap, 6 popok dengan
peniti, sabun bayi, minyak bayi, dan 3 celana plastik. Alternatifnya
ini dipasok sebagi modul.
6. Perlengkapan yang sesuai dengan budaya setempat untuk
memakamkan jenazah disediakan.
7. Terdapat perencanaan untuk mengganti selimut dan pakaian dengan
yang baru sesudah masa pemakaian tiga tahun. Semua orang
memperoleh alas kaki bila perlu.

23
2.5.3. Kebutuhan Rumah Tangga
Tiap keluarga memiliki akses terhadap piranti rumah tangga, sabun
untuk menjaga kebersihan pribadi dan peralatan lain yang diperlukan.
Tolok ukur kunci :
1. Keluarga – keluarga pengungsi maupun tuan rumah memiliki
piranti yang pokok: 1 panci tertutup, 1 baskom, 1 pisau dapur, 2
sendok kayu, 2 alat pengambil air yang berkapasitas antara 1
sampai 20 liter, ditambah alat penyimpanan air tertutup ukuran 20
liter.
2. Tiap orang memiliki : 1 piring makan, 1 sendok logam, 1 cangkir.
3. Tiap orang mendapatkan sabun ukuran 250 gram per bulan.
4. Terdapat perencanaan untuk mengganti alat – alat yang tahan lama
dengan yang baru sesudah jangka waktu pemakaian 3 bulan. 5)Tiap
keluarga memperoleh akses terhadap alat–alat dan bahan–bahan
yang sesuai untuk kegiatan mencari nafkah, sesegera mungkin. Alat
- alat dan bahan - bahan yang dipasok dianggap pantas oleh
penerimanya dan mereka sudah terbiasa menggunakannya, dengan
tingkat teknologis yang setara dengan piranti mereka sebelum
terlanda musibah. Barang - barang itu juga sesuai dengan kondisi -
kondisi pemanfaatannya.

2.6. Masalah Umum Kesehatan di Pengungsian


2.6.1. Menurut Depkes RI (2001) tentang Standar Minimal
Penanggulangan Masalah Kesehatan Akibat Bencana Dan
Penanganan Pengungsi
Penyakit Penyebab Tindakan
Preventif
Diare 1. Pemukiman terlalu 1. Menyediakan
padat. area yang cukup.
2. Pencemaran air dan 2. Pendidikan
makanan. mengenai

24
3. Sanitasi buruk. Kesehatan.
3. Membagikan
sabun pembersih.
4. Kesadaran
kebersihan
makan dan
pribadi.
5. Penyediaan air
bersih dan
makanan yang
cukup.
Cacar 1. Pemukiman terlalu 1. Menyediakan
padat. area yang cukup.
2. Vaksinasi tidak 2. Imunisasi untuk
berjalan dengan baik. anak balita.

Penyakit 3. Perumahan kumuh. 1. Menyediakan


pernafasan 4. Kuranganya selimut area yang
dan pakaian. cukup.
2. Perlindungan
5. Merokok di tempat
yang cukup
umum.
seperti pakaian
yang layak dan
selimut yang
memadai.
3. Memberantas
tempat
berkembangbiak
nyamuk.

25
1. Penyemprotan
Malaria 1. Tempat tinggal
dan menjaga
yang tidak kondusif
kebersihan
untuk
lingkungan.
perkembangbiakan
2. Penyediaan
nyamuk.
kelambu.
3. Penyediaan obat
pencegah yang
aman untuk anak
kecil dan ibu
hamil.
Meningitis 1. Standar
1. Pemukiman yang
minimal untuk
terlalu padat.
tempat tinggal
yang layak.
2. Imunisasi sesuai
dengan anjuran
dokter.

Tuberkulosis 1. Pemukiman yang 1. Standar


terlalu padat. minimal untuk
2. Gagal gizi. tempat tinggal
yang layak.
3. Rentan terhadap
2. Imunisasi.
virus TBC.

26
Typhoid 4. Pemukiman yang 1. Standar minimal
padat. untuk tempat
5. Kesadaran tinggal yang
kebersihan kurang. layak.

6. Kurangnya air 2. Air bersih yang

bersih. cukup.
3. Sanitasi yang
7. Kurangnya sanitasi.
memadai.
4. Kesadaran akan
pentingnya
kebersihan.

Scabies 1. Pemukiman yang 1. Standar minimal


padat. untuk tempat
tinggal yang
2. Kurangnya kesadaran
layak.
kesehatan diri.
2. Cukup tersedianya
air bersih dan
sabun pembersih.
Xerophtalmia 1. Diet yang tidak sesuai. 1. Cukup
/ kurang vit A 2. Disebabkan penyakit mengkonsumsi
infeksi, cacar air, dan makananyang
diare. mengandung
vitamin A.
2. Imunisasi untuk
mencegah
penyakit tersebut.

27
1. Tindakan
Anemia 1. Malaria, cacingan,
pencegah dari
kurang zat besi dan
sumber – sumber
folate.
penyakit.
2. Mengatur pola
makan.

1. Luka yang tidak 1. P3K yang


Tetanus
dirawat. memadai.
2. Imunisasi bagi ibu
hamil dan
memberi
penyuluhan
tentang kebersihan
gunting, alat
cukur.
1. Tidak bersih. 1. Penyediaan air
Hepatitis
2. Pencemaran air dan bersih yang
makanan. cukup.
2. Sanitasi yang
memadai.
3. Tetansfusi darah
yang aman.

1. Tidak bermasyarakat. 1. Tes Syphilis


HIV
2. Kesalahan transfusi. selama kehamilan
3. Kurangnya informasi. 2. Tes darah untuk
Tansfusi
3. Tindakan
pencegahan
4. Pendidikan
kesehatan.

28
5. Penyediaan
kondom.
6. Tidak berganti
pasangan.

2.6.2. Masalah Umum Lainnya


Salah satu dampak bencana terhadap menurunnya kualitas hidup
penduduk dapat dilihat dari berbagai permasalahan kesehatan yang
terjadi pada masyarakat. Bencana yang diikuti dengan pengungsian
berpotensi menimbulkan berbagai masalah kesehatan yang dipicu oleh
beberapa faktor, mulai dari masalah makanan, kurangnya air bersih
yang berakibat pada buruknya kebersihan diri, hingga buruknya sanitasi
lingkungan yang merupakan awal dari perkembangbiakan beberapa
jenis penyakit menular, diantaranya, diare, campak, malaria,
pneumonia, dan lainnya.
Bencana alam seperti gempa bumi, banjir, longsor dan letusan
gunung berapi, dalam jangka pendek dapat berdampak pada korban
meninggal, korban cedera berat yang memerlukan perawatan intensif,
peningkatan risiko penyakit menular, kerusakan fasilitas kesehatan dan
sistem penyediaan air (Pan American Health Organization, 2006).
Permasalahan kesehatan yang umum ditemui pada daerah pengungsian
meliputi meningkatnya potensi kejadian penyakit menular maupun
penyakit tidak menular. Bahkan, tidak jarang terjadi kejadian luar biasa
(KLB) untuk beberapa penyakit menular tertentu, seperti KLB diare
dan disentri yang dipengaruhi lingkungan dan sanitasi yang memburuk
akibat bencana. Jenis penyakit tertentu, seperti demam, batuk, gatal-
gatal juga kerap menjadi keluhan masyarakat yang tinggal di wilayah
pengungsian.
Pada wilayah pengungsian akibat erupsi gunung berapi,
kebakaran atau wilayah yang kering, maka partikel debu yang halus
dapat mengiritasi saluran napas dan menyebabkan kesulitan bernapas.

29
Terutama pada penduduk yang telah memiliki masalah pernapasan
misalnya asma, bronchitis, dll, maka akan sangat berisiko terjadinya
perburukan apabila terlalu sering terpapar debu di wilayah
pengungsian.
Persediaan pangan yang tidak mencukupi juga merupakan awal
dari proses terjadinya penurunan derajat kesehatan yang dalam jangka
panjang akan mempengaruhi secara langsung tingkat pemenuhan
kebutuhan gizi korban bencana. Pengungsian tempat tinggal (shelter)
yang ada sering tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga secara
langsung maupun tidak langsung dapat menurunkan daya tahan tubuh
dan bila tidak segera ditanggulangi akan menimbulkan masalah
kesehatan pada penduduk, misalnya anak-anak yang mengalami
kekurangan gizi selama di pengungsian. Sementara itu, pemberian
pelayanan kesehatan pada kondisi bencana sering menemui banyak
kendala akibat rusaknya fasilitas kesehatan, jumlah dan jenis obat serta
alat kesehatan yang tidak memadai, hingga terbatasnya tenaga
kesehatan dan dana operasional. Kondisi ini tentunya akan
menyebabkan dampak yang lebih serius bila tidak segera ditangani.
Penanggulangan masalah kesehatan merupakan kegiatan yang
harus segera diberikan baik saat terjadi hingga saat paskabencana
disertai pengungsian. Upaya penanggulangan bencana perlu
dilaksanakan dengan memperhatikan hak-hak masyarakat, antara lain
hak untuk mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan sosial, pendidikan dan keterampilan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana serta hak untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Upaya penanggulangan
masalah kesehatan di pengungsian dapat dilakukan melalui pemberian
edukasi tentang Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), penggunaan
masker dan cara mencuci tangan yang baik, pemenuhan standar sanitasi
dan kebersihan lingkungan, pemenuhan kebutuhan medis, dan berbagai

30
upaya lainnya. Sehingga dapat meminimalisir permasalahan kesehatan
yang timbul di wilayah pengungsian.

2.7. Studi Kasus


2.7.1. Masalah
Studi Kasus Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular
Covid 19 di Indonesia

Virus corona jenis baru yang tengah menyerang masyarakat dunia


saat ini dalam istilah kedokteran disebut sebagai 2019 Novel
Coronavirus (2019-nCoV). Dikutip dari Center for Disease Control and
Prevention, cdc.gov, virus corona merupakan jenis virus yang
diidentifikasi sebagai penyebab penyakit pada saluran pernapasan, yang
pertama kali terdeteksi muncul di Kota Wuhan, Tiongkok.
Virus ini diketahui pertama kali muncul di pasar hewan dan
makanan laut di Kota Wuhan. Dilaporkan kemudian bahwa banyak
pasien yang menderita virus ini dan ternyata terkait dengan pasar hewan
dan makanan laut tersebut. Orang pertama yang jatuh sakit akibat virus
ini juga diketahui merupakan para pedagang di pasar itu.
Pada 21 Januari 2020 sudah ada 218 warga Tiongkok yang tertular
virus corona dan 4 orang meninggal. Jumlah korban terus bertambah,
hingga pada 23 Januari 2020, Pemerintah Tiongkok memutuskan untuk
menutup Kota Wuhan yang menjadi pusat munculnya virus corona.
Keputusan ini diambil setelah jumlah korban tewas mencapai 17 jiwa
dan kurang lebih 600 orang terinfeksi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, virus corona
telah menyebar ke 18 negara. Menurut WHO jumlah penyebaran ini
telah meningkat per tanggal 30 Januari 2020, yang sebelumnya hanya
15 negara bertambah tiga negara yang melaporkan kasus virus ini yaitu
Finlandia, India dan Filipina.

31
Setelah hampir dua bulan virus ini mewabah, akhirnya pada 30
Januari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, menyatakan darurat
global terhadap virus corona. Kepala WHO Tedros Adhanom
Ghebreyesus mengatakan situasi darurat bukan karena penyebaran
virusnya di Tiongkok, melainkan karena sudah menyebar luas ke
banyak negara.
Sementara pandemi COVID-19 di Indonesia  merupakan bagian
dari pandemi penyakit corona virus 2019 (COVID-19) yang sedang
berlangsung di seluruh dunia. Kasus positif COVID-19 di Indonesia
pertama kali dideteksi pada tanggal 2 Maret 2020, ketika dua orang
terkonfirmasi tertular dari seorang warga negara Jepang. Pada tanggal 9
April, pandemi sudah menyebar ke 34 provinsi dengan DKI
Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah sebagai provinsi paling terpapar
virus corona di Indonesia.

2.7.2. Solusi
Keberhasilan DKI Jakarta memetakan daerah dengan kasus
COVID-19 tertinggi

Persiapan dini Dinas Kesehatan DKI Jakarta dimulai sejak Januari


2020, dengan meminta seluruh puskesmas memenuhi kebutuhan Alat
Pelindung Diri (APD). Pertengahan Maret 2020, telah ditunjuk 5
laboratorium pemeriksa COVID-19 yaitu Labkesda, BBTKL, Eijkman,
RS UI, dan RSCM. Labkesda sudah beroperasi selama 24 jam sejak 23
Maret 2020. Pada akhir Maret, Dinkes DKI Jakarta sudah dapat
memetakan kebutuhan dan mencari peluang peminjaman alat serta
potensi kerja sama untuk percepatan pemeriksaan.
Sejak Januari 2020 penanganan COVID-19 sudah didukung oleh
personil TNI dan Kodam Jayakarta untuk pemetaan laboratorium,
pengadaan lab container, serta identifikasi pengadaan logistik. DKI
Jakarta melakukan pelatihan penyelidikan epidemiologi dan Contact

32
Tracing sejak April dan Mei 2020 untuk tenaga surveilans lapangan.
Saat PSBB transisi, active case finding (pelacakan kasus) untuk
menjaring kasus tanpa gejala, sudah dilakukan di lokasi-lokasi berisiko
tinggi dalam penularan COVID-19 seperti pasar, RT/RW rawan
(memiliki incidence rate COVID-19 yang tinggi), rumah ibadah, dan
lapas/rutan. Dinkes DKI Jakarta juga berkolaborasi dengan 28
laboratorium swasta dengan cepat.
Kesimpulannya ialah Pemerintah DKI Jakarta telah bersiaga dalam
indikator pencegahan dan pemberantasan penyakit menular yang mana
terlihat dari persiapan yang dilakukan sejak Januari 2020 karena isu
global sementara saat itu Covid-19 belum terdeteksi di Indonesia.

33
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Indikator adalah ukuran yang mencerminkan keadaan populasi dalam
hal kesehatan, status sosial ekonomi, dan juga dapat mencerminkan proses
dan hasil layanan yang ada. Kedaruratan adalah suatu keadaan kritis yang
terjadi secara cepat yang mengancam kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat.
Fungsi indikator kesehatan dalam kedaruratan yaitu mengukur dan
menggambarkan efek dari bencana pada populasi dan menyediakan dasar
pengukuran, yang membantu menentukan hasil dari penanganan. Data
indikator kesehatan terdiri dari indikator demografi, indikator status
kesehatan, indikator proses program dan indikator masukan program.
Standar Pelayanan Minimal adalah ketentuan mengenai jenis dan mutu
pelayanan dasar yang merupakan urusan pemerintahan wajib yang berhak
diperoleh setiap warga negara secara minimal. SPM merupakan salah satu
program strategis nasional, Pada Pasal 68 UU Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Kepala Daerah yang tidak
melaksanakan program strategis nasional akan dikenai sanksi yaitu sanksi
administratif, diberhentikan sementara selama 3 (tiga) bulan, sampai dengan
diberhentikan sebagai kepala daerah.

3.2. Saran
Baik bagi penulis, mahasiswa, maupun bagi institusi terkait diharapkan
makalah ini dapat menjadi informasi tambahan yang positif dan mampu
menerapkan apa yang telah dipelajari dan diperoleh, serta
mengimplementasikannya langsung melalui praktik di lapangan. Untuk
segala saran dan kritik yang membangun selalu kami nantikan agar dapat
memperbaiki kekurangan yang ada pada makalah ini.

34
DAFTAR PUSTAKA

Ariyanto. (2020). “Asal Mula Dan Penyebaran Virus Corona Dari Wuhan Ke
Seluruh Dunia”. Diakses melalui https://bappeda.ntbprov.go.id/asal-mula-
dan-penyebaran-virus-corona-dari-wuhan-ke-seluruh-dunia/ pada Sabtu, 21
Mei 2022 pukul 20.02 WIB.
Bappenas, Kementerian PPN. (2021). “Studi Pembelajaran Penanganan COVID-
19 Indonesia”. Diakses melalui https://covid19.go.id/storage/app/media/Hasil
%20Kajian/2021/Februari/Buku%20Studi%20Pembelajaran%20Penanganan
%20COVID-19_BAPPENAS.pdf pada Sabtu, 21 Mei 2022 pukul 19.24 WIB.
Depkes RI. (2001). Standar Minimal Penanggulangan Masalah Kesehatan Akibat
Bencana Dan Penanganan Pengungsi. Rineka Cipta.
Fatoni Zainal dan Widayatun. (2013). “Permasalahan Kesehatan dalam Kondisi
Bencana : Peran Petugas Kesehatan dan Partisipasi Masyarakat”. Vol. 8 No.1.
http://ejurnal.kependudukan.lipi.go.id/index.php/jki/article/download/21/15
Diakses pada Sabtu, 21 Mei 2022 pukul 19.55 WIB.
Jaya, Indra. (2021). “Penguatan Sistem Kesehatan Dalam Pengendalian COVID-
19”. Diakses melalui http://p2p.kemkes.go.id/penguatan-sistem-kesehatan-
dalam-pengendalian-covid-19/ pada Sabtu, 21 Mei 2022 pukul 20.38 WIB.
JDIH BPK RI. (2014). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
2014 Tentang Kesehatan Jiwa. 41 Halaman.
JDIH BPK RI. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
43 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan. 6
Halaman.
Kementerian Kesehatan. 2012. Pedoman Kegiatan Gizi Dalam Penanggulangan
Bencana.

Negara, A.M., Dkk. (2020). “Pelayanan Kesehatan dan Keselamatan Bagi


Pengungsi Erupsi Gunung Agung Di Gor Swecapura Kabupaten Klungkung,
Bali”. Volume 1, No. 1 Juli 2020. Diakses melalui

35
http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/UNBIMengabdi pada Sabtu, 21 Mei 2022
pukul 20.10 WIB.
Shalmah, Mesa Putri, dkk. (2017). “Indikator Kesehatan dalam Kedaruratan”.
Diakses melalui https://123dok.com/document/zxxw6gwz-indikator-
kesehatan-dalam-kedaruratan.html pada Sabtu, 21 Mei 2022 pukul 19.30
WIB.

36

Anda mungkin juga menyukai