Anda di halaman 1dari 104

ANALISIS PRAKTIK KEPERAWATAN GERONTIK PADA

NY. C DENGAN REUMATOID ARTRITIS DI KELURAHAN


LAPPA KECAMATAN SINJAI UTARA
KABUPATEN SINJAI

Dari Tanggal 13 Juli S/D 23 Juli 2020


Tahun 2020

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

Disusun Oleh:
MEUTIA MUTMAINNAH, S.KEP
NIM D.19.07.005

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN 2019/2020

1
ANALISIS PRAKTIK KEPERAWATAN GERONTIK PADA
NY. C DENGAN REUMATOID ARTRITIS DI KELURAHAN
LAPPA KECAMATAN SINJAI UTARA
KABUPATEN SINJAI

Dari Tanggal 13 Juli 2020 S/D 23 Juli 2020


Tahun 2020

KARYA ILMIAH AHIR NERS


Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Ners Pada Program Studi
Profesi Ners Stikes Panrita Husada Bulukumba

Disusun Oleh :
MEUTIA MUTMAINNAH, S.KEP
NIM D.19.07.005

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN 2019/2020

2
LEMBAR PERSETUJUAN
Karya Ilmiah Akhir Ners dengan judul “Analisis Praktik Keperawatan Gerontik
Pada Ny. C dengan Reumatoid Artritis di Keluarahan Lappa Kecamatan
Sinjai Utara Kabupaten Sinjai”
Dari tanggal 13 juli S/D 23 Juli 2020
Tahun 2020

Telah disetujui untuk diujikan pada Ujian Sidang dihadapan Tim Penguji Pada
Tanggal 2020

Oleh :

MEUTIA MUTMAINNAH, S.KEP


NIM D.19.07.005

Pembimbing

Dr. Andi Suswani, S.Kep,Ns, M.Kep

3
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : Meutia Mutmainnah, S.Kep

NIM : D.19.07.005

Program Studi : Pendidikan Profesi Ners

Tahun Akademik : 2019/2020

Menyatakan bahwa Karya Ilmiah Akhir Ners (KIAN) ini adalah hasil karya saya
sendiri dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan
dengan benar. Saya tidak melakukan plagiat dalam penulisan KIAN saya yang
berjudul: Analisis Praktik Keperawatan Gerontik Pada Ny. C dengan Reumatoid
Artritis di Kelurahan Lappa Kecamatan Sinjai Utara Kabupaten Sinjai.

Apabila suatu saat nanti terbukti bahwa saya melakukan plagiat, maka saya akan
menerima sanksi yang telah di tetapkan. Demikian surat pernyataan ini saya buat
dengan sebenar-benarnya.

Bulukumba, 14 Juli 2020

Meutia Mutmainnah, S.Kep

4
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap Puji Syukur Kehadirat Allah SWT atas segala karunia yang
telah dilimpahkanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir
Ners ini dengan judul “Analisis Praktik Keperawatan Gerontik Pada Ny. C
dengan Reumatoid Artritis di Kelurahan Lappa Kecamatan Sinjai Utara”. Karya
Ilmiah Akhir Ners ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners
(Ns) pada Program Studi Profesi Ners Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Panrita
Husada Bulukumba.
Dengan terselesaikannya Karya Ilmiah Akhir Ners ini tidak lepas dari
bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, maka melalui kesempatan ini
perkenankanlah saya mengucap terimakasih yang sebenar-benarnya dan
penghargaan dengan hati yang tulus kepada:

1. Bapak H. Idris Aman, S.Sos selaku Ketua Yayasan Panrita Husada


Bulukumba yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk
mengikuti dan menyelesaikan studi program profesi ners di Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Panrita Husada Bulukumba.
2. Ibu Dr. Muriyati, S.Kep,Ns,M.Kes selaku Ketua Stikes Panrita Husada
Bulukumba yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk
mengikuti dan menyelesaikan studi program profesi ners Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Panrita Husada Bulukumba.
3. Ibu Dr. Andi Suswani, S.Kep,Ns,M.Kes selaku pembimbing yang telah
banyak memberikan arahan, motivasi setra meluangkan waktunya bagi
penulis dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir Ners ini.
4. Ibu Hamdana, S.Kep,Ns,M.Kep selaku penguji I yang telah memberikan
masukan yang sangat berharga bagi penulis demi kesempurnaaan Karya
Ilmiah Akhir Ners ini.

5
5. Bapak Muchtar, S.Kep,Ns,M.Kes selaku penguji II yang telah memberikan
masukan yang sangat berharga bagi penulis demi kesempurnaaan Karya
Ilmiah Akhir Ners ini.
6. Seluruh Bapak dan Ibu dosen serta staf di Stikes Panrita Husada
Bulukumba
7. Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada kedua orang tuaku tercinta yang memberikan
dukungan moril terhadap penulis untuk menyelesaikan Karya Ilmiah akhir
Ners ini.
8. Ny. C dan Keluarga yang telah membantu memberikan kesempatan pada
peneliti untuk melakukan penelitian.
9. Teman-teman seperjuanganku pendidikan profesi ners kelas B domisili
Sinjai angkatan 2019 yang tak sempat disebut namanya satu persatu yang
telah banyak membantu dan memberikan dukungan serta motivasi selama
berada di Stikes Panrita Husada Bulukumba.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Karya Ilmiah Akhir Ners ini masih
jauh dari kesempurnaan, untuk itu dengan segala kekurangan dan keterbatasan
yang penulis miliki, dan dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun demi kesempurnaan Karya Ilmiah Akhir Ners ini.

WassalamualaikumWr.Wb
Sinjai, 14 Juli 2020

Penulis

6
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU
KESEHATAN PANRITA HUSADA
BULUKUMBA

Kian Profesi Ners

ANALISIS PRAKTIK KEPERAWATAN GERONTIK PADA NY. C DENGAN


REUMATOID ARTRITIS DI KELURAHAN LAPPA KECAMATAN SINJAI UTARA
KABUPATEN SINJAI TAHUN 2020

(Meutia Mutmainnah, S.Kep: 94 hlm)

ABSTRAK

Reumatoid artritis merupakan gangguan autoimun sistemik kronis dengan tanda inflamasi erosif,
kronis, dan simetris pada jaringan sendi sinovial sendi. Reumatoid artritis banyak menyerang
lansia. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis masalah reumatoid artritis pada Ny. C di
Kelurahan Lappa Kecamatan Sinjai utara Kabupaten Sinjai. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif dan metode studi keperpustakaan. Pengumpulan data dilakukan menggunakan lembar
observasi BBC, GDS, Morse Fall Scale, Indeks Kemandirian Karzt dan MMSE, tensi meter dan
wawancara secara langsung. Hasil analisis menunjukkan bahwa manajemen nyeri, dukungan
ambulansi, dan pencegahan jatuh merupakan intervensi yang tepat untuk mengatasi masalah
reumatoid artritis. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi perawat untuk menjadikan
intervensi keperawatan perseorangan pada pasien dengan reumatoid artritis di wilayah kerja
Puskesmas Balangnipa.

Kata Kunci: Reumatoid Artritis, Nyeri Kronis, Gangguan Mobilitas Fisik, Risiko Jatuh,
Gerontik Kepustakaan: 28 (2009-2018)

7
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL LUAR.................................................................................... i
SAMPUL DALAM................................................................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS.................................... iv
KATA PENGANTAR........................................................................... v
ABSTRAK.............................................................................................. vii
DAFTAR ISI.......................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang........................................................................................ 1
Tujuan Penulisan..................................................................................... 4
Ruang Lingkup........................................................................................ 5
Manfaat Penelitian................................................................................... 5
Sistematika Penulisan.............................................................................. 6
Manfaat Penulisan................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN TEORI
1. Konsep Medis..................................................................................... 8
a. Pengertian...................................................................................... 8
b. Etiologi...........................................................................................19
c. Patofisiologi...................................................................................10
d. Manifestasi Klinik..........................................................................11
e. Komplikasi.....................................................................................12
f. Pemeriksaan Diagnostik................................................................14
g. Penatalaksanaan.............................................................................15
2. Konsep Lansia....................................................................................16
a. Pengertian......................................................................................16
b. Proses Penuaan..............................................................................17
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses menua.........................17
d. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lanjut usia .....................18
3. Konsep Asuhan Keperawatan.............................................................20
a. Pengkajian......................................................................................20
b. Diagnosis Keperawatan.................................................................22
c. Rencana Asuhan Keperawatan......................................................22
d. Evaluasi..........................................................................................25
BAB III TINJAUAN KASUS
a. Pengkajian......................................................................................26
b. Analisa Data...................................................................................29
c. Diagnosis Keperawatan.................................................................30
d. Intervensi Asuhan Keperawatan....................................................31
e. Implementasi dan Evaluasi Asuhan Keperawatan.........................32
BAB IV PEMBAHASAN
a. Analisi Pengkajian Keperaawatan.................................................35
b. Analisis Diagnosa Keperawatan....................................................38
c. Analisis Intervensi Keperawatan...................................................40

8
d. Analisis Implementasi dan Evaluasi Keperawatan........................43
BAB V PENUTUP
Kesimpulan..............................................................................................46
Saran........................................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA............................................................................48
LAMPIRAN

9
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lanjut usia adalah tahap akhir dari proses penuaan. Menjadi tua (aging)

merupakan proses perubahan biologis secara terus menerus yang dialami pada

semua manusia pada semua tingkat umur dan waktu. Masa usia lanjut memang

masa yang tidak bisa dielakkan oleh siapapun khususnya bagi yang dikaruniai

umur panjang, yang bisa dilakukan oleh manusia hanyalah menghambat proses

menua menjadi suatu kemunduran dan penurunan (Suardiman, 2011).

Masalah satus kesehatan lansia dipicu oleh perubahan fungsi fisiologis

pada tubuh lansia serta dipengaruhi oleh pola hidup sewaktu muda. Hal ini

sesuai dengan Tear and Wear Theory yang dikemukakan August Weisman di

akhir tahun 1880-an bahwa sel-sel somatik normal memiliki keterbatasan

dalam kemampuannya untuk bereplikasi dan berfungsi seperti sebelumnya dan

kematian sel yang terjadi akibat rusaknya jaringan tidak selamanya bisa

diperbaharui (Miller, 2012).

Situasi demografi penduduk lansia di Indonesia menurut Infodatin menkes

2016 mengalami kecenderungan peningkatan yang pesat dibandingkan dengan

kelompok usia lainnya. Ada 10 penyakit tertinggi yang diderita lansia di

Indonesia berdasarkan Kemenkes RI, Riskesdas 2013 yaitu Hipertensi, Artritis,

Strok, Penyakit Paru Obstruktif Kronik, Diabetes Mellitus, Kanker, Penyakit

Jantung Koroner, Batu Ginjal, Gagal Jantung, dan Gagal Ginjal. Penyakit yang

diderita oleh lansia di Indonesia adalah penyakit degenaratif dan penyakit tidak

10
menular, sehingga pemerintah meningkatkan pelayanan terhadap lansia yag

meliputi pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif

sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas hidup lansia yang ada di

Indonesia (Erni Setiyorini dan Ning Arti W, 2018).

Salah satu penyakit yang sering terjadi pada sistem muskuloskeletal adalah

reumatoid artritis. Reumatoid artiritis (RA) adalah penyakit inflamasi kronik,

sistemik yang disebabkan oleh destruksi sendi dan deformitas dan

menyebabkan diasilitas (Meiner & Lueckenotte, 2006 dalam Erni Setiyorini

dan Ning Arti W, 2018). Tingginya angka kejadian reumatoid artritis

dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu usia, jenis kelamin, genetik, hormon,

seks, serta imunitas. Jadi hal tersebut bukan proses fisiologis yang terjadi pada

lansia melainkan proses patologisdimana usia menjadi salah satu faktor

trjadinya reumatoid artritis. Sebagian besar penderita mengeluh nyeri kronik

dan hilang timbul, yang jika tidak segera diobati maka akan menyebabkan

kerusakan jaringan, deformitas sendi atau bahkan berujung kematian (Nugroho,

2014).

Menurut WHO penderita reumatoid artritis sebanyak 355 juta penduduk

seluruh dunia (Afnuhazi, 2018). WHO mendata penderita gangguan sendi di

Indonesia mencapai 81% dari populasi, hanya 24% yang pergi kedokter,

sedangkan 71% nya cenderung langsung mengkomsumsi obat-obatan pereda

nyeri yang terjual bebas. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai Negara

yang paling tinggi menderita gangguan sendi jika dibandingkan dengan Negara

11
lain di Asia lainnya seperti Hongkong, Malasyia, Singapura dan Taiwan

(WHO, 2016).

Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) untuk penyakit sendi secara

nasional pravelensinya berdasarkan diagnosis dokter umur 65-74 tahun

(18,6%), umur >75 tahun (18,9%), berdasarkan jenis kelaminlaki-laki (6,1%)

perempuan (8,9%). Penyakit sendi tertinggi tahun 2018 adalah Aceh (13,3%),

diikuti Bengkulu (12%), Papua (10,3%), dan Bali (11,7%). Prevalensi penyakit

sendi berdasarkan diagnosis dokter menurut karakteristik tertinggi adalah

tidak/belumpernah sekolah (13,7%) dan petani/buruh tani (9,90%) (Riskesdas,

2018).

Reumatoid artritis adalah kelainan inflamasi yang terutama mengenai

membran sinovial dari persendian dan umumnya ditandai dengan nyeri

persendian, kaku sendi, penurunan mobilitas dan keletihan (Hyulita, 2014).

Sendi terasa nyeri akibat inflamasi ringan yang timbul karena gesekan ujung

ujung tulang penyusun sendi (Made ES, 2016). Nyeri dengan intensitas tinggi

dan destruksi sendi menimbulkan penderita berat, cacat, permanen serta

kemaian prematur dengan dampak psiko-sosio-ekonomik yang berat

(Tjokoprawiro, 2015). Keterbatasan pergerakan serta penurunan kemampuan

muskuloskeletal dapat menurunkan aktivitas fisik dan latihan sehingga akan

mempengaruhi lansia dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari hari

(activity daily living/ADL)(Evalina S dan Bagus R, 2015).

Tujuan terapi adalah meredakan nyeri, mengurangi inflamasi,

melambatkan dan atau menghentikan kerusakan sendi, dan meningkatkan

12
kesejahteraan dan kemampuan untuk fungsi. Tujuan terapi adalah meredakan

manifestasi, pendekatan antar disiplin digunakan disertai dengan keseimbangan

istirahat, latihan, terapi fisik, dan supresi proses inflamasi (LeMone, 2015).

Dari latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk melaksanakan asuhan

keperawatan yang akan dirtuangkan dalam bentuk Karya Ilmiah Akhir Ners

dengan judul “Analisis Praktik Keperawatan pada Ny. C dengan Reumatoid

Artritis di Kelurahan Lappa Kecamatan Sinjai Utara Kabupaten Sinjai”.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Menganalisis praktik keperawatan gerontik pada Ny. C dengan

masalah reumatoid artritis di Kelurahan Lappa Kecamatan Sinjai Utara

Kabupaten Sinjai.

2. Tujuan Khusus

a. Melakukan pengkajian keperawatan pada klien dengan artritis

reumatoid artritis.

b. Menetapkan diagnosa keperawatan pada klien dengan reumatoid

artritis.

c. Merencanakan asuhan keperawatan pada klien dengan reumatoid

artritis.

d. Melaksanakan tindakan keperawatan sesuai perencanaan pada klien

dengan reumatoid artritis.

e. Melakukan evaluasi keperawatan pada klien dengan reumatoid artritis.

13
f. Menganalisis pelaksanaan asuhan keperawatan pada reumatoid artritis

serta menganalisis berdasarkan teori keperawatan.

g. Mengindentifikasi faktor-faktor pendukung, penghambat serta mencari

solusi/ alternatif pemecahan masalah.

h. Mendokumentasikan asuhan keperawatan pada klien dengan reumatoid

artritis.

C. Ruang Lingkup

Asuhan Keperawatan Gerontik pada Ny. C dengan Reumatoid Artriitis di

Wilayah Kerja Puksesmas Balangnipa Kabupaten Sinjai dari tanggal 13 Juli

2020 sampai 23 Juli 2020.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Mahasiswa

Sebagai bahan untuk meningkatkan pengetahuan tentang asuhan

keperawatan pada pasien reumatoid artritis.

2. Bagi Lahan

Sebagai gambaran bagi instansi mengenai manajemen nyeri dengan

kompres rebusan serai hangat dalam asuhan keperawatan dengan reumatoid

artritis. Dan sebagai bahan acuan untuk meneggakkan disiplin pada pasien,

selanjutnya sebagai landasan untuk melaksanakan program ekstra

membahas penanganan pada pasien reumatoid artritis.

3. Bagi Institusi Pendidikan

14
Dapat menjadi sumber masukan dan dapat menambah pengetahuan terhadap

penelitian terkait yang mana akan menambah informasi tentang penanganan

penyakit reumatoid artritis. Bisa dijadikan sebagai program pembelajaran

dan bisa dipraktekkan dalam mata kuliah terapi komplementer.

4. Bagi Profesi Keperawatan

Menambah wawasan dan pengetahuan dalam menerapkan ilmu pengetahuan

kesehatan khususnya bidang keperawatan.

E. Metode Penelitian

Metode dalam penulisan KIAN ini menggunakan metode deskriptif dan

metode studi keperpustakaan. Metode ini dengan cara pengumpulan data

melalui observasi terhadap semua keadaan yang terjadi melalui pendekatan

dalam proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian, analisa data, diagnosa,

intervensi, implementasi dan evaluasi.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memeproleh gambaran yang jelas tentang penyusunan Karya

Ilmiah Akhir Ners ini, penulis telah menguraikan menjadi 5 BAB yang terdiri

dari:

1. BAB I: PENDAHULUAN berisi tentang latar belakang, tujuan penulisan,

manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

2. BAB II: KONSEP TEORI berisi konsep dasar penyakit.

3. BAB III: TINJAUAN KASUS berisi tentang pengkajian, pathway

keperawatan.

15
4. BAB IV: PEMBAHASAN berisi tentang kesenjangan antara tinjauan kasus

dengan konsep teori.

5. BAB V: PENUTUP berisi tentang kesimpulan dan saran.

16
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Reumatoid Artritis

1. Pengertian

Reumatoid artritis adalah penyakit peradangan sistemik kronis yang

tidak diketahui penyebabnya dengan manifestasi pada sendi perifer dengan

pola simetris. Konsitusi gejala, termasuk kelelahan, malaise dan kekauan

sendi dipagi hari. Pada reumatoid artritis sering melibatkan organ ekstra-

artikuler seperti kulit, jantung, paru-paru, dan mata. Reumatoid artritis

menyebabkan kerusakan sendi dan demikian sering menyebabkan

morbiditas dan kematian yang cukup besar (Noor, 2016).

Reumatoid artritis merupakan gangguan autoimun sistemik kronis

dengan tanda inflamasi erosif, kronis, dan simetris pada jaringan sendi

sinovial sendi. Tingkat keparahan penyakit sendi dapat berfluktuasi

sepanjang waktu, namun pertambahan derajat kerusakan sendi, deformitas,

dan kecacatan merupakan hasil akhir umum dari penyakit yang menetap.

Gejala nonartikuler dapat terjadi antara lain nodus subkutan, vaskulitis,

nodulus paru, atau fibrosis usus dan perikarditis (Black dan Hawks, 2014).

Reumatoid artritis merupakan penyakit autoimun pada jaringan ikat,

terutama sinovia, yang sifatnya pregresif, simetris, dan cenderung kronik.

Penyebabnya multifaktor. Reumatoid artritis dapat ditemukan pada semua

sendi dan sarung tendon, tetapi paling sering di tangan. Sinovia sendi,

17
sarung tendon, dan bursa menebal akibat radang, yang diikuti oleh erosi

tulang rawan dan destruksi tulang sekitar sendi (Sjamsuhidajat, 2010).

2. Etiologi

Penyebab reumatoid artritis tidak diketahui. Faktor genetik diyakini

memainkan peran dalam perkembangannya, kemungkinan kombinasi

dengan faktor lingkungan. Diperkirakan bahwa agen infeksius, seperti

mikoplasma, virus Epstein Barr, atau virus lain dapat memainkan peran

dalam memulai respon imun abnormal yang tampak pada reumatoid

artritis (LeMone, 2015).

Genetik, sekitar 60% dari pasien reumatoid artritis membawa epitop

bersama dari cluster HLA-DR4 yang merupakan salah satu situs

pengikatan peptida-molekul HLA-DR tertentu yang berkaitan dengan

reumatoid artritis. Lingkungan, untuk beberapa dekade, sejumlah agen

infeksi seperti organisme Mycoplasma, Epstein-Barr dan virus rubella

menjadi prediposisi peningkatan reumatoid artritis. Hormonal,hormon seks

mungkin memainkan peran, terbukti dengan jumlah perempuan yang tidak

proporsional dengan reumatoid artritis, ameliorasi selama kehamilan,

kambuh dalam periode postpartum dini, dan insiden berkurang pada

wanita menggunakan kontrasepsi oral. Imunologi, semua elemen

imunologi utama memainkan peran penting dalam proparasi, insisi, dan

pemliharaan dari proses autoimun reumatoid artritis (Noor, 2016).

Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya

reumatoid artritis antara lain jenis kelamin, ada riwayat keluarga yang

18
menderita reumatoid artritis, umur lebih tua, paparan salisilat, dna

merokok. Komsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari, khususnya kopi

decaffeinated mungkin juga berisik, makanan tinggi vitamin D, komsumsi

teh dan penggunaan kontrasepsi oral behubungan dengan penurunan

risiko. Tiga dari empat permepuan dengan reumatoid artritis mengalami

perbaikan gejala yang bermakna selama kehamilan dan biasanya akan

kambuh kembali setelah melahirkan. Hiperprolaktinemia dapat menjadi

faktor risiko reumatoid artritis (Pradana, 2012).

3. Patofisiologi

Dipercaya bahwa pajanan terhadap antigen yang tidak teridentifikasi

(misalnya virus) menyebabkan respon imun menyimpang pada pejamu

yang rentan secara genetik. Sebagai akibatnya, antibodi normal

(imunoglobulin) menjadi autoantibodi dan menyerang jaringan penjamu.

Antibodi yang berubah ini, biasanya terdapat pada orang yang mengalami

reumatoid artritis, disebut faktor reumatoid. Antibodi yang dihasilkan

sendiri berkaitan dengan antigen target mereka dalam darah dan membran

sinovial, membentuk kompleks imun, komplemen diaktivasi oleh

kompleks imun, memicu respon inflamasi pada jaringan sinovial.

Leukosit tertarik ke membran sinovial dan sirkulasi, tempat neutrofil

dan makrofag mengingesti kompleks imun dan melepaskan enzim yang

mendegradasi jaringan sinovial dan kartilago artikular. Aktivasi limfosit B

dan T menyebabkan peningkatan produksi faktor reumatoid dan enzim

yang meningkatkan dan melanjutkan proses inflamasi.

19
Membran sinovial rusak akibat proses inflamasi dan imun. Membran

sinovial membengkak akibat infiltrasi leukosit dan menebal karena sel

berpolieferasi dan membesar secara abnormal. Prostaglandin memicu

vasodilatasi, dan sel sinovial dan jaringanmenjadi hiperaktif. Pembuluh

darah baru tumbuh untuk menyokong hiperlasia sinovial, membentuk

jaringan granulasi vaskular disebut pannus (LeMone, 2015).

4. Manifestasi Klinik

Ada beberapa gejala klinis yang lazim ditemukan pada penderita

reumatoid artritis. Gejala klinis ini tidak harus timbul sekliagus pada saat

yang bersamaan oleh karena itu penyakit ini memiliki gejala klinis yang

sangat bervariasi.

a. Gejala-gejala konstutional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan

menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.

b. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi

di tangan, namun biasanya melibatkan sendi-sendi interfalangs distal.

Hampir semua sendi diatrodial dapat terserang.

c. Pentingnya membedakan nyeri yang disebabkan perubahan mekanis

dengan nyeri yang disebbakan inflamasi. Nyeri yang timbul setelah

aktivitas dan hilang setelah istirahat tidak timbul pada pagi hati

merupakan tanda nyeri mekanis. Sedangkan nyeri inflamasi akan

bertambah berat pada pagi hari saat bangun tidur san disertai kaku

sendi atau nyeri yang hebat pada awal gerak dan berkurang setelah

melakukan aktivitas.

20
d. Kekauan sendi di pagi hari lebih dari 1 jam, dapat bersifat generalisata

tetapi terutama menyerang sendi-sendi, kekauan ini berbeda dengan

kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung

selama beberapa menit selalu kurang 1 jam.

e. Artritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran

radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi ditepi

tulang.

f. Deformitas, kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan

perjalanan penyakit, pergeseran ulnar atau deviasi jari, subkulasi sendi

metakarpofalangeal , leher angsa adalah beberapa deformitas tangan

yang sering dijumpai pada penderita. Pada kaki terdapat protusi

(tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari sublukasi

metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terangsang dan

mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam

melakukan gerak ekstensi.

g. Nodula-nodula rematoid, lokasi paling sering dari deformitas ini

adalah bursa olekranon (sendi siku) atau disepanjang permukaan

ekstensor dari lengan, walaupun demikian nodula-nodula ini dapat

juga timbul pada tempat-tempat lainnya.

h. Manifestasi ekstra artikuler, reumatoid artritis juga dapat menyerang

organ-organ luar lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru

(plueritis), mata dan pembuluh darah dapat rusak (Aspiani, 2014).

5. Komplikasi

21
a. Sistem respiratori, gejala keterlibatan saluran nafas atas ini dapat

berupa nyeri tenggorokan, nyeri menelan, atau disfonia yang

umumnya terasa lebih berat pada pagi hari. Pada reumatoid artriritis

yang lanjut dapat pula dijumpai efusi pleura dan fibrosis paru yang

luas.

b. Sistem kardiovaskuler, seperti halnya sistem respiratorik, pada

reumatoid artritis jarang dijumpai gejala perikarditis berupa nyeri pada

dada atau gangguan perikarditis yang berat. Lesi inflamatif yang

menyerupainodul reumatoid dapat dijumpai miokardium dan katup

jantung. Lesi ini dapat menyebabkan disfungsi katup, fenomena

embolisasi, gangguan konduksi, aoritis dan kardiomiopati.

c. Sistem gastrointestinal, kelainan sistem pencernaan yang sering

dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik yang merupakan komplikasi

utama penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat

pengubah perjalanan penyakit (Disease Modifying Antirheumatoid

Drugs, DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan

motralitas utama reumatoid artritis.

d. Sistem persarafan, komplikasi neurologis yang sering dijumpai pada

reumatoid artritis umumnya tidak memberikan gambaran yang jelas

sehingga sukar membedakan komplikasi neurologis akibat lesi

artikular dari lesi neuropatik. Patogenesis komplikasi neurologis pada

umumnya berhubungan dengan melopati akibat instabilitas vetebre

servikal, neuropati jepitan atau neuropati iskemik akibat vaskulitis.

22
e. Sistem perkemihan: ginjal, berbeda dengan lupus eritomatosus

sistemik pada reumatois artritis jarang sekali dijumpai kelainan

glomelural. Jika pada pasien reumatoid artritis dijumpai proteinuria,

umumnya hal tersebut lebih sering disebabkan karena efek samping

pengobatan seperti garam emas dan D-penisilamin atau terjadi

sekunder akibat amilodosis. Penggunaan OAINS yang tidak terkontrol

dapat sampai menimbulkan nekrosis papilar ginjal.

f. Sistem hematologis, anemia akibat penyakit kronik yang ditandai

dengan gambaran eritrosit normosistik-normokromik (hipokromik

ringan) yang disertai dengan kadar besi serum yang rendah serta

kapasistas pengikatan besi yang normal atau rendah merupakan

gambaran umum yangs sering dijumpai pada reumatoid artritis.

Anemia akibat penyakit kronik ini harus dibedakan dari anemia

defesiensi besi yang juga dapat dijumpai pada reumatoid artritis akibat

penggunaan OAINS atau DMARD yang menyebabkan erosi mukosa

lambunh (Aspiani, 2014).

6. Pemeriksaan Diganostik

a. Elevasi laju endap darah (LED), yaitu indikator proses inflamasi

dalam tubuh dan juga keparahan penyakit.

b. C-reactive protein (CRP) merupakan pemeriksaan tambahan yang

digunakan untuk mengkaji inflamasi dalam tubuh. Pada beberapa

kasus, LED tidak akan mengalami elevasi, tetpai CRP akan naik atau

sebaliknya.

23
c. Sinar-X digunakan untuk mendeteksi kerusakan sendi dan melihat

apakah penyakit berkembang (Hurst, 2015).

7. Penatalaksanaan

Farmakologi

a. NSAID (obat anti inflamasi nonsteroid) dan analgesik ringan

digunakan untuk meredakan proses inflamasi dan mengelola

manifestasi penyakit. Meskipun obat iini dapat meredakan gejala

reumatoid artritis mereka tampaknya memiliki sedikit efek pada

perkembangan penyakit.

b. Metode kedua menggunakan kortikosteroid oral dosis rendah untuk

meredakan nyeri dan inflamasi. Penelitian terbaru menunjukkan

bahwa kortikosteroid oral dosis rendah juga dapat memperlambat

terjadinya dan perkembangan erosi tulang akibat reumatoid artritis.

Kortikosteroid intra artikular dapat digunakan untuk memberi pereda

sementara pada pasien dengan terapi lain yang telah gagal untuk

mengendalikan inflamasi.

c. Kelompok obat berbeda diklasifikasikan sebagai obat antireumatik

premodifikasi penyakit (Disease Modifying Antirheumatic Drugs,

DMARD) digunakan pada metode ketiga untuk mengatasi reumatoid

artritis. Obat ini, yang mencakup DMARD sintetik (nonbiologik)

seperti metotreksat, sulfasalazine, dan agnes antimalaria, dan

DMARD biologik seperti nekrosis anti tumor alfa, abatacepts, dan

rituximab, tampak mengganggu rangkaian penyakit, mengurangi

24
kerusakan sendi. Panduan terbaru dari America Collage of

Rheumatology menganjurkan penggunaan DMARD terutama untuk

pasien yang mengalami aktivasi penyakit tinggi, keterbatasan

fungsional, atau penyakit ekstra-artikular (LeMone, 2015).

Non farmakologi

Terapi utama dalam menangani reumatoid artritis adalah meredakan

nyeri dan inflamasi, memelihara fungsi dan mencegah deformitas

(LeMone, 2015).

a. Cukup istirahat pada sendi yang mengalami artritis reumatoid

b. Mengurangi berat badan jika gemuk dan obesitas.

c. Fisioterapi dilakukan beberapa pergerakan sendi secara sistematis

d. Kompres dingin atau panas.

e. Nutrisi, beberapa lemak biasa dengan asam lemak omega 3 yang

ditemukan pada minyak ikan tertentu (LeMone, 2015).

B. Konsep Lansia

1. Pengertian

Lanjut usia adalah kelompok manusia yang berusia 60 tahun keatas

(Hardywinoto dan Setiabuhi, 1999: 8 dalam Kuhu M dkk, 2016:Hal.55).

Usia lanjut adalah seseorang yang usianya sudah tua yang merupakan

tahap lanjut dari suatu proses kehidupan. Ada berbagai kriteria umur bagi

seseorang yang dikatakan tua. WHO meberikan klasifikasi usia lanjut

sebagai berikut:

a. Usia pertengahan (middle age) : 45-59 tahun

25
b. Lanjut usia (elderly) : 60-74 tahun

c. Lanjut usia tua (old) : 75-90 tahun

d. Usia sangat tua (very old) : di atas 90 tahun

Menjadi tua adalah sebuah proses yang pasti terjadi, bahkan setiap

orang ingin bisa hidup sampai tua, tetapi adanya perubahan struktur dan

fungsi tubuh sering menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan,

termasuk masalah kejiwaan (Fitrayasari R, Nihayati EH, Yusuf AH dkk,

2015: Hal.244).

2. Proses penuaan

Proses penuaan meruakan proses yang berhubungan dengan umur

seorang manusia mengalami perubahan sesuai dengan bertambahnya umur

tersebut, semakin bertambah umur semakin berkurang fungsi-fungsi organ

tubuh. Hal ini dapat kita lihat dari perbandingan struktur dan fungsi organ

antara manusia yang berumur 70 tahun dengan mereka yang berumur 30

tahun, yaitu berat otak pada lansia 56%, aliran darah ke otak 80%, cardiac

output 70%, jumlah glumerulus 56%, glumerular filtration 69%, vital

capacity 56% asupan O2 selama olahraga 40%, jumlah dari axon pada

saraf spinal 63%, kecepatan pengantar inpuls saraf 90%, dan berat badan

88% (Kuhu MM dkk, 2016:Hal.36).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses menua

Proses penuaan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan

eksternal. Proses penuaan primer merupakan proses yang berlansung

secara wajar tanpa pengaruh dari luar, sedangkan jalannya proses penuaan

26
yang berlansung akibat stress psikis dan sosial serta kondisi lingkungan

(proses penuaan sekunder). Penuaan ini sesuai dengan kronologis usia

yang dipengaruhi oleh faktor endogen. Perubahan ini dimulai dari sel

jaringan organ sistem pada tubuh. Penuaan dapat terjadi secara fisiologis

dan patologi, bila seseorang mengalami penuaan fisiologis (fisiological

aging), diharapkan mereka dapat tua dalam keadaan sehat. Perubahan ini

dimulai dari sel jaringan organ sistem pada tubuh.

Sedangkan faktor lain juga berpengaruh pada proses penuaan adalah

faktor eksogen, seperti pertama, faktor organik, genetik, dan imunitas.

Faktor organik adalah penurunan hormon pertumbuhan, penurunan

hormon testoesteron, peningkatan prolaktin, penurunan melatonin,

perubahan folicel stimulating hormon dan luteinizing hormon. Kedua,

faktor lingkungan dan gaya hidup. Termasuk faktor lingkungan antara lain

pencemaran lingkungan akibat kendaraan bermotor, pabrik, bahan kimia,

bising, kondisi lingkungan yang tidak bersih, kebiasaan menggunakan obat

dan jamu tanpa kontrol, radiasi sinar matahari, makanan berbahan kimia,

infeksi virus, bakteri dan mikroorganisme lain. Kemudian faktor

nutrisi/makanan, pengalaman hidup dan stres. Ketiga, faktor status

kesehatan. Menurut Wahyudi Nugroho (2008), faktor yang mempengaruhi

penuaan adalah hereditas (keturunan), nutrisi/makanan, status kesehatan,

pengalaman hidup, lingkungan dan stres (Kuhu M dkk, 2016:Hal.272).

4. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lanjut usia

27
Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan

fisik, yang meliputi sel, sistem pernapasan, sistem persayarafan, sistem

pendengaran, penglihatan, sistem kardiovaskuler, sistem genito urinaria,

sistem endokrin dan metabolik, sistem pencernaan sistem muskuloskleteal,

sistem kulit dan jaringan ikat, sistem reproduksi dan kegiatan seksual, dan

sistem pengaturan tubuh serta perubahan mental, dan perubahan

psikososial (Nugroho Wahyudi, 2000 dalam Kuhu M dkk, 2016: Hal.254).

Beberapa kemunduran organ tubuh diantaranya kulit, rambut, otot,

jantung, pembuluh darah, tulang dan seks (Katari, 1990 dalam Kuhu M

dkk, 2016:Hal.254).

a. Perubahan mental pada lansia

Pada umumnya lansia mengalami penurunan fungsi kongnitif dan

psikomotor. Perubahan mental ini erat sekali kaitannya dengan

perubahan fisik, keadaan kesehatan, tingkat pengetahuan, dan

pendidikan sert situasi lingkungan. Intelegensi diduga secara umum

makin mundur terutama faktor penolakan abstrak, mulai lupa terhadap

kejadian baru, masih terekam baik kejadian masa lalu.

Dari segi mental perubahan yang terjadi antara lain sering muncul

perasaan pesimis, timbulnya perasaan tidak aman dan cemas, ada

kekacauan mental akut, merasa terancam akan timbulnya suatu

penyakit, takut ditelantarkan karena merasa tidak berguna lagi serta

munculnya perasaan kurang mampu untuk mndiri, serta cenderung

entrover (Kuhu M dkk, 2016:Hal.268).

28
C. Konsep Teori Keperawatan

1. Karakteristik teori keperawatan

Teori keperawatan selain digunakan untuk menyusun suatu model

yang berhubungan dengan konsep keperawatan, juga mempunyai

karakteristik diantaranya :

a. Teori keperawatan mengidentifikasi dan menjabarkan konsep khusus

yang berhubungan dengan hal- hal nyata dalam keperawatan. Sehingga

teori keperawatan didasarkan pada kenyataan-kenyataan yang ada di

alam.

b. Teori keperawatan juga digunakan berdasarkan alasan-alasan yang

sesuai dengan kenyataan yang ada.

c. Teori harus konsisten sebagai dasar-dasar dalam mengembangkan

model konsep keperawatan.

d. Dalam menunjang aplikasi, teori harus sederhana dan sifatnya umum

sehingga dapat digunakan pada kondisi apapun dalam praktek

keperawatan.

e. Teori dapat digunakan sebagai dasar dalam penelitian keperawatan 

sehingga dapat digunakan dalam pedoman praktek keperawatan. Dalam

perkembangan teori keperawatan saat ini terdapat beberapa pandangan

yang dapat mempengaruhi teori keperawatan itu sendiri di antaranya:

filisofi dari Florence Nigtingale, kebudayaan, system pendidikan, serta

pengembangan ilmu keperawatan.

2. Tujuan teori keperawatan

29
Teori keperawatan sebagai salah satu bagian kunci perkembangan ilmu

keperawatan dan pengmbangan profesi keperawatan memiliki tujuan yang

ingin dicapai diantaranya :

a. Adanya teori keperawatan diharapkan dapat memberikan alasan-

alasan tentang kenyataan-kenyataan yang di hadapi dalam pelayanan

keperawatan, baik bentuk tindakan atau bentuk model praktek

keperawatan sehingga berbagai masalah dapat teratasi.

b. Adanya teori keperawatan membantu para anggota profesi perawat

untuk memahami pegetahuan dalam pemberian asuhan keperawatan ,

kemudian dapat memberikan dasar dalam penyelesaian berbagai

masalah keperawatan.

c. Adanya teori keperawatan membantu proses penyelesaian .asalah

dalam keperawatan dengan memberikan arah yang jelas bagi tujuan

tindakan keperawatan, sehingg segala bentuk dan tindakan dapat

dipertimbangkan.

d.  Adanya teori keperawatan juga dapat memberikan dasar dari asumsi

dan filosofi keperawatan sehingga pengetahuan dan pemahaman

dalam tindakan keperawatan dapat terus bertambah dan berkurang.

3. Pandangan beberapa ahli tentang model konsep dan teori keperawatan

a.  Dorothea Orem

Pandangan teori orem dalam tatanan pelayanan keperawatan di

tujukan kepada kebutuhan individu dalam melakukan tindakan

keperawatan mandiri dalam kebutuhannya. Dalam konsep praktek

30
keperawatan Orem mengembangkan bentuk teori self care,diantaranya

1) Perawatan Perawatan Diri Sendiri (self care)

Orem mengemukakan bahwa self care meliputi :

a) Self care sendiri, yang merupakan aktivitas dan inisiatif dari

individu serta dilaksanakan individu itu sendiri dalam

memenuhi serta mempertahankan kehidupan,kesehatan, dan

kesejahteraan.

b) Self care agency merupakan suatu kemampuan individu dalam

melakukan perawatan diri sendiri, yang dapat dipengaruhi oleh

usia perkembangan sosiokulturasi, kesehatan dll.

c) Adanya tuntutan dan permintaan dalam perawatan diri sendiri,

yang merupakan tindakan mandiri yang dilakukan dalam

waktu tertentu untuk perawatan diri sendiri dengan

menggunakan metode dan alat dalam tindakan yang tepat.

d)  Kebutuhan self care merupakan suatu tindakan yang ditujukan

pada penyediaan dan perawatan diri sendiri yang bersifat

Universal dan berhubungan dengan proses kehidupan manusia

serta dalam upaya mempertahankan fungsi tubuh self care

yang bersifat universal itu adalah aktivitas sehari-hari (ADL)

dengan mengelompokan ke dalam kebutuhan dasar

manusianya, sifat dari self care selanjutnay adalah untuk

perkembangan kepercayaan diri serta ditujukan pada

31
penyimpangan kesehatan yang memiliki ciri perawatan yang

diberikan dalan kondisi sakit atau dalam penyembuhan.

2) Self Care Defisit

Merupakan bagian penting dalam perawatan umum dimana

segala perencanaan keperawatand iberikan pada saat perawat

dibutuhkan yang dapat di terapkan pada yang belum dewasa, atau

kebutuhan yang melebihi kemampuan serta adanya perkiraan

penurunan kemampuan dalam perawatan dan penuntutan dalam

peningkatan self care baik secara kualitas maupun kuantitas.

Dalam pemenuhan perawatan diri serta membantu proses

penyelesaian masalah, Orem memiliki metode untuk proses

tersebut, diantaranya bertindak atau berbuat untuk orang lain,

sebagi pembimbing orang lain, member support, meningkatkan

pengembangan lingkungan pribadi serta mengajarkan atau

mendidik pada orang lain.

Dalam praktek keperawatan Orem melakukan identifikasi

kegiatan praktek dengan melibatkan pasien dan keluarga dalam

pemecahan masalah, menentukan kapan dan bagaimana pasien

memerlukan bantuan keperawatan, bertanggung jawab terhadap

keinginan, permintaan, serta kebutuhan pasien, mempersiapkan

bantuan secara teratur bagi pasien dan mengkoordinasi serta

mengintegrasikan keperawatan dalam kehidupan sehari-hari pada

pasien.

32
3) Teori sistem keperawatan Orem

Merupakan teori yang menguraikan secara jelas bagaimana

kebutuhan perawatan diri pasien terpenuhi oleh perawat atau

pasien sendiri yang didasari Orem yaitu mengemukakan tentang

pemenuhan kebutuhan diri sendiri kebutuhan pasien dan

kemampuan pasien dalam melakukan perawatan mandiri. Dalam

pandangan teori system ini Orem memberikan identifikasi dalam

system pelayanan keperawatan diantaranya

a) System bantuan secara penuh (wholly Compensatory System)

Merupakan suatu tindakan keperawatan dengan memberikan

bantuan secara penuh pada pasien dikarenakan

ketidakmampuan pasien dalam memenuhi tindakan perawatan

secara mandiri yang memrlukan bantuan dalam

pergerakan,pengontrolan dan ambulasi serta adanya

manipulasi gerakan. Pemberian bantuan secara system ini

dapat dilakukan pada orang yang tidak mampu melakukan

aktivitas dengan sengaja seperti pada pasien koma pada pasien

sadar dan mungkin masih dapat membuat suatu pengamatan

dan penilaian tentang cedera atau masalah yang lain akan

tetapi tidak mampu dalam melakukan yang memerlukan

ambulasi atau manipulasi gerakan, seperti pada pasien yang

praktur vetebrata dan pada pasien yang tidak mampu

mengurus sendiri, membuat penilain serta keputusan dalam

33
self carenya dan pasien tersebut masih mampu melakukan

ambulasi dan mungkin dapat melakukan beberapa tidakan self

care-nya melalui bimbingan secara continue seperti pada

pasien retardasi mental.

b) System bantuan sebagian (partially compensatory system)

Merupakan system dalam pemberian perawatan diri secara

sebagian saja dan ditujukan kepada pasien yang memerlukan

bantuan secara minimal seperti pada pasien yang post operasi

abdomen di mana pasien ini memiliki kemampuan seperti cuci

tangan , gosok gigi, cuci muka akan tetapi butuh pertolngan

perawat dalam ambulasi dan melakukan perawatan luka.

c) System suportif dan edukatif

Merupakan system bantuan yang diberikan pada pasien yang

membutuhkan dukungan pendidikan dengan harapan pasien

mampu memrlukan perawatan secara mandiri. System ini

dilakukan agar pasien mampu melakukan tindakan eperawatan

setelah dilakukan pembelajaran. Pemberian system ini dapat

dilakukan pada pasien yang memerlukan informasi dalam

pengaturan kelahiran.Dalam pandangan tentang teori dan

konsep keperawatan, orem mempunyai pandangan bahwa teori

dan konsep dilakukan untuk merefleksikan antara individu

dengan lingkungan, menggambarkan apa yang merekan

lakukan, menggunakan kreasi dalam berpikir dan

34
berkomunikasi, serta dalam melakukan perbuatan seharusnya

sesuai dengan diri dan lingkungan sehingga dalam prakteknya

Orem menggunakan langkah dalam keperawatan yang

dibutuhkan, menganalisis dan menginterpretasikan dengan

membuat keputusan, merancang system perawatan dengan

merencanakan perawatan sesuai dengan system perawatan

uang akan diberikan dalam memenuhi keteratasan perawatan

diri sendiri mengatasi masalah keterbatasan serta

mempertahankan dan menjaga kemampuan pasien dalam

perawatan diri.

b. Sister Calista Roy

Merupakan model dalam keperawatan yang menguraikan

bagaimana individu mampu meningkatkan kesehatannya dengan cara

mempertahankan perilaku secara adaftif serta mampu merubah

perilaku yang mal adaftif. Sebagai individu dan makhluk holistic

memiliki system adaptif yang selalu beradaptasi secara keseluruhan.

Dalam memahami model konsep ini , Callista Roy mengemukakan

konsep keperawatan dengan model adaptasi yang memiliki beberapa

pandangan atau keyakinan serta nilai yang dimilikinya diantaranya :

1)  Manusia sebagai makhluk biologi, psikologi dan social yang

selalu berinteraksi dengan lingkungannya.

2) Untuk mencapai suatu hemeostatis atau terintegrasi, seseorang

harus beradaptasi sesuai dengan perubahan yang terjadi.

35
3) Terdapat tiga tingkatan adaptasi pada manusia yang dikemukakan

oleh Roy diantaranya: 

a) Focal stimulasi yaitu stimulus yang langsung beradaptasi

dengan seseorang dan akan mempunyai pengaruh kuat

terhadap seorang individu.

b) Konstektual stimulus, merupakan stimulus lain yang dialami

seseorang, dan baik stimulus internal maupun eksternal, yang

dapat memengaruhi, kemudian dilakukan observasi, diukur

secara subjektif.

c) Residual stimulus, merupakan stimulus lain yang merupakan

ciri tambahan yang ada atau sesuai dengan situasi dalam

proses penyesuaian dengan lingkungan yang sukar dilakukan

observasi.

4)  System adaptasi memiliki 4 mode adaptasi diantaranya :

a) Fungsi fisioligi komponen system adaptasi ini yang adaptasi

fisioligis diantaranya oksigenasi, nutrisi, eleminasi, aktifita

dan istirahat, integritas kulit, indera, cairan dan fungsi

neurologis dan fungsi endoktrin;

b) Konsep diri yang mempunyai pengrtian bagaimana seseorang

mengenal pola-pola interaksi social yang berhubungan dengan

orang lain;

c) Fungsi peran merupakan proses penyesuaian yang

berhubungan dalam bagaimana peran seseorang dalam

36
mengenal pola-pola interaksi social dalam berhubunga dengan

orang lain;

d) Inter dependent merupakan kemampuan mengenal pola-pola

tentang kasih sayang, cinta yang dilakukan melalui hubungan

secara interpersonal pada tingkat individu maupun kelompok.

Proses penyesuaian diri individu harus meningkatkan energy

agar mampu melaksanakan tujuan untuk kelangsungan kehidupan,

perkembangan, reproduksi dan keunggulan sehingga proses ini

memiliki tujuan untuk meningkatkan respon adaptif.

c. Virginia Herderson

Model konsep keperawatan yang dijelaskan oleh Virgiana 

adalan model konsep aktivitas sehari-hari dengan memberikan

gambaran tugas perawat yaitu mengkaji individu baik yang sakit atau

sehat dengan memberikan dukungan kepada kesehatan, penyembuhan

serta agar meninggal dengan damai. Pemahaman konsep tersebut

dengan didasari keyakinan dan nilai yang dimilikinya diantaranya :

1) Manusia akan mengalami perkembangan, pertumbuhan dan

perkembangan dalam rentang kehidupan.

2) Dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari individu akan mengalami

ketergantungan sejak lahir hingga menjadi mandiri pada dewasa

yang dapat dipengaruhi okeh pola asuh, lingkungan dan kesehatan

3) Dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari individu dapat

dikelompokan menjadi tiga kelompok diantaranya terhambat dalam

37
melakukan aktivitas, belum dapat melaksanakan aktivitas dan tidak

dapat melakukan aktivitas.

4) Aktivitas sehari-hari yang disampaikan oleh handerson terseut

adalan berikut aktivitas bernafas secara normal, aktivitas minum

dan makan sesuai dengan kebutuhan aktivitas eleminasi secara

normal, aktivitas bergerak dan memelihara postur tubuh aktivitas

tidur dan istirahat, aktivitas membuka dan memakai pakaian,

aktifitas mempertahankan suhu tubuh normal dengan berpakaian

dan modifikasi lingkungan, aktivitas memelihara kebersihan tubuh

dan berhias diri, mencegah kecelakaan dan bahaya, berkomunikasi,

beribadah, bermain dan rekreasi. Bekerja, belajar, atau memuaskan

keingin tahuan.

d. Betty Neuman

Model konsep yang dikemukakan oleh Betty Neumen ini adalah

konsep healty care system yaitu model konsep yang menggambarkan

aktivitas keperawatn yagn di tujukan kepada penekanan penurunan

stress dengan memperkuat garis pertahanan diri secara fleksibel atau

normal maupun resistan dengan sasaran pelayanan adalah komunitas.

Garis pertahanan diri pada komunitas tersebut meliputi garis

pertahanan fleksibel yaitu ketersediaan dana pelayanan kesehatan,

iklim, pekerjaan, dll. Garis pertahanan normal yang meliputi

ketersediaan pelayanan, adanya perlindungan status nutrisi secara

umum, tingkat pendapatan, rumah yang memenuhi syarat kesehatan

38
dan sikap masyarakat terhadap kesehatan dan garis pertahanan

resistan yang meliputi adanya ketersediaan pelayanan kesehatan,

tingkat pendidikan masyakrakat, transportasi, tempat rekreasi dan

cakupan dari imunisasi di daerah yang ada. Intervensi keperawatan di

arahkan pada garis pertahanan dengan penggunaan pencegahan

primer, sekunder dan tersier. Model ini bertujuan agar terjadi stabilitas

klien dan keluarga dalam lingkungan yang dinamis. Sehingga Betty

Nouwman menggambarkan peran perawat dapat bersifat menyeluruh

dan saling ketergantungan (interdependensi).

Betty Nouwman dalam memahami konsep keperawatan ini

memiliki dasar pemikiran yang terkait dengan komponen paradigma

yaitu memandang manusia sebagai suatu system terbuka yang selalu

mencari keseimbangan dan merupakan satu kesatuan dari variable

yang utuh diantaranya : fisiologis. Psikologis,  sosiokultural, dan

spiritual, juga memandang pelayanan keperawatan akan dipengaruhi

lingkungan sekitar klien serta memandang sehat sebagai kondisi

terbebasnya dari gangguan pemenuhan kebutuhan dan merupakan

keseimbangan  yang dinamis dari menghindari stressor.

Secara umum focus dari model konsep keperawatan menurut

Neuman ini berfokkus pada respons stressor serta factor-faktor yang

mempengaruhi adaptasi pada pasien. Untuk itu tindakan yang

seharusnya dilakukan menurut Neuman adalah mencegah atau

39
mengurangi adanya reaksi tubuh akibat stressor. Upaya ersebut dapat

juga dikatakan pencegahan primer, sekunder dan tersier.

Pencegahan primer dapat meliputi berbagai tindakan keperawatan

untuk mengidentifikasi adanya stresseor, mencegah reaksi tubuh

akibat stressor serta mendukung koping pada pasien secara

konstruktif. Pencegahan sekunder menurut Neuman meliputi berbagai

tindakan perawatan yang dapat mengurangi atau menghilangkan

gejala penyakit serta reaksi tubuh lainnya karena adanya stressor dari

pencegahan tersier dapat meliputi pengobatan secara rutin dan teratur

serta pencegahan terhadap adanya kerusakan lebih lanjut dari

komplikasi sebuah penyakit. Upaya pencegahan tersebut dipentingkan

dengan adanya pendidikan kesehatan dan pemeliharaan kesehatan.

e. Jean Waston

Jean Waston dalam memahami konsep keperawatan terkenal

dengan teori pengetahuan manusia dan merawat manusia. Tolak ukur

pandangan Waston ini memahami bahwa manusia memiliki empat

cabang kebutuhan manuisa yang saling berhubungan diantaranya

kebutuhan dasar biofisikial (kebutuhan untuk hidup) yang meliputi

kebutuhan cairan dan makanan, kebutuhan eliminasi dan ventilasi,

kebuthan psikofisikial(kebutuhan fungsional) yang meliputi

kebutuhan aktivitas dan istirahat, kebutuhan seksual, kebutuha

psikososial (kebutuhan untuk integrasi) yang meliputi kebutuhan

untuk berprestasi, kebutuhan organisasi, dan kebutuhan intra dan

40
interpersonal (kebutuhan untuk pengembangan) yaitu kebutuhan

aktualisasi diri.

Berdasarkan empat kebutuhan tersebut, Jean Waston memahami

bahwa manusia adalah makhluk yang sempurna yang memiliki

berbagai macam ragam perbedaan, sehinga dalam upaya mencapai

kesehatan, manusia seharusnya dalam keadaan sejahtera baik fisik,

muntal dan spiritual karena sejahtera merupakan keharmonisan antara

pikiran, badan dan jiwa sehingga untuk mencapai keadaan tersebut

keperawatan harus berperan dalam meningkatkan status kesehatan,

mencegah terjadinya penyakit, mengobati berbagai penyakit, dan

penyembuhan kesehatan dan fokusnya pada peningkatan kesehatan

dan pencegahan penyakit

f. King

King memahami model konsep dan teori keperawatan dengan

menggunakan pendekatan system terbuka dalm ubungan interaksi

yang konstan dengan lingkungan, sehingga King mengemukakan

dalam model konsep interaksi. Dalam mencapai hubungan interaksi,

King mengemukakan konsep kerjanya yang meliputi adanya system

personal, interpersonal dan system social yang saling berhubungan

yansatu dengan yang lain, yang dapat di gambarkan sebagai berikut :

Menurut King system personal merupakan system terbuka di

mana di dalamnya terdapat persepsi, adanya pola tumbuh kembang,

gambaran tubuh, ruang dan waktudan individu dan lingkungan,

41
kemudian hubungan interpersonal merupakan suatu hun\bungan antara

perawat dan pasien serta hubungan social yang mengandung arti

bahwa suatu interaksi perawat dan pasien dalam menegakkan system

social sesuai dengan situasi yang ada. Melalui dasar system tersebut

maka King memandang manusia merupakan individu yang reaktif

yakni yang beraksi terhadap situasi, orang dan objek. Manusia sebagai

makhluk yang berorientasi terhadap waktu tidak lepas dari masa lalu

dan sekarang yagn dapat mempengaruhi masa yang akan datang dan

sebagai makhluk social manusia akan hidup bersama orang lain yang

akan berinteraksi satu dengan yang lain.

g. Peplau

Model konsep dan teori keperawatan yang dijelaskan oleh

Hildegard Peplau ini menjelaskan tentang kemampuan dalam

memahami diri sendiri dan orang lain yang menggunakan dasar

hubungan antar manusia yang mencakup proses interpersonal,

perawat-klien dan masalah kecemasan yang terjadi akibat sakit.

Proses interpersonal yang dimaksud antara perawat dnegan klien

memiliki empat tahap, yaitu :

1) Tahap Orientasi

Dimana perawat dank lien melakukan kontrak untuk membangun

kepercayaan dan terjadi proses pengumpulan data

2) Tahap Identifikasi

42
Peran perawat disini apakah sudah bertindak sebagai fasilisator

yang memfasilitasi ekspresi perasaan klien serta melakukan

asuhan keperawatan

3) Tahap Eksplorasi

Perawat telah membantu klien dalam memberikan gambaran

kondisi klien.

4) Tahap Resolusi

Perawat berusaha untuk secara bertahap kepada klien untuk

membebaskan diri dari ketergantungan kepada tenaga kesehatan

dan menggunakan kemampuan yang dimilikinya agar mampu

menjalankan secara sendiri.

5) Teori dan gagasan Peplau dikembangkan untuk memberikan

bentuk praktik keperawatan psikiari. Penelitian keperawatan

tentang kecemasan, empti, instrument perilaku dan instrument

untuk mengevaluasi respon verbal dihasilkan dari model

konseptual peplau.

h. Johnson

Model konsep dan teori keperawatan menurut Johnson adalah

dengan pendekatan system perilaku, dimana individu di pandang

sebagai system perilaku yang ingin selalu mencapai keseimbangan

dan stabilitas, baik di lingkkungan internal maupun eksternal juga

memiliki keinginan dalam mengatur dan menyesuaikan dari pengaruh

yang ditimbulkannya. Sebagai suatu system tersebut, diantara

43
komponen sub system yang membentuk system perilaku menurut

Johnson adalah :

1) Ingestif yaitu sumber dalam memelihara integritas serta mencapai

kesenangan dalam pencapaian pengakuan dari lingkungan.

2) Achievement, merupekan tingkat pencapaian prestasi melalui

keterampilan yang kreatif.

3) Agresif, merupakan bentuk mekanisme pertahanan diri atau

perlindungan dalam berbagai ancaman yang ada di lingkungan.

4) Eliminasi, merupakan bentuk pengeluaran dalam segala sesuatu

dari sampah atau barang yang tidak berguna secara biologis.

5) Seksual, digunakan dalam pemenuhan kebutuhan saling mencintai

dan di cintai.

6) Gabungan/tambahan, merupakan bentuk pemenuhan tambahan

dalam mempertahankan lingkungan yang kondusif dengan

penyesuaian dalm kehidupan social, keamanan, dan kelangsungan

hidup.

7) Ketergantungan, merupakan bagian yang membentuk system

perilaku dalam mendapatkan bantuan, kedamaian, keamanan, serta

kepercayaan.

Berdasarkan subsistem tersebut di atas, maka akan terbentuk sebuah

system perilaku individu, sehingga Johnson memilki pandangan

bahwa dalam mengatasi permasalahan tersebut harus dapat berfungsi

sebagai pengatur agar dapat menyeimbangkan system perilaku

44
tersebut. Klien dalam hal ini adalh manusia yang mendapat bantuan

perawatan dengan keadaan terancam atau potensial oleh kesakitan

atau ketidakseimbangan penyesuain dengan lingkungan. Status

kesehatan ingin dicapai adalah meraka yang mampu berprilaku untuk

memelihara keseimbangan atau stabilita dengan lingkungan.

i. Martha E. Rogers

Pendapat Martha dikenal dengan nama manusia sebagai unit.

Dalam memahami konsep model dan teori ini, Martha berasumsi

bahwa manusia adalah satu kesatuan yang utuh, memiliki sifat dan

karate yang berbeda-beda. Dalam proses kehidupan manusia yang

dinamis, manusia selalu berinteraksi dengan lingkungan yang saling

mempengaruhi dan dipengaruhi, serta pada proses kehidupan manusia

setiap individu akan berbeda satu dengan yang lain dan manusia

diciptakan dengan karakteristik dan keunikan tersendiri.

Asumsi tersebut didasarkan pada kekekuatan yang berkembang

secara alamiah yaitu keutuhan manusia dan lilngkungannya, kemudian

system ketersediaan sebagai suatu kesatuan yang utuh serta proses

kehidupan manusia berdasarkan konsep hemeodinamik yang terdiri

dari integritas,resonansi dan helicy.

(https://nurseviliansyah.blogspot.com/2015/08/teori-dan-model-

keperawatan.htm diakses tanggal 11 September 2020).

45
D. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses

keperawatan. Untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian dalam

menangani masalah klien sehingga dapat memberi arah terhadap tindakan

keperawatan.

a) Anamnesis

Anamnesis dilakukan untuk mengetahui indentitas meliputi nama,

jenis kelamin (penderita reumatoid artritis lebih banyak diderita oleh

pasien wanita), usia (risiko paling tinggi terjadi pada usia 65 keatas),

alamat, agama, bahasa yang digunakanm status perkawinan,

pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk rumah sakit, dan diagnosis medis

(didiagnosis medis eumatoid artritis) pada umumnya keluhan reumatoid

artritis adalah nyeri pada daerah sendi yang mengalami masalah. Untuk

memperoleh pengkajian yang lengkap tentang nyeri klien, perawat

dapat menggunakan metode PQRST. Anamnesis juga meliputi riwayat

penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga,

riwayat penyakit psikososial.

b) Pemeriksaan fisik

Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik sangat berguna

untuk mendukung data anamnesis. Pemeriksaan fisik sangat berguna

untuk mendukung data anamnesis. Pemeriksaan fisik dilakukan per

46
sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan B6 (Bone) yang dikaitkan

dengan keluhan klien.

c) Pengkajian khusus

1) Pengkajian status fungsional

Meliputi pengukuran kemmapuan seseorang dalam melakukan

aktivitas kehidupan sehari-hari, penentuan kemandirian,

mengindetiifkasi kemampuan dan keterbatasan klien, serta

menciptakan pemilihan intervensi yang tepat. Instrumen yang biasa

digunakan dalam pengkajian status fungsional adalah Indeks Katz,

Barthel Indeks (Sunaryo, 2016).

2) Pengkajian status kognitif

Pengkajian status kognitif /afektif merupakan pemeriksaan mental

sehingga dapat memberikan gambaran perilaku dan kemampuan

mental dan fungsi intelektual. Pengkajian ini meliputi Short

Portable Mental Staus Questionare (SPMSQ), Mini Mental State

Exam (MMSE), Inventaris Depresi Beck (IDB).

3) Pengkajian fungsi keluarga

Hubungan lansia denga keluarga sebagai peran sentral pada seluruh

tingkat kesehatan dan kesejahteraan. Pengkajian sistem sosial dapat

menghasilkan informasi tentang jaringan pendukung. Keluarga

berperan besar terhadap anggota lainnya, akibatnya tingkat

keterlibatan dan dukungan keluarga tidak dapat diakibatkan pada

waktu pengumpulan data. Sebagian besar perawatan jangka

47
panjang terhadap lansia berasal dari keluarga karena membutuhkan

dukungan fisik emosional.

2. Diganosis Keperawatan

a. Nyeri akut/kronis yang berhubungan dengan agen fisik-penumpukan

cairan /proses peradangan, kerusakan sendi.

b. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan enggan untuk

memulai gerakan, gangguan muskloskeletal, kekakuan sendir, nyeri,

penurunan ketahanan.

c. Risiko jatuh berhubungan dengan penggunanaan alat bantu jalan

(Yasmara, Nursiswati & Arafat, 2016).

3. Rencana Asuhan Keperawatan

a. Nyeri akut/kronis yang berhubungan dengan agen fisik-penumpukan

cairan /proses peradangan, kerusakan sendi. Setelah dilakukan

intervensi keperawatan selama 6 kali kunjungan rumah dengan

ekspektasi tingkat nyeri menurun dengan kriteria hasil:

1) Kemampuan menuntaskan aktivitas meningkat

2) Keluhan nyeri menurun

3) Meringis menurun

4) Frekuensi nadi membaik

5) Pola napas membaik

6) Tekanan darah membaik

Intervensi

Manajemen nyeri:

48
Observasi

1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,

intensitas nyeri.

2) Identifikasi skala nyeri.

3) Identifikasi respon non verbal.

Terapeutik

4) Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri

(Mis. TENS, hipnosis, akupresure, terapi musik, biofeedback,

terapi pijat, aromaterapi, terknik imajinasi terbimbing, kompres

hangat/dingin, terapi bermain).

Edukasi

5) Jelaskan strategi meredakan nyeri.

6) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.

7) Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi nyeri.

b. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan enggan untuk

memulai gerakan, gangguan muskloskeletal, kekakuan sendir, nyeri,

penurunan ketahanan. Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama

6 kali kunjungan rumah dengan ekpektasi mobilitas fisik meningkat

dengan kriteria hasil:

1) Pergerakan ekstremitas meningkat

2) Kekuatan otot meningkat

3) Rentang gerak (ROM) meningkat.

4) Nyeri menurun

49
5) Gerakan terbatas menurun

6) Kelemahan fisik menurun

Intervensi

Dukungan ambulansi:

Observasi

1) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya.

Terapeutik

2) Fasilitasi aktivitas ambulansi dengan alat bantu (mis. tongkat, kruk)

Edukasi

3) Jelaskan tujuan dan prosedur ambulansi

4) Anjurkan ambulansi dini

5) Ajarkan ambulansi sederhana yang harus dilakukan (mis. berjalan

dari tempat ridur ke kursi roda, berjalan dari tempat tidur ke kamar

mandi, berjalan sesuai toleransi).

c. Risiko jatuh dibuktikan dengan penggunanaan alat bantu berjalan.

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 6 kali kunjungan

rumah dengan ekspektasi tingkat jatuh menurun dengan kriteria hasil:

1) Jatuh saat berdiri menurun

2) Jatuh saat duduk menurun

3) Jatuh saat berjalan menurun.

Intervensi

Pencegahan jatuh:

Observasi

50
1) Identifikasi faktor risiko jatuh (mis. usia >65 tahun, penurunan

tingkat kesadaran, defisit kognitif, hipotensi ortostatik, gangguan

keseimbangan, gangguan penglihatan, neuropati).

2) Hitung risiko jatuh menggunakan skala (misal Fall Morse Scale,

Humpty Dumpty Scale), jika perlu.

Terapeutik

3) Gunakan alat bantu berjalan (mis. kursi roda, walker).

Edukasi

4) Anjurkan menggunakan alas kaki yang tidak licin.

4. Evaluasi

Perawat bertanggung jawab untuk mengevaluasi status dan kemajuan

klien terhadap pencapaian hasil dari tujuan keperawatan yang telah

ditetapkan sebelumnya. Kegiatan evaluasi meliputi mengkaji kemajuan

status kesehatan klien, membandingkan respons klien dengan kriteria hasil

dan menyimpulkan hasil kemajuan masalah dan kemajuan pencapaian

tujuan keperawatan klien. Dalam menelaah kemajuan pada saat ditentukan

untuk melakukan evaluasi.

51
BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian

1. Identitas pasien
Pasien kelolaan yaitu Ny. C yang merupakan seorang lansia yang

berusia 70 tahun yang tinggal di Jl. Amanagappa No. 20 Kelurahan Lappa

Kec. Sinjai Utara yang merupakan wilayah kerja PKM Balangnipa. Ny. C

dengan latar pendidikan terakhir adalah SPG , Ny. C adalah seorang janda

dengan 2 anak perempuan dan 2 orang putra. Kedua putra nya sudah

menikah, dan tinggal berpisah dengan Ny. C. Ny, C hanya tinggal bersama

2 orang putrinya, Ny. C adalah seorang pensiunan guru, dan beliau

sekarang hanya tinggal di rumah , Ny. C memiliki hobi menjahit dan

membuat baju. Ny.C beragama Islam, dan aktif melakukan ibadah sholat 5

waktu dan berpuasa. Kondisi emosi Ny. C stabil dan baik kepada orang

lain, Ny. C tidak mengalami gangguan pendengaran dan gangguan

kognitif.

2. Riwayat kesehatan

Ny. C memiliki diagnosa medis yaitu reumatoid arthritis. Status kesehatan

Ny. C sudah mengalami penyakit reumatoid artritis dengan gejala yang

spesifik yaitu nyeri pada lutut dan pergelangan kaki sebelah kanan sejak 10

bulan yang lalu. Jika nyeri muncul Ny. C mengatakan sulit untuk bergerak.

Ny. C biasa berobat ke dokter sesekali. Dari hasil wawancara Ny. C

menggunakan walker untuk berjalan karena kadang sulit melakukan

aktivitas.

52
3. Kebiasaan sehari-hari

Hasil observasi didapatkan bahwa pola makan Ny. C setiap hari yaitu

3x/hari, makan pagi pukul 07:00, makan siang pukul 12:00 dan makan

malam pukul 18:40. Menu makanan yang dihidangkan yaitu nasi,

sayur( sayur so), buah (pisang/jeruk), lauk-pauk (ayam, ikan, tahu dan

tempe). Ny. C menghabiskan isi piringnya. Ny. C memiliki rutinitas minum

teh hangat setiap pagi, Ny. C juga banyak minum air putih dengan 8 gelas

per hari.

Ny. C sebelum sakit sehari-harinya melakukan aktiifitas secara mandiri,

tetapi sekarang dibantu oleh kedua anaknya. Adapun kegiatan yang masih

bisa dilakukan Ny. C adalah sholat, menonton TV. Hasil pengkajian Ny. C

rajin tidur siang, Ny. C juga kadang duduk-duduk di teras rumahnya jika

sore hari dan berinteraksi dengan tetangga sekitar. Ny. C melakukan BAB

dan BAK secara mandiri tetapi kadang dibantu ke toilet oleh anaknya atau

menggunakan alat bantuan berjalan (walker). Hasil wawancara dengan

Ny.C mengatakan beliau ingin menjalani hari tuanya dengan tenang.

4. Pemeriksaan fisik dan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada Ny. C dimulai dari

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan menggunakan BBC (Berg Balance

Scale), GDS (Geriactric Depression Scale), pengkajian status fungsional

menggunakan Indeks Kemandirian Karzt, Morse Fall Scale dan MMSE

(Mini Mental State Exam). Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh.

Pada bagian umum klien nampak mengalami kelelahan dan Ny. C terbatas

53
dalam melakukan kegiatan sehari-harinya. Pada bagian kepala pemeriksaan

yang dilakukan pada bagian mata, hidung, mulut dan telinga didapatkan

hasil kepala bulat, simetris, tidak terdapat lesi, rambut berwarna putih, tidak

ada lesi pada kulit kepala. Pergerakan bola mata simetris, kongjungtiva

tidak anemis, skelera tidak ikterik, terdapat masalah penglihatan,

pandangan kabur mengalami rabun dekat dan memakai kacamata. Poisisi

lubang hidung sama, tidak ada sekresi, tidak ada polip atau tidak ada

hambatan dalam bernafas. Mulut nampak bersih, tidak memakai gigi palsu,

dan terdapat banyak gigi yang sudah tanggal, tidak terlihat adanya

stomatitis, terdapat karises gigi, serta memberan mukosa kering.

Pemeriksaan pada bagian telinga didapatkan bahwa telinga bersih karena

Ny. C rajin membersihkan menggunakan cotton bath, posisi kedua telingan

simteris tidak ada benjolan pada telinga.

Pemeriksaan selanjutnya pada bagian leher, didapatkan bahwa tidak

adanya lesi, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, dan tidak terdapat

gangguan proses menelan. Pada pemeriksaan bagian dada atau thorax

terlihat tidak ada lesi, perkembangan dada simetris dan tidak ada retraksi

dinding dada. Pemeriksaan auskultasi dinding dada didapatkan bunyi napas

vesikuler dan bronko vesikuler, tidak ada bunyi wheezzing dan ronkhi serta

bunyi jantung S1 dan S2 normal, tidak ada murmur dan gallo. Pada

pemeriksaan abdomen tidak terdapat adanya lesi, tidak terdapat benjolan

pada perut, tidak ada nyeri tekan, dan terdapat bunyi bising usus saat di

auskultasi. Pada pemeriksaan muskuloskeletal terdapat kelemahan pada

54
otot kaki, hasil kekuatan otot yaitu ekstremitas atas memiliki kekuatan otot

yang baik sedangkan kekuatan otot bagian ekstremitas bawah pada otot

kaki kanan mampu melawan gravitasi dan menahan tekanan ringan tapi

hanya dapat menahan sebentar. Gaya berjalan Ny. C seperti pincang dan

tubuh sedikit membungkuk. Pada pemeriksaan integumen terlihat tidak

nampak lesi, warna kulit kuning langsat, kulit terlihat kering dan turgor

kulit lambat.

Pemeriksaan penunjang lainnya yaitu pemeriksaan BBC (Berg

Balance Scale) dengan nilai 38 (berjalan dengan bantuan), pemeriksaan

GDS (Geriactric Depression Scale) dengan nilai 5 (tidak ada depresi),

pengkajian status fungsional menggunakan Indeks Kemandirian Karzt

dengan nilai (kemandirian dalam kekamar kecil), Morse Fall Scale dengan

nilai 35 (pelaksanaan intervensi risiko jatuh standar) dan MMSE (Mini

Mental State Exam) yaitu Ny. C mampu menyebutkan tahun bulan dan

tanggal, hari serta musim, dalam menyebutkan 3 objek Ny. C mampu

menyebutkan kembali objek yang diperlihatkan, Ny. C juga mampu

menyebutkan bacaan terbalik dan berhitung.dalam aspek bahasa Ny. C

mampu menyebutkan benda di atas meja dengan didapatkan nilai 30

dengan tidak ada gangguan kognitif.

B. Analisis Data
Hasil pengkajian yang telah dipaparkan berdasarkan klasifikasi SDKI ,

SIKI dan SLKI (2018) yaitu nyeri kronis adalah pengalaman sensorik atau

emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional,

dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat dan

55
konsta, yang berlangsung lebih dari 3 bulan dengan data pendukung Ny. C

mengatakan nyeri pada lutut dan pergelangan kaki sebelah kanan, nyerinya

muncul saat banyak beraktivitas, seperti tertusuk tusuk, dirasakan pada lutut

sebelah kanan dan nyeri nya muncul pada malam hari dan dan memuncak pada

subuh hari, nyeri dirasakan hilang timbul sejak 10 bulan yang lalu, dibuktikan

denga Ny. C nampak meringis saat menggerakan kaki nya, skala nyeri VAS

5/10, TD : 120/80 mmHg N: 80x/menit P: 20x/ menit S: 36,50C.

Masalah keperawatan yang kedua adalah gangguan mobilitas fisik.

Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu

atau lebih ektremitas secara mandiri dengan data pendukung Ny. C

mengatakan sulit untuk bergerak jika nyeri muncul, terbatas melakukan

aktivitas rumah saat nyeri nya muncul, merasa lemah dibuktikan dengan Ny. C

nampak lemah, tidak dapat melakukan rentang gerak, lutut Ny. C nampak

bengkak, kekuatan otot Ny. C nampak menurun dibagian ekstremitas bawah.

Masalah keperawatan ketiga yang adalah risiko jatuh. Risiko jatuh adalah

berisiko mengalami kerusakan fisik dan gangguan kesehatan akibat terjatuh

dibuktikan dengan Ny. C mengatakan memakai alat bantu berjalan ketika

kakinya sakit, skor Fall Morse Scale risiko jatuh Ny C adalah 35, skor Berg

Balance Scale Ny. C adalah 38 ( berjalan dengan bantuan).

C. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan pada Ny. C dari data

pengkajian yang sudah ditemukan adalah nyeri kronis berhubungan dengan

kondisi muskuloskeletal kronis, gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan

nyeri, serta risiko jatuh dibuktikan dengan penggunaan alat bantu berjalan.

56
D. Intervensi Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang pertama yaitu nyeri kronis dengan tujuan

agar setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 kali kunjungan rumah

dengan ekspektasi tingkat nyeri menurun dengan kriteria hasil kemampuan

menuntaskan aktivitas meningkat, keluhan nyeri menurun, meringis menurun,

frekuensi nadii membaik, pola napas membaik serta tekanan darah membaik.

Intervensi yang akan dilakukan adalah manajemen nyeri yaitu identifikasi

lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri, identifikasi

skala nyeri, identifikasi respon non verbal, berikan teknik non farmakologis

untuk mengurangi rasa nyeri (Mis. TENS, hipnosis, akupresure, terapi musik,

biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, terknik imajinasi terbimbing, kompres

hangat/dingin, terapi bermain), jelaskan strategi meredakan nyeri, anjurkan

memonitor nyeri secara mandiri, ajarkan teknik non farmakologis untuk

mengurangi nyeri.

Diagnosa keperawatan yang kedua yaitu gangguan mobilitas fisik dengan

tujuan agar setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 kali kunjungan

rumah dengan ekpektasi mobilitas fisik meningkat dengan kriteria hasil

pergerakan ekstremitas meningkat, kekuatan otot meningkat, rentang gerak

(ROM) meningkat, nyeri menurun, gerakan terbatas menurun, kelemahan fisik

menurun. Intervensi yang akan dilakukan adalah dukungan ambulansi yaitu

identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya, fasilitasi aktivitas

ambulansi dengan alat bantu (mis. tongkat, kruk), jelaskan tujuan dan prosedur

ambulansi, anjurkan ambulansi dini, ajarkan ambulansi sederhana yang harus

57
dilakukan (mis. berjalan dari tempat ridur ke kursi roda, berjalan dari tempat

tidur ke kamar mandi, berjalan sesuai toleransi).

Diagnosa keperawatan yang ketiga yaitu risiko jatuh dengan tujuan agar

setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 kali ekspektasi tingkat jatuh

menurun dengan kriteria hasil jatuh saat berdiri menurun, jatuh saat duduk

menurun dan jatuh saat berjalan menurun. Intervensi yang akan dilakukan

adalah pencegahan jatuh yaitu identifikasi faktor risiko jatuh (mis. usia >65

tahun, penurunan tingkat kesadaran, defisit kognitif, hipotensi ortostatik,

gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan, neuropati), hitung risiko jatuh

menggunakan skala (misal Fall Morse Scale, Humpty Dumpty Scale), jika

perlu. Gunakan alat bantu berjalan (mis. kursi roda, walker) anjurkan

menggunakan alas kaki yang tidak licin.

E. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan


Implementasi asuhan keperawatan pada Ny. C dilakukan dalam waktu 2

minggu. Pertemuan terkait implementasi dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada

waktu istrirahat Ny. C selama kurang dari 50 menit. Pertemuan pertama hingga

ke empat, penulis melakukan pengkajian terkait kebutuhan dasar Ny. C,

pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan terkait status mental dan kognitif yaitu

BBC (Berg Balance Scale), GDS (Geriactric Depression Scale), pengkajian

status fungsional menggunakan Indeks Kemandirian Karzt, Morse Fall Scale

dan MMSE (Mini Mental State Exam).

1. Implementasi dan evaluasi masalah nyeri kronis

Pelaksanaan diagnosis nyeri kronis yang dilakukan dengan 3 kali

pertemuan. Impelentasi yang dilakukan kepada Ny. C terlebih dahulu

58
dengan memanggil nama pasien pada setiap interaksi yang dilakukan.

Dengan memanggil nama dapat menimbulkan pengenalan terhadap realita

dan individu. Pendekatan secara perlahan dilakukan oleh agar dapat

memberikan hubungan saling percaya, kemudian menjelaskan tujuan

dilaksanakannya intervensi yang akan dilakukan. Implementasi yang

dilakukan yaitu manajemen nyeri dengan melakukan kompres serai hangat

agar keluhan nyeri menurun. Mendomenstrasikan cara mengatasi nyeri

dengan mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,

intensitas nyeri, mengidentifikasi skala nyeri, mengidentifikasi respon non

verbal, memberikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri

dengan melakukan kompres rebusan serai hangat, menjelaskan strategi

meredakan nyeri, menganjurkan memonitor nyeri secara mandiri, dan

mengajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi nyeri.

Setelah melakukan 3 kali pertemuan, pada pertemuan terakhir Ny. C

sudah mampu mengidentifikasi nyeri dan skala nyeri yang dialami, skala

nyeri berkurang VAS 0/10, dan Ny. C akan mengamplikasikan rebusan

serai hangat jika nyeri kembali timbul.

2. Implementasi dan evaluasi masalah gangguan mobilitas fisik

Pelaksanaan diagnosis gangguan mobilitas fisik yang dilakukan

dengan 3 kali pertemuan. Implementasi yang dilakukan yaitu dukungan

ambulansi dengan mengidentifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik

lainnya, menfasilitasi aktivitas ambulansi dengan alat bantu (mis. tongkat,

kruk), menjelaskan tujuan dan prosedur ambulansi, menganjurkan

59
ambulansi dini, mengajarkan ambulansi sederhana yang harus dilakukan

(mis. berjalan dari tempat ridur ke kursi roda, berjalan dari tempat tidur ke

kamar mandi, berjalan sesuai toleransi).

Setelah melakukan 3 kali pertemuan, pada pertemuan terakhir Ny. C

sudah mampu melakukan ambulansi dengan berjalan pelan ataupun

menggunkan walker.

3. Implementasi masalah risiko jatuh

Pelaksanaan diagnosis risiko jatuh dilakukan dengan 1 kali

implementasi. Implementasi yang dilakukan yaitu pencegahan jatuh

dengan mengidentifikasi faktor risiko jatuh (mis. usia >65 tahun,

penurunan tingkat kesadaran, defisit kognitif, hipotensi ortostatik,

gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan, neuropati), menghitung

risiko jatuh menggunakan skala (misal Fall Morse Scale, Humpty Dumpty

Scale), jika perlu. Menggunakan alat bantu berjalan (mis. kursi roda,

walker) anjurkan menggunakan alas kaki yang tidak licin.

Setelah melakukan 2 kali pertemuan, pada pertemuan terakhir Ny. C

sudah mampu melakukan pencegahan jatuh dengan menggunakan walker,

dan menjaga lingkungan agar cahaya tetap terang, lantai tida licin dan

muda menjagkau barang barang yang dibutuhkan.

60
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Analisis Pengkajian Keperawatan

Pada hasil pengkajian yang telah dilakukan pada Pada hasil pengkajian

yang telah dilakukan pada Ny. C (70 tahun) di temukan bahwa Ny. C memiliki

masalah kesehatan yaitu reumatoid artritis. Berikut ini akan dijelaskan analisa

kasus berdasarkan beberapa faktor yangdapat mempengaruhi penyakit

reumatoid artritis. Sehingga dapat diketahui faktor apakah yang paling

berpengaruh dalam masalah Ny. C di Kelurahan Lappa Kecamatan Sinjai Utara

Kabupaten Sinjai Tahun 2020.

Hasil pengkajian Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada Ny. C

dimulai dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan menggunakan BBC (Berg

Balance Scale), GDS (Geriactric Depression Scale), pengkajian status

fungsional menggunakan Indeks Kemandirian Karzt, Morse Fall Scale dan

MMSE (Mini Mental State Exam). Pemeriksaan fisik dilakukan secara

menyeluruh. Pada bagian umum klien nampak mengalami kelelahan dan Ny. C

terbatas dalam melakukan kegiatan sehari-harinya. Pada bagian kepala

pemeriksaan yang dilakukan pada bagian mata, hidung, mulut dan telinga

didapatkan hasil kepala bulat, simetris, tidak terdapat lesi, rambut berwarna

putih, tidak ada lesi pada kulit kepala. Pergerakan bola mata simetris,

kongjungtiva tidak anemis, skelera tidak ikterik, terdapat masalah penglihatan,

pandangan kabur mengalami rabun dekat dan memakai kacamata. Poisisi

lubang hidung sama, tidak ada sekresi, tidak ada polip atau tidak ada hambatan

61
dalam bernafas. Mulut nampak bersih, tidak memakai gigi palsu, dan terdapat

banyak gigi yang sudah tanggal, tidak terlihat adanya stomatitis, terdapat

karises gigi, serta memberan mukosa kering. Pemeriksaan pada bagian telinga

didapatkan bahwa telinga bersih karena Ny. C rajin membersihkan

menggunakan cotton bath, posisi kedua telingan simteris tidak ada benjolan

pada telinga.

Pemeriksaan selanjutnya pada bagian leher, didapatkan bahwa tidak

adanya lesi, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, dan tidak terdapat gangguan

proses menelan. Pada pemeriksaan bagian dada atau thorax terlihat tidak ada

lesi, perkembangan dada simetris dan tidak ada retraksi dinding dad.

Pemeriksaan auskultasi dinding dada didapatkan bunyi napas vesikuler dan

bronko vesikuler, tidak ada bunyi wheezzing dan ronkhi serta bunyi jantung S1

dan S2 normal, tidak ada murmur dan gallo. Pada pemeriksaan abdomen tidak

terdapat adanya lesi, tidak terdapat benjolan pada perut, tidak ada nyeri tekan,

dan terdapat bunyi bising usus saat di auskultasi. Pada pemeriksaan

muskuloskeletal terdapat kelemahan pada otot kaki, hasil kekuatan otot yaitu

ekstremitas atas memiliki kekuatan otot yang baik sedangkan kekuatan otot

bagian ekstremitas bawah pada otot kaki kanan mampu melawan gravitasi dan

menahan tekanan ringan tapi hanya dapat menahan sebentar. Gaya berjalan Ny.

C seperti pincang dan tubuh sedikit membungkuk. Pada pemeriksaan

integumen terlihat tidak nampak lesi, warna kulit kuning langsat, kulit terlihat

kering dan turgor kulit lambat.

62
Pemeriksaan penunjang lainnya yaitu pemeriksaan BBC (Berg Balance

Scale) dengan nilai 38 (berjalan dengan bantuan), pemeriksaan GDS

(Geriactric Depression Scale) dengan nilai 5 (tidak ada depresi), pengkajian

status fungsional menggunakan Indeks Kemandirian Karzt dengan nilai

(kemandirian dalam kekamar kecil), Morse Fall Scale dengan nilai 35

(pelaksanaan intervensi risiko jatuh standar) dan MMSE (Mini Mental State

Exam) yaitu Ny. C mampu menyebutkan tahunm bulan dan tanggal, hari serta

musim, dalam menyebutkan 3 objek Ny. C mampu menyebutkan kembali

objek yang diperlihatkan, Ny. C juga mampu menyebutkan bacaan terbalik dan

berhitung.dalam aspek bahasa Ny. C mampu menyebutkan benda di atas meja

dengan didapatkan nilai 30 dengan tidak ada gangguan kognitif.

Ny. C mengatakan nyeri pada lutut dan pergelangan kaki sebelah kanan,

nyerinya muncul saat banyak beraktivitas, seperti tertusuk tusuk, dirasakan

pada lutut sebelah kanan dan nyeri nya muncul pada malam hari dan dan

memuncak pada subuh hari, nyeri dirasakan hilang timbul sejak 10 bulan yang

lalu, dibuktikan denga Ny. C nampak meringis saat menggerakan kaki nya,

skala nyeri VAS 5/10, TD : 120/80 mmHg N: 80x/menit P: 20x/ menit S:

36,50C. Pada saat melakukan pengkajian tidak ditemukan adanya hambatan,

Ny. C koperatif, nampak bersemangat dan antusias untuk mendengar arahan

atas apa yang disampaikan.

Menurut Nugroho (2000) lansia pada umumnya mengalami beberapa

perubahan yaitu perubahan fisik/fisiologis, perubahan mental/psikologis dan

perubahan psikososial. Pada proses menua, perubahan fisiologis/fisik akan

63
terjadi pada sistem muskuloskeletal, saraf, kardiovaskuler, respirasi, indra, dan

integumen.

Berdasarkan hasil penelitian Eka (2012) yang dilakukan pada 143

responden di Panti Sosial Tresna Werdha, menunjukka sebagian besar

responden dapat melaukan aktivitasnya sendiri atau mandiri yaitu (97,9%). Eka

juga mengatakan bahwa kemadirian pada lanjut usia tergantung pada

kemampuan status fungsionalnya dala melakukan aktivitas kehidupan.

B. Analisa Diagnosa Keperawatan

Diagnosis keperawatan adalah penilaian klinis mengenai

pengalaman/respons individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah

kesehatan yang aktual atau potensial/proses hidup. Diagnosis keperawatan

memberi dasar pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai hasil akhir

sehingga perawat menjadi akuntabel (SIKI, 2018).

Berdasarkan hasil analisis dari pengkajian pada Ny.C didapat

dikatakan masalah yang mempengaruhi Ny. C adalah nyeri kronis, gangguan

mobilitas fisik dan risiko jatuh. Hal ini disesuaikan dengan hasil pengkajian

yang didapatkan pada waktu kunjungan.

1. Nyeri Kronis (D.0078)

Berdasarkan hasil pengkajian keperawatan pada tanggal 13 Juli

2020 sampai dengan evaluasi tanggal 18 Juli 2020 dengan diagnosa

keperawatan nyeri kronis. Salah satu intervensi nonfarmakologi yang dapat

dilakukan perawat secara mandiri dalam menurunkan skala nyeri

rheumatoid arthritis yaitu dengan kompres serei hangat. Kompres serai

64
hangat merupakan bagian terapi alternatif yang dapat dilakukan secara

mandiri untuk mengurangi rasa nyeri, karena serai mengandung senyawa

aktif yang dapat menurunkan nyeri dan tanaman serei juga memiliki

kandungan enzim siklo oksigenase yang dapat mengurangi peradangan

pada penderita artritis reumatoid, selain itu juga serei memiliki efek

farmakologi yaitu rasa pedas bersifat hangat. Dimana efek panas ini dapat

meredakan rasa nyeri kaku dan spasme otot, karena terjadi vasodilatasi

pembuluh darah (Smeltzer, 2010).

2. Gangguan mobilitas fisik (D.0054)

Berdasarkan hasil pengkajian keperawatan selama 5x24 jam pada

tanggal 16 Juli 2020 sampai dengan 19 Juli 2020 didapatkan data dari

pasien sebagai berikut, klien Ny.C mengatakan saat menggerakkan atau

menekuk lutut terasa sakit, klien mengatakan tidak mau melakukan

pergerakan yang membuat kakinya sakit, klien mengalami kelemahan otot

yang akan menghambat aktivitas sehari-hari klien dan ketika kaki klien

tidak terasa sakit, klien akan menggunakan alat bantu jalan.

Menurut Hurlock (1994) bahwa orang lanjut usia dengan kondisi

kesehatan baik dapat melakukan aktivitas apa saja sedangkan yang

memiliki kondisi kesehatan sedang cenderung memilih aktivitas yang

memerlukan sedikit kegiatan fisik.

3. Risiko jatuh (D.0143)


Berdasarkan hasil pengkajian keperawatan pada tanggal 16 Juli

2020 sampai dengan 18 Juli 2020 didapatkan data pada Ny. C nampak

memakai alat bantu berjalan ketika kakinya sakit, skor Fall Morse Scale

65
risiko jatuh Ny C adalah 35, skor Berg Balance Scale Ny. C adalah 38

( berjalan dengan bantuan). Sebagian besar risiko jatuh terjadi saat lansia

melakukan aktivitas sehar-hari seperti berjalan, naik turun tangga, dan

mengganti posisi. Jatuh juga terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas

berbahaya seperti menaiki tangga atau olahraga berat. Kelelahan juga

menyebabkan risiko jatuh dan jatuh juga sering terjadi pada lansia

immobile (jarang bergerak) ketika tiba-tiba ingin berpindah tempat atau

mengambil sesuatu (Martono & Pranarka, 2009).

C. Analisa Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan dilakukan selama 3 kali kunjungan rumah dengan

ekspektasi tingkat nyeri menurun dengan kriteria hasil kemampuan

menuntaskan aktivitas meningkat, keluhan nyeri menurun, meringis menurun,

frekuensi nadii membaik, pola napas membaik serta tekanan darah membaik.

Intervensi yang akan dilakukan adalah manajemen nyeri yaitu identifikasi

lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri, identifikasi

skala nyeri, identifikasi respon non verbal, berikan teknik non farmakologis

untuk mengurangi rasa nyeri (Mis. TENS, hipnosis, akupresure, terapi musik,

biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, terknik imajinasi terbimbing, kompres

hangat/dingin, terapi bermain), jelaskan strategi meredakan nyeri, anjurkan

memonitor nyeri secara mandiri, ajarkan teknik non farmakologis untuk

mengurangi nyeri. Menurut teori yang dikemukakan oleh Tjondro (2011) nyeri

rheumatoid arthritis terjadi karena adanya peradangan bagian dalam kapsul

sendi akibat adanya antibodi tidak normal yang menyerang bagian tubuh

66
sendiri yaitu kapsul sendi. Penyakit rheumatoid memang terutama menyerang

sendi-sendi jari-jari, pergelangan kaki dan pergelangan tangan. Namun

demikian bisa mengenai kedua tangan atau kedua kaki secara simetris pada

waktu yang bersamaan dan sangat jarang menyebabkan nyeri hanya pada satu

sendi saja. Nyeri tersebut terjadi kapan saja seseorang mengatakan bahwa ia

merasa nyeri. Respon intensitas nyeri ditunjukan oleh pasien dapat mencakup

pernyataan verbal, ekspresi wajah, gerak tubuh, kontak fisik dengan orang lain,

merintih, tidak menggerakkan anggota tubuh, mengepal dan menarik diri.

Menurut teori yang dikemukakan oleh Lukman (2009) penatalaksanaan

untuk menghilangkan nyeri dan peradangan, mempertahankan fungsi sendi dan

kemampuan maksimal serta mencegah atau memperbaiki deformitas yang

terjadi pada sendi dirancang untuk mencapai tujuan meliputi pendidikan,

istirahat, latihan fisik, dan termoterapi, gizi serta obat- obatan, salah satu

pengobatan yang dilakukan yaitu kompres air hangat. Pemberian air hangat

memberikan rasa hangat pada seseorang dengan menggunakan cairan atau alat

yang dapar memindahkan panas ketubuh sehingga dapat melancarkan aliran

darah, mengurangi rasa sakit dan memberikan rasa nyaman dan meningkatkan

aliran darah ke daerah sendi dengan begitu, proses radang dapat dikurangi dan

sendi dapat berfungsi secara maksimal. Selain itu ditambah dengan serai yang

mengandung minyak atrisi yang bersifat panas, yang dapat mengurangi proses

radang.

Intervensi yang kedua yaitu gangguan mobilitas fisik dengan tujuan agar

setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 kali kunjungan rumah

67
dengan ekpektasi mobilitas fisik meningkat dengan kriteria hasil pergerakan

ekstremitas meningkat, kekuatan otot meningkat, rentang gerak (ROM)

meningkat., nyeri menurun, gerakan terbatas menurun, kelemahan fisik

menurun. Intervensi yang akan dilakukan adalah dukungan ambulansi yaitu

identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya, fasilitasi aktivitas

ambulansi dengan alat bantu (mis. tongkat, kruk), jelaskan tujuan dan prosedur

ambulansi, anjurkan ambulansi dini, ajarkan ambulansi sederhana yang harus

dilakukan (mis. berjalan dari tempat ridur ke kursi roda, berjalan dari tempat

tidur ke kamar mandi, berjalan sesuai toleransi). Menurut Hardywinoto (2005),

bahwa adanya nyeri sendi pada reumatoid artritis membuat penderitanya

seringkali takut untuk bergerak sehingga mengganggu aktivitas sehari-harinya

dan dapat menurunkan produktivitasnya.

Intervensi ketiga yaitu risiko jatuh setelah dilakukan intervensi

keperawatan selama 3 kali kunjungan rumah dengan ekspektasi tingkat jatuh

menurun dengan kriteria hasil jatuh saat berdiri menurun, jatuh saat duduk

menurun dan jatuh saat berjalan menurun. Intervensi yang akan dilakukan

adalah pencegahan jatuh yaitu identifikasi faktor risiko jatuh (mis. usia >65

tahun, penurunan tingkat kesadaran, defisit kognitif, hipotensi ortostatik,

gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan, neuropati), hitung risiko jatuh

menggunakan skala (misal Fall Morse Scale, Humpty Dumpty Scale), jika

perlu. Gunakan alat bantu berjalan (mis. kursi roda, walker) anjurkan

menggunakan alas kaki yang tidak licin.

68
Gangguan anggota gerak memicu terjadinya perubahan keseimbangan

pada lansia. Gangguan keseimbangan ini dapat disebabkan oleh faktor

penuaan, kecelakaan, mengantuk, obat-obatan dan penyakit yang diderita.

Namun diantaranya proses penuaan adalah faktor utama penyebab gangguan

keseimbangan postural pada lansia (National Institue on Aging, 2017)

D. Analisa Implementasi dan Evaluasi Keperawatan

Implementasi nyeri akut dan gangguan mobilitas dilakukan selama 3 hari

sedangkan implementasi risiko jatuh dilakukan selama 2 hari. Implementasi

berjalan dengan lancar tanpa hambatan, adapun implementasi nyeri akut yang

dialkukan adalah melakukan manajemen nyeri yang pada hari pertama hanya

implementasi 5, 6 7 yang teratasi, intervensi 1, 2, 3, 4 belum teratasi

dikarenakan Ny. C masih merasakan nyeri, tetapi hari kedua nyeri yang

dialami Ny. C berkurang dan hari 3 berangsur angsur membaik, ini

dikarenakan Ny. C rajin melakukan kompres rebusan serai hangat pada lokasi

nyeri yang dialami.

Ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Sri

Hyulita, 2013) yang berjudul “Pengaruh kompres serei hangat terhadap

penurunan intensitas nyeri artritis reumatoid pada lanjut usia di Kelurahan

Tarok Dipo Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang Bukit Tinggi” dimana

hasil penelitian ini menunjukkan ada pengaruh kompres serei hangat terhadap

perubahan tingkat nyeri artritis reumatoid yang dirasakan. Menurut Hembing

(2007) serei mengandung minyak atsiri yang memiliki sifat kimiawi dan efek

farmakologi yaitu rasa pedas dan bersifat hangat sebagai anti radang (anti

69
inflamasi) dan menghilangkan rasa sakit atau nyeri yang bersifat analgetik serta

melancarkan sirkulasi darah, yang di indikasikan untuk menghilangkan nyeri

otot dan nyeri sendi pada penderita reumatoid arthritis.

Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Smeltzer (2001) bahwa

penggunaan panas mempunyai keuntungan meningkatkan aliran darah ke suatu

area dan memungkinkan dapat turut menurunkan nyeri. Penulis berasumsi

bahwa hasil tindakan keperawatan yang telah dilakukan selama 3x24 jam

dengan penurunan rasa nyeri yang dialami Ny. C karena pelaksanaan kompres

serai hangat secara berturut-turut. Setelah dilakukan tindakan keperawatan

selama 3x24 jam pada evaluasi hari ke 3 klien mengatakan nyeri dirasakan

pada lutut dan pergelangan kaki sebelah kiri mulai berkurang dan sudah dapat

menggerakan sedikit ekstremitasnya dengan VAS 0/10.

Pelaksanaan implementasi asuhan keperawatan manajemen nyeri sejalan

dengan teori keperawatan yang dikemukakan oleh Dorothea Orem dalam

konsep praktek keperawatan Orem mengembangkan bentuk teori self care

dimana Self care sendiri, yang merupakan aktivitas dan inisiatif dari individu

serta dilaksanakan individu itu sendiri dalam memenuhi serta mempertahankan

kehidupan,kesehatan, dan kesejahteraan. Dalam praktek keperawatan Orem

melakukan identifikasi kegiatan praktek dengan melibatkan pasien dan

keluarga dalam pemecahan masalah, menentukan kapan dan bagaimana pasien

memerlukan bantuan keperawatan, bertanggung jawab terhadap keinginan,

permintaan, serta kebutuhan pasien, mempersiapkan bantuan secara teratur

70
bagi pasien dan mengkoordinasi serta mengintegrasikan keperawatan dalam

kehidupan sehari-hari pada pasien.

Pada implementasi pada diagnosa kedua yaitu gangguan mobilitas fisik

dengan impelementasi dukungan ambulansi dilaksanakan selama 3 hari, pada

hari pertama impelementasi yang teratasi adalah 2, 3, 4 dan 5 dimana

impelementasi pertama belum teratasi dengan baik. Penulis berasumsi bahwa

dari hasil tindakan keperawatan yang telah dilakukan selama 3x24 jam

diagnosa gangguan mobilitas fisik pada klien Ny.C tersebut masalah teratasi

karena klien dapat melakukan aktivitas tanpa bantuan ketika rasa sakit

dikakinya berkurang. Aktivitas berhubungan erat dengan kemandirian

seseorang seperti lansia yang mandiri dan jarang terkena sakit sendi cenderung

lebih senang berolahraga seperti senam dan jalan santai sesuai dengan yang

dikemukakan oleh Sylvia dan Prince (2006). Hal ini sesuai dengan yang

diharapkan penulis pada tujuan dan kriteria hasil pada rencana tindakan

keperawatan. Kemandirian pada lanjut usia tergantung pada kemampuan status

fungsional dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari.

Pelaksanaan implementasi asuhan keperawatan dukungan ambulansi

sejalan dengan teori keperawatan yang dikemukakan oleh Virginia Herderson

model konsep aktivitas sehari-hari dengan memberikan gambaran tugas

perawat yaitu mengkaji individu baik yang sakit atau sehat dengan memberikan

dukungan kepada kesehatan, penyembuhan serta agar meninggal dengan

damai. Dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari individu akan mengalami

ketergantungan sejak lahir hingga menjadi mandiri pada dewasa yang dapat

71
dipengaruhi okeh pola asuh, lingkungan dan kesehatan . Dalam melaksanakan

aktivitas sehari-hari individu dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok

diantaranya terhambat dalam melakukan aktivitas, belum dapat melaksanakan

aktivitas dan tidak dapat melakukan aktivitas. Aktivitas sehari-hari yang

disampaikan oleh handerson terseut adalah berikut aktivitas bernafas secara

normal, aktivitas minum dan makan sesuai dengan kebutuhan aktivitas

eleminasi secara normal, aktivitas bergerak dan memelihara postur tubuh

aktivitas tidur dan istirahat, aktivitas membuka dan memakai pakaian, aktifitas

mempertahankan suhu tubuh normal dengan berpakaian dan modifikasi

lingkungan, aktivitas memelihara kebersihan tubuh dan berhias diri, mencegah

kecelakaan dan bahaya, berkomunikasi, beribadah, bermain dan rekreasi.

Bekerja, belajar, atau memuaskan keingintahuan.

Pada impelementasi ketiga yaitu risiko jatuh, impelementasi ini dilakukan

1 hari, implementasi ini merupakan implementasi yang terisngkat dibanding

implementasi yang lain karena berupa edukasi untuk mencegah risiko jatuh

dimana Ny. C nampak mengerti dan paham atas apa yang disampaikan. Setelah

melakukan implementasi Ny. C sudah mampu melakukan pencegahan jatuh

dengan menggunakan walker, dan menjaga lingkungan agar cahaya tetap

terang, lantai tida licin dan muda menjagkau barang barang yang dibutuhkan.

Hasil penelitian Achmanagara dan Adriyani (2012) menunjukkan terdapat 12

responden (25%) yang berisiko jatuh menggunakan alat bantu berjalan.

Penggunaan alat bantu berjalan membantu meningkatkan keseimbangan.

Namun disisi lain alat bantu menyebabkan langkah terputus dan tubuh

72
cenderung membungkuk. Karena itu penggunaan alat bantu seperti ini harus

direkomendasikan secara individual.

Pelaksanaan implementasi asuhan keperawatan pencegahan jatuh sejalan

dengan teori keperawatan yang dikemukakan Sister Calista Roy. Merupakan

model dalam keperawatan yang menguraikan bagaimana individu mampu

meningkatkan kesehatannya dengan cara mempertahankan perilaku secara

adaptif serta mampu merubah perilaku yang mal adaftif. Proses penyesuaian

diri individu harus meningkatkan energy agar mampu melaksanakan tujuan

untuk kelangsungan kehidupan, perkembangan, reproduksi dan keunggulan

sehingga proses ini memiliki tujuan untuk meningkatkan respon adaptif.

73
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil laporan asuhan keperawatan yang dibuat dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Melakukan pengkajian keperawatan pada klien dengan reumatoid

artritis dengan pengkajian didapatkan klien mengeluh nyeri selama 10

bulan yang lalu pada lutut dan pergelangan kaki sebelah kanan dengan

skala VAS 5/10, klien sulit beraktivitas jika nyeri dan klien memakai

alat bantu berjalan.

2. Menetapkan diagnosa keperawatan pada klien dengan reumatoid

artritis yakni 3 diagnosa yang ditemukan yaitu nyeri kronis

berhubungan kondisi muskuloskeletal kronis, gangguan mobilitas fisik

berhubungan dengan nyeri, dan risiko jatuh dibuktikan dengan

penggunaan alat bantu berjalan.

3. Merencanakan asuhan keperawatan pada klien dengan reumatoid

artritis yakni manajemen nyeri, dukungan ambulansi dan pencegahan

jatuh yang mengacu pada pedoman SDKI, SLKI dan SIKI tahun 2018.

4. Melaksanakan tindakan keperawatan sesuai perencanaan pada klien

dengan reumatoid artritis dengan 3 diagnosa selama 3 kali kunjungan

yakni tanggal 16 Juli 2020 sampai dengan 19 Juli 2020, dilakukan

sesuai dengan intervensi yang telah disusun yakni manajemen nyeri,

dukungan ambulansi dan pencegahan jatuh..

74
5. Melakukan evaluasi keperawatan pada klien dengan reumatoid artritis,

evaluasi hasil yang diperoleh yakni adanya penurunan intensitas nyeri

klien dari skala 5/10 menjadi 0/10 setelah diberikan teknik non

farmakologi berupa kompres rebusan serei hangat. Dukungan

ambulansi teratasi dan pencegahan jatuh teratasi.

j. Pelaksanaan asuhan keperawatan berdasarkan teori keperawatan,

dalam implementasi keperawatan manajemen nyeri sejalan dengan

teori konsep keperawatan Dorothea Orem, sedangkan implementasi

keperawatan dukungan ambulansi sejalan dengan teori konsep

keperawatan Virginia Herderson dan implementasi keperawatan

pencegahan jatuh sejalan dengan teori konsep keperawatan Sister

Calista Roy.

6. Faktor pendukung dalam pelaksanaan asuhan keperawatan ini adalah

dukungan keluarga kepada Ny. C sehingga Ny. C semangat dalam

melaksanaan semua intervensi asuhan keperawatan yang diberikan,

tidak ada penghambat dalam kegiatan ini.

7. Dokumentasi asuhan keperawatan pada Ny.C terdapat dalam lampiran.

B. Saran

Bagi kampus STIKES Panrita Husada Bulukumba diharapkan agar menambah

bahan literatur dan sumber-sumber teori terbaru tentang asuhan keperawatan

lansia dengan reumatoid artritis.

75
a. Bagi mahasiswa

Diharapkan untuk menambah wawasan dan pengetahuan terkait asuhan

keperawatan pada lansia dengan reumatoid artritis.

b. Bagi klien

Diharapkan untuk memahami anjuran yang telah diberikan agar nyeri

tidak timbul kembali, klien dapat mudah beraktivitas dan tidak ada

kejadian pasien jatuh.

76
DAFTAR PUSTAKA
Afnuhazi, R. (2018). Pengaruh Senam Rematik terhadap Penurunan Nyeri
Rematik pada Lansia. Menara Ilmu Vol. XII Jilid I No. 79, 118.
Aspiani, R. Y. (2014). Buku Ajar Asuan Keperawatan Gerontik Aplikasi NANDA,
NIC, dan NOC jilid I. Jakarta: TRANS INFO MEDIA.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI. (2018). Riset kesehatan
Dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Black, J dan Hawks. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Manajemen Klinis
Untuk Hasil yang Diharapkan edisi 8. Jakarta: Salemba.
Evalina, S.H dan Bagus R. (2015) Pengaruh Kompreshangat Terhadap Nyeri
Sendi Pada Lansia 60-74 tahun. Diakses 15 Juli 2020.
Fitrayasari R, Nihayati EH, dan Yusuf AH.(2015). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
Https://nurseviliansyah.blogspot.com/2015/08/teori-dan-model-keperawatan.htm
diakses tanggal 11 September 2020).
Hurst, M. (2015). Belajar Mudah Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Hyulita, S. (2014). Pengaruh Kompres Serei Hangat Terhadap Penurunan
Intensitas Nyeri Reumatoid Artritis Reumatoid pada Lanjut Usia di
Kelurahan Tarok Dipo Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang Bukit
Tinggi. Afiyah Vol I No1, 1.
Kuhu MM, dkk. (2016). Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Andi Offset.
LeMone, P. (2015). Buku Ajar Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Made E S, I. (2016). Pengaruh Terapi Kompres Hangat dengan Jahe Terhadap
Intensitas Nyeri Pada Lansia yang Menderita ArtritisReumatoid di Panti
Sosial Tresna Werdha Puspakarma Mataram. Prima Vo. 2,2.
Martono H, Pranarka K. (2009) Jurnal gizi Indonseia. Geriatri Ilmu Kesehatan
Usia Lanjut Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Maryam, R. S., Ekasari, M. F., Rosidawati, Jubaedi, A., & Batubara, I. (2008).
Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika.
Miller, C. A. (2012). Nursing for Wellnes in order adults (6thEd). Philadephia:
Wolters Kluwer-Williams adn Wilkins.
Noor, Z. (2016). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
Nugroho, W dkk. (2014) Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit
EGC

77
Pradana, S. Y. (2012). Sensitifitas dan spesifitas kriteria ACR 1987 dan ACR 1987
dan ACR/EULAR 2010 pada penderita artritis reumatoid di RSUP Dr.
Kariadi Semarang, Semarang: UNDIP.
PPNI. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Defenisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi I. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Defenisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi I. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Defenisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi I. Jakarta: DPP PPNI..
Priyatno. (2009). Farmakologi & Terminologi Medis, Jakarta: LESKONFI
(Lembaga studi dan konsultasi farmakologi).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI tahun 2018
diakses 15 Juli 2020.
Sjamsuhidajat, R. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de jong. Jakarta:
EGC.
Suardiman, S 2011. Psikologi Usia Lanjut. Yogyakarta: Gadjah Mada Universuty
Press.
Sunaryo, (2016). Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: CV. ANDI OFSET
Tjokroprawiro, A. (2015). Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam: Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya,
surabaya: Airlangga Universty Press (AUP).
WHO. (2016) World Health Organization. Definisi Sehat.
www.who.int/mediacentre diakses 18 Juli 2020.
Yasmara, D., Nursiswati & Arafat, R. (2016). Rencana Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

78
Lampiran 1
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

Topik : Reumatoid Artritis


Materi : Pentingnya Penanganan Reumatoid menit
Peserta/Sasaran : Ny. C
Hari/Tanggal : Selasa, 21 Juli 2020
Tempat :Wilayah Kerja PKM Balangnipa
Waktu Pelaksanaan : 09.30 Wita (30 menit)
1. TUJUAN
A. Tujuan Instruksional Umum ( TIU)
Setelah dilakukan penyuluhan, peserta mampu memahami tentang
pentingnya penanganan Reumatoid Artritis.
B. Tujuan Instruksional Khusus ( TIK)
Setelah diberikan penyuluhan selama 30 menit, diharapkan peserta dapat
mengetahui
a. Pengertian Reumatoid Artritis
b. Penyebab Reumatoid Artritis
c. Tanda dan gejala Reumatoid Artritis
d. Komplikasi Reuamtoid Artritis
e. Pengobatan Reumatoid Artritis

2. MATERI PENYULUHAN
a. Apa itu Reumatoid Artritis
b. Penyebab Reumatoid Artritis
c. Tanda dan gejala Reumatoid Artritis
d. Komplikasi Reumatoid Artritis
e. Pengobatan Reumatoid Artritis

3. METODE PENYAMPAIAN
Ceramah dan diskusi/heum jawab

79
4. MATERI (terlampir)

5. MEDIA
a. Leafleat
b. SAP materi

6. MATRIKS KEGIATAN

N
JENIS KEGIATAN WAKTU MATERI
O
1. Pembukaan 2 menit Perkenalan
2. Proses 20 menit Penjelasan Materi
3. Evaluasi 5 menit Tanya Jawab
4. Penutup 3 menit Kesimpulan, salam,
penutup

7. EVALUASI
a. Prosedur : Post test
b. Jenis tes : Pertanyaan secara lisan
c. Butir-butir pertanyaan :
1. Apa itu Reumatoid Artritis
2. Penyebab Reumatoid Artritis
3. Tanda dan gejala Reumatoid Artritis
4. Komplikasi Reumatoid Artritis
5. Pengobatan Reumatoid Artritis

80
REUMATOID ARTRITIS

A. Apa itu Reumatoid Artritis?


Reumatoid heumatoi adalah penyakit gangguan sendi ditandai dengan
nyeri persendian, kaku sendi, penurunan mobilitas dan keletihan.
B. Penyebab Reumatoid Artritis
Penyebab heumatoid heumatoi tidak diketahui. Faktor risiko yang
berhubungan dengan peningkatan terjadinya heumatoid heumatoi antara
lain jenis kelamin, ada riwayat keluarga yang menderita heumatoid
heumatoi, umur lebih tua, paparan salisilat, dna merokok.
C. Tanda dan gejala Reumatoid Artritis
1. Lelah/ Anoreksia
2. Berat badan menurun
3. Demam
4. Deformitas
5. Kekakuan sendi di pagi hari lebih dari 1 jam
D. Komplikasi Reumatoid Artritis
1. Gangguang pada saluran pernapasan seperti nyeri tenggorokan, nyeri
menelan.
2. Gangguan pada jantung seperti nyeri pada dada atau gangguan
perikarditis yang berat.
3. Gangguan pada saluran pencernaan seperti gastritis dan ulkus heuma.
4. Gangguan perkemihan seperti ginjal.
5. Gangguan seperti anemia.
E. Pengobatan Reumatoid Artritis
Farmakologi:
Obat obatan (anti inflamasi dan heumatoi)
Non farmakologi:
1. Cukup istirahat pada sendi yang mengalami heumatoi heumatoid.
2. Mengurangi berat badan jika gemuk dan obesitas.

81
3. Fisioterapi dilakukan beberapa pergerakan sendi secara sistematis.
4. Kompres dingin atau panas.
5. Nutrisi, beberapa lemak biasa dengan asam lemak omega 3 yang
ditemukan pada minyak ikan tertentu (LeMone, 2015).

82
Lampiran 2
A. DATA FOKUS

Nama/Umur : Ny.C / 70 thn

Alamat : Jl. Amanagappa No. 20 Kel. Lappa Kec. Sinjai Utara

DATA FOKUS

1. Ny. C mengatakan nyeri pada lutut dan pergelangan kaki sebelah


kanan sejak 10 bulan yang lalu.
2. Ny. C mengatakan sulit untuk bergerak jika nyeri muncul
3. Ny. C nampak meringis saat menggerakan kaki nya
4. Ny. C mengatakan terbatas melakukan aktivitas rumah saat nyeri
nya muncul.
5. Ny. C mengatakan merasa lemah
6. Ny. C nampak lemah
7. Ny. C nampak tidak dapat melakukan rentang gerak
8. Ny. C mengatakan nyerinya muncul saat banyak beraktivitas.
9. Ny. C mengatakan nyerinya seperti tertusuk tusuk.
10. Ny. C mengatakan nyeri dirasakan pada lutut dan pergelangan
kaki sebelah kanan.
11. Skala nyeri VAS 5/10 (Skala sedang)
12. Ny. C mengatakan nyeri nya muncul pada malam hari dan
memuncak pada subuh hari, nyeri dirasakan hilang timbul sejak 10
bulan yang lalu.
13. Kekuatan otot Ny. C nampak menurun dibagian ekstremitas
bawah.
14. Skor Fall Morse Scale risiko jatuh Ny C adalah 35
15. Lutut Ny. C nampak bengkak
16. Skor Berg Balance Scale Ny. C adalah 38 ( berjalan dengan
bantuan)
17. Tanda-tanda vital:

83
TD: 120/80 mmHg

N : 80x/menit radial

P : 20x/ menit

S : 36,50C

18. Ny. C mengatakan memakai alat bantu berjalan ketika kakinya


sakit.

B. KLASIFIKASI DATA

Nama/Umur : Ny.C / 70 thn

Alamat : Jl. Amanagappa No. 20 Kel. Lappa Kec. Sinjai Utara

DATA SUBJEKTIF DATA OBJEKTIF

1. Ny. C mengatakan nyeri 1. Ny. C nampak meringis


pada lutut dan pergelangan saat menggerakan kaki nya.
kaki sebelah kanan sejak 10 2. Ny. C nampak lemah.
bulan yang lalu. 3. Ny. C nampak tidak dapat
2. Ny. C mengatakan sulit melakukan rentang gerak.
untuk bergerak jika nyeri 4. Kekuatan otot Ny. C
muncul nampak menurun dibagian
3. Ny. C mengatakan terbatas ekstremitas bawah.
melakukan aktivitas rumah 5. Skor Fall Morse Scale
saat nyeri nya muncul. risiko jatuh Ny C adalah 35
4. Ny. C mengatakan merasa 6. Lutut Ny. C nampak
lemah. bengkak.
5. Ny. C mengatakan nyerinya 7. Skor Berg Balance Scale
muncul saat banyak Ny. C adalah 38 ( berjalan
beraktivitas. dengan bantuan)

84
6. Ny. C mengatakan nyerinya 8. Tanda-tanda vital:
seperti tertusuk tusuk. TD: 120/80 mmHg
7. Ny. C mengatakan nyeri
N : 80x/menit radial
dirasakan pada lutut dan
pergelangan kaki sebelah P : 20x/ menit
kanan.
S : 36,50C
8. Ny. C mengatakan nyeri nya
muncul pada malam hari 10. Skala nyeri VAS 5/10
dan dan memuncak pada (Skala sedang).
subuh hari, nyeri dirasakan
hilang timbul sejak 10 bulan
yang lalu.
9. Ny. C mengatakan memakai
alat bantu berjalan ketika
kakinya sakit.

C. ANALISA DATA

No Data Etiologi Masalah

1 Data Subjektif : Kondisi Nyeri kronis


muskuloskeletal
a. Ny. C mengatakan nyeri pada kronis (D.0078)
lutut dan pergelangan kaki
sebelah kanan.
b. Ny. C mengatakan nyerinya
muncul saat banyak
beraktivitas.
c. Ny. C mengatakan nyerinya
seperti tertusuk tusuk.

85
d. Ny. C mengatakan nyeri
dirasakan pada lutut sebelah
kanan.
e. Ny. C mengatakan nyeri nya
muncul pada malam hari dan
dan memuncak pada subuh hari,
nyeri dirasakan hilang timbul
sejak 10 bulan yang lalu.
Data Objektif :

a. Ny. C nampak meringis saat


menggerakan kaki nya.
b. Skala nyeri VAS 5/10
c. Tanda-tanda vital:
TD : 120/80 mmHg

N : 80x/menit radial

P : 20x/ menit

S : 36,50C

2 Data Subjektif: Nyeri Gangguan


mobilitas
a. Ny. C mengatakan sulit untuk fisik
bergerak jika nyeri muncul
(D.0054)
b. Ny. C mengatakan terbatas
melakukan aktivitas rumah saat
nyeri nya muncul.
c. Ny. C mengatakan merasa
lemah.
Data Objektif :

a. Ny. C nampak lemah.

86
b. Ny. C nampak tidak dapat
melakukan rentang gerak.
c. Lutut Ny. C nampak bengkak.
d. Kekuatan otot Ny. C nampak
menurun dibagian ekstremitas
bawah

3 Data Subjektif Penggunaan alat Risiko jatuh


bantu berjalan
a. Ny. C mengatakan memakai alat (D.0143)
bantu berjalan ketika kakinya
sakit.
Data Objektif :

a. Skor Fall Morse Scale risiko


jatuh Ny C adalah 35.
b. Skor Berg Balance Scale Ny. C
adalah 38 ( berjalan dengan
bantuan).

D. DIAGNOSAKEPERAWATAN

1. Nyeri kronis berhubungan dengan kondisi muskuloskeletal kronis


2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri.
3. Risiko jatuh dibuktikan dengan penggunaan alat bantu berjalan.

87
E. INTERVENSI KEPERAWATAN

DATA DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI


HASIL
KEPERAWATAN

Nyeri kronis Nyeri kronis Setelah dilakukan intervensi Manajemen nyeri:


berhubungan berhubungan dengan keperawatan selama 6 kali
kondisi kunjungan rumah dengan Observasi
dengan kondisi
muskuloskeletal ekspektasi tingkat nyeri menurun 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,
muskuloskeletal kronis. dengan kriteria hasil: durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
kronis dibuktikan nyeri.
1. Kemmapuan menuntaskan 2. Identifikasi skala nyeri.
dengan aktivitas meningkat 3. Identifikasi respon non verbal.
2. Keluhan nyeri menurun
Data Subjektif : 3. Meringis menurun
4. Frekuensi nadi membaik Terapeutik
a. Ny. C 5. Pola napas membaik
mengatakan 6. Tekanan darah membaik 4. Berikan teknik non farmakologis
nyeri pada lutut untuk mengurangi rasa nyeri (Mis.
TENS, hipnosis, akupresure, terapi
dan pergelangan
musik, biofeedback, terapi pijat,
kaki sebelah aromaterapi, terknik imajinasi
kanan. terbimbing, kompres hangat/dingin,
b. Ny. C terapi bermain).
mengatakan

88
nyerinya
muncul saat
banyak Edukasi
beraktivitas. 5. Jelaskan strategi meredakan nyeri.
c. Ny. C 6. Anjurkan memonitor nyeri secara
mengatakan mandiri.
nyerinya seperti 7. Ajarkan teknik non farmakologis
tertusuk tusuk. untuk mengurangi nyeri.
d. Ny. C
mengatakan
nyeri dirasakan
pada lutut
sebelah kanan.
e. Ny. C
mengatakan
nyeri nya
muncul pada
malam hari dan
dan memuncak
pada subuh hari,
nyeri dirasakan
hilang timbul
sejak 10 bulan
yang lalu.

89
Data Objektif :

a. Ny. C nampak
meringis saat
menggerakan
kaki nya.
b. Skala nyeri
VAS 5/10.
c. Tanda-tanda
vital:
TD : 120/80
mmHg

N :
80x/menit radial

P : 20x/
menit

S : 36,50C

Gangguan mobilitas Gangguan mobilitas Setelah dilakukan intervensi Dukungan ambulansi:


keperawatan selama 6 kali
fisik berhubungan fisik berhubungan kunjungan rumah dengan Observasi
ekpektasi mobilitas fisik 1. Identifikasi adanya nyeri atau

90
dengan nyeri dengan nyeri. meningkat dengan kriteria hasil: keluhan fisik lainnya.
Terapeutik
dibuktikan dengan 1. Pergerakan ekstremitas
meningkat. 2. Fasilitasi aktivitas ambulansi dengan
2. Kekuatan otot meningkat alat bantu (mis. tongkat, kruk)
Data Subjektif: 3. Rentang gerak (ROM) Edukasi
meningkat.
a. Ny. C 4. Nyeri menurun. 3. Jelaskan tujuan dan prosedur
mengatakan 5. Gerakan terbatas menurun ambulansi
6. Kelemahan fisik menurun 4. Anjurkan ambulansi dini
sulit untuk 5. Ajarkan ambulansi sederhana yang
bergerak jika harus dilakukan (mis. berjalan dari
tempat ridur ke kursi roda, berjalan
nyeri muncul. dari tempat tidur ke kamar mandi,
b. Ny. C berjalan sesuai toleransi).

mengatakan
terbatas
melakukan
aktivitas rumah
saat nyeri nya
muncul.
c. Ny. C
mengatakan

91
merasa lemah.
Data Objektif :

a. Ny. C nampak
lemah.
b. Ny. C nampak
tidak dapat
melakukan
rentang gerak.
c. Lutut Ny. C
nampak
bengkak.

Risiko jatuh Risiko jatuh Setelah dilakukan intervensi Pencegahan jatuh:


dibuktikan dengan keperawatan selama 6 kali
penggunanaan alat dibuktikan dengan kunjungan rumah dengan Observasi
bantu berjalan. ekspektasi tingkat jatuh menurun 1. Identifikasi faktor risiko jatuh (mis.
penggunanaan alat
dengan kriteria hasil: usia >65 tahun, penurunan tingkat
Data Subjektif
1. Jatuh saat berdiri menurun kesadaran, defisit kognitif, hipotensi

92
a. Ny. C bantu berjalan. 2. Jatuh saat duduk menurun ortostatik, gangguan keseimbangan,
3. Jatuh saat berjalan gangguan penglihatan, neuropati).
mengatakan
menurun. 2. Hitung risiko jatuh menggunakan
memakai alat
skala (misal Fall Morse Scale,
bantu berjalan Humpty Dumpty Scale), jika perlu.
ketika kakinya
Terapeutik
sakit.
3. Gunakan alat bantu berjalan (mis.
Data objektif
kursi roda, walker).

b. Skor Fall Edukasi


Morse Scale
4. Anjurkan menggunakan alas kaki
risiko jatuh Ny yang tidak licin.
C adalah 35.
c. Skor Berg
Balance Scale
Ny. C adalah 38
( berjalan
dengan
bantuan).

93
F. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN
WAKTU/TGL IMPLEMENTASI EVALUASI

Kamis, 16 Juli 2020 Manajemen nyeri: S: Ny. C mengatakan nyeri


dirasakan pada lutut dan
15:00 Observasi pergelangan kaki sebelah kanan,
Dx. I 1. Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, muncul pada saat Ny. C
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri. berkativitas, dirasakan hilang
Hasil: Ny. C mengakatan nyeri dirasakan pada lutut timbul, nyeri dirasakan seperti
dan pergelangan kaki sebelah kanan, muncul tertusuk-tusuk. Nyeri biasanya
dirasakan pada malam hari dan
pada saat Ny. C beraktivitas, dirasakan hilang
memuncak pada subuh hari.
timbul, nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk.
O: Skala nyeri VAS 5/10
Nyeri biasanya dirasakan pada malam hari dan
memuncak pada subuh hari. Ny. C nampak meringis saat
menggerakan kaki nya.
2. Mengidentifikasi skala nyeri.
TD : 120/80 mmHg
Hasil: Skala nyeri VAS 5/10
3. Mengidentifikasi respon non verbal. N : 80x/menit radial
Hasil: Ny. C nampak meringis saat menggerakan
kaki nya. P : 20x/ menit

S : 36,50C
Terapeutik

94
4. Memberikan teknik non farmakologis untuk A: Nyeri kronis belum teratasi
mengurangi rasa nyeri (Mis. TENS, hipnosis,
akupresure, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, P: Lanjutkan intervensi
aromaterapi, terknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain). 1. Identifikasi lokasi,
Hasil: Memberikan teknik non farmakologi kepada karakteristik, durasi,
Ny. C untuk mengurangi nyeri dengan melakukan frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri.
kompres serai hangat hari I.
2. Identifikasi skala nyeri.
3. Identifikasi respon non
verbal.
Edukasi 4. Berikan teknik non
farmakologis untuk
5. Menjelaskan strategi meredakan nyeri. mengurangi rasa nyeri (Mis.
Hasil: Ny. C nampak memperhatikan apa yang TENS, hipnosis, akupresure,
disampaikan terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aromaterapi,
6. Menganjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
terknik imajinasi terbimbing,
Hasil: Ny. C mengerti atas apa yang disampaikan
kompres hangat/dingin, terapi
7. Mengajarkan teknik non farmakologis untuk bermain).
mengurangi nyeri.
Hasil: Ny. C nampak mengerti atas apa yang
diajarkan.

Dx II Dukungan ambulansi: S:Ny. C mengakatan nyeri dirasakan


pada lutut dan pergelangan kaki
16:00 Observasi sebelah kiri, dan sulit untuk

95
1. Mengidentifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik bergerak jika nyeri muncul. Ny. C
lainnya. mengatakan terbatas melakukan
Hasil: Ny. C mengakatan nyeri dirasakan pada lutut aktivitas rumah saat nyeri nya
dan pergelangan kaki sebelah kanan, dan sulit untuk muncul.
bergerak jika nyeri muncul. Ny. C mengatakan
terbatas melakukan aktivitas rumah saat nyeri nya O: Ny.C nampak memakai alat bantu
muncul. berjalan.

Terapeutik A: Gangguan mobilitas fisik.

2. Menfasilitasi aktivitas ambulansi dengan alat bantu P: Lanjutkan Intervensi


(mis. tongkat, kruk).
Hasil: Ny. C nampak memakai alat bantu berjalan. 1. Identifikasi adanya nyeri atau
keluhan fisik lainnya.
Edukasi

3. Menjelaskan tujuan dan prosedur ambulansi


Hasil: Ny. C mengerti dan memahami atas apa yang
disampaikan.
4. Menganjurkan ambulansi dini
Hasil: Ny. C menerima anjuran yang diberikan
5. Mengajarkan ambulansi sederhana yang harus
dilakukan (mis. berjalan dari tempat ridur ke kursi
roda, berjalan dari tempat tidur ke kamar mandi,
berjalan sesuai toleransi).

96
Hasil: Klien nampak mengerti atas apa yang
diajarkan.

Jumat, 17 Juli 2020 Manajemen nyeri: S: Ny. C mengakatan nyeri dirasakan


pada lutut dan pergelangan kaki
15: 35 Observasi
sebelah kanan mulai berkurang,
Dx. I 1. Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, muncul pada saat Ny. C
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri. beraktivitas, dirasakan hilang
Hasil: Ny. C mengakatan nyeri dirasakan pada lutut timbul, nyeri dirasakan seperti
dan pergelangan kaki sebelah kanan mulai tertusuk-tusuk. Nyeri biasanya
berkurang, muncul pada saat Ny. C dirasakan pada malam hari saja.
beraktivitas, dirasakan hilang timbul, nyeri
O: Skala nyeri VAS 3/10
dirasakan seperti tertusuk-tusuk. Nyeri
biasanya dirasakan pada malam hari saja. Ny. C nampak meringis saat
menggerakan kaki nya.
2. Mengidentifikasi skala nyeri.
Hasil: Skala nyeri VAS 3/10 TD : 110/80 mmHg
3. Mengidentifikasi respon non verbal.
N : 78x/menit radial
Hasil: Ny. C nampak meringis saat menggerakan

97
kaki nya. P : 20x/ menit

S : 360C
Terapeutik
A: Nyeri kronis belum teratasi
4. Memberikan teknik non farmakologis untuk
P: Lanjutkan intervensi
mengurangi rasa nyeri (Mis. TENS, hipnosis,
akupresure, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, 1. Identifikasi lokasi,
aromaterapi, terknik imajinasi terbimbing, kompres karakteristik, durasi, frekuensi,
hangat/dingin, terapi bermain). kualitas, intensitas nyeri.
Hasil: Memberikan teknik non farmakologi kepada 2. Identifikasi skala nyeri.
Ny. C untuk mengurangi nyeri dengan melakukan 3. Identifikasi respon non verbal.
kompres serai hangat hari ke dua. 4. Berikan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (Mis.
TENS, hipnosis, akupresure,
terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aromaterapi,
terknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin, terapi

98
bermain).
Dx. II Dukungan ambulansi: S:Ny. C mengakatan nyeri dirasakan
pada lutut dan pergelangan kaki
16:00 Observasi
sebelah kiri mulai berkurang dan
1. Mengidentifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik sudah dapat menggerakan sedikit
lainnya. ekstremitasnya.
Hasil: Ny. C mengakatan nyeri dirasakan pada lutut
O: Ny.C nampak memakai alat bantu
dan pergelangan kaki sebelah kiri mulai berkurang,
berjalan.
dan sudah dapat menggerakan sedikit
ekstremitasnya. A: Gangguan mobilitas fisik.

P: Lanjutkan Intervensi

1. Identifikasi adanya nyeri atau


keluhan fisik lainnya.

Dx. III Pencegahan jatuh: S: -

O: - Ny. C berusia 70 tahun dan

99
16: 45 Observasi menggunakan alat bantu
berjalan.
1. Mengidentifikasi faktor risiko jatuh (mis. usia >65
tahun, penurunan tingkat kesadaran, defisit kognitif, - Ny. C nampak menggunakan
hipotensi ortostatik, gangguan keseimbangan, alat bantu berjalan berupa
gangguan penglihatan, neuropati). walker
Hasil: Ny. C berusia 70 tahun dan menggunakan alat - Ny. C nampak menggunakan
bantu berjalan. alas kaki yang tidak licin.
2. Menghitung risiko jatuh menggunakan skala (misal - Skor Fall Morse Scale risiko
Fall Morse Scale, Humpty Dumpty Scale), jika perlu. jatuh Ny C adalah 40.
Hasil: Skor Fall Morse Scale risiko jatuh Ny C A: Risiko jatuh teratasi.
adalah 40.
P : Pertahankan intervensi.
Terapeutik

3. Menggunakan alat bantu berjalan (mis. kursi roda,


walker).
Hasil: Ny. C nampak menggunakan alat bantu
berjalan berupa walker.

100
Edukasi

4. Menganjurkan menggunakan alas kaki yang tidak


licin.
Hasil: Ny. C nampak menggunakan alas kaki yang
tidak licin.

Dx. I Manajemen nyeri: S: Ny. C mengakatan nyeri tidak


dirasakan pada lutut dan
Sabtu, 19 Juli 2020 Observasi
pergelangan kaki sebelah kanan.
16:00 1. Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
O: Skala nyeri VAS 0/10
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri.
Hasil: Ny. C mengakatan nyeri tidak dirasakan pada Ny. C nampak rileks.
lutut dan pergelangan kaki sebelah kanan
TD : 110/80 mmHg
2. Mengidentifikasi skala nyeri.
N : 78x/menit radial
Hasil: Skala nyeri VAS 0/10
3. Mengidentifikasi respon non verbal. P : 20x/ menit
Hasil: Ny. C nampak rileks.
S : 360C

101
Terapeutik A: Nyeri kronis teratasi

4. Memberikan teknik non farmakologis untuk P: Pertahankan Intervensi


mengurangi rasa nyeri (Mis. TENS, hipnosis,
akupresure, terapi musik, biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, terknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain).
Hasil: Memberikan teknik non farmakologi kepada
Ny. C untuk mengurangi nyeri dengan melakukan
kompres serai hangat hari ke tiga.

Dx. II Dukungan ambulansi: S: Ny. C mengakatan nyeri tidak


dirasakan pada lutut dan
16:45 Observasi
pergelangan kaki sebelah kanan,
1. Mengidentifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik dan mulai melakukan aktivitas
lainnya. rumah.
Hasil: Ny. C mengakatan nyeri tidak dirasakan pada
O: Ny.C nampak tidak memakai alat
lutut dan pergelangan kaki sebelah kanan, dan mulai
bantu berjalan
melakukan aktivitas rumah.

102
A: Gangguan mobilitas fisik teratasi

P: Pertahankan intervensi

103
104

Anda mungkin juga menyukai