Anda di halaman 1dari 4

Balapan Dinihari

Pagi itu aku sudah bangun. Jam masih menunjukan pukul 3 lewat 46 menit, cepat-cepat aku
memutar jarum alarm jam weker ku menjadi pukul 3 agar 15 menit lagi ia tak perlu repot-repot
membangunkan ku. "Hari ini kau bebas tugas tuan jam weker, aku sudah bangun." Gumamku
padanya.

Setelah minum segelas air putih yang sudah aku siapkan sejak kemarin malam dengan sigap
ku ambil handuk yang tergantung dibelakang pintu untuk bergegas ke kamar mandi.

"Kalau perkiraan ku tidak salah, seharusnya aku bisa menang hari ini." Gumamku dalam hati.

Inilah hari yang sudah lama ku nantikan, hari kemenangan besar Mansur sang Menejer Kopi
untuk pertama kalinya setelah 9 tahun absen. Hari ini adalah Hari senin, menandakan cuti
seminggu yang aku minta pada Direktur Lim telah berakhir. Tepat dua minggu berlalu semenjak
Ujian Kelulusan selesai, tugas wajib belajar 9 tahun yang diberikan Bapak Menteri Pendidikan
dan Direktur Lim sudah selesai dilaksanaken, walau memang belum resmi secara hitam diatas
putih karena ijazah belum dibagikan.

Se-usai Mandi aku kembali ke kamar. Bergegas ku berlari-lari kecil menuju cermin tua
pemberian Direktur Lim, memulai ritual harian yang selalu aku lakukan sebelum mengawali hari.
"Ritual yang dapat membuka aura rambut seorang lelaki!" Itu yang dikatakan Mang Sobri si
penjaga toko kelontong saat menjual minyak rambut ini padaku.

Kalengnya berwarna kuning, berbentuk lingkaran, dan ada gambar bunga teratai diatasnya,
lalu ada tulisan China dibawahnya, aku tak mengerti entah apa artinya dan bagaimana cara
membacanya, satu-satunya kata yang bisa ku baca hanya tulisan bercetak tebal dengan huruf
berwarna merah bertuliskan po-ma-de. Entah apa artinya, yang ku mengerti ini adalah minyak
rambut.

Dengan sigap aku mengoleskan minyak rambut tersebut secara merata, tak lupa pula aku
menyisir semua bagian kearah belakang. Bak sepatu pantofel yang sudah disemir, rambutku
berkilau memantulkan cahaya lampu kamar yang belum ku matikan.

Jam menunjukan pukul 4 lewat 14 menit, "Aku harus bergegas jika ingin menang hari ini."
Seruku dalam hati. Aku bersiap-siap didepan jendela yang masih tertutup rapat, berdiri tegap,
sembari membusungkan dada, sambil mejamkan mata, kubuka dengan cepat gorden kamarku.
Benar saja, hari ini aku adalah pemenangnya. Aku tertawa lalu melompat, diluar masih gelap
gulita tanda matahari masih terpejam dan terlelap belum siap memulai hari. "Aku sudah siap
tempur sementara kau masih tertidur, wahai matahari." Ungkapku sambil menggeleng-geleng.
"Maaf saja, tapi kali ini akulah pemenang balapan dinihari."

Setelah semua persiapan selesai, aku selalu memulai hari dengan segelas kopi dan sepotong
roti. Kebiasaan seperti ini selalu aku lakukan sejak zaman masih bersekolah dulu, selain untuk
menghemat modal sarapan, ada alasan lain yang lebih penting, yaitu supaya tidak usah repot-
repot buang air besar dipagi hari. Menurutku buang air besar adalah kegiatan penting untuk
merelaksasi diri, masa pagi-pagi udah relaksasi, tidak cocok sekali dengan kalimat yang selalu
kuingat untuk mengingatkan diri sendiri, "Kerja dulu, baru senang-senang." Kalimat yang
kudapat dari the one and only Mang Sobri si Penjaga Toko Kelontong.

"Semua persiapan sudah mantap, saatnya buka kedai." Seruku dalam hati.

Hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah buka toko, rutinitas yang selalu kulakukan
selama 5 hari dalam seminggu. Aku bertanggung-jawab dalam menjaga ruko milik Direktur Lim.
Kedai Kopi 65 itulah namanya, letaknya tak jauh dari kediamanku, hanya tinggal melewati
lorong dengan panjang 3 meter lalu menuruni 18 anak tangga, Memanglah sangat dekat,
karena aku tinggal di atas Kedai. Aku sudah tinggal disini selama kurang lebih 9 tahun,
semenjak aku ikut dengan Direktur Lim sebagai bawahannya. Sebagai tanda terimakasih
karena sudah diberi tempat tinggal, aku selalu bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan kedai
sebelum buka, menyapu dan menurunkan kursi adalah tugasku dipagi hari, dilanjutkan dengan
membuka pintu depan dan menunggu pegawai pertama datang, yang akan melanjutkan
menjaga Kedai dipagi hari.

Sebenarnya Direktur Lim ingin aku fokus bersekolah saja. Akan tetapi, karena Direktur Lim
sudah memberikan aku tempat tinggal aku harus bisa membalas kebaikan tersebut. Dulu
kakekku pernah berkata "hidup itu tentang memberi dan menerima.", Direktur Lim harus
menerima kebaikan dari apa yang sudah diberikannya padaku, dan karena aku tinggal disini,
aku juga berkewajiban untuk membersihkannya kan. Setelah negoisasi panjang, akhirnya
Direktur Lim memperbolehkan aku membantunya tapi dengan syarat aku harus melaksanakan
wajib belajar 9 tahun sesuai peraturan menteri pendidikan dengan lancar dan mulus, akupun
setuju.

Aku bisa bersekolah juga berkat Direktur Lim, kesempatan untuk bersekolah pun bukanlah
suatu hal yang bisa didapatkan semua orang kecil. Menurutku itu budi yang sangat besar, dulu
aku sebenarnya tidak mau bersekolah dan ingin membantu mengurus Kedai saja, karena aku
merasa sudah terlalu banyak merepotkan Direktur Lim. Aku takut tidak bisa membalas kebaikan
Direktur Lim, tetapi ia memaksa. Kami bernegoisasi agar bisa mendapat keuntungan di kedua
belah pihak, Direktur Lim ingin aku bersekolah dan Aku ingin membalas kebaikan Direktur Lim
tersebut, tetapi dengan sesuatu yang sepadan, Direktur Lim memberiku tawaran "Kamu harus
bersekolah dulu selama 9 tahun sesuai peraturan menteri, setelah lulus Sekolah Dasar nanti,
sembari melanjutkan pendidikan, Kamu akan Saya beri pelatihan selama 1 bulan lalu kamu bisa
jadi pegawai"

"Bersekolah itu mahal, lebih baik aku mulai jadi pegawai dari sekarang saja." Ujarku menjawab
tawarannya.
"Tidak bisa, kamu harus bersekolah dulu 6 tahun lalu melalui pelatihan khusus, baru bisa
menjalankan posisi ini, jika semua persiapan tersebut sudah selesai baru kamu bisa mendapat
posisi ini." Jawab Direktur Lim sambil tersenyum.

"Alamak, lama sekali persiapannya."

"Tentu saja lama, karena pada saat itu aku akan mengangkatmu jadi Menejer Kopi." Jawab
Direktur Lim sambil memberiku senyuman lebar-lebar.
Terperanjat aku waktu itu saat mendengar kata-kata itu, dari namanya saja sudah sangat
menjanjikan, walau aku tak mengerti artinya apa, tapi pasti itu posisi yang sangat tinggi dan
mulia. Tanpa pikir panjang waktu itu kuterima tawaran Direktur Lim. Singkat Cerita, sekarang
aku sudah menjalankan posisi tersebut selama 2 tahun. Lain waktu akan ku ceritakan tentang
menejer kopi dengan rinci, tapi sekarang aku harus menyiapkan Kedai.

Kubergegas membuka pintu depan untuk mulai menyiapkan kedai, tak lupa aku berbelok
menuju meja kasir terlebih dahulu untuk mengambil kunci didalam laci meja kasir,
segerombolan kunci yang beranggotakan semua kunci dari semua pintu yang ada di ruko ini,
dikepalai gantungan kunci berbentuk kucing berwarna emas nan berkilau, mata terbuka lebar-
lebar dan tak pernah terpejam bahkan berkedip sekalipun untuk memastikan tidak ada
anggotanya yang terpisah, Mereka semua terikat oleh tali tambang kecil berwarna merah. Kunci
sudah ditangan, sekarang aku tinggal membuka pintu depan yaitu rolling door tinggi berwarna
perak, pembatas antara Kedai Kopi 65 dengan dunia luar. Setelah membuka kunci rolling door
aku tak langsung membuka nya, aku kembali ke meja kasir untuk mengembalikan para
gerombolan kunci kembali ke pos mereka yang berada didalam laci, agar disaat ada yang
membutuhkan mereka sudah standby didalam laci meja kasir. "Dengan begini, tinggal buka
pintu lalu nyapu dan nurunin kursi, tidak usah repot-repot kembali ke meja kasir lagi" Aku
Bergumam.

Bak atlet angkat beban yang kulihat di televisi kemarin malam, aku pasang posisi untuk
bersiap-siap mengangkat rolling door tersebut. "1, 2, 3, let's go" aku berteriak dalam hati.
"Alamak, apa-apaan ini!" Aku terkaget-kaget, jantungku berdegup kencang, alis mataku
terangkat tinggi tetapi kelopaknya malah ingin menutup, hidungku mengembang kekiri dan
kekanan, bibirku terbuka ingin naik keatas tetapi rahang ku malah ingin kebawah, Sungguh
ekspresi yang tak dapat ku tahan, mungkin jika difoto dan dibandingkan dengan atlet angkat
beban semalam, wajahku akan terlihat lebih mirip atlet angkat beban dari pada atlet angkat
beban itu sendiri. Aku terdiam membatu, bagaimana tidak, kulihat ada seonggok jasad terbujur
didepan pintu tertutup karung kopi kosong yang aku keluarkan semalam.

Aku tak tau harus berbuat apa. Kuperhatikan tubuh itu dengan seksama, kakinya besar, lebar,
terkangkang, tangannya tebal dan lengannya bundar, jarinya bulat-bulat seperti bakso, aku bisa
mengira-ngira ukuran badannya walaupun tertutup kain karung kopi, kira-kira perutnya setinggi
dua tumpukan karung kopi 25 kilogram, bahkan karung itu saja terlihat kecil, karena hanya bisa
menutupi pangkal paha sampai ujung rambut. Kuperhatikan saja tubuh yang tertutup karung itu,
tetapi setelah kuperhatikan betul-betul karung itu bergerak keatas dan kebawah secara
perlahan, ternyata jasad itu tidak terbujur kaku tetapi masih bernapas.

Tunggu dulu, kulihat ditangan kiri-nya terikat jam tangan berwarna ungu tua, tergambar logo
klub sepak bola asal Kota Barcelona diatasnya, jam tangan yang tidak kelihatan asing bagiku,
bukan karena desainnya yang menarik, warnanya yang eksentrik, atau fakta bahwa jam tangan
ini dibeli di kios jam tangan kw diemperan pasar Bringharjo. Aku tau siapa pemilik jam ini.

Aku beranikan diri untuk menarik karung yang menutupi wajahnya, akhirnya penampakan
wajahnya terpampang dengan jelas, ternyata wajahnya tak kalah bundar jika dibandingkan
dengan lengannya, matanya tertutup, mulutnya terbuka lebar bak buaya yang sedang berjemur,
mirip sekali seperti yang kulihat saat darmawisata ke Gembiraloka pada saat SD dulu, hanya
saja bedanya yang ini terlentang. Dia adalah Ko Tom si Juru Mudi mesin penepung kopi yang
sedang tertidur pulas.

Anda mungkin juga menyukai