Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cerpen merupakan salah satu karya sastra popular yang ada di masyarakat.
Cerpen atau cerita pendek adalah jenis karya sastra fiksi naratif yang memiliki satu pokok
permasalahan dan bisa dibaca sekali duduk. Sebagai karya sastra, cerpen tidak terlepas
dari bahasa yang digunakan. Untuk dapat memahami cerita pendek secara menyeluruh,
seseorang harus memahami bahasa yang digunakan oleh pengarang. Bahasa tersebut
kadangkala memiliki makna implisit atau bersifat figuratif. Secara umum, kita dapat
mengkaji hal tersebut melalui kegiatan mengkaji, menyelidiki, dan menelaah objek
sastra.
Terkait dengan bahasa, kita dapat melakukan penelaahan menggunakan stilistika.
Secara sederhana stilistika dapat dimaknai sebagai ilmu yang mengkaji stile atau gaya
bahasa yang digunakan oleh pengarang. Penelaahan ini melihat fungi dan peran bahasa
dalam suatu karya sastra. Kita tahu, bahwa setiap pengarang memiliki karakteristik, yang
mana karakteristik tersebut menjadi cirri khas yang membedakan dia dengan pengarang
yang lain.
Dewasa ini, nama-nama pengarang Indonesia bermunculan. nama mereka
semakin besar dengan diapresiasinya karya yang mereka lahirkan. Salah satu tokoh sastra
wanita Indonesia yang cukup sukses adalah Dewi Lestari. Sebagai seorang penulis lagu,
dia termasuk orang yang multitalenta. Karya-karyanya dalam bentuk novel pun laris
manis dan banyak dikritisi oleh kritikus sastra. Hal inilah yang mendasari kami mengkaji
stile dalam cerpen “Semangkok Acar untuk Tuhan dan Cinta”.
“Semangkok Acar untuk Tuhan dan Cinta” merupakan salah satu cerpen dalam
kumpulan cerpen Dewi Lestari yang berjudul Madre. Kumpulan cerpen ini terbit pada
Juni 2011 dan diterbitkan oleh penerbit Bentang Pustaka. Dalam pengantar editor yang
dinamakan Pesona Dee, Sitok Srengenge mengatakan “Maka, ketika saya menjadi editor
Madre, saya langsung menyanggupinya, meski adwal kesibukan saya sendiri butuh waktu
lebih. Saya memasukkan Madre ke dalam prioritas. Dan, sebagaimana telah saya duga,
saya benar-benar terpesona. Dalam calon buku baru itu saya tak hanya menemukan
kepiawaian Dee bercerita dan mengolah bahasa, lebih dari itu, saya merunduk hormat
karena kepekaannya menyimak dan menyikapi masalah krusial dalam hubungan
antarmanusia”.
Kepiawaian Dee dalam meramu bahasa sekaligus tema-tema humanisme yang dia
angkat, merupakan alasan terbesar kami mengkaji cerpen ini. Dewi Lestari tidak hanya
sekedar menceritakan namun juga menyisipkan simbol-simbol yang unik.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bahasa yang digunakan Dewi Lestari dalam cerpen “Semangkok Acar
untuk Tuhan dan Cinta”?
2. Apa makna dan fungsi dari penggunaan gaya bahasa tersebut?
C. Tujuan
Pengkajian stile ini dilakukan untuk mengetahui gaya bahasa yang digunakan
Dewi Lestari dalam cerpen “Semangkok Acar untuk Tuhan dan Cinta” sekaligus
mengetahui makna dan fungsi dari penggunaan gaya bahasa tersebut.
BAB II
LANDASAN TEORI
Sugiarti (555: 2010) menjelaskan stilistika sebagai bahasa khas sastra akan memiliki
keunikan tersendiri apabila dibandingkan bahasa komunikasi sehari-hari. Stilistika adalah bahasa
yang telah dicipta dan bahkan direkayasa untuk mewakili ide sastrawan.
Sugiarti juga menyatakan bahwa stilistika adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa
dalam suatu karya sastra . Studi ini memang berbau linguistik karena hubungan antara sastra dan
linguistik memang sulit dipisahkan Stilistika akan membangun aspek keindahan karya sastra.
Semakin pandai memanfaatkan stilistika , karya sastra yang dihasilkan akan semakin menarik.
Kemahiran sastrawan menggunakan stilistika, juga akan menentukan bobot karya sastra itu
sendiri.
Lebih lanjut stilistika merupakan penggunaan gaya bahasa secara khusus dalam karya
sastra. Gaya bahasa tersebut mungkin disengaja dan mungkin pula timbul serta merta ketika
pengarang mengungkapkan idenya. Gaya bahasa merupakan efek seni dalam sastra yang
dipengaruhi oleh nurani. Melalui gaya bahasa itu seorang sastrawan akan menuangkan
ekspresinya.
Secara akademis, linguistik memahami bahasa, sastra memahaminya lewat bahasa. Baik
pemahaman melalui linguistis maupun literer dapat dimediasi oleh stilistika. Stilistika
merupakan objek baik bagi ilmu bahasa maupun ilmu sastra . Perbedaanya stilistika linguistic
terbatas pada penelitian gejala bahasa secara deskriptif, yang dalam perkembangan kemudian
disebut sebagai majas, sedangkan stilistika literer melangkah lebih jauh pada aspek-aspek yang
melatarbelakangi sekaligus tujuan yang hendak dicapai , sebagai penelitian evaluatif. Analisis
stilistika literer dilakukan sesudah dilakukan analisis stilistika linguistik, tetapi belum tentu
sebaliknya (Sugiarti, 557: 2010)
Khusnin (47:2012) mengatakan, untuk menganalisis bentuk stilistika dilakukan dengan
cara pertama, analisis sistemis sistem sastra/bahasa yang dilanjutkan dengan analisis. Kedua
mengamati perbendaan antara gaya bahasa dengan bahasa yang digunakan secara umum. Kedua
analisis tersebut bertujuan untuk memahami pandangan pengarang dalam menuangkan ide dan
memahami teks secara menyeluruh dari aspek kebahasaan.
Pendekatan stilistika digunakan untuk menganalisis tanda dan bentuk kebahasaan yang
dipergunakan pengarang sebagai pernyataan lahiriah. Selain itu, pendekatan stilistika digunakan
untuk menganalisis penggunaan sistem tanda yang mengandung ide, gagasan dan nilai estetis
tertentu, sekaligus untuk memahami makna yang dikandungnya (Khusnin, 47-48: 2012).
Hal senada juga diungkapkan oleh Wulandari (95: 2009) yang menyatakan stilistika
sangat berperan dalam penciptaan suatu karya tulisan atau karya sastra, diantaranya gaya bahasa,
yang meliputi gaya bunyi, gaya kata, gaya kalimat dan wacana, dan lain sebagainya.
Stilistika sebagai ilmu tentang gaya bahasa memegang peran yang sangat penting dalam
studi kebahasaan, baik linguistik maupun kesusastraan. Perkembangan yang lebih jelas terjadi
pada penelitian stilistika di bidang lingusitik, sedangkan penelitian stilistika terhadap karya sastra
masih sangat langka. Salah satu faktor yang mempengaruhi kurangnya penelitian stilistika karya
sastra mungkin disebabkan oleh kurang memadainya jumlah referensi yang diperlukan sebagai
rujukannya. Dalam studi kesusastraan, stilistika dipergunakan sebagai alat untuk memberi makna
pada karya tersebut karena gaya bahasa yang terdapat dalam karya sastra mengungkapkan makna
karya sastra tersebut.
Hal di atas sejalan dengan apa yang diungkapkan Rinaldi (214: 2012). Rinaldi
mengemukakan, penelitian stilistika dikenal juga dengan stile yang memiliki arti sebagai cara
pengungkapan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian
pengarang. Stile pada hakekatnya merupakan teknik, yakni teknik pemilihan ungkapan
kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan disampaikan atau diungkapkan.
Stile ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata atau diksi, struktur
kalimat atau struktur sintaksis, bentuk penggunaan bahasa figuratif atau gaya bahasa,
penggunaan kohesi dan lain-lain. Makna stile adalah suatu hal yang pada umumnya tidak lagi
mengandung sifat kontroversial, menyarankan pada pengertian cara penggunaan bahasa dalam
konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu, dan sebagainya. Dalam hal ini
stile yang dimaksud dapat bermacam-macam sifatnya, tergantung konteks di mana dipergunakan,
selera pengarang, dan juga tergantung apa tujuan penuturan itu sendiri. Stilistika mengkaji
berbagai fenomena kebahasaan dengan menjelaskan berbagai keunikan pemakaian bahasa
berdasarkan keunikan pemakaian bahasa berdasarkan maksud pengarang dan kesan pembaca.
Selain pendapat di atas, Pradopo (94: 1999) mengatakan stilistika tidak hanya merupakan
studi gaya bahasa dalam kesusastraan, melainkan juga studi gaya bahasa dalam bahasa pada
umumya meskipun ada perhatian khusus pada bahasa kesusastraan yang paling sadar dan paling
kompleks. Hal ini merujuk pendapat Turner yang mengatakan bahwa stilistika adalah bagian
linguistik yang memusatkan perhatian pada variasi dalam penggunaan bahasa. Dikemukakannya
bahwa stilistika berarti studi gaya, yang menyarankan bentuk suatu ilmu pengetahuan atau paling
sedikit berupa studi yang metodis.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Unsur Leksikal
1. Diksi Berdasarkan Pertimbangan dari Segi Bentuk dan Makna

Secara umum, cerpen “Semangkok Acar untuk Tuhan dan Cinta” adalah cerpen
yang mengangkat tema sederhana namun memiliki nilai yang cukup tinggi.
Permasalahan Tuhan dan cinta menjadi isu strategis dari cerita pendek ini. Dewi Lestari
menyajikannya dalam bentuk cerita dialogis antara narasumber dan wartawan. Tuhan
dan cinta menurut Dewi Lestari adalah sesuatu yang sudah usang, terlalu klise
dibicarakan orang, namun tidak pernah terjawab, apa makna dari Tuhan? Apa makna
dari cinta? Untuk itulah Dee membawa hal yang cukup dekat dengan kita ini, menjadi
sesuatu yang lebih sederhana. Maka, dia kemudian membandingkan Tuhan dan cinta
melalui acar, yang notabene sering kita pandang sebagai hal yang remeh temeh. Di
sinilah kekuatan Dee dalam mengolah pembanding. Sesuatu yang besar dan kompleks,
dia sajikan secara ringan bahkan terkesan konyol dan main-main.
Bahasa yang digunakan dalam cerpen ini, sudah biasa kita dengar dalam
percakapan sehari-hari, meskipun di sana sini dia juga banyak menggunakan
perbandingan-perbandingan serta hal-hal berbau saintis. Kalau kita cermati, maka bahasa
yang Dee gunakan sebenarnya menunjukkan keterwakilan dunia selebritis. Hal ini tidak
mengherankan, melihat latar belakang Dee yang memang seorang publik figur.
Perbincangan antara dia dan wartawan adalah sesuatu yang biasa. Cerita ini cukup unik,
adapun keunikan ini didukung dengan celoteh Dee melalui pilihan-pilihan katanya.
Berikut ini pemakalah sajikan beberapa kutipan yang diambil dari cerpen
“Semangkuk Acara untuk Tuhan dan Cinta”.
a. Penggunaan bahasa kolokial
Bahasa kolokial adalah bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa
ini sudah tidak asing lagi bagi kita, karena menggunakan makna yang lugas.
~ paragraf 1
Apa itu Tuhan? Apa itu cinta?
~ paragraf 7
Tanpa terburu-buru, kuselesaikan kunyahan, lalu minum air seteguk.
~ Paragraf 8
Mendengarnya, wartawan itu kian mencondongkan badannya ke depan, matanya
berbinar antusias.
~ Paragraf 10
Akhirnya ia mengangguk setuju.
~ Paragraf 17
Artikel itu kemudian terbit. Tanpa baris-baris kalimat. Hanya gambar besar
semangkok acar bawang.

Berdasarkan data di atas kita akan mengetahui, Dewi Lestari memilih kata-kata
kolokial supaya pembaca merasa lebih dekat dengan apa yang diceritakan oleh
pengarang. Selain itu, kata kolokial juga memudahkan pembaca dalam memahami
jalan cerita.
b. Penggunaan bentuk dialog
Dialog dalam cerpen ini, memiliki tipikal yang khas, sebagaimana yang sering
dilontarkan wartawan kepada narasumber. Wartawan menggunakan bahasa semi
formal untuk mengulik informasi.
~ paragraf 2
“Menurut Anda apa itu cinta?”
~ paragraf 3
“Cinta?”
~ paragraf 4
“Satu lagi. Apa makna Tuhan bagi Anda?
~ paragraf 9
"Tapi saya tidak ingin menjawab ini sendirian. Saya ingin mencarinya bersama-
sama.Anda setuju?"
~ paragraf 11
"Ayo, kita kupas.Pakai kuku."
~ paragraf 13
"Ayo. Terus, sampai habis."
Dari data di atas kita dapat memahami, bahwa fungsi dari dialog yang
diciptakan oleh Dee adalah untuk memberikan efek realistis. Kita dapat
membayangkan apa jadinya dunia ketika tidak ada unsure dialogis dalam hidup, pasti
cerita akan terkesan sepi dan tak hidup. Dialog-dialog di atas juga berfungsi untuk
memberikan ruang bagi tokoh, dalam menyampaikan pandangan-pandangan atau
sikapnya terhadap suatau permasalahan. Hal ini menjadikan kalimat tersebut
memiliki nilai seni.
Selain bentuk-bentuk dialog di atas, juga terdapat petunjuk tindakan, untuk
mengiringi perkataan pra tokohnya. Hal ini terlihat pada petikan berikut:
….. dan orang itu bertanya: "Menurut Anda, apa itu cinta?" (paragraph 2)
Aku hanya menggeram dan mengulang: "Cinta?" (paragraph 3)
Dan dia sungguhan nekat bertanya: "Satu lagi. Apa makna Tuhan bagi Anda?"
(paragraf 4)
Tanpa terburu-buru, kuselesaikan kunyahan, lalu minum air seteguk."Begini," aku
mulai menjelaskan, "pertama-tama, dengan mengetahui apa itu cinta, kita akan
mengetahui Tuhan. Dan ketika kita mengetahui Tuhan, kita juga jadi tahu apa itu
cinta. Jadi, kita bisa mengungkap keduanya sekaligus." (paragraf 7)
"Tapi saya tidak ingin menjawab ini sendirian. Saya ingin mencarinya bersama-
sama.Anda setuju?" tanyaku. (paragraf 8)
Aku lantas menyambar mangkok berisi acar, mencomot dua bawang merah utuh,
dan memberikan satu butir kepada wartawan itu "Ayo, kita kupas. Pakai kuku." Dan
tanpa menunggu, dengan semangat dan giat aku mulai mengupas. (paragraf 10)
Kalau kita mencermati secara detail percakapan di atas, kita akan
menemukan, bahwa petunjuk tindakan berfungsi untuk memberikan kejelasan siapa
yang berbicara, misalnya ulang…, kata…., tanya... Untuk beberapa percakapan yang
berurutan, tanpa adanya petunjuk, kadang pembaca dibingungkan, degan siapa yang
berkata. Selain itu petunjuk tindakan juga berfungsi untuk memberikan latar situasi,
misalnya ketika berbicara mereka sedang dalam keadaan marah, sambil melakukan
aktivitas lain, dll.
c. Pemanfaatan bahasa daerah
Bahasa daerah yang muncul dalam cerpen ini sangatlah sedikit. Hampir
secara keseluruhan cerpen ini menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa daerah yang
digunakan dalam cerpen ini adalah kata mencelat (paragraf 2). Kata mencelat berasal
dari bahsa Jawa yang bila diartikan kedalam bahasa Indonesia menjadi “terlempar”.
Penggunaan unsur bahasa daerah dalam sebuh cerita pendek, berfungi untuk
memberikan pemahaman kepada pembaca tentang latar belakang geografis tokoh
cerita. Misalnya dalam kutipan di atas, kita dapat berpikir bahwa tokoh aku, adalah
orang Jawa.
d. Pemanfaatan kata-kata asing
Kata-kata asing dalam hal ini bukanlah sekedar kata serapan dari bahasa lain,
merupakan juga kata-kata yang jarang didengar oleh orang awam. Adapun
pemanfaatan kata-kata asing itu, antara lain:
~Paragraf 4
Si wartawan pun berpikir bahwa pertanyaan brilian berikutnya akan memancing
jawaban lebih panjang dan lebih mencengangkan, yang akan menghibur para
pembaca majalahnya, sebab hasil wawancara ini akan terbit di edisi khusus yang
membahas 10+1 cara bercinta paling panas dan peta terbaru menuju spot-spot
orgasmik yang selama ini tersembunyi.
Spot-spot orgasmik dalam paragraf di atas adalah titik-titik di mana keadaan
puncak kenikmatan seksual bisa terjadi. Selain jarang terdengar, pembicaraan yang
menyangkut seksual dalam ranah awam masih tabu.
Penggunaan frasa spot-spot orgasmik sengaja dilakukan, karena apabila
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang mudah dimengerti masyarakat awam,
hal tersebut akan sangat panjang. Selain itu penggunaan frasa tersebut juga
mengadung keindahan karena adanya unsur pengulangan dan juga menunjukkan sisi
intelektualitas.
~Paragraf 16
Artikel itu kemudian terbit. Tanpa baris-baris kalimat. Hanya gambar besar
semangkok acar bawang. Dan mereka yang membacanya menyangka bahwa itu
resep afrodisiak.
Afrodisiak tidak banyak dikenal oleh orang awam, karena istilah ini memang
jarang sekali digunakan. Afrodisiak adalah zat kimia yang digunakan untuk
merangsang daya seksual.
Kata afrodisiak digunakan oleh Dee, mengingat sulit sekali mendapatkan
padanannya dalam bahasa Indonesia yang umum. Selain itu, kata afrodisiak mampu
menimbulkan estetika sekaligus melahirkan keingintahuan pembaca.
~Paragraf 5
Jemariku bergetar, menahan garpu, pisau, piring, gelas, dan benda-benda dalam
radiusku yang sangat mungkin kujadikan senjata pembelaan diri atas serangan
pertanyaan-pertanyaan paling muskil dijawab tapi selalu ditanyakan itu.
Muskil mungkin sudah sering digunakan, namun bagi masyarakat awam, kata
tersebut jarang terdengar, mereka lebih familiar dengan kata tidak mungkin, sulit, dll.
Pemilihan kata ini menimbulkan efek yang luar biasa pada kalimat. Seolah-olah
pertanyaan-pertanyaan wartawan itu sangat-sangat tidak mungkin terjadi.
~Paragraf 15
Ditandai air mata 'cinta' yang menghiasi pipi kami berdua serta aroma Tuhan yang
meruap segar dari kuku, wawancara siang itu usai.
Kendati terasa familiar, sebenarnya banyak orang tak tahu arti kata meruap.
Meruap dapat bermakna meluap, menguap, atau membuih. Pemilihan kata meruap,
membuat pembaca membayangkan sesuatu yang tak kasat mata, namun keluar dalam
jumlah yang cukup banyak. Hal ini menimbulkan estetika tersendiri.
Dari data-data di atas maka kita dapat menyimpulkan, bahwa arah makna
yang ditunjukkan oleh Dewi Lestari dalam cerpen Semangkok Acar untuk Tuhan dan
Cinta ini bersifat denotasi dan konotasi.
a) Denotasi
 Paragraf 6
Tanpa terburu-buru, kuselesaikan kunyahan, lalu minum air seteguk. "Begini," aku
mulai menjelaskan, "pertama-tama, dengan mengetahui apa itu cinta, kita akan
mengetahui Tuhan. Dan ketika kita mengetahui Tuhan, kita juga jadi tahu apa itu
cinta. Jadi, kita bisa mengungkap keduanya sekaligus."
 Paragraf 7
Mendengarnya, wartawan itu kian mencondongkan badannya ke depan, matanya
berbinar antusias. Semakin yakinlah ia betapa cemerlangnya pertanyaan-pertanyaan
itu, betapa bermutu dan menantangnya. "Tapi saya tidak ingin menjawab ini
sendirian. Saya ingin mencarinya bersama-sama. Anda setuju?" tanyaku.
 Paragraf 8
Wartawan itu terkesiap. Tak siap. Namun rasa penasarannya terusik. Tampak
keinginan kuatnya untuk mempertahankan reputasi sebagai sang penanya brilian.
Akhirnya, ia mengangguk setuju.
 Paragraf 12
Demikianlah kami berdua, dengan mata mengerjap-ngerjap perih, mengupasi
bawang dengan kuku yang akhirnya jadi lebih mirip mencacah. Serpih-serpih
bawang yang berantakan mengotori meja. Dan akhirnya kami berhenti ketika serpih
terakhir sudah terlampau kecil untuk bisa dikupas.
Makna denotasi dalam paragraf-paragraf di atas memudahkan pembaca
memahami cerita. Selain itu makna denotasi menunjang estetika kaitannya dalam
menghadirkan kesan riil dan dekat. Hal ini menimbulkan keindahan sekaligus
keseimbangan bagi kalimat-kalimat Dee yang lain, yang penuh dengan majas dan
simbol-simbol, terlebih dalam cerpen ini pun Dee memainkan kata. Contoh
permainan ini terlihat pada paragraf 6, di sana Dee bermain-main dengan kata
mengetahui. Lalu pada paragraf 7 kita dapat melihat, Dee mencoba memainkan
hubungan kausatif melalui kata berbinar dan cemerlang. Pada paragraf 8 pun, Dee
mampu memberikan komposisi yang apik melalui persamaan bunyi pada kata
terkesiap dan tak siap. Demikian pada paragraf 12, kita dapat melihat Dee mencoba
bermain dengan pengulangan, misalnya pada kata mengerjap-ngerjap, mencacah, dan
serpih-serpih. Semua itu memberikan keindahan pada cerpen “Semankok Acar untuk
Tuhan dan Cinta”.

b) Konotasi
 Paragraf 1
Dan tidak ada yang lebih memahitkan mulut, memualkan perut, menyesakkan
jantung, ketika seseorang muncul dengan kertas dan pulpen, atau alat perekam, di
tengah jam makan siang, saat rahangmu sedang sibuk mengunyah, saat makanan di
piring memohon perhatian penuhmu, dan orang itu bertanya: "Menurut Anda, apa
itu cinta?"
Makna: kalimat konotasi di atas memiliki makna, bahwa pertanyaan mengenai arti
cinta adalah hal paling buruk bagi si tokoh, melebihi hal-hal buruk yang
lain.
 Paragraf 4
Jemariku bergetar, menahan garpu, pisau, piring, gelas, dan benda-benda dalam
radiusku yang sangat mungkin kujadikan senjata pembelaan diri atas serangan
pertanyaan-pertanyaan paling muskil dijawab tapi selalu ditanyakan itu.
Makna: kalimat konotasi di atas memiliki makna, bahwa si tokoh merasa emosional
dengan pertanyaan yang diajukan.
 Paragraf 5
Dan aku teringat baris-baris panjang tentang cinta dan Tuhan yang pernah
dimuntahkan mulutku seperti peluru dari senapan otomatis -yang begitu hebat dan
jenius hingga menembusi hati orang-orang yang mendengarnya.
Makna: baris-baris panjang pada kalimat diatas berarti „kalimat‟ atau „kata-kata‟,
atau „buah pemikiran‟ sedangkan dimuntahkan mulutku maksudnya adalah
yang dikatakan, kemudian menembusi hati orang yang mendengar adalah
membuat orang percaya dan kagum. Arti kalimat konotasi di atas adalah, si
tokoh pernah mengeluarkan pemikirannya tentang cinta dan Tuhan,
sehingga membuat orang terkagum-kagum.
 Paragraf 13
Berlinangan airmata, yang jatuh bukan karena duka atau suka, aku pun berkata:
"Inilah cinta. Inilah Tuhan. Tangan kita bau menyengat, mata kita perih seperti
disengat, dan tetap kita tidak menggenggam apa-apa." Sambil terisak, yang bukan
karena haru bahagia atau haru nelangsa, lagi aku berkata: "Itulah cinta. Itulah
Tuhan. Pengalaman, bukan penjelasan. Perjalanan, bukan tujuan. Pertanyaan, yang
sungguh tidak berjodoh dengan segala jawaban."
Makna: paragraf di atas sebenarnya hanya membincang soal makna Tuhan dan
cinta yang bisa dirasakan, namun tidak berwujud.
 Paragraf 14
Ditandai air mata 'cinta' yang menghiasi pipi kami berdua serta aroma Tuhan yang
meruap segar dari kuku, wawancara siang itu usai.
Makna: di sini Dee ingin menegaskan penemuan akan makna cinta dan Tuhan
menandai berakhirnya wawancara.
Penggunaan kata konotasi membuat cerpen menjadi indah, karena pembaca
dituntut berpikir untuk dapat menangkap makna yang sebenarnya. Selain itu makna
konotasi juga memberikan adanya variasi, yang membuat cerita menjadi tidak
monoton. Ada permainan-permainan isitlah yang membuat cerpen nyaman
dinikmati, misalnya kata piring, garpu, dan sendok boleh jadi bukan barang yang
sebenarnya, melainkan suatu alasan yang masuk akal, sehingga bisa mengelak dari
pertanyaan-pertanyaan wartawan. Lalu kata pengalaman, berjodoh, bau menyengat,
semua itu merupakan symbol yang dihadirkan oleh penulis, agar cerita terasa kuat.
Begitu juga dengan kata konotasi aroma Tuhan, yang sebenarnya hanya
membincang perkara keberadaan Tuhan. Namun, Dee berhasil menciptakan bahasa-
bahasa yang menggelitik tersebut.
2. Jenis Kata
No Jenis Kata Contoh Jumlah Kata Presentase
1 Kata Benda Acar, mangkok, garpu 84 32,94%
2 Kata Kerja Memahitkan, 69 27,05%
memualkan, menghiasi,
bercinta
5 Kata tugas Yang, di 36 14,12%
6 Kata Ganti Ini, itu, kau, aku, 24 9,41%
3 Kata Sifat Muskil, panas, perih, 18 7,05%
kecil
7 Kata Keterangan Sangat, bersama-sama 16 5,3%
4 Kata bilangan Semangkok 8 3,13%
Jumlah 255 100%
Berdasarkan tabel di atas kita dapat menganalisis bahwa kata benda menduduki
peringkat paling atas. Penggunaan kata benda ini bukan tanpa alasan, Dee menampilkan
kata benda di sana sini dengan tujuan mengkonkritkan cerita. Benda adalah sesuatu yang
dapat dirasakan oleh panca indera. Kata benda juga memiliki peranan penting sebagai
subyek dan obyek. Terkait dengan cerpen ini, kata benda memberikan nilai estetis,
khususnya sebagai penegas latar dan suasana.
Penggunaan kata kerja yang juga banyak dalam cerpen ini, bertujuan untuk
menghidupkan cerita sekaligus menggambarkan bahwa tokoh adalah orang yang hidup
dan aktif. Penggunaan kata kerja dalam cerpen ini lebih banyak disisipkan Dee dalam
majas-majas yang dia gunakan. Efek ini memberikan kesan menarik, terutama dalam
menggambarkan perlakuan-perlakuan yang mungkin akan dilakukan oleh si tokoh aku,
lebih-lebih Dee seringkali menggunakan kata kerja yang beruntun.
Kata sifat pada cerpen “Semangkok Acar untuk Tuhan dan Cinta” lebih sering
menggambarkan emosi, sifat, dan juga hal-hal abstrak yang ada di sekitar tokoh.
Penggunaan kata-kata sifat ini sangat berpengaruh terhadap kedalaman cerita. Lihat saja,
bagaimana Dee mengungkapkan kata kecil, panas, dan perih untuk menggambarkan
usahanya dalam mencari makna Tuhan dan cinta. Kalau kata-kata sifat tersebut tidak
tercantum, mungkin cerita menjadi terasa dangkal dan kurang gereget.
Kata tugas meskipun kadang dianggap sepele, namun sebenarnya memiliki
kedudukan yang penting. Tanpa kata tugas, sebuah kalimat tidak akan menjadi kalimat
yang baik atau cacat. Keberadaan kata tugas secara tidak langsung ikut mempengaruhi
keindahan sebuah kalimat, yang mana juga mempengaruhi keindahan cerita.
Jumlah kata ganti dalam cerpen ini mungkin tidak sebanyak jenis kata yang lain.
Namun, kata ganti memiliki peranan yang cukup penting dalam cerita. Kalau kita
melihat, latar tempat dari awal hingga ahir tidak berubah, hanya sebuah meja kafe. Maka
kata ganti seperti ini dan itu terasa relevan untuk memberikan penegasan pada apa yang
sedang dilakukan atau dibahas. Begitu juga dengan kata ganti orang, aku dank kau.
Kedua kata ganti orang ini memiliki kedudukan yang penting, lantaran tokoh cerita
hanya terdiri dari dua orang. Dengan demikian, kata ganti yang digunakan memiliki
sinergitas dengan cerita yang ditulis. Hal ini memberikan efek keindahan tersendiri.
Hampir sama dengan kata sandang, kata keterangan pun memiliki fungsi untuk
memperkuat penggambaran situasi. Saya ingin mencarinya dengan saya ingin
mencarinya bersama-sama tentu memiliki pemaknaan yang berbeda. Kalimat pertama,
bermakna bahwa yang mencari hanya saya, sedangkan pada kalimat kedua bermakna,
bahwa saya mengajak orang lain untuk mencari dalam waktu yang bersamaan.
Kata bilangan boleh jadi memiliki prosentase yang paling sedikit, dibandingkan
dengan jenis kata yang lain. Akan tetapi, jenis kata ini turut membangun keindahan
cerita. Kalau kita cermati, hanya ada satu kata bilangan, yaitu pada kata semangkok yang
merujuk pada satu mangkok. Namun, Dee menggunakan kata ini berkali-kali, yang
berarti Dee ingin memberikan penegasan, bahwa untuk memahami cinta serta Tuhan,
yang diperlukan itu adalah semangkok, bukan sepiring, yang diperlukan itu semangkok,
bukan beberapa mangkok. Dengan hal ini, ingatan pembaca akan kata semangkok
menjadi lebih mendalam, terlebih kata semangkok juga terpampang dalam judul cerita.
B. Unsur Gramatikal
1. Kompleksitas kalimat
Dalam cerpen Semangkok Acar untuk Tuhan dan Cinta terdapat 15 paragraf dan 54
kalimat yang terdiri dari 22 kalimat sederhana dan 32 kalimat kompleks yang dapat
dilihat pada tabel berikut ini.

Jenis Kalimat Jumlah Kalimat Persentase


Kalimat sederhana 22 40,74%
Kalimat kompleks 32 59,26%
Jumlah 54 100%

Tabel di atas menunjukkan bahwa cerpen ini lebih didominasi oleh kalimat kompleks
daripada kalimat sederhana. Dominasi kalimat kompleks tersebut menggambarkan bahwa
cerita dalam cerpen ini tidak sesederhana yang kita kira. Cerpen ini sederhana namun
juga sedikit sulit dipahami maknanya secara lugas. Contoh kalimat sederhana dan kalimat
kompleks dapat kita lihat pada uraian berikut ini. Untuk jenis kalimat secra lebih lengkap,
bisa dilihat di lampiran.
a. Kalimat sederhana
 Wartawan itu terkesiap. (Paragraf 8)
S P
 Artikel itu kemudian terbit. (Paragraf 15)
S P
b. Kalimat kompleks
 Jemariku bergetar, menahan garpu, pisau, piring, gelas, dan benda-benda dalam
radiusku yang sangat mungkin kujadikan senjata pembelaan diri atas serangan
pertanyaan-pertanyaan paling muskil dijawab tapi selalu ditanyakan itu. (Paragraf
4)
Kalimat itu terdiri dari 8 klausa
1. Jemariku bergetar menahan garpu
S P O
2. Jemariku bergetar menahan pisau
S P O
3. Jemariku bergetar menahan piring
S P O
4. Jemariku bergetar menahan gelas
S P O
5. Jemariku bergetar menahan benda-benda dalam radiusku
S P O
yang sangat mungkin kujadikan senjata pembelaan diri
K
atas serangan pertanyaan-pertanyaan paling muskil dijawab tapi selalu

ditanyakan itu
6. benda-benda dalam radiusku yang sangat mungkin kujadikan
S P
senjata pembelaan diri atas serangan pertanyaan-pertanyaan paling muskil
O
dijawab tapi selalu ditanyakan itu
7. senjata pembelaan diri atas serangan pertanyaan-pertanyaan paling muskil
S P O
dijawab tapi selalu ditanyakan itu
8. pertanyaan-pertanyaan paling muskil dijawab tapi selalu ditanyakan itu
S P
Sebagaimana dijelaskan dalam pengantar, seorang pengarang akan sangat
jeli dalam memilih kata atau kalimat. Dia akan mempertimbangkan, mana kalimat
yang mampu membangun cerita dan mana yang tidak. Sebab, berbicara sastra
maka kita juga akan disodorkan pada estetika. Dalam cerpen ini Dee pandai
menggunakan kombinasi kalimat sederhana dan kalimat kompleks. Kalimat-
kalimat sederhana menimbulkan kesan santai bagi para pembaca. Pembaca akan
merasa mudah memahami. Biasanya hal-hal yang disampaikan secara singkat,
menunjukkan kesan lugas dan tidak terlalu esensial untuk diperbincangkan secara
panjang lebar.
Berbeda dengan kalimat sederhana, kalimat kompleks memegang peranan
yang cukup penting dalam cerita. Dalam kalimat panjang tersebut, pengarang
menuntut pembaca untuk bisa memainkan irama dan emosi, melalui penjedaan
berdasarkan tanda titik atau koma. Panjangnya kalimat juga mendukung suasana
cerita. Kalimat panjang yang hanya dibatasi dengan koma-koma menimbulkan
kesan genting dan tegang. Inilah yang kemudian melahirkan irama cerita. Irama di
sini bukan berarti suara, melainkan cara pembaca dalam membacakan cerita.
Selain itu panjangnya kalimat juga berkaitan dengan urgensi permasalahan untuk
diperbincangkan secara panjang lebar, sehingga menimbulkan kesan yang lebih
kuat dan membekas. Klau kita mencermati, cerpen ini didominasi oleh kalimat
kompleks.
1. Jenis Kalimat
Identifikasi jenis kalimat dalam cerpen ini meliputi kalimat deklaratif (kalimat yang
menyatakan sesuatu), kalimat imperatif (kalimat yang mengandung makna perintah atau
larangan), dan interogatif (kalimat yang mengandung makna pertanyaan), serta kalimat
minor dan kalimat mayor. Persentase pemunculan jenis-jenis kalimat tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2.2 Jenis-jenis Kalimat dan Frekuensinya
Jenis Kalimat Jumlah Kalimat Persentase
Kalimat Deklaratif 46 81%
Kalimat Imperatif 3 5%
Kalimat Interogatif 8 14%
Jumlah 57 100%

Contoh beberapa kalimat deklaratif:


Aku membenci kedua pertanyaan itu sepenuh hati sampai kudedikasikan seluruh hidupku
untuk mencari jawabnya, agar kedua pertanyaan itu berhenti menghantui. (paragraf 2)
Tanpa terburu-buru, kuselesaikan kunyahan, lalu minum air seteguk (paragraf 7)
Tangan kita bau menyengat, mata kita perih seperti disengat, dan tetap kita tidak
menggenggam apa-apa (paragraf 14)
Hanya gambar besar semangkok acar bawang. (paragraf 16)
Kalau kita mencermati cerpen ini, maka kita akan mendapati beberapa informasi.
Cerpen ini lebih banyak menggunakan gaya deskripsi entah dengan menggunakan majas
ataupun tidak. Maka, wajar jika Dee lebih banyak menggunakan kalimat-kalimat
deklaratif yang berfungsi untuk menjelaskan atau memaparkan.

Contoh kalimat imperatif:


Ayo, kita kupas. Pakai kuku. (paragraf 9)
Ayo. Terus, sampai habis. (paragraf 11)
Cepen ini minim sekali kalimat imperatif. Minimnya kalimat inperatif dalam
cerpen karya Dee bukanlah tanpa alasan. Hal ini sejalan dengan isi cerita, tentang
bagaimana Dee mengajak si wartawan menemukan makna cinta dan Tuhan dengan cara
yang sugestif. Secara psikologis, kalimat-kalimat imperatif khususnya kalimat suruhan,
membuat pembaca merasa digurui. Hal ini menimbulkan kesenjangan kedudukan antara
pembaca dengan pengarang. Cerpen ini mengajak pembaca untuk terlibat dalam sebuah
diskusi imajiner, sehingga pembaca dituntut tidak hanya menikmati, namun juga berpikir
kritis.
Contoh kalimat interogatif:
apa itu cinta? Apa itu Tuhan? (paragraf 16)
Menurut Anda, apa itu cinta? (paragraf 2)
Satu lagi. Apa makna Tuhan bagi Anda? (paragraf 4)
Sepintas kita tidak mendapatkan fungsi yang cukup berpengaruh terkait minimnya
kalimat interogatif dalam cerpen ini. Namun, apabila kita mencermati, sesugguhnya
minimnya kalimat interogatif ini mendukung bangunan cerita. Kalimat-kalimat tersebut
muncul secara wajar, dalam sebuah wawancara. Dalam wawancara, pertanyaan yang
diajukan oleh wartawan cenderung sedikit, karena titik sentral dalam wawancara adalah
narasumber. Maka, narasumberlah yang lebih banyak berbicara serta menjelaskan. Ini
mengandung estetika tersendiri.
1. Jenis Klausa dan Frase
Identifikasi jenis klausa pada cerpen ini lebih difokuskan pada tipe klausa
berdasarkan kategori unsur pengisi P yang meliputi klausa ajektival, preposisional,
nominal, verbal, dan adverbial. Persentase pemunculan jenis klausa tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.3 Jenis-jenis Klausa dan Frekuensinya

Cerpen karya Dewi Lestari ini memiliki tujuh jenis klausa, yaitu klausa nominal,
verbal, ajektival, preposisional, adverbial, dan pronominal. Persentase pemunculan
jenis klausa tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel Jenis-jenis Klausa dan Frekuensinya


Jenis Klausa Jumlah Klausa Persentase
Klausa verbal 45 klausa 59,21%
Klausa nominal 8 klausa 10,53%
Klausa preposisional 7 klausa 9,21%
Klausa ajektival 7 klausa 9,21%
Klausa numeral 6 klausa 7,89%
Klausa pronominal 2 klausa 2,63%
Klausa adverbial 1 klausa 1,32%
Jumlah 76 100%

Contoh:
1. Klausa nominal
 Inilah cinta (Paragraf 13)  disebut klausa nominal (benda) karena fungsi predikat
(kata cinta) dalam fungsi tersebut adalah kata benda.
 Inilah Tuhan (Paragraf 13)  disebut klausa nominal (benda) karena fungsi
predikat (kata Tuhan) dalam fungsi tersebut adalah kata benda.
2. Klausa verbal
 aku membenci kedua pertanyaan itu (Paragraf 1)  disebut klausa verbal (kerja)
karena fungsi predikat (kata membenci) dalam fungsi tersebut adalah kata kerja.
 memohon perhatian penuhmu (paragraf 1)  disebut klausa verbal karena fungsi
predikat (kata memohon) dalam fungsi tersebut adalah kata kerja, sedangkan fungsi
subjeknya lesap.
3. Klausa ajektival
 jawaban lebih panjang (paragraf 3)  disebut klausa ajektival (sifat) karena fungsi
predikat (kata lebih panjang) dalam fungsi tersebut adalah kata sifat.
 serpih terakhir terlampau kecil (paragraf 12)  disebut klausa ajektival (sifat)
karena fungsi predikat (kata sudah terlampau kecil) dalam fungsi tersebut adalah
kata sifat.
4. Klausa numeral
 Berikut ini dua pertanyaan (paragraf 1)  disebut klausa numeral (jumlah) karena
fungsi predikat (kata dua pertanyaan) dalam fungsi tersebut adalah kata numeral.
 semangkok acar bawang (paragraf 15)  disebut klausa numeral (jumlah) karena
fungsi predikat (kata semangkok acar bawang) dalam fungsi tersebut adalah kata
numeral, sedangkan subjeknya lesap.
5. Klausa preposisional
 makanan di piring (paragraf 1)  disebut klausa preposisional (kata depan) karena
fungsi predikat (kata di piring) dalam fungsi tersebut adalah kata preposisional.
 peluru dari senapan otomatis (paragraf 5)  disebut klausa preposisional (kata
depan) karena fungsi predikat (kata dari senapan otomatis) dalam fungsi tersebut
adalah kata preposisional.
6. Klausa adverbial
 di tengah jam makan siang (paragraf 1)  disebut klausa adverbial (kata
keterangan) karena fungsi predikat (kata di tengah jam makan siang) dalam fungsi
tersebut adalah kata preposisional, sedangkan subjeknya lesap.
7. Klausa pronominal
 Semakin yakinlah ia (paragraf 7)  disebut klausa pronominal (kata ganti) karena
fungsi predikat (kata ia) dalam fungsi tersebut adalah kata pronominal, sedangkan
subjeknya lesap.
 reputasi sebagai sang penanya brilian (paragraf 8)  disebut klausa pronominal
(kata ganti) karena fungsi predikat (kata sang penanya brilian) dalam fungsi
tersebut adalah kata pronominal.
Dari tabel di atas, jenis klausa yang paling dominan adalah klausa verbal.
Penggunaan klausa verbal membuat cerita menjadi dinamis, bergerak, dan terkesan
hidup. Pada urutan kedua terdapat klausa nominal. Klausa nominal jelas memiliki
peranan yang cukup penting dalam cerita, karena bagaimanapoun juga hal-halyang
bersifat kebendaan membuat cerita menjadi realistis. Begitupun jenis klausa yang lain,
semua itu membuat cerita mnjadi lebih estetis.

Dalam cerpen ini, jenis frasa yang dianalisis adalah tipe frasa berdasarkan kategori
katanya yang terdiri atas frasa adverbial, frasa ajektival, frasa nominal, frasa verbal,
frasa preposisional, dan frasa numeral. Persentase pemunculan jenis frasa tersebut
dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Jenis Frasa Jumlah Frasa Persentase
Frasa nominal 14 nom 26,9%
Frasa pronominal 11 pro 21,15%
Frasa adjektival 9 aj 17,3%
Frasa verbal 8 ver 15,38%
Frasa numeral 7 num 13,46%
Frasa preposisional 2 pre 3,8%
Frasa adverbial 1 adv 1,9%
Jumlah 52 100%

Tabel 2.4 Jenis-jenis Frasa dan Frekuensinya


Dari tabel di atas, jenis frasa yang paling dominan adalah frasa nominal yaitu
berjumlah 14 frasa atau sebesar 26,9%. Selanjutnya, frasa pronominal berada di urutan
kedua setelah frasa nominal dengan persentase 21,15%, frasa adjektival sebesar
17,3%, frasa verbal sebesar 15,38%, frasa numeral sebesar 13,46%, frasa preposisional
sebesar 3,8%, dan frasa adverbial sebesar 1,9%.

Dari segi katagori gramatikalnya:

a. Frasa Nominal
Frasa nominal adalah frasa endosentris berinduk satu yang induknya merupakan
nominal
Contohnya:
 Kami mendengar pidato presiden
 Ani membeli buku bahasa Indonesia
 Ayah Amir adalah seorang guru sekolah dasar

Dalam cerpen Semangkok Acar untuk Tuhan dan Cinta terdapat beberapa frasa
nominal. Contoh frasa nominal yang terdapat dalam cerpen Semangkok Acar
untuk Tuhan dan Cinta antara lain:

 Perhatian penuhmu
 Makan siang
 Peta terbaru
 Air mata
 Kudedikasikan seluruh hidupku
 Pertanyaan itu
 Orang itu
 Wartawan itu
b. Frasa Pronominal
Frasa pronominal adalah frasa endosentris berinduk satu yang induknya
pronominal.

Contohnya:

 Saya sendiri akan pergi ke pasar


 Kami sekalian akan berkunjung ke Jogja
 Buku harian itu milik Hendra

Dalam cerpen Semangkok Acar untuk Tuhan dan Cinta terdapat beberapa frasa
pronominal. Contohnya antara lain:

 Kita akan mengetahui Tuhan


 Kita bisa mengungkap keduanya sekaligus.
 Menghiasi pipi kami berdua.
 Mereka lalu melahap semangkok acar bawang
 Dan mereka yang membacanya
c. Frasa Verbal
Frasa verbal adalah frasa endosentris berinduk satu yang induknya verba dan
modifikatornya berupa partikel modal, partikel ingkar, frasa adverbial, atau
adverbial.
Contohnya:
 Andi datang bersama teman kelasnya
 Anto bekerja sebagai salesman di perusahaan itu
 Ani sudah makan

Dalam cerpen Semangkok Acar untuk Tuhan dan Cinta terdapat beberapa frasa
verbal. Contohnya antara lain:

 Berikut ini dua pertanyaan yang paling kubenci


 Pertanyaan itu berhenti menghantui
 Tapi saya tidak ingin menjawab
d. Frasa Adjectival
Frasa Adjektival adalah frasa endosentris berinduk satu yang induknya adjektival
dan modifikatornya adverbial.
Contohnya:
 Buku itu terlalu banyak
 Gedung itu sangat megah
 Bunga itu warnanya merah jambu

Dalam cerpen Semangkok Acar untuk Tuhan dan Cinta terdapat beberapa contoh
frasa adjektival. Contohnya antaralain:

 jawaban lebih panjang


 terlampau kecil
 sedang sibuk
e. Frasa Adverbial
Frasa adverbial adalah frasa endosentris berinduk satu yang induknya adverbial
dan modifikatornta adverbial lain atau partikel.
Contohnya:
 Ayahnya seorang guru
 Pohon kelapa itu sangat tinggi

Dari cerpen Semangkok Acar untuk Tuhan dan Cinta terdapat beberapa contoh
frasa adverbial. Contoh yang terdapat dalam Semangkok Acar untuk Tuhan dan
Cinta antara lain sebagai berikut:

 Di tengah jam makan siang


f. Frasa Numeral
Frasa numeral adalah frasa endosentris direktif dan non direktif.
Contohnya:
 Mereka memotong dua puluh ekor sapi
 Andi memiliki lima orang saudara

Dari cerpen Semangkok Acar untuk Tuhan dan Cinta terdapat beberapa contoh
frasa numeral. Contoh yang terdapat dalam Semangkok Acar untuk Tuhan dan
Cinta antara lain sebagai berikut:
 Air seteguk
 Dua bawang merah
 Semangkok
 Dua pertanyaan
 Kedua pertanyaan
 Seseorang muncul
 Satu butir
g. Klausa preposisional
 makanan di piring (paragraf 1)  disebut klausa preposisional (kata depan)
karena fungsi predikat (kata di piring) dalam fungsi tersebut adalah kata
preposisional.
 peluru dari senapan otomatis (paragraf 5)  disebut klausa preposisional (kata
depan) karena fungsi predikat (kata dari senapan otomatis) dalam fungsi
tersebut adalah kata preposisional.
B. Unsur Retoris
1. Pemajasan
No. Jenis Pemajasan Jumlah Persentase

1. Personifikasi 1 buah 10%

2. Hiperbola 5 buah 50%


3. Simile 2 buah 20%

4. Metafora 1 buah 10%

5. Sinisme 1 buah 10%

Jumlah Keseluruhan 10 100%

a. Hiperbola
 Dan tidak ada yang lebih memahitkan mulut, memualkan perut, menyesakkan
jantung, ketika seseorang muncul dengan kertas dan pulpen, atau alat perekam, di
tengah jam makan siang, saat rahangmu sedang sibuk mengunyah, saat makanan di
piring memohon perhatian penuhmu, dan orang itu bertanya: "Menurut Anda, apa itu
cinta?" (Paragraf 1)
 Aku membenci kedua pertanyaan itu sepenuh hati sampai kudedikasikan seluruh
hidupku untuk mencari jawabnya (Paragraf 1)
Majas hiperbola sebagaimana pengertiannya, adalah majas yang membuat
sesuatu terkesan berlebihan. Maka tak heran majas ini membuat cerita menjadi
berlebihan. Namun, selain itu, hiperbola juga berfungsi sebagai pembanding.
Contohnya pada paragraf 1, kalau Dee tidak menggambarkan bagaimana mulut pahit,
perut mual, jantung sesak, atau piring yang memohon perhatian, maka pembaca tidak
akan tahu atau paham, betapa pertanyaan di kala jam makan siang itu adalah hal yang
sangat buruk. Hiperbola juga sangat efektif dalam menggambarkan perasaan tokoh.
b. Personifikasi
 rasa penasarannya terusik (Paragraf 8)
 Saat makanan di piring memohon perhatianmu (paragraf 1)
Personifikasi adalah majas yang memungkinkan benda mati dibuat seolah-
olah hidup. Majas personifikasi dalam cerpen ini membuat cerpen menjadi hidup.
Tampaknya hal ini menjadi strategi Dee untuk mensiasati jumlah tokoh yang hanya
dua, sehingga untuk melawan situasi sepi ini, dia menghidupkan benda-benda di
sekitarnya.
c. Metafora
 Ditandai air mata 'cinta' yang menghiasi pipi kami berdua serta aroma Tuhan yang
meruap segar dari kuku, wawancara siang itu usai (Paragraf 14)
Metafora berperan cukup penting untuk memunculkan variasi bahasa,
sehingga pembaca tidak bosan dengan kata-kata klise. Selain itu metafora juga
memberikan kesempatan kepada pembaca untuk berpikir tentang makna yang
sebenarnya diungkapkan oleh pengarang. Kejelian inilah yang dimanfaatkan Dee
untuk memperindah ceritanya.
d. Simile
 Dan aku teringat baris-baris panjang tentang cinta dan Tuhan yang pernah
dimuntahkan mulutku seperti peluru dari senapan otomatis (Paragraf 5)
Simile adalah majas pertautan yang membandingkan dua hal yang secara
hakiki berbeda, tetapi dianggap mengandung segi yang serupa, dinyatakan secara
eksplisit dengan kata seperti, bagai, dan laksana. Dalam cerpen ini, simile berfungsi
untuk memberikan kesan gamblang, misalnya baris panjang tentang cinta yang
diibaratkan dari senapan otomatis. Dari majas tersebut pembaca dapat
membayangkan betapa cepat dan bertubi-tubinya cinta dan Tuhan dibahas. Hal ini
sangat mendukung cerita, yang dari awal memang sudah disetting dengan
pendekatan filsafati.
e. Sinisme
 Demi sopan santun, aku tahankan garpu agar tak mencelat ke bola matanya, dan
kugenggam erat-erat piringku agar tak pecah jadi dua di atas batok kepala wartawan
itu (Paragraf 2)
Sinisme adalah gaya bahasa yang mengandung sindiran sangat tajam dan
tidak mengenal perikemanusiaan. Sebagaimana dicontohkan Dee, tentang garpu yang
mencelat ke bola mata, atau piring yang akan dipecahkan ke batok kepala. Seua itu
memberikan dampak psikologis yang kuat kepada pembaca. Dengan kata-kata yang
dipilih, Dee mampu memberikan gambaran perasaan yang sangat geram. Hal ini
sekaligus memperkuat ruh cerita.
2. Penyiasatan struktur
a. Repetisi
Dan aku teringat baris-baris panjang tentang cinta dan Tuhan yang pernah
dimuntahkan mulutku seperti peluru dari senapan otomatis -yang begitu hebat dan jenius
hingga menembusi hati orang-orang yang mendengarnya. Aku teringat buih dan busa di
sudut mulutku saat berdiskusi tentang cinta dan Tuhan- yang jika dikumpulkan
barangkali bisa merendam tubuhku sendiri. Aku teringat jerih payah, keringat, air mata,
pegal-pegal, kurang tidur, tak makan, tak minum, yang telah kutempuh demi mencari apa
itu cinta dan Tuhan. (Paragraf 6)
haru bahagia atau haru nelangsa (paragraf 14)
Kalau dalam lagu orang mengenal irama dan nada, maka dalam cerpen orang
mampu mendapatkan keindahan melalui diksi. Repetisi sebagai salah satu sarana untuk
membangun irama cerita, bagaimana Dee menggunakan kata baris-baris, orang-orang,
pegal-pegal, begitu juga dengan seringnya klausa tentang cinta dan Tuhan dimunculkan.
Cerita akan terasa hambar, kalau saja Dee tidak menggunakan pengulangan-pengulangan
tersebut.
b. Pararelisme
Dan tidak ada yang lebih memahitkan mulut, memualkan perut, menyesakkan jantung
(paragraf 2)
menyambar mangkok berisi acar, mencomot dua bawang merah utuh, dan
memberikan satu butir (paragraf 10)
Pengalaman, bukan penjelasan. Perjalanan, bukan tujuan. (paragraf 14)
Nurgiantoro (2010: 302) menyatakan pararelisme, di pihak lain, menyaran
pada penggunaan bagian-bagian kalimat yang mempunyai kesamaan struktur
gramatikal (dan menduduki fungsi yang sama pula) secara berurutan. Dengan
demikian, pararelisme, sebagaimana halnya repetisi, pada hakikatnya juga
merupakan suatu bentuk pegulangan, yaitu pengulangan struktur gramatikal,
pengulangan struktur bentuk.
Kalau kita membaca tulisan-tulisan di atas, maka kita data merasakan dengan
jelas, keindahan penggunaan pararelisme. Ada permainan bunyi yang menjadikan
kata-kata tersebut berima. Penggunaan awalan yang sama secara beruntun membuat
kalimat menjadi lebih indah
c. Alitrasi
Aku teringat buih dan busa (paragraf 6)
Wartawan itu terkesiap. Tak siap. (paragraf 9)
Berlinangan airmata, yang jatuh bukan karena duka atau suka (paragraf 14)
Tangan kita bau menyengat, mata kita perih seperti disengat (paragraf 14)
Hampir sama dengan pararelisme, alitrasi dapat terjadi karena persamaan
suku kata. Pengulangan atau persamaan ini menjadikan cerita terdengar lebih puitis.
Hal inilah yang memperindah cerpen. Penggunaan kata terkesiap dan tak siap tentu
lebih estetis dibandigkan penggunaan kata terkesiap dan ragu.
d. Polisindenton
Jemariku bergetar, menahan garpu, pisau, piring, gelas, dan benda-benda dalam
radiusku (paragraf 5)
Aku teringat jerih payah, keringat, air mata, pegal-pegal, kurang tidur, tak makan, tak
minum (paragraf 6)
Mereka lalu melahap semangkok acar bawang, bercinta, sambil terus bertanya-tanya
(paragraf 16)
Tak hanya pengulangan, tanda koma pun memberikan makna pada sebuah cerita.
Koma pada cerpen berfungsi sebagai penjeda seseorang dalam membaca, selain itu
koma juga menjadi semacam pengatur situasi. Koma juga memberikan kesan
klimaks pada sesuau yang disusun berdasarkan tingkatan. Polisindenton terkadang
membuat kalimat menjadi ringkas dan efisien, sebab seringkali subyek dalam kalimat
tersebut dilesapkan guna menghindari pengulangan-pengulangan yang mubadzir.
e. Asindenton
ketika seseorang muncul dengan kertas dan pulpen, atau alat perekam, di tengah jam
makan siang, saat rahangmu sedang sibuk mengunyah, saat makanan di piring
memohon perhatian penuhmu, dan orang itu bertanya (paragraf 2)
berbeda dengan polisindenton, asindenton lebih longgar tata kalimatnya. Gaya
bahasa ini sekalipun juga menggunakan tanda koma, namun masih ada sisipan-
sisipan sebagai kata penghubung. Baik polisindenton maupun asindenton mampu
menambah keindahan cerita.
3. Pencitraan
Jenis-jenis Pencitraan (imaji)
Citraan adalah gambaran – gambaran pikiran dan bahasa yang menggambarkan
angan itu. Pemilihan terhadap kata tertentu akan menimbulkan daya saran yang
menyebabkan daya bayang pembaca.
1. Citraan penglihatan, yaitu citraan yang timbul karena daya saran penglihatan.
2. Citraan pendengaran, yaitu berhubungan dengan usaha memancing bayangan
pendengaran guna membangkitkan suasana tertentu.
3. Citraan penciuman, yaitu melukiskan ide abstrak menjadi konkrit melalui suatu
rengsangan yang seolah – olah dapat ditangkap oleh indera penciuman.
4. Citraan rasaan, yaitu memilih kata untuk membangkitkan emosi pada sajak guna
menggiring daya bayang pembaca yang seolah olah dapat dirasakan oleh indera
pencecapan pembaca.
5. Citraan rabaan, yaitu berupa lukisan yang mampu menciptakan suatu daya saran
bahwa seolah-olah pembaca dapat tersentuh, bersentuhan, atau apapun yang
melibatkan efektivitas indera kulitnya.
6. Citraan gerak, yaitu bertujuan lebih menghidupkan gambaran dengan melukiskan
sesuatu yang diam itu seolah–olah bergerak.
Pencitraan dalam Cerpen “Semangkok Acar untuk Tuhan dan Cinta” antara lain
sebagai berikut:
 Citraan penglihatan
ketika seseorang muncul dengan kertas dan pulpen
aku teringat baris-baris panjang
matanya berbinar antusias
 Citraan pendengaran
Sambil terisak,
kugenggam erat-erat piringku agar tak pecah,
seperti peluru dari senapan otomatis
 Citraan penciuman
bau menyengat,
serta aroma Tuhan yang meruap segar dari kuku,
 Citraan pencecapan
Dan tidak ada yang lebih memahitkan mulut,
 Citraan taktil (oleh indra peraba)
edisi khusus yang membahas 10+1 cara bercinta paling panas dan peta terbaru
menuju spot-spot orgasmik,
mengupasi bawang dengan kuku,
 Citraan gerak
saat rahangmu sedang sibuk mengunyah,
jemariku bergetar,
ia mengangguk setuju.
Citraan-citraan di atas, sebenarnya memiliki fungsi yang hampir sama,
memperkuat cerita melalui imaji-imaji yang diverbalkan. Sehingga, pembaca dapat
seolah-olah melihat, mendengar, meraba, merasakan, mencium, dll. Dalam cerpen
ini, Dee sudah secara pas menempatkan citraan-citraan, sehingga citraan tersebut
secara tidak lagsung dapat mendukung unsur yang lain.

D. Unsur Kohesi
Tabel Unsur Kohesi
No. Jenis Kohesi Jumlah Frekuensi

1. Konjungsi 62 buah 56,88%

2. Klitika 32 buah 29,36%

3. Preposisi 8 buah 7,34%

4. Referen 7 buah 6,42%

Jumlah Keseluruhan 109 buah 100%

1. Konjungsi
Contoh dari konjungsi yang ada dalam cerpen ini yaitu,
a. Aku membenci kedua pertanyaan itu sepenuh hati sampai kudedikasikan seluruh
hidupku untuk mencari jawabnya, agar kedua pertanyaan itu berhenti
menghantui.(Paragraf 1)
b. Tanpa terburu-buru, kuselesaikan kunyahan, lalu minum air seteguk.(Paragraf 6)
Konjungsi adalah kata atau penghubung antar kata, frasa, klausa, kalimat, atau
bahkan paragraf. Dalam cerpen “Semangkok Acar untuk Tuhan dan Cinta” klausa
yang ditemukan mayoritas berfungsi untuk menunjukkan hubungan kausalitas.
Artinya, De bermain-main dengan logika, yang mana sesuatu terjadi karena ada
sebabnya. Peristiwa satu adalah rangkaian dari peristiwa yang lain. Penggunaan
konjungsi sukses membuat cerpen ini menjadi sebuah cerpen yang utuh.
2. Preposisi
Contoh dari preposisi yang terdapat dalam cerpen ini yaitu,
a. atau alat perekam, di tengah jam makan siang, (Paragraf 1)
b. Demi sopan santun, aku tahankan garpu agar tak mencelat ke bola matanya
(Paragraf 2)
3. Klitika
Contoh dari klitika yang terdapat dalam cerpen ini yaitu,
a. di tengah jam makan siang, saat rahangmu sedang sibuk mengunyah, (Paragraf 1)
b. Jemariku bergetar, menahan garpu, pisau, piring, gelas,(Paragraf 4)
Klitika dalam cerpen ini mayoritas berfungsi untuk menunjukkan identitas
kepemilikan. Selain itu juga menunjukkan penegasan, mana yang menjadi bagian
tokoh aku dan mana yang menjadi bagian tokoh wartawan. Dengan penggunaan
klitika kita juga dapat melihat posisi tokoh. Dengan mu dan ku, kita dapat
menyimpulkan bahwa mereka hanya berdua, tokoh aku memiliki kekuasaan untuk
tidak menghormati mitra tuturnya secara berlebihan. Sebab, jika kedudukan mitra
tutur lebih tinggi, tentu Dee akan menggunakan pilihan kata Anda.
4. Referen
Contoh dari referen yang terdapat dalam cerpen ini yaitu,
a. dan orang itu, (Paragraf 1)  referen eksofora
b. Dan aku teringat baris-baris panjang tentang cinta dan Tuhan yang pernah
dimuntahkan mulutku seperti peluru dari senapan otomatis (simile) -yang begitu
hebat dan jenius hingga menembusi hati orang-orang yang mendengarnya
(Paragraf 5)  referen endofora
Referen adalah bagian dari semantik wacana yang cukup ampuh dalam
menyiasati kemonotonan dalam penyebutan tokoh. Dewi Lestari dalam cerpen ini
berhasil mempergunakan referen secara tepat.
BAB IV
PENUTUP DAN KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang sudah dilakukan pada cerpen “Semangkuk Acar untuk
Tuhan dan Cinta” karya Dewi Lestari, maka dapat disimpulkan, bahwa unsur leksikal,
gramatikal, retorika, maupun kohesi mendukung estitika dalam cerita. Selain itu pilihan kata,
pilihan kalimat, penyiasatan struktur, penggunaan majas, tidak hanya sekedar pemenuhan unsur
kebahasaan saja, melainkan juga memili fungsi masing-masing, yang apa bila ditelisik lebih
jauh, bahasa yang digunakan mampu membuat cerita menjadi lebih menarik. Terkait dengan
gaya, Dewi Lestari cukup pandai memadukan penggunaan kata-kata konotatif dan denotatif, dia
juga pandai dalam memadukan antara kalimat sederhana dan kompleks, kalimat lugas dan
kalimat bermajas, sehingga secara keseluruhan unsur-unsur kebahasaan tersebut mampu
mendukung alur, karakter, situasi, dan iklim yang hendak dibangun dalam cerita.
DAFTAR PUSTAKA

Khusnin, Mukhamad. 2012. “Gaya Bahasa Novel Ayat-Ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy dan
Implementasinya Terhadap Pengajaran Sastra di SMA”. Seloka. Volume 1, No.1, Juni.

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Gajah Mada University Press: Yogyakarta.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1999. “Penelitian Stilistika Genetik: Kasus Gaya Bahasa W. S. Rendra dalam
Balada Orang-Orang Tercinta dan Blues Untuk Bonnie”. Humaniora. No. 12, September-
Desember.

Rinaldi, Rio, dkk. 2012. “Gaya Bahasa Lirik Lagu Band Betrayer Album The Best Of”. Jurnal
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Vol. 1, No. 1, September.

Sugiarti. 2010. “Kajian Stilistika Novel Nayla Karya Djenar Mahesa Ayu dan Petir Karya Dewi
Lestari”. Jurnal Artikulasi. Vol. 9, No.1, Februari.

Wulandari, Rini Susanti. 2009. Gaya Bahasa dalam Cerpen “Warga Kota Kacang Goreng” Karya Adek
Alwi. Lingua. Vol. 2, Juli.

Anda mungkin juga menyukai