Anda di halaman 1dari 26

KESEHATAN MATRA

KESEHATAN MASYARAKAT WILAYAH PESISIR

Disusun Oleh:
Nama Kelompok:
1. Nur Khalimatus Sa’dikyah (2120007)
2. Dwi Ema Trisnawati (2120019)
3. Irwan Saputra (2120037)

PRODI D3 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SIRABAYA
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadiran Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih
terhadap bantuan dari pihak yang terlah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik tenaga dan pikirannya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan saya berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi saya sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya. Untuk
itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
KESEHATAN MASYARAKAT WILAYAH PESISIR

PENDAHULUAN
Kesehatan Masyarakat pesisir adalah upaya meningkatkan dan konservasi Kesehatan
masyarakat yang bermukim di daerah pesisir , kepulauan dan pantai dengan berorientasi pada
kehidupan nelayan , kehidupan pekerja di wilayah pesisir dengan pendekatan kearipan local.

Wilayah pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut.Perairan
pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan yang meliputi perairan sejauh 12 mil laut
diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk,
perairan dangkal, rawa payau dan laguna, sedangkan pantai adalah sebuah bentuk geografis yang
terdiri dari pasir dan terdapat di daerah pesisir laut.Beberapa aspek kesehatan yang menjadi
masalah diwilayah pesisir adalah kesehatan lingkungan, kesehatan bayi dan balita serta
kesehatan maternitas dan KB. Kesehatan lingkungan diantaranya meliputi perumahan, sumber
air, sampah, pembuangan tinja dan air limbah. Kesehatan bayi dan balita meliputi status gizi dan
imunisasi, serta kesehatan maternitas dan KB.

Sekitar 16,42 juta jiwa penduduk Indonesia merupakan masyarakat yang hidup di
kawasan pesisir. Mereka bertempat tinggal di 8.090 desa pesisir yang tersebar di seluruh wilayah
negeri. Masyarakat pesisir, termasuk nelayan, memiliki risiko Kesehatan yang tinggi sehingga
perlu diberikan perhatian khusus dalam upaya pembangunan kesehatan. Sayangnya, kondisi
pelayanan kesehatan masyarakat nelayan, kihususnya yang berada di pulau-pulau kecil di
Indonesia Timur justru terbilang memprihatinkan.

Masalah kesehatan utama di daerah itu adalah kurangnya perilaku hidup bersih sehat
masyarakat. Selain itu, mayoritas masyarakat membangun rumah di atas laut sehingga tidak
memiliki septic tank dan limbah langsung dibuang ke laut. Gangguan kesehatan yang banyak
dialami oleh masyarakat kepualauan antara laun nyeri sendi, gangguan pendengaran rungan
hingga tuli kasus baritrauma, dan penyakit dekompresi yang biasa menyerang penyelam.

Barotrauma adalah kerusakan jaringan tubuh karena perbedaan tekanan tubuh dan air.
sedangkan dekompresi didefinisikan sebagai suatu keadaan medis dan terjadi ketika akumulasi
nitrogen yang terlarut setelah menyelam membentuk gelembung udara yang menyumbat aliran
darah serta sistem syaraf. Risiko kesehatan selalu mengikuti setiap gerak nelayan dalam upaya
memenuhi kebutuhan hidupnya. Saat melakukan penyelaman seringkali terjadi kecelakaan. Tak
jarang, para nelayan tidak segera mendapat pertolongan bisa mengalami kelumpuhan, bahkan
kematian. Masalah kesehatan lain adalah bahwa penyakit yang kerap diderita nelayan antara lain
kurang gizi, kelainan kulit akibat paparan sinar matahari (hyperpigmentasi) baik di muka
maupun di tangan, gangguan pendengaran akibat kebisingan yang ditimbulkan mesin tempel
perahu, serta kelainan mata.

Masalah kesehatan ini bukan hanya datang dari kurangya kepedulian masyarakat tentang
kesehatan, melainkan juga kondisi geografis yang membuat beberapa pulau yang masuk dalam
kecamatan tersebut memiliki keterbatasan akses air bersih. Misalnya saja Pulau Penawar Rindu
Batam yang selalu kesulitan air meskipun bukan masuk musim kemarau. Para penduduknya
menampung air hujan untuk memenuhi kebutuhan air. Padahal, penampungan air hujan rentan
menjadi sarang nyamuk. Tak heran, kasus demam berdarah dan malaria masih muncul. Air
sangat berharga dan sulit di dapat pada akhirnya jga membuat sanitasi masyarakat buruk dan
menimbulkan masalah kesehatan. Apalagi ditambah dengan perilaku kurangnya hidup bersih dan
sehat, seperti kebiasaan buang air besar dan buang sampah yang sembarangan.

Selain itu, persoalan narkoba di daerah ini juga perlu disoroti. Narkoba dan perhaulan
bebas rentan memengaruhi anak-anak muda di daerah tersebut karena berbatasan langsung
dengan negara luar, Singapura. Oleh karena itu, petugas kesehatan rutin memberi pengarahan ke
sekolah-sekolah, juga ke anak-anak yang putus sekolah. Masalah umum lainnya, seperti
kebiasaan makan yang menyumbang penyakit tidak menular yang terjadi pada masyarakat, dan
anak dengan gizi kurang.

Solusi permasalahan kesehatan di daerah kepulauan pada dasarnya sesuai dengan


pembangunan kesehatan, yaitu; untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang agare terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
MAKSUD DAN TUJUAN

Untuk mewujudkan derajat kesehatan bagi masyarakat diselenggarakan upaya kesehatan


dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit
(preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang
dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.

Salah satu unit pelaksana teknis terdepan di jajaran kesehatan yang keberadaannya
hampir merata di setiap wilayah dan relatif dekat sasaran program pembangunan kesehatan
adalah puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat). Sebagai ujung tombak fasilitator kesehatan,
puskesmas menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar secara terintegrasi dengan fungsi
sebagai pusat pelayanan kesehatan dan sebagai pusat penggerak peran serta masyarakat dalam
pembangunan kesehatan. Untuk itu, sebagai unit pelaksana teknis terdepan puskesmas dan
jaringannya harus didukung dengan sumberdaya yang memadai.

Kegiatan daerah terpencil bertujuan untuk meningkatkan jangkauan pelayanan Kesehatan


puskesmas melalui pengembangan inovasi pelayanan kesehatan puskesmas sesuai keadaan dan
kebutuhan masyarakat, meningkatkan dukungan sumberdaya upaya kesehatan puskesmas di
daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan. Dengan terlaksananaya pelayanan kesehatan di
daerah terpencil diharapkan dapat meningkatkan hasil kinerja program seperti meningkatkan
cakupan penyuluhan kesehatan masyarakat, meningkatkan presentase desa yang mencapai UCI,
meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan dan gizi ibu dan anak, menurunkan angka kematian
ibu dan kematian balita.

Sanitasi Lingkungan Pesisir

Menurut WHO, sanitasi lingkungan (environmental sanitation) adalah upaya pengendalian


semua faktor lingkungan fisik manusia yang mungkin menimbulkan atau dapat menimbulkan
hal-hal yang merugikan bagi perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia.
Secara spesifik tujuan penyelenggaraan sanitasi menurut Depkes (1999),adalah:

1.      Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat (pasien, klien dan masyarakat


sekitarnya) akan pentingnya lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat.
2.      Agar masyarakat mampu memecahkan masalah kesehatan yang berhubungan dengan
kesehatan lingkungan.

3.      Agar tercipta keterpaduan antar program kesehatan dan antar sektor terkait yang
dilaksanakan dengan pendekatan penanganan secara holistik terhadap penyakit yang berbasis
lingkungan.

4.      Meningkatkan kewaspadaan dini terhadap penyakit yang berbasis lingkungan melalui


pemantauan wilayah setempat (PWS) secara terpadu.

Manajemen lingkungan adalah kegiatan komprehensif, mencakup pelaksanaan kegiatan,


pengamatan untuk mencegah pencemaran air, tanah, udara dan konservasi habitat dan
keanekaragaman hayati. manajemen lingkungan juga mengandung arti Suatu konsep pendekatan
keseimbangan dengan melakukan  manajemen sumber daya alam untuk pemenuhan kepentingan
politis, sosial ekonomi sesuai dengan ketersediaan lingkungan alami dan menitik beratkan pada
nilai, distribusi, hukum alam dan kesimbangan antar generasi.

Asas manajemen harus diterapkan supaya setiap komponen sistem dapat berfungsi secara baik,
diantaranya:

1.      Perencanaan (Planning), yaitu Perencanaan pengelolaan lingkungan dikelompokkan dalam


perencanaan jangka pendek bersifat tahunan, meliputi perencanaan untuk operasional
pengelolaan lingkungan terutama pendekatan teknis. Perencanaan jangka menengah berjangka 3-
5 tahun meliputi perencanaan untuk pengelolaan lingkungan. Perencanaan jangka panjang
berjangka lebih dari 5 tahun, terdiri dari perencanaan pengembangan pengelolaan lingkungan
dalam ekosistem yang lebih luas.

2.      Pengaturan (Organizing) Pengaturan adalah upaya untuk menyusun pengelolaan terhadap


sistem operasional dari setiap komponen sistem dan hubungan antar sistem. Hubungan tersebut
dalam organisasi internal maupun pada pihak lain di luar organisasi pengelola. Pengaturan ini
mencakup aspek administratif dan sumber daya manusia, aspek teknis operasional dan aspek
keuangan.

3.      Pelaksanaan (Actuating)merupakan realisasi dari seluruh rencana, sehingga kegiatan


pengelolaan lingkungan dapat berjalan secara optimal. Seluruh unit kerja didukung oleh
profesionalisme baik mekanisme maupun sumber daya manusia yang ditempatkan. Dalam
konteks profesionalisme juga dituntut pemberian imbalan yang sepadan dengan tingkat
profesionalisme yang dimiliki.

4.      Monitoring atau kontrol (controlling) merupakan satu mekanisme sistem untuk mengetahui
kinerja dari masing-masing unit sistem yang ada dan pola penanganan bila terjadi penurunan
kinerja. Dengan sistem kontrol akan dapat diketahui sinkronisasi antara perencanaan,
pengelolaan dan pelaksanaan.

Pencemaran di Kawasan Pesisir

Beberapa jenis bahan pencemar yang sering menyebabkan terjadinya pencemaran di


lautyaitu limbah domestik dan pertanian. Macam - macam limbah cair terdiri dari: rumah
tangga(domestik), industri dan pertanian.

1.              Air limbah domestik

Sumber domestik terdiri dari air limbah yang berasal dari perumahan dan pusat
perdaganganmaupun perkantoran, hotel, rumah sakit, tempat rekreasi, dll. Limbah jenis ini
sangatmempengaruhi tingkat kekeruhan, BOD (biological oxygen demand), COD (chemical
oxygen demand) dan kandungan organik sistem pasokan air. Metoda dasar penanganan limbah
domestik  pada dasarnya terdiri dari tiga tahap:

a.               Pengolahan dasar (primary treatment), yang meliputi pembersihan grit,


penyaringan, penggilingan dan sedimentasi.

b.              Pengolahan kedua (secondary treatment) menyertakan proses oksidasi larutan materi


organik melalui media lumpur yang secara biologis aktif, dan kemudian disaring.

c.               Penanganan tersier, di mana metode biologis canggih diterapkan untuk


menghilangkannitrogen, di samping metode kimia maupun fisika seperti penyaringan granular
dan absorbsikarbon. 
2.      Limbah Industri

Sifat-sifat air limbah industri relatif bervariasi tergantung dari sumbernya. Limbah jenis
ini bukansaja mempengaruhi tingkat kekeruhan, BOD, COO maupun kandungan organiknya,
tetapi jugamengubah struktur kimia air akibat masuknya zat-zat anorganik yang mencemari.
Penangananlimbah ini dilakukan dengan cara memasang instalasi pengolahan air limbah (IPAL)
sebelumdibuang ke lingkungan atau badan air, dan penanganan sistem pembuangan limbah
domestik itusendiri. Terdapat beberapa pilihan dalam mengendalikan air limbah industri yaitu:
Pengendaliansecara end of pipe, yaitu pada titik pembuangan dari sumbernya pabrik),
Penanganan pada proses produksi (penerapan produksi bersih).

3.      Air limbah pertanian

Berasal dari sedimen akibat erosi lahan, unsur kimia limbah hewan atau pupuk
(umumnya fosfor dan nitrogen), dan unsur kimia dari pestisida. Unsur pencemar ini meliputi
balk sedimen darierosi lahan tanaman perkebunan maupun larutan fosfor dan nitrogen yang
dihasilkan oleh limbahhewani serta pupuk, pengendalian dapat dilakukan dengan membuat
penampungan di sampingmelakukan penanganan baik dalam kolam terbuka maupun tertutup,
dan sistem pemupukan dan pemberantasan hama/penyakit dengan komposisi yang tepat.

Salah satu bahan pencemaran laut yang utama adalah kebocoran tanker
minyak (tumpahan minyak). Tumpahan minyak baik dari proses di kapal, pengeboran lepas
pantaimaupun akibat kecelakaan kapal. Polusi dari tumpahan minyak di laut merupakan
sumber  pencemaran laut yang selalu menjadi fokus perhatian dari masyarakat luas, karena
akibatnya akansangat cepat dirasakan oleh masyarakat sekitar pantai dan sangat signifikan
merusak makhluk hidup di sekitar pantai tersebut.

Dampak yang ditimbulkan oleh minyak tersebut sangat berbahaya bagi biota laut baik
di jangka pendek maupun jangka panjang. Jangka Pendek, masuknya molekul-molekul
hidrokarbonminyak ke dalam sel. Berbagai jenis udang dan ikan akan beraroma dan berbau
minyak. Minyak dapat menyebabkan kematian pada ikan karena kekurangan oksigen, keracunan
karbondioksidan dan keracunan bahan berbahaya lainnya. Jangka Panjang, terutama bagi biota
laut yang masihmuda. Minyak dalam laut dapat termakan oleh biota-biota tersebut. Sebagian
senyawa minyak dapat terakumulasi dalam senyawa lemak dan protein.

Penyebab utama pencemaran wilayah pesisir adalah:

1.      Masih rendahnya kepedulian industri sepanjang DAS dan pesisir terhadap


sistem pengolahan limbah cair yang masuk ke perairan umum

2.      Kurang ketatnya pengawasan limbah oleh instansi terkait

3.      Belum jelasnya penerapan sanksi terhadap industri yang melanggar isi dokumen Amdaldan
peraturan perundangan yang berlaku (PP 27/99 tentang Amdal dan UU 23/97
tentangPengelolaan Lingkungan Hidup)

4.      Rendahnya kepedulian masyarakat pesisir terhadap pengelolaan sampah dan


kebersihanlingkungan sekitarnya serta pola bangunan yang membelakangi pantai

5.      Penangkapan ikan dengan bahan kimia

6.      Sampah dan kegiatan pariwisata massal

7.      Buangan minyak kotor dari kapal ikan, nelayan, dan sebagainya.

Dampak Pencemaran Terhadap Lingkungan dan Kesehatan


Pencemaran laut merupakan salah satu bentuk tekanan terhadap lingkungan laut
maupunsumber daya yang didalamnya dapat menyebabkan kerugian bagi sistem alami
(ekosistem)maupun bagi manusia yang merupakan bagian dari sistem alami tersebut. Dengan
kata lain, pencemaran laut tidak hanya merusak habitat organisme laut serta proses biologi dan
fisiologinyasaja, tapi secara tidak langsung dapat membahayakan kesehatan dan kehidupan
manusia, karenaterakumulasi oleh bahan-bahan pencemar melalui konsumsi bahan pangan laut
yang telahterakumulasi sebelumnya. Padahal selain sebagai sumber bahan pangan, laut juga
mengandung berbagai jenis sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
hidup danmeningkatkan kesejahteraan manusia.
Laut yang tercemar oleh tumpahan minyak, memberikan dampak negatif ke berbagaiorganisme
laut, sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem di laut, yang pada akhirnya akanmerugikan
kehidupan manusia. Beberapa dampak ekologis akibat dari tumpahan minyak adalahsebagai
berikut (Laode M. Kamaluddin, 2002):

1.              Lapisan tumpahan minyak mempengaruhi tingkat intensitas fotosintesis


fitoplanktonyang dapat menurunkan atau memusnahkan populasi fitoplankton. Kondisi ini
merupakan bencana besar bagi kehidupan di perairan karena fitoplankton merupakan dasar
bagisemua kehidupan perairan.

2.              Pencemaran air laut dari tumpahan minyak berdampak pada beberapa jenis burung
laut,karena tumpahan minyak tersebut menyebabkan degradasi lemak dalam hati,
kerusakansaraf, pembesaran limpa, radang paru dan ginjal pada burung-burung tersebut. Salah
satucontoh kasus seperti ini pernah terjadi di perairan lepas pantai Inggris pada tahun 1967 akibat
kecelakaan kapal tanker Torrey Canyon.Kejadian ini mengakibatkan kuranglebih 100.000
burung telah terbunuh.

3.              Tumpahan minyak dapat mengganggu keseimbangan berbagai organisme aquatik


pantai,seperti berbagai jenis ikan, terumbu karang, hutan mangrove dan rusaknya pantai
wisata.Hutan mangrove yang hidup disepanjang pantai beradaptasi di dalam air laut dengan
caradesalinasi melalui proses ultra-filtrasi. Akar mangrove, yang tumbuh di dalam
lumpur, berfungsi untuk menyerap oksigen melalui suatu jaringan aerasi yang kontak
denganudara, yang disebut dengan breathing roots. Jika pantai tercemar minyak, lumpur
akantertutup oleh deposit minyak yang dapat merusak sistem akar mangrove, sehingga
difusioksigen dari udara ke dalam jaringan aerasi terhambat.

4.              Tumpahan minyak menghambat atau mengurangi transmisi cahaya matahari ke dalam


air laut, yang disebabkan karena absorpsi minyak bumi (cahaya matahari diserap olehtumpahan
minyak) atau cahaya dipantulkan kembali oleh minyak ke udara. Semakintebal lapisan minyak
maka pelarutan oksigen dari udara semakin terganggu dan akanmerugikan biota-biota laut.

5.              Jika tumpahan minyak tersebut tidak mematikan sumber daya laut, maka
pencemarantersebut menurunkan kualitasnya. Hal ini berhubungan dengan kemampuan hewan-
hewan laut untuk mengakumulasi minyak di dalam tubuhnya. Akumulasi ini seringmenyebabkan
daging ikan berbau minyak, sehingga merugikan para nelayan karena tidak dapat menjual ikan
tangkapan mereka.

6.              Untuk bidang pariwisata, polutan minyak di perairan mengurangi minat


wisatawan,karena keindahan laut tertutup oleh lapisan minyak.

Pencemaran laut berdampak bagi terumbu karang. Indonesia memiliki 10%


terumbukarang dunia. Terumbu karang bermanfaat sebagai penyangga daerah pantai. terumbu
karang juga dimanfaatkan sebagai bahan bangunan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar
pantai. Selain itu, terumbu karang juga berfungsi sebagai kawasan wisata, bahan baku kosmetik
dan obat-obatan.

Bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat terutama para nelayan, pencemaran laut
sangat berdampak negatif. Hal ini dikarenakan hasil laut seperti ikan, udang, kerang
hijau,dllsemakin menurun. Penurunan hasil laut ini diakibatkan oleh maraknya pembuangan
limbah kelaut.Selain pencemaran minyak, di laut juga kadang terjadi pencemaran oleh limbah
industryyang mengandung bahan-bahan kimia berbahaya. Salah satunya berupa logam berar
seperticadmium, timah dan mercury. Selain itu kandungan limbah yang tinggi akan besi dan
tembaga juga berbahaya karena dapat menjadi racun dalam tubuh ikan bila kadarnya berlebih
dari jumlahyang dibutuhkan untuk metabolism tubuh.

Pencemaran secara serius dapat disebabkan oleh adanya buangan cadmium atau air
raksasecara berlebih di laut. Pencemaran seperti ini telah terjadi di Teluk Minamata Jepang pada
tahun1953-1960 dimana kurang lebih 100 orang menjadi korban. Dari korban ini ada yang
meninggaldan ada yang mengalami cacat seumur hidup . mereka kebanyakan keracunan karena
memakankerang yang telah tercemar oleh hasil buangan dari pabrik. Kasus kedua di Jepang
terjadi padatahun 1965 di dekat mulut sungai Agano yang disebabkan peningkatan pemakaian
cadmiumsehingga masyarakat disekitar sungai Jinstu banyak yang mengalami penyakit itai-itai
akibat mengkonsumsi hasil perikanan laut seperti cumi-cumi yang telah tercemar.

Logam-logam berat ini masuk kedalam tubuh hewan dan umumnya tidak dikeluarkanlagi
dari tubuh sehingga logam-logam ini bertumpuk dan terakumulasi dalam tubuh he wan
ini.Sebagai akibatnya logam-logam ini akan terus ada disepanjang rantai makanan. Hal
inidisebabkan oleh karena predator pada satu tropi level makan mansa mereka dari tropic kevel
yanglebih rendah yang telah tercemar. Dari sini terlihat bahwa kandungan konsentrasi logam
berat   terdapat lebih tinggi pada tubuh hewan yang letaknya lebih tinggi di dalam tropic level
ataudikenal dengan istilah bioakumuasi. Jika hewan laut yang tercemar ini dikonsumsi maka
dapamenyebabkan keracunan logam berat pada manusia.Selain itu dilaut juga dapat terjadi
pencemaran yang disebabkan oleh pestisida. Pestisidaini sengaja ditebar dalam suatu lingkungan
dengan tujuan untuk mengontrol hamatanaman atauorganisme lain yang tidak diinginkan. Bila
zat ini dipakai secara teru-menerus maka zat ini akantertumpuk. Pada saat hujan turun zat ini
dapat masuk kebadan air dan masuk ke sungaikemudian akhirnya sampai kelaut.Salah satu
penelitian menemukan salah satu bahan kimia dari pestisida yaitu Organochloride yang
ditemukan dalam tubuh ikan dan udang dan bahan ini akan terus menumpuk dalam tubuh hewan
sampai mencapai kadar berbahaya bagi kesehatan bila dikonsumsi.

Permasalahan Kesehatan Nelayan

Berdasarkan data BPS (2014), jumlah penduduk Indonesia sekitar 237,64 juta jiwa dan
terdapat 12.827 desa yang terletak di wilayah tepi pantai dengan jumlah nelayan tangkap
mencapai 2,2 juta jiwa (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2013). Dari jumlah itu, lebih dari
95% adalah nelayan tradisional yang tinggal di pedesaan,

Banyak desa nelayan yang jauh dari puskesmas sehingga masyarakat sulit mendapatkan
akses layanan kesehatan dasar. Selain itu tidak semua puskesmas memiliki tenaga kesehatan
yang mengetahui tentang pelayan penyakit akibat kerja ataupun kecelakaan kerja yang dialami
oleh nelayan.

Beberapa data Kementrian Kesehatan tahun 2011 dan 2012 di 8 kabupaten lokasi Pusat
Pendaratan Ikan (PPI) menunjukkan bahwa gangguan dan permasalahan kesehatan pada nelayan
seperti gangguan pada mata, kulit, otot/muculoskeletal, pencernaan, kecacingan, masalah gizi,
kecelakaan, tenggelam, dan juga terdapat kebiasaan buruk seperti miras, merokok, dan tidak
menjaga kebersihan.

Bahkan data yang diperoleh di wilayah kerja Puskesmas Barrang Lompo selama tahun
2000-2006 serta tahun 2010-2013 telah terjadi 100 kasus kelumpuhan akibat penyelaman dan 48
kasus kematian pada 355 orang pencari teripang di Pulau Barranglompo.
Berdasarkan data Riskesdas 2013, penyakit menular tertinggi yang diderita nelayan
adalah ISPA, malaria dan pneumonia, sedangkan penyakit tidak menular tertinggi adalah
hipertensi, sakit sendi, gangguanemosi, diabetes melitus (DM), stroke dan penyakit jantung
kronis (PJK).

Nelayan bekerja dalam lingkungan yang tidak sehat dan tidak aman. Apalagi, sebagian
besar nelayan berpendidikan rendah, pengetahuan tentang keselamatan dan kesehatan kerja yang
masih minim.

Selain itu, kondisi para nelayan tidak dapat terlepas dari anggota keluarga, seperti istri
dan anak, berbagai permasalahan kesehatan dihadapi, di antaranya masalah gizi, keterbatasan
akses pelayanan kesehatan ibu dan anak, termasuk pelayanan keluarga berencana, masalah
penyakit menular dan tidak menular, dan rendahnya kualitas kesehatan lingkungan dan sanitasi.

Pelayanan Kesehatan pada Nelayan

Dalam mewujud kan peningkatan kualitas hidup nelayan yang merupakan kelompok
rentan maka diperlukan upaya pelayanan kesehatan kerja yang maksimal yang terintegrasi pada
nelayan dan keluarganya. Penyelenggaraan upaya kesehatan pada nelayan meliputi pengendalian
dan penanggulangan penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja, penyakit menular, penyakit
tidak menular, penanggulangan masalah gizi, penyehatan lingkungan, dan promosi kesehatan.

Kemudian juga pemberdayaan masyarakat nelayan dan rujukan pelayanan kesehatan.


Pemberdayaan nelayan dapat dilakukan dengan pembentukan pos Upaya Kesehatan Kerja
(UKK) di daerah Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI)/Tempat Pelelangan lkan(TPI).
MASALAH KESEHATAN MASYARAKAT PESISIR

Ada banyak hal yang diduga menjadi penyebab tingginya masalah kesehatan MASYARAKAT
PESISIR . dapat dikeelompokkan dalam 3 kelompok yaitu lingkungan, perilaku dan sosial
yang disebut sebagai

determinan kesehatan.

1. Determinan lingkungan

Hygienes dan Sanitasi lingkungan masyarakat pesisir yang kurang

Sebaran penyakit endemis :

Malaria

Leprosy

TB

DHF

Diarrhea
Hasil observasi awal dari pesisir pantai kota terlihat potret status kesehatan lingkungan
(sanitasi dasar) yang rendah seperti keadaan rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan,
kepadatan rumah yang tinggi, air bersih yang minim, jamban yang langsung ke daerah
pantai/sungai, dan lainnya (Gambar 2).

Gambar 2. Keadaan sebagian rumah penduduk yang ada di daerah pesisir yang berlantai tanah,
tanpa plafon dan pekarangan yang tidak bersih

Gambar 3. Salah satu jamban yang digunakan warga yang tidak tertutup rapat dan digunakan

bersama
Penelitian yang dilakukan oleh Sumampouw (2008) tentang tingkat pencemaran
bakteri indicator polusi di pesisir pantai kota Manado menunjukkan bahwa tingkat distribusi
terendah Koliform diperoleh di Mega Mall (80 MPN/100 ml) dan tertinggi ditemukan di
Malalayang II (4,7 x 103 MPN/100 ml). Sementara itu, Total E. coli terendah yaitu 10
MPN/100 ml di Mega Mall dan Malalayang III dan nilai tertinggi 80 MPN/100ml ditemukan di
Sungai Tondano. Maunsada (2010) menemukan bahwa kandungan E. coli pada air sumur gali
yang digunakan oleh masyarakat di Kelurahan Tuminting melebihi standar baku mutu air
bersih sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990
dan air minum sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
907/MENKES/SK/VII/2002. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara jarak sumur dengan septik tank dan konstruksi sumur gali dengan
kandungan E. coli. Menurut Sumampouw dan Risjani (2014), bakteri merupakan salah satu
indicator terjadinya pencemaran lingkungan. Lasut et al (2005) menemukan bahwa kualitas
air sungai di kota Manado telah tercemar yang disebabkan oleh adanya pembuangan air
limbah yang bersumber dari perumahan kota dan dari daerah pertanian Kabupaten Minahasa.
Hal ini menunjukkan bahwa ketiadaan pengolahan air limbah rumah tangga yang ada di kota
Manado sehingga air limbah harus dibuang ke sungai.

Hasil pengamatan di lapang terlihat bahwa adanya pembuangan air limbah rumah tangga
ke sungai-sungai dan saluran air kota Manado. Hal ini menyebabkan tercemarnya air sungai dan
air laut di daerah pesisir kota Manado, sehingga diduga menyebabkan gangguan lingkungan
seperti mengganggu jarring makanan pada ekosistem sungai dan pesisir. Tingkat kepadatan
penduduk yang tinggi. Hal ini menyebabkan daya dukung lingkungan terhadap kehidupan
masyarakat menjadi berkurang, seperti ketersediaan air bersih, udara berkualitas, dan lainnya.
Padatnya penduduk juga menyebabkan penularan penyakit berbasis lingkungan lebih cepat dan
luas. Tercemarnya lingkungan pesisir dengan limbah rumah tangga. Hal ini bisa terjadi karena
berdasarkan hasil observasi awal, terlihat banyaknya limbah rumah tangga seperti sisa air
cucian, kotoran hewan, kotoran manusia dan lainnya di air sungai, tanah, perairan pesisir dan
daerah perumahan. Beberapa bakteri yang bisa menjadi indikator pencemaran yaitu kelompok
bakteri Koliform.

Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan seperti
penelitian dari Tilaar (2008) yang menemukan bahwa tingginya jumlah E. coli memiliki korelasi
dengan buangan tinja

Gambar 3. Kepadatan pemukiman yang tinggi sehingga jarak antara rumah tidak ada. Selain itu,
ditemukan air sisa cucian yang dibuang begitu saja ke tanah

Gambar 3. Keadaan pemukiman yang berada di muara sungai yang sebagian besar saluran
pembuangan untuk limbah rumah tangga, sampah dan jamban menuju ke sungai manusia dan
hewan yang ada pada sumber air (dalam hal ini air sungai Ranoyapo).

E. coli merupakan bakteri yang memiliki habitat pada saluran usus manusia dan hewan,
dan bakteri ini dapat menyebabkan penyakit yang dikenal dengan traveler’s diarrhea. Dengan
demikian pada kebanyakan kasus keracunan, bakteri ini sering memberikan masalah bagi para
pelancong yang singga di tempat tersebut. Selanjutnya, kandungan E. coli memiliki kaitan erat
dengan kandungan koliform. Daerah yang memilki jumlah koliform tertinggi cenderung
menunjukkan peningkatan E. coli. Hasil yang diperoleh memiliki kecenderungan yang sama
seperti dilaporkan oleh Ijong (2004) tentang monitoring koliform dan E. coli di perairan pantai
Bunaken.

Athena et al (2004) yang melakukan penelitian tentang kandungan bakteri koliform dan
E. coli pada air minum dari depot air minum isi ulang di Jakarta, Tangerang dan Bekasi
menunjukkan bahwa kandungan kedua jenis bakteri ini mencapai 1.600 MPN/100 mL sehingga
tidak sesuai dengan standar untuk air minum. Penelitian yang dilakukan oleh Marwati et al
(2007) tentang kualitas air sumur gali ditinjau dari kondisi lingkungan fisik dan perilaku
masyarakat di wilayah Puskesmas Denpasar Selatan menunjukkan bahwa kandungan total

koliform telah melampaui baku mutu yang ada sehingga untuk mengkonsumsi sebagai air
minum harus terlebih dahulu dimasak dengan benar.
2. Determinan perilaku
Penelitian dari Lasut (2010) menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat
di kecamatan Wenang berada di tingkat 'menengah' (49%) dan kecamatan Molas pada derajat
'rendah' (27,3%) dalam isu tentang lingkungan dan polusi. Pengetahuan masyarakat tentang
'mengapa toilet harus digunakan?' diperoleh bahwa tingkat pengetahuan masyarakat di
kecamatan Wenang dan Molas berada pada level 'tinggi'. Hal ini berarti bahwa masyarakat di
kedua kecamatan tersebut tahu untuk menggunakan toilet sebagai tempat membuang hajat
mereka. Selain itu, tingkat pengetahuan masyarakat tentang 'isu-isu lingkungan yang
berkaitan dengan limbah' berada pada tingkat yang 'tinggi' sebesar 88,8% untuk Wenang dan
80,0% untuk Molas. Namun, pengetahuan tentang dampak pada air limbah air minum masuk
pada tingkat 'menengah’ (44,7%) untuk Wenang dan 'rendah' (29,7%) untuk Molas.

Hasil lainnya juga menemukan bahwa masyarakat di kota Manado memiliki persepsi
pada tingkat ‘sedang’ dalam upaya meningkatkan kegiatan pengelolaan limbah cair yang
ada, namun partisipasi masyarakat untuk mencegah dan memitigasi setiap masalah limbah
cair yang muncul masih ‘kurang’. Penelitian ini merekomendasikan bahwa peran pemerintah
sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan keterlibatan masyarakat (Lasut, 2010). Rendahnya
tindakan sanitasi total berbasis masyarakat (STBM) di Kota Manado. Sulawesi utara
berdasarkan hasil Riskesdas 2010 terlihat bahwa sebanyak 11,8% rumah tangga sulit mengakses
air bersih pada musim kemarau, 8,5% kualitas fisik air minum masih di bawah standar, 41,9%
sumber air rumah tangga tanpa air kemasan (masih menggunakan sumber air tanah dan ledeng),
28,1% rumah tangga masih kurang baik mengakses pada air minum berkualitas. Selain itu,
terlihat bahwa sebesar 12,5% rumah tangga tidak memiliki fasilitas tempat buang air besar
dan 13,6% masih melakukan pembuangan tinja secara sembarangan. Selanjutnya untuk
kesehatan perumahan ditemukan sebesar 64,0% rumah tangga memiliki rumah yang kurang
sehat (Kementerian Kesehatan RI 2010). Berdasarkan data di atas terlihat masih banyak masalah
kesehatan lingkungan di Sulawesi Utara. Berdasarkan data yang diperoleh dari Sekretariat
STBM Indonesia, provinsi Sulawesi Utara menempati urutan ke-3 terbawah untuk jumlah
desa/kelurahan yang melaksanakan STBM. Menurut Kepmenkes no 852/2008, STBM
merupakan pendekatan untuk merubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan
masyarakat dengan metode pemicuan. Rendahnya perilaku masyarakat khususnya yang
berhubungan dengan STBM berdasarkan pada indikator output yaitu:

a. Setiap individu dan komunitas mempunyai akses terhadap sarana sanitasi dasar (jamban).

b. Setiap rumahtangga telah menerapkan pengelolaan air minum dan makanan yang aman di

rumah tangga.

c. Setiap rumah tangga dan sarana pelayanan umum dalam suatu komunitas (seperti sekolah,
kantor, rumah makan, puskesmas, pasar, terminal) tersedia fasilitas cuci tangan (air, sabun,
sarana cuci tangan), sehingga semua orang mencuci tangan dengan benar.

d. Setiap rumah tangga mengelola limbahnya dengan benar.

e. Setiap rumah tangga mengelola sampahnya dengan benar.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian lainnya yang menyatakan bahwa adanya
hubungan yang signifikan antara perilaku hidup bersih dan sehat dan kualitas sumber air dengan
kejadian diare (Efriani 2008). Subagijo (2006) memperoleh hasil bahwa perilaku masyarakat
yang tidak baik 3,5 kali lebih besar risiko terkena diare daripada mereka yang berperilaku hidup
bersih dan sehat yang baik. Sinthamurniwaty (2006) menunjukkan bahwa perilaku mencuci
tangan dengan sabun setelah buang air besar merupakan faktor protektif diare.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi program dan aplikasi sanitasi
total berbasis masyarakat (STBM). Program ini hanya terdapat di Indonesia karena produk dari
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2008 dan mulai diterapkan sampai
sekarang. Dunggio (2012) yang melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku masyarakat tentang penggunaan jamban di desa modelomo Kecamatan
Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango menemukan bahwa tingkat pengetahuan responden
“rendah”, penggunaan jamban “rendah”, sikap responden terhadap penggunaan jamban
“buruk” dan kondisi jamban “buruk”. Selanjutnya, Badu (2012) yang melakukan
penelitian tentang gambaran sanitasi dasar pada masyarakat nelayan di Kelurahan Pohe
Kecamatan Hulonthalangi Kota Gorontalo Tahun 2012 menemukan bahwa sanitasi dasar
yang memenuhi syarat yaitu sarana penyediaan air bersih, sarana jamban keluarga dan sarana
pembuangan air limbah, sedangkan yang tidak memenuhi syarat yaitu sarana pembuangan
sampah. Siregar (2010) menemukan bahwa bentuk kepedulian masyarakat dilakukan
melalui perilaku masyarakat yang selalu bertanggungjawab dan memperhatikan kepentingan
orang lain, peran dan tindakannya terlibat dalam 8 proses perbaikan sanitasi lingkungan dan
kepedulian masyarakat dimotivasi oleh peran pelopor yang memberikan pemahaman bagi
masyarakat dalam perbaikan sanitasi lingkungan permukiman kumuh di Kelurahan Matahalasan
Kota Tanjungbalai.

Budiman et al (2011) menemukan bahwa ada hubungan signifikan penerapan STBM


dengan dengan kejadian diare pada balita. Gaffar (2010) menemukan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi respon/sikap masyarakat dalam penyediaan fasilitas sanitasi (MCK) di kawasan
permukiman nelayan Kelurahan Takatidung Kabupaten Polewali Mandar yaitu pengetahuan,
kepuasan, pelibatan masyarakat (pemeliharaan, pengelolaan, kontribusi). Yudo (2005)
menemukan bahwa pengelolaan air minum berbasis masyarakat mulai dari tahap identfikasi,
pembangunan, pengelolaan dan pemeliharaan melibatkan peran aktif masyarakat setempat.

Jauhar (2012) mengatakan bahwa setengah kepala keluarga dalam penelitiannya


berperilaku kurang dalam penggunaan jamban dan seluruh KK menggunakan jamban yang tidak

memenuhi syarat kesehatan pasca metode pemicuan. Pebriani et al (2013) menemukan bahwa
pengetahuan, sikap dan kondisi jamban berhubungan dengan penggunaan jamban dan
kejadian diare di Desa Tualang Sembilar Kecamatan Bambel Kabupaten Aceh Tenggara.
Menurut Masli (2010) bahwa ada hubungan antara pengetahuan, sikap dan pendapatan dengan
partisipasi sedangkan pendidikan tidak berhubungan dengan partisipasi.

Penelitian dari Sitepu (2007) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan


persepsi petugas pemadam kebakaran terhadap prosedur tetap pencegahan dan
penanggulangan kebakaran gedung Departemen Kesehatan RI tahun 2005 menemukan bahwa
pelatihan, pengetahuan, tingkat pendidikan dan lama kerja berhubungan dengan persepsi.
Semenza et al (2008) tentang persepsi masyarakat tentang perubahan iklim menemukan bahwa
individu dengan perhatian yang tinggi, tingkat pendidikan lebih tinggi dan berusia lebih muda
berhubungan dengan persepsi publik tentang perubahan iklim. Ha-Duong et al (2009) dalam
penelitiannya tentang persepsi masyarakat tentang Carbon Capture & Storage (CCS) di Perancis
menemukan bahwa usia, jenis kelamin, pekerjaan dan pendidikan berkorelasi penting dengan
persepsi masyarakat tentang CCS. Connor (2010) melakukan penelitian bertujuan untuk menguji
faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi orang tentang teknologi gen, dimana data berasal dari
survey menggunakan email pada daerah berbahasa Jerman di Swiss (N=830). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tiga jenis pengetahuan yang berbeda secara substansial
mempengaruhi persepsi risiko atau manfaat yang dirasakan dari teknologi gen. Hasil
keseluruhan menunjukkan bahwa pengetahuan dan pengalaman yang menentukan persepsi
orang tentang teknologi gen. Doria (2010) yang membahas persepsi tentang kualitas air
minum dari berbagai faktor dimana ditemukan bahwa pengelola air dan pembuat kebijakan
harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti:

1)estetis dalam hal ini segala sesuatu yang berhubungan dengan organoleptik (inderawi seperti
perasa, penciuman dan pendengaran) sering memainkan peran utama dan harus dikelola
dengan hati-hati.

2)pengalaman sebelumnya harus dipertimbangkan ketika merencanakan perubahan pada sistem


pasokan dan mengembangkan standar kualitas.

3)Strategi komunikasi yang dirancang dengan hati-hati harus digunakan untuk


berkomunikasi dengan konsumen, terutama yang berkaitan dengan perubahan diramalkan
dalam penyediaan dan selama acara mengganggu.

Kellens et al (2011) yang melakukan penelitian tentang persepsi masyarakat mengenai

risiko banjir di daerah pantai Belgia menemukan bahwa pengetahuan tentang persepsi risiko
publik dianggap sebagai aspek penting dalam manajemen risiko banjir modern seperti
mengarahkan pengembangan strategi mitigasi banjir yang efektif dan efisien. Selain itu,
karakteristik responden seperti usia, jenis kelamin, dan pengalaman dengan bahaya banjir
sebelumnya mempengaruhi persepsinya terhadap risiko banjir. Tilburt et al (2011) yang
mengidentifikasi 1.928 judul tentang persepsi risiko kanker yang menemukan 53 artikel
memenuhi kriteria. Sebagian besar (92%) menggunakan desain observasional dan terfokus pada
perempuan (70%) dengan riwayat keluarga atau merenungkan tes genetik untuk kanker
payudara. Dari 53 studi, 36 difokuskan pada pasien yang tidak memiliki pengujian genetik untuk

risiko kanker, termasuk 17 studi pasien yang telah menjalani tes genetik untuk risiko kanker.
Riwayat keluarga kanker, tes profilaksis sebelumnya dan perawatan, dan usia yang lebih muda
dikaitkan dengan persepsi risiko kanker.

Wang & Ha (2011) yang melakukan penelitian untuk menguji faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi pra-layanan Pendidikan (PE) guru Fisika tentang Teaching Games for
Understanding (TGfU) di Hong Kong. Faktor individu seperti pengetahuan permainan,
keyakinan guru, pengalaman belajar dan mengajar dan faktor sosial termasuk kebijakan
pemerintah, dukungan guru dan budaya profesional diidentifikasi sebagai pengaruh utama
dalam persepsi guru tentang TGfU. Tura (2012) yang melakukan penelitian tentang persepsi
pasien terhadap mutu pelayanan Balai Pengobatan Umum Puskesmas dengan kunjungan tinggi
dan kunjungan rendah di Kota Jambi menemukan bahwa ada hubungan antara umur, pendidikan
dan sumber pembiayaan dengan persepsi mutu pelayanan.

Hamzah (2013) melakukan penelitian tentang faktor yang berhubungan dengan


persepsi pasien terhadap perilaku caring perawat di Instalasi Perawat Inap RSU Massenrempulu
Enrekang menemukan bahwa adanya hubungan antara tingkat pendidikan, lama perawatan, dan
faktor ekonomi pasien dengan persepsi pasien. Supriyanto (2012) melakukan penelitian tentang
faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat persepsi masyarakat penggunaan layanan
UGD Rumah Sakit Haji Jakarta menemukan bahwa adanya hubungan antara SDM dan
lingkungan dengan persepsi. Persepsi individu dipengaruhi oleh faktor fungsional dan struktural.
Faktor fungsional ialah faktor-faktor yang bersifat personal. Misalnya kebutuhan individu, usia,
pengalaman masa lalu, kepribadian, jenis kelamin, dan hal-hal lain yang bersifat subjektif.
Faktor struktural ialah factor di luar individu, misalnya lingkungan, budaya, dan norma sosial
sangat berpengaruh terhadap seseorang dalam mempresepsikan sesuatu (Hamka 2002).

Dari uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa persepsi dipengaruhi oleh
beberapa faktor internal dan eksternal, yaitu faktor perceiver, obyek yang dipersepsi dan
konteks situasi persepsi dilakukan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan tentang faktor-
faktor yang mempengaruhi persepsi. Noviansyah et al (2006) mengatakan bahwa pendidikan,
pengetahuan, pengalaman, motivasi dan sosialisasi berhubungan dengan persepsi masyarakat

tentang Program Jaminan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin. Febrianti et al (2007) tentang
analisis harapan dan persepsi konsumen terhadap dimensi website hotel bintang lima di

Surabaya menemukan bahwa persepsi konsumen berhubungan dengan informasi yang diterima.

3. Determinan sosial

Salah satu indikator dalam determinan sosial yaitu tingkat pendapatan. Tingkat
pendapatan menentukan pada tinggi rendahnya tingkat kemiskinan. Menurut BPS Kota
Manado (2010), tingkat kemiskinan di daerah pesisir dan kepulauan kota Manado termasuk
tinggi, hal ini terlihat di kecamatan Bunakan ditemukan sebanyak 1.353 rumah tangga miskin
atau sekitar 23,8% dari jumlah rumah tangga di kecamatan tersebut. Tingginya jumlah keluarga
miskin. Kemiskinan juga menjadi salah satu masalah di daerah pesisir kota Manado. Beberapa
kepustakaan menyebutkan bahwa penilaian status kesehatan masyarakat salah satunya dinilai
dari tingkat pendapatan. Hal ini disebabkan karena dengan tingginya tingkat pendapatan maka
akses terhadap layanan kesehatan yang prima akan mudah diperoleh. Selain itu, tingginya
pendapatan dapat membuat masyarakat memodifikasi lingkungan rumah dan sekitarnya
(termasuk jamban dan sumur) sehingga sesuai dengan syarat yang ditentukan.

Determinan sosial-ekonomi kesehatan merupakan kondisi-kondisi sosial dan ekonomi


yang melatari kehidupan seorang, yang mempengaruhi kesehatan. Cabang epidemiologi yang
mempelajari hal ini yaitu epidemiologi sosial. Epidemiologi sosial mempelajari karakteristik
spesifik dari kondisi-kondisi sosial dan mekanisme dari kondisi-kondisi sosial itu dalam
mempengaruhi kesehatan. Epidemiologi sosial mempelajari peran variabel di tingkat individu,
misalnya, gender, umur, pendidikan, pekerjaan, kelas sosial, status sosial, posisi dalam hirarki
sosial. Selain itu, epidemiologi sosial juga mempelajari peran variabel-variabel sosial, seperti
kondisi kerja, pendapatan absolut wilayah, distribusi pendapatan, kesenjangan pendapatan,
perumahan, ketersediaan pangan, modal sosial, eksklusi sosial, isolasi sosial, kebijakan
kesehatan tentang penyediaan pelayanan kesehatan (misalnya, akses universal terhadap
pelayanan kesehatan), dan pembiayaan pelayanan kesehatan (misalnya, ketersediaan jaring
pengaman sosial) (Murti, 2010).

Determinan sosial kesehatan, seperti kemiskinan, ketiadaan akses terhadap


pelayanan kesehatan, kekurangan akses terhadap pendidikan, stigma, rasisme, bias gender,
merupakan beberapa di antara faktor-faktor penting yang melatari dan menyumbang terjadinya
ketimpangan kesehatan. Sebagai contoh, kebijakan publik yang tidak pro masyarakat miskin,
ketidakadilan akses kepada pendidikan, dan ketiadaan skema jaminan kesehatan yang
melindungi risiko finansial dari pengeluaran kesehatan katastrofik, merupakan faktor-faktor

sosial di tingkat makro yang menyebabkan keluarga mengalami kemiskinan struktural.


Kemiskinan selanjutnya akan memaksa masyarakat miskin untuk hidup di lingkungan
tempat tinggal yang buruk, lingkungan hidup yang seadanya dan tidak sehat, lingkungan
tempat tinggal yang meningkatkan risiko terkena penyakit (Solar & Irwin, 2007).

Miller et al (2007) yang melakukan penelitian tentang persepsi masyarakat tentang


carbon sequestration di Australia menemukan bahwa jenis kelamin, tingkat pendidikan, umur
dan pendapatan mempengaruhi persepsi masyarakat. Hal ini terlihat bahwa dibandingkan
dengan pria, wanita kurang menerima Carbon Capture & Storage (CCS) dan lebih peduli
tentang keselamatan, risiko dan efektivitas. Namun ada hal-hal yang melatarbelakangi hal ini
yaitu para perempuan lebih sering menjauhkan diri dari memberikan pendapat. Selanjutnya,
Faktor tingkat pendidikan mempengaruhi persepsi dimana diperoleh bahwa responden dengan
pendidikan yang lebih lebih tinggi, lebih menyadari tentang gas rumah kaca dan mendukung
CCS. Faktor umur juga mempengaruhi persepsi masyarakat dimana responden yang lebih
muda lebih percaya bahwa penyedia informasi mengatakan kebenaran tentang CCS.
Selanjutnya, jenis pekerjaan atau posisi responden mempengaruhi persepsi. Hal ini terlihat pada
responden yang memegang posisi eksekutif atau pekerjaan intelektual yang lebih sering
mendukung teknologi dibandingkan dengan kategori pekerjaan lain. Hal ini juga berlaku untuk
responden berdasarkan tingkat pendapatan dimana responden dengan tingkat pendapatan
tertinggi lebih sering mendukung teknologi dibandingkan dengan kategori pekerjaan lain.

Penelitian dari Macedo et al (2012) tentang persepsi masyarakat terhadap pariwisata


berkelanjutan berbasis lingkungan yang bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor manusia
yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan perencanaan kota untuk pariwisata ramah
lingkungan di Polo Costa das Dunas terletak di Rio Grande do Norte (Brazil). Hasil
menunjukkan bahwa pengaruh politik yang positif melalui keterlibatan yang lebih besar dari
pejabat kota, fleksibilitas bagi walikota kota dapat mempengaruhi persepsi masyarakat untuk
mencapai dan mempertahankan secara efektif kesinambungan pariwisata berkelanjutan.
Vignola et al (2013) yang melakukan penelitian tentang persepsi masyarakat tentang
perubahan iklim yang mewakili masyarakat Kosta Rika menyatakan bahwa sebagian besar
responden (> 85%) sangat prihatin tentang perubahan iklim secara umum dan merasa
dampaknya lebih mengkhawatirkan bagi orang-orang terjauh (misalnya di negara maju negara
atau di antara generasi mendatang). Di tingkat lokal, responden merasa bahwa terjadi kekurangan
makanan (10,5%) dan air (16,1%), kemiskinan (11,3%) dan gelombang panas (11,7%)
merupakan dampak yang paling diketahui dari perubahan iklim. Dalam penelitian ini juga
menemukan bahwa pemahaman tentang perubahan iklim mempengaruhi persepsi mereka.

Kesimpulan

Masalah kesehatan masyarakat pesisir dapat dibagi dalam 3 bagian besar yaitu
determinan lingkungan, perilaku dan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya peran
serta pemerintah dan masyarakat dalam upaya mengatasi masalah kesehatan masyarakat.

Daftar Pustaka

Athena, S. M., Anwar, H.D., & Haryono,M. 2004. The Number of Total Coli and Escherichia
coli/ Fecal Coli in Refill Drinking Water Depot in Jakarta, Tangerang and Bekasi. Buletin
Penelitian Kesehatan Volume 32(4) hal 135-143

Badu, A. 2012. Gambaran Sanitasi Dasar Pada Masyarakat Nelayan Di Kelurahan Pohe
Kecamatan Hulonthalangi Kota Gorontalo Tahun 2012. Public Health Journal. Vol 1(1): 1-5
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Manado. 2010. Manado in Figures.
Pemerintah Manado

Badan Pusat Statistik Kota Manado. 2010. Manado dalam Angka 2010. Manado

Budiman, B., Juhaeriah, J., Abdilah, A.D., dan Yuliana, B. 2011. Hubungan Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat Dengan Kejadian Diare Pada Balita Di Kelurahan Cibabat Kecamatan
Cimahi Utara. Prosiding SNaPP: Sains, Teknologi, dan Kesehatan. Vol 2(1) (online) diakses
dari

http://prosiding.lppm.unisba.ac.id/index.php/Sains/article/view/50#.UkDmnNJBKoU pada 17

Anda mungkin juga menyukai