Disusun Oleh:
Nama Kelompok:
1. Nur Khalimatus Sa’dikyah (2120007)
2. Dwi Ema Trisnawati (2120019)
3. Irwan Saputra (2120037)
PRODI D3 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SIRABAYA
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadiran Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih
terhadap bantuan dari pihak yang terlah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik tenaga dan pikirannya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan saya berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi saya sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya. Untuk
itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
KESEHATAN MASYARAKAT WILAYAH PESISIR
PENDAHULUAN
Kesehatan Masyarakat pesisir adalah upaya meningkatkan dan konservasi Kesehatan
masyarakat yang bermukim di daerah pesisir , kepulauan dan pantai dengan berorientasi pada
kehidupan nelayan , kehidupan pekerja di wilayah pesisir dengan pendekatan kearipan local.
Wilayah pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut.Perairan
pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan yang meliputi perairan sejauh 12 mil laut
diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk,
perairan dangkal, rawa payau dan laguna, sedangkan pantai adalah sebuah bentuk geografis yang
terdiri dari pasir dan terdapat di daerah pesisir laut.Beberapa aspek kesehatan yang menjadi
masalah diwilayah pesisir adalah kesehatan lingkungan, kesehatan bayi dan balita serta
kesehatan maternitas dan KB. Kesehatan lingkungan diantaranya meliputi perumahan, sumber
air, sampah, pembuangan tinja dan air limbah. Kesehatan bayi dan balita meliputi status gizi dan
imunisasi, serta kesehatan maternitas dan KB.
Sekitar 16,42 juta jiwa penduduk Indonesia merupakan masyarakat yang hidup di
kawasan pesisir. Mereka bertempat tinggal di 8.090 desa pesisir yang tersebar di seluruh wilayah
negeri. Masyarakat pesisir, termasuk nelayan, memiliki risiko Kesehatan yang tinggi sehingga
perlu diberikan perhatian khusus dalam upaya pembangunan kesehatan. Sayangnya, kondisi
pelayanan kesehatan masyarakat nelayan, kihususnya yang berada di pulau-pulau kecil di
Indonesia Timur justru terbilang memprihatinkan.
Masalah kesehatan utama di daerah itu adalah kurangnya perilaku hidup bersih sehat
masyarakat. Selain itu, mayoritas masyarakat membangun rumah di atas laut sehingga tidak
memiliki septic tank dan limbah langsung dibuang ke laut. Gangguan kesehatan yang banyak
dialami oleh masyarakat kepualauan antara laun nyeri sendi, gangguan pendengaran rungan
hingga tuli kasus baritrauma, dan penyakit dekompresi yang biasa menyerang penyelam.
Barotrauma adalah kerusakan jaringan tubuh karena perbedaan tekanan tubuh dan air.
sedangkan dekompresi didefinisikan sebagai suatu keadaan medis dan terjadi ketika akumulasi
nitrogen yang terlarut setelah menyelam membentuk gelembung udara yang menyumbat aliran
darah serta sistem syaraf. Risiko kesehatan selalu mengikuti setiap gerak nelayan dalam upaya
memenuhi kebutuhan hidupnya. Saat melakukan penyelaman seringkali terjadi kecelakaan. Tak
jarang, para nelayan tidak segera mendapat pertolongan bisa mengalami kelumpuhan, bahkan
kematian. Masalah kesehatan lain adalah bahwa penyakit yang kerap diderita nelayan antara lain
kurang gizi, kelainan kulit akibat paparan sinar matahari (hyperpigmentasi) baik di muka
maupun di tangan, gangguan pendengaran akibat kebisingan yang ditimbulkan mesin tempel
perahu, serta kelainan mata.
Masalah kesehatan ini bukan hanya datang dari kurangya kepedulian masyarakat tentang
kesehatan, melainkan juga kondisi geografis yang membuat beberapa pulau yang masuk dalam
kecamatan tersebut memiliki keterbatasan akses air bersih. Misalnya saja Pulau Penawar Rindu
Batam yang selalu kesulitan air meskipun bukan masuk musim kemarau. Para penduduknya
menampung air hujan untuk memenuhi kebutuhan air. Padahal, penampungan air hujan rentan
menjadi sarang nyamuk. Tak heran, kasus demam berdarah dan malaria masih muncul. Air
sangat berharga dan sulit di dapat pada akhirnya jga membuat sanitasi masyarakat buruk dan
menimbulkan masalah kesehatan. Apalagi ditambah dengan perilaku kurangnya hidup bersih dan
sehat, seperti kebiasaan buang air besar dan buang sampah yang sembarangan.
Selain itu, persoalan narkoba di daerah ini juga perlu disoroti. Narkoba dan perhaulan
bebas rentan memengaruhi anak-anak muda di daerah tersebut karena berbatasan langsung
dengan negara luar, Singapura. Oleh karena itu, petugas kesehatan rutin memberi pengarahan ke
sekolah-sekolah, juga ke anak-anak yang putus sekolah. Masalah umum lainnya, seperti
kebiasaan makan yang menyumbang penyakit tidak menular yang terjadi pada masyarakat, dan
anak dengan gizi kurang.
Salah satu unit pelaksana teknis terdepan di jajaran kesehatan yang keberadaannya
hampir merata di setiap wilayah dan relatif dekat sasaran program pembangunan kesehatan
adalah puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat). Sebagai ujung tombak fasilitator kesehatan,
puskesmas menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar secara terintegrasi dengan fungsi
sebagai pusat pelayanan kesehatan dan sebagai pusat penggerak peran serta masyarakat dalam
pembangunan kesehatan. Untuk itu, sebagai unit pelaksana teknis terdepan puskesmas dan
jaringannya harus didukung dengan sumberdaya yang memadai.
3. Agar tercipta keterpaduan antar program kesehatan dan antar sektor terkait yang
dilaksanakan dengan pendekatan penanganan secara holistik terhadap penyakit yang berbasis
lingkungan.
Asas manajemen harus diterapkan supaya setiap komponen sistem dapat berfungsi secara baik,
diantaranya:
4. Monitoring atau kontrol (controlling) merupakan satu mekanisme sistem untuk mengetahui
kinerja dari masing-masing unit sistem yang ada dan pola penanganan bila terjadi penurunan
kinerja. Dengan sistem kontrol akan dapat diketahui sinkronisasi antara perencanaan,
pengelolaan dan pelaksanaan.
Sumber domestik terdiri dari air limbah yang berasal dari perumahan dan pusat
perdaganganmaupun perkantoran, hotel, rumah sakit, tempat rekreasi, dll. Limbah jenis ini
sangatmempengaruhi tingkat kekeruhan, BOD (biological oxygen demand), COD (chemical
oxygen demand) dan kandungan organik sistem pasokan air. Metoda dasar penanganan limbah
domestik pada dasarnya terdiri dari tiga tahap:
Sifat-sifat air limbah industri relatif bervariasi tergantung dari sumbernya. Limbah jenis
ini bukansaja mempengaruhi tingkat kekeruhan, BOD, COO maupun kandungan organiknya,
tetapi jugamengubah struktur kimia air akibat masuknya zat-zat anorganik yang mencemari.
Penangananlimbah ini dilakukan dengan cara memasang instalasi pengolahan air limbah (IPAL)
sebelumdibuang ke lingkungan atau badan air, dan penanganan sistem pembuangan limbah
domestik itusendiri. Terdapat beberapa pilihan dalam mengendalikan air limbah industri yaitu:
Pengendaliansecara end of pipe, yaitu pada titik pembuangan dari sumbernya pabrik),
Penanganan pada proses produksi (penerapan produksi bersih).
Berasal dari sedimen akibat erosi lahan, unsur kimia limbah hewan atau pupuk
(umumnya fosfor dan nitrogen), dan unsur kimia dari pestisida. Unsur pencemar ini meliputi
balk sedimen darierosi lahan tanaman perkebunan maupun larutan fosfor dan nitrogen yang
dihasilkan oleh limbahhewani serta pupuk, pengendalian dapat dilakukan dengan membuat
penampungan di sampingmelakukan penanganan baik dalam kolam terbuka maupun tertutup,
dan sistem pemupukan dan pemberantasan hama/penyakit dengan komposisi yang tepat.
Salah satu bahan pencemaran laut yang utama adalah kebocoran tanker
minyak (tumpahan minyak). Tumpahan minyak baik dari proses di kapal, pengeboran lepas
pantaimaupun akibat kecelakaan kapal. Polusi dari tumpahan minyak di laut merupakan
sumber pencemaran laut yang selalu menjadi fokus perhatian dari masyarakat luas, karena
akibatnya akansangat cepat dirasakan oleh masyarakat sekitar pantai dan sangat signifikan
merusak makhluk hidup di sekitar pantai tersebut.
Dampak yang ditimbulkan oleh minyak tersebut sangat berbahaya bagi biota laut baik
di jangka pendek maupun jangka panjang. Jangka Pendek, masuknya molekul-molekul
hidrokarbonminyak ke dalam sel. Berbagai jenis udang dan ikan akan beraroma dan berbau
minyak. Minyak dapat menyebabkan kematian pada ikan karena kekurangan oksigen, keracunan
karbondioksidan dan keracunan bahan berbahaya lainnya. Jangka Panjang, terutama bagi biota
laut yang masihmuda. Minyak dalam laut dapat termakan oleh biota-biota tersebut. Sebagian
senyawa minyak dapat terakumulasi dalam senyawa lemak dan protein.
3. Belum jelasnya penerapan sanksi terhadap industri yang melanggar isi dokumen Amdaldan
peraturan perundangan yang berlaku (PP 27/99 tentang Amdal dan UU 23/97
tentangPengelolaan Lingkungan Hidup)
2. Pencemaran air laut dari tumpahan minyak berdampak pada beberapa jenis burung
laut,karena tumpahan minyak tersebut menyebabkan degradasi lemak dalam hati,
kerusakansaraf, pembesaran limpa, radang paru dan ginjal pada burung-burung tersebut. Salah
satucontoh kasus seperti ini pernah terjadi di perairan lepas pantai Inggris pada tahun 1967 akibat
kecelakaan kapal tanker Torrey Canyon.Kejadian ini mengakibatkan kuranglebih 100.000
burung telah terbunuh.
5. Jika tumpahan minyak tersebut tidak mematikan sumber daya laut, maka
pencemarantersebut menurunkan kualitasnya. Hal ini berhubungan dengan kemampuan hewan-
hewan laut untuk mengakumulasi minyak di dalam tubuhnya. Akumulasi ini seringmenyebabkan
daging ikan berbau minyak, sehingga merugikan para nelayan karena tidak dapat menjual ikan
tangkapan mereka.
Bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat terutama para nelayan, pencemaran laut
sangat berdampak negatif. Hal ini dikarenakan hasil laut seperti ikan, udang, kerang
hijau,dllsemakin menurun. Penurunan hasil laut ini diakibatkan oleh maraknya pembuangan
limbah kelaut.Selain pencemaran minyak, di laut juga kadang terjadi pencemaran oleh limbah
industryyang mengandung bahan-bahan kimia berbahaya. Salah satunya berupa logam berar
seperticadmium, timah dan mercury. Selain itu kandungan limbah yang tinggi akan besi dan
tembaga juga berbahaya karena dapat menjadi racun dalam tubuh ikan bila kadarnya berlebih
dari jumlahyang dibutuhkan untuk metabolism tubuh.
Pencemaran secara serius dapat disebabkan oleh adanya buangan cadmium atau air
raksasecara berlebih di laut. Pencemaran seperti ini telah terjadi di Teluk Minamata Jepang pada
tahun1953-1960 dimana kurang lebih 100 orang menjadi korban. Dari korban ini ada yang
meninggaldan ada yang mengalami cacat seumur hidup . mereka kebanyakan keracunan karena
memakankerang yang telah tercemar oleh hasil buangan dari pabrik. Kasus kedua di Jepang
terjadi padatahun 1965 di dekat mulut sungai Agano yang disebabkan peningkatan pemakaian
cadmiumsehingga masyarakat disekitar sungai Jinstu banyak yang mengalami penyakit itai-itai
akibat mengkonsumsi hasil perikanan laut seperti cumi-cumi yang telah tercemar.
Logam-logam berat ini masuk kedalam tubuh hewan dan umumnya tidak dikeluarkanlagi
dari tubuh sehingga logam-logam ini bertumpuk dan terakumulasi dalam tubuh he wan
ini.Sebagai akibatnya logam-logam ini akan terus ada disepanjang rantai makanan. Hal
inidisebabkan oleh karena predator pada satu tropi level makan mansa mereka dari tropic kevel
yanglebih rendah yang telah tercemar. Dari sini terlihat bahwa kandungan konsentrasi logam
berat terdapat lebih tinggi pada tubuh hewan yang letaknya lebih tinggi di dalam tropic level
ataudikenal dengan istilah bioakumuasi. Jika hewan laut yang tercemar ini dikonsumsi maka
dapamenyebabkan keracunan logam berat pada manusia.Selain itu dilaut juga dapat terjadi
pencemaran yang disebabkan oleh pestisida. Pestisidaini sengaja ditebar dalam suatu lingkungan
dengan tujuan untuk mengontrol hamatanaman atauorganisme lain yang tidak diinginkan. Bila
zat ini dipakai secara teru-menerus maka zat ini akantertumpuk. Pada saat hujan turun zat ini
dapat masuk kebadan air dan masuk ke sungaikemudian akhirnya sampai kelaut.Salah satu
penelitian menemukan salah satu bahan kimia dari pestisida yaitu Organochloride yang
ditemukan dalam tubuh ikan dan udang dan bahan ini akan terus menumpuk dalam tubuh hewan
sampai mencapai kadar berbahaya bagi kesehatan bila dikonsumsi.
Berdasarkan data BPS (2014), jumlah penduduk Indonesia sekitar 237,64 juta jiwa dan
terdapat 12.827 desa yang terletak di wilayah tepi pantai dengan jumlah nelayan tangkap
mencapai 2,2 juta jiwa (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2013). Dari jumlah itu, lebih dari
95% adalah nelayan tradisional yang tinggal di pedesaan,
Banyak desa nelayan yang jauh dari puskesmas sehingga masyarakat sulit mendapatkan
akses layanan kesehatan dasar. Selain itu tidak semua puskesmas memiliki tenaga kesehatan
yang mengetahui tentang pelayan penyakit akibat kerja ataupun kecelakaan kerja yang dialami
oleh nelayan.
Beberapa data Kementrian Kesehatan tahun 2011 dan 2012 di 8 kabupaten lokasi Pusat
Pendaratan Ikan (PPI) menunjukkan bahwa gangguan dan permasalahan kesehatan pada nelayan
seperti gangguan pada mata, kulit, otot/muculoskeletal, pencernaan, kecacingan, masalah gizi,
kecelakaan, tenggelam, dan juga terdapat kebiasaan buruk seperti miras, merokok, dan tidak
menjaga kebersihan.
Bahkan data yang diperoleh di wilayah kerja Puskesmas Barrang Lompo selama tahun
2000-2006 serta tahun 2010-2013 telah terjadi 100 kasus kelumpuhan akibat penyelaman dan 48
kasus kematian pada 355 orang pencari teripang di Pulau Barranglompo.
Berdasarkan data Riskesdas 2013, penyakit menular tertinggi yang diderita nelayan
adalah ISPA, malaria dan pneumonia, sedangkan penyakit tidak menular tertinggi adalah
hipertensi, sakit sendi, gangguanemosi, diabetes melitus (DM), stroke dan penyakit jantung
kronis (PJK).
Nelayan bekerja dalam lingkungan yang tidak sehat dan tidak aman. Apalagi, sebagian
besar nelayan berpendidikan rendah, pengetahuan tentang keselamatan dan kesehatan kerja yang
masih minim.
Selain itu, kondisi para nelayan tidak dapat terlepas dari anggota keluarga, seperti istri
dan anak, berbagai permasalahan kesehatan dihadapi, di antaranya masalah gizi, keterbatasan
akses pelayanan kesehatan ibu dan anak, termasuk pelayanan keluarga berencana, masalah
penyakit menular dan tidak menular, dan rendahnya kualitas kesehatan lingkungan dan sanitasi.
Dalam mewujud kan peningkatan kualitas hidup nelayan yang merupakan kelompok
rentan maka diperlukan upaya pelayanan kesehatan kerja yang maksimal yang terintegrasi pada
nelayan dan keluarganya. Penyelenggaraan upaya kesehatan pada nelayan meliputi pengendalian
dan penanggulangan penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja, penyakit menular, penyakit
tidak menular, penanggulangan masalah gizi, penyehatan lingkungan, dan promosi kesehatan.
Ada banyak hal yang diduga menjadi penyebab tingginya masalah kesehatan MASYARAKAT
PESISIR . dapat dikeelompokkan dalam 3 kelompok yaitu lingkungan, perilaku dan sosial
yang disebut sebagai
determinan kesehatan.
1. Determinan lingkungan
Malaria
Leprosy
TB
DHF
Diarrhea
Hasil observasi awal dari pesisir pantai kota terlihat potret status kesehatan lingkungan
(sanitasi dasar) yang rendah seperti keadaan rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan,
kepadatan rumah yang tinggi, air bersih yang minim, jamban yang langsung ke daerah
pantai/sungai, dan lainnya (Gambar 2).
Gambar 2. Keadaan sebagian rumah penduduk yang ada di daerah pesisir yang berlantai tanah,
tanpa plafon dan pekarangan yang tidak bersih
Gambar 3. Salah satu jamban yang digunakan warga yang tidak tertutup rapat dan digunakan
bersama
Penelitian yang dilakukan oleh Sumampouw (2008) tentang tingkat pencemaran
bakteri indicator polusi di pesisir pantai kota Manado menunjukkan bahwa tingkat distribusi
terendah Koliform diperoleh di Mega Mall (80 MPN/100 ml) dan tertinggi ditemukan di
Malalayang II (4,7 x 103 MPN/100 ml). Sementara itu, Total E. coli terendah yaitu 10
MPN/100 ml di Mega Mall dan Malalayang III dan nilai tertinggi 80 MPN/100ml ditemukan di
Sungai Tondano. Maunsada (2010) menemukan bahwa kandungan E. coli pada air sumur gali
yang digunakan oleh masyarakat di Kelurahan Tuminting melebihi standar baku mutu air
bersih sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990
dan air minum sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
907/MENKES/SK/VII/2002. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara jarak sumur dengan septik tank dan konstruksi sumur gali dengan
kandungan E. coli. Menurut Sumampouw dan Risjani (2014), bakteri merupakan salah satu
indicator terjadinya pencemaran lingkungan. Lasut et al (2005) menemukan bahwa kualitas
air sungai di kota Manado telah tercemar yang disebabkan oleh adanya pembuangan air
limbah yang bersumber dari perumahan kota dan dari daerah pertanian Kabupaten Minahasa.
Hal ini menunjukkan bahwa ketiadaan pengolahan air limbah rumah tangga yang ada di kota
Manado sehingga air limbah harus dibuang ke sungai.
Hasil pengamatan di lapang terlihat bahwa adanya pembuangan air limbah rumah tangga
ke sungai-sungai dan saluran air kota Manado. Hal ini menyebabkan tercemarnya air sungai dan
air laut di daerah pesisir kota Manado, sehingga diduga menyebabkan gangguan lingkungan
seperti mengganggu jarring makanan pada ekosistem sungai dan pesisir. Tingkat kepadatan
penduduk yang tinggi. Hal ini menyebabkan daya dukung lingkungan terhadap kehidupan
masyarakat menjadi berkurang, seperti ketersediaan air bersih, udara berkualitas, dan lainnya.
Padatnya penduduk juga menyebabkan penularan penyakit berbasis lingkungan lebih cepat dan
luas. Tercemarnya lingkungan pesisir dengan limbah rumah tangga. Hal ini bisa terjadi karena
berdasarkan hasil observasi awal, terlihat banyaknya limbah rumah tangga seperti sisa air
cucian, kotoran hewan, kotoran manusia dan lainnya di air sungai, tanah, perairan pesisir dan
daerah perumahan. Beberapa bakteri yang bisa menjadi indikator pencemaran yaitu kelompok
bakteri Koliform.
Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan seperti
penelitian dari Tilaar (2008) yang menemukan bahwa tingginya jumlah E. coli memiliki korelasi
dengan buangan tinja
Gambar 3. Kepadatan pemukiman yang tinggi sehingga jarak antara rumah tidak ada. Selain itu,
ditemukan air sisa cucian yang dibuang begitu saja ke tanah
Gambar 3. Keadaan pemukiman yang berada di muara sungai yang sebagian besar saluran
pembuangan untuk limbah rumah tangga, sampah dan jamban menuju ke sungai manusia dan
hewan yang ada pada sumber air (dalam hal ini air sungai Ranoyapo).
E. coli merupakan bakteri yang memiliki habitat pada saluran usus manusia dan hewan,
dan bakteri ini dapat menyebabkan penyakit yang dikenal dengan traveler’s diarrhea. Dengan
demikian pada kebanyakan kasus keracunan, bakteri ini sering memberikan masalah bagi para
pelancong yang singga di tempat tersebut. Selanjutnya, kandungan E. coli memiliki kaitan erat
dengan kandungan koliform. Daerah yang memilki jumlah koliform tertinggi cenderung
menunjukkan peningkatan E. coli. Hasil yang diperoleh memiliki kecenderungan yang sama
seperti dilaporkan oleh Ijong (2004) tentang monitoring koliform dan E. coli di perairan pantai
Bunaken.
Athena et al (2004) yang melakukan penelitian tentang kandungan bakteri koliform dan
E. coli pada air minum dari depot air minum isi ulang di Jakarta, Tangerang dan Bekasi
menunjukkan bahwa kandungan kedua jenis bakteri ini mencapai 1.600 MPN/100 mL sehingga
tidak sesuai dengan standar untuk air minum. Penelitian yang dilakukan oleh Marwati et al
(2007) tentang kualitas air sumur gali ditinjau dari kondisi lingkungan fisik dan perilaku
masyarakat di wilayah Puskesmas Denpasar Selatan menunjukkan bahwa kandungan total
koliform telah melampaui baku mutu yang ada sehingga untuk mengkonsumsi sebagai air
minum harus terlebih dahulu dimasak dengan benar.
2. Determinan perilaku
Penelitian dari Lasut (2010) menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat
di kecamatan Wenang berada di tingkat 'menengah' (49%) dan kecamatan Molas pada derajat
'rendah' (27,3%) dalam isu tentang lingkungan dan polusi. Pengetahuan masyarakat tentang
'mengapa toilet harus digunakan?' diperoleh bahwa tingkat pengetahuan masyarakat di
kecamatan Wenang dan Molas berada pada level 'tinggi'. Hal ini berarti bahwa masyarakat di
kedua kecamatan tersebut tahu untuk menggunakan toilet sebagai tempat membuang hajat
mereka. Selain itu, tingkat pengetahuan masyarakat tentang 'isu-isu lingkungan yang
berkaitan dengan limbah' berada pada tingkat yang 'tinggi' sebesar 88,8% untuk Wenang dan
80,0% untuk Molas. Namun, pengetahuan tentang dampak pada air limbah air minum masuk
pada tingkat 'menengah’ (44,7%) untuk Wenang dan 'rendah' (29,7%) untuk Molas.
Hasil lainnya juga menemukan bahwa masyarakat di kota Manado memiliki persepsi
pada tingkat ‘sedang’ dalam upaya meningkatkan kegiatan pengelolaan limbah cair yang
ada, namun partisipasi masyarakat untuk mencegah dan memitigasi setiap masalah limbah
cair yang muncul masih ‘kurang’. Penelitian ini merekomendasikan bahwa peran pemerintah
sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan keterlibatan masyarakat (Lasut, 2010). Rendahnya
tindakan sanitasi total berbasis masyarakat (STBM) di Kota Manado. Sulawesi utara
berdasarkan hasil Riskesdas 2010 terlihat bahwa sebanyak 11,8% rumah tangga sulit mengakses
air bersih pada musim kemarau, 8,5% kualitas fisik air minum masih di bawah standar, 41,9%
sumber air rumah tangga tanpa air kemasan (masih menggunakan sumber air tanah dan ledeng),
28,1% rumah tangga masih kurang baik mengakses pada air minum berkualitas. Selain itu,
terlihat bahwa sebesar 12,5% rumah tangga tidak memiliki fasilitas tempat buang air besar
dan 13,6% masih melakukan pembuangan tinja secara sembarangan. Selanjutnya untuk
kesehatan perumahan ditemukan sebesar 64,0% rumah tangga memiliki rumah yang kurang
sehat (Kementerian Kesehatan RI 2010). Berdasarkan data di atas terlihat masih banyak masalah
kesehatan lingkungan di Sulawesi Utara. Berdasarkan data yang diperoleh dari Sekretariat
STBM Indonesia, provinsi Sulawesi Utara menempati urutan ke-3 terbawah untuk jumlah
desa/kelurahan yang melaksanakan STBM. Menurut Kepmenkes no 852/2008, STBM
merupakan pendekatan untuk merubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan
masyarakat dengan metode pemicuan. Rendahnya perilaku masyarakat khususnya yang
berhubungan dengan STBM berdasarkan pada indikator output yaitu:
a. Setiap individu dan komunitas mempunyai akses terhadap sarana sanitasi dasar (jamban).
b. Setiap rumahtangga telah menerapkan pengelolaan air minum dan makanan yang aman di
rumah tangga.
c. Setiap rumah tangga dan sarana pelayanan umum dalam suatu komunitas (seperti sekolah,
kantor, rumah makan, puskesmas, pasar, terminal) tersedia fasilitas cuci tangan (air, sabun,
sarana cuci tangan), sehingga semua orang mencuci tangan dengan benar.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian lainnya yang menyatakan bahwa adanya
hubungan yang signifikan antara perilaku hidup bersih dan sehat dan kualitas sumber air dengan
kejadian diare (Efriani 2008). Subagijo (2006) memperoleh hasil bahwa perilaku masyarakat
yang tidak baik 3,5 kali lebih besar risiko terkena diare daripada mereka yang berperilaku hidup
bersih dan sehat yang baik. Sinthamurniwaty (2006) menunjukkan bahwa perilaku mencuci
tangan dengan sabun setelah buang air besar merupakan faktor protektif diare.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi program dan aplikasi sanitasi
total berbasis masyarakat (STBM). Program ini hanya terdapat di Indonesia karena produk dari
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2008 dan mulai diterapkan sampai
sekarang. Dunggio (2012) yang melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku masyarakat tentang penggunaan jamban di desa modelomo Kecamatan
Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango menemukan bahwa tingkat pengetahuan responden
“rendah”, penggunaan jamban “rendah”, sikap responden terhadap penggunaan jamban
“buruk” dan kondisi jamban “buruk”. Selanjutnya, Badu (2012) yang melakukan
penelitian tentang gambaran sanitasi dasar pada masyarakat nelayan di Kelurahan Pohe
Kecamatan Hulonthalangi Kota Gorontalo Tahun 2012 menemukan bahwa sanitasi dasar
yang memenuhi syarat yaitu sarana penyediaan air bersih, sarana jamban keluarga dan sarana
pembuangan air limbah, sedangkan yang tidak memenuhi syarat yaitu sarana pembuangan
sampah. Siregar (2010) menemukan bahwa bentuk kepedulian masyarakat dilakukan
melalui perilaku masyarakat yang selalu bertanggungjawab dan memperhatikan kepentingan
orang lain, peran dan tindakannya terlibat dalam 8 proses perbaikan sanitasi lingkungan dan
kepedulian masyarakat dimotivasi oleh peran pelopor yang memberikan pemahaman bagi
masyarakat dalam perbaikan sanitasi lingkungan permukiman kumuh di Kelurahan Matahalasan
Kota Tanjungbalai.
memenuhi syarat kesehatan pasca metode pemicuan. Pebriani et al (2013) menemukan bahwa
pengetahuan, sikap dan kondisi jamban berhubungan dengan penggunaan jamban dan
kejadian diare di Desa Tualang Sembilar Kecamatan Bambel Kabupaten Aceh Tenggara.
Menurut Masli (2010) bahwa ada hubungan antara pengetahuan, sikap dan pendapatan dengan
partisipasi sedangkan pendidikan tidak berhubungan dengan partisipasi.
1)estetis dalam hal ini segala sesuatu yang berhubungan dengan organoleptik (inderawi seperti
perasa, penciuman dan pendengaran) sering memainkan peran utama dan harus dikelola
dengan hati-hati.
risiko banjir di daerah pantai Belgia menemukan bahwa pengetahuan tentang persepsi risiko
publik dianggap sebagai aspek penting dalam manajemen risiko banjir modern seperti
mengarahkan pengembangan strategi mitigasi banjir yang efektif dan efisien. Selain itu,
karakteristik responden seperti usia, jenis kelamin, dan pengalaman dengan bahaya banjir
sebelumnya mempengaruhi persepsinya terhadap risiko banjir. Tilburt et al (2011) yang
mengidentifikasi 1.928 judul tentang persepsi risiko kanker yang menemukan 53 artikel
memenuhi kriteria. Sebagian besar (92%) menggunakan desain observasional dan terfokus pada
perempuan (70%) dengan riwayat keluarga atau merenungkan tes genetik untuk kanker
payudara. Dari 53 studi, 36 difokuskan pada pasien yang tidak memiliki pengujian genetik untuk
risiko kanker, termasuk 17 studi pasien yang telah menjalani tes genetik untuk risiko kanker.
Riwayat keluarga kanker, tes profilaksis sebelumnya dan perawatan, dan usia yang lebih muda
dikaitkan dengan persepsi risiko kanker.
Wang & Ha (2011) yang melakukan penelitian untuk menguji faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi pra-layanan Pendidikan (PE) guru Fisika tentang Teaching Games for
Understanding (TGfU) di Hong Kong. Faktor individu seperti pengetahuan permainan,
keyakinan guru, pengalaman belajar dan mengajar dan faktor sosial termasuk kebijakan
pemerintah, dukungan guru dan budaya profesional diidentifikasi sebagai pengaruh utama
dalam persepsi guru tentang TGfU. Tura (2012) yang melakukan penelitian tentang persepsi
pasien terhadap mutu pelayanan Balai Pengobatan Umum Puskesmas dengan kunjungan tinggi
dan kunjungan rendah di Kota Jambi menemukan bahwa ada hubungan antara umur, pendidikan
dan sumber pembiayaan dengan persepsi mutu pelayanan.
Dari uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa persepsi dipengaruhi oleh
beberapa faktor internal dan eksternal, yaitu faktor perceiver, obyek yang dipersepsi dan
konteks situasi persepsi dilakukan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan tentang faktor-
faktor yang mempengaruhi persepsi. Noviansyah et al (2006) mengatakan bahwa pendidikan,
pengetahuan, pengalaman, motivasi dan sosialisasi berhubungan dengan persepsi masyarakat
tentang Program Jaminan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin. Febrianti et al (2007) tentang
analisis harapan dan persepsi konsumen terhadap dimensi website hotel bintang lima di
Surabaya menemukan bahwa persepsi konsumen berhubungan dengan informasi yang diterima.
3. Determinan sosial
Salah satu indikator dalam determinan sosial yaitu tingkat pendapatan. Tingkat
pendapatan menentukan pada tinggi rendahnya tingkat kemiskinan. Menurut BPS Kota
Manado (2010), tingkat kemiskinan di daerah pesisir dan kepulauan kota Manado termasuk
tinggi, hal ini terlihat di kecamatan Bunakan ditemukan sebanyak 1.353 rumah tangga miskin
atau sekitar 23,8% dari jumlah rumah tangga di kecamatan tersebut. Tingginya jumlah keluarga
miskin. Kemiskinan juga menjadi salah satu masalah di daerah pesisir kota Manado. Beberapa
kepustakaan menyebutkan bahwa penilaian status kesehatan masyarakat salah satunya dinilai
dari tingkat pendapatan. Hal ini disebabkan karena dengan tingginya tingkat pendapatan maka
akses terhadap layanan kesehatan yang prima akan mudah diperoleh. Selain itu, tingginya
pendapatan dapat membuat masyarakat memodifikasi lingkungan rumah dan sekitarnya
(termasuk jamban dan sumur) sehingga sesuai dengan syarat yang ditentukan.
Kesimpulan
Masalah kesehatan masyarakat pesisir dapat dibagi dalam 3 bagian besar yaitu
determinan lingkungan, perilaku dan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya peran
serta pemerintah dan masyarakat dalam upaya mengatasi masalah kesehatan masyarakat.
Daftar Pustaka
Athena, S. M., Anwar, H.D., & Haryono,M. 2004. The Number of Total Coli and Escherichia
coli/ Fecal Coli in Refill Drinking Water Depot in Jakarta, Tangerang and Bekasi. Buletin
Penelitian Kesehatan Volume 32(4) hal 135-143
Badu, A. 2012. Gambaran Sanitasi Dasar Pada Masyarakat Nelayan Di Kelurahan Pohe
Kecamatan Hulonthalangi Kota Gorontalo Tahun 2012. Public Health Journal. Vol 1(1): 1-5
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Manado. 2010. Manado in Figures.
Pemerintah Manado
Badan Pusat Statistik Kota Manado. 2010. Manado dalam Angka 2010. Manado
Budiman, B., Juhaeriah, J., Abdilah, A.D., dan Yuliana, B. 2011. Hubungan Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat Dengan Kejadian Diare Pada Balita Di Kelurahan Cibabat Kecamatan
Cimahi Utara. Prosiding SNaPP: Sains, Teknologi, dan Kesehatan. Vol 2(1) (online) diakses
dari
http://prosiding.lppm.unisba.ac.id/index.php/Sains/article/view/50#.UkDmnNJBKoU pada 17