Anda di halaman 1dari 18

TUGAS REVIUW JURNAL

NUTRISI DAN PAKAN TERNAK

OLEH

RIZAL

L1A116183

JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN


UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
1. PERTUMBUHAN MIKROBA RUMEN DAN EFISIENSI
PEMANFAATAN NITROGEN PADA SILASE RED CLOVER
(Trifolium pratense cv. Sabatron)

Kelebihan ternak ruminansia dibanding ternak lain karena adanya

proses biologis oleh mikroba di dalam rumen yang mampu mengubah

pakan berserat dan pakan protein berkualitas rendah, bahkan non protein

nitrogen menjadi nutrisi yang bermanfaat bagi ternak ruminansia.

Dua per tiga sampai tiga perempat asam amino yang diserap oleh

ternak ruminansia berasal daTi protein mikroba rumen (1). Dari angka

tersebut dapat dikatakan bahwa mikroba rumen merupakan sumber protein

yang penting bagi ternak ruminansia.

Berbagai upaya dilakukan untuk mengoptimalkan pertumbuhan

mikroba di dalam rumen, diantaranya dengan pemberian pakan sumber

nitrogen. Pemberian pakan konsentrat maupun amoniasi pacta proses

silase hijauan ditujukan untuk meningkatkan kadar nitrogen dalam pakan.

Pemberian sumber nitrogen yang berupa non-ammonia nitrogen

(asam amino, peptida dan protein sebagai suplemen terhadap amonia

menunjukkan efek stimulasi terhadap pertumbuhan mikroba rumen (in-

vitro) (2) in-vivo (3) disamping juga meningkatkan digesti pakan serat (in-

vivo) (4). Namun beberapa penelitian lainsecara in-vivo (5) clan secara in-

vitro (61 menunjukkan efek sebaliknya.

Wallace, et.al., (7) mengatakan ternak ruminansia merupakan

ternak yang sangat tidak efisien dalam retensi pakan sumber p~otein.
Pakan yang mengandung protein akan di fermentasi secara cepat segera

setelah masuk ke dalam rumen. Peptida merupakan bent uk antara dalam

proses degradasi protein yang selanjutnya akan dihasilkan amonia yang

berlebih yang akan segera hilang melalui difusi dinding rumen. Hilangnya

amonia akan menurunkan efisiensi pemanfaatan protein disamping juga

menambah tingkat polusi lingkungan. Peningkatan laju inkorporasi asam

amino clan amonia oleh mikroba rumen akan meningkatkan efisiensi clan

pertumbuhan mikroba rumen. Efisiensi transfer nitrogen oleh ruminansia

20-30% ke susu clan 10-20% ke daging, relatif jauh di bawah potensi

>40% (81. Rendahnya efisiensi N ini disebabkan oleh degradasi yang

intensif di dalam rumen oleh mikroba proteolisis. Rendahnya efisiensi N

juga disebabkan rendahnya sumber energi yang cepat dapat digunakan

untuk pertumbuhan mikroba rumen pada ternak yang diberi pakan serat.

Penambahan sumber protein tidak dapat menstimulasi

pertumbuhan mikroba rumen tanpa suplementasi karbohidrat terlarut. Crus

Solo, et al., (31 menunjukkan penambahan selobiosa pada pakan clan

penambahan protein dapat meningkatkan laju pertumbuhan mikroba

rumen.

Produksi gas HzS meningkat seiring dengan peningkatan

penambahan karbohidrat. HzS yang terbentuk berasal daTi degradasi

protein terutama protein yang mengandung asam amino sulfur.

Peningkatan karbohidrat di dalam pakan akan meningkatkan degradasi

protein oleh mikroba sehingga dapat digunakan untuk pertubuhannya


mikroba. dimana peningkatan penambahan karbohidrat di dalam pakan

meningkatkan pertumbuhan mikroba yang di tandai dengan peningkatan

produksi gas.

Mikroba memanfaatkan basil degradasi protein yang berupa asam

amino peptida clan amonia" Amonia merupakan basil akhir degradasi

protein. Amonia yang terukur pada media merupakan residu amonia

setelah dimanfaatkan oleh mlikroba. Pada awal inkubasi terlihat

konsentrasi amonia yang relatif tinggi. Hal ini terjadi karena pada awal

inkubasi telah terjadi degradasi protein secara cepat namun belum

diimbangi dengan pertumbuhan mikroba sehingga terjadi akumulasi

amonia di dalam medium.

Seiring dengan bertambah lama inkubasi pada lase eksponensial

pertumbuhan mikroba terlihat penurunan konsentrasi amonia karena

digunakan oleh mikrobGl untuk sintesis protein. Pada akhir inkubasi

kembali terjadi peningkatan konsentrasi amonia di dalam medium karena

terjadi lase kematian pertumbuhan mikroba, sehingga terjadi penurunan

penggunaan amonia oleh mikroba.

Peningkatan karbohidrat di dalam pakan meningkatkan aktifitas

metabolisme mikroba, baik dalam mendegradasi protein maupun

karbohidrat. Senyawa-senyawa asam yang merupakan produk akhir

degradasi karbohidrat akan menurunkan pH medium. Keberadaan

karbohidrat di dalam pakan selain berpengaruh positif yaitu peningkatan

pertumbuhan clan peningkatan efisiensi protein, mempunyai efek negatif.


Tingginya kadar karbohidrat akan menurunkan pH. Tingkat keasaman

yang terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan mikroba. Produksi VF

A dipengaruhi secara signifikan (P < 0,0011 oleh peningkatan karbohidrat

di dalam pakan. Produksi VFA tertinggi pada level pemberian karbohidrat

0,225 g.

2. FERMENTASI RUMEN DAN SINTESIS PROTEIN MIKROBA


KAMBING PERANAKAN ETTAWA YANG DIBERI PAKAN
DENGAN KOMPOSISI HIJAUAN BERAGAM DAN LEVEL
KONSENTRAT BERBEDA

Mikroba di dalam rumen sangat penting dalam menentukan

produksi ternak ruminansia, karena memungkinkan ternak ruminansia

memanfaatkan pakan serat, pakan limbah yang tidak bermanfaat bagi

manusia menjadi bahan makanan yang bermutu tinggi. Amonia adalah

sumber nitrogen utama dan sangat penting untuk sintesis protein mikroba

rumen. Amonia hasil perombakan protein pakan di dalam rumen akan

digunakan sebagai sumber nitrogen utama untuk sintesis protein mikroba.

Konsentrasi N-NH3 dalam rumen merupakan suatu hal yang perlu

diperhatikan. Menurut McDonald et al., (2002) bahwa kisaran konsentrasi

NH3 yang optimal untuk sintesis protein mikroba rumen berkisar 6 - 21

mMol.

Selanjutnya dikatakan, faktor utama yang mempengaruhi

penggunaan N-NH3 adalah ketersediaan karbohidrat dalam ransum yang

berfungsi sebagai sumber energi untuk pembentukan proteinmikroba. Oleh

karena itu, untuk memperoleh efisiensi sintesis protein mikroba yang


maksimal, maka ketersediaan N dan energi di dalam rumen harus

seimbang. Keseimbangan ini akan diperoleh dengan pemberian pakan

yang cermat dengan memperhitungkan hijauan sebagai sumber protein dan

sumber energi.

Peningkatan populasi mikroba terutama bakteri, selain

meningkatkan kecernaan pakan serat, juga merupakan sumber protein

berkualitas tinggi bagi ternak ruminansia. Protein mikroba dapat

menyumbangkan sampai 90% kebutuhan asam amino, dan asam amino ini

sangat konsisten dan sangat ideal untuk memenuhi kebutuhan ternak

ruminansia (Russell et al., 2009).

Fermentasi rumen Kondisi bagi mikroba rumen agar dapat

melakukan aktivitas secara optimal apabila pH rumen berada pada kondisi

normal yaitu 6-6,9 (Kamra, 2005). Penelitian ini mendapatkan pH cairan

rumen kambing berkisar antara 6,21 – 6,25 dan secara statistik tidak

berbeda nyata (P>0,05). Ini berarti kondisi rumen kambing pada semua

perlakuan berada pada suasana ideal bagi mikroba rumen. Derajat

keasaman atau pH cairan rumen merupakan keseimbangan antara

kapasitas penyangga dengan sifat basa atau asam dari produk fermentasi.

Jenis pakan yang diberikan pada ternak akan mempengaruhi pH rumen.

Tingginya bahan organik tercerna pada kambing yang mendapat

ransum A menyebabkan kebutuhan mikroba terhadap nutrien untuk

meningkatkan pertumbuhan tercukupi, sehingga menghasilkan sintesis

protein mikroba tertinggi pula. Mikroba rumen adalah protein sehingga


mikrobial nitrogen menjadi tinggi pada kambing yang mendapat ransum

A. Meningkatnya sintesis protein mikroba disebabkan oleh meningkatnya

konsumsi BK maupun konsumsi PK.

Menurut Karsli dan Russell (2001), meningkatnya konsumsi BK

mengakibatkan peningkatan passage rate (laju alir) digesta rumen menuju

intestinum demikian juga de ngan bakteri. Semakin cepat bakteri menuju

intestinum semakin sedikit energi dibutuhkan oleh bakteri untuk

maintenan dan sebagai kompensasi, energi ini bisa dipergunakan untuk

pertumbuhan bakteri lainnya. Gosselink et al. (2003) menyatakan bahwa,

PK merupakan komponen yang sangat menentukan untuk produksi sintesis

protein mikroba karena PK mengindikasikan ketersediaan unsur N bagi

mikroba rumen sepanjang nitrogen konsentrasinya tidak kurang dan

protein tidak digunakan sebagai sumber energi.

3. AKTIVITAS PROPORSI BERBAGAI CAIRAN RUMEN DALAM


MENGATASI TANNIN DENGAN TEHNIK IN VITRO

Pencernaan adalah rangkaian proses perubahan fisik dan kimia

yang dialami bahan makanan selama berada dalam alat pencernaan. Proses

pencernaan makanan pada ternak ruminansia relatif lebih kompleks

dibandingkan proses pencernaan pada jenis ternak lainnya.

Perut ternak ruminansia dibagi menjadi empat bagian yaitu

retikulum (perut jala), rumen (perut beludru), omasum (perut bulu) dan

abomasum (perut sejati). Dalam studi fisiologi ternak ruminansia, rumen

dan retikulum sering dipandang sebagai organ tunggal dengan sebutan


retikulorumen. Omasum disebut sebagai perut buku karena tersusun dari

lipatan sebanyak sekitar 100 lembar (Mindelwill, 2006).

Pada ternak ruminansia terdapat empat jenis mikroba yang

menguntungkan yaitu bakteri, protozoa, jamur (fungi), dan virus pada

kondisi ternak yang sehat. Dari keempat jenis mikroba tersebut, bakteri

mempunyai jenis dan populasi tertinggi. Cacahan sel pergram isi rumen

mencapai 1010 –1011, sedangkan populasi tertinggi kedua yaitu protozoa

yang mencapai 105 -106 cacahan sel pergram isi rumen (Ogimoto dan

Imai, 1980). Mikroba rumen memiliki sifat saling ketergantungan dan

berintegrasi satu sama lainnya. Interaksi mikroba memberikan kestabilan

dan adaptasi yang baik dalam rumen. Mikroorganisme salingberperan

dalam beradaptasi dengan pakan yang berbeda faktor dan pembandingnya.

Mikroorganisme dalam rumen berperan untuk membantu proses

pencernaan dan pertahanan tubuh. Protein mikroba rumen merupakan

biomassa sumber utama nitrogen untuk ternak. Peningkatan protein

mikroba dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang beragam dan faktor

populasi bakteri (Brooker et al, 1993). Banyaknya jenis mikroorganisme

rumen dan masing-masing mikroorganisme memiliki produk fermentasi

intermediet dan produk akhir fermentasi yang beragam menyebabkan

kehidupan dalam rumen menjadi kompleks.

Proses pencernaan fermentatif dalam retikulo rumen terjadi sangat

intensif. Hal ini menguntungkan, karena pakan dapat diubah dan disajikan

dalam bentuk yang lebih mudah diserap. Selain itu ternak ruminansia
dapat juga memanfaatkan pakan dengan kandungan serat kasar yang tinggi

dalam jumlah yang banyak. Ekosistem mikroba rumen sangat stabil dan

dinamis. Pada ternak yang sehat kontaminasi ekosistem seolah tidak

terjadi, pada kenyataannya jutaan mikroba dalam rumen banyak berasal

dari pakan, air minum dan udara setiap harinya. Ekosistem rumen dinamis,

ketika rumen tidak mengalami perubahan pakan, mikroba rumen dapat

beradaptasi dengan pakan tersebut. Hal ini terjadi karena mikroorganisme

teradaptasi untuk terus hidup dalam rumen dan yang tidak mampu

beradaptasi akan tereliminasi (Kamra, 2005).

Proses adaptasi mikroorganisme rumen merupakan salah satu

bentuk pertahanan tubuh dari ternak itu sendiri. Mikroba rumen berperan

sebagai pertahanan tubuh terhadap seranganserangan toksik atau

antinutrisi yang dihasilkan dalam proses pencernaan. Namun, tidak

selamanya zat antinutrisi memberikan pengaruh negatif, konsumsi pakan

yang mengandung tanin dapat berpengaruh resisten pada kehidupan rumen

terhadap parasit gastrointestinal nematode. Kandungan tanin dari tanaman

pada iklim yang berbeda berpotensi untuk meningkatkan suplai dan

penyerapan protein tercerna (Pell, 2003).

Komposisi dan populasi mikroba rumen ditentukan oleh jenis

pakan yang dikonsumsi dan interaksi antar mikroba rumen (Preston et al,

1987). Wiryawan et al (2003) berhasil mengisolasi bakteri pendegradasi

tannin dari cairan rumen ternak yang telah beradaptasi dengan legume

kaliandra. Hal serupa telah dilakukan oleh Abrar (2001) yang berhasil
mengisolasi mikroba rumen sebagai bakteri pendegradasi sianida dari

cairan rumen domba yang telah teradaptasi dengan sianida.

4. PENGARUH PENAMBAHAN ISI RUMENDALAM RANSUM


TERHADAP KONSUMSI NUTRIEN PADA DOMBA PASCA
SAPIH DINI

Peningkatan kebutuhan daging masyarakat Indonesia harus

diimbangi dengan peningkatan produksi dan produktivitas ternak.Ternak

ruminansia merupakan salah satu ternak yang berperan dalam

menghasilkan daging dimana ternak ruminansia memerlukan bantuan

mikroba dalam mencerna pakannya.Ternak ruminansia muda belum

sempurna dalam memfermentasikan pakan di dalam rumen karena saluran

pencernaannya masih mengalami perkembangan. Perkembangan saluran

pencernaan ruminansia dapat dirangsang dengan memberi pakan starter

dan probiotik sebagai pakan tambahan (Pamungkas dan Anggraeny, 2006).

Probiotik merupakan produk yang berasal dari kultur mikroba yang

ditambahkan dalam pakan dalam jumlah yang tertentu. Salah satu bahan

yang yang dapat dimanfaatkan sebagai probiotik yaitu isi rumen ternak

karena isi rumen merupakan pakan yang belum terfermentasi sempurna di

dalam rumen dan masih mengandung sel-sel mikroba, asam amino, protein

kasar, saliva, asam lemak atsiri dan vitamin (Oladefahan, 2014; Al-

Wazeer, 2016). Jenis bakteri yangbanyak ditemukan dalam isi rumen

adalah bakteri selulolitik serat misalnya Fibrobacter succinogenes,

Ruminococcus flavefaciens dan Ruminococcus albus (Cherdthong et al.,


2015). Mikroba yang terkandung dalam isi rumen bersifat dapat hidup di

dalam saluran pencernaan ternak dan dapat memberikan efek positif bagi

induk semang (Pamungkas dan Anggraeny, 2006).

Isi rumen dari masing-masing jenis ternak ruminansia mengandung

jumlah populasi mikroba yang berbeda-beda. Rumen sapi mengandung

bakteri sebanyak 2,1 x 1010 ml-1 (Purbowati et al., 2014). Populasi

bakteri rumen kerbau mencapai 1011 g -1 (Franzolin dan Wright, 2016),

kambing 10,5 x 1010 ml-1 (Liu et al., 2017) dan domba 1,6 x 1010g -1

(Wora-anu et al., 2007). Selain banyaknya populasi mikroba, perbedaan isi

rumen dari berbagai ternak ruminansia yaitu berupa jenis spesies mikroba.

Cairan rumen kambing banyak mengandung populasi Selenomonas

ruminantium karena kambing lebih cenderung untuk mengkonsumsi

dedaunan dari tanaman spesies Acacia spp. (Skene dan Brooker, 1995).

Bakteri Selenomonas berperan dalam menfermentasi gula dan dapat

tumbuh dengan mudah jika berada dalam kondisi lingkungan yang

mengandung konsentrasi tanin dalam jumlah yang tinggi (Odenyo dan

Osuji, 1998).

Populasi protozoa dalam cairan isi rumen kerbau lebih tinggi dari

sapi. Protozoa spesies Epidinium ecuadatum dan Diplodinium crystagali

dapat ditemukan pada cairan rumen kerbau namun tidak ditemukan pada

sapi (Jabari et al., 2014). Epidinium ecaudatum lebih mampu untuk

mendegradasi mikrokristal selulosa dibandingkan Entodinium maggi pada

cairan rumen kerbau dan sapi (Coleman, 1985).


Penambahan isi rumen ke dalam ransum dapat mempengaruhi sifat

fisik, kimiawi dan kandungan nutrien dan palatabilitas ransum (Zain,

2009). Kandungan nutrien dan palatabilitas pakan dapat mempengaruhi

kecernaan di dalam rumen sehingga menentukan nilai konsumsi ternak

(Paramita et al., 2008). Banyaknya nutrien yang terkonsumsi berpengaruh

terhadap energi yang dihasilkan oleh tubuh untuk memenuhi kebutuhan

hidup pokok (maintenance), pertumbuhan dan produksi ternak (Astuti et

al., 2009). Hal ini menunjukkan bahwa perlu pembahasan lebih lanjut

mengenai pengaruh penambahan isi rumen dalam ransum terhadap

konsumsi bahan organik (BO), lemak kasar (LK) dan total digestible

nutrients (TDN). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh

penambahan isi rumen berbagai ternak ruminansia dalam ransum terhadap

konsumsi BO, LK dan TDN domba pasca sapih dini.

5. KARAKTERISTIK CAIRAN RUMEN, JENIS, DAN JUMLAH


MIKROBIA DALAM RUMEN SAPI JAWA DAN PERANAKAN
ONGOLE

Penelitian tentang produktivitas sapi Jawa sudah banyak dilakukan.

Hasil penelitian Lestari et al. (2009) menunjukkan bahwa sapi Jawa yang

dipelihara petani peternak di kabupaten Brebes mempunyai produksi

karkas yang tinggi dan kualitas daging yang baik dengan kandungan lemak

yang rendah (2%). Purbowati et al. (2011) melaporkan, bahwa sapi Jawa

yang hanya diberi jerami padi dan dedak padi menghasilkan pertambahan

bobot badan harian (PBBH) 0,19 kg, sedangkan yang diberi jerami padi,
dedak padi, daun gliricidia, dan mineral dapat menghasilkan PBBH

sebesar 0,63 kg.

Produktivitas tersebut merupakan hasil akhir dari proses pemberian

pakan dan metabolisme di dalam tubuh sapi. Namun informasi tentang

kondisi cairan rumen maupun mikrobia yang terdapat dalam saluran

pencernaan tersebut, khususnya pada sapi Jawa masih jarang diperoleh,

bahkan boleh dikatakan tidak ada. Padahal sapi Jawa tersebut mampu

memanfaatkan pakan yang berkualitas kurang baik (rumput lapang dan

jerami) menjadi produk daging. Hal ini tidak lepas dari kondisi dan peran

mikrobia rumen yang sangat penting dalam pencernaan pakan. Informasi

tentang karakteristik cairan rumen sangat bermanfaat dalam manajemen

pemberian pakan. Pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan ternak,

akan memberikan jaminan terhadap kelangsungan hidup ternak, khususnya

apabila ternak tersebut dipelihara di luar habitat aslinya (ex situ). Sapi

Jawa yang terdapat di kabupaten Brebes, merupakan plasma nutfah yang

harus dilestarikan, bahkan kalau mungkin di-kembangkan tidak hanya di

kabupaten Brebes, namun juga di tempat-tempat lain. Informasi yang

diperoleh dari penelitian inikan menjadi dasar untuk melestarikan dan

mengembangkan sapi Jawa, sebagai bangsa sapi lokal yang kompetitif.

Kondisi rumen sangat penting agar proses pencernaan pakan di

dalam rumen dapat optimal. Hal ini karena proses pencernaan ruminansia

tidak terlepas dari peran mikrobia rumen yang sangat membantu dalam

proses pencernaan dan penyediaan zat makanan dan energi bagi ternak
ruminansia tersebut. Kondisi cairan rumen sapi Jawa dan sapi PO

disajikan pada Tabel karakteristik cairan rumen.

Nilai pH cairan rumen sapi Jawa (6,83) sedikit lebih tinggi dari

pada sapi PO (6,67), namun keduanya masih dalam kondisi yang normal.

Menurut Arora (1989), pH bervariasi menurut jenispakan yang diberikan,

namun pada umumnya dipertahankan tetap sekitar 6,8 karena adanya

absorbsi asam lemak dan ammonia. Hasil penelitian Umar et al. (2011)

menunjukkan bahwa pH cairan rumen sapi Madura dan sapi PO yang

dipelihara secara intensif dengan pakan rumput gajah (30%) dan

konsentrat (70%) masing-masing sebesar 8-8,4 dan 7,6-8,4, lebih tinggi

dari hasil penelitian ini. Yokoyama dan Johnson (1993) menyatakan

bahwa pH rumen merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

populasi mikroba di dalam rumen.

Konsentrasi NH3 cairan rumen sapi Jawa (8,75 mgN/100ml) lebih

tinggi dari pada sapi PO (7,49 mgN/100ml). Seluruh protein yang berasal

dari pakan, pertama kali dihidrolisis oleh mikroba rumen (Arora, 1989)

menjadi peptida dan asamasam amino (Ranjhan, 1981). Asam amino

kemudian difermentasi lebih lanjut melalui deaminasi menjadi asam α-

keto yang kemudian mengalami dekarboksilasi menjadi CO2, amonia, dan

asam lemak rantai pendek (McDonald et al., 1988). Beberapa asam amino

dapat langsung digunakan oleh bakteri untuk sintesis protein tubuhnya,

tetapi amonia merupakan jumlah nitrogen larut yang utama dalam cairan

rumen yang dibutuhkan oleh bakteri rumen untuk sintesis protein


tubuhnya sepanjang kerangka karbon dari karbohidrat yang mudah dicerna

seperti pati atau gula tersedia (Ranjhan, 1981).

Konsentrasi amonia dalam cairan rumen tergantung dari kelarutan

dan jumlah protein pakan untuk ternak, serta laju degradasi protein pakan

(Widyobroto et al., 1995), waktu pengosongan rumen, laju penggunaan

nitrogen oleh biomas mikroba rumen, dan absorbsi amonia (Djajanegara,

1983). Konsentrasi NH3 hasil penelitian ini cukup baik, karena menurut

Satter dan Slayter (1974) cit. Nuswantara et al. (2006), konsentrasi NH3

yang diperlukan untuk laju sintesisprotein mikroba yang maksimum

berkisar antara 3- 8 mg/100 ml cairan rumen.

Konsentrasi asetat dan butirat cairan rumen sapi Jawa lebih rendah

dari pada sapi PO, tetapi konsentrasi propionat cairan rumen sapi Jawa

lebih tinggi dari pada sapi PO (Tabel). Volatile fatty acids yakni asam

asetat, propionat, butirat, kemudian CO2, CH4 dan kadang-kadang laktat

dan suksinat serta H2 merupakan produk akhir dari degradasi karbohidrat

(Prawirokusumo, 1994). Volatile fatty acids merupakan sumber energi

utama bagi ternak ruminansia (Arora, 1989). Asam asetat dan butirat

merupakan sumber energi untuk oksidasi yang bersifat ketogenik,

sedangkan asam propionat digunakan untuk proses glukoneogenesis atau

bersifat glukogenik (Chuzaemi, 1994).

Rasio asetatpropionat cairan rumen sapi Jawa lebih rendah dari

pada sapi PO berarti lebih berpeluang untuk menghasilkan produktivitas

berupa pertambahan bobot badan yang lebih tinggi. Umar et al. (2011)
melaporkan bahwa rasio asetat-propionat sapi Madura dan Peranakan

Ongole yang dipelihara secara intensif dengan konsentrat tinggi sebesar

1,85 dan 1,69. Menurut Walsh et al. (2009), peningkatan proporsi

konsentrat meningkatkan kecernaan karbohidrat non struktural dan

menurunkan kecernaan serat kasar sehingga rasio asetat-propionat rendah.

Tingginya rasio asetatpropionat pada penelitian ini karena ternak

dipelihara secara tradisional tanpa menggunakan konsentrat.

Lebih rendahnya populasi protozoa cairan rumen sapi Jawa

dibandingkan sapi PO tidak bisa dikatakan lebih baik atau lebih jelek,

karena fungsi protozoa dalam rumen masih merupakan sesuatu yang

dipertentangkan. Sebagian menyatakan bahwa protozoa tidak penting bagi

pencernaan, sehingga lebih baik didefaunasi. Alasannya adalah untuk

hidupnya memerlukan energi yang diambil dari nutrisi induk semang

(Leng, 1987 cit. Soeharsono et al., 2010). Protozoa memangsa bakteri

yang justru sangat bermanfaat dalam mencerna serat kasar, sehingga

jumlah bakteri berkurang setengahnya (Yokoyama dan Johnson, 1993).

Hanim et al. (2009) juga menyatakan bahwa kehadiran protozoa

menurunkan jumlah bakteri dan jumlah total protein mikroba yang tinggal

dalam rumen. Protozoa yang mati tidak dapat segera dimanfaatkan oleh

induk semang, karena tertahan di dalam partikel-partikel besar dalam

rumen. Percobaan in vitro menunjukkan bahwa protozoa mendegradasi

pakan berprotein tinggi dan percobaan in vivo menunjukkan bahwa

protozoa mengonsumsi protein yang mudah larut yang dapat segera


dimanfaatkan oleh induk semang. Penelitian Demeyer (1979) cit.

Soeharsono et al. (2010) menunjukkan bahwa domba yang didefaunasi

pertumbuhannya meningkat sebesar 37%, oleh karena itu protozoa

sebaiknya ditekan sampai jumlah tertentu.

Pendapat lain menyatakan bahwa protozoa penting untuk

pencernaan yaitu untuk mempertahankan pH. Biasanya pH rumen cepat

menurun apabila karbohidrat non struktural difermentasi dengan cepat.

Hal ini terjadi apabila jumlah bakteri cukup tinggi. Dengan adanya

protozoa, sebagian bakteri dimakan sehingga zat yang mudah difermentasi

agak lambat difermentasi dan pH tidak menurun dengan drastis (Vieira et

al, 1984). Protozoa berperan dalam mencerna hijauan berkualitas rendah

dan kontribusinya mencapai 12- 20% (Akin dan Amos 1978 cit.

Soeharsono et al., 2010).

Protozoa mempunyai peranan penting pada aspek tertentu dari

metabolisme dalam rumen yang berhubungan dengan kesehatan dan

kondisiternak, karena protozoa dapat menurunkan nitrat dan nitrit dalam

rumen (Yoshida et al., 1982), dan dalam mendegradasi beberapa

mikotoksin (Kiessling et al., 1984). Walaupun hanya sedikit, ternyata

protozoa mampu memproduksi asam propionat. Protozoa mampu

menggunakan bahan makanan dan menyimpan polisakarida dalam bentuk

amilopektin yang akan dipergunakan bila ketersediaan substrat terbatas.

Dengan demikian protozoa mampu mengontrol ketersediaan substrat bagi

kebutuhan pertumbuhannya. Dengan adanya kemampuan ini, maka


protozoa dapat menjaga kestabilan proses fermentasi dalam rumen. Selain

itu, kemampuan protozoa untuk memangsa bakteri juga akan menjaga

kestabilan proses fermentasi dalam rumen (Church, 1979).

Populasi bakteri cairan rumen sapi Jawa (2,7 x 107 cfu/g) lebih

rendah dari pada sapi PO (2,3 x 108 cfu/g), tetapi populasi jamur cairan

rumen sapi Jawa (9,3 x 104 cfu/g) lebih tinggi dari pada sapi PO (1,9 x

103 cfu/g). Menurut Arora (1989), konsentrasi bakteri pada sapi dapat

mencapai 21 x 109 per ml cairan rumen. Bakteri dalam rumen dapat

berasal dari bahan pakan maupun adanya kontak langsung dengan bahan

lain yang mengandung bakteri. Bakteri merupakan mikroorganisme rumen

yang dominan. Dilihat dari fungsinya, bakteri dalam rumen dapat dibagi

menjadi 7 (tujuh) kelompok utama, yaitu (1) kelompok pencerna selulosa,

(2) kelompok pencerna hemiselulosa, (3) kelompok pencerna pati, (4)

kelompok pencerna gula, (5) kelompok pemakai laktat, (6) kelompok

pembentuk metan, dan (7) kelompok bakteri proteolitik. Bakteri rumen

telah beradaptasi untuk hidup pada kondisi fisik rumen relatif tetap yakni

pH 5,5–7,0 dan dalam keadaan anaerob (ada oksigen, tetapi sangat

sedikit), suhu 39–40OG, dan konsentrasi produk fermentasi kontinyu,

walau tidak begitu tinggi.

Anda mungkin juga menyukai