Oleh :
Nama : MUHAMMAD KING HASBI
NIM : D1A020081
Kelompok/Kelas : 4D
Asisten : UMMU KHOFIFATUN
3.1 Materi
3.1.1 Alat
3.1.1.1 KBK dan KBO
1. Sentrifuge
2. Shaker waterbath
3. Glasswool
4. Cawan porselen tidak berpori
5. Cawan porselen berpori
6. Oven (105℃)
7. Tanur listrik (600℃)
8. Timbang ananalitik
3.1.1.2 VFA
1. Pipet
2. Satu set alat destilasi uap (labu didih, pipa penghubung dan pendingin Liebig)
3. Labu erlenmeyer
4. Buret makro (25-50 ml)
3.1.1.3 N-NH3
1. Cawan conway
2. Pipet 1 ml
3.1.1.4 Gas test
1. Oven isothermal
2. Rotor
3. Tabung menke
4. Thermos
5. Dispenser
6. Ternak donor cairan rumen
3.1.2 Bahan
3.1.2.1 KBK dan KBO
1. Cairan rumen (sumber inokulum)
2. Gas CO2
3. Larutan Mc Dougalls pH 6,8
4. Larutan HgCl2 jenuh
5. Larutan pepsin HCl 0,5%
3.1.2.2 VFA
1. Cairan rumen (supernatan dari percobaan fermentatif)
2. H2SO4 15% (15 ml H2SO4 pekat dilarutkan dalam aquades hingga volumenya 100
ml)
3. NaOH 0,5N (20 g NaOH dilarutkan dalam aquades hingga volume 1 liter)
4. HCl 0,5N (41,667 ml HCl pekat dilarutkan dalam aquades hingga volumenya 1 liter)
3.1.2.3 N-NH3
1. Cairan rumen (supernatan dari percobaan fermentatif)
2. Asam borat berindikator MR dan BCG
3. Na2CO3 jenuh (larutkan Na2CO3 dalam aquades 50 ml hingga tidak larut)
4. H2SO4 0,01N (0,27 ml H2SO4 pekat ditambah aquades hingga 1 liter)
5. Vaselin
3.1.2.4 Gas test
1. Larutan mikromineral 100 ml
2. Larutan penyangga (buffer) rumen
3. Larutan makromineral
4. Larutan resazurin 0,1% (w/v)
5. Larutan pereduksi (reducing solution) disediakan segar untuk setiap set percobaan
6. Cairan rumen diambil dari sapi atau domba fistula
7. Bahan pakan standar (hay dan konsentrat) digunakan untuk mengontrol kualitas
cairan rumen
3.2 Cara Kerja
3.2.1 KBK dan KBO
A. Pencernaan Fermentatif
Disiapkan tabung reaksi dan ditimbang 2 gram BK sampel, lalu tabung diberikan label
Ditambahkan 16 ml cairan rumen lalu aliri CO2 dan tabung ditutup dengan tutup
Inkubasi 24 jam di shaker waterbath digoyang kecepatan 60-70 rpm (suhu 39oC
kondisi anaerob).
Substrat atau tabung disaring pada cawan porselin berpori yang telah dilapisis
glasswool, lalu didapatkan residu untuk mengetahui degradasi BK dan supernatant
untuk mengukur VFA dan N-NH3.
B. Pencernaan Hidrolitis
Tabung lain dari percobaan fermentatif yang belum disaring ditambahkan H2SO4 jenuh
sebanyak 2 tetes lalu ditambahkan 4 ml pepsin HCl 0,5%.
Supernatan dibuang, residu dikeringkan dalam oven 105°C selama 8 jam, catat BK.
Dioven 105°C selama 1 jam untuk didinginkan lalu didesikator 1 jam, BO dicatat.
3.2.2 VFA
Destilator dididihkan
Tempat sampel dicuci dengan aquadest
Destilasi ditampung pada labu erlenmeyer yang telah berisi 5 ml NaOH 0,5 N hingga volume
destilat mencapai 100 ml, jadi diasumsikan 100 ml VFA telah menguap seluruhnya
Ditambahkan 2 tetes indikator PP ke dalam destilat hingga berubah warna menjadi pink
3.2.3 N-NH3
Cawan Conway diolesi vaselin untuk merekatkan supaya tidak ada udara yang masuk
Diinkubasi 24 jam pada suhu ruang atau sebagai proses penguapan dan penangkapan
N-NH3
Dititrasi dengan H2SO4 0,01 N untuk mengetahui N yang ditangkap dan berfungsi sebagai
titran, jadi yang awalnya berwarna biru maka dengan penambahan asam borat akan
berubah menjadi warna pink
Diamati setiap 4 jam sekali pertambahan Gas test selama 24 jam (dicatat)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 KBK
%KBK = BK asal−( Brt stlh oven sampel−Brt cwn sblm oven sampel ) −¿ ¿
2−( 16,8470−15,9462 ) −(17,4485−17,4222)
= x 100%
2
= 56,275%
4.1.2 KBO
%KBO =
BO asal−¿ ¿=1,3066−¿ ¿
= 39,897%
4.1.3 VFA
Diketahui:
Bahan pakan : Indigofera
Ml titran sampel : 4,72
Ml titran blangko : 4,86
Rumus:
Kadar VFA total = ((y - z) x N HCl x (1000/5))mM
Keterangan:
Y = ml HCl yang dibutuhkan untuk titrasi blangko
Z = ml HCL yang dibutuhkan untuk titrasi destilat
Kadar VFA total = ((4,86 ml – 4,72 ml)) x 0,5 N x (1000/5)) mM
= 14 mM
4.1.4 N-NH3
Diketahui:
Bahan pakan : Indigofera
Ml titran : 4,44
Rumus:
Kadar N-NH3 = ((ml titran x N H2SO4 x (1000/1))
= (4,44 x 0,01 x 1000)
= 4,44 mM
4.1.5 Gas test
Diketahui:
V0: 18
V24 : 24,5
Gb0 : 1
FH : 1
FC : -
W (mg) : 200
Rumus:
Gb (ml/200 mg DM,24) = (V24 – V0 – Gb0) x 200 x FH + FC
2
W
= (24,5 – 18 – 1) x 200 x 1 + 0
2
200
= 5,5
%KBK %KBO VFA N-NH3 Gas test
56,275 39,897 14 mM 4,44mM 5,5
4.2 Pembahasan
4.2.1. Kecernaan Bahan Kering
Kecernaan pakan sangat penting diketahui untuk menentukan kualitas suatu
bahan pakan dilakukan dengan cara in vitro yang merupakan metode percobaan
pencernaan yang dilakukan di luar tubuh ternak dengan menyediakan lingkungan seperti
ternak aslinya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Wijayanti et al. (2012) yang
menyatakan bahwa metode in vitro merupakan metode pendugaan kecernaan secara
tidak langsung yang dkerjakan di laboratorium dengan meniru proses-proses yang terjadi
di dalam saluran pencernaan ternak ruminansia.
Kecernaan bahan kering pada ternak ruminansia mampu menunjukkan seberapa
tingginya zat makanan yang dapat dicerna oleh mikroba dan enzim pencernaan pada
rumen. Hasil praktikum kecernaan bahan kering menunjukkan kecernaan bahan kering
sebesar 56,275% dimana semakin tinggi persentase kecernaan bahan kering suatu bahan
pakan, menunjukkan bahwa semakin tinggi kualitas bahan pakan tersebut. Menurut
Widodo et al. (2019) faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan kering antara
lain komposisi bahan pakan, perbandingan komposisi antara bahan pakan satu dengan
bahan pakan lainnya. Kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap nilai kecernaan
bahan kering adalah derajat keasaman (pH), suhu dan udara baik itu secara aerob /
anaerob, cairan rumen, lama waktu inkubasi, ukuran partikel sampel, dan larutan
penyangga.
Menghitung kecernaan bahan kering dilakukan dalam dua tahap, yaitu proses
fermentative dan proses hidrolitis. Proses hidrolitis tidak menggunakan bantuan mikroba,
sedangkan pada proses fermentatif menggunakan mikroba. Hal tersebut sesuai dengan
Suparwi et al. (2017) yang menyatakan bahwa kecernaan bahan kering melalui dua tahap,
yaitu proses fermentative dan proses pencernaan hidrolitik. Proses pencernaan
fermentative dilakukan oleh mikroba rumen dan dilanjutkan dengan proses pencernaan
hidrolitik. Semakin banyak SPD terfemntasi akan semakin sedikit residu yang dihasilkan,
akibatnya semakin tinggi pula nilai kecernaan bahan keringnya.
4.2.2 Kecernaan Bahan Organik
Faktor utama dalam menentukan kebijakan dalam pemilihan dan penggunan
bahan makanan sebagai sumber zat makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok
dan produksi adalah kualitas nutrisi bahan pakan ternak. Menurut Harahap et al. (2017)
berpendapat bahwa teknik in vitro dilakukan dengan kondisi rumen yang sebenarnya
dengan menggunakan metode Tilley dan Terry (1963) dimana metode tersebut digunakan
pula pada praktikum kecernaan bahan organik dan kecernaan bahan kering. Teknik in
vitro tersebut menggunakan rumen tiruan dan larutan McDougalls sebagai pengganti
cairan saliva dan cairan rumen sapi berfistula rumen sebagai inokulum.
Kecernaan bahan organik dilakukan dengan mengukur kecernaan dengan
anggapan bahwa proses pencernaan telah berjalan sempurna 24 jam secara fermentatif
dan hidrolitis. Kecernaan bahan organik diukur untuk mengetahui jumlah serta kualitas
bahan pakan yang akan diserap tubuh ternak. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Wahyuni (2014) selain nilai bahan organiknya kecernaan bahan organic juga menunjukan
indicator kualitas bahan pakan. Bahan pakan dengan kecernaan bahan organic tinggi
menunjukan bahwa bahan pakan tersebut mampu menyediakan nutrisi yang dibutuhkan
oleh ternak.
Nilai kecernaan bahan organik sangat berkaitan dengan nilai kecernaan bahan
kering. Semakin tinggi kecernaan bahan kering maka semakin tinggi pula kecernaan
bahan organiknya. Hal tersebut sesuai dengan Riswandi et al. (2015) berpendapat bahwa
nilai kecernaan bahan organik yang lebih tinggi dibanding dengan nilai kecernaan bahan
kering disebabkan karena pada bahan kering masih terdapat kandungan abu, sedangkan
pada bahan organik tidak mengandung abu, sehingga bahan tanpa kandungan abu relatif
lebih mudah dicerna. Kandungan abu memperlambat atau menghambat tercernanya
bahan kering ransum. Peningkatan kecernaan bahan organik dikarenakan kecernaan
bahan kering juga meningkat.
4.2.3 VFA (Volatile Fatty Acid)
Degradasi pakan dalam rumen akan menghasilkan volatile fatty acid (VFA)
yang berasal dari bakteri sebagai komponen untuk membentuk protein tubuhnya selain
CO2 dan NH3. VFA terdiri dari asam asetat, asam propionate, asam butirat, sebagian kecil
asam format, isobutirat, valerat, isovalerat dan kaproat sebagai produk akhir dari
fermentasi karbohidrat dalam rumen. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Partama
(2013) FVA berasal dari karbohidrat yang difermentasi supaya energi dalam bentuk
adenosine tri phosphate (ATP).
Produksi VFA berfungsi untuk mengetahui proses fermentasi karbohidrat serta
berkaitan dengan produktivitas ternak. Hal tersebut dijelaskan Hindratiningrum, dkk
(2011) sebagian besar VFA rumen berasal dari fermentasi karbohidrat pakan. Faktor yang
mempengaruhi konsentrasi VFA diantaranya yaitu jenis mikroba, penyerapan dan
fermentabilitas daru pakan sumber karbohidrat.
Mengetahui total VFA yang dicerna oleh mikroba rumen ternak ruminan dapat
diketahui secara in vivo dengan menggunakan destilasi uap. Pujowati, dkk (2012)
menjelaskan bahan-bahan yang diperlukan yaitu pepsin HCl, H 2SO4 15%, larutan NaOH 0,5
N, indikator PP 1%, HCl 0,5 N, akuades, dan CO 2. Bahan-bahan tersebut memiliki
fungsinya masing-masing. Larutan H2SO4 untuk menguapkan VFA serta membunuh
mikroba, NaOH untuk mengikat VFA, HCl sebagai titran, dan indikator PP sebagai indikasi
warna.
Teknis yang dilakukan yaitu supernatan dimasukkan ke tabung destilasi dengan
tambahan H2SO4 15% dan ditutup rapat. Dhia, dkk (2019) menjelaskan panas tersebut
akan mendesak VFA melewati tabung pendingin terkondensansi yang kemudian
ditampung elrlenmeyer berisi NaOH 0,5 N sebanyak 5 ml hingga mencapai 300 ml.
Selanjutnya lakukan titrasi menggunakan HCl 0,5 N dengan menambahkan indikator PP
sebanyak 2 ml hingga terjadi perubahan warna dari merah muda menjadi bening.
Rata-rata ternak memiliki kadar VFA sejumlah 120 mm, jika di bawah 80 mm ternak
kekurangan energi, sedangkan di atas 260 ternak kelebihan karbohidrat yang
menyebabkan kembung. Harahap, dkk (2017) menjelaskan VFA diserap tubuh dalam
proses glukogenesis dan diubah oleh hati menjadi gula darah yang berfungsi mengsuplai
sebagian kebutuhan energi bagi ternak, pembentukan protein mikroba. Berkaitan hal
tersebut, kadar VFA dipengaruhi oleh sifat karbohidrat, laju makanan meninggalkan
rumen, dan frekuensi pemberian pakan.
4.2.4 N-NH3
Nitrogen amonia (N-NH3) merupakan sumber nitrogen terbesar untuk
sintensis protein mikroorganisme bersama dengan VFA. Probowati, dkk (2012)
menjelaskan hal tersebut dapat terjadi karena pakan yang mudah difermentasi akan
meningkatkan aktivitas mikroba rumen kadar VFA dan NH 3 turut meningkat. Protein
dalam rumen akan didegredasi memnjadi asam amino yang mengalami deaminasi untuk
menghasilkan amonia dan asam α keto yang diubah menjadi VFA.
Kegiatan menghitung kadar NH3 secara in vitro dapat dilakukan dengan menyiapkan
alat dan bahan seperti cairan rumen, H2SO4, Na2CO3 jenuh, asam borat, vaselin, dan
cawan Conway. Kadar NH3 yang berasal dari rumen diukur menggungak teknik mikrodifusi
Conway. Dhia, dkk (2019) menjelaskan 1 ml supernatant diletakkan di kiri sekat cawa
nconway, 1 ml larutan Na2CO3 jenuh pada sekat kanan, serta 1 ml asam borat berindikator
merah metal dan brom kresol hijau di bagian tengah. Cawan tersebut ditutup dengan
diberi vaselin dan digoyang-goyangkan hingga homogen, lalu didiamkan selama 24 jam
pada suhu kamar. Perubahan yang terjadi yaitu asam borat mengikat amoniak dilakukan
titrasi menggunakan H2SO4 0,001 N hingga berubah menjadi warna merah.
Amoniak yang sudah dititrasi dengan H2SO4 0,05 N akan dilanjut menghitung kadar
NH3 pada sampel menggunakan rumus total titran H 2SO4 yang terpakai x N H2SO4 x 1000
mM. Berdasarkan Hasil, nilai kadar NH3 yang dihasilkan yaitu sebanyak 4,44 mm. Nilai
tersebut menunjukkan bahwa kadar NH3 pada rumen ternak yang diberi pakan rumput
gajah tersebut sudah optimal. Hal tersebut dijelaskan oleh Wandra, dkk. (2020) nilai
optimum untuk N-NH3 berkisar antara 4—12 mM.
Produksi amonia dalam rumen dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya yaitu
tingkat protein pakan yang dikonsumsi, derajat degradabilitas pakan , lamanya pakan
berada di dalam rumen dan pH rumen. Hal tersebut dijelaskan Oktarini, dkk (2015)
semakin tinggi tingkat protein yang terkandung dalam pakan, maka protein mudah
didegredasi dalam rumen. Artinya semakin tinggi NH 3 di dalam rumen mengindikasikan
terdapt protein yang mudah larut dapat dicerna dengan baik, sehingga 80% amoniak
digunakan sebagai sumber nitrogen untuk pertumbuhannya.
Hubungan antara VFA dan N-NH3 adalah berbanding terbalik. Ternak yang
kekurangan N-NH3 tidak terjadi sintesis protein mikroba, sedangkan kelebihan N-NH 3
dapat mengalami overflow urea yang akibatnya kadar urea dalam urine dan susu
tinggi. Yanuartono, dkk (2017) menjelaskan kadar amoniak yang tinggi dalam darah
dapat menyebabkan kematian karena terjadi toksisitas amonia yang diserap darah dan
akirnya berpengaruh terhadap produksi susu.
4.2.5 Gas Test
Gas test merupakan cara pengukuran total gas fermentasi yang diproduksi oleh
mikroba rumen dari bahan pakan atau ransum yang diuji. Prinsip dari gas test yaitu
cerminan fermentasi substrat bahan pakan di dalam rumen yang mampu mengahasilkan
VFA dengan produk akhir CO2, CH4, dan secara in vitro dengan perlakukan diinkubasi
selama 24 jam. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Firsoni, dkk (2017) produksi gas
selama inkubasi merupaka produk buangan dari fermentasi substrat seperti CH 4, CO2, O2,
dan H2S.
Metode yang digunakan dalam mengukur produksi gas dalam rumen yaitu metode
menke pada tahun 1979. Sajati, dkk (2012) menjelaskan parameter yang diamati secara in
vitro pada pengukuran gas rumen yaitu produksi gas total dan gas metan. Produksi gas
menggambarkan tingkat proses fermentasi yang terjadi, sehingga informasi mengenai laju
produksi gas sesuai dengan sifat kimia bahan pakan yang terkandung. Hal tersebut
berkaitan dengan proses fermetasi dan degradasi substrat pakan selama proses inkubasi.
Bahan-bahan yang diperlukan untuk pengukuran gas test diantaranya yaitu rumen
sebagai sumber mikroba, larutan medium suplai nutrisi yang terdiri dari larutan
micromineral, larutan buffer, larutan makromineral, aquadest, resazurin, dan pereduksi.
Sjofjan, dkk (2019) menyatakan cairan rumen memiliki variasi kualitas yang dipengaruhi
oleh spesies ternak dan pakan yang dikonsumsi. Pakan yang baik untuk ternak minimal
harus mengandung 12% protein kasar dan DE 3000 Kcal/kg BK atau TDN 68%.
Berdasarkan Hasil, total produksi gas yang dihasilkan bahan pakan indigofera sekitar
5,5 mM. Produksi gas tersebut merupakan hasil fermentasi bahan organic yang tercerna
di dalam rumen. Waktu inkubasi yang dibutuhkan dalam pengukuran gas sampel dapat
berpengaruh terhadap total produksi gas. Sajati, dkk (2012) menjelaskan laju produksi gas
in vitro semakin menurun seiring dengan meningkatnya waktu inkubasi karena substrat
yang difermentasi semakin menurun jumlahnya.
Produksi gas metana yang meningkat akan searah dengan meningkatnya kadar VFA
karena asam asetat sebagai substrat untuk metanogenesis ikut meningkat. Pemberian
pakan lemak dan berdefaunasi secara nyata dapat menurunkan produksi gas metana
karena mampu menekan fermentasai bahan organic serta mengurangi aktivitas
metanogen dan jumlah protozoa. Di balik kemampuan yang dapat mengurangi produksi
gas metan, pemberian pakan menggunakan lemak menyebabkan over suplai dan
menurunkan konsumsi ransum secara drastis. Serupa halnya dengan pemberian pakan
defaunasi yang bersifat antibacterial, sehingga dapat merusak permeabilitas dinding sel
dan menjadi defaunasi bagi protozoa. Sondakh, dkk (2012) produksi gas metas dapat
turun melalui defaunasi sebanyak 30 sampai 45%, namun ternak yang diberi pakan
defaunasi berpengaruh terhadap konversi bahan organik sebagai sumber energi.
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Kecernaan pakan sangat penting diketahui untuk menentukan kualitas suatu
bahan pakan dilakukan dengan cara in vitro yang merupakan metode
percobaan pencernaan yang dilakukan di luar tubuh ternak dengan
menyediakan lingkungan seperti ternak aslinya.
2. Volatile Fatty Acid (VFA) merupakan sebagai sumber energi bagi ternak, VFA ini
menguapkan asam lemak astiri (VFA) dengan teknik penyulingan dan mengikat
dengan larutan basa sehingga terbentuk garam kemudian yang tidak terbentuk
garam akan dititrasi menggunakan asam.
3. Nitrogen ammonia atau N-NH3 merupakan produk hasil fermentasi mikroba di
dalam rumen yang dimanfaatkan sebagai sumber nitrogen pada ternak
ruminansia.
4. Gas test merupakan fermentasi substrat dalam bahan pakan. Gas test memiliki
prinsip yaitu estimasi kecernaan bahan organik berdasarkan hubungannya
dengan produksi gas (CO2 dan CH4) in vitro bila bahan pakan diinkubasi dengan
cairan rumen selama 24 jam.
5.2 Saran
1. Saat evaluasi agar lebih di perhatikan dalam time line yang telah terlampir dalam
jadwal praktikum.
Dhia, K. S., K. A. Kamil, dan U. H. Tanuwiria. 2019. Kecernaan dan Fermentabilitas Substrat
Kombinasi Mineral Fungi dalam Rumen. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu 7 (2) :
217- 222.
Firsoni dan E. Lisanti. 2017. Potensi Pakan Ruminansia dengan Penampilan Produksi Gas
Secara In Vitro. Jurnal Peternakan Indonesia 19 (3) : 140-148.
Harahap, N., E. Mirwandhono, dan N. D. Hanafi. 2017. Uji Kecernaan Bahan Kering, Bahan
Organik, Kadar NH3 dan VFA pada Pelepah Daun Sawit Terolah pada Sapi Secara In
Vitro. Jurnal Peternakan 1 (1) : 13-21.
Haris. 2012. Evaluasi Kecernaan Lamtoro Sebagai Pakan Sumber Protein By Pass Dengan
Ransum Berbahan Dasar Jerami Padi Amoniasi Secara In Vitro. Jurnal Nutrisi
Ternak. 13(2) : 18-24.
Hidayat, R., K. A. Kamil, L. Suryaningsih, G. L. Utama, dan R. L. Balia. 2019. Effect of
Macronutrient Needs on Digestibility and Average Daily Gain of Sheep (Ovisaries
var. Padjadjaran, Family Bovidae). International Journal on Advanced Science
Engineering Information Technology 9:1618-1623.
Hindratiningrum, N., M. Bata dan S.A. Santosa. 2012. Produk Fermentasi Rumen dan
Produksi Protein Mikroba Sapi Lokal yang Diberi Pakan Jerami Amoniasi dan
Beberapa Bahan Pakan Sumber Energi. Agripet 11(2) : 29-34.
Khairulli, G. 2013. Kinetika Produksi Gas dan Kecernaan Gas In Vitro Pakan dengan
Penambahan Mineral Organik Hasil Inokulasi dengan Saccharomyces cerevisiae
dan Suplementasi Hijauan Bertanin. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. 3(3): 12-18.
McDonald, P., Edwards, R.A., Greenhalgh, J.F.D., Morgan, C.A., Sinclair. L.A. and
Wilkinson, R.G., 2010. Animal Nutrition. Seventh Edition. Longman, New York.
Mukmin, A., H. Soetanto, Kusmartono, dan Mashudi. 2014. Produksi Gas In Vitro Asam
Amino Metionin Terproteksi dengan Serbuk Mimosa sebagai Sumber Condensed
Tannin (CT). TERNAK TROPIKA Journal of Tropical Animal Production 15 (2) : 36-
43.
Pujowati, A., Sutrisno dan E. Pangestu. 2012. Kecernaan dan Produksi Volatile Fatty Acid
Pakan Komplit yang Mengandung Tepung Kedelai dengan Perlakuan Pemanasan
Secara In vitro. Animal Agriculture Journal. 1(2):151-156.
Partama, I. B. G. 2013. Nutrisi dan Pakan Ternak Ruminansia. Denpasar. Udayana
University Press.
Probowati, R. C., C. I. Sutrisno, dan S. Sumarsih. 2012. Kadar VFA dan NH 3 Secara In Vitro
Pakan Sapi Potong Berbasis Limbah Pertanian dan Hasil Samping
Pertanian Difermentasi dengan A. niger. Animal Agriculture Journal 1 (2) :
258-265.
Rahayu, R. I., Subrata, A., & Achmadi, J. 2018. Fermentabilitas Ruminal In Vitro pada
Pakan Berbasis Jerami Padi Amoniasi dengan Suplementasi Tepung Bonggol
Pisang dan Molases. Jurnal Peternakan Indonesia. 20(3): 166-174.
Ramdani, D., Marjuki.,dan S. Chuzaemi. 2017. Pengaruh Perbedaan Jenis Pelarut dalam
Proses Ekstraksi Buah Mengkudu (Morindacitrifolia L.) pada Pakan terhadap
Viabilitas Protozoa dan Produksi Gas In-vitro. Jurnal Ilmu-IlmuPeternakan. 27
(2) : 54—62.
Riswandi., Muhakka., Lehan, M. 2015. Evaluasi Nilai Kecernaan Secara In Vitro Ransum
Ternak Sapi Bali yang Disuplementasi dengan Probiotik Bioplus. Jurnal
Peternakan Sriwijaya .4(1):35-46.
Sandi, S., A. I. M. Ali, dan A. A. Akbar. 2015. Uji In-Vitro Wafer Ransum Komplit dengan
Bahan Perekat yang Berbeda. Jurnal Peternakan Sriwijaya 4 (2) : 7-16.
Setiyaningsih.K.D, M. Christiyanto dan Sutarno. 2012. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan
Organik secara In Vitro Hijauan Desmodium cinereum pada Berbagai Dosis
Pupuk Organik Cair dan Jarak Tanam. Animal Agriculture Journal. 1(2) : 51-63.
Sajati, G., B. W. H. E. Prasetyo, dan Surono. 2012. Pengaruh Ekstruksi dan Potensi dengan
Tanin pada Tepung Kedelai Terhadap Produksi Gas Total dan Metan
Secara In Vitro. Animal Agricultural Journal 1 (1) : 241-256.
Sjofjan, O., M. H. Natsir, S. Chuzaemi, dan Hartuti. 2019. Ilmu Nutrisi Ternak Dasar.
Malang. UB Press.
Sondakh, E. H. B., L. M. Yusiati, H. Hartadi, dan E. Suryanto. 2012. Bungkil Kelapa Sumber
Medium Chain Fatty dalam Pakan Ruminansia Sevagai Agensia Penurunan Gas
Metan pada Fermentasai Secara In Vitro. Agrinimal 2 (2) : 39-42.
Suharti, S., D. N. Aliyah, dan Suryahadi. 2018. Karakteristik Fermentasi Rumen In Vitro
Dengan Penambahan Sabun Kalsium Minyak Nabati Pada Buffer Yang
Berbeda. Jurnal Ilmu Nutrisi Dan Teknologi Pakan 16(3) : 56-64.
Suningsih, N., S. Novianti dan J. Andayani. 2017. Level Larutan Mcdougall dan Asal Cairan
Rumen Pada Teknik In Vitro. Jurnal Sain Peternakan Indonesia. 12(3):341-352.
Suparwi., D. Santoso, dan M. Samsi. 2017. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik,
Kadar Amonia, dan VFA Total In Vitro Suplemen Pakan Domba. Prosiding
Seminar Nasional. 7 (17):1-1.
Wahyuni, I. M. D., Muktiani, A., & Christiyanto, M. (2014). Kecernaan bahan kering dan
bahan organik dan degradabilitas serat pada pakan yang disuplementasi tanin
dan saponin. Jurnal Agripet, 14(2), 115-124.