Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRAKTIKUM

PAKAN DAN NUTRISI RUMINANSIA


“IN VITRO”

Oleh :
Nama : MUHAMMAD KING HASBI
NIM : D1A020081
Kelompok/Kelas : 4D
Asisten : UMMU KHOFIFATUN

LABORATORIUM ILMU NUTRISI DAN MAKANAN


TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERAL
SOEDIRMAN PURWOKERTO
2022
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebutuhan produksi paling besar untuk ternak ruminansia adalah pakan. Ternak
ruminansia diberi pakan yang terbagi menjadi hijauan, konsentrat, dan zat aditif untuk
menunjang kebutuhan energi. Pakan yang dikonsumsi oleh ternaka akan masuk dan
dicerna di dalam rumen dengan bantuan mikroba. Substrat pakan didegradasi oleh
mikroba menjadi produk-produk fermentasi dan gas.
Pakan tersebut diolah menjadi sebuah produk yakni volatile fatty acid (VFA),
nitrogen amoniak (N-NH3), dan gas-gas seperti CH4, CO2, O2, dan H2S. Gas yang
dihasilkan selama pencernaan di rumen merupakan gas buangan dari produk VFA,
yang salah satunya merugikan lingkungan adalah metana atau CH 4. Susunan dari FVA
terdiri dari asam asetat, asam propionate, asam butirat, sebagian kecil asam format,
isobutirat, valerat, isovalerat dan kaproat yang berasal dari hijauan.
Hubungan antara mikroba dengan inang yaitu induk adalah mutualisme karena
mikroba memperoleh kebutuhan energinya dari nitrogen yang berasal dari amoniak.
Nitrogen tersebut berasal dari pakan yang mengandung protein baik dari konsentrat
atau hijauan. Berkaitan hal tersebut, ternak ruminansia didahulakan dengan
memberikan konsentrat kemudian hijauan karena dengan konsntrat mampu
meningkatkan aktivitas kerja mikroba rumen.
1.2 Tujuan
1. Praktikan dapat mengetahui dan memahami mengenai prinsip dari KBK dan KBO.
2. Praktikan dapat mengetahui dan memahami mengenai prinsip dari VFA.
3. Praktikan dapat mengetahui dan memahami mengenai prinsip dari N-NH3.
4. Praktikan dapat mengetahui dan memahami mengenai prinsip dari gas test.
1.3 Waktu dan Tempat
Praktikum Mata Kuliah Pakan dan Nutrisi Ruminansia acara “In Vitro” dilaksanakan
pada hari Senin-Jumat, 19-23 September 2022 secara luring di Laboratorium Ilmu Nutrisi
dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 KBK dan KBO


Tingkat kecernaan suatu bahan pakan yang semakin tinggi dapat meningkatkan
efisiensi penggunaan pakan. Beberapa hal yang mempengaruhi kecernaan bahan pakan
antara lain komposisi kimia bahan pakan, komposisi ransum, bentuk fisik ransum, tingkat
pemberian pakan dan faktor internal ternak. Bahan pakan mempunyai kecernaan tinggi
apabila bahan tersebut mengandung zat-zat nutrisi mudah dicerna. Proses fermentasi
mikroba dalam rumen sangat penting bagi suplai nutrisi ternak. Untuk itu perlu dilakukan
upaya memaksimalkan pemanfaatan dengan cara optimalisasi pertumbuhan mikroba
dalam rumen (McDonald et al., 2010).
Kelebihan penentuan kecernaan secara in vitro adalah biaya lebih murah, dapat
menentukan kecernaan berbagai jenis sampel pakan dalam waktu yang relatif singkat (96
jam), dapat dipelajari proses fermentasi yang terjadi di dalam rumen dan aktivitas
mikroba tanpa dipengaruhi oleh induk semang dan pakannya, serta hasilnya mempunyai
korelasi positif dengan kecernaan secara in vivo. Adapun kelemahan teknik in vitro adalah
populasi mikroba dalam tabung fermentor selama masa inkubasi sulit terjaga (Badarina et
al., 2014).
Kelebihan menggunakan metode penentuan kecernaan secara in vitro adalah
jumlah sampel yang diperlukan sedikit, dapat menentukan kecernaan berbagai jenis
sampelpakan dalam waktu yang relatif singkat (96 jam), dapat dipelajari proses
fermentasi yang terjadi di dalam rumen dan aktivitas mikroba tanpa dipengaruhi oleh
induk semang dan pakannya, serta hasilnya mempunyai korelasi positif dengan dengan
kecernaan secara in vivo, serta kelemahan teknik in vitro adalahpopulasi mikroba dalam
tabung fermentor selama masa inkubasi sulit terjaga (Suningsih et al., 2017).
Kecernaan bahan organik menggambarkan ketersediaan nutrient dari pakan yang
dicerna oleh ternak. Kecernaan bahan organik dalam saluran pencernaan ternak meliputi
kecernaan zat-zat makanan berupa komponen bahan organik seperti karbohidrat,
protein, lemak dan vitamin. Degradasi dalam bahan organik erat hubungannya dengan
degradasi bahan kering, karena sebagian bahan kering terdiri dari bahan organik serta
disebutkan juga bahwa tingginya kecernaan bahan organik diduga karena kecernaan
bahan kering yang tinggi (Haris 2012).
Pemberian pada 100% rumput raja dan 0% tebon jagung yaitu berjumlah 87,85%.
Secara umum kecernaan bahan organik akan sejalan dengan kecernaan bahan kering.
Konsumsi bahan kering mempunyai korelasi yang positif terhadap konsumsi bahan
organik karena bahan organik merupakan bagian dari bahan kering. peningkatan
kecernaan bahan organik sejalan dengan peningkatan kecernaan bahan kering sehingga
faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya bahan kering akan mempengaruhi
tinggi rendahnya bahan organik (Amtiran et al., 2018).
Bahan organik merupakan komponen dari bahan kering sehingga faktor-faktor
yang mempengaruhi tinggi rendahnya KBK akan mempengaruhi tinggi rendahnya KBO
dalam suatu pakan (Setiyaningsih et al. 2012). Hal tersebut diperkuat dengan pendapat
Hidayat et al. (2019) yang menyatakan bahwa kecernaan kecernaan bahan organik dapat
dipengaruhi oleh kecernaan bahan kering, karena zat yang terkandung dalam bahan
organik merupakan bagian dari bahan kering, Kecernaan bahan organik biasanya
berkorelasi positif dengan nilai kecernaan bahan kering.
II.2 VFA
Volatile Fatty Acid (VFA) atau asam lemak terbang meruapakan produk fermentasi
karbohidrat oleh mikroba rumen yang dapat dijadikan sumber energi pada ternak
ruminansia. Ketersediaan karbohidrat sangat diperlukan oleh mikroba, fermentasi
karbohidrat oleh mikroba akan menghasilkan VFA, oleh karena itu nilai konsentrasi VFA
juga berpengaruh. Proses fermentasi karbohidrat oleh mikroba rumen menghasilkan
energi yang berupa asam-asam lemak atsiri (VFA) antara lain yang utama yaitu asetat,
butirat dan propionat (Sandi et al., 2015).
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi konsentrasi VFA anatar lain
pemanfaatan mikroba, penyerapan serta fermentabilitas dan karbohidrat. Jumlah
mikroba dalam rumen dalam keadaan normal maka jumlah VFA yang dihasilkan akan
normal dan apabila jumlah mikroba kurang maka kadar VFA tidak normal, jika pH tidak
normal maka aktivitas mikroba akan terganggu. Konsumsi pakan atau pemberian pakan
sumber energy tinggi maka produktivitas VFA akan tinggi (Hindraningrum et al., 2012).
Volatile Fatty Acid yang berupa asam asetat, asam propionat dan asam butirat
juga merupakan produk akhir dari fermentasi karbohidrat dalam rumen. Produksi VFA
pada rumen dapat menunjukan nilai kecernaan bahan organik ransum yang dikonsumsi,
semakin tinggi produksi VFA dalam rumen maka menunjukan bahwa kecernaan bahan
organik semakin tinggi pula. VFA yang terdiri atas asam - asam organik yang mudah
menguap, mulai dari rantai karbon satu sampai dengan rantai karbon lima, yaitu asam
asetat (C2), propionat (C3) dan butirat (C4) (Pujowati et al., 2012).
II.3 N-NH3
NH3 merupakan produk fermentasi protein pakan dalam rumen ruminansia,
ammonia ini penting bagi ruminansia karena digunakan untuk pembentukan saliva,
protein tubuh, dan bahan baku sintesis mikroba, konsentrasi NH3 dapat ditentukan
dengan menggunakan metode Microdiffusion Conway. Analisis NH3 dilakukan dengan
menggunakan teknik mikrodifusi Conway, perhitungan produksi NH 3 dengan
menggunakan rumus : NH3 = (ml H2SO4 titran × N H2SO4 × 1000) mM. berdasarkan hasil
perhitungan praktikum maka didaptnya kadar N-NH3 sebesar 17mM yang berarti kadar
tersebut melebihi batas normal, karena batasan normal N-NH3 berkisar dari 4 – 12 mM
(Rahayu et al., 2018).
Peningkatan konsentrasi N-NH3 rumen juga dipengaruhi oleh peningkatan
pemberian urea. Kekurangan N yang dibutuhkan oleh mikroba rumen akan menimbulkan
efek negatif pada perombakan komponen pakan lainnya, khususnya dinding sel yang kaya
akan selulosa. Aktivitas fermentasi mikroba yang optimum diperlukan konsentrasi amonia
yang lebih banyak dari yang dibutuhkan untuk produksi maksimum protein mikroba
(Widaningsih et al., 2018) .
N-NH3 setelah 24 jam didiamkan dalam suhu kamar dapat diikat oleh asam borat
dan setelah 24 jam titrasi dapat dimuali dengan menggunakan H 2SO4 0,055 N. Titrasi
dihentikan jika perubahan warna dari ungu menjadi warna merah muda (warna indikator
Phenolptalein). kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro dianalisis untuk
mengevaluasi nilai nutrisinya sebagai suplemen pakan (Widodo et al., 2012).
II.4 Gas Test
Produksi gas merupakan hasil fermentasi di dalam rumen dan dapat
menggambarkan banyaknya bahan organik yang tercerna. Produksi gas yang lebih tinggi
menunjukkan bahan pakan yang lebih baik dalam arti kecernaannya tinggi. Produksi gas
dalam fermentasi secara umum proporsional terhadap hasil metabolisme mikroba,
sehingga dapat digunakan untuk mengestimasi kecernaan (Khairulli 2013).
Produksi gas yang rendah menunjukkan bahwa BO yang didegradasi oleh mikroba
juga sedikit. Laju produksi gas berkorelasi positif dengan kecernaan BO dan konsumsi BO
tercerna. Gas test berbanding lurus dengan VFA, dan gas test juga dapat digunakan untuk
mengukur degradasi pakan dalam rumen dan sebagai indicator intake bahan kering
tercerna serta kecepatan pertumbuhan ternak (Mukmin et al., 2014).
Produksi gas yang dihasilkan menunjukkan tinggi rendahnya aktivitas mikroba di
dalam cairan rumen untuk mendegradasi pakan. Produksi gas yang dihasilkan dari
fermentasi bahan pakan oleh mikroba dalam rumen memang tidak memiliki manfaat bagi
ternak. Pengukuran produksi gas menunjukkan aktivitas mikroba dalam rumen dalam
mendegradasi pakan serta menggambarkan banyaknya bahan organik yang tercerna
(Ramdani et al., 2017).
III. MATERI DAN CARA KERJA

3.1 Materi
3.1.1 Alat
3.1.1.1 KBK dan KBO
1. Sentrifuge
2. Shaker waterbath
3. Glasswool
4. Cawan porselen tidak berpori
5. Cawan porselen berpori
6. Oven (105℃)
7. Tanur listrik (600℃)
8. Timbang ananalitik
3.1.1.2 VFA
1. Pipet
2. Satu set alat destilasi uap (labu didih, pipa penghubung dan pendingin Liebig)
3. Labu erlenmeyer
4. Buret makro (25-50 ml)
3.1.1.3 N-NH3
1. Cawan conway
2. Pipet 1 ml
3.1.1.4 Gas test
1. Oven isothermal
2. Rotor
3. Tabung menke
4. Thermos
5. Dispenser
6. Ternak donor cairan rumen
3.1.2 Bahan
3.1.2.1 KBK dan KBO
1. Cairan rumen (sumber inokulum)
2. Gas CO2
3. Larutan Mc Dougalls pH 6,8
4. Larutan HgCl2 jenuh
5. Larutan pepsin HCl 0,5%
3.1.2.2 VFA
1. Cairan rumen (supernatan dari percobaan fermentatif)
2. H2SO4 15% (15 ml H2SO4 pekat dilarutkan dalam aquades hingga volumenya 100
ml)
3. NaOH 0,5N (20 g NaOH dilarutkan dalam aquades hingga volume 1 liter)
4. HCl 0,5N (41,667 ml HCl pekat dilarutkan dalam aquades hingga volumenya 1 liter)
3.1.2.3 N-NH3
1. Cairan rumen (supernatan dari percobaan fermentatif)
2. Asam borat berindikator MR dan BCG
3. Na2CO3 jenuh (larutkan Na2CO3 dalam aquades 50 ml hingga tidak larut)
4. H2SO4 0,01N (0,27 ml H2SO4 pekat ditambah aquades hingga 1 liter)
5. Vaselin
3.1.2.4 Gas test
1. Larutan mikromineral 100 ml
2. Larutan penyangga (buffer) rumen
3. Larutan makromineral
4. Larutan resazurin 0,1% (w/v)
5. Larutan pereduksi (reducing solution) disediakan segar untuk setiap set percobaan
6. Cairan rumen diambil dari sapi atau domba fistula
7. Bahan pakan standar (hay dan konsentrat) digunakan untuk mengontrol kualitas
cairan rumen
3.2 Cara Kerja
3.2.1 KBK dan KBO
A. Pencernaan Fermentatif
Disiapkan tabung reaksi dan ditimbang 2 gram BK sampel, lalu tabung diberikan label

Ditambahkan 24 ml larutan McDougalls lalu dialiri CO2, ditutup dengan penutup.


Inkubasi selama 24 jam di shaker waterbath suhu 39oC.

Ditambahkan 16 ml cairan rumen lalu aliri CO2 dan tabung ditutup dengan tutup

Inkubasi 24 jam di shaker waterbath digoyang kecepatan 60-70 rpm (suhu 39oC
kondisi anaerob).

Setelah 24 jam di shaker waterbath, H2SO4 jenuh ditambahkan.

Substrat atau tabung disaring pada cawan porselin berpori yang telah dilapisis
glasswool, lalu didapatkan residu untuk mengetahui degradasi BK dan supernatant
untuk mengukur VFA dan N-NH3.
B. Pencernaan Hidrolitis
Tabung lain dari percobaan fermentatif yang belum disaring ditambahkan H2SO4 jenuh
sebanyak 2 tetes lalu ditambahkan 4 ml pepsin HCl 0,5%.

Diinkubasi selama 24 jam 38-39°C suasana aerob.

Disaring pada cawan berpori yang telah dilapisi glasswool.

Supernatan dibuang, residu dikeringkan dalam oven 105°C selama 8 jam, catat BK.

Didesikator untuk didinginkan selama 1 jam

Hasil oven ditanur 600°C sampai suhu tanur mencapai 100°C

Dioven 105°C selama 1 jam untuk didinginkan lalu didesikator 1 jam, BO dicatat.

3.2.2 VFA
Destilator dididihkan
Tempat sampel dicuci dengan aquadest

Ditambahkan 5 ml supernatan ke tempat sampel sebagai sumber VFA dan ditambah 1 ml


H2SO4 15% untuk menguapkan VFA

Destilasi ditampung pada labu erlenmeyer yang telah berisi 5 ml NaOH 0,5 N hingga volume
destilat mencapai 100 ml, jadi diasumsikan 100 ml VFA telah menguap seluruhnya

Ditambahkan 2 tetes indikator PP ke dalam destilat hingga berubah warna menjadi pink

Dititrasi dengan HCl 0,5 N hingga berubah menjadi bening

3.2.3 N-NH3
Cawan Conway diolesi vaselin untuk merekatkan supaya tidak ada udara yang masuk

Ditambah 1 ml asam borat di bagian tengah, 1 ml supernatan di bagian kanan, dan 1 ml


Na2CO3 jenuh (natrium karbonat) di bagian kiri

Ditutup secara perlahan dari samping

Diputar angka 8 supaya homogen

Diinkubasi 24 jam pada suhu ruang atau sebagai proses penguapan dan penangkapan
N-NH3

Dititrasi dengan H2SO4 0,01 N untuk mengetahui N yang ditangkap dan berfungsi sebagai
titran, jadi yang awalnya berwarna biru maka dengan penambahan asam borat akan
berubah menjadi warna pink

3.2.4 Gas test


Piston diolesi dengan vaselin
Dimasukkan 0,2 gram BK sampel ke tabung Menke

Tutup tabung dengan piston sampai skala 30

Ditambahkan 10 ml cairan rumen dan 20 ml cairan medium

Diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 39° C menggunakan oven

Diamati setiap 4 jam sekali pertambahan Gas test selama 24 jam (dicatat)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1 KBK
%KBK = BK asal−( Brt stlh oven sampel−Brt cwn sblm oven sampel ) −¿ ¿
2−( 16,8470−15,9462 ) −(17,4485−17,4222)
= x 100%
2
= 56,275%
4.1.2 KBO
%KBO =
BO asal−¿ ¿=1,3066−¿ ¿
= 39,897%
4.1.3 VFA

Diketahui:
Bahan pakan : Indigofera
Ml titran sampel : 4,72
Ml titran blangko : 4,86
Rumus:
Kadar VFA total = ((y - z) x N HCl x (1000/5))mM
Keterangan:
Y = ml HCl yang dibutuhkan untuk titrasi blangko
Z = ml HCL yang dibutuhkan untuk titrasi destilat
Kadar VFA total = ((4,86 ml – 4,72 ml)) x 0,5 N x (1000/5)) mM
= 14 mM
4.1.4 N-NH3

Diketahui:
Bahan pakan : Indigofera
Ml titran : 4,44
Rumus:
Kadar N-NH3 = ((ml titran x N H2SO4 x (1000/1))
= (4,44 x 0,01 x 1000)
= 4,44 mM
4.1.5 Gas test

Diketahui:
V0: 18
V24 : 24,5
Gb0 : 1
FH : 1
FC : -
W (mg) : 200
Rumus:
Gb (ml/200 mg DM,24) = (V24 – V0 – Gb0) x 200 x FH + FC
2
W
= (24,5 – 18 – 1) x 200 x 1 + 0
2
200
= 5,5
%KBK %KBO VFA N-NH3 Gas test
56,275 39,897 14 mM 4,44mM 5,5

4.2 Pembahasan
4.2.1. Kecernaan Bahan Kering
Kecernaan pakan sangat penting diketahui untuk menentukan kualitas suatu
bahan pakan dilakukan dengan cara in vitro yang merupakan metode percobaan
pencernaan yang dilakukan di luar tubuh ternak dengan menyediakan lingkungan seperti
ternak aslinya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Wijayanti et al. (2012) yang
menyatakan bahwa metode in vitro merupakan metode pendugaan kecernaan secara
tidak langsung yang dkerjakan di laboratorium dengan meniru proses-proses yang terjadi
di dalam saluran pencernaan ternak ruminansia.
Kecernaan bahan kering pada ternak ruminansia mampu menunjukkan seberapa
tingginya zat makanan yang dapat dicerna oleh mikroba dan enzim pencernaan pada
rumen. Hasil praktikum kecernaan bahan kering menunjukkan kecernaan bahan kering
sebesar 56,275% dimana semakin tinggi persentase kecernaan bahan kering suatu bahan
pakan, menunjukkan bahwa semakin tinggi kualitas bahan pakan tersebut. Menurut
Widodo et al. (2019) faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan kering antara
lain komposisi bahan pakan, perbandingan komposisi antara bahan pakan satu dengan
bahan pakan lainnya. Kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap nilai kecernaan
bahan kering adalah derajat keasaman (pH), suhu dan udara baik itu secara aerob /
anaerob, cairan rumen, lama waktu inkubasi, ukuran partikel sampel, dan larutan
penyangga.
Menghitung kecernaan bahan kering dilakukan dalam dua tahap, yaitu proses
fermentative dan proses hidrolitis. Proses hidrolitis tidak menggunakan bantuan mikroba,
sedangkan pada proses fermentatif menggunakan mikroba. Hal tersebut sesuai dengan
Suparwi et al. (2017) yang menyatakan bahwa kecernaan bahan kering melalui dua tahap,
yaitu proses fermentative dan proses pencernaan hidrolitik. Proses pencernaan
fermentative dilakukan oleh mikroba rumen dan dilanjutkan dengan proses pencernaan
hidrolitik. Semakin banyak SPD terfemntasi akan semakin sedikit residu yang dihasilkan,
akibatnya semakin tinggi pula nilai kecernaan bahan keringnya.
4.2.2 Kecernaan Bahan Organik
Faktor utama dalam menentukan kebijakan dalam pemilihan dan penggunan
bahan makanan sebagai sumber zat makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok
dan produksi adalah kualitas nutrisi bahan pakan ternak. Menurut Harahap et al. (2017)
berpendapat bahwa teknik in vitro dilakukan dengan kondisi rumen yang sebenarnya
dengan menggunakan metode Tilley dan Terry (1963) dimana metode tersebut digunakan
pula pada praktikum kecernaan bahan organik dan kecernaan bahan kering. Teknik in
vitro tersebut menggunakan rumen tiruan dan larutan McDougalls sebagai pengganti
cairan saliva dan cairan rumen sapi berfistula rumen sebagai inokulum.
Kecernaan bahan organik dilakukan dengan mengukur kecernaan dengan
anggapan bahwa proses pencernaan telah berjalan sempurna 24 jam secara fermentatif
dan hidrolitis. Kecernaan bahan organik diukur untuk mengetahui jumlah serta kualitas
bahan pakan yang akan diserap tubuh ternak. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Wahyuni (2014) selain nilai bahan organiknya kecernaan bahan organic juga menunjukan
indicator kualitas bahan pakan. Bahan pakan dengan kecernaan bahan organic tinggi
menunjukan bahwa bahan pakan tersebut mampu menyediakan nutrisi yang dibutuhkan
oleh ternak.
Nilai kecernaan bahan organik sangat berkaitan dengan nilai kecernaan bahan
kering. Semakin tinggi kecernaan bahan kering maka semakin tinggi pula kecernaan
bahan organiknya. Hal tersebut sesuai dengan Riswandi et al. (2015) berpendapat bahwa
nilai kecernaan bahan organik yang lebih tinggi dibanding dengan nilai kecernaan bahan
kering disebabkan karena pada bahan kering masih terdapat kandungan abu, sedangkan
pada bahan organik tidak mengandung abu, sehingga bahan tanpa kandungan abu relatif
lebih mudah dicerna. Kandungan abu memperlambat atau menghambat tercernanya
bahan kering ransum. Peningkatan kecernaan bahan organik dikarenakan kecernaan
bahan kering juga meningkat.
4.2.3 VFA (Volatile Fatty Acid)
Degradasi pakan dalam rumen akan menghasilkan volatile fatty acid (VFA)
yang berasal dari bakteri sebagai komponen untuk membentuk protein tubuhnya selain
CO2 dan NH3. VFA terdiri dari asam asetat, asam propionate, asam butirat, sebagian kecil
asam format, isobutirat, valerat, isovalerat dan kaproat sebagai produk akhir dari
fermentasi karbohidrat dalam rumen. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Partama
(2013) FVA berasal dari karbohidrat yang difermentasi supaya energi dalam bentuk
adenosine tri phosphate (ATP).
Produksi VFA berfungsi untuk mengetahui proses fermentasi karbohidrat serta
berkaitan dengan produktivitas ternak. Hal tersebut dijelaskan Hindratiningrum, dkk
(2011) sebagian besar VFA rumen berasal dari fermentasi karbohidrat pakan. Faktor yang
mempengaruhi konsentrasi VFA diantaranya yaitu jenis mikroba, penyerapan dan
fermentabilitas daru pakan sumber karbohidrat.
Mengetahui total VFA yang dicerna oleh mikroba rumen ternak ruminan dapat
diketahui secara in vivo dengan menggunakan destilasi uap. Pujowati, dkk (2012)
menjelaskan bahan-bahan yang diperlukan yaitu pepsin HCl, H 2SO4 15%, larutan NaOH 0,5
N, indikator PP 1%, HCl 0,5 N, akuades, dan CO 2. Bahan-bahan tersebut memiliki
fungsinya masing-masing. Larutan H2SO4 untuk menguapkan VFA serta membunuh
mikroba, NaOH untuk mengikat VFA, HCl sebagai titran, dan indikator PP sebagai indikasi
warna.
Teknis yang dilakukan yaitu supernatan dimasukkan ke tabung destilasi dengan
tambahan H2SO4 15% dan ditutup rapat. Dhia, dkk (2019) menjelaskan panas tersebut
akan mendesak VFA melewati tabung pendingin terkondensansi yang kemudian
ditampung elrlenmeyer berisi NaOH 0,5 N sebanyak 5 ml hingga mencapai 300 ml.
Selanjutnya lakukan titrasi menggunakan HCl 0,5 N dengan menambahkan indikator PP
sebanyak 2 ml hingga terjadi perubahan warna dari merah muda menjadi bening.
Rata-rata ternak memiliki kadar VFA sejumlah 120 mm, jika di bawah 80 mm ternak
kekurangan energi, sedangkan di atas 260 ternak kelebihan karbohidrat yang
menyebabkan kembung. Harahap, dkk (2017) menjelaskan VFA diserap tubuh dalam
proses glukogenesis dan diubah oleh hati menjadi gula darah yang berfungsi mengsuplai
sebagian kebutuhan energi bagi ternak, pembentukan protein mikroba. Berkaitan hal
tersebut, kadar VFA dipengaruhi oleh sifat karbohidrat, laju makanan meninggalkan
rumen, dan frekuensi pemberian pakan.
4.2.4 N-NH3
Nitrogen amonia (N-NH3) merupakan sumber nitrogen terbesar untuk
sintensis protein mikroorganisme bersama dengan VFA. Probowati, dkk (2012)
menjelaskan hal tersebut dapat terjadi karena pakan yang mudah difermentasi akan
meningkatkan aktivitas mikroba rumen kadar VFA dan NH 3 turut meningkat. Protein
dalam rumen akan didegredasi memnjadi asam amino yang mengalami deaminasi untuk
menghasilkan amonia dan asam α keto yang diubah menjadi VFA.
Kegiatan menghitung kadar NH3 secara in vitro dapat dilakukan dengan menyiapkan
alat dan bahan seperti cairan rumen, H2SO4, Na2CO3 jenuh, asam borat, vaselin, dan
cawan Conway. Kadar NH3 yang berasal dari rumen diukur menggungak teknik mikrodifusi
Conway. Dhia, dkk (2019) menjelaskan 1 ml supernatant diletakkan di kiri sekat cawa
nconway, 1 ml larutan Na2CO3 jenuh pada sekat kanan, serta 1 ml asam borat berindikator
merah metal dan brom kresol hijau di bagian tengah. Cawan tersebut ditutup dengan
diberi vaselin dan digoyang-goyangkan hingga homogen, lalu didiamkan selama 24 jam
pada suhu kamar. Perubahan yang terjadi yaitu asam borat mengikat amoniak dilakukan
titrasi menggunakan H2SO4 0,001 N hingga berubah menjadi warna merah.
Amoniak yang sudah dititrasi dengan H2SO4 0,05 N akan dilanjut menghitung kadar
NH3 pada sampel menggunakan rumus total titran H 2SO4 yang terpakai x N H2SO4 x 1000
mM. Berdasarkan Hasil, nilai kadar NH3 yang dihasilkan yaitu sebanyak 4,44 mm. Nilai
tersebut menunjukkan bahwa kadar NH3 pada rumen ternak yang diberi pakan rumput
gajah tersebut sudah optimal. Hal tersebut dijelaskan oleh Wandra, dkk. (2020) nilai
optimum untuk N-NH3 berkisar antara 4—12 mM.
Produksi amonia dalam rumen dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya yaitu
tingkat protein pakan yang dikonsumsi, derajat degradabilitas pakan , lamanya pakan
berada di dalam rumen dan pH rumen. Hal tersebut dijelaskan Oktarini, dkk (2015)
semakin tinggi tingkat protein yang terkandung dalam pakan, maka protein mudah
didegredasi dalam rumen. Artinya semakin tinggi NH 3 di dalam rumen mengindikasikan
terdapt protein yang mudah larut dapat dicerna dengan baik, sehingga 80% amoniak
digunakan sebagai sumber nitrogen untuk pertumbuhannya.
Hubungan antara VFA dan N-NH3 adalah berbanding terbalik. Ternak yang
kekurangan N-NH3 tidak terjadi sintesis protein mikroba, sedangkan kelebihan N-NH 3
dapat mengalami overflow urea yang akibatnya kadar urea dalam urine dan susu
tinggi. Yanuartono, dkk (2017) menjelaskan kadar amoniak yang tinggi dalam darah
dapat menyebabkan kematian karena terjadi toksisitas amonia yang diserap darah dan
akirnya berpengaruh terhadap produksi susu.
4.2.5 Gas Test
Gas test merupakan cara pengukuran total gas fermentasi yang diproduksi oleh
mikroba rumen dari bahan pakan atau ransum yang diuji. Prinsip dari gas test yaitu
cerminan fermentasi substrat bahan pakan di dalam rumen yang mampu mengahasilkan
VFA dengan produk akhir CO2, CH4, dan secara in vitro dengan perlakukan diinkubasi
selama 24 jam. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Firsoni, dkk (2017) produksi gas
selama inkubasi merupaka produk buangan dari fermentasi substrat seperti CH 4, CO2, O2,
dan H2S.
Metode yang digunakan dalam mengukur produksi gas dalam rumen yaitu metode
menke pada tahun 1979. Sajati, dkk (2012) menjelaskan parameter yang diamati secara in
vitro pada pengukuran gas rumen yaitu produksi gas total dan gas metan. Produksi gas
menggambarkan tingkat proses fermentasi yang terjadi, sehingga informasi mengenai laju
produksi gas sesuai dengan sifat kimia bahan pakan yang terkandung. Hal tersebut
berkaitan dengan proses fermetasi dan degradasi substrat pakan selama proses inkubasi.
Bahan-bahan yang diperlukan untuk pengukuran gas test diantaranya yaitu rumen
sebagai sumber mikroba, larutan medium suplai nutrisi yang terdiri dari larutan
micromineral, larutan buffer, larutan makromineral, aquadest, resazurin, dan pereduksi.
Sjofjan, dkk (2019) menyatakan cairan rumen memiliki variasi kualitas yang dipengaruhi
oleh spesies ternak dan pakan yang dikonsumsi. Pakan yang baik untuk ternak minimal
harus mengandung 12% protein kasar dan DE 3000 Kcal/kg BK atau TDN 68%.
Berdasarkan Hasil, total produksi gas yang dihasilkan bahan pakan indigofera sekitar
5,5 mM. Produksi gas tersebut merupakan hasil fermentasi bahan organic yang tercerna
di dalam rumen. Waktu inkubasi yang dibutuhkan dalam pengukuran gas sampel dapat
berpengaruh terhadap total produksi gas. Sajati, dkk (2012) menjelaskan laju produksi gas
in vitro semakin menurun seiring dengan meningkatnya waktu inkubasi karena substrat
yang difermentasi semakin menurun jumlahnya.

Produksi gas metana yang meningkat akan searah dengan meningkatnya kadar VFA
karena asam asetat sebagai substrat untuk metanogenesis ikut meningkat. Pemberian
pakan lemak dan berdefaunasi secara nyata dapat menurunkan produksi gas metana
karena mampu menekan fermentasai bahan organic serta mengurangi aktivitas
metanogen dan jumlah protozoa. Di balik kemampuan yang dapat mengurangi produksi
gas metan, pemberian pakan menggunakan lemak menyebabkan over suplai dan
menurunkan konsumsi ransum secara drastis. Serupa halnya dengan pemberian pakan
defaunasi yang bersifat antibacterial, sehingga dapat merusak permeabilitas dinding sel
dan menjadi defaunasi bagi protozoa. Sondakh, dkk (2012) produksi gas metas dapat
turun melalui defaunasi sebanyak 30 sampai 45%, namun ternak yang diberi pakan
defaunasi berpengaruh terhadap konversi bahan organik sebagai sumber energi.
V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Kecernaan pakan sangat penting diketahui untuk menentukan kualitas suatu
bahan pakan dilakukan dengan cara in vitro yang merupakan metode
percobaan pencernaan yang dilakukan di luar tubuh ternak dengan
menyediakan lingkungan seperti ternak aslinya.
2. Volatile Fatty Acid (VFA) merupakan sebagai sumber energi bagi ternak, VFA ini
menguapkan asam lemak astiri (VFA) dengan teknik penyulingan dan mengikat
dengan larutan basa sehingga terbentuk garam kemudian yang tidak terbentuk
garam akan dititrasi menggunakan asam.
3. Nitrogen ammonia atau N-NH3 merupakan produk hasil fermentasi mikroba di
dalam rumen yang dimanfaatkan sebagai sumber nitrogen pada ternak
ruminansia.
4. Gas test merupakan fermentasi substrat dalam bahan pakan. Gas test memiliki
prinsip yaitu estimasi kecernaan bahan organik berdasarkan hubungannya
dengan produksi gas (CO2 dan CH4) in vitro bila bahan pakan diinkubasi dengan
cairan rumen selama 24 jam.
5.2 Saran
1. Saat evaluasi agar lebih di perhatikan dalam time line yang telah terlampir dalam
jadwal praktikum.

2. Ketika praktikan sudah berangkat sesuai waktu yang di tentukan, asisten


dimohon dapat on time di tempat, agar praktikan yang sudah ditempat tidak
perlu menunggu asisten yang terlambat.
DAFTAR PUSTAKA

Dhia, K. S., K. A. Kamil, dan U. H. Tanuwiria. 2019. Kecernaan dan Fermentabilitas Substrat
Kombinasi Mineral Fungi dalam Rumen. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu 7 (2) :
217- 222.

Firsoni dan E. Lisanti. 2017. Potensi Pakan Ruminansia dengan Penampilan Produksi Gas
Secara In Vitro. Jurnal Peternakan Indonesia 19 (3) : 140-148.

Harahap, N., E. Mirwandhono, dan N. D. Hanafi. 2017. Uji Kecernaan Bahan Kering, Bahan
Organik, Kadar NH3 dan VFA pada Pelepah Daun Sawit Terolah pada Sapi Secara In
Vitro. Jurnal Peternakan 1 (1) : 13-21.

Haris. 2012. Evaluasi Kecernaan Lamtoro Sebagai Pakan Sumber Protein By Pass Dengan
Ransum Berbahan Dasar Jerami Padi Amoniasi Secara In Vitro. Jurnal Nutrisi
Ternak. 13(2) : 18-24.
Hidayat, R., K. A. Kamil, L. Suryaningsih, G. L. Utama, dan R. L. Balia. 2019. Effect of
Macronutrient Needs on Digestibility and Average Daily Gain of Sheep (Ovisaries
var. Padjadjaran, Family Bovidae). International Journal on Advanced Science
Engineering Information Technology 9:1618-1623.
Hindratiningrum, N., M. Bata dan S.A. Santosa. 2012. Produk Fermentasi Rumen dan
Produksi Protein Mikroba Sapi Lokal yang Diberi Pakan Jerami Amoniasi dan
Beberapa Bahan Pakan Sumber Energi. Agripet 11(2) : 29-34.
Khairulli, G. 2013. Kinetika Produksi Gas dan Kecernaan Gas In Vitro Pakan dengan
Penambahan Mineral Organik Hasil Inokulasi dengan Saccharomyces cerevisiae
dan Suplementasi Hijauan Bertanin. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. 3(3): 12-18.
McDonald, P., Edwards, R.A., Greenhalgh, J.F.D., Morgan, C.A., Sinclair. L.A. and
Wilkinson, R.G., 2010. Animal Nutrition. Seventh Edition. Longman, New York.
Mukmin, A., H. Soetanto, Kusmartono, dan Mashudi. 2014. Produksi Gas In Vitro Asam
Amino Metionin Terproteksi dengan Serbuk Mimosa sebagai Sumber Condensed
Tannin (CT). TERNAK TROPIKA Journal of Tropical Animal Production 15 (2) : 36-
43.
Pujowati, A., Sutrisno dan E. Pangestu. 2012. Kecernaan dan Produksi Volatile Fatty Acid
Pakan Komplit yang Mengandung Tepung Kedelai dengan Perlakuan Pemanasan
Secara In vitro. Animal Agriculture Journal. 1(2):151-156.
Partama, I. B. G. 2013. Nutrisi dan Pakan Ternak Ruminansia. Denpasar. Udayana
University Press.
Probowati, R. C., C. I. Sutrisno, dan S. Sumarsih. 2012. Kadar VFA dan NH 3 Secara In Vitro
Pakan Sapi Potong Berbasis Limbah Pertanian dan Hasil Samping
Pertanian Difermentasi dengan A. niger. Animal Agriculture Journal 1 (2) :
258-265.
Rahayu, R. I., Subrata, A., & Achmadi, J. 2018. Fermentabilitas Ruminal In Vitro pada
Pakan Berbasis Jerami Padi Amoniasi dengan Suplementasi Tepung Bonggol
Pisang dan Molases. Jurnal Peternakan Indonesia. 20(3): 166-174.
Ramdani, D., Marjuki.,dan S. Chuzaemi. 2017. Pengaruh Perbedaan Jenis Pelarut dalam
Proses Ekstraksi Buah Mengkudu (Morindacitrifolia L.) pada Pakan terhadap
Viabilitas Protozoa dan Produksi Gas In-vitro. Jurnal Ilmu-IlmuPeternakan. 27
(2) : 54—62.
Riswandi., Muhakka., Lehan, M. 2015. Evaluasi Nilai Kecernaan Secara In Vitro Ransum
Ternak Sapi Bali yang Disuplementasi dengan Probiotik Bioplus. Jurnal
Peternakan Sriwijaya .4(1):35-46.
Sandi, S., A. I. M. Ali, dan A. A. Akbar. 2015. Uji In-Vitro Wafer Ransum Komplit dengan
Bahan Perekat yang Berbeda. Jurnal Peternakan Sriwijaya 4 (2) : 7-16.
Setiyaningsih.K.D, M. Christiyanto dan Sutarno. 2012. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan
Organik secara In Vitro Hijauan Desmodium cinereum pada Berbagai Dosis
Pupuk Organik Cair dan Jarak Tanam. Animal Agriculture Journal. 1(2) : 51-63.
Sajati, G., B. W. H. E. Prasetyo, dan Surono. 2012. Pengaruh Ekstruksi dan Potensi dengan
Tanin pada Tepung Kedelai Terhadap Produksi Gas Total dan Metan
Secara In Vitro. Animal Agricultural Journal 1 (1) : 241-256.
Sjofjan, O., M. H. Natsir, S. Chuzaemi, dan Hartuti. 2019. Ilmu Nutrisi Ternak Dasar.
Malang. UB Press.
Sondakh, E. H. B., L. M. Yusiati, H. Hartadi, dan E. Suryanto. 2012. Bungkil Kelapa Sumber
Medium Chain Fatty dalam Pakan Ruminansia Sevagai Agensia Penurunan Gas
Metan pada Fermentasai Secara In Vitro. Agrinimal 2 (2) : 39-42.
Suharti, S., D. N. Aliyah,  dan Suryahadi. 2018. Karakteristik Fermentasi Rumen In Vitro
Dengan Penambahan Sabun Kalsium Minyak Nabati Pada Buffer Yang
Berbeda. Jurnal Ilmu Nutrisi Dan Teknologi Pakan 16(3) : 56-64. 
Suningsih, N., S. Novianti dan J. Andayani. 2017. Level Larutan Mcdougall dan Asal Cairan
Rumen Pada Teknik In Vitro. Jurnal Sain Peternakan Indonesia. 12(3):341-352.
Suparwi., D. Santoso, dan M. Samsi. 2017. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik,
Kadar Amonia, dan VFA Total In Vitro Suplemen Pakan Domba. Prosiding
Seminar Nasional. 7 (17):1-1.

Wahyuni, I. M. D., Muktiani, A., & Christiyanto, M. (2014). Kecernaan bahan kering dan
bahan organik dan degradabilitas serat pada pakan yang disuplementasi tanin
dan saponin. Jurnal Agripet, 14(2), 115-124.

Wandra, F. A., A. K. Pranowo, I. Hernawan, U. H. Tanuwiria, dan B. Ayuningsih. 2020.


Fermentabilitas Ransum yang Mengandung Ampas Bir dalam Cairan Rumen (In
Vitro). Jurnal Sains Peternakan Indonesia. 15(2) : 227—236.
Widaningsih, N., S. Dharmawati., dan N. Puspita. 2018. Kandungan Protein Kasar dan
Serat Kasar Tongkol Jagung yang Difermentasi dengan Menggunakan Tingkat
Cairan Rumen Kerbau yang berbeda. Ziraa’ah. 43(3) : 255 -265.
Widodo, W., F. Wahyono dan S. Sutrisno. 2012. Kecernaan Bahan Kering, Kecernaan
Bahan Organik, Produksi VFA dan NH3 Pakan Komplit Dengan Level Jerami Padi
Berbeda Secara In Vitro. Animal Agriculture Journal. 1(1 ): 215-230.
Widodo, Y. P., Nuswantara, L. K., dan Kusmiyati, F. 2019. Kecernaan Dan Fermentabilitas
Nutrien Rumput Gajah Secara In Vitro Ditanam Dengan Pemupukan Arang Aktif
Urea. Jurnal Pengembangan Penyuluhan Pertanian. 13(24): 77-84.
Wijayanti, E., F. Wahyono dan Surono. 2012. Kecernaan Nutrien dan Fermentasi Pakan
Komplit dengan Level Ampas Tebu yang Berbeda secara In Vitro. Animal
Agricultural Journal. 1(1) : 167-179.
Yanuartono., A. Nururrozi, S. Indarjulianto, H. Purnamaningsih, dan S. Rahardjo. 2017.
Urea : Manfaat pada Ruminansia. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 28 (1) : 10-
34.

Anda mungkin juga menyukai