Anda di halaman 1dari 15

3.

Interaksi Mikroba dalam Rumen

Telah diketahui bahwa populasi mikroba rumen bervariasi diantara ternak,

dengan waktu setelah makan, diantara hari kehari pada terrnak yang sama, dan

variasi ini tampak pada ternak di negara yang berbeda walaupun dengan pakan

yang sama. Hasil akhir dari fermentasi adalah sama. Untuk alasan ini, hanya

interaksi antara kelompok organisme yang besar dan keterlibatannya dalam

fermentasi rumen yang akan dibahas oleh Preston dan Leng (1987) seperti

dibawah ini. Selanjutnya disimpulkan bahwa interaksi antar mikroorganisme di

dalam rumen sangatlah kompleks dan tidak selalu menguntungkan ternak inang.

Populasi protozoa yang tinggi di dalam rumen mengakibatkan penurunan

produktivitas ternak, yang tampaknya sebagian besar disebabkan oleh turunnya

rasio asam amino-energy nutrisi yang terserap dari suatu proses pencernaan. Akan

tetapi barangkali lebih penting adalah tampak bahwa protozoa mengurangi

biomassa bakteri dan fungi di dalam rumen bila ternak diberi pakan berserat tinggi

dan itu berarti menurunkan kecepatan cerna pakan berserat tinggi. Interaksi antara

pakan dengan keadaan ternak faunasi (masih dihuni protozoa) atau unfaunasi

(tanpa protozoa dalam rumen) belum diketahui dengan baik dan pakan berserat

yang rendah bypass proteinnya merupakan satu-satunya dimana ruminansia akan

lebih efisien dalam kondisi unfaunasi (tanpa protozoa dalam rumen).

3.1. Interaksi antara Bakteri-Bakteri

Pada partikulat digesta dan jaringan epithelium rumen, bakteri bersekutu

dengan organisme terkait dan membentuk fungi sebagai suatu konsorsium.

Sebagian organisme tumbuh pada produk akhir dari metabolisme yang lain.

Proses fermentasi beruntun yang melibatkan organisme dari spesies berbeda yang

mengubah selulosa menjadi VFA telah diakui, sebagai hubungan antara


organisme penghasil dan pengguna hydrogen. Didalam rumen sering terjadi

hubungan yang sangat dekat diantara spesies–spesies bakteri. Tergantung pada

materi yang dikeluarkannya, materi yang sederhana oleh masing-masing spesies

untuk tujuan yang saling menguntungkan dari keduanya (kerjasama Syntropic).

Interaksi-interaksi bakteri rumen tampaknya sangat menguntungkan dan

tampaknya sedikit yang bisa dikerjakan untuk memanipulasi asosiasi ini, selain

penghambatan proses methanogenesis.

3.2. Interaksi Protozoa dan Bakteri

Protozoa menelan dan mencerna bakteri dan mengurangi biomasa bakteri

bebas mengambang didalam larutan cairan rumen (Coleman, 1975) dan akhirnya

akan mengurangi kecepatan koloni bakteri mencerna partikel pakan. Dalam

kondisi pakan dengan kecernaan yang tinggi, kondisi ini barangkali tidak begitu

jelas, tetapi sebaliknya dengan pakan yang rendah kecernaannya, proses makan

bakteri ini akan meningkatkan fase yang dibutuhkan dalam proses degradasi

partikel. Protozoa sangat efektif berkompetisi dengan bakteri untuk memanfaatkan

larutan gula dan tepung (pati), menyimpan karbohidrat ini didalam dinding selnya.

Pada kondisi ini, protozoa sangat mengurangi asidosis pada beberapa jenis pakan.

Pada pakan yang berbahan dasar gula (misal batang tebu) biomasa protozoa

barangkali lebih banyak dari biomasa bakteri.

3.3. Interaksi Bakteri, Fungi dan Protozoa

Eadie dan Gill (1971) menunjukkan bahwa jumlah flagelata protozoa

(zoospora yang bergerak) meningkat mengikuti pola defaunasi rumen. Apabila

flagelata ini adalah zoospora, selanjutnya dinyatakan bahwa protozoa

“berkompetisi” makanan dengan fungi atau dengan kata lain menurunkan


pertumbuhan fungi. Penghilangan protozoa dalam rumen cenderung terjadi

peningkatan jumlah bakteri didalam cairan.

Penelitian dengan domba menggunakan teknik koleksi total, kecernaan

yang tampak dari bahan kering meningkat 18% bila tidak ada protozoa (Soetanto,

1988). Ini jelas menunjukkan bahwa defaunasi cenderung meningkatkan

produktifitas ruminansia yang diberi pakan berserat. Pada setiap upaya

memanipulasi pakan harus dilihat dari adanya interaksi antara protozoa, bakteri

dan fungi. Contoh pemberian pakan berkonsentrat pada ruminansia pada ternak

yang diberi pakan roughage sering menurunkan konsumsi roughage. Akibat yang

efektif pemberian konsentrat atau molasses blok pada ternak yang diberi pakan

roughage akan meningkatkan jumlah protozoa. Interaksi ini tampak sangat

kompleks dan hasil penelitian dalam manipulasi rumen yang tidak mengukur

pengaruhnya terhadap biomasa protozoa, bakteri dan fungi akan sangat sulit

dijelaskan.

Preston dan Leng (1987) menyimpulkan bahwa interaksi antara

mikororganisme didalam rumen sangat kompleks dan tidak selalu menguntungkan

ternak inang. Populasi protozoa dalam jumlah besar didalam rumen telah

dibuktikan menurunkan produktifitas ternak dan tampaknya dampak terbesar

melalui menurunnya rasio asam aminoenergi dari produk cerna yang diserap.

Akan tetapi, kemungkinan yang paling penting, tampaknya protozoa menurunkan

biomasa bakteri dan fungi dalam rumen dari ternak yang diberi makan pakan

berserat tinggi, dan hal tersebut mungkin mengurangi kecepatan pencernaan dari

pakan berserat. Interaksi pakan dengan keadaan / kondisi faunasi dan defaunasi

belum diketahui dengan baik, dan pakan berserat yang rendah by-pass proteinnya
adalah satu-satunya dimana ternak ruminansia akan lebih efisien dalam kondisi

defaunasi.

4. Habitat dan Pengendalian Populasi Protozoa di Dalam Rumen

4.1. Habitat Protozoa di Dalam Rumen

Menurut Preston dan Leng (1987) ada beberapa jalan dimana protozoa

lebih memilih tinggal pada rumen yaitu:

4.1.4 Sequestrasi (berkumpul) pada partikel-partikel besar.

Tampaknya protozoa tertarik pada konsentrasi tinggi karbohidrat larut

yang kadang-kadang setelah ternak makan, yang tampaknya dekat dengan

partikel pakan yang besar. Bauchop (1988) membuktikan kesimpulan ini

melalui mikroskop electron bahwa protozoa melekat pada partikel besar.

4.1.2 Sequestrasi (berkumpul) pada dinding rumen.

Abe dkk., (1981) menemukan kumpulan holotrich pada dinding reticulum

sapi yang berpuasa selama satu hari. Sekresi kimia tertentu yang

dikeluarkan oleh protozoa mengakibatkan pengelompokkan protozoa

(Peres Miravete, 1973)

4.1.3. Peningkatan kepadatan populasi protozoa.

Protozoa yang telah menyimpan tepung atau gula menjadi padat

populasinya dan tinggal dalam rumen. Penelitian menunjukkan sampel

yang diambil melalui kanula rumen mempunyai konsentrasi protozoa yang

lebih rendah dari yang diambil campuran isi rumen setelah pemotongan

ternak (Minor et al., 1977).

4.1.4. Tertahannya protozoa dalam bolus.

Pada saat ruminasi bolus yang mengandung bakteri, protozoa dan partikel

pakan diregurgitasi ke oesophagus dan secara reflex terperas pada saat


bergerak ke mulut. Cairan dan partikel kecil yang terpisah dalam proses ini

ditelan dan segera masuk reticulum dan cepat pindah ke abomasum.

Protozoa karena ukurannya besar, adanya cilia, dan lengket/melekat pada

partikel yang lebih besar tampaknya tertahan pada bolus, bila ditelan akan

masuk ke rumen.

4.2. Pengendalian Populasi Protozoa di Dalam Rumen

Menghilangkan ciliata secara komplit / total dari rumen sangat sulit

dicapai (Bird, 1988). Menurut Bird (1988) ada 4 cara untuk membuat ruminansia

bebas dari protozoa-ciliata:

4.2.1. Isolasi Ternak yang Baru Lahir

Ternak yang baru lahir tidak mempunyai protozoa dalam rumennya dan

tidak membutuhkan protozoa dalam minggu pertama setelah lahir. Oleh karena itu

ternak yang baru lahir ini dipisahkan dari induknya dan dipelihara di kandang

isolasi maka selanjutnya tetap bebas dari ciliata. Teknik ini telah banyak

dipergunakan sejak dulu (Pounden and Hibbs, 1950, Eadie and Gill, 1971). Yang

perlu diperhatikan oleh peneliti adalah pada saat ternak kontrol diinokulasi dengan

cairan rumen, ia akan menerima tidak hanya protozoa tapi juga menerima

berbagai mikroorganisme dari ternak donor. Disamping itu harus pula

dipertanyakan apakah ternak bebas ciliata yang dipisahkan dari induk 52 pada saat

lahir mempunyai populasi mikroba yang “normal” pada rumennya. Eadie and Gill

(1971) menyimpulkan hasil penelitiannya selama 12 bulan bahwa domba yang

bebas ciliata sejak lahir tumbuh sebaik domba yang diinokulasi.

4.2.2. Meloloh (Drenching) Ternak dengan Bahan Kimia


Menurut Bird (1988) menghilangkan protozoa dari rumen dengan bantuan

bahan kimia adalah metode yang paling sederhana dan potensial untuk

mendapatkan ternak yang bebas ciliata. Bahan kimia yang sudah dipergunakan

adalah coppersulfat (Becker and Everett, 1930), dioctyl sodium sulphosuccinat

(manoxol) (Abou Akkada dkk., 1962), nonyl phenol ethoxylate (Bird and Leng,

1978) dan sodium lauryl diethoxy sulphate (Burggraaf and Leng, 1980). Akan

tetapi bahan kimia ini tidak spesifik meracun terhadap protozoa dalam rumen.

Meloloh ternak dengan bahan kimia sering diikuti dengan menurunnya konsumsi

pakan dan pertumbuhan ternak. Jadi peneliti dihadapkan pada dua pilihan yaitu

meloloh semua ternak dan selanjutnya diinokulasi ulang atau meloloh ternak yang

akan didefaunasi saja. Pilihan pertama dapat dikritisi bahwa tidak ada jaminan

bahwa ternak yang diinokulasi ulang (kembali) adalah mewakili ternak yang tidak

diberi perlakuan. Hasil penelitian Kayouli et al. (1984) menyarankan bahwa

volume rumen dan barangkali fungsi rumen berubah pada ternak yang awalnya di

faunasi dengan manoxol kemudian diinokulasi kembali dengan cairan umen.

Orpin dan Letcher (1984) melaporkan bahwa defaunasi dengan monoxol

meningkatkan 30% volume cairan rumen dan menurunkan kecepatan aliran rumen

sebanyak 36%. Pilihan kedua dapat dikritik bahwa perbedaan diantara ternak yang

53 diloloh dengan bahan kimia dan ternak kontrol tidak bisa diartikan

penghilangan protozoa saja, karena bahan kimia ini juga mengubah komposisi

populasi mikroba yang tersisa. Disamping itu ternak yang diloloh dengan bahan

kimia akan menjalani kehilangan berat badan setelah diloloh dengan bahan kimia.

Pengimbangan bahan kimia yang secara spesifik membunuh protozoa akan dapat

mengurangi masalah ini.


4.2.3. Manipulasi Makanan Dengan Bahan Alami yang Mengandung

“Defaunating Agent”

Makanan barley dalam bentuk kubus (diberi makan secara bebas) telah

berhasil dipergunakan untuk defaunasi sapi muda (Whitelaw et al. 1972) dan

rendahnya pH rumen barangkali bertanggungjawab terhadap matinya protozoa

(Purser dan Moir, 1959). Metode tersebut harus diberikan pada ternak paling tidak

4 minggu untuk mencapai defaunasi yang efektif. Berikut bahan alami yang

mengandung “Defaunating Agent” :

(1) Bahan yang Mengandung Tannin

Barry (1988) menyatakan bahwa tannin merupakan senyawa phenolic

yang terdiri dari tannin pekat (condensed tannin) dan tannin yang dapat

dihidrolisa (diurai). Tannin pekat adalah polimer flovanol dikenal sebagai

Leucoanthocyanidens. Tannin pekat ini tersebar luas pada daun semak dan pohon

tapi juga terdapat pada daun dan batang namun hanya pada beberapa jenis pada

tanaman legume. Tannin yang terdapat pada tanaman diperkirakan mampu

menjadi bahan defaunasi pada rumen ternak ruminansia. Subrata et al. (2005)

mempelajari pemanfaatan tannin ampas teh terhadap efek defaunasi, parameter

fermentasi rumen dan sintesis mikroba secara in vitro. Mereka menyimpulkan

bahwa konsentrasi protozoa menurun dengan jelas sebagai dampak penambahan

ampas teh dengan kandungan tannin 6 mg/g. Tarmidi (2009) menyatakan bahwa

protein bahan makanan yaitu ampas tahu dengan tannin (dari bahan gambir) akan

tahan terhadap degradasi, hal tersebut dapat dilihat dengan menurunnya

konsentrasi VFA, NH3, bakteri dan protozoa rumen. Penurunan jumlah protozoa

kurang lebih 20% bila dibanding dengan ampas tahu yang tidak diberi tannin
gambir. Namun sayang konsentrasi gambir yang dipergunakan tidak dicantumkan

dalam laporan.

(2) Minyak Nabati

Penelitian Erwanto (1995) yang dilaporkan oleh Sutardi (1995)

menggunakan minyak kelapa dan minyak ikan sebagai agensia defaunasi sapi

perah jantan berat 215 ±26 kg diberi pakan 70% konsentrat dan 30% hijauan

(rumput gajah) dan selanjutnya diberikan tambahan minyak kelapa dan minyak

ikan yang dicampurkan pada konsentrat. Dengan demikian level minyak kelapa

menjadi 2,1% dan minyak ikan 1,5% dalam bahan kering ransum. Hasil penelitian

ini menunjukkan bahwa pemakaian minyak kelapa dan minyak ikan dapat

menurunkan populasi protozoa rumen masing-masing sebanyak 48,85% dan

35,04% dibandingkaan dengan kontrol. Sebaliknya terjadi peningkatan populasi

bakteri masing-masing sebanyak 13,39% dan 16,51% untuk minyak kelapa dan

minyak ikan.

(3) Tanaman yang Mengandung Zat Saponin

Saponin adalah steroid atau senyawa triterpene glycoside yang terdapat

pada berbagai jenis tanaman. Beberapa jenis tanaman yang mengandung saponin,

terutama jenis leguminose telah banyak dipergunakan sebagai pakan ternak tetapi

sebagian ada yang beracun. Beberapa hasil penelitian in vitro dan in vivo

menunjukkan pengaruh yang menguntungkan dari saponin seperti mendefaunasi

rumen dan memanipulasi produk akhir dari fermentasi. Defaunasi adalah

penghilangan protozoa secara selektif dari ekosistem mikroba rumen karena

adanya interaksi membran sel mikroba yang mengandung kholesterol dengan

saponin yang mengakibatkan pecahnya sel. Protozoa mendapatkan sumber protein

dari memakan bakteri, dengan defaunasi akan terjadi peningkatan jumlah bakteri
yang bisa dimanfaatkan oleh ruminansia dan berdampak peningkatan

pertumbuhan, produksi wool dan susu. Efek merangsang pertumbuhan tampak

jelas pada ternak yang diberi pakan hijauan (roughage) tinggi dimana pemakaian

saponin atau bagian tanaman yang mengandung saponin mungkin akan

menguntungkan bagi peternak kecil di negara berkembang. Saponin juga dicerna

(deglycosylated) oleh mikroba rumen.

Beberapa saponin telah dideteksi pada saluran pencernaan ternak

ruminansia, akan tetapi pengaruh langsung dari zat ini pada ternak inang masih

belum jelas. Sampai saat ini belum ada informasi pengaruh saponin terhadap

reproduksi ternak ruminansia. Dibutuhkan segera evaluasi secara sistematis

bagian /zat paling aktif dari saponin dan interaksinya dengan berbagai

mikroorganisme ternak inang dan ransum. Pengaruh langsung dari saponin atau

produk degradasi pada mikroba pada ternak inang harus diteliti untuk mendapat

pengertian yang penuh dan mendalam dari pada ternak telah di review secara luas

dan mendalam oleh Wina et al. (2005 ). Beberapa bahan tanaman yang

mengandung saponin yang dimakan ternak ruminansia atau saponin telah

dipergunakan sebagai feed aditive pada ternak ruminansia.

4.2.4. Bibit Ternak dari Induk yang Didefaunasi

Dalam kondisi tidak tersedia bahan kimia anti protozoa yang cocok, teknik

ini barangkali merupakan cara terbaik untuk menghasilkan ternak yang bebas

ciliata. Masalah yang sama akan terjadi/muncul pada saat mendefaunasi induk tapi

bila induk dapat didefaunasi pada awal kebuntingan, ekosistem mikroba mungkin

kembali dan mendekati keadaan stabil sebelum melahirkan. Oleh karena itu,

keturunan yang dihasilkan dari induk yang terdefaunasi dan yang tidak,

mempunyai kesempatan yang sama untuk mempunyai adaptasi mikroba rumen


dari induknya. Cara lain yaitu menginokulasi sebagian keturunan yang bebas

ciliata dengan protozoa yang di dapat dari media in vitro, untuk meyakinkan

bahwa inokulum hanya mengandung protozoa saja. Semua ini tergantung tujuan

kita apakah menuju komplete /defaunasi total atau menekan pertumbuhan

protozoa sehingga terjadi keseimbangan dengan bakteri dan ternak inang dapat

asupan bahan makanan optimal sehinga memberi pertumbuhan secara optimal

pula pada ternak inang. Seperti apa yang direkomendasikan oleh OECD-UNE

dalam pertemuan International tentang The Role of Protozoa And Fungi In

Ruminan Digestion (1988), salah satunya adalah bahwa perlunya pengembanan

metode yang praktis dan murah untuk mendefaunasi rumen (atau paling tidak

mengurangi jumlah protozoa). Termasuk didalamnya penggunaan toksin (racun)

(sintetis atau alami), atau cara pemberian pakan yang dapat mengurangi jumlah

protozoa.

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mikroba dalam Rumen

Keberadaan mikroorganisme seperti bakteri, protozoa dan fungi di dalam

tidak memiliki jumlah yang statis melainkan mengalami kenaikan dan penurunan

jumlahnya, dalam perkembangan populasinya tersebut mikroorganisme rumen di

pengaruhi oleh beberapa faktor, diantarannya adalah :

5.1. Suhu

Cairan rumen yang baik untuk pertumbuhan, perkembangbiakan, dan

aktivitas bakteri rumen terutama pencerna serat kasar  dengan suhu 38° - 41°C

(Fathul,2009) . Pada saat ternak setelah makan , suhu rumen meningkat sampai

dengan 410c terutama selama proses fermentasi terjadi didalam rumen. Sebaliknya

temperatur akan menurun sampai dibawah suhu normal bila ternak minum air
dingin yang akan mempengaruhi  populasi mikroba rumen terutama pada spesies

spesies tertentu yang sangat peka  yang tidak dapat bertahan hidup pada suhu

diatas 400 C.   

5.2. Keasaman (pH)

         Mikroba rumen dapat dibedakan menjadi 3 kelompok besar, yaitu bakteri,

protozoa, dan fungi. Pergeseran imbangan populasi bakteri dan protozoa

dipengaruhi oleh perubahan pH rumen yang dinamis dan berlangsung secara

terus-menerus (Haryanto,2009). Nilai pH rumen memegang peranan penting

dalam mengatur beberapa proses dalam rumen, baik mendukung pertumbuhan

mikroba rumen maupun menghasilkan produk berupa VFA dan NH 3. Nilai rataan

pH rumen yang normal berada pad kisaran lingkungan antara 6-7, sedangkan

kisaran pH yang ideal untuk pencernaan selulosa antara 6,4-6,8 (Uhi,2005).

        Keasaman rumen tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

seperti macam pakan serta waktu setelah makan. Untuk menjaga agar pH rumen

tidak menurun atau meningkat secara drastis maka perlu adanya hijauan didalam

ransum dalam proporsi yang memadai (± 40 persen dari total ransum atau dengan

kadar serat kasar sekitar 20 persen) dimana 70 persen dar iserat kasar ini harus

dalam bentuk polisakarida berstruktur untuk dapat merangsang produksi saliva

selama proses ruminasi. Protozoa rumen sangat sensitif terhadap perubahan pH

dan akan mati pada pH rumen dibawah 5,5. Jamur rumen perkembangbiakannya

(zoosporogenesis) juga terlambat apabila pH rumen kurang atau diatas 6,5.

5.3      Komposisi Gas dalam Rumen

          Komposisi gas didalam rumen kurang lebih terdiri dari 63 - 63,35% CO 2;

26,76 - 27% CH4; 7% N2 dan sedikit H2S, H2 dan O2. Oksigen yang masuk

kedalam rumen melalui proses menelan akan segera digunakan oleh bakteri-
bakteri fakultatif anaerobic seperti Sterptococcus bovis. Salah satu akibat dari

proses ini adalah redoks potensial didalam rumen akan selalu konstan dan rendah

yaitu berkisar antara -250 mV sampai dengan -450 mV.

          Peranan hidrogen dalam proses produksi methana adalah sebagai sumber

elektron, sehingga rendahnya kadar H2 didalam rumen merupakan petunjuk

adanya aktivitas menggunakan H2 untuk mengurangi CO2 menjadi CH. Meskipun

kadar nitrogen didalam rumen sangat rendah, beberapa jenis bakteri memerlukan

unsur N untuk pertumbuhannya. sumber utama nitrogen untuk bakteri adalah

amonia (NH3), peptida dan asam amino dari pakan.

5.4 Komposisi Pakan

          Macam hijauan berpengaruh terhadap jumlah dan macam bakteri maupun

protozoa dalam rumen (Rahmadi,2003). Jika ransum basal mengandung serat

kasar tinggi maka bakteri selulolitik akan dominan karena kehadirannya

menentukan terjadinya proses fermentasi selulosa. Sebaliknya protozoa akan

berkurang jumlahnya. Jamur karena sifatnya adalah selulolitik akan meningkat

jumlahnya pada kondisi ini. Keadaan yang sebaliknya akan terjadi jika proporsi

konsentrat meningkat dalam pakan.

5.5   Frekuensi  Pemberian Pakan

        Dengan meningkatnya frekuensi makan (karena bertambahnya frekuensi

suplai makan) fluktuasi pH rumen akan berkurang. Hal ini akan meningkatkan

populasi mikroba. Peningkatan populasi protozoa dari 1,15 x 10 6 menjadi 3,14 x

106 telah dilaporkan jika frekuensi pemberian pakan ditingkatkan dari satu kali

menjadi empat kali sehari.


5.6   Antibiotik

        Apabila ternak ruminansia diberi obat-obatan seperti antibiotik atau sulfur,

populasi mikroba rumen akan menurun secara drastis. Meskipun penurunan itu

biasanya terbatas pada mikroba yang bersifat patogen, tetapi secara umum obat-

obatan antibiotika mempengaruhi setiap tipe mikroba, terutama apabila antibiotika

tersebut yang mempengaruhi spektrum luas (Rahmadi, 2003).


DAPUS

Abe, M., T. Iriki, N. Tobe and H. Shibni. 1981. Sequestration of holotrich


protozoa in the reticulo rumen of cattle. Applied Environmental
Microbiology 41:758-765.
Abou Akkada, A.R. and Howard, B.H. 1962. The Biochemistry of rumen
protozoa: the nitrogen methabolism of entodinium. Biochem. J. 82:313-
320.
Barry, T.N. 1988. Condensed Tannins: Their Role in Ruminant Protein and
carbohidrate Digestion and Possible Effect upon the Rumen Ecosystem.
In The Role of Protozoa and Fungi in Ruminat Digestion. Editor: J.V.
Nolan; R.A. Leng, D.I Demeyer Penambul Book. Armidale, NSW 2351-
Australia.
Bauchop, T. 1988. Colonization of Plant Fragments by Protozoa and Fungi. In
The Role of Protozoa and Fungi in Ruminat Digestion. Editor : J.V.
Nolan; R.A. Leng, D.I Demeyer Penambul Book. Armidale, NSW 2351-
Australia.
Becker E.R. and Everett R.C. , 1930. American Journal of Higyene 11:362.
Bird S.H., and Leng, R.A. 1978. British Journal of Nutrition. 40: 163.
Bird, S.H. 1988. Production from ciliate-free ruminants. In The Role of Protozoa
and Fungi in Ruminat Digestion. Editor: J.V. Nolan; R.A. Leng, D.I
Demeyer Penambul Book. Armidale, NSW 2351- Australia.
Burggraaf W. and Leng R.A. 1980. New Zealand Journal of Agricultural
Research. 23: 287.
Coleman, G.S. 1975. In Digestion and Metabolism in the Ruminants p. 149 (I.W.
McDonald and A.C.I Warner-Editor) University of New England,
Australia.
Eadie M.J., and Gill J.C, 1971. Britis Journal of Nutritions. 26: 155.
Erwanto, 1995. Optimalisasi Sistem Fermentasi Rumen melalui Suplementasi
Sulfur, Defaunasi, Reduksi Emisi Methan dan Stimulasi Pertumbuhan
Mikroba pada Ternak Ruminansia. Disertasi Doktor, Program Pasca
sarjan, IPB. Bogor.
Haryanto, Budi. 2009. Inovasi Teknologi Pakan Ternak Dalamsistem Integrasi
Tanaman-Ternak Bebas Limbah Mendukung Upaya Peningkatan
Produksi Daging. Pengembangan Inovasi Pertanian. 2(3) : 163-176.
Kayouli, C., Demeyer, D.I., Van Nevel, C.J and Dendooven, R. 1984. Animal
Food Science and Technology. 10: 165.
Minor, S., N.A. MacLeod, T.R. Preston and R.A. Leng. 1977. Studies on
digestion in different sections of the intestinal tract of bulls fed
sufarcane / urea with different supplement. Tropical Animal Production
2: 13-174.
Orpin, C.G. 1975. Studies on Rumen Flagellata Neocalismatix frontalis. J.
General Microbiology 91: 249-269.
Peres Miravete, A. 1973. Behavior of Microorganisms. Plenum Press. London.
Prestone, TR dan R.A. Leng (1987). Matching Ruminant Production Systems with
available Resources in the Tropics and Sub Tropic. Penambul Books.
Armidalle POB 512.
Purser, D.B., and Moir, R.J. 1959. Australian Journal of Agricultural Research.
10:555.
Rahmadi, dkk., 2003. Ruminologi Dasar Jurusan Nutrisi Dan Makanan Ternak. 
Universitas Diponegoro. Semarang.
Soetanto, H. 1988. Studies on the Role of Rumen Anaerobic Fungi and Protozoa
in Fiber Digestion. M.Rur, Sc. Thesis. University of New England
Armidalle- Australia.
Subrata, A., L.M. Yusiati, dan A. Agus. 2005. Pemanfaatan Tanin Ampas Teh
terhadap Efek Defaunasi, Parameter Fermentasi Rumen dan Sintesis
Protein Mikroba secara In Vitro. Http://ojs.lib.unair.ac.id.
Sutardi T. 1995. Peningkatan Efisiensi Penggunaan Pakan. Dikemukakan dalam
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Cisarua. Bogor, 7- 8 Nopember 1995.
Tarmidi, A.R. 2009. Penggunaan Ampas Tahu dan Pengaruhnya pada Pakan
Ruminansia. Http:// pustaka.unpad.ac.id. Diakses 05 April 2020.
Whitelaw, F.G., Eadie, M.J., Mann, S.O., and Reid, R.S. 1972. British Journal of
Nutrition. 24: 425.
Wina, E ; Muetzel, S and Becker, K. 2005. The Impact of Saponin or Saponin –
containing Plant Materials on Ruminan Production. J. Agric. Food.
Chem. 53: 8093- 8105.

Anda mungkin juga menyukai