A. LATAR BELAKANG
Semarang menjadi ikon ketika terpilih sebagai kota pertama di Indonesia yang tergabung
di dalam jejaring 100 kota tangguh (100 Resilient City/RC) di seluruh dunia pada bulan
Desember 2014. Sejak saat itu, inisiasi kerjasama lintas sektor terus digulirkan dan berhasil
melibatkan 24 organisasi lokal, nasional dan internasional dalam peluncuran strategi ketahanan
kota yang bernilai 1,597,168 USD setara dengan 21 miliar rupiah. Semarang Tangguh adalah
sebuah visi yang terkait dengan 3 fungsi strategis dalam peningkatan perlindungan, mobilitas dan
kapasitas. Perlindungan bertujuan melindungi warga dari guncangan dan tekanan yang
berdampak langsung. Guncangan diartikan sebagai peristiwa
tiba-tiba dan berbahaya seperti gempa bumi, banjir bandang
dan wabah penyakit, sementara tekanan kronis adalah situasi
yang terjadi terusmenerus atau berkala yang melemahkan
struktur kota seperti banjir rob dan kelangkaan air. Fungsi
memberikan perlindungan harus didukung oleh mobilitas
warga kota yang diukur dengan parameter ketersediaan akses
dan konektifitas. Kapasitas menyangkut adanya kemampuan
untuk menahan guncangan dan tekanan. 6 pilar, 18 strategi
dan 53 inisiatif yang diusulkan melalui program Semarang RC, 30 inisiatif atau lebih dari 50 %
sudah diakomodasi dalam RPJMD dan menjadi Renja OPD yang akan didanai dari APBD,
sementara sisanya dicarikan sumber pembiayaan lain (Kepala Bappeda Kota Semarang, 2017).
Sumber pembiayaan non APBD antara lain berasal dari Rockefeler Foundation, Zurich
Foundation, American Red Cross, USAID dan donor lainnya. Salah satu wujud kegiatan
peningkatan ketahanan kota adalah pengurangan risiko bencana di 16 kelurahan area banjir kanal
barat berupa pembentukan Kelompok Siaga Bencana (KSB), Kampung Tangguh Bencana,
Kampung Pengelola Sampah dan Kampung Tematik. 8000 rumah tangga menerima manfaat aksi
pengurangan risiko bencana. Pada dimensi mobilitas, perlindungan diberikan melalui penerapan
koridor transportasi intermoda dan peningkatan transportasi rendah emisi karbon. Pada dimensi
kapasitas, upaya pengembangan dilakukan oleh pemerintah kota Semarang melalui OPD terkait.
Problem utama yang dihadapi kota Semarang untuk mewujudkan visi Semarang tangguh
adalah rendahnya kapasitas. Tekanan kronis yang dijadikan fokus sorotan dalam penelitian ini
adalah kemiskinan dan pengangguran. Hal itu didasarkan pada alasan-alasan: (i) kemiskinan dan
pengangguran adalah faktor atau variabel yang melemahkan kapasitas untuk mewujudkan
ketangguhan; (ii) kota Semarang memiliki tingkat pengangguran tertinggi di Jawa Tengah,
bahkan melebihi angka pengangguran provinsi; (iii) kemiskinan dan pengangguran dijadikan isu
sentral dan agenda pemerintah kota Semarang untuk memperbaiki kapasitas melalui program
pengurangan kemiskinan dan pengangguran yang disebut sebagai “Program Gerbang Hebat”
Pada tanggal 20 April 2017 yang lalu, secara
resmi Pemerintah Kota Semarang meluncurkan Program
Gerbang Hebat. Gerbang Hebat merupakan singkatan
dari Gerakan bersama pengurangan kemiskinan dan
pengangguran melalui Harmonisasi ekonomi, edukasi,
ekosistem dan etos bersama masyarakat. Peluncuran
ditandai dengan penyerahan secara simbolis 114.939
Kartu Identitas Warga Miskin (KIM) kepada warga
miskin di kota Semarang. Program ini dijalankan melalui
empat klaster/pilar strategis yaitu: program pengentasan
kemiskinan berbasis bantuan sosial, pemberdayaan
masyarakat, fasilitasi UKM dan mikro, serta program pro rakyat, yang implemetasinya
dilaksanakan oleh OPD teknis terkait. KIM dan e-warung KUBE PKH (Elektronik Warung
gotong royong Kelompok Usaha Bersama – Program Keluarga Harapan) adalah wujud dari
program pengentasan kemiskinan berbasis bantuan sosial non tunai. E-warung KUBE – PKH
merupakan program nasional Kementerian Sosial RI yang akan meluncurkan 300 e-warung di
seluruh tanah air. Pada saat yang sama juga dilakukan upaya pengentasan kemiskinan bebrbasis
pemberdayaan dalam bentuk program Kampug Tematik, artinya kampung yang memiliki
identitas berdasarkan tema tertentu. Wujud kampung tematik dapat berupa “Kampung Jawi”
dengan tema perservasi budaya Jawa, kampung kreatif sesuai dengan ragam produk yang
dihasilkan, dan lain-lain. Upaya-upaya itu dilaksanakan sebagai respon terhadap tantangan
kemiskinan dan realitas bahwa problem kemiskinan tidak mungkin bisa diatasi sendiri oleh
pemerintah tanpa bantuan dari berbagai pihak, termasuk kelompok warga miskin itu sendiri. Jika
hanya mengharapkan APBD, maka kampung tematik itu belum terwujud sampai sekarang, ujar
Walikota Semarang (Tribun Jateng, 404/05/2017)
Bantuan sosial dikonversikan ke bentuk non tunai seperti sembako (beras sejahtera, gula,
minyak goreng, dll) dan sedang diupayakan agar bisa dikonversi ke elpiji 3 kg. Warung berbasis
sistem TIK ini dimaksudkan agar bantuan dapat disalurkan kepada sasaran yang tepat dengan
jumlah yang tepat. Tujuan pemberian KIM adalah untuk menjamin kelancaran distribusi bantuan
serta kemudahan akses bagi warga miskin untuk menerima pelayanan dalam memenuhi
kebutuhan dasar. Persentase warga miskin di kota Semarang saat ini adalah 20,8 %, yang akan
dikurangi dengan target penurunan 2 % per tahun dalam kurun waktu 5 tahun mendatang.
Program Gerbang Hebat diluncurkan untuk memperbaiki progam pengentasan kemiskinan
sebelumnya yang tidak efektif, karena lemahnya koordinasi antar OPD yang masing-masing
berjalan sendiri-sendiri secara terfragmentasi. Kelemahan koordinasi diperbaiki dengan membuat
jejaring kerja pengentasan kemiskinan terpadu satu atap di bawah pinmpinan Wakil Walikota
Semarang selaku koordinator.
Pembentukan jejaring kerja pengurangan kemiskinan dan pengangguran yang terwadahi
di dalam program Gerbang hebat, merupakan praktik kepemimpinan kolektif menggunakan
pendekatan Whole of Government (WoG). Elemen-elemen dasar pendekatan WoG dapat
ditemukan di dalam Program Gerbang Hebat, yaitu (Lilin Budiati, 2017):
a. Cara pandang dan pendekatan holistik terhadap kemiskinan dan pengangguran melalui
4 aksi strategis berbasis bantuan sosial, fasilitasi UMKM, pemberdayaan dan program
pro rakyat
b. Adanya koordinasi intra dan inter organisasi sektor publik (koordinasi antar OPD
terkait), dan lkolaborasi lintas sektor antara pemerintah kota Semarang dengan
stakeholders dari sektor lain, yaitu sektor privat, sektor nonprofit (LSM/lembaga donor
internasional/ormas) dan komunitas warga.
c. Adanya jejaring kerja Gerbang Hebat satu atap di bawah koordinasi Wakil Wali Kota.
d. Adanya integrasi fungsi pengurangan kemiskinan dan pengangguran menjadi satu
program terpadu Gerbang Hebat.
Program Gerbang Hebat diluncurkan berselang satu tahun setelah peluncuran program
Semarang RC. Keduanya adalah program jangka menengah dan panjang milik Pemerintah Kota
Semarang yang sama-sama mengacu pada realitas hasil (outcome) pembangunan di masa depan,
yaitu meningkatnya kapasitas lokal yang dapat didayagunakan untuk memberikan perlindungan
kepada warga kota agar memiliki “ketahanan” terhadap guncangan dan tekanan. Hasil yang ingin
dicapai melalui program Semarang RC adalah “ketahanan kota” dimana masalah kemiskinan dan
pengangguran tercakup di dalamnya sebagai unsur-unsur dari kapasitas lokal yang diperlukan
guna membangun Semarang menjadi “Kota Tangguh (Resilient City)”, sementara hasil yang
ingin dicapai melalui program Gerbang Hebat adalah “pengurangan tingkat kemiskinan dan
pengangguran”. Hal itu menimbulkan pertanyaan mengenai: Bagaimana wujud konkrit kota
Semarang di masa depan sebagaimana yang digambarkan dalam visi “Semarang Tangguh” ?
Pertanyaan itu tidak terhindarkan karena “tangguh” adalah kata sifat yang memberikan gambaran
tentang sidat atau keadaan dari suatu objek.
Menurut kamus Oxford English Dictionary, kata resilient dimaknai sebagai “kemampuan
makhluk hidup untuk bertahan atau pulih dengan cepat dari kondisi sulit; mempunyai daya
lenting untuk kembali ke keadaan semua”. Tetap dibutuhkan deskripsi terpadu kota Semarang di
masa depan yang mewakili unsur-unsur fisik dan non fisik seperti: estetika, tata ruang, sejarah
dan yang terpenting adalah lanskap budaya yang melandasi identitas kota Semarang. Sejalan
dengan adopsi 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (17 SDGs) oleh PBB pada tahun 2015,
dimana pembangunan budaya dicantumkan sebagai tujuan ke-11, maka komunitas internasional
yang tergabung di dalam United Nations Habitat (UN Habitat) dan UNESCO berkomitmen
untuk menyusun Agenda 2030 dengan menetapkan target sebesar 11,4% porsi pembangunan
diperuntukkan bagi “Penguatan upaya-upaya melindungi dan memelihara budaya dan alam
peninggalan sejarah” (UNESCO, 2016). Konsep pembangunan berkelanjutan mengalami
perubahan dari konsep semula yang terdiri dari 3 dimensi pembangunan, yaitu: pembangunan
ekonomi, sosial dan lingkungan, menjadi 4 dimensi pembangunan, yakni: pembangunan
ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya.
Dimensi pembangunan budaya inilah yang belum tercakup di dalam visi “Semarang
Tangguh”. Ditinjau dari sudut pandang holistik kota Semarang sebagai suatu kesatuan (entitas)
dari tempat, ruang dan waktu, maka Visi Semarang Tangguh hanya menyiratkan salah satu sisi
perencanaan kota yang digerakkan atau dimotivasi oleh kebutuhan untuk berlindung terhadap
ancaman, dan belum digerakkan oleh suatu perspektif baru mengenai wujud konkrit kota
Semarang masa depan seutuhnya. Terlepas dari segala kekurangan dan kelemahannya,
bagaimanapun program Semarang RC adalah monumen pencapaian prestasi luar biasa tentang
kerja kepemimpinan kolektif di tingkat lokal yang amat patut dihargai setinggi-tingginya.
Persoalan selanjutnya adalah bagaimana mengimplementasikan strategi dan misi untuk
mewujudkan visi menjadi kenyataan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berkenaan dengan praktik kepemimpinan kolektif di dalam proses inisiasi dan
implementasi program Semarang RC yang dijadikan fokus kajian di dalam buku ini, maka
dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apa yang sudah dicapai oleh program Semarang RC sejauh ini sejak diluncurkan pada
tahun 2016?
2. Bagaimanakah Praktik Kepemimpinan Kolektif pada proses inisiasi dan implementasi
program Semarang RC?
3. Bagaimana persepsi warga kota terhadap program Semarang RC?
4. Apa saja hambatan dan kelemahan yang dihadapi dalam mengimplementasikan program
Semarang RC?
C. METODE PENELITIAN
Studi ini merupakan penelitian tipe campuran (mixed type), yaitu kombinasi dari
penelitian kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif bertujuan mengungkap dan menjelaskan
realitas yang berkaitan dengan peluncuran program Semarang RC berdasarkan fenomena yang
teramati. Hubungan-hubungan antara realitas dengan fenomena beserta faktor-faktor penyebab
yang mendasarinya dianalisis dengan pendekatan fenomenologi, dimana realitas ditafsirkan
berdasarkan pendapat subjektif dari para aktor yang terlibat langsung atau tidak langsung di
dalam proses yang membentuk realitas tersebut. Penelitian kuantitatif yang dilakukan dalam
studi ini bertipe deskriptif, artinya menyajikan fakta secara apa adanya yang digali dari persepsi
responden yang dijadikan sebagai sampel penelitian. Proses pengambilan sampel dilakukan
dengan teknik simple random sampling yang mensyaratkan adanya populasi yang relatif
homogen.
Di luar komunitas warga kota Semarang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam
proses inisiasi program Semarang RC, maka peluang tiap warga untuk “tahu (p) ” atau “tidak
tahu (q)” tentang program Semarang RC adalah sama, yaitu 50% atau ½, dimana nilai p = (1 –
q).Proses komunikasi dan sosialisasi program Semarang RC melalui website, media cetak dan
elektronik dan siaran radio adalah intervensi yang mengubah besarnya proporsi warga kota yang
“tahu (p)” tentang program tersebut. Pada sistuasi dimana jumlah populasi tidak diketahui. Maka
p.q
besarnya sampel dapat ditentukan dengan rumus Lameshow sebagai berikut: n= 2 ; dimana: n
d
= jumlah sampel; p = proporsi warga yang tahu; q = proporsi warga yang tidak; dan d = taraf
kesalahan = 5 % = 0,05.Besarnya nilai p ditentukan dengan melakukan pengambilan sampel
secara kebetulan (accidental sampling), dengan menanyai warga kota Semarang yang dijumpai
pada berbagai kesempatan dan waku yang berbeda. Pertanyaan yang diajukan antara lain:
Apakah Bapak/Ibu/Sdr./Sdri tahu tentang adanya Program Semarang Tangguh yang diluncurkan
oleh Pemerintah Kota Semarang?”. Kriteria responden yang diwawancarai adalah: (i) Warga
kota Semarang yang dibuktikan dengan KTP yang bersangkutan; (ii) kelompok usia lebih besar
atau sama dengan 18 tahun; (iii) Tidak terlibat baik langsung atau tidak langsung dalam proses
inisiasi program Semarang RC.
Penelitian kualitatif tidak dimaksudkanuntuk melakukan generalisasi, tetapi hanya
menyajikan fakta apa adanya guna menunjang pendapat subjektif informan agar tingkat
objektifitas hasil studi menjadi lebih besar.
D. HASIL PENELITIAN
1
Wawancara tertulis dengan Kepala Bappeda Pemerintah Kota Semarang Ir. Purnomo Dwi Sasongko, di
Semarang pada bulan April 2017.
e. Akomodasi usulan inisiatif di dalam RPJMD dan Renja OPD Pemerintah kota
Semarang.
30 dari 53 inisiatif yang diusulkan atau lebih dari 50 % sudah diakomodasi dalam
RPJMD dan menjadi Renja OPD yang akan didanai dari APBD, sementara sisanya
dicarikan sumber pembiayaan lain (Kepala Bappeda Kota Semarang, 2017).
2
Wawancara tertulis dengan Aniessa Delima Sari selaku Program Manager dari MercyCorps pada bulan April
2017
i. Rangkuman Problem Setting, Visi, Misi dan Strategi Ketahanan Kota
Proses inisiasi program Semarang RC menghasilkan rumusan tentang Problem Setting,
Visi, Misi dan Strategi sebagai berikut:
1) PROBLEM SETTING
Problem setting adalah perspektif atau lingkup wawasan dalam memandang
suatu problem yang mencakup substansi problem itu sendiri, implikasi, visi, misidan
strategi untuk mengatasinya.Masalah pokok yang melemahkan struktur ketahanan kota
Semarang digolongkan menjadi dua kategori yaitu: (i) Guncangan akut yang terjadi
tiba-tiba seperti: gempa bumi, banjir bandang dan wabah penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD); (ii) Tekanan kronis yang terjadi sehari-hari atau berkala seperti: banjir
rob dan kelangkaan air. Guncangan dan tekanan itu menjadi tantangan pemerintah,
stakeholder dan masyarakat kota Semarang untuk berupaya meningkatkan ketahanan
kota. Gambaran umum guncangan dan tekanan yang dialami kota Semarang beserta
implikasi dan strategi untuk mengatasinya adalah sebagai berikut (Semarang Tangguh,
2016: 27-45):
a) GUNCANGAN DAN TEKANAN
(1) Akses layanan air bersih be-lum optimal sehingga terjadi kekurangan air
(2) Pencemaran sungai yang men-jadi sumber air bersih
(3) Longsor di kawasan perbukitan
(4) Banjirbandang yang berasal dari kawasan hulu
(5) Banjir rob di pesisir Semarang bawah
(6) Penurunan muka air tanah karena berbagai pembangunan dan penggunaan Air
Bawah Tanah
(7) Abrasi yang menggerus kawa-san pesisir
(8) Kota dengan angka penderita DBD tertinggi
(9) Angka pengangguran tinggi, melebihi angka tingkat provinsi dan nasional
(10) Kemacetan lalu lintas karena peningkatan jumlah melebihi kapasitas jalan
b) IMPLIKASI
(1) Perlindungan
Memberikan per-lindungan kepada warga terhadap guncangan dan tekanan
(2) Mobilitas
Memperbaiki akses dan konektifitas
(3) Kapasitas
Memperbaiki kapasitas
b. Perubahan Transaksional
Proses transformasional kepemimpinan kolektif menghasilkan 53 inisiatif yang
diusulkan kepada Pemerintah Kota Semarang untuk diimplementasikan. Pengajuan
usulan inisiatif itu menandai dimulainya proses transaksional, yang secara berurutan
dimulai dari level politik, level organisasi/OPD dan terakhir adalah level teknis sebagai
berikut:
Pertama, level politik, Usulan inisiatif diputuskan apakah diterima atau ditolak.
30 dari 50 inisiatif yang diusulkan diterima dan dirumuskan menjadi kebijakan yang
dituangkan di dalam RPJMD. Penerimaan atau penolakan inisiatif adalah hasil dari
proses transaksional yang didasarkan pada keseimbangan relasional antara kepentingan,
otoritas, prioritas pembangunan, ketersediaan sumber daya, dan lain-lain. Di level politik
ini, tujuan dari kebijakan yang dibuat masih sama dengan tujuan dari inisiatif yang
diusulkan. Salah satu dari tujuan pembangunan di abad milenium (MDGs) adalah
pengurangan angka kemiskinan sampai dengan 50% pada tahun 2015. Tujuan ini
selanjutnya menjadi agenda 21, yang juga terkandung di dalam program Semarang RC
sebagai bagian dari inisiatif untuk membangun kapasitas lokal. Pada level politik ini,
tujuan dari inisiatif masih sama dengan tujuan dari kebijakan yaitu “pengurangan angka
kemiskinan”. Hal itu terlihat pada tujuan dari program “Gerbang Hebat” yang salah
satunya adalah “pengurangan kemiskinan”. Tidak atau belum ditemukan adanya bukti
empiris baik melalui pernyataan resmi atau fakta di lapangan yang menunjukkan adanya
keterkaitan antara program Semarang RC dan program Gerbang Hebat. Ada
kemungkinan bahwa program Gerbang Hebat merupakan implementasi program
Semarang RC di level orgganisasi dan teknis, atau merupakan penggabungan (merger)
dari program Pemerintah Kota Semarang dengan program Semarang RC.
Kedua, level organisasi/OPD,inisiatif yang sudah diterimadiputuskan menjadi
kebijakan dan/atau rencana pembangunan yang masih bersifat umum, selanjutnya
dirumuskan menjadi Rencana Kerja Organisasi Perangkat Daerah (Renja OPD) yang
bersifat konkrit, spesifik dan operasional sehingga bisa diimplementasikan sesuai dengan
TUPOKSI masing-masing OPD. Pada level organisasi/OPD, kebijakan pengurangan
kemiskinan diimplementasikan melaui 4 strategi yaitu: (i) bantuan sosial; (ii) fasilitasi
UMKM; (iii) pemberdayaan; dan program pro rakyat. Implementasi program dilakukan
melalui OPD terkait, misalnya Dinas Sosial, Dinas Koperasi dan UKM, Badan
Pemberdayaan Masyarakat (Bapermas), dan lainnya. Tiap OPD bekerja berdasarkan
TUPOKSI dan spesialisasinya masing-masing.
Pada titik inilah terjadi fragmentasi dari tujuan umum “pengurangan kemiskinan”
menjadi “tujuan khusus/spesifik” masing-masing OPD yang berbeda dengan tujuan
asalnya. Pada Dinas Sosial, tujuan asal “pengurangan kemiskinan” beralih atau dialihkan
(goal displacement)” menjadi tujuan khusus OPD sesuai TUPOKSI, yaitu memberikan
bantuan sosial untuk meringankan dampak kemiskinan. Terjadi fenomena “single
purpose organization” dimana OPD hanya bertanggungjawab melaksanakan tujuan
organisasinya sendiri sesuai TUPOKSI. Apakah implementasi program yang
dilaksanakannya itu dapat mengurangi angka kemiskinan atau tidak, bukan hal yang
penting lagi asal TUPOKSI sudah dilaksanakan. Apabila bantuan sosial sudah diberikan
tepat sasaran, tepat jumlah dan tepat waktu, maka hal itu sudah cukup tanpa merasa perlu
mengukur apakah hasil dari nbantuan itu dapat mengurangi tingkat kemiskinan atau
tidak. Hal serupa juga terjadi pada OPD lainnya sehingga jika dilihat secara keseluruhan,
tujuan umum “pengurangan kemiskinan” menjadi tidak tercapai secara efektif karena
mengalami fragmentasi dan pengalihan (displacement) menjadi tujuan khusus OPD
“meringankan kemiskinan”.
Fragmentasi menimbulkan dua kesulitan yaitu: (i) kontrol terhadap pelaksanaan
program dalam mencapai tujuan umum “mengurangi kemiskinan” yang sudah beralih
menjadi tujuan khusus “meringankan kemiskinan”. Kedua jenis tujuan itu mempunyai
parameter dan ukuran yang berbeda, sehingga sulit melakukan kontrol terhadap kondisi
yang sudah berubah. Hasil (outcome) capaian tujuan umum menjadi tidak jelas dan sulit
dievaluasi. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa tujuan kebijakan seringkali tidak
tercapai atau gagal, karena mengalami penyimpangan di tingkat implementasinya; (ii)
koordinasi dalam pencapaian tujuan umum “mengurangi kemiskinan”. Spesialisasi
horisontal menimbulkan fenomena “single purpose organization”, dimana tiap-tiap OPD
hanya berkepentingan untuk mencapai tujuan organisasinya sendiri sesuai TUPOKSI.
Kondisi ini menimbulkan beberapa akibat antara lain: cara pandang dan orientasi ke
dalam (inward looking), sikap mementingkan organisasinya sendiri dan ego sektoral.
Faktor-faktor itu menyebabkan koordinasi antar OPD menjadi lemah atau sangat sulit
dilaksanakan. Lemahnya koordinasi antar OPD terjadi pada pelaksanaan program
pengurangan kemiskinan di kota Semarang, sebelum diintegrasikan dalam satu atap di
bawah koordinasi Wakil Walikota Semarang.
Ketiga, level teknis, program kerja yang ditetapkan pada level organisasi/OPD
dilaksanakan dalam bentuk kegiatan yang langsung ditujukan kepada kelompok sasaran
penerima manfaat, misalnya kegiatan pemberian bantuan sosial “sembako” kepada
kelompok warga miskin. Pada level ini, sering terjadi bahwa karena adanya hambatan
teknis, administratif atau lainnya yang menyebabkan kegiatan bantuan sosial itu tidak
dapat dilakukan, tetapi TUPOKSI tetap harus dilaksanakan, maka tujuan “meringankan
kemiskinan” digantikan atau disubstitusi (goal substitution) dengan tujuan-tujuan
pragmatis yang menyimpang dan sangat berbeda dengan tujuan asalnya “mengurangi
kemiskinan”. Di lapangan sering terjadi praktik dimana bantuan sosial diterima oleh
sasaran yang salah, atau jumlah bantuan yang dialokasikan melebihi jumlah warga yang
membutuhkan karena data yang tidak akurat.
Uraian tersebut menjelaskan mengapa kepemimpinan di level menengah lemah
atau tidak efektif, karena adanya hambatan-hambatan berupa fragmentasi dan spesialisai
yang mengakibatkan implementasi program menjadi sulit dilaksanakan, dikontrol dan
dievaluasi. Hal itu masih ditambah lagi dengan adanya faktor penyulit lain seperti: kurang
komunikasi, visi, misi dan tujuan yang tidak jelas sehingga tidak dipahami, dan resistensi.
Lemahnya koordinasi dapat diatasi dengan mempraktikkan pendekatan Whole of
Government (WoG) sebagaimana yang telah diterapkan oleh Pemerintah Kota Semarang
melalui program Gerbang Hebat.
Pada tahap ini perlu dirumuskan dan diputuskan bagaimana mekanisme, struktur
dan manajemen transfer bantuan pembiayaan dan program agar memenuhi akuntabilitas
publik dan prinsip-prinsip “collaborative governance”.
Prinsip-prinsip collaborative governance yang harus diikuti agar kerjasama
kemitraan memenuhi syarat-syarat akuntabilitas adalah (Barbara Gray & Jenna P. Stites,
2013: 20) :
1) Forum kemitraan kolaboratif dimulai atau diinisiasi oleh institusi sektor publik
2) Melibatkan partisipan dari sektor lain diluar pemerintah/sektor publik
3) Partisipan harus terlibat langsung di dalam proses pengambilan keputusan, dan tidak
sekedar dilibatkan di dalam proses konsultasi saja yang diselenggarakan oleh
pemerintah.
4) Forum kemitraan diorganisasikan secara formal/resmi
5) Forum kemitraan bertujuan untuk membuat keputusan berdasarkan konsensus
6) Fokus dari kemitraan kolaboratif adalah pada kebijakan atau manajemen publik.
Mengacu pada prinsip-prinsip tersebut, pemerintah kota Semarang perlu
mengkonsultasikan dan menyusun rancangan institusional yang efektif guna mentransfer
dan mengimplementasikan hasil-hasil yang telah dicapai dalam proses transformasional
dalam rangka mewujudkan visi menjadi realitas konkrit yang dapat dirasakan langsung
oleh penerima manfaat. Sebagian proses transaksional tersebut sudah diimplementasikan
dan disampaikan langsung kepada kelompok sasaran penerima manfaat. Contohnya
adalah pengurangan risiko bencana di 16 kelurahan area banjir kanal barat berupa
pembentukan Kelompok Siaga Bencana (KSB), Kampung Tangguh Bencana, Kampung
Pengelola Sampah dan Kampung Tematik. 8000 rumah tangga menerima manfaat aksi
pengurangan risiko bencana (Purnomo Dwi Sasongko, 2017).
2) Hambatan koordinasi
Koordinasi menjadi kendala utama yang dirasakan oleh pihak-pihak yang
terlibat, baik selama tahap inisiasi inisiasi program Semarang RC maupun di tahap
implementasi yang sedang dimulai saat ini. Berkenaan dengan hambatan
koordinasi ini, Jawoto Sih Sih Setyono dari UNDIP di dalam wawancara tertulis
menyatakan sebagai berikut:
“Hambatan memang ada, khususnya yang terjadi antara CRO yang
unsurnya adalah gabungan dari birokrat dan akademisi dengan organisasi
perangkat daerah (OPD) yang merupakan organ struktural pemerintah daerah.
Hal yang sering terjadi dan belum ada solusi yang efektif sampai dengan saat ini
adalah koordinasi kegiatan antara project charter yang disusun oleh tim CRO
dengan program pembangunan yang tertuang dalam dokumen rencana
pembangunan daerah (RPJMD/RKPD). Permasalahan ini muncul karena integrasi
kelembagaan pengelolaan Semarang RC dengan OPD Kota Semarang tidak
berjalan dengan baik. Penyebabnya dari kekurangmulusan integrasi ini bisa
beragam, bisa karena faktor personal dan bisa juga faktor kelembagaan di dalam
internal pemerintah kota itu sendiri. Usaha ke arah pengintegrasian itu telah
dilakukan. Namun seperti yang dijelaskan sebelumnya, ada hambatan yang bersifat
struktural. Proyek Semarang RC ini melibatkan organisasi yang berasal dari luar
pemerintahan dan didanai oleh lembaga donor internasional. Pelibatan organisasi
di luar pemerintahan ini selalu menjadi hambatan karena pada umumnya cara
pikir lama yang berdasarkan pada aspek legal formal masih dominan di dalam
tradisi pemerintahan”.
Dampak negatif NPM yang didasarkan pada strategi fragmentasi melalui
desentralisasi, devolusi struktur dan spesialisasi horisontal dalam rangka mengejar
efisiensi sektor publik(Christensen and Lægreid 2001, Pollitt and Bouckaert 2004),
mengakibatkan lemahnya kontrol baik secara vertikal maupun horisontal pada
berbagai level pemerintahan. Spesialisasi horisontal berdasarkan prinsip “Single
purpose organization” menimbulkan tantangan berupa lemahnya kapasitas dan
koordinasi (Gregory 2003 dalam Tom Christensen dan Peer Lagreid 2007: 7).
Lemahnya koordinasi baik secara vertikal maupun horisontal dapat diatasi dengan
melaksanakan pendekatan Whole of Government (WoG) sebagaimana telah
dijelaskan pada Bab I (Peters 1998 and 2004 dalam Tom Christenses dan Peter
Lagreid, 2007:9).
b. Kelemahan
1) Visi yang kurang efektif
Visi “Semarang Tangguh” belum merujuk pada suatu outcome yang nyata,
jelas, mudah dipahami dan terukur tentang bagaimana wujud kota Semarang
Tangguh” di masa depan. Visi Semarang Tangguh ternyata hanya diketahui dan
dipahami oleh sebagian kecil kelompok elit dari kelas menengah ke atas warga kota
Semarang, terutama yang ikut terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung
di dalam proses inisiasi program Semarang RC. Hal ini juga dinyatakan oleh Prof.
Sudharto P. Hadi. MES, Phd. Dalam wawancara tertulis sebagai berikut:
“Program resilience city cukup dikenal terutama kalangan kelas menengah
keatas melalui berita di media massa dan keterlibatan mereka dalam berbagai
event. Pak Hendi bahkan menjadikan resilience city sebagai salah satu program
unggulan dalam debat Calon Walikota. Tetapi apakah pemahaman tentang
resilience city sampai kalangan bawah, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut”.
Dua temuan hasil survei pada gambar 32 dan 33 tersebut menunjukkan
bahwa visi Semarang Tangguh adalah visi yang kurang memenuhi 6 karakteristik
visi efektif yang dijelaskan pada tabel 13 bab II, yaitu: (i) dapat dibayangkan; (ii)
diinginkan; (iii) layak (feasible); (iv) terfokus; (v) fleksibel; dan (vi) mudah
dikomunikasikan. Lebih mudah membayangkan, menginginkan, mencapai,
memfokuskan dan mengkomunikasikan “Semarang bebas banjir dan tanggap
bencana” daripada “Semarang Tangguh”, yang tidak terfokus pada suatu hasil nyata
di masa depan. Visi yang kurang atau tidak efektif tidak bisa menginspirasi dan
membangkitkan kesadaran, mendorong warga untuk terlibat, berpartisipasi,
membuat komitmen dan konsensus. Visi yang tidak efektif juga sulit digunakan
untuk merekatkan warga agar tetap berkomitmen pada konsensus untuk
bekerjasama membangun kapasitas lokal yang dibutuhkan guna mewujudkan visi
Semarang Tangguh menjadi kenyataan.
Gambar 33. Hasil (Outcome) Perencanaan Kota Tangguh Masa Depan Yang Diharapkan
Pada visi, strategi dan misi Semarang RC, belum terlihat bagaimana
gambaran mengenai: (i) tingkat pengurangan konsumsi sumber energi fosil baik
dalam jangka pendek maupun panjang; (ii) integrasi antara fungsi ketahanan
pangan, pengelolaan sampah, transportasi, pasokan energi, pengelolaan sumber
daya air dan respon terhadap bencana di dalam sistem perencanaan kota terpadu.
5) Belum ada lanskap budaya yang menjadi basis perencanaan “kota Tangguh
(resilientcity)” di masa depan
Warisan budaya perkotaan adalah bidang yang selalu menjadi perhatian para
akademisi dan pembuat kebijakan sektor publik di seluruh penjuru dunia
(UNESCO, 2016). Kota Semarang yang sudah berumur 470 tahun tentu memiliki
berbagai tengara (landmark) fisik, sejarah, nilai-nilai, kebiasaan dan tradisi yang
membentuk identitas dan lanskap budaya yang mempengaruhi perkembangannya.
Beberapa tengara tersebut dapat ditemukan antara lain: kota lama, kelenteng Sam
Poo Kong, museum, tradisi dugderan, dan lain-lain. Perencanaan kota tangguh
masa depan yang terkandung di dalam Visi Semarang Tangguh belum
mengintegrasikan nilai-nilai baru dari kota tangguh dengan lanskap budaya
yangtelah menjadi kecenderungan global (global trend) pada saat ini. Persoalannya
adalah: Apa dan bagaimana sebenarnya identitas dan lanskap budaya kota
Semarang? Salah satu sebab kegagalan dari upaya merancang identitas dan city
branding “Semarang Pesona Asia” pada tahun 2009 adalah karena tidak terkait
dengan lanskap budaya dan kesejarahan kota Semarang. Bertolak dari kegagalan
itu, maka perencanaan Semarang menjadi kota tangguh (resilient city) seharusnya
berlandaskan pada warisan lanskap budaya dan sejarah masa lalunya.
Perencanaan Kota Tangguh tanpa didasarkan pada identitas dan lanskap
budaya kota Semarang, akan membuat asumsi bahwa perencanaan kota Semarang
terutama dimotivasi oleh adanya kebutuhan untuk berlindung terhadap ancaman,
sebagaimana yang terjadi pada kota-kota kuno di masa lalu menjadi benar adanya.
Kota Semarang di masa depan akan menjadi kota yang tidak berjiwa, tidak ada
“sense of place”, yaitu sensasi yang dirasakan sebagai suatu tempat yang nyaman,
menarik dan menyenangkan, membangkitkan emosi dan kenangansehingga
membuat orang merasa betah dan ingin tinggal di dalamnya, dimana nilai-nilai
kemanusiaan, estetika dan keharmonisan bisa dirasakan dan dinikmati. (Raheem
Hashempoor, 2005). Tanpa landasan lanskap budaya, maka perkembangan kota
Semarang di masa depan akan memiliki masalah serupa dengan perkembangan
kota-kota modern lain di negara-negara berkembang, yaitu tidak adanya “identitas”
dan “sense of place” sehingga kota menjadi terputus dari budaya dan sejarah masa
lalunya.
Dewasa ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah peradaban manusia, nilai-
nilaikemanusiaan mendominasi kehidupan warga masyarakat yang tinggal di
daerah perkotaan. Berdasarkan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development Goals/SDGs) yang dicanangkan oleh PBB, komunitas
internasional berkomitmen untuk mengakhiri kemiskinan, ketimpangan,
ketidakadilan dan memelihara kelestarian lingkungan pada tahun 2030. Tujuan-
tujuan itu akan diwujudkan melalui Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030
yang menekankan peran integral budaya bagi tercapainya 17 tujuan SDGs tersebut,
termasuk kualitas pendidikan, pertumbuhan ekonomi, pola konsumsi dan produksi
yang berkelanjutan, masyarakat yang inklusif dan cinta dama. Peran penting budaya
bagi pembangunan berkelanjutan dimasukkan pada tujuan nomor 11 dalam SDGs,
yang bertujuan membuat “kota dan pemukiman manusia menjadi inklusif, aman,
tangguh dan berkelanjutan”.
Budaya menjadi faktor kunci yang membuat kota menjadi menarik, kreatif
dan berkelanjutan. Fakta sejarah menunjukkan bahwa “budaya” menjadi jantung
dari pembangunan perkotaan, sebagaimana terbukti dari berbagai tengara
(landmark), warisan budaya dan tradisi. Tanpa budaya, citra kota sebagai tempat
yang mampu membangkitkan gairah, menggelorakan semangat dan menggetarkan
jiwa tidak akan pernah ada, dan sebagai gantinya adalah deretan konstruksi gedung
tak berjiwa yang membuat manusia terasing dari nilai kemanusiaannya sehingga
mudah terjadi stress, konflik dan desintegrasi sosial (UNESCO, 2016).
Sejalan dengan adanya kecenderungan global mengenai pendekatan budaya
dalam perencanaan kota masa depan, maka UNESCO mencanangkan pendekatan
Lanskap Perkotaan Bersejarah atau Historic Urban Landscape/HUL Approach di
dalam perencanaan kota. Pendekatan HUL didefinisikan sebagai:
“Lanskap Perkotaan Bersejarah (HUL) adalah hunian di area perkotaan
yang dipahami sebagai pelapisan budaya, alam dan nilai-nilai yang lebih luas
daripada pengertian “kawasan bersejarah” atau “kelompok bangunan bersejarah di
kawasan tertentu”. HUL berkaitan dengan konteks perkotaan dan tatanan (setting)
geografis yang lebih luas. Pendekatan HUL menekankan bahwa perencanaan
komprehensif atas area perkotaan harus dimulai dari pemahaman tentang evolusi
dari HULdalam skala yang lebih luas, dan kemudian memandang kota sebagai
suatu deposit dari berbagai lapisan yang membentuk tatanan (setting) perkotaan
dari waktu ke waktu. Pada tiap kasus, sejarah perlu dipahami dan lapisan-lapisan
yang membentuknya perlu diungkap (UNESCO, 2011 dalam Lilin Budiati, 2017).
Semarang adalah kota yang bersejarah sebagaimana kota Solo dan
Yogyakarta. Pendekatan HUL mengharuskan perencana perkotaan untuk
memperhitungkan konteks lokal dari setiap kota bersejarah. Hal ini mengakibatkan
adanya manajemen yang berbeda-beda pada setiap kota, tetapi secara umum
setidaknya ada enam langkah kritis yang direkomendasikan untuk memfasilitasi
penerapan pendekatan HUL, yaitu(UNESCO, 2011 dalam Lilin Budiati, 2017):
a) Melakukan survey dan pemetaan komprehensif tentang alam, budaya dan
sumber daya manusia kota;
b) Mencapai konsensus melalui perencanaan partisipatif dan konsultasi para
pemangku kepentingan mengenai nilai-nilai apa yang harus dilindungi agar tetap
tetap lestari sampai pada generasi yang akan datang dan untuk menentukan
atribut-atribut apa saja yang menyandang nilai-nilai tersebut;
c) Menilai tingkat kerentanan atribut-atribut terhadap tekanan sosio ekonomi dan
dampak dari perubahan iklim;
d) Mengintegrasikan nilai-nilai kesejarahan perkotaan dan status kerentanannya ke
dalam kerangka kerja pembangunan kota yang lebih luas, yang dapat menjadi
indikator tentang sensitifitas kawasan peninggalan sejarah yang harus
diperhitungkan pada setiap perencanaan, perancangan dan pelaksanaan proyek-
proyek pembangunan;
e) Memprioritaskan aksi untuk konservasi dan pembangunan; dan
f) Menetapkan kemitraan dan kerangka kerja manajemen lokal yang tepat untuk
setiap proyek konservasi dan pembangunan dengan mengembangkan mekanisme
koordinasi pada berbagai aktifitas di antara para aktor yang berbeda-beda, baik
sektor publik maupun sektor privat/swasta.
Gambar 35. 6 Langkah Praktis Pendekatan Historic Urban Landscape/HUL
6) Program Pengurangan Kemiskinan Yang Tidak Tuntas
Program pengurangan kemiskinan dan pengangguran yang diselenggarakan
oleh Pemerintah Kota Semarang dengan nama “Gerbang Hebat”, meskipun sudah baik
tetapi tidak tuntas, karena upaya itu terhenti sampai pada batas mengurangi
kemiskinan (poverty reduction), sementara orientasi penanggulangan kemiskinan pada
saat ini sudah berubah menjadi “pemberantasan/eradikasi kemiskinan (poverty
eradication)”. Target pengurangan kemiskinan sebesar 2% pertahun yang ditetapkan
oleh Pemerintah Kota Semarang, tidak serta merta berarti bahwa tingkat kemiskinan
Kota Semarang yang saat ini adalah 20% akan menjadi nol % pada 10 tahun yang
akan datang. Hal ini disebabkan karena kemiskinan bersifat dinamis dan non liner.
Kemiskinan juga mengalami pertumbuhan akibat modernisasi dan struktur ekonomi
pasar yang memarjinalkan kelompok rentan yang tidak memiliki peluang dan akses
terhadap sumber daya politik ekonomi dan sosial.
Kemiskinan dan ketimpangan seolah saudara kandung karena tercipta pada
situasi yang sama. Mana yang lebih dulu sulit ditentukan. Berbicara tentang
kemiskinan, maka isu di mana seseorang dilahirkan menjadi sangat penting. Ketika
seseorang terlahir di rumah sakit bintang lima, maka dunia terasa ramah dan indah
dengan segala peluang dan kesempatan yang dapat diraih dengan mudah, karena kelas
menengah atas diwarisi dari orang tuanya yang mungkin saja seorang konlglomerat,
pegawai tinggi, jenderal, bahkan presiden. Sebaliknya ketika seseorang terlahir di
gerbong kosong di setasiun, maka kemiskinan dan ketimpangan secara bersamaan
hadir melengkapi atributnya sebagai warga kelas terbawah dalam strata sosial
masyarakat.
Terlepas dari masalah takdir, dunia terasa sangat tidak ramah dan muram
karena segala peluang dan kesempatan seolah dirampas darinya. Pada posisi seperti ini
akan sangat sulit melakukan migrasi sosial ke kelas menengah melalui pendidikan,
bahkan untuk bertahan hidup saja merupakan urusan yang sangat berat. Alih-alih
berpikir untuk pendidikan dan kesejahteraan, untuk dapat bertahan hidup di dalam
belantara pasar global, benar-benar perjuangan melintasi proses seleksi alam
sebagaimana yang digambarkan oleh Charles Darwin “the law of the jungle, survival
for the fittest”, hukum rimba dengan prinsip memenangkan yang terkuat dan
menegasikan yang lemah.
Wujud kelompok yang kalah ini dapat dilihat sehari-hari mengemis uang receh
di perempatan lampu merah kota-kota besar pada siang hari, dan malam harinya
menggelandang di berbagai emperan toko, kolong jembatan atau tempat manapun
yang masih menyediakan keramahan untuk sekedar tidur. Kemiskinan dan
ketimpangan memang bukan monopoli negara berkembang seperti Indonesia, tetapi
juga ada di negara-negara maju seperti Australia, Amerika atau Inggris. Hanya saja
jika dibandingkan dengan kemiskinan di negara maju, maka kemiskinan di Indonesia
menjadi semakin berkmakna ditinjau dari segi keparahannya, karena di negara-negara
maju ada keberpihakan negara yang jelas melalui program jaminan sosial terhadap
kelompok masyarakat miskin.
Liberalisasi pasar telah meningkatkan intensitas kemiskinan dan ketimpangan
sedemikian rupa sehingga sampai pada tingkat resisten terhadap berbagai solusi,
karena tingginya kompleksitas permasalahan. Ideologi liberalisme mengandung
inkonsistensi internal. Di satu sisi, liberalisme tidak menghendaki intervensi negara
yang dapat mengganggu keseimbangan pasar, sebaliknya di sisi lain, liberalisme
sendiri memunculkan gejala-gejala oligarki, monopoli dan oligopoli yang pada
akhirnya menggangu keseimbangan pasar melalui praktik penguasaan sumber daya,
produksi, investasi, distribusi dan jalur perdagangan. Hal itu menjelaskan mengapa
kemiskinan dan ketimpangan sulit diatasi, karena kemiskinan di Indonesia lebih
disebabkan karena faktor struktur ekonomi pasar daripada faktor alami. Ekonomi
hanya salah satu dari dimensi kemiskinan, karena kemiskinan juga mencakup dimensi-
dimensi politik, sosial dan budaya. Upaya mengentaskan kemiskinan tanpa
memperhitungkan struktur ekonomi pasar yang menjadi penyulitnya, serta
mengesampingkan dimensi-dimensi lainnya akan tidak efektif dan bahkan dapat
menimbulkan masalah baru.
Kemiskinan tidak dapat diatasi dengan bantuan atau program jangka pendek,
melainkan harus dengan program jangka panjang dan berkelanjutan, karena
pengentasan kemiskinan tak ubahnya seperti pendidikan adalah investasi jangka
panjang dengan hasil yang tidak bisa segera dilihat. Berbagai program pengentasan
kemiskinan telah dijalankan oleh pemerintah sebelum Jokowi, baik oleh pemerintah
pusat maupun oleh pemerintah daerah, namun hasilnya tidak menunjukkan penurunan
signifikan. Dari tahun 2013 – 2014 hanya terjadi penurunan rata-rata jumlah penduduk
miskin sebesar 430.000 juta dari kondisi awal 28,59 juta pada tahun 2012. Tahun
2014 – 2015 jumlah penduduk miskin mengalami kenaikan 270.000 jiwa dari kondisi
sebelumnya 27,73 juta jiwa pada tahun 2014. Indeks Gini sebagai indikator
ketimpangan tetap pada angka 0,41 selama 2012 – 2014, dan turun menjadi 0,40 pada
tahun 2015. (lihat tabel).
Tabel 28. Jumlah Penduduk Miskin dan Tingkat ketimpangan 2012 - 2015
Variabel 2012 2013 2014 2015
Jumlah penduduk miskin (dalam juta
28,59 28,55 27,73 28,51
jiwa)
Kemiskinan Relatif (% populasi) 11,66 11,47 10,96 11,13
Indeks Gini 0,41 0,41 0,41 0,40
Sumber: BPS, 2016
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kinerja program pengentasan kemiskinan
di Indonesia tidak efektif. Hal itu dapat disebabkan karena cara pandang terhadap
kemiskinan tidak tepat, orientasi, konsep dan strategi yang tidak jelas, serta belum
terintegrasinya program pengentasan kemiskinan dalam suatu kerangka kerja terpadu
berjangka panjang dan berkelanjutan antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah. Beragam program pengentasan dapat ditemukan dengan beragam label,
konsep dan orientasi. Devolusi struktur mengakibatkan fragmentasi dimana masing-
masing pihak mempunyai lahan garapan dan kewenangan sendiri. Tidak ada yang
keliru dengan program-program itu, tetapi mengandung kelemahan pokok yaitu
berjangka pendek, tidak terintegrasi dengan struktur ekonomi pasar, tumpang tindih
yang akhirnya tidak berkelanjutan karena program-program itu tidak menyentuh basis
fundamental infrastruktur ekonomi. Hasil kajian Peter McCawley (2014-ASPI)
menyimpulkan bahwa Pemerintah Indonesia memang harus memperbaiki program
pengentasan kemiskinan yang lebih realistis, solid dan terintegrasi.3
3
Peter McCawley, Strategy: Joko Widodo’s Indonesia Possible Path, ASPI, 2014, hlm. 25.
4
M . Kathrine McJackson, Unifying Framework for Poverty Eradication & Social Justice, CARE,2005, hlm. 9-
12
personal (pada tingkat perorangan/individu)” dalam proses pembangunan, dimana
orang lebih diharapkan untuk “memancing ikan” daripada “diberi ikan”, yang
bertujuan agar setiap orang dapat mencukupi sendiri kebutuhannya. Pemberdayaan
personal adalah pemberdayaan pada tiap-tiap orang atau individu yang harus
dibedakan dengan pemberdayaan sosial pada suatu komunitas tertentu. Pemberdayaan
personal memberikan landasan bagi tuntutan individu berbasis hak terhadap sistem
politik yang menyebabkan terampasnya peluang atau kesempatan, pada saat yang
sama pemberdayaan sosial menmfokuskan tuntutan individu pada proses sosial (lebih
besrsifat kolektif) untuk mengubah bentuk dan arah kekuatan-kekuatan sistemik yang
memarjinalkan manusia. Pemberdayaan sosial akan mengubah basis dari hubungan
kekuasaan (Vane Klasen , 2002 dalam M. Katherine McJackson).
Upaya mengatasi kemiskinan harus didasarkan pemahaman tentang dinamika
proses mengapa orang tidak menjadi miskin, jatuh miskin atau menjadi lebih miskin
daripada sebelumnya, atau menjadi miskin selamanya karena tidak dapat terlepas dari
belenggu kemiskinan. Dinamika kemiskinan berkaitan erat dengan fenomena
kerentanan. Kerentanan dipahami sebagai suatu keadaan dimana sistem mata
pencaharian orang rentan terhadap guncangan (shock), bersamaan dengan ketiadaan
daya tahan/ketangguhan menghadapi guncangan sehingga orang yang bersangkutan
tidak dapat memulihkan diri. Kerentanan berpengaruh terhadap mata pencaharian yang
menyebabkannya jatuh miskin dan tingkat berat ringannya kemiskinan. Guncangan
dapat memiskinkan seseorang beserta keluarganya (sakit, meninggal atau Pemutusan
Hubungan Kerja/PHK) atau dapat memiskinkan masyarakat di suatu daerah (bencana
alam, krisis ekonomi makro seperti tahun 1997 dan 2008).
Pola interaksi sosial berbasis relasi kekuasaan dapat memunculkan guncangan
atau tekanan yang dapat menyebabkan orang menjadi rentan atau jatuh miskin.
Sebagai contohnya adalah interaksi sosial dalam distribusi bahan pokok misalnya
cabai, bawang merah, garam dan lain-lain antara petani – tengkulak – pedagang –
konsumen. Pada situasi normal harga mengikuti harga cabai di pasar berkisar antara
30 – 40 ribu rupiah per kg, ketika hasil panen melimpah harga pembelian tengkulak ke
petani turun drastis sementara harga di pasar relatif tidak turun atau turun sangat
sedikit. Sebaliknya ketika cabai langka harga cabai dipasar bisa mencapai lebih dari
100 ribu rupiah per kg.
Fluktuasi harga cabai menunjukkan gejala anomali (kelainan) yang
menyimpang dari hukum pasar, seharusnya harga turun ketika penawaran naik (hasil
panen berlimpah) tetapi kenyataannya harga tidak turun atau tetap. Sebaliknya, di sisi
permintaan masih mengikuti hukum pasar yaitu harga naik ketika cabai langka, tetapi
naiknya bisa mencapai 300 %. Hal ini dapat terjadi karena distribusi barangdi
kendalikan oleh para tengkulak yang melakukan praktik oligopoli dengan membentuk
kartel. Kartel inilah yang mengendalikan harga pasar. Kartel membeli dengan harga
serendah-rendahnya pada saat cabai berlimpah dan kemudian menjual dengan harga
setinggi-tingginya ketika cabai langka. Praktik semacam itu juga terjadi pada
komoditas lain seperti tembakau,beras, gula dan sebagainya. Dapat dilihat bahwa
kartel memiliki kekuatan politik, ekonomi dan sosial untuk mengontrol perilaku pasar
dan masyarakat yang menyebabkan timbulnya kerentanan dan kemiskinan.
Petani sangat dirugikan karena cabai yang dijualnya dengan harga murah
ketika panen, ternyata harus dibelinya kembali dengan harga 3 x lipat saat mereka
butuh. Pendapatannya saat panen terkuras keluar lagi (outflow) karena cost push
inflation, artinya inflasi yang disebabkan oleh tekanan harga tinggi. Konsumen juga
termasuk pihak yang dirugikan dan bersama-sama petani menjadi rentan terhadap
kemiskinan. Frankenberger dan Maxwell (2002) menyatakan bahwa kerentanan tidak
hanya disebabkan oleh proses sosio-ekonomi saja, tetapi juga disebabkan oleh proses
politik karena relasi kekuasaan antara individu dan kelompok yang secara langsung
atau tidak langsung akan berpengaruh terhadap tingkat kerentanan.
Menurut Vane Klasen (2002) dalam M. Katherine McJackson (2005),
dimensi-dimensi kerentanan dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 36. Dimensi-Dimensi Kerentanan Vane Klassen