Anda di halaman 1dari 34

SEMARANG TANGGUH

STUDI KASUS KEPEMIMPINAN KOLEKTIF DI KOTA SEMARANG


Lilin Budiati

A. LATAR BELAKANG
Semarang menjadi ikon ketika terpilih sebagai kota pertama di Indonesia yang tergabung
di dalam jejaring 100 kota tangguh (100 Resilient City/RC) di seluruh dunia pada bulan
Desember 2014. Sejak saat itu, inisiasi kerjasama lintas sektor terus digulirkan dan berhasil
melibatkan 24 organisasi lokal, nasional dan internasional dalam peluncuran strategi ketahanan
kota yang bernilai 1,597,168 USD setara dengan 21 miliar rupiah. Semarang Tangguh adalah
sebuah visi yang terkait dengan 3 fungsi strategis dalam peningkatan perlindungan, mobilitas dan
kapasitas. Perlindungan bertujuan melindungi warga dari guncangan dan tekanan yang
berdampak langsung. Guncangan diartikan sebagai peristiwa
tiba-tiba dan berbahaya seperti gempa bumi, banjir bandang
dan wabah penyakit, sementara tekanan kronis adalah situasi
yang terjadi terusmenerus atau berkala yang melemahkan
struktur kota seperti banjir rob dan kelangkaan air. Fungsi
memberikan perlindungan harus didukung oleh mobilitas
warga kota yang diukur dengan parameter ketersediaan akses
dan konektifitas. Kapasitas menyangkut adanya kemampuan
untuk menahan guncangan dan tekanan. 6 pilar, 18 strategi
dan 53 inisiatif yang diusulkan melalui program Semarang RC, 30 inisiatif atau lebih dari 50 %
sudah diakomodasi dalam RPJMD dan menjadi Renja OPD yang akan didanai dari APBD,
sementara sisanya dicarikan sumber pembiayaan lain (Kepala Bappeda Kota Semarang, 2017).
Sumber pembiayaan non APBD antara lain berasal dari Rockefeler Foundation, Zurich
Foundation, American Red Cross, USAID dan donor lainnya. Salah satu wujud kegiatan
peningkatan ketahanan kota adalah pengurangan risiko bencana di 16 kelurahan area banjir kanal
barat berupa pembentukan Kelompok Siaga Bencana (KSB), Kampung Tangguh Bencana,
Kampung Pengelola Sampah dan Kampung Tematik. 8000 rumah tangga menerima manfaat aksi
pengurangan risiko bencana. Pada dimensi mobilitas, perlindungan diberikan melalui penerapan
koridor transportasi intermoda dan peningkatan transportasi rendah emisi karbon. Pada dimensi
kapasitas, upaya pengembangan dilakukan oleh pemerintah kota Semarang melalui OPD terkait.
Problem utama yang dihadapi kota Semarang untuk mewujudkan visi Semarang tangguh
adalah rendahnya kapasitas. Tekanan kronis yang dijadikan fokus sorotan dalam penelitian ini
adalah kemiskinan dan pengangguran. Hal itu didasarkan pada alasan-alasan: (i) kemiskinan dan
pengangguran adalah faktor atau variabel yang melemahkan kapasitas untuk mewujudkan
ketangguhan; (ii) kota Semarang memiliki tingkat pengangguran tertinggi di Jawa Tengah,
bahkan melebihi angka pengangguran provinsi; (iii) kemiskinan dan pengangguran dijadikan isu
sentral dan agenda pemerintah kota Semarang untuk memperbaiki kapasitas melalui program
pengurangan kemiskinan dan pengangguran yang disebut sebagai “Program Gerbang Hebat”
Pada tanggal 20 April 2017 yang lalu, secara
resmi Pemerintah Kota Semarang meluncurkan Program
Gerbang Hebat. Gerbang Hebat merupakan singkatan
dari Gerakan bersama pengurangan kemiskinan dan
pengangguran melalui Harmonisasi ekonomi, edukasi,
ekosistem dan etos bersama masyarakat. Peluncuran
ditandai dengan penyerahan secara simbolis 114.939
Kartu Identitas Warga Miskin (KIM) kepada warga
miskin di kota Semarang. Program ini dijalankan melalui
empat klaster/pilar strategis yaitu: program pengentasan
kemiskinan berbasis bantuan sosial, pemberdayaan
masyarakat, fasilitasi UKM dan mikro, serta program pro rakyat, yang implemetasinya
dilaksanakan oleh OPD teknis terkait. KIM dan e-warung KUBE PKH (Elektronik Warung
gotong royong Kelompok Usaha Bersama – Program Keluarga Harapan) adalah wujud dari
program pengentasan kemiskinan berbasis bantuan sosial non tunai. E-warung KUBE – PKH
merupakan program nasional Kementerian Sosial RI yang akan meluncurkan 300 e-warung di
seluruh tanah air. Pada saat yang sama juga dilakukan upaya pengentasan kemiskinan bebrbasis
pemberdayaan dalam bentuk program Kampug Tematik, artinya kampung yang memiliki
identitas berdasarkan tema tertentu. Wujud kampung tematik dapat berupa “Kampung Jawi”
dengan tema perservasi budaya Jawa, kampung kreatif sesuai dengan ragam produk yang
dihasilkan, dan lain-lain. Upaya-upaya itu dilaksanakan sebagai respon terhadap tantangan
kemiskinan dan realitas bahwa problem kemiskinan tidak mungkin bisa diatasi sendiri oleh
pemerintah tanpa bantuan dari berbagai pihak, termasuk kelompok warga miskin itu sendiri. Jika
hanya mengharapkan APBD, maka kampung tematik itu belum terwujud sampai sekarang, ujar
Walikota Semarang (Tribun Jateng, 404/05/2017)
Bantuan sosial dikonversikan ke bentuk non tunai seperti sembako (beras sejahtera, gula,
minyak goreng, dll) dan sedang diupayakan agar bisa dikonversi ke elpiji 3 kg. Warung berbasis
sistem TIK ini dimaksudkan agar bantuan dapat disalurkan kepada sasaran yang tepat dengan
jumlah yang tepat. Tujuan pemberian KIM adalah untuk menjamin kelancaran distribusi bantuan
serta kemudahan akses bagi warga miskin untuk menerima pelayanan dalam memenuhi
kebutuhan dasar. Persentase warga miskin di kota Semarang saat ini adalah 20,8 %, yang akan
dikurangi dengan target penurunan 2 % per tahun dalam kurun waktu 5 tahun mendatang.
Program Gerbang Hebat diluncurkan untuk memperbaiki progam pengentasan kemiskinan
sebelumnya yang tidak efektif, karena lemahnya koordinasi antar OPD yang masing-masing
berjalan sendiri-sendiri secara terfragmentasi. Kelemahan koordinasi diperbaiki dengan membuat
jejaring kerja pengentasan kemiskinan terpadu satu atap di bawah pinmpinan Wakil Walikota
Semarang selaku koordinator.
Pembentukan jejaring kerja pengurangan kemiskinan dan pengangguran yang terwadahi
di dalam program Gerbang hebat, merupakan praktik kepemimpinan kolektif menggunakan
pendekatan Whole of Government (WoG). Elemen-elemen dasar pendekatan WoG dapat
ditemukan di dalam Program Gerbang Hebat, yaitu (Lilin Budiati, 2017):
a. Cara pandang dan pendekatan holistik terhadap kemiskinan dan pengangguran melalui
4 aksi strategis berbasis bantuan sosial, fasilitasi UMKM, pemberdayaan dan program
pro rakyat
b. Adanya koordinasi intra dan inter organisasi sektor publik (koordinasi antar OPD
terkait), dan lkolaborasi lintas sektor antara pemerintah kota Semarang dengan
stakeholders dari sektor lain, yaitu sektor privat, sektor nonprofit (LSM/lembaga donor
internasional/ormas) dan komunitas warga.
c. Adanya jejaring kerja Gerbang Hebat satu atap di bawah koordinasi Wakil Wali Kota.
d. Adanya integrasi fungsi pengurangan kemiskinan dan pengangguran menjadi satu
program terpadu Gerbang Hebat.
Program Gerbang Hebat diluncurkan berselang satu tahun setelah peluncuran program
Semarang RC. Keduanya adalah program jangka menengah dan panjang milik Pemerintah Kota
Semarang yang sama-sama mengacu pada realitas hasil (outcome) pembangunan di masa depan,
yaitu meningkatnya kapasitas lokal yang dapat didayagunakan untuk memberikan perlindungan
kepada warga kota agar memiliki “ketahanan” terhadap guncangan dan tekanan. Hasil yang ingin
dicapai melalui program Semarang RC adalah “ketahanan kota” dimana masalah kemiskinan dan
pengangguran tercakup di dalamnya sebagai unsur-unsur dari kapasitas lokal yang diperlukan
guna membangun Semarang menjadi “Kota Tangguh (Resilient City)”, sementara hasil yang
ingin dicapai melalui program Gerbang Hebat adalah “pengurangan tingkat kemiskinan dan
pengangguran”. Hal itu menimbulkan pertanyaan mengenai: Bagaimana wujud konkrit kota
Semarang di masa depan sebagaimana yang digambarkan dalam visi “Semarang Tangguh” ?
Pertanyaan itu tidak terhindarkan karena “tangguh” adalah kata sifat yang memberikan gambaran
tentang sidat atau keadaan dari suatu objek.
Menurut kamus Oxford English Dictionary, kata resilient dimaknai sebagai “kemampuan
makhluk hidup untuk bertahan atau pulih dengan cepat dari kondisi sulit; mempunyai daya
lenting untuk kembali ke keadaan semua”. Tetap dibutuhkan deskripsi terpadu kota Semarang di
masa depan yang mewakili unsur-unsur fisik dan non fisik seperti: estetika, tata ruang, sejarah
dan yang terpenting adalah lanskap budaya yang melandasi identitas kota Semarang. Sejalan
dengan adopsi 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (17 SDGs) oleh PBB pada tahun 2015,
dimana pembangunan budaya dicantumkan sebagai tujuan ke-11, maka komunitas internasional
yang tergabung di dalam United Nations Habitat (UN Habitat) dan UNESCO berkomitmen
untuk menyusun Agenda 2030 dengan menetapkan target sebesar 11,4% porsi pembangunan
diperuntukkan bagi “Penguatan upaya-upaya melindungi dan memelihara budaya dan alam
peninggalan sejarah” (UNESCO, 2016). Konsep pembangunan berkelanjutan mengalami
perubahan dari konsep semula yang terdiri dari 3 dimensi pembangunan, yaitu: pembangunan
ekonomi, sosial dan lingkungan, menjadi 4 dimensi pembangunan, yakni: pembangunan
ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya.
Dimensi pembangunan budaya inilah yang belum tercakup di dalam visi “Semarang
Tangguh”. Ditinjau dari sudut pandang holistik kota Semarang sebagai suatu kesatuan (entitas)
dari tempat, ruang dan waktu, maka Visi Semarang Tangguh hanya menyiratkan salah satu sisi
perencanaan kota yang digerakkan atau dimotivasi oleh kebutuhan untuk berlindung terhadap
ancaman, dan belum digerakkan oleh suatu perspektif baru mengenai wujud konkrit kota
Semarang masa depan seutuhnya. Terlepas dari segala kekurangan dan kelemahannya,
bagaimanapun program Semarang RC adalah monumen pencapaian prestasi luar biasa tentang
kerja kepemimpinan kolektif di tingkat lokal yang amat patut dihargai setinggi-tingginya.
Persoalan selanjutnya adalah bagaimana mengimplementasikan strategi dan misi untuk
mewujudkan visi menjadi kenyataan.

B. RUMUSAN MASALAH
Berkenaan dengan praktik kepemimpinan kolektif di dalam proses inisiasi dan
implementasi program Semarang RC yang dijadikan fokus kajian di dalam buku ini, maka
dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apa yang sudah dicapai oleh program Semarang RC sejauh ini sejak diluncurkan pada
tahun 2016?
2. Bagaimanakah Praktik Kepemimpinan Kolektif pada proses inisiasi dan implementasi
program Semarang RC?
3. Bagaimana persepsi warga kota terhadap program Semarang RC?
4. Apa saja hambatan dan kelemahan yang dihadapi dalam mengimplementasikan program
Semarang RC?

C. METODE PENELITIAN
Studi ini merupakan penelitian tipe campuran (mixed type), yaitu kombinasi dari
penelitian kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif bertujuan mengungkap dan menjelaskan
realitas yang berkaitan dengan peluncuran program Semarang RC berdasarkan fenomena yang
teramati. Hubungan-hubungan antara realitas dengan fenomena beserta faktor-faktor penyebab
yang mendasarinya dianalisis dengan pendekatan fenomenologi, dimana realitas ditafsirkan
berdasarkan pendapat subjektif dari para aktor yang terlibat langsung atau tidak langsung di
dalam proses yang membentuk realitas tersebut. Penelitian kuantitatif yang dilakukan dalam
studi ini bertipe deskriptif, artinya menyajikan fakta secara apa adanya yang digali dari persepsi
responden yang dijadikan sebagai sampel penelitian. Proses pengambilan sampel dilakukan
dengan teknik simple random sampling yang mensyaratkan adanya populasi yang relatif
homogen.

Di luar komunitas warga kota Semarang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam
proses inisiasi program Semarang RC, maka peluang tiap warga untuk “tahu (p) ” atau “tidak
tahu (q)” tentang program Semarang RC adalah sama, yaitu 50% atau ½, dimana nilai p = (1 –
q).Proses komunikasi dan sosialisasi program Semarang RC melalui website, media cetak dan
elektronik dan siaran radio adalah intervensi yang mengubah besarnya proporsi warga kota yang
“tahu (p)” tentang program tersebut. Pada sistuasi dimana jumlah populasi tidak diketahui. Maka
p.q
besarnya sampel dapat ditentukan dengan rumus Lameshow sebagai berikut: n= 2 ; dimana: n
d
= jumlah sampel; p = proporsi warga yang tahu; q = proporsi warga yang tidak; dan d = taraf
kesalahan = 5 % = 0,05.Besarnya nilai p ditentukan dengan melakukan pengambilan sampel
secara kebetulan (accidental sampling), dengan menanyai warga kota Semarang yang dijumpai
pada berbagai kesempatan dan waku yang berbeda. Pertanyaan yang diajukan antara lain:
Apakah Bapak/Ibu/Sdr./Sdri tahu tentang adanya Program Semarang Tangguh yang diluncurkan
oleh Pemerintah Kota Semarang?”. Kriteria responden yang diwawancarai adalah: (i) Warga
kota Semarang yang dibuktikan dengan KTP yang bersangkutan; (ii) kelompok usia lebih besar
atau sama dengan 18 tahun; (iii) Tidak terlibat baik langsung atau tidak langsung dalam proses
inisiasi program Semarang RC.
Penelitian kualitatif tidak dimaksudkanuntuk melakukan generalisasi, tetapi hanya
menyajikan fakta apa adanya guna menunjang pendapat subjektif informan agar tingkat
objektifitas hasil studi menjadi lebih besar.

D. HASIL PENELITIAN

1. Capaian Hasil Program Semarang RC: Kemenangan Kecil (a Little Win)


Sejak dilakukan penilaian tentang status kerentanan kota Semarang terhadap perubahan
iklim oleh tim ACCRN pada tahun 2011, yang membuahkan hasil penilaian bahwa status kota
Semarang adalah paling kritis di banding kota-kota lain di Indonesia, maka dilakukan upaya
inisiasi untuk membuat kota Semarang menjadi bagian dari jejaring 100 kota tangguh di dunia.
Proses inisiasi itu juga mencakup upaya pembuatan 53 inisiatif usulan program ketahanan kota
untuk menjadikan kota Semarang sebagai kota tangguh. Hasil capaian inisiasi program
Semarang RC dapat dirangkum sebagai berikut:
a. Penetapan Kota Semarang sebagai salah satu dari 100 Kota Tangguh (Resilient
City)di dunia
Kota Semarang berhasil lolos dari seleksi lebih dari 700 kota-kota di seluruh dunia yang
mengajukan aplikasi untuk disertakan di dalam program 100 Resilient City (100 RC).
Kota Semarang terpilih dan ditetapkan sebagai salah satu anggota dari jejaring 100 kota
tangguh (resilient city) pada tahun 2016.

b. Proses transformasi sosial dan inisiatif membangun ketangguhan kota


Terjadinya transformasi sosial warga kota Semarang melalui tahapan mobilisasi dan
pembelajaran sosial yang melibatkan stakeholder lintas sektor dan komunitas/warga kota
Semarang. Proses transformasi sosial ini menghasilkan inisiatif untuk membangun
ketangguhan kota terhadap guncangan dan tekanan yang dirumuskan kedalam Visi
“Semarang Tangguh”. Pada proses inisiasi ini dapat disusun 6 pilar, 18 strategi dan 53
inisiatif yang diusulkan melalui program Semarang RC.1

c. Pelibatan warga/komunitas kota Semarang secara partisipatif dan deliberatif


Pelibatan warga/komunitas kota Semarang secara partisipatif dan deliberatif di dalam
proses pembentukan inisiatif, konsensus dan agenda untuk membangun kota tangguh
melalui serangkaian diskusi, forum diskusi terfokus, konsultasi yang melibatkan
pemerintah kota, stakeholder lintas sektor pada level lokal, nasional, regional dan
internasional.

d. Praktik kepemimpinan kolektif melalui kerjasama dan kemitraan lintas sektor


Proses transformasi sosial warga kota/komunitas kota Semarang dalam menyusun Visi
dan agenda kota tangguh justru diinsiasi oleh lembaga filantrofis internasional seperti
Rockefeler Foundationdan komunitas/organisasi regional seperti Asian Cities Climate
Change Resilence Network (ACCRN) dan Mercy Corps. Kota Tangguh (Resilient City)
adalah visi sekaligus agenda global untuk mewujudkan perencanaan perkotaan yang
memiliki ketangguhan terhadap guncangan akut dan tekanan kronis. Upaya ini dilakukan
karena Kota Semarang dinilai memiliki tingkat kekritisan paling parah dibandingkan
dengan kota-kota lain diIndonesia. Proses inisiasi program Semarang RC adalah kerja
kolektif para pemimpin dari berbagai sektor yang bekerjasama atas dasar kemitraan
lintas sektor. Proses kerjasama itu melibatkan pemerintah kota Semarang, sektor bisnis,
perguruan tinggi, sektor non profit/filantrofis/LSM/NGO dan komunitas atau warga kota
Semarang yang meliputi 24 organisasi lokal, nasional dan internasional.2

1
Wawancara tertulis dengan Kepala Bappeda Pemerintah Kota Semarang Ir. Purnomo Dwi Sasongko, di
Semarang pada bulan April 2017.
e. Akomodasi usulan inisiatif di dalam RPJMD dan Renja OPD Pemerintah kota
Semarang.
30 dari 53 inisiatif yang diusulkan atau lebih dari 50 % sudah diakomodasi dalam
RPJMD dan menjadi Renja OPD yang akan didanai dari APBD, sementara sisanya
dicarikan sumber pembiayaan lain (Kepala Bappeda Kota Semarang, 2017).

f. Bantuan program dari Lembaga donor/filantrofis internasional


Program Semarang RC berhasil mendapat bantuan program senilai 1,597,168 USD setara
dengan 21 miliar rupiah (Aniessa Delima Sari, MercyCorps, 2017).

g. Terbentuknya jejaring kerja (network) kerjasama di tingkat lokal, nasional,


regional dan internasional
Proses inisiasi program menghasilkan jejaring kerja di tingkat lokal, nasional, regional
dan internasional. Jejaring kerja lokal terdiri dari pemerintah kota Semarang, perguruan
tinggi, LSM dan organisasi non profit lain, sektor bisnis dan komunitas warga. Jejaring
kerja nasional terbentuk dari antara pemerintah kota Semarang dengan berbagai kota lain
di Indonesia, serta pemerintah pusat dan berbagai organisasi tingkat nasional. Jejaring
kerja regional adalah MercyCorps dan ACCRN, sementara jejaring kerja internasional
adalah organisasi/komunitas 100 kota tangguh dunia, USAID, Zurich Foundation dan
Reckefeler Foundation.

h. Terbentuknya forum ketahanan kota dan struktur kelembagaan Program


Semarang RC
Inisiasi program Semarang RC melalui proses transformasi sosial berhasil membentuk
forum ketahanan kota yang terdiri dari stakeholder multi sektor, dan membentuk struktur
kelembagaan/organiasi Semarang RC. Terbentuknya struktur kelembagaan Semarang RC
ini merupakan ujung dari proses transformasional. Hal ini menunjukkan bahwa inisiasi
program melalui proses transformasional telah berhasil membentuk wadah institusional
yang mapan dalam bentuk struktur organisasi Semarang RC. Langkah selanjutnya adalah
menjalankan proses transaksional antara Lembaga Semarang RC dengan pemerintah kota
Semarang, agar usulan-usulan inisiatif dan strategi dapat diakomodasikan kedalam
RPJMD dan Renja OPD.
Gambar 30. Struktur Organisasi Tim Semarang Resilient City (RC)

2
Wawancara tertulis dengan Aniessa Delima Sari selaku Program Manager dari MercyCorps pada bulan April
2017
i. Rangkuman Problem Setting, Visi, Misi dan Strategi Ketahanan Kota
Proses inisiasi program Semarang RC menghasilkan rumusan tentang Problem Setting,
Visi, Misi dan Strategi sebagai berikut:

1) PROBLEM SETTING
Problem setting adalah perspektif atau lingkup wawasan dalam memandang
suatu problem yang mencakup substansi problem itu sendiri, implikasi, visi, misidan
strategi untuk mengatasinya.Masalah pokok yang melemahkan struktur ketahanan kota
Semarang digolongkan menjadi dua kategori yaitu: (i) Guncangan akut yang terjadi
tiba-tiba seperti: gempa bumi, banjir bandang dan wabah penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD); (ii) Tekanan kronis yang terjadi sehari-hari atau berkala seperti: banjir
rob dan kelangkaan air. Guncangan dan tekanan itu menjadi tantangan pemerintah,
stakeholder dan masyarakat kota Semarang untuk berupaya meningkatkan ketahanan
kota. Gambaran umum guncangan dan tekanan yang dialami kota Semarang beserta
implikasi dan strategi untuk mengatasinya adalah sebagai berikut (Semarang Tangguh,
2016: 27-45):
a) GUNCANGAN DAN TEKANAN
(1) Akses layanan air bersih be-lum optimal sehingga terjadi kekurangan air
(2) Pencemaran sungai yang men-jadi sumber air bersih
(3) Longsor di kawasan perbukitan
(4) Banjirbandang yang berasal dari kawasan hulu
(5) Banjir rob di pesisir Semarang bawah
(6) Penurunan muka air tanah karena berbagai pembangunan dan penggunaan Air
Bawah Tanah
(7) Abrasi yang menggerus kawa-san pesisir
(8) Kota dengan angka penderita DBD tertinggi
(9) Angka pengangguran tinggi, melebihi angka tingkat provinsi dan nasional
(10) Kemacetan lalu lintas karena peningkatan jumlah melebihi kapasitas jalan

b) IMPLIKASI
(1) Perlindungan
Memberikan per-lindungan kepada warga terhadap guncangan dan tekanan
(2) Mobilitas
Memperbaiki akses dan konektifitas
(3) Kapasitas
Memperbaiki kapasitas

c) VISI, MISI & STRATEGI


(1) Visi: Semarang Tangguh
(2) Misi & Strategi:
(i) Air dan Energi berkelanjutan
(ii) SDM berdaya saing
(iii) Peluang ekonomi baru
(iv) Mobilitas terpadu
(v) Kesiapsiagaan Bencana dan Wabah Penyakit
(vi) Transparansi Informasi Publik dan Tata pemerintahan
Merujuk pada prinsip collaborative governance maka problem setting ketahanan kota
Semarang dapat dikategorisasikan sebagai berikut:
Tabel 26. Kategorisasi Problem dan Stakehoder
KATEGORISASI PROBLEM SETTING
KATEGORI DESKRIPSI STAKEHOLDER PRIMER
1. Pelayanan publik dan infrastruktur (pelayanan
air bersih, infrastruktur jalan, pelayanan 1. Masyarakat/publik
kesehatan , pendidikan, dll) 2. Pemerintah
Pelayanan 2. Mendorong pertumbuhan sektor privat untuk 3. Shareholder (sektor privat,
pertumbuhan ekonomi dan penye-diaan sektor non profit, dan masya-
lapangan kerja, dll rakat)
3. Melaksanakan good governance
1. Menyediakan dukungan sumber daya untuk
mewujudkan tujuan publik (Pemberantasan
DBD, HIV AIDS, penurunan angka peng- 1. Kelompok sasaran/rentan
angguran, pengurangan kemiskinan, dll) penerima manfaat
2. Mendorong transformasi sosial untuk 2. Pemerintah
Sumber Daya
pengembangan kapasitas lokal (SDM berdaya 3. Shareholder (sektor privat,
saing, peluang ekonomi baru, kesiagaan sektor non profit, dan masya-
terhadap bencana, dl)l rakat)
3. Menciptakan kondisi sosial politik kondusif
untuk peru-bahan
Revisi atau pembuatan baru peraturan perundang-
undangan (Perda/Wal) yang mengatur perilaku
1. Kelompok sasaran
Regulasi kelompok sasaran terkait (perda pengendalian
2. Masyarakat umum
pemanfaatan air bawah tanah, pencemaran su-
ngai, pengelolaan sampah, dll)
Sumber: Simon Zadek & Sasha Radovik, 2006, Harvard University – John F. Kennedy School of
Government

2. Praktik Kepemimpinan Kolektif Pada Proses Inisiasi Program Semarang RC


Praktik kepemimpinan kolektif di dalam proses perubahan pada awalnya adalah
transformasional. Sesudah tantangan dan masalah institusional berhasil diatasi, maka dilanjutkan
dengan kepemimpnan transaksional pada level institusional yang mencakup tiga ranah, yaitu
politik, organisasional dan teknis operasional. Lilly Lemay (2009: 14), menggambarkan praktik
kepemimpinan kolektif sebagai berikut:
Gambar 31. Praktik Kepemimpinan Kolektif Pada Proses Perubahan Transformasional
dan Transaksional Program Semarang Resilient City (RC)
a. Perubahan Transformasional
Praktik kepemimpinan klolektif sebagaimana digambarkan pada bagan di atas,
dapat dijelaskan dengan mengambil contoh kepemimpinan kolektif pada Tim Semarang
RC dalam upaya membangun ketahanan kota Semarang terhadap guncangan dan tekanan
kronis yang melemahkan struktur ketahanan kota. Tantangan itu kemudian berkembang
menjadi isu publik yang semakin kuat dan luas dan pada akhirnya dijadikan agenda
publik. Agenda publik ini kemudian masuk menjadi agenda kebijakan pemerintah kota
Semarang.Sebelum sampai menjadi agenda kebijakan pemerintah, di luar telah terjadi
proses transformasi sosial yang mencakup dua tahapan:
Pertama, mobilisasi sosial dari waga kota baik secara horisontal maupun vertikal.
Mobilisasi horisontal adalah pergerakan dan interaksi dari warga kota, khususnya
kelompok rentan dengan komunitas atau organisasi non profit lokal seperti Tim Advokasi
lingkungan, LSM, Perguruan Tinggi dan lain-lain, yang peduli dan tergerak memberikan
kontribusinya untuk mengatasi tantangan. Terbentuk jejaring kerja diantara stakeholder
dan aktor yang berfungsi sebagai wahana pertukaran sosial. Isu ketahanan kota yang
semula bersifat lokal diproyeksikan ke isu global perubahan iklim sehingga dapat
mengundang keterlibatan lembaga donor dan lembaga non profit asing untuk mendanai
dan memberikan bantuan program. Mobilisasi horisontal juga menggerakkan keterlibatan
sektor privat untuk memberikan kontribusi melalui program Corporate Social
Responsibility (CSR).Isu publik yang perkembang itu masuk ke pemerintah daerah lewat
OPD terkait yang tupoksinya sesuai dengan problem atau isu terkait. Selanjutnya isu
bergerak vertikal ke Walikota dan akhirnya masuk menjadi agenda pemerintah;
Kedua, selama berlangsungnya mobilisasi terjadi proses pembelajaran sosial pada
semua sektor yang terlibat. Proses pembelajaran menghasilkan suatu pemahaman bahwa:
(i) tantangan ketahanan kota dan perubahan iklim adalah problem kompleks yang tidak
dapat ditangani sendiri-sendiri, tetapi harus secara kolektif melalui kolaborasi antara
pemerintah dengan semua stakeholder; (ii) proses kolaborasi memerlukan kepemimpinan
kolektif lintas sektor; (iii) kepemimpinan kolektif membutuhkan jejaring kerja dan
struktur organisasi yang mewadahi proses kolaborasi lintas sektor.
Hasil proses transformasi sosial pada level SDM mendorong terjadinya
transformasi institusional berupa pembentukan organisasi Tim Semarang RC yang
beranggotakan perwakilan dari empat sektor (publik, privat, non profit dan
komunitas/masyarakat). Pada saat yang sama, juga disusun Visi, Misi, Strategi dan
Rencana Aksi Jangka Menengah dan Panjang. Pada titik ini, dapat dikatakan bahwa
proses transformasional telah mapan dan dapat dianggap selesai untuk sementara waktu,
untuk kemudian dilanjutkan dengan perubahan transaksional.
Adanya resistensi dari sebagian besar pimpinan di jajaran OPD pemerintah kota
Semarang, sebagaimana yang diungkapkan oleh Chief Risilience Officer (CRO) Purnomo
Dwi Sasongko, menunjukkan bahwa kepemimpinan di level menengah adalah lemah atau
tidak efektif. Hasil riset penulis tahun 2016 tentang kepemimpinan lokal di kota
Semarang menemukan fakta bahwa kepemimpinan lokal Walikota Semarang adalah
cukup efektif dalam menginisiasi program Semarang RC, tetapi justru kurang efektif
dalam menggerakkan pimpinan level menengah birokrasi untuk mendukung dan
menjalankan implementasi program Semarang RC (Lilin Budiati, 2016: 39-40).
Keberhasilan Walikota Semarang bersama-sama pemimpin dari sektor lain dalam
menginisiasi proses transformasional sampai dengen terbentuknya institusi dan program
Semarang RC, ternyata menemui hambatan ketika implementasi program itu memasuki
proses transaksional di jajaran birokrasi Pemerintah Kota Semarang, yang mencakup tiga
level institusional yaitu: (i) Politik – tahap pembuatan kebijakan; (ii) Organisasi/OPD –
manajemen implementasi; dan (iii) Teknis – pelaksanaan di lapangan sebagaimana dapat
dilihat pada gambar 31 (Lily Lemay, 2009).

b. Perubahan Transaksional
Proses transformasional kepemimpinan kolektif menghasilkan 53 inisiatif yang
diusulkan kepada Pemerintah Kota Semarang untuk diimplementasikan. Pengajuan
usulan inisiatif itu menandai dimulainya proses transaksional, yang secara berurutan
dimulai dari level politik, level organisasi/OPD dan terakhir adalah level teknis sebagai
berikut:
Pertama, level politik, Usulan inisiatif diputuskan apakah diterima atau ditolak.
30 dari 50 inisiatif yang diusulkan diterima dan dirumuskan menjadi kebijakan yang
dituangkan di dalam RPJMD. Penerimaan atau penolakan inisiatif adalah hasil dari
proses transaksional yang didasarkan pada keseimbangan relasional antara kepentingan,
otoritas, prioritas pembangunan, ketersediaan sumber daya, dan lain-lain. Di level politik
ini, tujuan dari kebijakan yang dibuat masih sama dengan tujuan dari inisiatif yang
diusulkan. Salah satu dari tujuan pembangunan di abad milenium (MDGs) adalah
pengurangan angka kemiskinan sampai dengan 50% pada tahun 2015. Tujuan ini
selanjutnya menjadi agenda 21, yang juga terkandung di dalam program Semarang RC
sebagai bagian dari inisiatif untuk membangun kapasitas lokal. Pada level politik ini,
tujuan dari inisiatif masih sama dengan tujuan dari kebijakan yaitu “pengurangan angka
kemiskinan”. Hal itu terlihat pada tujuan dari program “Gerbang Hebat” yang salah
satunya adalah “pengurangan kemiskinan”. Tidak atau belum ditemukan adanya bukti
empiris baik melalui pernyataan resmi atau fakta di lapangan yang menunjukkan adanya
keterkaitan antara program Semarang RC dan program Gerbang Hebat. Ada
kemungkinan bahwa program Gerbang Hebat merupakan implementasi program
Semarang RC di level orgganisasi dan teknis, atau merupakan penggabungan (merger)
dari program Pemerintah Kota Semarang dengan program Semarang RC.
Kedua, level organisasi/OPD,inisiatif yang sudah diterimadiputuskan menjadi
kebijakan dan/atau rencana pembangunan yang masih bersifat umum, selanjutnya
dirumuskan menjadi Rencana Kerja Organisasi Perangkat Daerah (Renja OPD) yang
bersifat konkrit, spesifik dan operasional sehingga bisa diimplementasikan sesuai dengan
TUPOKSI masing-masing OPD. Pada level organisasi/OPD, kebijakan pengurangan
kemiskinan diimplementasikan melaui 4 strategi yaitu: (i) bantuan sosial; (ii) fasilitasi
UMKM; (iii) pemberdayaan; dan program pro rakyat. Implementasi program dilakukan
melalui OPD terkait, misalnya Dinas Sosial, Dinas Koperasi dan UKM, Badan
Pemberdayaan Masyarakat (Bapermas), dan lainnya. Tiap OPD bekerja berdasarkan
TUPOKSI dan spesialisasinya masing-masing.
Pada titik inilah terjadi fragmentasi dari tujuan umum “pengurangan kemiskinan”
menjadi “tujuan khusus/spesifik” masing-masing OPD yang berbeda dengan tujuan
asalnya. Pada Dinas Sosial, tujuan asal “pengurangan kemiskinan” beralih atau dialihkan
(goal displacement)” menjadi tujuan khusus OPD sesuai TUPOKSI, yaitu memberikan
bantuan sosial untuk meringankan dampak kemiskinan. Terjadi fenomena “single
purpose organization” dimana OPD hanya bertanggungjawab melaksanakan tujuan
organisasinya sendiri sesuai TUPOKSI. Apakah implementasi program yang
dilaksanakannya itu dapat mengurangi angka kemiskinan atau tidak, bukan hal yang
penting lagi asal TUPOKSI sudah dilaksanakan. Apabila bantuan sosial sudah diberikan
tepat sasaran, tepat jumlah dan tepat waktu, maka hal itu sudah cukup tanpa merasa perlu
mengukur apakah hasil dari nbantuan itu dapat mengurangi tingkat kemiskinan atau
tidak. Hal serupa juga terjadi pada OPD lainnya sehingga jika dilihat secara keseluruhan,
tujuan umum “pengurangan kemiskinan” menjadi tidak tercapai secara efektif karena
mengalami fragmentasi dan pengalihan (displacement) menjadi tujuan khusus OPD
“meringankan kemiskinan”.
Fragmentasi menimbulkan dua kesulitan yaitu: (i) kontrol terhadap pelaksanaan
program dalam mencapai tujuan umum “mengurangi kemiskinan” yang sudah beralih
menjadi tujuan khusus “meringankan kemiskinan”. Kedua jenis tujuan itu mempunyai
parameter dan ukuran yang berbeda, sehingga sulit melakukan kontrol terhadap kondisi
yang sudah berubah. Hasil (outcome) capaian tujuan umum menjadi tidak jelas dan sulit
dievaluasi. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa tujuan kebijakan seringkali tidak
tercapai atau gagal, karena mengalami penyimpangan di tingkat implementasinya; (ii)
koordinasi dalam pencapaian tujuan umum “mengurangi kemiskinan”. Spesialisasi
horisontal menimbulkan fenomena “single purpose organization”, dimana tiap-tiap OPD
hanya berkepentingan untuk mencapai tujuan organisasinya sendiri sesuai TUPOKSI.
Kondisi ini menimbulkan beberapa akibat antara lain: cara pandang dan orientasi ke
dalam (inward looking), sikap mementingkan organisasinya sendiri dan ego sektoral.
Faktor-faktor itu menyebabkan koordinasi antar OPD menjadi lemah atau sangat sulit
dilaksanakan. Lemahnya koordinasi antar OPD terjadi pada pelaksanaan program
pengurangan kemiskinan di kota Semarang, sebelum diintegrasikan dalam satu atap di
bawah koordinasi Wakil Walikota Semarang.
Ketiga, level teknis, program kerja yang ditetapkan pada level organisasi/OPD
dilaksanakan dalam bentuk kegiatan yang langsung ditujukan kepada kelompok sasaran
penerima manfaat, misalnya kegiatan pemberian bantuan sosial “sembako” kepada
kelompok warga miskin. Pada level ini, sering terjadi bahwa karena adanya hambatan
teknis, administratif atau lainnya yang menyebabkan kegiatan bantuan sosial itu tidak
dapat dilakukan, tetapi TUPOKSI tetap harus dilaksanakan, maka tujuan “meringankan
kemiskinan” digantikan atau disubstitusi (goal substitution) dengan tujuan-tujuan
pragmatis yang menyimpang dan sangat berbeda dengan tujuan asalnya “mengurangi
kemiskinan”. Di lapangan sering terjadi praktik dimana bantuan sosial diterima oleh
sasaran yang salah, atau jumlah bantuan yang dialokasikan melebihi jumlah warga yang
membutuhkan karena data yang tidak akurat.
Uraian tersebut menjelaskan mengapa kepemimpinan di level menengah lemah
atau tidak efektif, karena adanya hambatan-hambatan berupa fragmentasi dan spesialisai
yang mengakibatkan implementasi program menjadi sulit dilaksanakan, dikontrol dan
dievaluasi. Hal itu masih ditambah lagi dengan adanya faktor penyulit lain seperti: kurang
komunikasi, visi, misi dan tujuan yang tidak jelas sehingga tidak dipahami, dan resistensi.
Lemahnya koordinasi dapat diatasi dengan mempraktikkan pendekatan Whole of
Government (WoG) sebagaimana yang telah diterapkan oleh Pemerintah Kota Semarang
melalui program Gerbang Hebat.
Pada tahap ini perlu dirumuskan dan diputuskan bagaimana mekanisme, struktur
dan manajemen transfer bantuan pembiayaan dan program agar memenuhi akuntabilitas
publik dan prinsip-prinsip “collaborative governance”.
Prinsip-prinsip collaborative governance yang harus diikuti agar kerjasama
kemitraan memenuhi syarat-syarat akuntabilitas adalah (Barbara Gray & Jenna P. Stites,
2013: 20) :
1) Forum kemitraan kolaboratif dimulai atau diinisiasi oleh institusi sektor publik
2) Melibatkan partisipan dari sektor lain diluar pemerintah/sektor publik
3) Partisipan harus terlibat langsung di dalam proses pengambilan keputusan, dan tidak
sekedar dilibatkan di dalam proses konsultasi saja yang diselenggarakan oleh
pemerintah.
4) Forum kemitraan diorganisasikan secara formal/resmi
5) Forum kemitraan bertujuan untuk membuat keputusan berdasarkan konsensus
6) Fokus dari kemitraan kolaboratif adalah pada kebijakan atau manajemen publik.
Mengacu pada prinsip-prinsip tersebut, pemerintah kota Semarang perlu
mengkonsultasikan dan menyusun rancangan institusional yang efektif guna mentransfer
dan mengimplementasikan hasil-hasil yang telah dicapai dalam proses transformasional
dalam rangka mewujudkan visi menjadi realitas konkrit yang dapat dirasakan langsung
oleh penerima manfaat. Sebagian proses transaksional tersebut sudah diimplementasikan
dan disampaikan langsung kepada kelompok sasaran penerima manfaat. Contohnya
adalah pengurangan risiko bencana di 16 kelurahan area banjir kanal barat berupa
pembentukan Kelompok Siaga Bencana (KSB), Kampung Tangguh Bencana, Kampung
Pengelola Sampah dan Kampung Tematik. 8000 rumah tangga menerima manfaat aksi
pengurangan risiko bencana (Purnomo Dwi Sasongko, 2017).

3. Persepsi Warga Kota Terhadap Program Semarang RC


Hasil survei secara acak yang dilakukan penulis dengan menyebarkan kuesioner pada
300 orang warga kota pada bulan Februari – April 2017 mengenai “pengetahuan warga kota
tentang program Semarang RC dengan Visi Semarang Tangguh”, dan hanya 232 kuesioner yang
dikembalikan, diperoleh hasil dengan proporsi sebagai berikut:
Gambar 33. Proporsi Warga Kota Semarang Yang Mengetahui Tentang
Visi Semarang Tangguh
Hasil survei pada gambar 32 di atas, membenarkan pendapat narasumber Prof. Sudharto
P. Hadi, MES, Phd., bahwa Visi dan program Semarang Tangguh hanya diketahui oleh 2,84%
kelompok elit dari kelas menengah atas yang memiliki akses terhadap pemerintah atau kelompok
sasaran yang dilibatkan berdasarkan preferensi kelompok elit. 91,04% warga kota tidak tahu dan
tidak pernah mendengar tentang Semarang Tangguh, hal itu menjelaskan alasan mengapa
program Semarang RC sampai dengan saat ini belum mampu membangkitkan kesadaran warga,
menggerakkan perubahan nilai, perilaku, budaya dan dukungan untuk membangun kapasitas
lokal warga kota guna mengubah kerentanan menjadi ketahanan.
Visi yang tidak dietahui, tidak dipahami maknanya atau tidak terkait dengan realitas
konkrit yang ingin diwujudkan di masa depan tidak bisa digunakan secara efektif untuk
melibatkan dan menggerakkan partisipasi warga. Visi Semarang Tangguh yang telah
diterjemahkan ke dalam roda biru (blue wheel) rencana aksi strategis dan program ternyata
berbeda dengan persepsi, pemahaman atau yang dirasakan warga tentang kata “tangguh”. Hasil
wawancara pada 20 orang warga yang dijumpai secara kebetulan dan acak di berbagai tempat di
kota Semarang pada bulan Februari – April 2017, menunjukkan bahwa makna kata “tangguh”
lebih dikaitkan dengan gangguan atau ancaman keamanan dan ketertiban masyarakat
(Kamtibmas) seperti kriminalitas, pertentangan atau konflik antar anggota masyarakat baik
secara vertikal maupun horisontal, radikalisme dan terorisme. Guncangan akut dan tekanan
kronis sebagaimana dimaksudkan di dalam Visi Semarang Tangguh, sama sekali tidak diketahui
dan dipahami, meskipun mungkin dirasakan dalam keseharian kehidupan mereka.
Berkenaan dengan persepsi atau pemahaman warga tentang Visi Semarang Tangguh,
diperoleh hasil proporsi sebagai berikut:
Gambar 34. Proporsi Persepsi Warga Kota Tentang Visi Kota Semarang Tangguh

Berdasarkan hasil survei persepsi warga kota sebagaimana disajikan pada


gambar 33, maka sebagian besar persepsi atau pemahaman warga kota tentang Visi
Semarang Tangguh terutama didominasi oleh isu: Pemenuhan kebutuhan dasar
(91,12%), ancaman kamtibmas (87,14%), rendah konflik sosial terkait SARA
(72,04%), bebas banjir dan tanggap bencana (69,02%), serta tahan ancaman
radikalisme & terorisme. Terdapat perbedaan (gap) antara makna “ketangguhan”
yang dipahami dan dirasakan sebagai kebutuhan warga dengan “ketangguhan” yang
dipersepsikan oleh kelompok elit penggagas visi Semarang Tangguh. Perbedaan
paling mencolok dan ternyata luput dari perhatian para penggagas kota Semarang
Tangguh adalah faktor gangguan kamtibmas, potensi konflik sosial dan tahan
terhadap ancaman radikalisme dan terorisme, yang oleh warga dirasakan sebagai
ancaman yang dapat memperlemah kapasitas dan ketahanan kota.
Hasil survei ini menguatkan hasil riset penulis pada tahun 2015 yang
menyatakan bahwa terdapat kesenjangan persepsi antara ketahanan kota yang
dirasakan oleh warga sebagai kebutuhan dengan yang dipersepsikan oleh
pemerintah kota beserta para penggagas visi Semarang Tangguh, yang
dikategorikan sebagai kesenjangan (gap) tipe 1 menurut Zeithami & Parasuraman
dalam Lilin Budiati (2015: 50). Kesenjangan tipe 1 ini (kesenjangan persepsi)
menjelaskan mengapa hanya 2,84% dari 232 atau 7 orang responden saja yang tahu
dan paham tentang makna dari visi Semarang Tangguh. Visi akan mudah dipahami
apabila jelas dan terkait dengan hasil konkrit di masa depan yang dapat dicapai dan
diukur. Persepsi warga tentang visi ketahanan kota yang dikaitkan dengan kondisi
ancaman kamtibmas rendah, bebas banjir dan tanggap bencana menggambarkan
keterkaitan visi dengan hasil konkrit yang mudah dipahami, dapat dicapai dan
diukur. Kenyataan bahwa 91,04% dari 232 atau 211 orang responden tidak tahu dan
tidak pernah mendengar tentang visi Semarang Tangguh, menunjukkan bahwa visi
tersebut kurang dikomunikasikan dengan baik agar dapat dipahami secara luas. Visi
yang dipahami dengan jelas dapat menginspirasi, menggerakkan dan memotivasi
warga kota untuk membuat konsensus dan komitmen memberikan dukuangan dan
partisipasinya bagi upaya mengembangkan kapasitas lokal untuk membangun
ketahanan kota. Situasi ini dikategorikan sebagai kesenjangan (gap) tipe 4, yaitu
kesenjangan komunikasi (Lilin Budiati, 2015: 54-55).

4. Hambatan dan Kelemahan Program Semarang RC


a. Hambatan
1) Resistensi
Hambatan terhadap implementasi program Semarang RC justru muncul
ketika program ini memasuki proses transaksional yang terdiri atas 3 level, yaitu:
level atas : politik; level menengah: organisasional; dan level bawah: teknis (lihat
gambar praktik kepemimpinan kolektif). Pada level politik (kebijakan), 30 (lebih
dari 50 %) usulan inisiatif dan strategi dapat diterima dan diadopsi di dalam
RPJMD dan Renja OPD. Meskipun tidak semua usulan dapat diterima, namun hal
ini merupakan fakta bahwa inklusi dan partisipasi stakeholder dan komunitas warga
dalam proses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan telah terwujud.
Pada level menengah: organisasional, mulai teramati dan terasakan adanya
hambatan implementasi program Semarang RC.
Terkait dengan hambatan implementasi program Semarang RC, Dr. Ing.
Wiwandari Handayani, ST. MT., menyatakan pendapatnya sebagai berikut:
“Hambatan terbesar adalah kurangnya dukungan dari pimpinan di level
menengah (OPD) untuk mengimplementasikan program Semarang RC. Hal ini
sesuai dengan kenyataan yang teramati bahwa gaung Semarang RC kurang
terdengar di kalangan internal pemerintah kota Semarang. Respon dan komitmen
terhadap pelaksanaan program, serta motivasi untuk melakukan inovasi di dalam
menjalankan tupoksinya juga dirasakan sangat kurang. Hal ini mungkin
disebabkan karena para birokrat enggan keluar dari zona nyamannya, atau
program Semarang RC dianggap kurang memiliki nilai politis yang strategis.
Sebaliknya di lingkungan eksternal sektor publik, gaung program Semarang RC
justru lebih keras dan diakui, dan kolaborasi antar stakeholder di berbagai level
adalah sangat solid”.
Pendapat di atas menyiratkan fakta bahwa ada resistensi di level menengah
(OPD) terhadap implementasi program Semarang RC. Dalam konteks proses
transaksional di level menengah (organisasional), resestensi dapat terjadi antara lain
karena: pertama, kebijakan yang dibuat di level atas (politik) tidak dipahami karena
kurang dikomunikasikan dengan baik; kedua, tidak atau kurang sesuai dengan
tupoksi dan tidak mau melakukan terobosan inovatif; ketiga, dianggap berisiko
tinggi dengan hasil yang tidak pasti; keempat, melestarikan kemapanan di zona
aman & nyaman dengan mempertahankan praktik yang sudah lazim dipakai
(business as usual) dan menolak melalukan perubahan.
Adanya sebagian kalangan pimpinan level menengah yang resisten terhadap
program Semarang RC, diakui oleh Kepala Bappeda pemerintah kota Semarang, Ir.
Purnomo Dwi Sasongko, MM., MT., yang menyatakan pendapatnya di dalam
wawancara tertulis sebagai berikut:
“Terdapat perbedaan respon untuk berbagai Dinas dan berbagai level
pimpinan, ada yang mendukung sepenuhnya (fully support) ada yang sekedar ingin
tahu dan ada juga yang tidak peduli. Terdapat perbedaan ekspektasi dan persepsi
dengan program ini antara lain:
a) Ada yang berpersepsi bahwa program ini terlalu lama berproses, terlalu banyak
diskusi, menganggap program ini terlalu naïf untuk dilaksanakan, biasanya
kelompok seperti ini lebih memilih cara instan,yaitu cara-cara biasa atau
metode liner yang sudah lazim digunakan (bussines as usual) dengan
ekspektasi jangka pendek, kelompok pimpinan yang seperti ini bersifat kurang
mendukung (less support).
b) Ada juga yang sebaliknya berpersepsi bahwa program ini butuh waktu untuk
berproses dan butuh resources yang cukup banyak dan seharusnya dilakukan
secara berkelanjutan sebagai investasi Kota pada masa mendatang, kelompok
ini berekspektasi jangka panjang dan biasanya terlibat aktif proses demi proses,
secara luar biasa (extra ordinary work) kelompok ini sepenuhnya mendukung
(fully supportI, namun sayangnya jumlah kelompok ke 2 ini tidak banyak”

RESISTENSI TERHADAP PERUBAHAN ATAU INOVASI


Resistensi biasanya muncul ketika dilakukan inovasi terhadap kebiasaan,
pendekatan, metode atau praktik yang sudah biasa dan rutin dilaksanakan. Inovasi
merupakan respon terhadap perubahan lingkungan eksternal yang terpaksa harus
ditempuh, karena perubahan yang terjadi berlangsung cepat, tidak pasti, komplek
dan tidak jelas sehingga tidak bisa lagi diatasi dengan secara liner dengan
pendekatan danmetode biasa yang lazim dipakai. Menurut Everett M. Rogers,
inovasi memiliki 5 karakteristik, yaitu: (i) manfaat relatif (relative advantage)
dibanding keadaan sebelumnya; (ii) kompleksitas(complexity) atau tingkat
kerumitan inovasi; (iii) kecocokan (compatibility); (iv) dapat diujicoba dalam skala
kecil (trialability); dan (v) dapat diamati hasilnya (observability) (.................).
Karakteristik inovasi tersebut berimplikasi menimbulkan risiko kegagalan
dan akibat-akibat yang merugikan baik bagi penggagas atau penemunya (inventor)
maupun aktor atau pengikut (adopter) yang turut mengadopsi hasil inovasi. Tiap
inovasi apapun selalu dihadapkan pada kecenderungan resistensi. Sebaran frekuensi
kelompok adopter dan kelompok resisten digambarkan oleh Rogers sebagai berikut:

Gambar 32. Sebaran Frekuensi kelompok Adopter dan Kelompok Resisten


Terhadap Inovasi

Sumber: Rogers (2003), Diffusion of Innovation, 5th edition

Kelompok di sebelah kiri garis tengah (median) adalah kelompok


yangmemiliki kecenderungan mengadopsi, sementara kelompok di sebelah kanan
garis tengah adalah kelompok yang cenderung resisten atau menolak inovasi.
Kelompok yang paling menyita waktu dan tenaga tetapi sangat penting untuk
diyakinkan agar mau melakukan menerima dan mengadopsi inovasi adalah
kelompok
“konservatif/kolot (laggard)” yang jumlahnya adalah 16% dari populasi.
Kelompok ini sangat resisten terhadap perubahan dan hanya mau berubah apabila
posisinya terancam, namun menjadi sangat penting diyakinkan karena
kedudukannya yang mapan dan memiliki kewenangan sebagai pengambil
keputusan. Kelompok laggard biasanya berusia 45 tahun ke atas dan menduduki
jabatan eselon I sebagai pimpinan tinggi di jajaran birokrasi. Meminjam istilah
Agus Dwiyanto, kelompok laggard ini cenderung resisten terhadap perubahan dan
mengawetkan kemapanan (Agus Dwiyanto, 2016). Kelompok resisten kedua adalah
kelompok ”adopter lambat (late majority)” yang besarnya adalah 34% dari
populasi. Kelompok ini termasuk pimpinan level menengah yang biasanya
menduduki jabatan eselon II (Lilin Budiati, 2014: 45). Kelompok yang dikatakan
kurang mendukung (less support) oleh Kepala Bappeda Kota Semarang Ir.
Purnomo Dwi Sasongko, MM, MT. mungkin termasuk dalam kategori “late
majority” atau “laggard”.
Adanya sebagian kelompok pimpinan level menengah di jajaran birokrasi
pemerintah kota Semarang yang tidak peduli terhadap keberadaan program
Semarang RC, dan sebagian lain yang tidak mendukung karena menganggap
program itu terlalu panjang sulit diimplementasikan, sebagaimana yang dikatakan
oleh Kepala Bappeda kota Semarang, merupakan perilaku yang sesuai dengan ciri-
ciri resistensi pasif yaitu: tidak peduli/mengabaikan atau menyatakan sulit
diimplementasikan.
Adanya sebagian kelompok pimpinan level menengah di jajaran birokrasi
pemerintah kota Semarang yang tidak peduli terhadap keberadaan program
Semarang RC, dan sebagian lain yang tidak mendukung karena menganggap
program itu terlalu panjang sulit diimplementasikan, sebagaimana yang dikatakan
oleh Kepala Bappeda kota Semarang, merupakan perilaku yang sesuai dengan ciri-
ciri resistensi pasif yaitu: tidak peduli/mengabaikan atau menyatakan sulit
diimplementasikan.

Sebab-Sebab Terjadinya Resistensi


Resistensi itu dapat disebabkan oleh beberapa alasan antara lain: (i) Visi dan
tujuan yang tidak jelas karena terlalu luas, umum atau tidak spesifik sehingga tidak
dipahami maksud, tujuan dan manfaatnya; (ii) Ketidakpercayaan atau disangsikan
keberhasilannya; (iii) Tidak atau kurang dikonsultasikan, atau tidak melibatkan
pemangku kepentingan/aktor secara merata dan menyeluruh; (iv) Komunikasi yang
kurang memadai atau tidak efektif.

Strategi Mengatasi Resistensi


Terdapat beberapa strategi untuk mengatasi resistensi, beberapa diantaranya
antara lain:
Pertama, Mengaitkan perubahan atau program dengan kebutuhan atau
kepentingan utama warga kota, misalnya: pemenuhan kebutuhan dasar, kemiskinan
dan pengangguran, pelayanan publik, banjir dan pelayanan kesehatan. Pada konteks
ini, program Semarang RC sudah sesuai dan memadai;
Kedua,Membuat program lokal konkrit yang manfaatnya bisa dirasakan
langsung serta hasilnya bisa diamati salam jangka pendek, namun tetap
berkelanjutan dan menjadi bagian dari program jangka panjang. Salah satu contoh
program lokal itu adalah “Program Gerbang Hebat” untuk mengatasi kemiskinan
dan pengangguran. Tidak diketahui apakah ada keterkaitan antara Program Gerbang
Hebat dengan Program Semarang RC. Sosialisasi Program Gerbang Hebat
dilakukan oleh pemerintah kota Semarang dengan gencar, sementara sosialisasi
program Semarang RC dilakukan seperlunya saja pada saat ada event. Hal ini
menimbulkan pertanyaan: Apakah pemerintah kota Semarang kurang yakin akan
keberhasilan program Semarang RC dan menganggap program itu hanya program
titipan dari lembaga donor dan NGO internasional, sehingga dalam hal ini
pemerintah kota Semarang hanya mengikuti arus saja secara pasif?
Ketiga, Meningkatkan komunikasi melalui sosialisasi program Semarang
RC tidak hanya melalui website dan siaran radio secara sporadis pada saat ada
event saja, tetapi secara berkelanjutan melalui kelompok-kelompok penekan seperti
LSM, organisasi massa, lembaga-lembaga desa dan lain-lain sebagaimana yang
dilakukan pada prgram Gerbang Hebat.

Keempat, meningkatkan pelibatan dan partisipasi warga kota secara merata


baik dalam proses informasi, konsultasi, pengambilan keputusan maupun
pelaksanaan program, yang diimbangi dengan peningkatan fasilitasi untuk
memberdayakan warga kota untuk meningkatkan kapasitas warga kota dalam
membiayai dan merealisasikan ketahanankota bersama pemerintah.

2) Hambatan koordinasi
Koordinasi menjadi kendala utama yang dirasakan oleh pihak-pihak yang
terlibat, baik selama tahap inisiasi inisiasi program Semarang RC maupun di tahap
implementasi yang sedang dimulai saat ini. Berkenaan dengan hambatan
koordinasi ini, Jawoto Sih Sih Setyono dari UNDIP di dalam wawancara tertulis
menyatakan sebagai berikut:
“Hambatan memang ada, khususnya yang terjadi antara CRO yang
unsurnya adalah gabungan dari birokrat dan akademisi dengan organisasi
perangkat daerah (OPD) yang merupakan organ struktural pemerintah daerah.
Hal yang sering terjadi dan belum ada solusi yang efektif sampai dengan saat ini
adalah koordinasi kegiatan antara project charter yang disusun oleh tim CRO
dengan program pembangunan yang tertuang dalam dokumen rencana
pembangunan daerah (RPJMD/RKPD). Permasalahan ini muncul karena integrasi
kelembagaan pengelolaan Semarang RC dengan OPD Kota Semarang tidak
berjalan dengan baik. Penyebabnya dari kekurangmulusan integrasi ini bisa
beragam, bisa karena faktor personal dan bisa juga faktor kelembagaan di dalam
internal pemerintah kota itu sendiri. Usaha ke arah pengintegrasian itu telah
dilakukan. Namun seperti yang dijelaskan sebelumnya, ada hambatan yang bersifat
struktural. Proyek Semarang RC ini melibatkan organisasi yang berasal dari luar
pemerintahan dan didanai oleh lembaga donor internasional. Pelibatan organisasi
di luar pemerintahan ini selalu menjadi hambatan karena pada umumnya cara
pikir lama yang berdasarkan pada aspek legal formal masih dominan di dalam
tradisi pemerintahan”.
Dampak negatif NPM yang didasarkan pada strategi fragmentasi melalui
desentralisasi, devolusi struktur dan spesialisasi horisontal dalam rangka mengejar
efisiensi sektor publik(Christensen and Lægreid 2001, Pollitt and Bouckaert 2004),
mengakibatkan lemahnya kontrol baik secara vertikal maupun horisontal pada
berbagai level pemerintahan. Spesialisasi horisontal berdasarkan prinsip “Single
purpose organization” menimbulkan tantangan berupa lemahnya kapasitas dan
koordinasi (Gregory 2003 dalam Tom Christensen dan Peer Lagreid 2007: 7).
Lemahnya koordinasi baik secara vertikal maupun horisontal dapat diatasi dengan
melaksanakan pendekatan Whole of Government (WoG) sebagaimana telah
dijelaskan pada Bab I (Peters 1998 and 2004 dalam Tom Christenses dan Peter
Lagreid, 2007:9).

b. Kelemahan
1) Visi yang kurang efektif
Visi “Semarang Tangguh” belum merujuk pada suatu outcome yang nyata,
jelas, mudah dipahami dan terukur tentang bagaimana wujud kota Semarang
Tangguh” di masa depan. Visi Semarang Tangguh ternyata hanya diketahui dan
dipahami oleh sebagian kecil kelompok elit dari kelas menengah ke atas warga kota
Semarang, terutama yang ikut terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung
di dalam proses inisiasi program Semarang RC. Hal ini juga dinyatakan oleh Prof.
Sudharto P. Hadi. MES, Phd. Dalam wawancara tertulis sebagai berikut:
“Program resilience city cukup dikenal terutama kalangan kelas menengah
keatas melalui berita di media massa dan keterlibatan mereka dalam berbagai
event. Pak Hendi bahkan menjadikan resilience city sebagai salah satu program
unggulan dalam debat Calon Walikota. Tetapi apakah pemahaman tentang
resilience city sampai kalangan bawah, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut”.
Dua temuan hasil survei pada gambar 32 dan 33 tersebut menunjukkan
bahwa visi Semarang Tangguh adalah visi yang kurang memenuhi 6 karakteristik
visi efektif yang dijelaskan pada tabel 13 bab II, yaitu: (i) dapat dibayangkan; (ii)
diinginkan; (iii) layak (feasible); (iv) terfokus; (v) fleksibel; dan (vi) mudah
dikomunikasikan. Lebih mudah membayangkan, menginginkan, mencapai,
memfokuskan dan mengkomunikasikan “Semarang bebas banjir dan tanggap
bencana” daripada “Semarang Tangguh”, yang tidak terfokus pada suatu hasil nyata
di masa depan. Visi yang kurang atau tidak efektif tidak bisa menginspirasi dan
membangkitkan kesadaran, mendorong warga untuk terlibat, berpartisipasi,
membuat komitmen dan konsensus. Visi yang tidak efektif juga sulit digunakan
untuk merekatkan warga agar tetap berkomitmen pada konsensus untuk
bekerjasama membangun kapasitas lokal yang dibutuhkan guna mewujudkan visi
Semarang Tangguh menjadi kenyataan.

2) Lemahnya Kapasitas Lokal Kota Semarang


Problem utama yang dihadapi kota Semarang adalah rendahnya kapasitas
lokal yang dibutuhkan untuk dalam mewujudkan ketahanan kota melalui upaya
memberikan perlindungan dan memperbaiki mobilitas (Buku Semarang Tangguh,
2016). Kapasitas lokal bersangkutan erat dengan kepemilikan kapital atau modal
suatu kota yang dapat didayagunakan serta dikelola secara optimal. Pada konteks
ini, Program Semarang Tangguh harus mengandung visi baru yang berisi tentang
perspektif, substansi dan manajeman kapital atau modal. Istilah modal atau kapital
merujuk pada rentang sumber daya atau aset yang dimiliki oleh suatu kota sebagai
berikut:
Tabel 27. Rentang Sumber Daya dan Aset Kota
MODAL/KAPITAL FOKUS
Modal Intelektual & Sosial Sumber Daya Manusia (SDM) dan pengetahuan
Modal Demokratik Transparansi, partisipasi dan kemitraan
Modal Budaya & Waktu Luang Nilai-nilai, perilaku dan ekspresi publik
Modal Lingkungan Sumber Daya Alam (SDA)
Modal Teknikal Infrastruktur
Modal finansial (Keuangan) Uang dan aset
Sumber: Urs Bolz et.al, 2005, Price Water House Coopers (PWC)
Visi kota tangguh harus mengintegrasikan secara menyeluruh/holistik
semua modal/kapital, baik yang sudah ada maupun yang bisa diadakan di masa
depan. Gambar berikut ini mengilustrasikan integrasi modal yang dimiliki oleh kota
tangguh.
Gambar 34. Integrasi Modal Yang Dimiliki Kota Tangguh Masa Depan

Satu-satunya modal yang sudah tersedia adalah modal lingkungan berupa


Sumber Daya Alam (SDA), sementara kelima modal lainnya harus dibangkitkan
atau diadakan lebih dulu. Modal finansial dan modal teknikal (infrastruktur) lebih
mudah diadakan daripada tiga modal lainnya, yaitu: modal intelektual dan sosial,
modal demokratik dan modal nilai-nilai, perilaku dan budaya yang pengadaannya
jauh lebih sulit serta membutuhkan waktu lama, tetapi jika sudah terbentuk dapat
meningkatkan kapasitas lokal secara signifikan sehingga mempermudah dan
mempercepat proses realisasi visi kota tangguh.
Pemerintah kota Semarang melalui inisiasi program Semarang RC dan
Ferbang Hebat sudah membuktikan praktik melintas batas (boundary spanning)
dalam memperbesar kapasitas lokal, khususnya modal finansial untuk pembiayaan
program, modal intelektual dan sosial untuk melaksanakan proses transformasi
sosial dan modal teknikal. Hal itu terlihat dari perubahan skema pembiayaan
program yang tidak hanya bersumber dari APBD saja, melainkan menggunakan
sumber pembiayaan non konvensional seperti bantuan lembaga donor/filantropi
internasional dan swadaya masyarakat, misalnya dalam pembiayaan kampung
tematik. Hal yang belum disentuh adalah modal budaya untuk memperbesar
lingkup dan skala peningkatan kapasitas lokal melalui perubahan mindset, perilaku
dan budaya warga kota guna merealisasikan visi ketahanan kota. Praktik melintas
batas harus diperbesar sampai menyentuh perubahanmindset, perilaku budaya
warga kota agar mau ikut serta berkontribusi memikul pembiayaan program
Semarang RC. Mindset bahwa pembiayaan program ketahanan kota adalah
tanggung jawab dan beban pemerintah harus diubah menjadi pola pikir baru yaitu
“tanggung jawab dan beban bersama seluruh warga kota”. Perubahan pola pikir ini
dapat menggerakkan perubahan perilaku dan budaya warga kota dalam membantu
pemerintah dalam mewujudkan visi Semarang Tangguh.

Pada konteks ini, setiap pemimpin di kota Semarang harus memiliki


wawasan enterpreneurship bagaimana : (i) menemukan sumber keuangan atau cara
pembiayaan baru; (ii) memperoleh uang untuk pembiayaan program; dan (iii)
menyimpan dan membelanjakan uang (Urs Bolz et.al, 2005, 32). Bagaimana cara
warga kota mengadakan uang untuk membiayai pemenuhan kebutuhan dasar dan
pelayanan umum, dapat dilihat dari praktik donasi uang receh kembalian belanja
konsumen di gerai-gerai Indomaret atau Alfamaret. Uang yang terkumpul itu
ditampung di rekening Yayasan yang diaudit oleh akuntan publik, dan disalurkan
untuk membantu biaya pendidikan warga yang tidak mampu, mendirikan Sekolah
Luar Biasa bagi anak-anak difabel, dan beragam bentuk bantuan sosial lainnya.
Pola semacam ini dapat digunakan oleh pemerintah kota Semarang untuk
melibatkan seluruh warga kota agar mau dan mampu membiayai sendiri kebutuhan
dan kepentingannya untuk mewujudkan kota Semarang Tangguh. Pemerintah
tinggal memfasilitasi, menyediakan regulasi serta melaksanakan kontrol untuk
menjaga akuntabilitasnya. Apabila hal ini bisa dilakukan, maka beban pemerintah
kota untuk melaksanakan pembangunan akan jauh lebih ringan. Dana APBD bisa
dialokasikan lebih besar untuk infrastruktur, sementara untuk pembangunan non
infrastruktur, APBD hanya berfungsi sebagai dana stimulan saja, sedangkan sisanya
dipikul oleh masyarakat.

3) Gambaran Hasil (Outcome) Yang Tidak Jelas


Integrasi masyarakat dunia di dalam perekonomian global mengharuskan
kota-kota di masa depan meningkatkan perannya di dalam menciptakan
pertumbuhan, kesejahteraan dan kehidupan sosial yang lebih baik secara signifikan.
Kota merupakan himpunan jejaring kerja yang sarat dengan pertukaran investasi,
informasi, manusia, barang dan jasa, sekaligus sebagai pusat inovasi dan
manajemen pengetahuan (Urs Bolz et.al.,, 2005:8).
Faktor “perlindungan” yang menjadi salah satu pilar strategis dari kota
Semarang Tangguh, menyiratkan makna bahwa pengembangan kota Semarang di
masa depan dimotivasi oleh guncangan dan tekanan sehingga lebih diarahkan pada
upaya mencari perlindungan terhadap bencana atau ancaman. Pada konteks ini,
pembentukan visi “Semarang Tangguh” lebih ditentukan oleh problem mobilitas
dan rendahnya kapasitas yang dihadapi, dan tidak dibentuk berdasarkan realitas
kota Semarang masa depan yang diinginkan. Fakta sejarah menunjukkan bahwa
konstruksi kota-kota kuno di masa lalu dibangun berdasarkan kecenderungan rasa
takut dan kebutuhan untuk berlindung dari ancaman (Urz Bolz et.al., 2005:
8).Kecenderungan itu itu mempengaruhi pembangunan kota-kota modern, termasuk
di antaranya kota Semarang.
Diperlukan perspektif dan visi baru tentang kota masa depan yang lebih dari
sekedar berlindung dari guncangan, tekanan atau ancaman. Atmosfer kota di masa
depan harus lebih hangat dan menyenangkan. Kota adalah tempat untuk tumbuh,
berkembang dan menikmati hidup, selain untuk bekerja, menyelenggarakan
pendidikan, bersosialisasi dan beristirahat melepaskan diri dari ketegangan.
Persoalan-persoalan krminalitas, ketimpangan, kemiskinan, pengangguran,
desintegrasi sosial, radikalisme serta terorisme juga harus menjadi bagian integral
dari visi kota di masa depan.
Belum adanya gambaran utuh mengenai wujud kota Semarang pada 15 – 25
tahun mendatang pada program Semarang RC,
menyebabkan perencanaan pembangunan kota hanya
berorientasi pada penyelesaian problem (guncangan,
tekanan atau dan cancaman) yang dihadapi dari waktu
ke waktu, dan bukan pada hasil (outcome) yang ingin
dicapai di masa depan. Visi Semarang tangguh belum
memberikan gambaran mengenai bagaimana
mengintegrasikan faktor-faktor ketahanan pangan,
manajemen sampah, transportasi, pasokan energi,
respon terhadap bencana dan manajemen sumber daya
air kedalam perencanaan kota terpadu yang mengacu
pada suatu hasil (outcome) konkrit di masa depan. Visi
Semarang Tangguh setidaknya dapat memberikan
gambaran mengenai realitas yang ingin dicapai di dalam
mewujudkan ketangguhan kota. Visi kota tangguh di
masa depan setidaknya dapat memberikan gambaran realitas hasil (outcome) yang
sepatutnya dicapai.Dimensi mobilitas bersangkutan dengan sektor transportasi yang
bersama-sama dengan sektor industri dan rumah tangga menjadi penyumbang emisi
Gas Rumah Kaca (selanjutnya disingkat GRK). GRK menyebabkan pemanasan
global yang memicu dan memperberat efek perubahan iklim alami sampai pada
tingkat berbahaya dan membuat warga kota menjadi rentan terhadap bencana.
Perubahan iklim mengganggu keseimbangan siklus hidorologi alami sehingga
terjadi kekeringan dan kelangkaan air yang mengancam ketahanan pangan dan
kelangsungan hidup warga kota. Kehidupan warga kota modern sangat tergantung
pada pasokan energi listrik yang selama ini kebutuhannya dipenuhi terutama dari
pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Cadangan bahan bakar fosil suatu saat
akan habis, sementara proses pembakarannya menimbulkan emisi GRK yang
mengancam dan mengurangi kualitas kehidupan warga kota. Berdasarkan hal itu,
maka visi dan perencanaan kota tangguh masa depan harus mengandung visi dan
konsep kehidupan kota masa depan tanpa penggunaan sumber energi berbahan
bakar fosil, dan sebagai gantinya adalah penggunaan Energi Baru Terbarukan
(selanjutnya disingkat EBT). Di dalam visi kota tangguh harus terkandung misi
pengurangan/reduksi penggunaan sumber energi fosil secara bertahap setidaknya 10
– 20% tiap 5 tahun. Terkait dengan penggunaan EBT, konferensi tingkat tinggi
negara-negara kelompok G-7 di Bonn, pada tanggal 6 September 2015,
menghasilkan komitmen untuk mengurangi konsumsi energi fosil sampai dengan 0
% (Kompas edisi 17 September 20175). Hal inilah yang belum digambarkan baik
secara eksplisit maupun implisit di dalam visi Semarang Tangguh.
Berkenaan dengan upaya memenuhi kebutuhan pasokan energi dan
sekaligus memberikan perlindungan terhadap dakibat negatif penggunaan energi
fosil melalui pengembangan dan pemanfaatan EBT, maka visi Semarang Tangguh
setidaknya dapat memberikan gambaran tentang hasil yang ingin dicapai di masa
depan sebagaimana yang diilustrasikan pada gambar berikut ini:

Gambar 33. Hasil (Outcome) Perencanaan Kota Tangguh Masa Depan Yang Diharapkan

Pada visi, strategi dan misi Semarang RC, belum terlihat bagaimana
gambaran mengenai: (i) tingkat pengurangan konsumsi sumber energi fosil baik
dalam jangka pendek maupun panjang; (ii) integrasi antara fungsi ketahanan
pangan, pengelolaan sampah, transportasi, pasokan energi, pengelolaan sumber
daya air dan respon terhadap bencana di dalam sistem perencanaan kota terpadu.

4) Partisipasi yang lemah


Partisipasi masyarakat di dalam program Semarang RC ini belum sampai
proses pengambilan keputusan. Bukti inklusifitas mengenai keterlibatan pemangku
kepentingan dan masyarakat dapat ditemukan pada tahap awal inisiasi program
Semarang RC, yaitu dalam proses identifikasi masalah dan pembuatan kajian,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Jawoto Sih Setyono dalammenjawab
pertanyaan: “Apakah terdapat bukti-bukti inklusifitas dan partisipasi masyarakat di
dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan pembangunan terkait
program Semarang RC?”.
“Jika pelibatan ini dimaksudkan sebagai keikutsertaan masyarakat atau
pemangku kepentingan dalam identifikasi masalah dan kajian awal pada tahap 1
dan 2 atau di awal-awal program Semarang RC, maka memang ada bukti
inklusifitas tersebut. Namun jika yang dimaksudkan adalah partisipasi dalam
proses pengambilan keputusan mengenai kegiatan apa yang akan dilakukan, maka
bukti-bukti itu akan sulit diperoleh”.
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Prof. Sudharto P. Hadi. MES, Phd.,
yang menyatakan bahwa:
“Pelibatan stakeholders dan/atau warga masyarakat melalui sejumlah
forum konsultasi yang ada, ternyata belum cukup menyediakan ruang partisipasi
yang dapat mempengaruhi produk pengambilan keputusan dan perencanaan”

Setelah 1 tahun sejak peluncuran program Semarang RC pada tahun 2016,


belum adanya ruang partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
sebagaimana yang disebutkan oleh dua narasumber di atas, ternyata masih sama
dengan hasil FGD yang diselenggarakan penulis pada tanggal 31 Maret 2016
bahwa “Potensi partisipasi masyarakat/civil society sebagai modal sosial
pembangunan justru sangat besar tetapi kurang dimanfaatkan secara maksimal oleh
pemerintah. Dukungan, akomodasi, dan pendampingan pemerintah terhadap
kegiatan swakarsa dan swadaya masyarakat/civil society sangat kurang/minimal”
(Lilin Budiati, 2016). Partisipasi warga kota secara keseluruhan justru sangat
dibutuhkan untuk membangun kapasitas lokal kota Semarang, yang justru menjadi
kendala utama bagi upaya mewujudkan visi Semarang Tangguh. Bagaimana
membangun kapasitas lokal secara menyeluruh (holistik) dengan tingkat partisipasi
penuh dari warga kota?
Pembangunan kapasitas lokal memerlukan “local governance” pada sistem
yang melibatkan multi stakeholders dan multi aktor di antara lain: sektor publik,
sektor privat, sektor non profit (LSM, Lembaga donor/filantropis, ormas), dan civil
society yang digambarkan sebagai berikut:
Gambar 34. Stakeholders dan Aktor Pada Local Governance Perkotaan

Langkah awal dalam membangun kapasitas lokal adalah menilai “kapasitas”


dan “peran” dari setiap stakeholder dan aktor sehingga kapasitas masing-masing
dapat diperkuat dan didayagunakan secara efektif. Pada banyak kasus, berbagai
proyek, program dan kegiatan pengembangan local governance untuk membangun
kapasitas dimaknai dan ditekankan hanya pada pembangunan kapasitas pemerintah
daerah, sementara pengembangan local governance capacity building adalah
bertujuan membangun kapasitas semua stakeholder dan aktor, termasuk pemerintah
daerah. Berdasarkan local governance ini ditentukan parameter-parameter dari
partisipasi efektif semua aktor yang terlibat dalam proses pembangunan di daerah
(John Mary Kauzya, 2004:8).
Partisipasi bukan sekedar persoalan struktural, tetapi bersangkutan dengan
persoalan kemauan dan kapasitas. Partisipasi yang lengkap/penuh setidaknya terdiri
dari lima level, yaitu: 4 P + 1C yang meliputi tahapan proses sebagai berikut: (i)
Priority Setting (Penetapan Prioritas); (ii) Planning(Perencanaan); (iii)
Producing(Memproduksi); (iv) Paying (Membiayai); dan (v) Consumption
(Konsumsi). Konsumsi menjadi faktor kunci bagi yang menentukan keberlanjutan
dan penuh tidaknya partisipasi dari para partisipan. Konsumsi berkaitan langsung
dengan penghidupan, dan jika tidak ditunjang oleh 4 level partisipasi lainnya (4 P),
yaitu: Priority Setting, Producing, Planning, dan Paying, maka konsumsi akan
terhenti atau tidak berkelanjutan. Persoalan yang sering dijumpai di negara-negara
berkembang, terutama pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah atau
bahkan tidak berpenghasilan, mereka mau berpartisipasi pada sektor konsumsi
tetapi tanpa disertai partisipasi pada sektor pembayaran (paying). Hal ini
menyebabkan sektor konsumsi akan terhenti karena tidak ada dukungan produksi.
Di sisi lain, sering dijumpai kenyataan bahwa meskipun pemerintah sudah
mendorong partisipasi warga masyarakat di sektor 4 P, tetapi tidak atau belum bisa
memperbaiki tingkat dan pola konsumsi, maka hal itu akan dinilai tidak efektif oleh
warga karena tingkat penghidupannya ternyata tidak berubah meskipun mereka
telah berpartisipasi.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka upaya mendorong partisipasi warga
kota dalam membangun kapasitas lokal kota Semarang, harus diarahkan pada
tujuan-tujuan yang memenuhi kebutuhan dan memperbaiki tingkat dan pola
konsumsi, karena hal itu lebih menarik dan membangkitkan motivasi.
Framework partisipasi penuh (4 P + 1 C) dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 35. Framework Partisipasi 4 P + 1 C

5) Belum ada lanskap budaya yang menjadi basis perencanaan “kota Tangguh
(resilientcity)” di masa depan
Warisan budaya perkotaan adalah bidang yang selalu menjadi perhatian para
akademisi dan pembuat kebijakan sektor publik di seluruh penjuru dunia
(UNESCO, 2016). Kota Semarang yang sudah berumur 470 tahun tentu memiliki
berbagai tengara (landmark) fisik, sejarah, nilai-nilai, kebiasaan dan tradisi yang
membentuk identitas dan lanskap budaya yang mempengaruhi perkembangannya.
Beberapa tengara tersebut dapat ditemukan antara lain: kota lama, kelenteng Sam
Poo Kong, museum, tradisi dugderan, dan lain-lain. Perencanaan kota tangguh
masa depan yang terkandung di dalam Visi Semarang Tangguh belum
mengintegrasikan nilai-nilai baru dari kota tangguh dengan lanskap budaya
yangtelah menjadi kecenderungan global (global trend) pada saat ini. Persoalannya
adalah: Apa dan bagaimana sebenarnya identitas dan lanskap budaya kota
Semarang? Salah satu sebab kegagalan dari upaya merancang identitas dan city
branding “Semarang Pesona Asia” pada tahun 2009 adalah karena tidak terkait
dengan lanskap budaya dan kesejarahan kota Semarang. Bertolak dari kegagalan
itu, maka perencanaan Semarang menjadi kota tangguh (resilient city) seharusnya
berlandaskan pada warisan lanskap budaya dan sejarah masa lalunya.
Perencanaan Kota Tangguh tanpa didasarkan pada identitas dan lanskap
budaya kota Semarang, akan membuat asumsi bahwa perencanaan kota Semarang
terutama dimotivasi oleh adanya kebutuhan untuk berlindung terhadap ancaman,
sebagaimana yang terjadi pada kota-kota kuno di masa lalu menjadi benar adanya.
Kota Semarang di masa depan akan menjadi kota yang tidak berjiwa, tidak ada
“sense of place”, yaitu sensasi yang dirasakan sebagai suatu tempat yang nyaman,
menarik dan menyenangkan, membangkitkan emosi dan kenangansehingga
membuat orang merasa betah dan ingin tinggal di dalamnya, dimana nilai-nilai
kemanusiaan, estetika dan keharmonisan bisa dirasakan dan dinikmati. (Raheem
Hashempoor, 2005). Tanpa landasan lanskap budaya, maka perkembangan kota
Semarang di masa depan akan memiliki masalah serupa dengan perkembangan
kota-kota modern lain di negara-negara berkembang, yaitu tidak adanya “identitas”
dan “sense of place” sehingga kota menjadi terputus dari budaya dan sejarah masa
lalunya.
Dewasa ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah peradaban manusia, nilai-
nilaikemanusiaan mendominasi kehidupan warga masyarakat yang tinggal di
daerah perkotaan. Berdasarkan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development Goals/SDGs) yang dicanangkan oleh PBB, komunitas
internasional berkomitmen untuk mengakhiri kemiskinan, ketimpangan,
ketidakadilan dan memelihara kelestarian lingkungan pada tahun 2030. Tujuan-
tujuan itu akan diwujudkan melalui Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030
yang menekankan peran integral budaya bagi tercapainya 17 tujuan SDGs tersebut,
termasuk kualitas pendidikan, pertumbuhan ekonomi, pola konsumsi dan produksi
yang berkelanjutan, masyarakat yang inklusif dan cinta dama. Peran penting budaya
bagi pembangunan berkelanjutan dimasukkan pada tujuan nomor 11 dalam SDGs,
yang bertujuan membuat “kota dan pemukiman manusia menjadi inklusif, aman,
tangguh dan berkelanjutan”.
Budaya menjadi faktor kunci yang membuat kota menjadi menarik, kreatif
dan berkelanjutan. Fakta sejarah menunjukkan bahwa “budaya” menjadi jantung
dari pembangunan perkotaan, sebagaimana terbukti dari berbagai tengara
(landmark), warisan budaya dan tradisi. Tanpa budaya, citra kota sebagai tempat
yang mampu membangkitkan gairah, menggelorakan semangat dan menggetarkan
jiwa tidak akan pernah ada, dan sebagai gantinya adalah deretan konstruksi gedung
tak berjiwa yang membuat manusia terasing dari nilai kemanusiaannya sehingga
mudah terjadi stress, konflik dan desintegrasi sosial (UNESCO, 2016).
Sejalan dengan adanya kecenderungan global mengenai pendekatan budaya
dalam perencanaan kota masa depan, maka UNESCO mencanangkan pendekatan
Lanskap Perkotaan Bersejarah atau Historic Urban Landscape/HUL Approach di
dalam perencanaan kota. Pendekatan HUL didefinisikan sebagai:
“Lanskap Perkotaan Bersejarah (HUL) adalah hunian di area perkotaan
yang dipahami sebagai pelapisan budaya, alam dan nilai-nilai yang lebih luas
daripada pengertian “kawasan bersejarah” atau “kelompok bangunan bersejarah di
kawasan tertentu”. HUL berkaitan dengan konteks perkotaan dan tatanan (setting)
geografis yang lebih luas. Pendekatan HUL menekankan bahwa perencanaan
komprehensif atas area perkotaan harus dimulai dari pemahaman tentang evolusi
dari HULdalam skala yang lebih luas, dan kemudian memandang kota sebagai
suatu deposit dari berbagai lapisan yang membentuk tatanan (setting) perkotaan
dari waktu ke waktu. Pada tiap kasus, sejarah perlu dipahami dan lapisan-lapisan
yang membentuknya perlu diungkap (UNESCO, 2011 dalam Lilin Budiati, 2017).
Semarang adalah kota yang bersejarah sebagaimana kota Solo dan
Yogyakarta. Pendekatan HUL mengharuskan perencana perkotaan untuk
memperhitungkan konteks lokal dari setiap kota bersejarah. Hal ini mengakibatkan
adanya manajemen yang berbeda-beda pada setiap kota, tetapi secara umum
setidaknya ada enam langkah kritis yang direkomendasikan untuk memfasilitasi
penerapan pendekatan HUL, yaitu(UNESCO, 2011 dalam Lilin Budiati, 2017):
a) Melakukan survey dan pemetaan komprehensif tentang alam, budaya dan
sumber daya manusia kota;
b) Mencapai konsensus melalui perencanaan partisipatif dan konsultasi para
pemangku kepentingan mengenai nilai-nilai apa yang harus dilindungi agar tetap
tetap lestari sampai pada generasi yang akan datang dan untuk menentukan
atribut-atribut apa saja yang menyandang nilai-nilai tersebut;
c) Menilai tingkat kerentanan atribut-atribut terhadap tekanan sosio ekonomi dan
dampak dari perubahan iklim;
d) Mengintegrasikan nilai-nilai kesejarahan perkotaan dan status kerentanannya ke
dalam kerangka kerja pembangunan kota yang lebih luas, yang dapat menjadi
indikator tentang sensitifitas kawasan peninggalan sejarah yang harus
diperhitungkan pada setiap perencanaan, perancangan dan pelaksanaan proyek-
proyek pembangunan;
e) Memprioritaskan aksi untuk konservasi dan pembangunan; dan
f) Menetapkan kemitraan dan kerangka kerja manajemen lokal yang tepat untuk
setiap proyek konservasi dan pembangunan dengan mengembangkan mekanisme
koordinasi pada berbagai aktifitas di antara para aktor yang berbeda-beda, baik
sektor publik maupun sektor privat/swasta.
Gambar 35. 6 Langkah Praktis Pendekatan Historic Urban Landscape/HUL
6) Program Pengurangan Kemiskinan Yang Tidak Tuntas
Program pengurangan kemiskinan dan pengangguran yang diselenggarakan
oleh Pemerintah Kota Semarang dengan nama “Gerbang Hebat”, meskipun sudah baik
tetapi tidak tuntas, karena upaya itu terhenti sampai pada batas mengurangi
kemiskinan (poverty reduction), sementara orientasi penanggulangan kemiskinan pada
saat ini sudah berubah menjadi “pemberantasan/eradikasi kemiskinan (poverty
eradication)”. Target pengurangan kemiskinan sebesar 2% pertahun yang ditetapkan
oleh Pemerintah Kota Semarang, tidak serta merta berarti bahwa tingkat kemiskinan
Kota Semarang yang saat ini adalah 20% akan menjadi nol % pada 10 tahun yang
akan datang. Hal ini disebabkan karena kemiskinan bersifat dinamis dan non liner.
Kemiskinan juga mengalami pertumbuhan akibat modernisasi dan struktur ekonomi
pasar yang memarjinalkan kelompok rentan yang tidak memiliki peluang dan akses
terhadap sumber daya politik ekonomi dan sosial.
Kemiskinan dan ketimpangan seolah saudara kandung karena tercipta pada
situasi yang sama. Mana yang lebih dulu sulit ditentukan. Berbicara tentang
kemiskinan, maka isu di mana seseorang dilahirkan menjadi sangat penting. Ketika
seseorang terlahir di rumah sakit bintang lima, maka dunia terasa ramah dan indah
dengan segala peluang dan kesempatan yang dapat diraih dengan mudah, karena kelas
menengah atas diwarisi dari orang tuanya yang mungkin saja seorang konlglomerat,
pegawai tinggi, jenderal, bahkan presiden. Sebaliknya ketika seseorang terlahir di
gerbong kosong di setasiun, maka kemiskinan dan ketimpangan secara bersamaan
hadir melengkapi atributnya sebagai warga kelas terbawah dalam strata sosial
masyarakat.
Terlepas dari masalah takdir, dunia terasa sangat tidak ramah dan muram
karena segala peluang dan kesempatan seolah dirampas darinya. Pada posisi seperti ini
akan sangat sulit melakukan migrasi sosial ke kelas menengah melalui pendidikan,
bahkan untuk bertahan hidup saja merupakan urusan yang sangat berat. Alih-alih
berpikir untuk pendidikan dan kesejahteraan, untuk dapat bertahan hidup di dalam
belantara pasar global, benar-benar perjuangan melintasi proses seleksi alam
sebagaimana yang digambarkan oleh Charles Darwin “the law of the jungle, survival
for the fittest”, hukum rimba dengan prinsip memenangkan yang terkuat dan
menegasikan yang lemah.
Wujud kelompok yang kalah ini dapat dilihat sehari-hari mengemis uang receh
di perempatan lampu merah kota-kota besar pada siang hari, dan malam harinya
menggelandang di berbagai emperan toko, kolong jembatan atau tempat manapun
yang masih menyediakan keramahan untuk sekedar tidur. Kemiskinan dan
ketimpangan memang bukan monopoli negara berkembang seperti Indonesia, tetapi
juga ada di negara-negara maju seperti Australia, Amerika atau Inggris. Hanya saja
jika dibandingkan dengan kemiskinan di negara maju, maka kemiskinan di Indonesia
menjadi semakin berkmakna ditinjau dari segi keparahannya, karena di negara-negara
maju ada keberpihakan negara yang jelas melalui program jaminan sosial terhadap
kelompok masyarakat miskin.
Liberalisasi pasar telah meningkatkan intensitas kemiskinan dan ketimpangan
sedemikian rupa sehingga sampai pada tingkat resisten terhadap berbagai solusi,
karena tingginya kompleksitas permasalahan. Ideologi liberalisme mengandung
inkonsistensi internal. Di satu sisi, liberalisme tidak menghendaki intervensi negara
yang dapat mengganggu keseimbangan pasar, sebaliknya di sisi lain, liberalisme
sendiri memunculkan gejala-gejala oligarki, monopoli dan oligopoli yang pada
akhirnya menggangu keseimbangan pasar melalui praktik penguasaan sumber daya,
produksi, investasi, distribusi dan jalur perdagangan. Hal itu menjelaskan mengapa
kemiskinan dan ketimpangan sulit diatasi, karena kemiskinan di Indonesia lebih
disebabkan karena faktor struktur ekonomi pasar daripada faktor alami. Ekonomi
hanya salah satu dari dimensi kemiskinan, karena kemiskinan juga mencakup dimensi-
dimensi politik, sosial dan budaya. Upaya mengentaskan kemiskinan tanpa
memperhitungkan struktur ekonomi pasar yang menjadi penyulitnya, serta
mengesampingkan dimensi-dimensi lainnya akan tidak efektif dan bahkan dapat
menimbulkan masalah baru.
Kemiskinan tidak dapat diatasi dengan bantuan atau program jangka pendek,
melainkan harus dengan program jangka panjang dan berkelanjutan, karena
pengentasan kemiskinan tak ubahnya seperti pendidikan adalah investasi jangka
panjang dengan hasil yang tidak bisa segera dilihat. Berbagai program pengentasan
kemiskinan telah dijalankan oleh pemerintah sebelum Jokowi, baik oleh pemerintah
pusat maupun oleh pemerintah daerah, namun hasilnya tidak menunjukkan penurunan
signifikan. Dari tahun 2013 – 2014 hanya terjadi penurunan rata-rata jumlah penduduk
miskin sebesar 430.000 juta dari kondisi awal 28,59 juta pada tahun 2012. Tahun
2014 – 2015 jumlah penduduk miskin mengalami kenaikan 270.000 jiwa dari kondisi
sebelumnya 27,73 juta jiwa pada tahun 2014. Indeks Gini sebagai indikator
ketimpangan tetap pada angka 0,41 selama 2012 – 2014, dan turun menjadi 0,40 pada
tahun 2015. (lihat tabel).
Tabel 28. Jumlah Penduduk Miskin dan Tingkat ketimpangan 2012 - 2015
Variabel 2012 2013 2014 2015
Jumlah penduduk miskin (dalam juta
28,59 28,55 27,73 28,51
jiwa)
Kemiskinan Relatif (% populasi) 11,66 11,47 10,96 11,13
Indeks Gini 0,41 0,41 0,41 0,40
Sumber: BPS, 2016
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kinerja program pengentasan kemiskinan
di Indonesia tidak efektif. Hal itu dapat disebabkan karena cara pandang terhadap
kemiskinan tidak tepat, orientasi, konsep dan strategi yang tidak jelas, serta belum
terintegrasinya program pengentasan kemiskinan dalam suatu kerangka kerja terpadu
berjangka panjang dan berkelanjutan antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah. Beragam program pengentasan dapat ditemukan dengan beragam label,
konsep dan orientasi. Devolusi struktur mengakibatkan fragmentasi dimana masing-
masing pihak mempunyai lahan garapan dan kewenangan sendiri. Tidak ada yang
keliru dengan program-program itu, tetapi mengandung kelemahan pokok yaitu
berjangka pendek, tidak terintegrasi dengan struktur ekonomi pasar, tumpang tindih
yang akhirnya tidak berkelanjutan karena program-program itu tidak menyentuh basis
fundamental infrastruktur ekonomi. Hasil kajian Peter McCawley (2014-ASPI)
menyimpulkan bahwa Pemerintah Indonesia memang harus memperbaiki program
pengentasan kemiskinan yang lebih realistis, solid dan terintegrasi.3

Tinjauan Teoritis Kemiskinan


Penentuan prioritas program pengentasan kemiskinan seringkali didasarkan
pada ketersediaan anggaran dan bukan pada kondisi-kondisi objektif yang berkaitan
dengan kemiskinan. Cara pandang yang digunakan pada umumnya terpusat pada
masalah penghasilan yang rendah atau tidak ada penghasilan, sementara faktor-faktor
yang melatarbelakangi mengapa seseorang berpendapatan rendah menjadi luput dari
perhatian. Hal itu berpengaruh pada cara pendekatan dan pemberian bantuan yang
cenderung bersifat teknis serta berjangka pendek. Upaya pengentasan kemiskinan
memerlukan cara pandang dan pemahaman baru agar langsung menyentuh akar
permasalahannya, dengan demikian dapat dirumuskan kerangka kerja (framework)
yang lebih implementatif dan efektif.
Menurut Amartiya Kumar Sen (1999),4 pemenang Hadiah Nobel untuk ilmu
ekonomi yang banyak menggeluti program pengentasan kemiskinan di negara-negara
berkembang, “kemiskinan lebih dimaknai sebagai kondisi keterbatasan atau
terampasnya (deprivation) kapabilitas dasar dan kebebasan, daripada sekedar
rendahnya penghasilan yang pada umumnya dipakai sebagai standar dalam
mengidentifikasi kemiskinan”. Keterbatasan kapabilitas ini berkaitan dengan adanya
perampasan dan/atau sejumlah hambatan karena gender, usia, ras atau kelas atau
lainnya yang menyebabkan terjadinya marjinalisasi. Ketentuan Perusahaan Penyedia
Jasa Pekerja (PPJK) hanya menerima pekerja berusia 18-24 tahun, merupakan
perampasan kapabilitas dasar dan kebebasan tenaga kerja berusia di atas 24 tahun
untuk memasuki lapangan kerja.
Praktik semacam itu jelas menghambat upaya mengurangi kemiskinan melalui
pemerataan kesempatan kerja dan berpotensi menambah jumlah penduduk miskin
baru. Upah pekerja alih daya yang rendah di bawah UMK juga mempersulit upaya
pengentasan kemiskinan. Sen mengidentifikasi ada lima elemen kebebasan yang
menjadi faktor kunci bagi pembangunan, yaitu: (i) kebebasan politik; (ii) peluang
ekonomi; (iii) peluang sosial; (iv) jaminan transparansi; dan (v) perlindungan
keamanan. Argumen ini mematahkan konsep pengurangan kemiskinan sebelumnya
yang terfokus pada penghasilan sebagai ukuran dalam menilai kemiskinan dan
kesejahteraan sosial.
Pemahaman baru tentang kemiskinan ini mendorong terbentuknya konsep
pendekatan keamanan mata pencaharian (Livelihood Security Approach – LSA). LSA
mempromosikan pentingnya menempatkan manusia sebagai pusat pembangunan/
pengembangan. LSA menekankan pada pengarusutamaan gender dan “pemberdayaan

3
Peter McCawley, Strategy: Joko Widodo’s Indonesia Possible Path, ASPI, 2014, hlm. 25.
4
M . Kathrine McJackson, Unifying Framework for Poverty Eradication & Social Justice, CARE,2005, hlm. 9-
12
personal (pada tingkat perorangan/individu)” dalam proses pembangunan, dimana
orang lebih diharapkan untuk “memancing ikan” daripada “diberi ikan”, yang
bertujuan agar setiap orang dapat mencukupi sendiri kebutuhannya. Pemberdayaan
personal adalah pemberdayaan pada tiap-tiap orang atau individu yang harus
dibedakan dengan pemberdayaan sosial pada suatu komunitas tertentu. Pemberdayaan
personal memberikan landasan bagi tuntutan individu berbasis hak terhadap sistem
politik yang menyebabkan terampasnya peluang atau kesempatan, pada saat yang
sama pemberdayaan sosial menmfokuskan tuntutan individu pada proses sosial (lebih
besrsifat kolektif) untuk mengubah bentuk dan arah kekuatan-kekuatan sistemik yang
memarjinalkan manusia. Pemberdayaan sosial akan mengubah basis dari hubungan
kekuasaan (Vane Klasen , 2002 dalam M. Katherine McJackson).
Upaya mengatasi kemiskinan harus didasarkan pemahaman tentang dinamika
proses mengapa orang tidak menjadi miskin, jatuh miskin atau menjadi lebih miskin
daripada sebelumnya, atau menjadi miskin selamanya karena tidak dapat terlepas dari
belenggu kemiskinan. Dinamika kemiskinan berkaitan erat dengan fenomena
kerentanan. Kerentanan dipahami sebagai suatu keadaan dimana sistem mata
pencaharian orang rentan terhadap guncangan (shock), bersamaan dengan ketiadaan
daya tahan/ketangguhan menghadapi guncangan sehingga orang yang bersangkutan
tidak dapat memulihkan diri. Kerentanan berpengaruh terhadap mata pencaharian yang
menyebabkannya jatuh miskin dan tingkat berat ringannya kemiskinan. Guncangan
dapat memiskinkan seseorang beserta keluarganya (sakit, meninggal atau Pemutusan
Hubungan Kerja/PHK) atau dapat memiskinkan masyarakat di suatu daerah (bencana
alam, krisis ekonomi makro seperti tahun 1997 dan 2008).
Pola interaksi sosial berbasis relasi kekuasaan dapat memunculkan guncangan
atau tekanan yang dapat menyebabkan orang menjadi rentan atau jatuh miskin.
Sebagai contohnya adalah interaksi sosial dalam distribusi bahan pokok misalnya
cabai, bawang merah, garam dan lain-lain antara petani – tengkulak – pedagang –
konsumen. Pada situasi normal harga mengikuti harga cabai di pasar berkisar antara
30 – 40 ribu rupiah per kg, ketika hasil panen melimpah harga pembelian tengkulak ke
petani turun drastis sementara harga di pasar relatif tidak turun atau turun sangat
sedikit. Sebaliknya ketika cabai langka harga cabai dipasar bisa mencapai lebih dari
100 ribu rupiah per kg.
Fluktuasi harga cabai menunjukkan gejala anomali (kelainan) yang
menyimpang dari hukum pasar, seharusnya harga turun ketika penawaran naik (hasil
panen berlimpah) tetapi kenyataannya harga tidak turun atau tetap. Sebaliknya, di sisi
permintaan masih mengikuti hukum pasar yaitu harga naik ketika cabai langka, tetapi
naiknya bisa mencapai 300 %. Hal ini dapat terjadi karena distribusi barangdi
kendalikan oleh para tengkulak yang melakukan praktik oligopoli dengan membentuk
kartel. Kartel inilah yang mengendalikan harga pasar. Kartel membeli dengan harga
serendah-rendahnya pada saat cabai berlimpah dan kemudian menjual dengan harga
setinggi-tingginya ketika cabai langka. Praktik semacam itu juga terjadi pada
komoditas lain seperti tembakau,beras, gula dan sebagainya. Dapat dilihat bahwa
kartel memiliki kekuatan politik, ekonomi dan sosial untuk mengontrol perilaku pasar
dan masyarakat yang menyebabkan timbulnya kerentanan dan kemiskinan.
Petani sangat dirugikan karena cabai yang dijualnya dengan harga murah
ketika panen, ternyata harus dibelinya kembali dengan harga 3 x lipat saat mereka
butuh. Pendapatannya saat panen terkuras keluar lagi (outflow) karena cost push
inflation, artinya inflasi yang disebabkan oleh tekanan harga tinggi. Konsumen juga
termasuk pihak yang dirugikan dan bersama-sama petani menjadi rentan terhadap
kemiskinan. Frankenberger dan Maxwell (2002) menyatakan bahwa kerentanan tidak
hanya disebabkan oleh proses sosio-ekonomi saja, tetapi juga disebabkan oleh proses
politik karena relasi kekuasaan antara individu dan kelompok yang secara langsung
atau tidak langsung akan berpengaruh terhadap tingkat kerentanan.
Menurut Vane Klasen (2002) dalam M. Katherine McJackson (2005),
dimensi-dimensi kerentanan dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 36. Dimensi-Dimensi Kerentanan Vane Klassen

Singkatnya, kemiskinan bukan hanya mencerminkan tidak terpenuhinya


kebutuhan dasar dan kurangnya akses, tetapi juga menggambarkan lemahnya kekuatan
politik dan ketidakberdayaan dari kelompok rentan. Lebih jauh lagi, ketidakberdayaan
dengan sendirinya akan mengakibatkan kurangnya akses dan ketidakmampuan dalam
memenuhi kebutuhan dasar, yang menempatkan kelompok rentan pada posisi yang
timpang di kelas terbawah strata sosial. “Kebutuhan dasar” dan “keadilan” adalah
faktor kunci yang menentukan bertambah atau berkurangnya kemiskinan.

Berdasarkan konsepsi baru tentang kemiskinan maka upaya pengentasan


kemiskinan dapat dilakukan dengan menggabungkan solusi teknis dengan solusi sosial
dalam tiga ranah sebagai berikut:
1) Memperbaiki posisi sosial
POSISI SOSIAL mencakup dimensi-dimensi
a) Keadilan: usia, gender, etnis/ras/suku, agama/kepercayaan
b) Hak Asasi Manusia (HAM)
c) Distribusi kapital dan aset
d) Inklusi sosial
e) Kapasitas organisasi

2) Memperbaiki kondisi materiil dan manusia


KONDISI MANUSIA mencakup dimensi-dimensi:
a) Produktifitas, mata pencaharian dan pendapatan
b) Akumulasi kapital dan aset
c) Kapabilitas manusia
d) Akses pasar, sumber daya dan pelayanan publik
e) Risiko dan kerentanan
3) Menciptakan lingkungan atau kondisi pemberdayaan
LINGKUNGAN PEMBERDAYAAN mencakup dimensi-dimensi:
a) Pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip good governance
b) Partisipasi masyarakat sipil
c) Bantuan perlindungan sosial
d) Kerangka kerja regulasi domestik dan internasional yang berkeadilan
e) Preservasi dan konservasi lingkungan
f) Platform Politik ekonomi yang kuat dan berkeadilan
g) Perlindungan kemanusiaan dan mitigasi konflik

Kerangka Kerja (Framework) konseptual unifikasi eradikasi kemiskinan dapat


digambarkan sebagai berikut:
Gambar 37. Unifikasi Framework Eradikasi Kemiskinan

Pergeseran Teori Kemiskinan


Evolusi teori kemiskinan dan pembangunan telah berlangsung selama 50 tahun.
Jika diamati kecenderungannya maka teori kemiskinan mengalami pergeseran fokus.
Berbicara mengenai pembangunan akan mengantarkan pemikiran pada suatu
pertanyaan: Pembangunan untuk tujuan apa? dan pembangunan itu untuk siapa?
Berkenaan dengan tujuan pembangunan maka berbagai teori dan konsep
pembangunan yang ada dapat menjawab pertanyaan itu dengan mudah, bahwa
pembangunan bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi dan sosial melalui
pertumbuhan ekonomi. Persoalannya menjadi sulit ketika menjawab pertanyaan:
pembangunan diperuntukkan bagi siapa?, karena pada kenyataannya pembangunan
ternyata meminggirkan sebagian besar orang kearah kemiskinan. Pembangunan
menempatkan kelompok rentan pada polarisasi Kutub Selatan (miskin) dimana terjadi
akumulasi “kekurangan” kebebasan dan akses terhadap aset, peluang dan
kesejahteraan yang berseberangan dengan Kutub Utara (kaya) dimana terjadi
akumulasi “kelebihan” berupa aset dan kesejahteraan. Dalam perspektif relasi
kekuasaan maka kelas menengah dapat menikmati kemakmuran dan kesejahteraan
sebagai pemain antara (intermediate player) yang menjalankan fungsi internediasi
antara kelas elit dan kelas bawah.
Teori-teori kemiskinan dimaksudkan untuk menghasilkan konsep mengenai
upaya mengurangi dampak pembangunan yang memiskinkan sebagian besar manusia.
Pada perkembangannya teori-teori itu mengalami pergeseran fokus dalam tiga
tahapan, yaitu: tahap pertama terfokus pada mitigasi atau peringanan kemiskinan
(Poverty Alleviation); tahap kedua terfokus pada pengurangan atau reduksi
kemiskinan (Poverty Reduction); dan tahap ketiga terfokus pada pemberantasan atau
eradikasi kemiskinan (Poverty Eradication). Perkembangan fokus teori kemiskinan
dapat diilustrasikan sebagai suatu keberlanjutan (kontinum) proses dari mitigasi,
reduksi menuju eradikasi.

Anda mungkin juga menyukai