B3 DAN LIMBAH
DEPARTEMENT HSE
0 21Jan 2020
DAFTAR ISI
2. DASAR
a. Pedoman Sistem Manajemen Perusahaan PT. Cahaya Teknik Putra Nusantara No.
PEDOMAN-01/CTPN/I/2018.
b. Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lindungan
Lingkungan PT. Cahaya Teknik Putra Nusantara No. PEDOMAN-
01/CTPN/I/2018.
3. TUJUAN
Sebagai petunjuk kerja untuk melakukan identifikasi klasifikasi minimalisasi dan
pengolahan limbah.
4. RUANG LINGKUP
Seluruh proses bisnis Perusahaan PT. Cahaya Teknik Putra Nusantara dan pihak yang
terkait.
5. DOKUMEN TERKAIT
a. Manifest limbah
6. PENGERTIAN
a. Identifikasi adalah suatu cara untuk mencari data secara detail dari seseorang atau
kejadian.
b. Klasifikasi adalah penyusunan bersistem dalam kelompok atau golongan menurut
kaidah atau standar yang ditetapkan.
c. Minimalisasi adalah suatu cara untuk menekan sekecil mungkin nilai yang
muncul.
d. Pengolahan adalah suatu alat atau proses mengubah bentuk sesuatu ke bentuk
yang lain.
8. PROSEDUR KERJA
a. Identifikasi Limbah
Dalam pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), identifikasi dan
karakteristik limbah B3 adalah hal yang penting dan mendasar. Di dalam pengelolan
limbah B3, prinsip pengelolaan tidak sama dengan pengendalian pencemaran air dan
udara yang upaya pencegahannya di source point sedangkan pengelolaan limbah B3
yaitu from candle to grave. Yang dimaksud dengan from candle to grave adalah
pencegahan pencemaran yang dilakukan dari sejak dihasilkannya limbah B3 sampai
dengan ditimbun/dikubur (dihasilkan, dikemas, digudangkan/penyimpanan,
ditransportasikan, di daur ulang, diolah, dan ditimbun/dikubur). Pada setiap fase
pengelolaan limbah tersebut ditetapkan upaya pencegahan pencemaran terhadap
lingkungan dan yang menjadi penting adalah karakteristik limbah B3 nya, hal ini
karena setiap usaha pengelolaannya harus dilakukan sesuai dengan karakteristiknya.
Menurut PP No. 18 Tahun 1999 tentang pengelolaan limbah B3, pengertian limbah
B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan
atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik
secara langsung dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta
makhluk hidup lainnya.
Dari definisi diatas, semua limbah yang sesuai dengan definisi tersebut dapat
dikatakan sebagai limbah B3 kecuali bila limbah tersebut dapat mentaati peraturan
tentang pengendalian air dan atau pencemaran udara. Misalnya, limbah cair yang
mengandung logam berat tetapi dapat diolah dengan water treatment dan dapat
memenuhi standar effluent limbah yang dimaksud maka limbah tersebut tidak
dikatakan sebagai limbah B3 tetapi dikategorikan limbah cair yang pengawasannya
diatur oleh Pemerintah.
i. Identifikasi Limbah B3
Alasan diperlukannya identifikasi limbah B3 adalah :
1. Mengklasifikasikan atau menggolongkan apakah limbah tersebut merupakan
limbah B3 atau bukan.
2. Menentukan sifat limbah tersebut agar dapat ditentukan metode penanganan,
penyimpanan, pengolahan, pemanfaatan atau penimbunan.
3. Menilai atau menganalisis potensi dampak yang ditimbulkan terhadap
lingkungan atau kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya.
b. Klasifikasi Limbah
Peraturan Pemerintah No. 18/1999 mendeefinisikan limbah B3 sebagai berikut :
”Limbah bahan Limbah bahan berbahaya dan beracun (83) adalah sisa suatu usaha
dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena
sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik langsung maupun tidak
langsung dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta
makhluk hidup lain”.
Klasifikasi limbah B3 di Indonesia didasarkan atas 2 hal, yaitu karakteristik dan
sumber limbah tersebut. PP-18/1999 mengkategorikan limbah B3 berdasarkan
sumbernya dari mana limbah tersebut dihasilkan. Sistematika klasifikasi ini identik
dengan yang digunakan oleh US-EPA, yaitu limbah kelas F, K, P, dan U seperti yang
tercantum dalam RCRA.
8.2.1 .2. Limbah B3 dari sumber yang spesifik: Suatu limbah dinyatakan
sebagai limbah B3 jika limbah tersebut berasal dari industri seperti
yang tercantum dalam Daftar 2 dari PP-18/1999.
8.2.1 .3. Limbah B3 dari sisa kemasan, tumpahan, bahan kadaluwarsa: Suatu
limbah dinyatakan limbah B3 jika limbah tersebut merupakan sisa
kemasan, tumpahan, ataupun bahan kadaluwarsa dari suatu produk
yang mengandung salah satu atau lebih senyawa kimia seperti yang
tercantum dalam Daftar 3 dari pp-18/1999.
8.2.2. Jika limbah yang dimaksud tidak tercantum dalam daftar tersebut di atas,
PP-18/1999 lebih lanjut menetapkan bahwa limban dimaksud dapat
diklasifikasikan sebagai limban B3 lika limbah tersebut memiliki satu atau
lebih sifat-sifat berikut ini.
8.2.2.3. Reaktif
8.2.2.5. Korosif
Uji ini adalah penentuan dosis (gram pencemar per kilogram berat
badan) yang dapat menyebabkan kematian 50% populasi makhluk
hidup yang dijadikan percobaan (LD50). Pengujian ini biasanya
menggunakan hewan percobaan seperti mencit, tikus, kelinci,
anjing, dan lain-lain, Sejumlah limbah B3 dimasukkan ke dalam
tubuh binatang percobaan tersebut melalui beberapa rute (kecuali
pernafasan) seperti intravena, mulut, kulit, anus, mata, dsb. Dosis
limbah B3 divariasikan sesuai dengan berat tubuh binatang
percobaan. Apabila nilainya lebih kecil dari 15 gram per kilogram
berat badan hewan uji, maka limbah tersebut dikategorikan limbah
B3. Data toksisitas (LD50) untuk bahan murni (bukan campuran)
dapat pula diperoleh dari MSDS atau referensi lainnya seperti
Sax's Dangerous Properties.
c. Minimalisasi Limbah
Definisi minimalisasi adalah upaya mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas,
dan tingkat bahaya limbah yang berasal dari proses produksi dengan jalan
reduksi pada sumbernya dan atau pemanfaatan limbah. Pengertian reduksi
limbah pada sumbernya adalah upaya mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas
dan tingkat bahaya limbah yang menyebar ke lingkungan secara preventif pada
sumber pencemar.
8.3. I .2. Minimalisasi limbah dapat menghemat uang dengan berbagai cara
yang dilakukan seperti: lebih sedikit uang digunakan untuk
8.3.2.2. Reuse
8.3.2.2.1. Memilih alat rumah tangga atau elektronik yang hemat
energi.
8.3.2.2.2. Mencari merk yang memperhatikan lingkungan.
8.3.2.2.3. Menggunakan tas belanja yang mudah di daur ulang.
8.3.2.2.4. Menggunakan kendaraan umum untuk bepergian.
8.3.2.3. Reduce
8.3.2.3.1. Memakai listrik seperlunya.
Atau mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar biofuel seperti jarak
atau kelapa sawit. Kebijakan tersebut menyebabkan konversi hutan di
beberapa negara. Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit berarti
mengurangi penyerap C02 yang berarti berkontribusi juga pada pemanasan
global atau menyelesaikan masalah dengan masalah baru, Solusi yang
terbaik adalah mengurangi (reduce) penggunaan bahan yang dapat
mengeluarkan C02 misalnya menggunakan kendaaran umum ketika
bepergian atau berkontribusi pada pengurangan C02 dengan melakukan
penghijauan.
8.3.3. Pola produksi berkelanjutan harus dikelola baik pada level internasional,
regional, nasional maupun lokal. Pengelolaannya tercantum dalam
manajemen lingkungan. Manajemen lingkungan didefinisikan sebagai
implementasi yang terencana dan sistematis dari sasaran dan strategi
lingkungan yang dibuat oleh perusahaan (Janicke, Kunig, Stitzel, 1999:290
sebagaimana dikutip oleh Freizer, 2003:2). Adapun manajemen lingkungan
mengandung 7 elemen yang terdiri dari:
8.3.4.4. Beracun;
8.3.4.1. Penghasil
8.3.4.2. Pengumpul
8.3.4.3. Pengangkut
8.3.4.4. Pemanfaat
8.3.4.5. Pengolah
8.3.4.6. Penimbun
8.4.6.2. Harus mendapat rekomendasi dari KLH dan ijin dari Departemen
Perhubungan.
8.4.11.1. Limbah: pada umumnya untuk senyawa organik, flash point <
400C.
8.4.11.3. Emisi
8.4.1 1.5. DRE dan dioxin (hanya untuk yang membakar POHCs)
9. UKURAN KEBERHASILAN
10.1. Diagram alir PKO Identifikasi Klasifikasi Minimalisasi dan Pengolahan Limbah.