Anda di halaman 1dari 41

PRESENTASI KASUS

Gravida 2 Para 1 Abortus 0, Usia 36 Tahun, Hamil 38+4 Minggu, Janin


Tunggal Hidup Intrauterine, Presentasi Kepala, Letak Punggung kanan,
Inpartu Kala I Fase Laten Dengan Preeklampsia

Oleh :
Bayu Ariandi Lubis G4A021029

Pembimbing :
Dr. Hesa Kusuma Admardiarto, Sp.OG

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI RUMAH SAKIT UMUM


DAERAH AJIBARANG UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN PURWOKERTO
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul:


“Gravida 2 Para 1 Abortus 0, Usia 36 Tahun, Hamil 38+4 Minggu, Janin Tunggal
Hidup Intrauterine, Presentasi Kepala, Letak Punggung kanan, Inpartu Kala I Fase
Laten Dengan Preeklampsia”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian di Bagian Obstetri
dan Ginekologi Program Profesi Dokter di RSUD Ajibarang, Banyumas

Disusun oleh :
Bayu Ariandi Lubis
G4A021029

Banyumas, Mei 2022

Mengetahui, Pembimbing

dr. Hesa Kusuma Admardiarto, Sp.OG


I. LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien

Nama : Ny. J

Usia : 36 tahun

Agama : Islam

Suku/bangsa : Jawa

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Pendidikan : SD

Alamat : Kracak 003/008, Ajibarang, Banyumas

Nomor CM : 307xxx

Tanggal/Jam Masuk : 18 Mei 2022 / Pukul 20.00 WIB Ruang


Rawat : VK

Nama Suami Pasien : Tn. A


Usia : 40 Tahun
Agama : Islam

Alamat : Kracak 003/008, Ajibarang, Banyumas

Pendidikan : SD

Pekerjaan : Supir

B. Anamnesis

1. Teknik Anamnesis Autoanamnesis


2. Tanggal Anamnesis 18 April 2022
3. Keluhan Utama
Tekanan darah meningkat, nyeri kepala
4. Keluhan Tambahan
Perut terasa kencang-kencang

5. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien G2P1A0 usia 36 tahun hamil 38+4 minggu
rujukan dari Puskesmas Ajibarang I datang ke IGD RSUD
Ajibarang rujukan dari puskesmas Ajibarang I datang dengan
keluhan tekanan darah tinggi dan nyeri kepala. Keluhan tersebut
dirasakan pasien jam 10.00 malam 1 HSMRS. Nyeri kepala
seperti berdenyut dirasakan semakin lama, semakin sering dan
kuat. Selain itu pasien merasakan perut terasa kencang-kencang
sejak pukul 18.00 malam 1 HSMRS. Pagi harinya pukul 07.00
pasien dibawa ke puskesmas untuk melakukan pemeriksaan
ANC rutin. Saat dilakukan pemeriksaan di puskesmas tekanan
darah pasien 160/80 mmHg, Nadi 83 x/menit, RR 21 x/menit,
suhu 36,3℃. Keluhan mual, muntah, pandangan kabur
disangkal oleh pasien. Pasien masih dapat merasakan gerakan
janinnya.

6. Riwayat Menstruasi

Pasien pertama kali mengalami haid pada usia 12 tahun,


Riwayat menstruasi pasien teratur setiap 28-30 hari sekali dan
berlangsung 4-5 hari tiap siklusnya. Dalam sehari pasien dapat
mengganti pembalut sebanyak 3-4 kali. Pasien menyangkal
adanya keluhan atau masalah saat menstruasi.
7. Riwayat Pernikahan

Pasien menikah sebanyak 1x dengan usia pernikahan


berlangsung selama 16 tahun, yaitu sejak pasien berusia 20
tahun. Pasien pertama kali melakukan hubungan seksual sejak
usia 20 tahun tepat setelah menikah.
8. Riwayat Obstetri

Gravida 2 Para 1 Abortus 0


Hamil Jenis Usia Tanggal Jenis Penolong BBL Ket

ke Kelamin Kehamilan Bersalin Persalinan


1 Laki-laki Aterm 2007 Spontan Bidan 3500 Hidup
Hari Pertama Haid Terakhir : 23 Agustus 2021

Hari Perkiraan Lahir : 30 Mei 2022

Usia kehamilan : 38+4 minggu

Riwayat ANC : 6 kali (4 kali ke bidan, 2 kali


ke dokter spesialis)
9. Riwayat Kontrasepsi

Riwayat penggunaan KB spiral, berhenti sejak 2011


10. Riwayat Ginekologi
Disangkal
11. Riwayat Penyakit Dahulu

Ibu belum pernah operasi sesar, anak pertama lahir secara


spontan, belum pernah mengalami abortus dan belum pernah
menjalani kuretase, 1 anak hidup, riwayat plasenta akreta tidak
ada, belum pernah manual plasenta karena plasenta lahir secara
normal.
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal

b. Riwayat penyakit kandungan : disangkal

c. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal

d. Riwayat kencing manis : disangkal

e. Riwayat hipertiroid : disangkal

f. Riwayat penyakit jantung : disangkal

g. Riwayat alergi dan atopi : disangkal

h. Riwayat asma : disangkal

i. Riwayat pengobatan rutin : disangkal

j. Riwayat keganasan & kemoterapi : disangkal

12. Riwayat Penyakit Keluarga

a. Riwayat keluhan serupa : disangkal

b. Riwayat tekanan darah tinggi : (+) Ibu pasien

c. Riwayat kencing manis : disangkal

d. Riwayat hipertiroid : disangkal


e. Riwayat penyakit jantung : disangkal

f. Riwayat alergi dan atopi : disangkal

g. Riwayat penyakit kandungan : disangkal

h. Riwayat pengobatan rutin : disangkal


i. Riwayat keganasan & kemoterapi : disangkal

13. Riwayat Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

Pasien tinggal satu rumah dengan suami, dan 1 orang anak.


Sehari- hari pasien bekerja sebagai sebagai ibu rumah tangga.
Pasien makan 3 kali sehari dengan nasi, sayur, dan
telur/tahu/tempe. Konsumsi daging merah, ikan, atau ayam
jarang, kebiasaan makan makanan asin disangkal. Suami pasien
bekerja sebagai supir dan merupakan perokok aktif. Kesan
ekonomi pasien menengah. Pembiayaan kesehatan pasien
menggunakan BPJS Non PBI.
C. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum/Kesadaran : Baik/Compos mentis


2. Tanda Vital

a. Tekanan darah : 140/90 mmHg


b. Denyut nadi : 90 x/menit
c. Laju pernapasan : 20 x/menit
d. Suhu : 36.3 0C
3. Antropometri
a. Berat badan sebelum hamil : 85 kg
b. Berat badan setelah hamil : 98 kg
c. Tinggi badan : 150 cm
d. IMT sebelum hamil : 37,77 kg/m2
e. IMT setelah hamil : 43,55 kg/m2
4. Status Generalis
a. Mata: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),pupil
bulat isokor 3 mm/3 mm, refleks cahaya (+/+), reflek
konsensual (+/+)
b. Hidung: Napas cuping hidung (-), sekret (-)
c. Telinga: Normotia, sekret (-)
d. Mulut: Bibir sianosis (-), mukosa bukal lembab
e. Leher: Deviasi trakea (-), pembesaran tiroid (-),
pembesaran KGB (-)
f. Thoraks
Pulmo
Inspeksi : Bentuk dada normal, gerak simetris (+),
retraksi (-)
Palpasi : Pengembangan dada simetris, vokal fremitus
simetris (+)
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-) RBK
(-/-), wheezing (-/-)
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V linea
midclavicula Sinistra, tidak kuat angkat.
Perkusi : Batas kanan atas SIC II linea parasternal
dextra, batas kiri atas SIC II linea parasternal sinistra,
batas kanan bawah SIC IV linea parasternal dextra, batas
kiri bawah SIC V linea midclavicula sinistra.
Auskultasi : S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Glandula Mammae
Inspeksi : Rubor (-), Oedem (-), Puting masuk kedalam
(-) Palpasi : Nyeri tekan (-), Massa (-), Discharge (-)

g. Abdomen
Inspeksi : Cembung gravida, stria gravidarum (-), linea
nigra (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Pekak janin (+)
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), defans muscular
(-)
h. Esktremitas
Superior : Edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat,
CRT < 2 detik
Inferior : Edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat,
CRT < 2 detik

5. Status lokalis
a. Abdomen

- Leopold I :Teraba bulat, lunak, tidak melenting,


kesan bokong

- Leopold II :Teraba tahanan seperti papan di sisi


kanan pasien dan terapi bagian kecil di sisi kiri
pasien, kesan punggung kanan

- Leopold III :Teraba bulan keras melenting,


kesan: kepala

- Leopold IV :Konvergen

- Tinggi Fundus Uteri : 34 cm

- Denyut Jantung Janin : 152 x/menit, regular

- His : 1-2 x/10’/15”

b. Pemeriksaan Genitalia Eksterna


- Inspeksi
Mons pubis : distribusi rambut normal
Labia mayor : benjolan (-) lesi (-) hiperemis
(-) Labia minor : benjolan (-) lesi (-) hiperemis
(-) Introitus vagina : darah (-) dan lendir (-)
- Palpasi
Kel. bartholin : oedem (-), nyeri tekan (-)
c. Pemeriksaan Dalam
- Vagina toucher : Pembukaan 1cm, portio
posterior lunak, effacement 30%, Hodge I, STLD
(+), KK (+) Score bishop: 4
- Inspekulo tidak dilakukan
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah lengkap (19 Mei 2022)

 Hb 11.9 gr/dl (L)


 Ht 36.9% (L)
 Eritrosit 4,06x10^6/uL (L)
 Leukosit 10,51x10^3/uL
 Trombosit 279x10^3/uL
 MCV 90,9 fL
 MCH 29,3 pg
 MCHC 32,2 gr/dL (L)
 Waktu perdarahan 2.3 menit
 Waktu pembekuan 4.30 menit
 Golongan darah O

2. Pemeriksaan COVID-19
Antigen Rapid SARS-CoV-2: nonreaktif

3. Pemeriksaan antigen Hepatitis B

HbsAg : non reaktif

4. Pemeriksaan Urin Lengkap

Protein urin: Negatif


E. Diagnosis Klinis

Gravida 2 Para 1 Abortus 0, usia 36 tahun, Hamil 38+4 minggu, Janin


tunggal hidup intrauterine, Presentasi kepala, Letak punggung kanan,
Inpartu kala 1 fase laten Dengan Preeklampsia.

F. Tatalaksana Hospital (VK/ 18-05-2022)

1. Farmakologis

- IVFD Ringer Lactat 20 tpm + MgSO4 40% 8 gram

- IVFD IVFD Oxyticin 5 IU 8 tpm

- Misoprostol 1/8 Tab Pervaginam


- PO Nifedipine 2x10 mg

- PO Diazepam 2x2 mg

2. Non Farmakologis

- Rawat Ekspektatif

- Tirah baring

- Pemantauan janin (CTG)

- Makanan tinggi protein, rendah garam

G. Prognosis

Ad vitam : dubia

Ad sanam : dubia

Ad functionam : dubia ad bonam


II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang
ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal
terhadap adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan
koagulasi. Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya
hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan disertai dengan
gangguan sistem organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20 minggu
(ACOG, 2019). Preeklampsia, sebelumya selalu didefinisikan dengan
adanya hipertensi dan proteinuri yang baru terjadi pada kehamilan
(new onset hypertension with proteinuria). Meskipun kedua kriteria ini
masih menjadi definisi klasik preeklampsia, beberapa wanita lain
menunjukkan adanya hipertensi disertai gangguan multsistem lain
yang menunjukkan adanya kondisi berat dari preeklampsia meskipun
pasien tersebut tidak mengalami proteinuri. Sedangkan, untuk edema
tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak
ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal (PNPK, 2016).
B. Etiologi dan Faktor Risiko
1. Etiologi
Preeklamsia sering disebut sebagai “disease of theory”,
karena hingga saat ini tidak ada penyebab pasti terjadinya
preeklamsia. Lindheimer (2014) menjabarkan empat hal penting
yang mampu menjadi penyebab preeklamsia:
a. Implantasi plasenta dengan invasi trofoblas yang abnormal
b. Maladaptasi imunologi antara maternal, plasenta dan
jaringan fetus
c. Maladaptasi maternal terhadap perubahan sistem
kardiovaskular dan faktor-faktor inflamasi pada kehamilan normal
d. Faktor genetik
Gambar 1.1 Abnormalitas Invasi Trofoblas (Cunningham, 2014).
Oleh Cunningham et al. (2010) penyakit ini dikelompokkan
menjadi 4 teori dasar, yaitu:
a. Implantasi plasenta dengan invasi arteri uterina trofoblasik yang
abnormal
b. Toleransi abnormal dan maladaptasi imunologis antara maternal,
paternal (plasenta) dan jaringan fetus
c. Maladaptasi maternal terhadap perubahan-perubahan
kardiovaskuler dan perubahan inflamasi pada kehamilan
d. Faktor-faktor genetik termasuk gen-gen yang diturunkan serta
pengaruh epigenik.
2. Faktor risiko
Pedoman National Institute for Health and Care Excellence
(NICE) 2019 mengklasifikasikan wanita yang berisiko tinggi
mengalami preeklamsia yaitu adanya riwayat hipertensi selama
kehamilan sebelumnya atau penyakit maternal lain seperti penyakit
ginjal kronis, penyakit autoimun, diabetes, atau hipertensi kronis.
Wanita yang berisiko sedang yaitu nulipara, usia ≥40 tahun,
memiliki indeks massa tubuh (IMT) ≥35 kg/m2, riwayat keluarga
dengan preeklamsia, kehamilan multifetal, atau interval kehamilan
lebih dari 10 tahun. Faktor risiko ini dikemukakan dalam meta-
analisis terbesar oleh Bartsch et al., yang menganalisis lebih dari
25 juta kehamilan dari 92 penelitian. Adanya satu faktor risiko
tinggi, atau dua atau lebih faktor risiko sedang, digunakan untuk
menentukan penggunaan profilaksis aspirin, yang efektif dalam
mengurangi risiko preeklamsia jika diberikan sebelum 16 minggu
kehamilan (Bartsch et al., 2016).
Faktor klinis tambahan yang meningkatkan risiko
preeklamsia secara signifikan, yaitu peningkatan tekanan darah
arteri rata-rata sebelum usia kehamilan 15 minggu, sindrom
ovarium polikistik, gangguan pernapasan saat tidur, dan berbagai
infeksi seperti penyakit periodontal, infeksi saluran kemih, dan
helicobacter pylori. Dari segi riwayat kebidanan, kejadian
perdarahan pervaginam setidaknya lima hari selama kehamilan
meningkatkan risiko preeklamsia dan penggunaan donor oosit yang
memiliki risiko preeklamsia lebih tinggi dibandingkan dengan
fertilisasi in vitro (IVF) tanpa donor oosit atau konsepsi alami
(Masoudian et al., 2016; Bahri et al., 2019; Nourollahpour et al.,
2019).
Secara garis besar, faktor risiko preeklamsia dibagi menjadi
dua yaitu, faktor risiko sedang dan faktor risiko tinggi. Klasifikasi
tersebut juga menjadi dasar dalam penentuan pemberian aspirin
dosis rendah (PNPK, 2016).
Tabel 2.1 Klasifikasi faktor risiko preeklamsia (PNPK,
2016).

C. Patogenesis
Patofisiologi proses kompleks ini melibatkan banyak sistem organ
dan dirangkum dalam Gambar 2.1. Sindrom klinis dimulai dengan
invasi trofoblas abnormal sebelum wanita mengetahui bahwa mereka
hamil dan jauh sebelum manifestasi klinis penyakit muncul. Selama
implantasi normal, trofoblas menginvasi endometrium desidual,
menyebabkan remodeling arteri spiralis dan obliterasi tunika media
arteri spiralis pada miometrium sehingga terjadi peningkatan aliran
darah ke plasenta, semuanya tidak tergantung pada perubahan
vasomotor ibu. Pada preeklamsia, trofoblas gagal mengadopsi fenotipe
endotel, yang menyebabkan gangguan invasi trofoblas dan remodeling
arteri spiralis yang tidak lengkap (Brown et al., 2018; Pankiewicz et
al., 2019).

Gambar 1.2. Patogenesis Preeklamsia


Iskemia plasenta terjadi menyebabkan peningkatan penanda
angiogenik seperti soluble fms-like tyrosine kinase-1 (sFlt-1) and
soluble endoglin (sEng). sFlt-1 telah diusulkan sebagai mekanisme
yang mendasari untuk menjelaskan penyakit pada unit ibu dan janin.
sFlt-1 mengikat dan menurunkan kadar vascular endothelial growth
factor (VEGF) dan placental growth factor, yang merupakan mediator
penting dari fungsi sel endotel, terutama pada endotel berfenestrasi
(otak, hati, glomeruli). Dengan demikian, disfungsi endotel
berkembang di pembuluh darah ibu. sEng adalah koreseptor
permukaan sel yang mengikat dan menurunkan tingkat transforming
growth factor (TGF)-β, yang biasanya menginduksi migrasi dan
proliferasi sel endotel (El-Sayed, 2017; Jim dan Karumanchi, 2017).
Faktor-faktor tersebut memediasi terjadinya disfungsi endotel,
vasokonstriksi, stres oksidatif, dan mikroemboli yang berkontribusi
pada keterlibatan beberapa sistem organ, dan dengan demikian
menyebabkan gambaran klinis preeklamsia. Stres endotel yang
diasumsikan sudah ada sebelumnya, seperti peningkatan tonus sistem
saraf simpatis dari penurunan volume intravaskular, dapat menjadi
predisposisi berkembangnya preeklamsia selanjutnya (Petersen et al.,
2019; Spradley, 2019).
D. Manifestasi Klinis dan Patofisiologi
A. Hipertensi
Hipertensi dalam kehamilan didefinisikan sebagai
peningkatan tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan/atau tekanan
darah diastolik ≥90 mmHg pada 2 pengukuran dengan jarak 4 jam
saat istirahat (ACOG, 2019). Hipertensi adalah kriteria diagnostik
yang diperlukan untuk sindrom preeklamsia. Dibandingkan dengan
pasien kontrol hamil normotensif, hipertensi pada preeklamsia
terjadi dalam pengaturan peningkatan resistensi vaskular sistemik
dan afterload, dan penurunan curah jantung dan volume
intravaskular. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap
perubahan ini. Meskipun aktivasi sistem renin-angiotensin-
aldosteron (RAAS), kadar renin, angiotensin II (Ang II), dan
aldosteron lebih rendah pada preeklamsia dibandingkan dengan
kehamilan normal (meskipun masih lebih tinggi daripada individu
yang tidak hamil), tetapi sensitivitas terhadap Ang II dan
norepinefrin meningkat (Tomimatsu et al., 2017; Nilsson et al.,
2020).
B. Proteinuria
Proteinuria pada preeklamsia adalah hasil dari peningkatan
permeabilitas tubulus ginjal terhadap sebagian besar protein
dengan berat molekul besar, seperti albumin, globulin, transferin,
dan hemoglobin (ACOG, 2019). SFlt-1 yang bersirkulasi tinggi
dan penurunan nitrat oksida terlibat dalam mediasi cedera tubulus
ginjal dalam preeklamsia. Penghambatan sFlt-1 dan VEGF juga
menyebabkan cedera endotel glomerulus, suatu proses yang
disebut endoteliosis glomerulus yang patognomonik pada
preeklamsia. Endoteliosis glomerulus ditandai dengan
pembengkakan, sel endotel bervakuol dengan fibril, pembengkakan
sel mesangial, deposit protein subendotel yang direabsorbsi dari
filtrat glomerulus, dan gips tubulus (Armaly et al., 2018;
Moghaddas et al., 2019; Pankiewicz et al., 2019).
Adanya proteinuria secara konvensional didapat melalui
skrining menggunakan tes dipstick dan dikonfirmasi dengan tes
laboratorium tambahan menggunakan urin 24 jam, atau baru-baru
ini dengan sampel urin. Penilaian penapisan dengan uji dipstick
paling baik dilakukan dengan perangkat pembacaan reagen-strip
otomatis daripada analisis visual. Sebelumnya, pengumpulan urin
24 jam dianggap sebagai gold standard untuk konfirmasi
proteinuria tetapi memiliki beberapa kendala, yaitu memakan
waktu, memerlukan pendinginan, sampel sering tidak lengkap, dan
jarang digunakan di rumah sakit. Oleh karena itu, setelah tes
dipstick positif (satu protein atau lebih), penggunaan rasio albumin
urin terhadap kreatinin (A:Cr) atau protein terhadap kreatinin
(P:Cr) sekarang direkomendasikan untuk mengukur proteinuria.
Baik pengujian P:Cr dan A:Cr terbukti berkorelasi signifikan
dengan proteinuria yang dideteksi oleh urin 24 jam. Ambang
diagnostik 30 mg/mmol dan 8 mg/mmol telah ditentukan untuk
memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, masing-
masing (Waugh et al., 2017; Kucukgoz et al., 2017).
C. Disfungsi Renal
Disfungsi ginjal pada preeklamsia didefinisikan sebagai
kreatinin serum >1,1 mg/dl atau dua kali lipat kreatinin awal.
Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus sering menurun
pada preeklamsia. Perubahan pada biopsi tampak deposisi fibrin
difus, pembengkakan endotel, hilangnya podosit, dan hilangnya
ruang kapiler (endoteliosis glomerulus). Disregulasi aparatus
filtrasi glomerulus terjadi akibat endoteliosis glomerulus. Pada
kehamilan normal, peningkatan pelepasan faktor jaringan dari
desidua ibu dan plasenta menggeser sel endotel ke keseimbangan
prokoagulan. Peningkatan sitokin proinflamasi pada preeklamsia
lebih lanjut merangsang ekspresi faktor jaringan oleh sel endotel
dan leukosit (ACOG, 2019; Wilkerson dan Ogunbodede, 2019).
Abnormalitas elektrolit terjadi saat kalsium urin menurun
karena peningkatan reabsorbsi kalsium di tubulus. Pengurangan
volume intravaskular pada preeklamsia meningkatkan retensi
natrium dan air bebas. Selain itu, mekanisme yang sama yang
memicu hipertensi, terutama yang melibatkan sFlt-1 dan sistem
RAAS, merupakan predisposisi disfungsi ginjal dan gagal ginjal
akut, yang kemudian meningkatkan risiko hipertensi, penyakit
ginjal kronis, dan penyakit ginjal stadium akhir (Armaly et al.,
2018; Pankiewicz et al., 2019).
D. Disfungsi Neurologis
Preeklamsia dapat menyebabkan beberapa masalah
neurologis, seperti nyeri kepala, gangguan penglihatan, kejang,
sindrom ensefalopati reversibel posterior, dan stroke hemoragik.
Beberapa varian dari sakit kepala primer berkaitan dengan
preeklamsia termasuk sakit kepala tipe tegang (TTH), migrain
tanpa aura, dan migrain dengan aura. Sakit kepala sekunder
menyumbang 35% dari sakit kepala pada kehamilan. HDP pada
preeklamsia adalah penyebab paling sering dari nyeri kepala
sekunder dan lebih umum terjadi seiring bertambahnya usia
kehamilan. Penggunaan nifedipine untuk hipertensi berat dan
magnesium sulfat intravena untuk profilaksis eklampsia juga dapat
menyebabkan sakit kepala (Adekomi et al., 2019; Wilkerson dan
Ogunbodede, 2019).
Karakteristik nyeri kepala preeklamsia adalah progresif,
bilateral (frontal atau oksipital), berdenyut, berhubungan dengan
perubahan visual, memburuk dengan tekanan darah yang lebih
tinggi, diperburuk oleh aktivitas fisik, dan tidak responsif terhadap
obat yang dijual bebas. Gejalanya juga bisa samar dan khas dari
sakit kepala tipe tegang. Nyeri kepala berupa sindrom ensefalopati
posterior reversibel yang khas adalah bilateral, oksipital, tumpul,
dan tanpa prodromal (Negro et al., 2017; Bushman et al., 2018).
Gangguan visual pada preeklamsia dapat terjadi karena
retinopati, ablasi retina, atau kebutaan kortikal, yang biasanya
sembuh setelah melahirkan. Korioretinopati serosa sentral terjadi
saat cairan menumpuk di belakang retina, menyebabkan pelepasan.
Diperkirakan timbul dari fluktuasi hormonal, seperti perubahan
tingkat progesteron. Retinopati hipertensi adalah kondisi kerusakan
mikrovaskuler retina sekunder akibat peningkatan tekanan darah.
Hal tersebut merupakan hasil dari spasme vaskular yang parah
dalam pengaturan ketidakseimbangan angiogenik dari preeklamsia
(Park et al., 2017; Sutton et al., 2018; Ramirez-Montero et al.,
2020)
E. Disfungsi Cardiac
Curah jantung meningkat 30% sampai 50% pada 2
trimester pertama kehamilan normal, kemudian mendatar setelah
20 minggu. Peningkatan curah jantung dicapai dengan peningkatan
denyut jantung, 50% peningkatan volume plasma, dan untuk
mengkompensasi peningkatan volume intravaskular, hipertrofi
eksentrik ventrikel kiri sementara. Perubahan ini sepenuhnya pulih
pascapersalinan. Pada preeklamsia, peningkatan afterload dari
resistensi vaskular yang lebih tinggi yang disebabkan oleh
gangguan plasentasi menyebabkan memburuknya remodeling
ventrikel kiri, mengakibatkan disfungsi diastolik ventrikel kiri
terisolasi ringan sampai sedang dengan hipertrofi ventrikel kiri
konsentris seperti tampak pada Gambar 2.2. Sedangkan remodeling
eksentrik adalah respons kompensasi fisiologis, remodeling
konsentris menunjukkan respons jantung yang abnormal terhadap
peningkatan resistensi vaskular sistemik yang terlihat pada
preeklamsia (Vaught et al., 2018; Behrens et al., 2019; Birukov et
al., 2020).

Gambar 1.3. Mekanisme disfungsi ginjal pada hipertensi kehamilan


F. Disfungsi Hepatik
Disfungsi hati pada preeklamsia didefinisikan sebagai
peningkatan transaminase 2x batas atas normal persisten dan nyeri
kuadran kanan atas atau nyeri tekan epigastrium. Aspartat
aminotransferase biasanya lebih tinggi daripada alanin
aminotransferase pada preeklamsia, karena aspartat
aminotransferase berhubungan dengan nekrosis periportal.
Preeklamsia juga menyebabkan peningkatan laktat dehidrogenase
dan perubahan fungsi sintetik hati, mengakibatkan kelainan waktu
protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan fibrinogen. Gagal
hati dan ruptur hati dapat terjadi. Keduanya terkait dengan
disfungsi endotel, yang menyebabkan kerusakan mikrosirkulasi
hati dan nekrosis hepatoseluler. Penurunan ekspresi nitrit oksida
sintase endotel akibat antagonisme sFlt-1 VEGF juga
menyebabkan disfungsi hati dan trombositopenia (ACOG, 2019;
Wilkerson dan Ogunbodede, 2019).
G. Disfungsi Hematologi
Gangguan hematologi yang paling umum adalah
trombositopenia dan koagulopati intravaskular diseminata,
gangguan kaskade pembekuan yang menyebabkan koagulasi
intravaskular disertai dengan fibrinolisis sekunder.
Trombositopenia (trombosit <100.000) kemungkinan disebabkan
oleh peningkatan aktivasi, agregasi, dan konsumsi trombosit.
Kehamilan adalah keadaan prokoagulan karena peningkatan
fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya, dan penurunan
antikoagulan (Protein C dan S). Fenomena ini biasanya sembuh 6
sampai 7 hari pascapersalinan. Kemungkinan mekanisme
koagulopati intravaskular diseminata meliputi: koagulopati
konsumsi, cedera hati (penurunan produksi faktor pembekuan)
dan/atau respon inflamasi sistemik ibu. Penting untuk memantau
wanita dengan preeklamsia untuk kelainan hematologi untuk
mendukung mereka melalui fitur preeklamsia yang berpotensi
mematikan ini (Cines dan Levine, 2017; ACOG, 2019)
H. Edema Pulmo
Edema paru pada preeklamsia jarang terjadi (0,6% sampai
0,7%) (59) tetapi membawa morbiditas dan mortalitas yang
signifikan dalam 1 penelitian. Hal ini dapat terjadi antepartum atau
postpartum. Secara umum, terdapat empat komponen edema paru
pada preeklamsia: peningkatan permeabilitas vaskular, disfungsi
jantung kortikosteroid/tokolitik, dan kelebihan volume iatrogenik.
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah akibat kerusakan
endotel preeklamsia ditambah dengan penurunan tekanan osmotik
koloid kehamilan Pemberian kortikosteroid pada wanita dengan
preeklamsia untuk mengurangi komplikasi neonatus prematuritas
dapat menyebabkan edema paru ibu yang signifikan, meskipun
dengan mekanisme yang tidak diketahui (Christopher et al., 2020).
I. Fetal Growth Restriction
Preeklamsia menyebabkan disfungsi uterus dan plasenta,
yang menyebabkan hambatan pertumbuhan janin, yang
didefinisikan sebagai perkiraan berat janin <10 persentil untuk usia
kehamilan. Karena arteri spiralis gagal berkembang dengan tepat
dan menyebabkan pseudovasculogenesis tidak lengkap, gangguan
vaskular plasenta seperti infark plasenta terjadi. Remodeling arteri
spiralis yang tidak lengkap menyebabkan aterosis arteri radial ibu
(makrofag yang mengandung lipid dalam lumen, nekrosis fibrinoid
di dinding, dan infiltrat perivaskular mononuklear). Vaskulopati
desidua, termasuk endotel yang longgar dan edematous, hipertrofi
pembuluh darah media, hilangnya modifikasi otot polos, dan up-
regulation dari hypoxia-inducible transcription factor-1α, hasil dari
perubahan ini Perubahan ini menyebabkan gangguan aliran
plasenta diastolik pada USG dan iskemia plasenta. Iskemia yang
dihasilkan dapat menyebabkan stres retikulum endoplasma desidua
dan plasenta dan stres oksidatif lebih lanjut (El-Sayed et al., 2017;
Hauspurg dan Redman, 2018; ACOG, 2019; Malik et al., 2019)
J. Eklamsia
Eklampsia didefinisikan sebagai kejang tonik-klonik, fokal,
atau multifokal onset baru dalam pengaturan HDP tanpa adanya
penyebab lain (ACOG, 2019). Meskipun progesteron
meningkatkan ambang kejang, estrogen menurunkan ambang
kejang melalui down-regulation asam gamma aminobutirat.
Sebuah tinjauan Cochrane obat untuk preeklamsia menemukan
bahwa magnesium sulfat intravena mengurangi risiko eklampsia
sebesar 59%, lebih unggul dari fenitoin. Mekanismenya mungkin
terkait dengan pengurangan cedera endotel yang mendasari
preeklamsia Pasien dengan eklampsia yang menjalani pencitraan
MRI biasanya memiliki temuan yang menunjukkan sindrom
ensefalopati reversibel posterior. Namun, temuan ini terlihat di area
otak selain serebrum posterior (Pankiewicz et al., 2019).
Eklampsia yang muncul pada tekanan darah sistolik <160
mm Hg, menunjukkan bahwa mungkin bukan tekanan darah saja
yang mendorong eklampsia tetapi juga disfungsi endotel. Terdapat
dua mekanisme patogenesis yaitu edema vasogenik dan sitotoksik.
Edema vasogenik dapat terjadi akibat peningkatan tekanan darah
secara tiba-tiba di atas 150 mm Hg, yang meningkatkan aliran
darah serebral, menyebabkan hiperperfusi dan edema karena
mekanisme intrinsik untuk mengatur perfusi serebral kewalahan.
Edema sitotoksik menyebabkan vasospasme mendalam dari
regulasi serebrovaskular yang berlebihan dalam upaya untuk
memperbaiki overperfusi. Telah dikemukakan bahwa kerusakan
akibat edema vasogenik mungkin reversibel, sedangkan edema
sitotoksik mungkin ireversibel serta mengakibatkan disfungsi
neurologis permanen (Bergman et al., 2019).
E. Penegakkan Diagnosis
Penegakkan diagnosis preeklampsi melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis harus
ditanyakan mengenai keluhan pusing dan nyeri kepala, nyeri ulu hati,
pandangan kurang jelas, mual hingga muntah. Pada pemeriksaan fisik
preeklamsia ringan didapatkan tekanan darah 140/90 mmHg pada usia
kehamilan > 20 minggu, tes celup urin menunjukkan proteinuria +1
atau pemeriksaan protein kuantitatif menunjukkan hasil > 300 mg/24
jam (Panduan Praktik Klinis, 2017; POGI, 2016).
Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi onset baru yang
terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan saat atau setelah 20
minggu disertai setidaknya satu proteinuria, disfungsi organ ibu (hati,
neurologis, hematologi, atau keterlibatan ginjal), atau disfungsi
uteroplasenta. Penting untuk dicatat bahwa preeklamsia dapat
berkembang untuk pertama kalinya intrapartum atau postpartum.
Preeklamsia super-imposed dapat didiagnosis pada wanita dengan
hipertensi kronis yang mengalami proteinuria onset baru, disfungsi
orbgan maternal, atau disfungsi uteroplasenta yang konsisten dengan
preeklamsi. Eklampsia terjadi ketika ada kejang dalam pengaturan
preeklamsia (Brown et al., 2018).
Apabila hanya didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak
dapat disamakan dengan peeklampsia, harus didapatkan gangguan
organ spesifik akibat preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus
preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin, namun jika
protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis preeklampsia (PNPK,
2016), yaitu:
1. Trombositopenia: trombosit < 100.000 / mikroliter
2. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
3. Gangguan liver: peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali
normal dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas
abdomen
4. Edema Paru
5. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
6. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan
sirkulasi uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction
(FGR) atau didapatkan adanya absent or reversed end diastolic
velocity (ARDV)
F. Pencegahan
Terminologi umum ‘pencegahan’ dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu:
primer, sekunder, tersier. Pencegahan primer artinya menghindari
terjadinya penyakit. Pencegahan sekunder dalam konteks preeklampsia
berarti memutus proses terjadinya penyakit yang sedang berlangsung
sebelum timbul gejala atau kedaruratan klinis karena penyakit tersebut.
Pencegahan tersier berarti pencegahan dari komplikasi yang
disebabkan oleh proses penyakit termasuk tatalaksana (PNPK, 2016).
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan yang terbaik namun hanya dapat
dilakukan bila penyebabnya telah diketahui dengan jelas sehingga
memungkinkan untuk menghindari atau mengkontrol penyebab-
penyebab tersebut, namun hingga saat ini penyebab pasti terjadinya
preeklampsia masih belum diketahui. Sampai saat ini terdapat berbagai
temuan biomarker yang dapat digunakan untuk meramalkan kejadian
preeklampsia, namun belum ada satu tes pun yang memiliki
sensitivitas dan spesifitas yang tinggi. Butuh serangkaian pemeriksaan
yang kompleks agar dapat meramalkan suatu kejadian preeklampsia
dengan lebih baik. Praktisi kesehatan diharapkan dapat
mengidentifikasi faktor risiko preeklampsia dan mengkontrolnya,
sehingga memungkinkan dilakukan pencegahan primer.
Faktor risiko yang telah diidentifikasi dapat membantu dalam
melakukan penilaian risiko kehamilan pada kunjungan awal antenatal.
Berdasarkan hasil penelitian dan panduan Internasional terbaru kami
membagi dua bagian besar faktor risiko yaitu risiko tinggi / mayor dan
risiko tambahan / minor (PNPK, 2016).
Rekomendasi mengenai skrining primer adalah perlu dilakukan
skrining risiko terjadinya preeklampsia untuk setiap wanita hamil sejak
awal kehamilannya. Pemeriksaan skrining preeklampsia selain
menggunakan riwayat medis pasien seperti penggunaan biomarker dan
USG Doppler Velocimetry masih belum dapat direkomendasikan
secara rutin, sampai metode skrining tersebut terbukti meningkatkan
luaran kehamilan (PNPK, 2016).
2. Pencegahan Sekunder
a. Istirahat
Berdasarkan telaah 2 studi kecil yang didapat dari
Cochrane, istirahat di rumah 4 jam/hari bermakna menurunkan
risiko preeklampsia dibandingkan tanpa pembatasan aktivitas.
Istirahat dirumah 15 menit 2x/hari ditambah suplementasi nutrisi
juga menurunkan risiko preeklampsia.
b. Restriksi garam
Dari telaah sistematik 2 penelitian yang melibatkan 603
wanita pada 2 RCT menunjukkan restriksi garam (20-50
mmol/hari) dibandingkan diet normal tidak ada perbedaan dalam
mencegah preeklampsia, kematian perinatal, perawatan unit
intensif, dan skor apgar < 7 pada menit kelima. Pembatasan garam
untuk mencegah preeklampsia dan komplikasinya selama
kehamilan tidak direkomendasikan.

c. Aspirin dosis rendah


Berbagai Randomized Controlled Trial (RCT) menyelidiki
efek penggunaan aspirin dosis rendah (60-80 mg) dalam mencegah
terjadinya preeklampsia. Penggunaan aspirin dosis rendah untuk
pencegahan primer berhubungan dengan penurunan risiko
preeklampsia, persalinan preterm, kematian janin atau neonatus
dan bayi kecil masa kehamilan, sedangkan untuk pencegahan
sekunder berhubungan dengan penurunan risiko preeklampsia,
persalinan preterm < 37 minggu dan berat badan lahir <2500 g.
Efek preventif aspirin lebih nyata didapatkan pada kelompok risiko
tinggi. Belum ada data yang menunjukkan perbedaan pemberian
aspirin sebelum dan setelah 20 minggu. Pemberian aspirin dosis
tinggi lebih baik untuk menurunkan risiko preeklampsia, namun
risiko yang diakibatkannya lebih tinggi.
Rekomendasi pemberian aspirin yaitu Penggunaan aspirin
dosis rendah (75mg/hari) direkomendasikan untuk prevensi
preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi. Apirin dosis rendah
sebagai prevensi preeklampsia sebaiknya mulai digunakan sebelum
usia kehamilan 20 minggu (PNPK, 2016).
d. Suplementasi Kalsium
Suplementasi kalsium berhubungan dengan penurunan
kejadian hipertensi dan preeklampsia, terutama pada populasi
dengan risiko tinggi untuk mengalami preeklampsia dan yang
memiliki diet asupan rendah kalsium. Suplementasi ini tidak
memberikan perbedaan yang signifikan pada populasi yang
memiliki diet kalsium yang adekuat. Tidak ada efek samping yang
tercatat dari suplementasi ini. Suplementasi kalsium minimal 1
g/hari direkomendasikan terutama pada wanita dengan asupan
kalsium yang rendah. Penggunaan aspirin dosis rendah dan
suplemen kalsium (minimal 1g/hari) direkomendasikan sebagai
prevensi preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi terjadinya
preeklampsia (PNPK, 2016).
e. Suplementasi Antioksidan
WHO melakukan uji klinis acak terkontrol pada wanita
hamil usia gestasi 14-22 minggu dengan risiko tinggi preeklampsia
dan status nutrisi yang rendah. Intervensi berupa pemberian
vitamin C 1000 mg dan vitamin E 400 IU kepada kelompok
perlakuan dan plasebo kepada kelompok pembanding yang
dikonsumsi setiap hari sampai bayi lahir. Dari analisis hasil
penelitian didapatkan pemberian vitamin antioksidan tidak
berhubungan dengan penurunan kejadian preeklampsia, eklampsia,
atau hipertensi gestasional. Pemberian suplemen antioksidan juga
tidak berhubungan dengan berat lahir bayi rendah bayi kecil masa
kehamilan ataupun kematian perinatal. Pemberian vitamin C dan E
dosis tinggi tidak menurunkan risiko hipertensi dalam kehamilan,
preeklampsia dan eklampsia, serta berat lahir bayi rendah, bayi
kecil masa kehamilan atau kematian perinatal. Sehingga pemberian
vitamin C dan E tidak direkomendasikan untuk diberikan dalam
pencegahan preeklampsia (PNPK, 2016).
G. Tatalaksana
1. Manajemen ekspektatif
Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus
preeklampsia tanpa gejala berat dengan usia kehamilan kurang dari
37 minggu dengan evaluasi maternal dan janin yang lebih ketat.
Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk
memperbaiki luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas
neonatal serta memperpanjang usia kehamilan tanpa
membahayakan ibu. Manajemen ekspektatif dapat memperpanjang
usia kehamilan, serta mengurangi morbiditas perinatal seperti
penyakit membran hialin, necrotizing enterocolitis, kebutuhan
perawatan intensif dan ventilator serta lama perawatan. Berat lahir
bayi rata – rata lebih besar pada manajemen ekspektatif, namun
insiden pertumbuhan janin terhambat juga lebih banyak (PNPK,
2016).

Gambar 1.4. Manajemen ekspektatif pada preekamsia tanpa gejala


berat
Rekomendasi mengenai manajemen ekspektatif pada
preeklamsia dengan gejala berat, yaitu manajemen ekspektatif
direkomendasikan pada kasus preeklampsia berat dengan usia
kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat kondisi ibu dan
janin stabil. Manajemen ekspektatif pada preeklampsia berat juga
direkomendasikan untuk melakukan perawatan di fasilitas
kesehatan yang adekuat dengan tersedia perawatan intensif bagi
maternal dan neonatal. Bagi wanita yang melakukan perawatan
ekspektatif preekklamsia berat, pemberian kortikosteroid
direkomendasikan untuk membantu pematangan paru janin. Pasien
dengan preeklampsia berat direkomendasikan untuk melakukan
rawat inap selama melakukan perawatan ekspektatif (PNPK,
2016).
Gambar 1.5. Manajemen ekspektatif pada preeklamsia dengan gejala
berat

Tabel 2.2. Kriteria terminasi kehamilan pada preeklamsia berat


2. Pencegahan kejang
Tujuan utama pemberian magnesium sulfat pada
preeklampsia adalah untuk mencegah dan mengurangi angka
kejadian eklampsia, serta mengurangi morbiditas dan mortalitas
maternal serta perinatal. Cara kerja magnesium sulfat belum dapat
dimengerti sepenuhnya. Salah satu mekanisme kerjanya adalah
menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi dari otot polos,
termasuk pembuluh darah perifer dan uterus, sehingga selain
sebagai antikonvulsan, magnesium sulfat juga berguna sebagai
antihipertensi dan tokolitik. Magnesium sulfat juga berperan dalam
menghambat reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) di otak, yang
apabila teraktivasi akibat asfiksia, dapat menyebabkan masuknya
kalsium ke dalam neuron, yang mengakibatkan kerusakan sel dan
dapat terjadi kejang (PNPK, 2016).
Guideline RCOG merekomendasikan dosis loading
magnesium sulfat 4 g selama 5 – 10 menit, dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 1-2 g/jam selama 24 jam post partum atau
setelah kejang terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu untuk
melanjutkan pemberian magnesium sulfat. Pemantauan produksi
urin, refleks patella, frekuensi napas dan saturasi oksigen penting
dilakukan saat memberikan magnesium sulfat. Pemberian ulang 2
g bolus dapat dilakukan apabila terjadi kejang berulang (PNPK,
2016).
Rekomendasi pemberian magnesium sulfat untuk
pencegahan kejang pada preeklamsia sebagai berikut, magnesium
sulfat direkomendasikan sebagai terapi lini pertama eklampsia.
Magnesium sulfat direkomendasikan sebagai profilaksis terhadap
eklampsia pada pasien preeklampsia berat. Magnesium sulfat
merupakan pilihan utama pada pasien preeklampsia berat
dibandingkan diazepam atau fenitoin, untuk mencegah terjadinya
kejang/eklampsia atau kejang berulang. Magnesium sulfat
merupakan pilihan utama pada pasien preeklampsia berat
dibandingkan diazepam atau fenitoin, untuk mencegah terjadinya
kejang/eklampsia atau kejang berulang. Dosis penuh baik intravena
maupun intramuskuler magnesium sulfat direkomendasikan
sebagai prevensi dan terapi eklampsia. Evaluasi kadar magnesium
serum secara rutin tidak direkomendasikan. Pemberian magnesium
sulfat tidak direkomendasikan untuk diberikan secara rutin ke
seluruh pasien preeklampsia, jika tidak didapatkan gejala
pemberatan (preeklampsia tanpa gejala berat) (PNPK, 2016).
3. Terapi Antihipertensi
European Society of Cardiology (ESC) guidelines 2010
merekomendasikan pemberian antihipertensi pada tekanan darah
sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg pada wanita
dengan hipertensi gestasional (dengan atau tanpa proteinuria),
hipertensi kronik superimposed, hipertensi gestasional, hipertensi
dengan gejala atau kerusakan organ subklinis pada usia kehamilan
berapa pun. Pada keadaan lain, pemberian antihipertensi
direkomendasikan bila tekanan darah ≥ 150/95 mmHg (PNPK,
2016).
Rekomendasi pemberian antihipertensi pada preeklamsia
yaitu, antihipertensi direkomendasikan pada preeklampsia dengan
hipertensi berat, atau tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau
diastolik ≥ 110 mmHg, target penurunan tekanan darah adalah
sistolik < 160 mmHg dan diastolik < 110 mmHg, pemberian
antihipertensi pilihan pertama adalah nifedipin oral short acting,
hidralazine dan labetalol parenteral, alternatif pemberian
antihipertensi yang lain adalah nitogliserin, metildopa, labetalol
(PNPK, 2016).
a. Calsium Channel Blocker
Calcium channel blocker bekerja pada otot polos arteriolar
dan menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat masuknya
kalsium ke dalam sel. Berkurangnya resistensi perifer akibat
pemberian calcium channel blocker dapat mengurangi afterload,
sedangkan efeknya pada sirkulasi vena hanya minimal. Pemberian
calcium channel blocker dapat memberikan efek samping maternal,
diantaranya takikardia, palpitasi, sakit kepala, flushing, dan edema
tungkai akibat efek lokal mikrovaskular serta retensi cairan.
Nifedipin merupakan salah satu calcium channel blocker
yang sudah digunakan sejak dekade terakhir untuk mencegah
persalinan preterm (tokolisis) dan sebagai antihipertensi.
Berdasarkan RCT, penggunaan nifedipin oral menurunkan tekanan
darah lebih cepat dibandingkan labetalol intravena, kurang lebih 1
jam setelah awal pemberian. Nifedipin selain berperan sebagai
vasodilator arteriolar ginjal yang selektif dan bersifat natriuretik,
dan meningkatkan produksi urin. Dibandingkan dengan labetalol
yang tidak berpengaruh pada indeks kardiak, nifedipin
meningkatkan indeks kardiak yang berguna pada preeklampsia
berat. Regimen yang direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral,
diulang tiap 15 – 30 menit, dengan dosis maksimum 30 mg
(PNPK, 2016).
b. Beta Blocker
Berdasarkan Cochrane database penggunaan beta-blocker
oral mengurangi risiko hipertensi berat dan kebutuhan tambahan
obat antihipertensi lainnya. Akan tetapi beta-blocker berhubungan
dengan meningkatnya kejadian bayi kecil masa kehamilan.
Atenolol merupakan beta-blocker kardioselektif (bekerja pada
reseptor P1 dibandingkan P2). Atenolol dapat menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat, terutama pada digunakan untuk
jangka waktu yang lama selama kehamilan atau diberikan pada
trimester pertama, sehingga penggunaannya dibatasi pada keadaan
pemberian anti hipertensi lainnya tidak efektif (PNPK, 2016).
c. Metildopa
Metildopa, agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem saraf
pusat, adalah obat antihipertensi yang paling sering digunakan
untuk wanita hamil dengan hipertensi kronis. Metildopa
mempunyai safety margin yang luas (paling aman). Walaupun
metildopa bekerja terutama pada sistem saraf pusat, namun juga
memiliki sedikit efek perifer yang akan menurunkan tonus simpatis
dan tekanan darah arteri. Frekuensi nadi, cardiac output, dan aliran
darah ginjal relatif tidak terpengaruh. Efek samping pada ibu antara
lain letargi, mulut kering, mengantuk, depresi, hipertensi postural,
anemia hemolitik dan drug-induced hepatitis.
Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg per oral
2 atau 3 kali sehari, dengan dosis maksimum 3 g per hari. Efek
obat maksimal dicapai 4-6 jam setelah obat masuk dan menetap
selama 10-12 jam sebelum diekskresikan lewat ginjal. Alternatif
lain penggunaan metildopa adalah intra vena 250-500 mg tiap 6
jam sampai maksimum 1 g tiap 6 jam untuk krisis hipertensi.
Metildopa dapat melalui plasenta pada jumlah tertentu dan
disekresikan di ASI (PNPK, 2016).
4. Pemberian Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid antenatal berhubungan dengan
penurunan mortalitas janin dan neonatal, RDS, kebutuhan ventilasi
mekanik/CPAP, kebutuhan surfaktan dan perdarahan
serebrovaskular, necrotizing enterocolitis serta gangguan
pekembangan neurologis. Pemberian kortikosteroid tidak
berhubungan dengan infeksi, sepsis puerpuralis da hipertensi pada
ibu. Pemberian deksametason maupun betametason menurunkan
bermakna kematian janin dan neonatal, kematian neonatal, RDS
dan perdarahan serebrovaskular. Pemberian betametason
memberikan penurunan RDS yang lebih besar dibandingkan
deksametason. Rekomendasi pemberian kortikosteroid diberikan
pada usia kehamilan ≤ 34 minggu untuk menurunkan risiko RDS
dan mortalitas janin serta neonatal (PNPK, 2016).

H. Komplikasi
Studi saat ini menunjukan bahwa terdapat gejala sisa
kardiovaskular jangka panjang pada ibu setelah mengalami hipertensi
kehamilan dan pada keturunannya (Gambar 2.3) dari paparan intra
uterine terhadap hipertensi kehamilan, terpisah dari komplikasi
kehamilan lain. Meta-analisis dengan data lebih dari 45.000 orang
melaporkan nilai sistolik 2,39 mmHg lebih tinggi dan tekanan darah
diastolik 1,35 mmHg lebih tinggi pada anak-anak dan dewasa muda
yang lahir dari kehamilan dengan preeklampsia. Pada kehidupan
dewasa berkaitan dengan 8% peningkatan risiko kematian akibat
penyakit jantung iskemik dan 12% peningkatan risiko stroke (Perry et
al., 2018; Thilaganathan et al., 2019).

Gambar 1.6. Komplikasi preeklamsia

DAFTAR PUSTAKA

ACOG Practice Bulletin No. 202: Gestational Hypertension and Preeclampsia".


Obstet Gynecol 2019;133:e1-e25.
Adekomi A.D., Moodley J., Naicker T. "Neuropathological complications
associated with hypertensive disorders of pregnancy". Hypertens Pregnancy
2019;38:171-175.
Armaly Z., Jadaon J.E., Jabbour A., Abassi Z.A. "Preeclampsia: novel
mechanisms and potential therapeutic approaches". Front Physiol 2018;9:973.
Bahri Khomami M, Joham AE, Boyle JA, Piltonen T, Silagy M, Arora C, Misso
ML, Teede HJ, Moran L J. Increased maternal pregnancy complications in
polycystic ovary syndrome appear to be independent of obesity-A systematic
review, meta-analysis, and meta-regression. Obes Rev. 2019 May; 20(5):659-
674.
Bartsch E, Medcalf KE, Park AL, Ray JG, Clinical risk factors for pre-eclampsia
determined in early pregnancy: systematic review and meta-analysis of large
cohort studies.High Risk of Pre-eclampsia Identification Group. BMJ. 2016
Apr 19; 353():i1753
Behrens I., Basit S., Lykke J.A., et al. "Hypertensive disorders of pregnancy and
peripartum cardiomyopathy: a nationwide cohort study". PLoS One
2019;14:e0211857.
Bergman L., Torres-Vergara P., Penny J., et al. "Investigating maternal brain
alterations in preeclampsia: the need for a multidisciplinary effort". Curr
Hypertens Rep 2019;21:72.
Birukov A., Wiesemann S., Golic M., et al. "Myocardial evaluation of post-
preeclamptic women by CMR: is early risk stratification possible?"J Am Coll
Cardiol Img 2020;13:1291-1293.
Brown MA, Magee LA, Kenny LC, Karumanchi SA, McCarthy FP, Saito S, Hall
DR, Warren CE, Adoyi G, Ishaku S, Hypertensive Disorders of Pregnancy:
ISSHP Classification, Diagnosis, and Management Recommendations for
International Practice.International Society for the Study of Hypertension in
Pregnancy (ISSHP). Hypertension. 2018 Jul; 72(1):24-43.
Bushman E.T., Varner M.W., Digre K.B. "Headaches through a woman's life".
Obstet Gynecol Surv 2018;73:161-173.
Charalampakis V, Seretis C, Daskalakis M, Fokoloros C, Karim A, Melissas. The
effect of laparoscopic sleeve gastrectomy on quality of life: A prospective
cohort study with 5-years follow-up. J Surg Obes Relat Dis. 2018 Nov;
14(11):1652-1658.
Christopher W. Ives, Rachel Sinkey, Indranee Rajapreyar, Alan T.N. Tita,
Suzanne Oparil. Preeclampsia—Pathophysiology and Clinical Presentations:
JACC State-of-the-Art Review. J Am Coll Cardiol. 2020 Oct, 76 (14) 1690–
1702
Cines D.B., Levine L.D. "Thrombocytopenia in pregnancy". Blood
2017;130:2271-2277
Cunningham F.G., 2012. Obstetri Williams. Cetakan 23, Jakarta : EGC
Denantika O, Serudji J, Revilla G. Hubungan Status Paritas dan Usia Ibu
terhadap Kejadian Preeklampsi di RSUP Dr. M. Djamil Padang. J Kesehat
Masy. 2018;4(1):212–7
El-Sayed A.A.F. "Preeclampsia: a review of the pathogenesis and possible
management strategies based on its pathophysiological derangements".
Taiwan J Obstet Gynecol 2017;56:593-598.
Fox, R., Kitt, J., Leeson, P., Aye, C., & Lewandowski, A. J. (2019).
Preeclampsia: Risk Factors, Diagnosis, Management, and the Cardiovascular
Impact on the Offspring. Journal of clinical medicine, 8(10), 1625.
Hauspurg A., Redman E.K., Assibey-Mensah V., et al. "Placental findings in
non-hypertensive term pregnancies and association with future adverse
pregnancy outcomes: a cohort study". Placenta 2018;74:14-19.
Jim B., Karumanchi S.A. "Preeclampsia: pathogenesis, prevention, and long-term
complications". Semin Nephrol 2017;37:386-397.
José Humberto, Cardoso Resende, Mattheus Duarte da Veiga Jardim, Brena
Thamyres de Andrade Irineu, et al. Morbid Obesity: A Review on the
Reasons for Impediments to Physical Exercises and Social Activities. Modern
Plastic Surgery, Vol.10 No.3, 2020
Kucukgoz Gulec U., Sucu M., Ozgunen F.T., Buyukkurt S., Guzel A.B., Paydas
S. Spot Urine Protein-to-Creatinine Ratio to Predict the Magnitude of 24-
Hour Total Proteinuria in Preeclampsia of Varying Severity. J. Obstet.
Gynaecol. Can. 2017;39:854–860.
Lopez-Jaramillo, P., Barajas, J., Rueda-Quijano, S. M., Lopez-Lopez, C., Felix,
C. 2018. Obesity and Preeclampsia: Common Pathophysiological
Mechanisms. Frontiers in physiology, Vol. 9, 1838.
Malik A., Jee B., Gupta S.K. "Preeclampsia: disease biology and burden, its
management strategies with reference to India". Pregnancy Hypertens
2019;15:23-31.
Masoudian P, Nasr A, de Nanassy J, Fung-Kee-Fung K, Bainbridge SA, El
Demellawy D. Oocyte donation pregnancies and the risk of preeclampsia or
gestational hypertension: a systematic review and metaanalysis. Am J Obstet
Gynecol. 2016 Mar; 214(3):328-39.
Moghaddas Sani H., Zununi Vahed S., Ardalan M. "Preeclampsia: a close look at
renal dysfunction". Biomed Pharmacother 2019;109:408-416.
Negro A., Delaruelle Z., Ivanova T.A., et al. "Headache and pregnancy: a
systematic review". J Headache Pain 2017;18:106.
Nilsson P.M., Viigimaa M., Giwercman A., Cifkova R. "Hypertension and
reproduction". Curr Hypertens Rep 2020;22:29.
Nourollahpour Shiadeh M, Riahi SM, Adam I, Saber V, Behboodi Moghadam Z,
Armon B, Spotin A, Nazari Kangavari H, Rostami A. Helicobacter pylori
infection and risk of preeclampsia: a systematic review and meta-analysis. J
Matern Fetal Neonatal Med. 2019 Jan; 32(2):324-331.
Pankiewicz K., Szczerba E., Maciejewski T., Fijalkowska A. "Non-obstetric
complications in preeclampsia". Prz Menopauzalny 2019;18:99-109.
Pardina E, Onsurbe JP, Carmona J, et al. Morbid obesity and its comorbidities.
Int Clin Pathol J. 2018;6(2):109‒119
Park Y.J., Park K.H., Woo S.J. "Clinical features of pregnancy-associated retinal
and choroidal diseases causing acute visual disturbance". Korean J
Ophthalmol 2017;31:320-327.
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 2016. Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran, Diagnosis dan Tata Laksana Pre-Eklampsia. Jakarta :
POGI.
Perry H., Khalil A., Thilaganathan B. Preeclampsia and the Cardiovascular
System: An Update. Trends Cardiovasc. Med. 2018;28:505–513.
Petersen E.E., Davis N.L., Goodman D., et al. "Vital signs: pregnancy-related
deaths, United States, 2011-2015, and strategies for prevention, 13 states,
2013-2017". MMWR Morb Mortal Wkly Rep 2019;68:423-429.
Ramirez-Montero C., Lima-Gomez V., Anguiano-Robledo L., Hernandez-
Campos M.E., Lopez-Sanchez P. "Preeclampsia as predisposing factor for
hypertensive retinopathy: participation by the RAAS and angiogenic factors".
Exp Eye Res 2020;193:107981.
Smith KB, Smith MS. Obesity Statistics. Prim Care. 2016 Mar; 43(1):121-35, ix.
Spradley F.T. "Sympathetic nervous system control of vascular function and
blood pressure during pregnancy and preeclampsia". J Hypertens
2019;37:476-487.
Sutton A.L.M., Harper L.M., Tita A.T.N. "Hypertensive disorders in pregnancy".
Obstet Gynecol Clin North Am 2018;45:333-347.
Thilaganathan B., Kalafat E. Cardiovascular System in Preeclampsia and
Beyond. Hypertension. 2019;73:522–531.
Tomimatsu T., Mimura K., Endo M., Kumasawa K., Kimura T.
"Pathophysiology of preeclampsia: an angiogenic imbalance and long-lasting
systemic vascular dysfunction". Hypertens Res 2017;40:305-310.
Vaught A.J., Kovell L.C., Szymanski L.M., et al. "Acute cardiac effects of severe
pre-eclampsia". J Am Coll Cardiol 2018;72:1-11
Verhagen M. Body Image of Patients with Morbid Obesity before and After
Bariatric Surgery. Clinical and Health Psychology (Master thesis) 2016
Jun;:5–16.
Waugh J., Hooper R., Lamb E., Robson S., Shennan A., Milne F., Price C.,
Thangaratinam S., Berdunov V., Bingham J. Spot Protein-Creatinine Ratio
and Spot Albumin-Creatinine Ratio in the Assessment of Pre-Eclampsia: A
Diagnostic Accuracy Study with Decision-Analytic Model-Based Economic
Evaluation and Acceptability Analysis. Health Technol. Assess. 2017;21:1–
90.
Wilkerson R.G., Ogunbodede A.C. "Hypertensive disorders of pregnancy".
Emerg Med Clin North Am 2019;37:301-316.

Anda mungkin juga menyukai